Etika deontologi dan konsekuensialis. docx

2.2. Perspektif Etika tentang Aborsi
Aborsi menurut perspektif etika dibagi menjadi dua, yaitu consequentialism dan
deontological ethics. Menurut Bur Rasuanto dalam bukunya Keadilan Sosiao Pandangan
Deontologis Rawls dan Habermas Dua Teori Filsafat Politik Modern, kata deontologis dalam
filsafat moral dikenal sebagai nama salah satu dari dua kelompok besar teori etika normatif:
konsekuensialis dan nonkonsekuensialis. Teori etika konsekuensialis menilai baik buruk atau
salah benar suatu tindakan dari akibat atau konsekuensinya. Karena itu etika konsekuensialis
biasa disebut juga teologis(dari kata Yunani telos = akhir). Suatu tindakan secara moral baik
atau benar apabila berakibat baik. Sebaliknya, teori etia nonkonsekuensialis menilai salah
benar atau baik buruk suatu tindakan tidak tergantung dari akibatnya melainkan dari sifat
wajibnya tindakan itu sendiri. Bagi etika konsekuensialis, membunuh perbuatan salah karena
berakibat tidak baik. Bagi nonkonsekuensialis membunuh itu salah apa pun akibatnya. Dalam
kelompok konsekuensialis yang paling berpengaruh utilitarianisme; dalam kelompok
nonkonsekuensialis adalah teori dentologi.
Deontologis (deon = kewajiban) dalam teori keadilan ini berasumsi bahwa nilai yanghak (the right) memiliki prioritas atas nilai yang-baik (the good). Atau dengan kata lain
deontologis adalah suatu hal yang berlawanan dari consequentialisme ethic dimana
deontological ethics benar-benar melepaskan sama sekali moralitas dari konsekuensi
perbuatan. Dalam suatu perbuatan pasti ada konsekuensinya, dalam hal ini konsekuensi
perbuatan tidak boleh menjadi pertimbangan. Perbuatan menjadi baik bukan dilihat dari
hasilnya melainkan karena perbuatan tersebut wajib dilakukan. Deontologi menekankan
perbuatan tidak dihalalkan karena tujuannya. Tujuan yang baik tidak menjadi perbuatan itu

juga baik. Berikut contoh atau ilustrasi sederhana dari etika deontologis. Kita tidak boleh
mencuri, berbohong kepada orang lain melalui ucapan dan perbuatan.
Suatu hari, ada seseorang “nyelonong” masuk ke rumahmu dan bersembunyi di dalam.
Ternyata seseorang sedang mengejar dia. Si pengejar itu akan membunuh dia jika
mengetahui dia bersembunyi dalam rumah Anda. Saat pengejar itu lewat, dia berhenti persis
di hadapan Anda, lalu bertanya, “Pak, apakah tahu ada seseorang berlari melewati tempat
ini?” Anda tahu bahwa berbohong itu salah – secara moral – tetapi Anda juga tahu bahwa
memberi informasi secara jujur akan membahayakan nyawa orang yang sedang
bersembunyi dalam rumah Anda. Pertanyaannya: “Apakah Anda akan memberitahu si
pengejar bahwa orang yang dia cari itu memang sedang bersembunyi di dalam rumahmu?”
Menjawab pertanyaan ini, para penganut etika deontologi akan menjawab, ”Apa pun juga
alasan dan kondisinya, jangan berbohong!” Artinya, Anda harus mengatakan bahwa memang
ada seseorang sedang bersembunyi di dalam rumahmu. Kenyataan bahwa si pengejar akan
membunuh orang tersebut bukanlah urusan Anda. Yang menjadi concern utama Anda adalah
bahwa Anda tidak mau berbohong. Bagi Anda, jangan berbohong adalah hukum moral
universal (berlaku umum) yang tidak bisa dilanggar, apapun juga alasannya.
Jika, kita hubungkan dengan aborsi bahwa di dalam etika deontologi,”apa pun alasan dan
konsdisinya, melakukan aborsi tidak diperbolehkan.” Karena concern utama kelompok kami
bahwa melakukan aborsi dilarang dalam agama. Bagi kami, jangan melakukan aborsi adalah


hukum moral yang universal (berlaku umum) yang tidak bisa dilanggar, apapun juga
alasannya.

Source :
Rasuanto, Bur. 2005. Keadilan Sosial: Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas, Dua
Teori Filsafat Politik Modern. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.