EKONOMI ISLAM dan KEADILAN sosial docx

EKONOMI ISLAM dan KEADILAN
Dinnul Alfian Akbar1
Abstrak
Suatu perekonomian dapat dikatakan telah mencapai keadilan yang optimal apabila
barang dan jasa yang dihasilkan didistribusikan sedemikian rupa, sehingga kebutuhan
semua individu memuaskan secara memadai. Keadilan akan membawa kepada efisiensi
dan pertumbuhan yang lebih besar. Keadilan dicapai bukan saja dengan meningkatkan
kedamaian dan solidaritas sosial, tetapi juga dengan meningkatkan insentif bagi upaya
dan inovasi yang lebih besar. Sistim ekonomi yang berbasis Islam menghandaki bahwa
dalam hal pendistribusian harus berdasarkan dua sendi, yaitu sendi kebebasan dan
keadilan kepemilikan. Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan dalam bertindak
yang di bingkai oleh nilai-nilai agama sebagai keseimbangan antara individu dengan
unsur materi dan spiritual yang dimilikinya, keseimbangan antara individu dan
masyarakat serta antara suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Keberadilan
dalam pendistribusian ini tercermin dari larangan dalam Al-qur’an agar harta
kekayaan tidak diperbolehkan menjadi barang dagangan yang hanya beredar diantara
orang-orang kaya saja, akan tetapi diharapkan dapat memberi kontribusi kepada
kesejahteraan masyarakat sebagai suatu keseluruhan

Kata Kunci: Keadilan, Distribusi, Efisiensi
Pendahuluan

Sebelum terjadinya krisis multi dimensi pada tahun 1997, para pakar ekonomi kapitalis
yakin bahwa dengan pertumbuhan ekonomi akan memperbesar “kekayaan”, sehingga setiap
orang akan memperoleh lebih banyak bagian. Pertambahan Produk Domestik Bruto bagi
suatu negara atau Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) bagi suatu wilayah daerah
diyakini sebagai pertambahan kekayaan dan kesejahteraan masyarakat.
Menurut Korten (dalam Merza Gamal; 2006), usaha yang tidak henti-hentinya
dalam mengejar “pertumbuhan ekonomi” telah mempercepat kehancuran sistem pendukung
kehidupan yang ada di planet ini, memperhebat persaingan dalam memperebutkan
sumberdaya, memperlebar jurang antara yang kaya dan yang miskin, dan menggerogoti
nilai-nilai dalam hubungan keluarga dan masyarakat. Semakin terpusatnya kekuasaan yang
semakin hebat di tangan korporasi global dan lembaga-lembaga keuangan telah melucuti
pemerintah dari kemampuannya untuk menempatkan prioritas ekonomi, sosial dan
lingkungan dalam kerangka kepentingan umum yang lebih luas. PDB (PDRB) merupakan
sebuah petunjuk nilai pasar secara kasar dari transaksi uang terhadap barang dan jasa pada
suatu bangsa atau regional. Sedangkan kerja produktif yang dilakukan untuk diri sendiri
tidak diperhitungkan, meskipun bermanfaat bagi kesejahteraan. Namun sebaliknya,
transaksi yang paling merugikanpun bisa dimasukkan selama diperhitungkan dengan uang.

Dosen Tetap Fakultas Syari’ah IAIN Raden Fatah Palembang, Alumni Magister Sains-Manajemen UGM
Jigjakarta

1

Untuk mengetahui kemakmuran perekonomian suatu negara atau wilayah daerah,
kemudian para Ekonom membagi angka PDB (PDRB) dengan jumlah penduduk, yang
disebut dengan PDB (PDRB) per Kapita. Sebuah wilayah yang mempunyai PDRB per
Kapita yang tinggi akan dianggap sebagai sebuah wilayah yang makmur dan mempunyai
tingkat kesejahteraan ekonomi yang tinggi terlepas apakah terdistribusi secara seimbang
ataupun terdapat kesenjangan yang tinggi antara satu kelompok masyarakat dengan
kelompok masyarakat lainnya.
Beberapa waktu lalu The New Economics Foundation (NEF) meneliti hubungan
pertumbuhan pendapatan per kapita dengan proporsi atau share dari pertumbuhan tersebut
yang dinikmati oleh kaum miskin. Hasil riset lembaga yang berkedudukan di Inggris
tersebut menunjukkan bahwa pada dekade 1980-an, dari setiap kenaikan 100 dolar AS
pendapatan per kapita dunia, maka kaum miskin hanya menikmati 2,2 dolar AS, atau
sekitar 2,2 persen. Artinya, 97,8 persen lainnya dinikmati oleh orang-orang kaya.
Kemudian, antara tahun 1990 hingga 2001, kesenjangan tersebut makin menjadi-jadi.
Setiap kenaikan pendapatan per kapita sebesar 100 dolar AS, maka persentase yang
dinikmati oleh orang-orang miskin hanya 60 sen saja, atau sekitar 0,6 persen. Sedangkan
sisanya, yaitu 99,4 persen, dinikmati oleh kelompok kaya dunia. Hal tersebut menunjukkan
adanya penurunan share kelompok miskin sebesar 70 persen.

