PENGANTAR HUBUGAN INTERNASIONAL BAB I PE (1)

PENGANTAR HUBUGAN INTERNASIONAL

BAB I
PENDAHULUAN
Hubungan International adalah salah satu cabang ilmu dari bidang Ilmu Politik. Dalam ilmu
lebih menekankan pada situasi global di negeri luar sana sehingga kita sebagai warga negara
indonesia ini dapat membandingkan sesuatu hal yang tidak dapat diatasi oleh bangsa kita
sendiri. Dalam situasi modern ini, banyak manfaat yang dapat kita raih dari cabang ilmu ini
seperti membantu stabilitas politik di negeri sahabat kita terutama karena Indonesia
merupakan negera mayoritas muslim, kita merasa seperti saudara se-agama dengan bangsa
Palestina dan Irak, maka daripada itu kita dapat membantu keterpurukan bangsa tersebut
dengan ilmu ini.
Dalam ilmu ini dijabarkan beberapa teori-teori yang berkaitan dan bersinambung dengan
disiplin ilmu lainnya seperti ekonomi, sejarah, hukum, filsafat, geografi, sosiologi,
antropologi, psikologi, studi-studi budaya dalam kajian-kajiannya. Sehinnga dapat benarbenar membantu dalam prekteknya bukan hanya dalam kajian teorinya saja. Tidak hanya saja
mencakup beberapa disiplin ilmu lainnya yang membantu pada kajian yang positif, kita juga
tidak mengelakan beberapa kejian dalam hubungan international yang bersifat evil seperti HI
mencakup rentang isu yang luas, dari globalisasi dan dampak-dampaknya terhadap
masyarakat-masyarakat dan kedaulatan negara sampai kelestrarian ekologis, proliferasi
nuklir, nasionalisme, perkembangan ekonomi, terorisme, kejahatan yang terorganisasi,
keselamatan umat manusia, dan hak-hak asasi manusia.

Di dalam makalah ini juga di lampirkan beberapa teori-teori yang di anggap sangat relevan
dan membantu juga terdapat sejarah tentang terbentuknya dasar-dasar ilmu hubungan
international.
Demikian telah kita lihat beberapa penjabaran yang secara ringkas namun padat dan jelas,
untuk lebih padat dan detailsnya dalam dilihat pada isi dari makalah ini.
TUJUAN
1. Mengetahui sejahah bagaimana disiplin ilmu hubungan international untuk pertama
kalinya lahir dan kelanjutannya pada dunia masa kini.
2. Mengetahui apakah arti dari “Hubungan International” secara ilmu pengetahuannya,
teori, realitasnya.
3. Mengetahui Studi Bidang HI.
4. Mengetahui beberapa teori dari para tokoh-tokoh terkenal dunia.
MASALAH
1. Apakah disiplin ilmu hubungan international itu merupakan salah satu dari ilmu
pengetahuan?
2. Apakah teori-teori yang tercantum dalam hubungan international relevan dari
prakteknya?
3. Apakah kandungan isi dari ilmu hubungan international mengalami bentrok dengan
beberapa disiplin ilmu lainnya karena ilmu ini bersifat subsitioner?


