Investasi Kesenjangan Ekonomi dan Tenaga

Investasi, Kesenjangan Ekonomi dan Tenaga Kerja
Oleh Rahmat Fauzi
Ketenagakerjaan erat kaitannya dengan produktivitas penduduk, pendidikan, angkatan kerja
dan investasi. Kedatangan Raja asal Arab yaitu Salman bin Abdulazis Al Saud ke Indonesia
seolah membawa angin surga dunia. Harapa aka ada ya i vestasi de ga ilai ya g ju bo
dinanti oleh banyak pihak. Nyatanya pada periode 2010 sampai 2015 investasi negeri Arab
Saudi tercatat sebesar US$ 34 juta atau hanya 0,02% nilai investasi asing yang masuk pada
kurun waktu tersebut. Pada tahun 2016 investasi hanya berjumlah US$ 900 ribu atau sekitar
Rp 11 Miliar. Nilai investasi tersebut terbilang jauh jika dibandingkan dengan Uni Emirat Arab
dengan nilai sekitar US$ 56 Juta (BKPM, 2016). Datang dengan jumlah rombongan kurang lebih
1.500 orang dan dilengkapi dengan eskalator pribadi, logistik dan bahan makanan seketika
membuat pemerintah dan media sibuk. Nilai investasi tersebut bukanlah angka fantastis jika
disandingkan dengan Singapura dengan jumlah yang mencapai US$ 9 Miliar (BKPM, 2016).
Investasi memang menggiurkan bagi Indonesia, apalagi dengan angka angkatan kerja yang
menyentuh angka 6.635.187 jiwa (BPS, 2016) dan dikelola dengan baik maka jumlah tesebut
dapat dipergunakan guna membangun infrastruktur dan peningkatan belanja daerah .
Perencanaan dan tata kelola merupakan ruh dalam pengembangan ekonomi. Resep Trickle
down effect dari Albert O Hirschman akan sangat dahsyat jika implementasinya tepat. Hirscman
menuangkan gagasan ekonomi makro dalam bukunya yang berjudul The Essential Hirschman,
meningkatnya kondisi ekonomi memiliki dampak terhadap peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Terminologi mengenai peningkatan kondisi ekonomi merupakan hal yang

paradoks. Peningkatan ekonomi di Indonesia belum memiliki dampak signifikan terhadap angka
rasio gini. Merujuk data yang dirilis Badan Pusat Statistik (2016) ekonomi Indonesia tumbuh
dari 4,8% pada tahun 2015 dan meningkat di tahun 2016 menjadi 5,02%. Angka rasio gini
menurun menjadi 0,39%, penurunan ini lebih baik daripada era kepemimpinan sebelumnya.
Penulis tidak akan membandingkan secara politis model kepemimpinan presiden di Indonesia.
Secara eksplisit peningkatan ekonomi nasional belum memiliki dampak kepada kondisi ekonomi
masyarakat Indonesia. Nilai rasio gini dan pertumbuhan ekonomi memang mengalami
peningkatan akan tetapi ketimpangan antara kelas dalam masyarakat Indonesia cukup besar.
Data yang diterbitkan oleh Majalah Tempo merujuk pada Credit Suisse, jumlah kekayaan 1%
kekayaan orang di Indonesia menguasai 49,3% kekayaan Indonesia. Indonesia menempati
peringkat keempat dunia dengan jumlah populasi mencapai 245 Juta jiwa dan 164 juta
merupakan populasi dewasa-17 tahun sampai 65 tahun- (Badan Pusat Statistik, Population
Census 2015).

Penulis tidak akan membahas mengenai angka-angka tersebut hingga mendalam, pada
pembabakan selanjutnya ulasan mengenai efek ketimpangan tersebut akan dituangkan dalam
narasi mengenai sorotan ekonomi mikro pada sektor garmen. Adapun ketertarikan penulis
dalam industri garmen dan ekonomi makro yaitu, adanya lahan khusus yang dipersiapkan guna
memenuhi gairah ekspor pasar eropa, memiliki pertumbuhan rata-rata 2% dalam lima tahun
terakhir, hasil produk dari Indonesia menguasai 1,7% pasar dunia.