Fakta tersebut menunjukkan bahwa perekonomian dunia saat ini cenderung
bergerak kepada ketidakseimbangan penguasaan aset dan sumber daya ekonomi, yang
menjadikan kelompok kaya menjadi semakin kaya, dan kelompok miskin semakin miskin.
Fakta tersebut paralel dengan kenyataan di banyak negara Muslim, di mana strategi trickle
down effect yang dahulu begitu diagung-agungkan para ekonom kita, ternyata hanya

menghasilkan kesenjangan sosial yang luar biasa besar.
Hal itu mengindikasikan adanya persoalan ketidakadilan ekonomi yang sangat
signifikan. Ketidakadilan tersebut juga tergambar dalam pemanfaatan kemajuan teknik
yang dicapai oleh ilmu pengetahuan hanya bisa dinikmati oleh masyarakat yang relatif
kaya, yang pendapatannya melebihi batas pendapatan untuk hidup sehari-hari sedangkan
mereka yang hidup sekedar cukup untuk makan sehari-hari terpaksa harus tetap menderita
kemiskinan abadi, karena hanya dengan mengurangi konsumsi hari ini ia dapat
menyediakan hasil yang kian bertambah bagi hari esok, dan kita tidak bisa berbuat
demikian kecuali bila pendapatan kita sekarang ini bersisa sedikit di atas keperluan hidup
sehari-hari.sehingga dibutuhkan adanya suatu konsep ekonomi yang lebih menjamin rasa
keadilan masyarakat, yaitu ekonomi Islam.
Sistem ekonomi Islam sangat melindungi kepentingan setiap warganya baik yang
kaya maupun yang miskin dengan memberikan tanggung jawab moral terhadap si kaya
untuk memperhatikan si miskin. Islam mengakui sistem hak milik pribadi secara terbatas,


setiap usaha apa saja yang mengarah ke penumpukan kekayaan yang tidak layak dalam
tangan segelintir orang dikutuk. Al-Qur’an menyatakan agar si kaya mengeluarkan
sebagian dari rezekinya untuk kesejahteraan masyarakat, baik dengan jalan zakat, sadaqaah,
hibah, wasiat dan sebagainya, sebab kekayaan harus tersebar dengan baik.
Pertanyaannya, apakah keadilan ekonomi yang dimaksud adalah keadilan yang
berdasarkan prinsip ''sama rata, sama rasa'' seperti yang dulu pernah menjadi sangat populer
dalam sistem sosialis-komunis? Tentu saja, yang dimaksud bukanlah keadilan dalam
konteks tersebut. Bagaimanapun juga, kaya dan miskin adalah sunnatullah. Artinya, Islam
mengakui bahwa perbedaan itu eksis—termasuk perbedaan dalam kekayaan—dan menjadi
bagian dari fenomena kehidupan. Islam sebagai sistem hidup (way of life) dan merupakan
agama yang universal sebab memuat segala aspek kehidupan baik yang terkait dengan
aspek ekonomi, sosial, politik dan budaya. Seiring dengan maju pesatnya kajian tentang
ekonomi islam dengan menggunakan pendekatan filsafat dan sebagainya mendorong
kepada terbentuknya suatu ilmu ekonomi berbasis keislaman yang terfokus untuk
mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang dilhami oleh nilai-nilai Islam.
Permasalahannya sekarang adalah, apakah perbedaan penguasaan aset itu muncul
sebagai akibat proses alami, misalnya karena rasa malas, ataukah sebagai akibat
ketidakadilan sistem? Dalam konteks ini, harus diakui bahwa faktor utama penyebab
perbedaan tersebut adalah akibat ketidakadilan sistem. Karena itu, kemiskinan yang