BAB II
ANALISIS
1. Dasar teori
Hubungan Internasional, cabang dari ilmu politik, adalah studi tentang persoalan-persoalan
luar negeri dan isu-isu global di antara negara-negara dalam sistem internasional, termasuk
peran negara-negara, organisasi-organisasi antarpemerintah, organisasi-organisasi
nonpemerintah atau lembaga swa daya masyarakat, dan perusahaan-perusahaan
multinasional. Hubungan Internasional adalah suatu bidang akademis dan kebijakan publik
dan dapat bersifat positif atau normatif karena Hubungan Internasional berusaha menganalisis
serta merumuskan kebijakan luar negeri negara-negara tertentu.
Selain ilmu politik, Hubungan Internasional menggunakan perbagai bidang ilmu seperti
ekonomi, sejarah, hukum, filsafat, geografi, sosiologi, antropologi, psikologi, studi-studi
budaya dalam kajian-kajiannya. HI mencakup rentang isu yang luas, dari globalisasi dan
dampak-dampaknya terhadap masyarakat-masyarakat dan kedaulatan negara sampai
kelestrarian ekologis, proliferasi nuklir, nasionalisme, perkembangan ekonomi, terorisme,
kejahatan yang terorganisasi, keselamatan umat manusia, dan hak-hak asasi manusia.
2. Sejarah Hubungan Internasional
Sistem Internasional Sejarah hubungan internasional sering dianggap berawal dari
Perdamaian Westphalia pada 1648, ketika sistem negara modern dikembangkan.
Sebelumnya, organisasi-organisasi otoritas politik abad pertengahan Eropa didasarkan pada

tatanan hirarkis yang tidak jelas. Westphalia membentuk konsep legal tentang kedaulatan,
yang pada dasarnya berarti bahwa para penguasa, atau kedaulatan-kedaulatan yang sah tidak
akan mengakui pihak-pihak lain yang memiliki kedudukan yang sama secara internal dalam
batas-batas kedaulatan wilayah yang sama. Otoritas Yunani dan Roma kuno kadang-kadang
mirip dengan sistem Westphalia, tetapi keduanya tidak memiliki gagasan kedaulatan yang
memadai.
Westphalia mendukung bangkitnya negara-bangsa (nation-state), institusionalisasi terhadap
diplomasi dan tentara. Sistem yang berasal dari Eropa ini diekspor ke Amerika, Afrika, dan
Asia, lewat kolonialisme, dan “standar-standar peradaban”. Sistem internasional kontemporer
akhirnya dibentuk lewat dekolonisasi selama Perang Dingin. Namun, sistem ini agak terlalu
disederhanakan. Sementara sistem negara-bangsa dianggap “modern”, banyak negara tidak
masuk ke dalam sistem tersebut dan disebut sebagai “pra-modern”. Lebih lanjut, beberapa
telah melampaui sistem negara-bangsa dan dapat dianggap “pasca-modern”. Kemampuan
wacana HI untuk menjelaskan hubungan-hubungan di antara jenis-jenis negara yang berbeda
ini diperselisihkan. “Level-level analisis” adalah cara untuk mengamati sistem internasional,
yang mencakup level individual, negara-bangsa domestik sebagai suatu unik, level
internasional yang terdiri atas persoalan-persoalan transnasional dan internasional level
global.
3. Teori hubungan internasional Artikel utama: Teori hubungan internasional
Apa yang secara eksplisit diakui sebagai teori hubungan internasional tidak dikembangkan

sampai setelah Perang Dunia I, dan dibahas secara lebih rinci di bawah ini. Namun, teori HI

memiliki tradisi panjang menggunakan karya ilmu-ilmu sosial lainnya. Penggunaan huruf
besar “H” dan “I” dalam Hubungan Internasional bertujuan untuk membedakan disiplin
Hubungan Internasional dari fenomena hubungan internasional. Banyak orang yang mengutip
Sejarah Perang Peloponnesia karya Thucydides sebagai inspirasi bagi teori realis, dengan
Leviathan karya Hobbes dan The Prince karya Machiavelli memberikan pengembangan lebih
lanjut. Demikian juga, liberalisme menggunakan karya Kant dan Rousseau, dengan karya
Kant sering dikutip sebagai pengembangan pertama dari Teori Perdamaian Demokratis.
Meskipun hak-hak asasi manusia kontemporer secara signifikan berbeda dengan jenis hakhak yang didambakan dalam hukum alam, Francisco de Vitoria, Hugo Grotius, dan John
Locke memberikan pernyataan-pernyataan pertama tentang hak untuk mendapatkan hak-hak
tertentu berdasarkan kemanusiaan secara umum. Pada abad ke-20, selain teori-teori
kontemporer intenasionalisme liberal, Marxisme merupakan landasan hubungan
internasional.
4. Studi HI
Pada mulanya, hubungan internasional sebagai bidang studi yang tersendiri hampir secara
keseluruhan berkiblat ke Inggris. Pada 1919, Dewan Politik internasional dibentuk di
University of Wales, Aberystwyth, lewat dukungan yang diberikan oleh David Davies,
menjadi posisi akademis pertama yang didedikasikan untuk HI. Pada awal 1920-an, jurusan
Hubungan Internasional dari London School of Economics didirikan atas perintah seorang