Kelekatan Lembaga dan Pekerja
Pertumbuhan ekonomi Indonesia meningkat meskipun angka ketimpangan tetap tinggi. Akar
atas masalah tersebut adalah pengelolaan lembaga. Block dan Evans (2005) mengenalkan
konsep kelekatan lembaga, institusi tersebut terdiri dari komponen negara, ekonomi dan
masyarakat. Kerangka tersebut akan penulis pakai dalam menerangkan industri garmen mulai
hulu sampai hilir. Ihwal hilir industri garmen dimulai dari pemilik pabrik, pemberi kerja dan
asetnya (pekerja). Kemudian ada brand pakaian ternama menerapkan bisnis dengan sistem
supply chain dengan pabrik di Indonesia. Sistem ini merupakan hasil pengembangan dari
manajemen distribusi produk kepada konsumen (Jebarus, 2001). Proses ini dimulai dari
supplier, manufaktur, kemudian berlanjut kepada konsumen. Tujuannya untuk memanjakan
konsumen, tingginya konsumsi sebuah barang menuntut korporasi melakukan inovasi.
Supplier suatu produk melakukan kerjasama dengan pabrik untuk melakukan produksi. Lapisan
pabrik memberikan hasilnya kepada brand untuk mendapatkan label, kemudian barang
tersebut siap untuk dipasarkan di ceruk pasar potensial. Sasaran utamanya adalah wilayah
dengan tingkat konsumtif tinggi menjadi target penjualan.
Dalam proses produksinya dilakukan pengawasan yang ketat, guna mendapatkan hasil dengan
kualitas terbaik. Proses tersebut melibatkan aset pabrik yang utama dalam sebuah rantai
produksi, yaitu pekerja. Sebuah perusahaan PT.Lie-samaran- yang penulis pernah kunjungi
telah berevolusi. Perusahaan ini berdiri sejak tahun 90an, pada tahun 2003 pihak management

pengembangan dengan menambah divisi baru, yaitu supply chain. Divisi ini memiliki tugas
melakukan pembagian kerja dengan melibatkan aktor luar pabrik untuk membantu dalam
menyelesaikan pekerjaan. Kemudian muncul pekerja informal.
Dalam kerangka berpikir Block dan Evans pelibatan Negara melalui aktor sekitar lingkungan
pabrik (kepala desa), ekonomi (kondisi pasar), dan masyarakat (pekerja informal) merupakan
bentuk dinamika ketergantungan. Serupa dengan Block dan Evans (2005), Achwan (2013)
menjelaskan konsep kelekatan lembaga dapat berubah melalui sebuah inovasi yang dilakukan
oleh aktor dalam Negara, ekonomi maupun masyarakat dan semuanya adalah faktor penting
dalam keberhasilan kegiatan bisnis.

Penulis melihat kelekatan lembaga merupakan inovasi kegiatan bisnis yang memiliki dampak
melahirkan broker pasar dalam masyarakat. Sejak tahun 1990 terdapat peningkatan
informalisasi tenaga kerja industri manufaktur dengan wujud perluasan rantai produksi kepada
pekerja luar pabrik, tandanya dimulai dengan pemindahan pabrik padat karya dari wilayah
perkotaan ke pedesaan dan menimbulkan peningkatan permintaan tenaga kerja informal (De
Ruyter,dkk,2009:10). Wulandari (2008) dalam studinya fenomena informalisasi pekerja
memberikan kecenderungan pemaksaan kepada pekerja tetap berpindah ke industri rumahan.
Upaya pengembangan industri Indonesia belum tertata dengan baik jika ditelisik dari sisi
hilirnya. Beragamnya kawasan ekonomi yang direncanakan dalam Rancangan Pembangunan
Jangka Menengah (RPJMN) 2015-2019 belum mampu dianggap sebagai solusi untuk

memperpendek gap kesenjangan. Pembukaan lahan baru yang berasal dari dana investasi
menjadi pabrik-pabrik di beberapa wilayah, belum bisa dijadikan acuan guna mereduksi angka
pengangguran terbuka. Justru pembukaan pabrik tersebut memunculkan broker-broker baru
dalam isu ketenagakerjaan dengan membawa label pekerja rumahan.

Koran kompas 1 januari 2017.Bisnis Mode Dorong Industri Tekstil