ditimbulkannya—dalam bahasa Didin Hafidhuddin—adalah kemiskinan struktural. Karena
itu, diperlukan adanya paradigma pembangunan ekonomi yang tidak hanya berorientasi
pada pertumbuhan semata, tetapi juga menitikberatkan pada keadilan distribusi 'kue'
pembangunan.
Kalau melihat fakta yang ada, maka akan ditemukan bahwa antara pertumbuhan
ekonomi dan keadilan distribusi seolah-olah terdapat kontradiksi atau pertentangan. Jika
satu faktor meningkat, maka faktor yang lain akan turun. Bagaimana sebenarnya posisi
Islam terkait hal ini? Sesungguhnya, diskusi tentang konsep pertumbuhan ekonomi telah
banyak dibahas dalam literatur-literatur ekonomi Islam klasik. Salah satunya yang terkenal
adalah konsep pertumbuhan yang ditawarkan oleh Ibn Khaldun, seorang ulama besar abad
ke 14 Masehi, dalam bukunya Muqaddimah. Konsep tersebut dikenal dengan istilah 'umran
(pembangunan).
Teori tersebut muncul ketika Ibn Khaldun menganalisis proses kemunculan dan
kejatuhan sebuah dinasti (baca: pemerintahan negara). Ibn Khaldun mengatakan bahwa
ketika populasi mengalami pertumbuhan, maka akan terjadi surplus of labor (kelebihan
tenaga kerja). Kemudian dengan adanya pembagian kerja dan kerja sama antar-labor, maka
output akan meningkat. Peningkatan output ini akan mendorong peningkatan pendapatan.
Sebagai implikasinya, naiknya pendapatan akan meningkatkan permintaan sosial (atau

permintaan agregat dalam istilah modern), yang pada akhirnya akan mendorong

peningkatan produksi dan pertumbuhan ekonomi.
Namun demikian, tingginya pertumbuhan ini—jika tidak dibarengi dengan
kebijakan pemerintah untuk melindungi kelompok masyarakat lemah—akan menimbulkan
ketidakseimbangan pasar yang mengancam perekonomian itu sendiri. Apalagi jika kondisi
tersebut diperparah oleh adanya kolusi antara penguasa dan pengusaha dalam menguasai
aset negara. Inilah bentuk monopoli ekonomi yang sangat berbahaya. Sehingga tidaklah
mengherankan, jika Ibn Taimiyyah (abad 13 M) dan Ibn al-Qayyim Al-Jauziyyah (abad 1314 M) sangat mengecamnya. Inilah sistem yang akan mengakibatkan perputaran aset dan
harta hanya berada di tangan kelompok ”berada” saja, padahal Allah SWT sangat
membencinya (QS 59:7).
Bahkan, al-Maqrizi (abad 14-15 M) menegaskan lebih lanjut bahwa perputaran
harta di tangan segelintir kelompok itu merupakan salah satu sumber penyebab terjadinya
ghila (inflasi). Padahal masyarakat banyaklah yang harus menanggung akibatnya. Daya beli
mereka menjadi turun dan nilai riil uang mereka menjadi berkurang. Ia pun kemudian
mengidentifikasi kelompok-kelompok masyarakat yang paling dirugikan oleh dampak
inflasi ini, yaitu kelompok fixed-income people.
Tingginya inflasi yang terjadi negara Indonesia dan semakin melemahnya daya beli
masyarakat merupakan bukti yang sangat valid. Keterkaitan antara inflasi dan monopoli—
di mana monopoli merupakan sumber inflasi sebagaimana yang diungkap al-Maqrizi—
adalah suatu diskusi yang sangat dihindari oleh para ekonom kapitalis. Alasannya
sederhana, karena hal tersebut akan mengancam kedudukan kaum kapitalis itu sendiri yang

saat ini mendominasi dunia. Bahkan, kalau mau jujur, dunia saat ini berada di bawah
kendali dan dominasi perusahaan-perusahaan multinasional. Merekalah yang mendikte arah
perekonomian global saat ini.
Islam memandang pemahaman bahwa materi adalah segalahnya bagi kehidupan
sebagaimana menurut kaum kapitalisme adalah merupakan pemahaman yang salah, sebab
manusia selain memiliki dimensi material juga memiliki dimensi non material (spiritual).
Dalam realitanya tampak sekali bahwa paham materialisme membawa kehidupan manusia
kepada kekayaan, kesenangan dan kenikmatan fisik belaka dengan mengabaikan dimensi
non materi.
Dalam ekonomi yang berbasis islam kedua dimensi tersebut (material dan non
material) tercakup didalamnya sebagaimana tercermin dari nilai dasar (value based) yang

dimilikinya, yaitu ketuhidan, keseimbangan, kebebasan kehendak dan betanggung jawab
(Nawab Heidar Naqvy).Ketauhidan berfungsi untuk membedakan sang khaliq dan
makhluknya yang diikuti dengan penyerahan tanpa syarat oleh setiap makhluk terhadap
kehendak-Nya serta memberikan suatu perspektif yang pasti yang menjamin proses

pencarian kebenaran oleh manusia yang pasti tercapai sepanjang menggunakan petunjuk
Allah. Keseimbangan merupakan dimensi horisontal dari Islam yang dalam perspektif yang
lebih praktis meliputi keseimbangan jasmani-ruhani, material-non material, individu dan

social. Sedangkan yang dimaksud dengan kebebasan kehendak disini adalah kebebasan
yang dibingkai dengan tauhid, artinya manusia bebas tidak sebebas-bebasnya tetapi terikat
dengan batasan-batasan yang diberikan oleh Allah. Dan tanggung jawab merupakan
konsekuensi logis dari adanya kebebasan yang tidak hanya mencakup seluruh perbuatan di
dunia dan akhirat saja tetapi juga terhadap lingkungan di sekitarnya.