pemenang Hadiah Nobel Perdamaian Phillip Noel-Baker. Pada 1927, Graduate Institute of
International Studies (Institut universitaire de hautes Ã(c)tudes internationales), didirikan di
Jenewa, Swiss; institut ini berusaha menghasilkan sekelompok personel khusus untuk Liga
Bangsa-bangsa. Program HI tertua di Amerika Serikat ada di Edmund A. Walsh School of
Foreign Service yang merupakan bagian dari Georgetown Unversity. Sekolah tinggi pertama
jurusan hubungan internasional yang menghasilkan lulusan bergelar sarjana adalah Fletcher
Schooldi Tufts. Meskipun pelbagai sekolah tinggi yang didedikasikan untuk studi HI telah
didirikan di Asia dan Amerika Selatan, HI sebagai suatu bidang ilmu tetap terutama berpusat
di Eropa dan Amerika Utara.
5. Teori Epistemologi and teori HI
Teori-teori Utama Hubungan Internasional Realisme, Neorealisme, Idealisme, Liberalisme,
Neoliberalisme, Marxisme, Teori dependensi, Teori kritis, Konstruksivisme, Fungsionalisme,
Neofungsiionalisme. Secara garis besar teori-teori HI dapat dibagi menjadi dua pandangan
epistemologis “positivis” dan “pasca-positivis”. Teori-teori positivis bertujuan mereplikasi
metode-metode ilmu-ilmu sosial dengan menganalisis dampak kekuatan-kekuatan material.
Teori-teori ini biasanya berfokus berbagai aspek seperti interaksi negara-negara, ukuran
kekuatan-kekuatan militer, keseimbangan kekuasaaan dan lain-lain. Epistemologi pascapositivis menolak ide bahwa dunia sosial dapat dipelajari dengan cara yang objektif dan
bebas-nilai. Epistemologi ini menolak ide-ide sentral tentang neo-realisme/liberalisme,
seperti teori pilihan rasional, dengan alasan bahwa metode ilmiah tidak dapat diterapkan ke
dalam dunia sosial dan bahwa suatu “ilmu” HI adalah tidak mungkin.

Perbedaan kunci antara kedua pandangan tersebut adalah bahwa sementara teori-teori
positivis, seperti neo-realisme, menawarkan berbagai penjelasan yang bersifat sebab-akibat
(seperti mengapa dan bagaimana kekuasaan diterapkan), teori pasca-positivis pasca-positivis
berfokus pada pertanyaan-pertanyaan konstitutif, sebagai contoh apa yang dimaksudkan
dengan “kekuasaan”; hal-hal apa sajakah yang membentuknya, bagaimana kekuasaan dialami

dan bagaimana kekuasaan direproduksi. Teori-teori pasca-positivs secara eksplisit sering
mempromosikan pendekatan normatif terhadap HI, dengan mempertimbangkan etika. Hal ini
merupakan sesuatu yang sering diabaikan dalam HI “tradisional” karena teori-teori positivis
membuat perbedaan antara “fakta-fakta” dan penilaian-penilaian normatif, atau “nilai-nilai”.
Selama periode akhir 1980-an/1990 perdebatan antara para pendukung teori-teori positivis
dan para pendukung teori-teori pasca-positivis menjadi perdebatan yang dominan dan disebut
sebagai “Perdebatan Terbesar” Ketiga (Lapid 1989).
Teori-teori Positivis Liberalisme/idealisme/Internasionalisme Liberal Teori hubungan
internasional liberal muncul setelah Perang Dunia I untuk menanggapi ketidakmampuan
negara-negara untuk mengontrol dan membatasi perang dalam hubungan internasional
mereka. Pendukung-pendukung awal teori ini termasuk Woodrow Wilson dan Normal
Angell, yang berargumen dengan berbagai cara bahwa negara-negara mendapatkan
keuntungan dari satu sama lain lewat kerjasama dan bahwa perang terlalu destruktif untuk
bisa dikatakan sebagai pada dasarnya sia-sia. Liberalisme tidak diakui sebagai teori yang