Keadilan distribusi
Distribusi menjadi posisi penting dari teori ekonomi mikro baik dalam sistem
ekonomi Islam maupun kapitalis sebab pembahasan dalam bidang distribusi ini tidak hanya
berkaitan dengan aspek ekonomi belaka tetapi juga aspek sosial dan politik sehingga
menjadi perhatian bagi aliran pemikir ekonomi Islam dan konvensional sampai saat ini.
Dalam muamalah islam, seseorang tidak dilarang untuk meningkatkan kesenangan atau
kesejahteraannya dengan syarat dalam melakukan hal tersebut ia tidak melanggar syarat
dan tidak merugikan atau mendzalimi orang lain. Pada saat ini realita yang nampak adalah
telah terjadi ketidakadilan dan ketimpangan dalam pendistribusian pendapatan dan
kekayaan

baik

di


negara

maju

maupun

di

negara-negara

berkembang

yang

memepergunakan sistem kapitalis sebagai system ekonomi negaranya, sehingga
menciptakan kemiskinan dimana-mana. Menanggapi kenyataan tersebut islam sebagai
agama yang universal diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan tersebut dan
sekaligus menjadi sistem perekonomian suatu negara.
Berbicara mengenai keadilan distribusi, maka masyarakat jangan sampai terjebak

dengan penyamarataan pendapatan, karena hal tersebut tidak mungkin dan tidak sesuai
dengan Sunnatullah. Yang dapat dilakukan adalah mengurangi kesenjangan pendapatan
dengan menjamin keadilan bagi setiap anggota masyarakat untuk berusaha, termasuk
menjamin pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat. Di sinilah urgensi peran pemerintah
untuk dapat bertindak jujur dan adil. Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan.
Pertama, mengembangkan sistem zakat, infak, dan shadaqah nasional sebagai
instrumen yang mampu ''memaksa'' aliran kekayaan ke tangan kelompok dhuafa
masyarakat. Kedua, melindungi hak-hak tenaga kerja dari eksploitasi berlebihan dengan
mengembangkan konsep share economy. Selama ini, yang selalu menjadi andalan negara
Indonesia untuk mempertahankan daya saing dalam perekonomian global adalah dengan
mempertahankan upah murah tenaga kerja. Seolah-olah tidak ada jalan lain. Tentu saja hal
tersebut sangat tidak adil. Untuk itu, pemerintah perlu membuat regulasi agar para pekerja
dapat memperoleh share yang lebih adil, misalnya saja dengan menaikkan UMR atau

meminta perusahaan memberikan 10 persen sahamnya kepada para pekerjanya. Terhadap
perusahaan pun pemerintah harus bersikap adil, misalnya dengan menghilangkan berbagai
pungutan liar yang membebani cost perusahaan dan meminimalisasi regulasi yang tidak
kondusif untuk investasi.
Ketiga, melindungi dan mendorong tumbuh dan berkembangnya usaha kecil dan
menengah, termasuk memberikan dukungan fasilitas pelatihan dan pembiayaannya. Dalam

hal ini, pemerintah harus secara pro-aktif mendorong sistim perbankan syariah dan LKS
non bank untuk lebih terlibat dalam pengembangan UKM, terutama yang berada di
wilayah-wilayah pinggiran kota dan pedesaan. Tentu saja perlu diciptakan regulasi yang
jelas dan transparan. Keempat, secara konsisten memerangi segala bentuk kolusi dan
korupsi yang merusak, yang telah mengakibatkan high-cost economy, termasuk
menghilangkan privilesee yang berlebihan kepada segelintir perusahaan-perusahaan besar
tertentu.
Dalam ekonomi konvensional, suatu kondisi di mana pada titik tertentu seseorang
tidak bisa lagi mengubah sesuatu menjadi lebih baik tanpa membuat orang lain menjadi
buruk keadaannya disebut efisiensi alokasi atau lebih sering disebut Pareto Efficient. Suatu
alokasi dikatakan pareto efficient bila barang-barang tidak dapat dialokasikan ulang untuk
membuat sesorang lebih baik keadaannya. (Robert Pindyck dan Daniel Rubinfield, dalam
Samuelson dan Nordhaus, 2004). Untuk lebih jelasnya dapat disederhanakan dengan contoh
sebagai berikut:

Individu

Alokasi Awal

Pertukaran

Alokasi Akhir

A

7 Makanan (M), 1 Pakaian (P)

-1M, + 1P

6M, 2P

B

3M, 5P

+1M, - 1P

4M, 4P

Asumsi yang dipakai dalam contoh ini adalah seakan-akan di dunia ini hanya ada 2
barang yaitu makanan dan pakaian, dan trade yang dipakai adalah one on one basis.
Katakanlah A dan B mempunyai 10 unit manakanan dan 6 unit pakaian. Awanya A
memiliki 7 unit makanan dan 1 unit pakaian. Bagi B, ia bersedia memberikan 3 unit
pakaian untuk mendapatkan 1 unit makanan. B bersedia memberikan ½ unit pakaian untuk
mendapatkan 1 unit makanan. Karena A lebih menyukai pakaian daripada B, maka
keduanya dapat lebih tinggi kepuasannya (utility) dengan melakukan pertukaran.
Pertukaran diantara keduanya akan terus terjadi sampai keduanya mencapai
kepuasan (utility) yang optimal selama MRS (marginal rate of substitution) nya berbeda.
Dengan kata lain alokasi belum efisien sampai MRS dari keduanya sama. Untuk
menggambarkannya secara grafik akan lebih mudah bila menggunakan diagram Edgeworth
Box.

6C

6C

IC 2

IC 2

IC 1

OA

A

10F

IC 1

OI

B

10F

Kedua grafik di atas adalah Indeference Curve (IC) dari A dan B yang menunjukkan titik
kombinasi konsumsi terhadap makanan dan pakaian pada tingkat kepuasan yang sama.
Dimana pergerakan kurva ini semakin ke atas tingkat kepuasannya semakin tinggi. Dalam
hal ini berlaku transivity (A < B < C) sehingga IC1, IC2, dan seterusnya tidak boleh
berpotongan satu sama lain.

Efisiensi dan Keadilan
Menurut Chapra (dalam Merza Gamal, 2006), setiap perekonomian dapat dikatakan telah
mencapai efisiensi yang optimal apabila telah menggunakan seluruh potensi sumberdaya
manusia dan materi yang terbatas sedemikian rupa sehingga kuantitas barang dan jasa
maksimum yang dapat memuaskan kebutuhan telah dihasilkan dengan tingkat stabilitas
ekonomi yang baik dan tingkat pertumbuhan berkesinambungan di masa yang akan datang.
Pengujian efisiensi tersebut terletak pada ketidak-mampuannya untuk mencapai
hasil yang lebih dapat diterima secara sosial tanpa menimbulkan ketidakseimbangan makro
ekonomi dan sosial yang berkepanjangan, atau merusak keserasian keluarga dan sosial atau
tatanan moral dari masyarakat. Suatu perekonomian dapat dikatakan telah mencapai
keadilan yang optimal apabila barang dan jasa yang dihasilkan didistribusikan sedemikian
rupa. Sehingga, kebutuhan semua individu memuaskan secara memadai. Di samping itu
juga terdapat distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil, tanpa menimbulkan pengaruh
buruk terhadap motivasi untuk bekerja, menabung, berinvestasi dan melakukan usaha.
Efisiensi alokasi hanya menjelaskan bahwa bila semua sumberdaya yang ada habis
teralokasi, maka alokasi yang efisiensi tercapai. Tidak dijelaskan apakah alokasi tersebut
adil atau tidak. Kajian terhadap ekonomi menunjukkan bahwa asumsi terhadap faktorfaktor non-materialistik seperti motivasi/niat jelas tidak realistik. Sehingga dengan
demikian faktor-faktor non-materialistik tersebut dapat disisihkan dari analisis ekonomi
dengan maksud memisahkan gejala-gejala ekonomiknya. Namun demikian meskipun hal
ini bisa menyederhanakan persoalannya demi mencapai tujuan, faktor-faktor non-material
seharusnya diintegrasikan kedalam dalam tahap analisis yang lebih tinggi. Untuk konsep
tentang keadilan dalam ekonomi, menurut Robert Pindyck dan Daniel Rubinfied (dalam
Samuelson dan Nordahaus, 2004), para ekonom konvensional berbeda pendapat tentang
distribusi yang adil:

1. Konsep Egalitarian: setiap orang dalam kelompok masyarakat menerima barang
sejumlah yang sama.
2. Konsep Rawlsian: memaksimalkan utility orang paling miskin (the least well off
person)

3. Konsep Utilitarian: memaksimalkan total utility dari setiap orang dalam kelompok
masyarakat.
4. Konsep Market Oriented: hasil pertukaran melalui mekanisme pasar adalah yang
paling adil.