terpadu sampai paham tersebut secara kolektif dan mengejek disebut sebagai idealisme oleh
E.H. Carr. Sebuah versi baru “idealisme”, yang berpusat pada hak-hak asasi manusia sebagai
dasar legitimasi hukum internasional, dikemukakan oleh Hans Kóchler
Realisme Realisme, sebagai tanggapan terhadap liberalisme, pada intinya menyangkal bahwa
negara-negara berusaha untuk bekerja sama. Para realis awal seperti E.H. Carr, Daniel
Bernhard, dan Hans Morgenthau berargumen bahwa, untuk maksud meningkatkan keamanan
mereka, negara-negara adalah aktor-aktor rasional yang berusaha mencari kekuasaan dan
tertarik kepada kepentingan diri sendiri (self-interested). Setiap kerja sama antara negara-nge
dijelaskan sebagai benar-benar insidental. Para realis melihat Perang Dunia II sebagai
pembuktian terhadap teori mereka. Perlu diperhatikan bahwa para penulis klasik seperti
Thucydides, Machiavelli, dan Hobbes sering disebut-sebut sebagai “bapak-bapak pendiri”
realisme oleh orang-orang yang menyebut diri mereka sendiri sebagai realis kontemporer.
Namun, meskipun karya mereka dapat mendukung doktrin realis, ketiga orang tersebut
tampaknya tidak mungkin menggolongkan diri mereka sendiri sebagai realis (dalam
pengertian yang dipakai di sini untuk istilah tersebut).
Neorealisme terutama merupakan karya Kenneh Waltz (yang sebenarnya menyebut teorinya
“realisme struktural”). Sambil tetap mempertahankan pengamatan-pengamatan empiris
realisme, bahwa hubungan internasional dikarakterka oleh hubungan-hubungan antarnegara
yang antagonistik, para pendukung neorealisme menunjuk struktur anarkis dalam sistem
internasional sebagai penyebabnya. Mereka menolak berbagai penjelasan yang

mempertimbangkan pengaruh karakteristik-karakteristik dalam negeri negara-negara.
Negara-negara dipaksa oleh pencapaian yang relatif (relative gains) dan keseimbangan yang
menghambat konsentrasi kekuasaan. Tidak seperti realisme, neo-realisme berusaha ilmiah
dan lebih positivis. Hal lain yang juga membedakan neo-realisme dari realisme adalah bahwa
neo-realisme tidak menyetujui penekanan realisme pada penjelasan yang bersifat perilaku
dalam hubungan internasional. Neoliberalisme berusaha memperbarui liberalisme dengan
menyetujui asumsi neorealis bahwa negara-negara adalah aktor-aktor kunci dalam hubungan
internasional, tetapi tetap mempertahankan pendapat bahwa aktor-aktor bukan negara dan
organisasi-organisasi antarpemerintah adalah juga penting. Para pendukung seperti Joseph
Nye berargumen bahwa negara-negara akan bekerja sama terlepas dari pencapaianpencapaian relatif, dan dengan demikian menaruh perhatian pada pencapaian-pencapaian
mutlak. Meningkatnya interdependensi selama Perang Dingin lewat institusi-institusi
internasional berarti bahwa neo-liberalisme juga disebut institusionalisme liberal. Hal ini juga