Keadilan akan membawa kepada efisiensi dan pertumbuhan yang lebih besar.
Keadilan dicapai bukan saja dengan meningkatkan kedamaian dan solidaritas sosial, tetapi
juga dengan meningkatkan insentif bagi upaya dan inovasi yang lebih besar. Para Ekonom,
sebelumnya berpandangan bahwa apabila pertumbuhan dapat diakselerasi, mekanisme
trickle-down pada akhirnya akan menyelesaikan permasalahan kemiskinan dan distribusi
pendapatan. Menurut mereka, redistribusi pendapatan yang menguntungkan orang miskin
kemungkinan tidak akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dalam arti output per kapita
yang lebih besar.
Keadilan menurut Qardhawi (2001) adalah keseimbangan antara berbagai potensi
individu baik moral ataupun material, antara individu dengan komunitas (masyarakat),
antara komunitas dengan komunitas. Keadilan tidak berarti kesamaan secara mutlak karena
menyamakan antara dua hal yang berbeda seperti membedakan antara dua hal yang sama.
Kedua tindakan tersebut tidak dapat dikatakan keadilan, apalagi persamaan secara mutlak
adalah suatu hal yang mustahil karena bertentangan dengan tabiat manusia. Dengan
demikian, keadilan adalah menyamakan dua hal yang sama sesuai dengan batas-batas
persamaan dan kemiripan kondisi antar keduanya, atau membedakan antara dua hal yang
berbeda sesuai batas-batas perbedaan dan keterpautan kondisi antar keduanya.
Arti keadilan dalam ekonomi adalah persamaan dalam kesempatan dan sarana, serta
mengakui perbedaan kemampuan dalam memanfaatkan kesempatan dan sarana yang
disediakan. Oleh sebab itu, tidak boleh ada seorang pun yang tidak mendapatkan
kesempatan untuk mengembangkan kemampuan yang memungkin-kannya untuk
melaksanakan salah satu kewajibannya. Juga tidak boleh ada seorang pun yang tidak
mendapatkan sarana yang akan dipergunakan untuk mecapai kesempatan tersebut.
Dalam konsep Islam, adil adalah ”tidak mendzalimi dan tidak didzalimi (Qs: 2:
280). Bisa jadi ”sama rasa sama rata” tidak adil dalam pandangan karena tidak memberikan
insentif bagi orang yang bekerja keras. Hal tersebut dapat dilihat pada contoh trade off
antara A dan B di atas, alokasi akhir yang efisien tidak ”sama rata sama rasa”. Malah jika
dipaksakan, alokasinya tidak akan efisien karena mengabaikan kenyataan bahwa manusia

mempunyai selera yang berbeda. Dalam konsep Islam, bukan sama rata sama rasa yang
penting, bukan pula you get what you deserve, tapi yang penting adalah tidak ada yang
didzalimi dan tidak ada yang mendzalimi.
Keadilan merupakan karakteristik utama pesan Islam. Usaha membentuk
masyarakat egalitarian dan makmur tidak bisa dilepaskan dari aspek keadilan. Keadilan
memberikan sesuatu berdasarkan kebutuhan dan kontribusi. Max Webber pernah
mengatakan bahwa masyarakat yang dibangun tidak berdasarkan merit system akan menuju
kemundurannya. Prinsip akuntabilitas dan transparansi menjadi bagian tidak terpisahkan
dari keadilan karena sangat vital bagi proses evaluasi yang obyektif. Penerapan etika
keadilan secara konsisten akan menyebabkan tenaga kerja buruh dibayar sebagaimana
mestinya dan pada waktunya. Untuk mewujudkan kesejahteraan ekonomi yang berkeadilan
harus ada suatu sistem pasar yang sehat. Pasar itu sebenarnya adalah sebuah mekanisme
yang canggih, namun gampang dirusak, untuk menata kehidupan ekonomi, sehingga setiap
pribadi memberikan sumbangannya bagi keseluruhan dan juga memenuhi kebutuhannnya
sendiri dengan kebebasan penuh untuk melakukan pilihan pribadinya. Pasar yang sehat
menggalakkan keragaman, prakarsa dan kreativitas pribadi, dan upaya-upaya yang
produktif.
Pasar yang sehat sangat tergantung pada kesadaran para pesertanya, sehingga harus
ada persyaratan agar masyarakat umum menjatuhkan sanksi terhadap orang yang tidak
menghormati hak dan kebutuhan orang lain, serta mengekang secara sukarela dorongan
pribadi mereka untuk melampaui batas. Apabila tidak ada suatu budaya etika dan aturanaturan publik yang memadai, maka pasar gampang sekali dirusak. Pasar yang sehat, tidak
berfungsi dengan paham individualisme ekstrem dan kerakusan kapitalisme yang semenamena, dan juga tidak berfungsi lewat penindasan oleh hierarki dan yang tidak
mementingkan diri sama sekali, seperti dalam komunisme. Kedua faham tersebut
merupakan penyakit yang amat parah.
Sistem Kapitalisme telah memberikan kepada individu kebebasan yang luar biasa,
mengalahkan masyarakat dan kepentingan sosial, baik material maupun spiritual (Laissez
Faire Laissez Fasser ). Sebaliknya, sistem komunisme merampas dari individu segala yang

telah diberikan oleh sistem kapitalisme, sehingga individu menjadi kurus, kusut, kehilangan
motivasi dan kepribadian. Kesemuanya itu dirampas dan kemudian diberikan kepada
sesuatu yang disebut “masyarakat”, yang tercermin dalam “Negara”. Negara menjadi
gemuk dan berkuasa penuh. Padahal ia tidak lain adalah alat yang terdiri atas sejumlah
individu. Akhirnya sekelompok kecil orang menjadi gemuk dan berkuasa di atas
penderitaan orang lain, yang nota bene mayoritas dari masyarakat (Qardhawi, 2001). Oleh
karena itu, perlu dicari sebuah solusi dalam Ekonomi yang dapat merealisasikan keadilan
antara hak-hak individu dengan hak-hak kolektif suatu masyarakat. Pada saat ini, para ahli

Ekonomi menggali kembali sistem ekonomi Islam yang pernah berjaya sebelum abad
pertengahan. Ruh sistem ekonomi Islam adalah keseimbangan (pertengahan) yang adil.
Ciri khas keseimbangan ini tercermin antara individu dan masyarakat sebagaimana
ditegakkannya dalam berbagai pasangan lainnya, yaitu dunia dan akhirat, jasmani dan
ruhani, akal dan nurani, idealisme dan fakta, dan pasangan-pasangan lainnya yang
disebutkan di dalam kitab Al Qur’an. Sistem Ekonomi Islam tidak menganiaya masyarakat,
terutama masyarakat lemah, seperti yang dilakukan oleh sistem kapitalis. Juga tidak
menganiaya hak-hak kebebasan individu, seperti yang dilakukan oleh komunis, terutama
Marxisme. Akan tetapi, keseimbangan di antara keduanya, tidak menyia-nyiakan, dan tidak
berlebih-lebihan, tidak melampaui batas dan tidak pula merugikan.
Guna mencapai keseimbangan tersebut, dibutuhkan adanya lingkungan yang baik
dan sadar secara moral yang dapat membantu reformasi unsur manusia di pasar
berlandaskan sebuah keimanan. Dengan demikian akan melengkapi sistim harga di dalam
memaksimalkan efisiensi maupun keadilan pada penggunaan sumber daya manusia dan
sumber daya materi lainnya. Namun, sangat sulit, untuk mengasumsikan bahwa semua
individu akan sadar secara moral kepada masyarakat, dan keimanan saja tidak akan mampu
menghilangkan ketidakadilan sistem pasar, sehingga negara juga harus memainkan peran
komplementer.
Negara harus melakukannya dengan cara-cara yang tidak mengekang kebebasan
dan inisiatif sektor swasta berlandaskan kerangka hukum yang dipikirkan dengan baik,
bersama dengan insentif dan hukuman yang tepat, check and balance untuk memperkuat
basis moral masyarakat dan menciptakan sebuah lingkungan yang kondusif. Oleh karena
itu, telah dirasakan bahwa system ekonomi kapitalis sekuler yang membedakan antara
kesejahteraan material dengan masalah ruhaniah banyak membawa masalah dalam
distribusi kesejahteraan yang adil dan seimbang di antara masyarakat. Dengan demikian,
maka memahami model dinamika sosial ekonomi Syariah yang ditawarkan oleh Ibnu
Khaldun pada abad ke 14 menjadi relevan dalam aplikasi pembangunan pada saat ini. Perlu
disadari, kehidupan ekonomi tertanam secara mendalam pada kehidupan sosial dan tidak
bisa dipahami terpisah dari adat, moral, dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat di mana
proses ekonomi itu terjadi. Sehingga, membahas pembangunan ekonomi di Indonesia
dengan memasukkan nilai-nilai Syariah bukan suatu hal yang irrelevant.
Infak dan Maksimilisasi Kepuasan
Dalam teori ekonomi konvensional, seserang dikatakan rasional dan semakin puas jika
dengan pendapatannya yang ada, ia memaksimumkan kepuasannya dengan memilih
kombinasi barang yang terbaik sesuai dengan seleranya. Akan tetapi di dalam konsep
ekonomi Islam tidaklah demikian. Syarat utamanya adalah umat Islam benar-benar

menjalankan syari’ah Islam dengan baik dan berpedoman pada Al Qur’an dan Sunnah
Rasulullah SAW, sehingga dapat merefleksikan akhlak yang baik seperti suka menolong,
jujur, ikhlas, dan lain-lain dalam kehidupan sehari-hari baik dalam hubungannya dengan
Allah maupun yang baik dengan sesama manusia. Katakanlah jika sebagian pendapatan
yang dimiliki diberikan kepada fakir miskin, sementara pendapatan tersebut bisa digunakan
untuk membeli barang-barang konsumsi atau kebutuhan lainnya. Pertanyaannya adalah
apakah kepuasan kita akan menurun? Menurut teori ekonomi konvensional, kepuasan kita
tentu akan menurun dan kita dianggap kurang rasional.
Dalam ekonomi konvensional dikenal dua definisi rational yaitu present—aim dan
self interest. Dalam kebanyakan literatur ekonomi konvensional present—aim selalu

digunakan. Selera pribadi diabaikan dan dianggap sebagai variabel exogenous, dan para
ekonom

konvensional

menganggap

bahwa

tidak

ada

dasar

logika

untuk

mempertanyakannya. Dalam definisi present—aim, yang penting adalah bagaimana
mencapai tujuan dengan efisien tanpa mempermasalahkan tujuannya. Rationality dalam
kerangka self—interest dapat menerangkan perilaku pemberian donasi, infak sedekah, dan
tindakan menolong lainnya. Misalkan si-A yang tidak saja memikirkan pendapatnnya tetapi
juga memikirkan pendapatan si-B. Secara matematis fungsi utility si-A adalah: Uf = Ma
Mb. Dimana Mf adalah pendapatan si-A, Mz adalah Pendapatan si-B. Secara grafis
keadaan ini digambarkan dengan pendapatan si-B pada sumbu X, dan pendapata si-A pada
sumbu Y. Kurva Indifference si-A mempunyai slope negatif yang berarti ia dapat
mentolerir pendapatannya berkurang. Perhatikan pula bentuk utility function si-A yang
convex, yang menunjukkan diminishing MRS yang semakin besar pendapatan si-A,
semakin besar pula jumlah yang ingin diberikanya kepada si-B adar pendapatan si-B
bertambah banyak.
Pendapatan
si-A

A
B

IC 2
C

IC 1

0

Penutup
Sistem pendistribusian dalam sistem ekonomi kapitalis mendorong ketidakadilan dan
ketimpangan pendapatan dalam masyarakat menimbulkan konflik dan menciptakan
kemiskinan yang permanen bagi warga masyarakat. Dengan kebobrokan tersebut maka

sudah seharusnya untuk ditinggalkan dan diganti dengan sistem ekonomi islam yang
mengedepankan nilai kebebasan dalam bertindak dan berbuat dengan dilandasi oleh ajaran
agama serta nilai keadilan dalam kepemilikan. Prinsip utama dalam konsep distribusi
menurut pandangan Islam ialah peningkatan dan pembagian bagi hasil kekayaan agar
sirkulasi kekayaan dapat ditingkatkan, sehingga kekayaan yang ada dapat melimpah dengan
merata dan tidak hanya beredar di antara golongan tertentu saja.

Referensi
Al- Qur’an
Azwar Karim, Adiwarman, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: Rajawali Pers,
2004
Ahmad, Zainuddin, Al-Qur’an: Kemiskinan dan Pemerataan Pendapatan, Yogyakarta:
Dana Bhakti Prima Yasa, 1998
Anto, M.B. Hendrie, Pengantar Ekonomika Mikro Islami, Yogyakarta : Ekonisia UII, 2003.

Al-Maliki, Abdurrahman, Politik Ekonomi Islam, alih bahasa: Ibnu Sholah, Bangil : AlIzzah, 2001
Case, Karl E & Fair, Ray C, Prinsip-prinsip Ekonomi Mikro, Alih Bahasa: Barlian
Muhammad, Edisi Ketujuh, Jakarta, PT. Indeks. 2005
Gamal, Merza, Ekonomi Keseimbangan Islami, artikel di download tanggal 22 Juli 2006.
Nawab Haider Naqvi, Syed, Ethics and Economics An Islamic Synthesis, London: The
Islamic Foundation, 1981
Qardhawi, Yusuf, Norma dan Etika Ekonomi Islam, alih bahasa: Zainal Arifin, Lc dan Dra.
Dahlia Husin, Jakarta: Gema Insani Press, 2001
Samuelson, Paul A, & Nordhaus, William D, Ilmu Makro Ekonomi, alih bahasa: Gretta,
Theresa, Bosco, Anna, Jakarta, PT. Media Global Edukasi, 2004.
Sudarsono, Heri, Konsep Ekonomi Islam (Suatu Pengantar), Yogyakarta: Ekonisia UII,
2004