berarti bahwa pada dasarnya bangsa-bangsa bebas membuat pilihan-pilihan mereka sendiri
tentang bagaimana mereka akan menerapkan kebijakan tanpa organisasi-organisasi
internasional yang merintangi hak suatu bangsa atas kedaulatan. Neoliberalimse juga
mengandung suatu teori ekonomi yang didasarkan pada penggunaan pasar-pasar yang terbuka
dan bebas dengan hanya sedikit, jika memang ada, intervensi pemerintah untuk mencegah
terbentuknya monopoli dan bentuk-bentuk konglomerasi yang lain.
6. Teori masyarakat internasional (Aliran pemikiran Inggris)

Teori masyarakat internasional, juga disebut Aliran Pemikiran Inggris, berfokus pada
berbagai norma dan nilai yang sama-sama dimiliki oleh negara-negara dan bagaimana normanorma dan nilai-nlai tersebut mengatur hubungan internasional. Contoh norma-norma seperti
itu mencakup diplomasi, tatanan, hukum internasional. Tidak seperti neo-realisme, teori ini
tidak selalu positivis. Para teoritisi telah berfokus terutama pada intervensi humanitarian, dan
dibagi kembali antara para solidaris yang cenderung lebih menyokong hal tersebut, dan para
solidaris, yang lebih menekankan tatanan dan kedaulatan, Nicholas Wheeler adalah seorang
solidaris terkemuka, sementara Hedley Bull mungkin merupakan pluraris yang paling
dikenal.
Kontrukstivisme Sosial mencakup rentang luas teori yang bertujuan menangani berbagai
pertanyaan tentang ontologi, seperti perdebatan tentang lembaga (agency) dan Struktur, serta
pertanyaan-pertanyaan tentang epistemologi, seperti perdebatan tentang “materi/ide” yang
menaruh perhatian terhadap peranan relatif kekuatan-kekuatan materi versus ide-ide.
Konstruktivisme bukan merupakan teori HI, sebagai contoh dalam hal neo-realisme, tetapi
sebaliknya merupakan teori sosial. Konstruktivisme dalam HI dapat dibagi menjadi apa yang
disebut oleh Hopf (1998) sebagai konstruktivisme “konvensional” dan “kritis”. Hal yang
terdapat dalam semua variasi konstruktivisme adalah minat terhadap peran yang dimiliki oleh
kekuatan-kekuatan ide. Pakar konstruktivisme yang paling terkenal, Alexander Wendt
menulis pada 1992 tentang Organisasi Internasional (kemudian diikuti oleh suatu buku,
Social Theory of International Politics [1999]), “anarki adalah hal yang diciptakan oleh
negara-negara dari hal tersebut”. Yang dimaksudkannya adalah bahwa struktur anarkis yang

diklaim oleh para pendukung neo-realis sebagai mengatur interaksi negara pada
kenyataannya merupakan fenomena yang secara sosial dikonstruksi dan direproduksi oleh
negara-negara. Sebagai contoh, jika sistem internasional didominasi oleh negara-negara yang
melihat anarki sebagai situasi hidup dan mati (diistilahkan oleh Wendt sebagai anarki
“Hobbesian”) maka sistem tersebut akan dikarakterkan dengan peperangan. Jika pada pihak
lain anarki dilihat sebagai dibatasi (anarki “Lockean”) maka sistem yang lebih damai akan
eksis. Anarki menurut pandangan ini dibentuk oleh interaksi negara, bukan diterima sebagai
aspek yang alami dan tidak mudah berubah dalam kehidupan internasional seperti menurut
pendapat para pakar HI non-realis, Namun, banyak kritikus yang muncul dari kedua sisi
pembagian epistemologis tersebut. Para pendukung pasca-positivis mengatakan bahwa fokus
terhadap negara dengan mengorbankan etnisitas/ras/jender menjadikan konstrukstivisme
sosial sebagai teori positivis yang lain. Penggunaan teori pilihan rasional secara implisit oleh
Wendt juga telah menimbulkan pelbagai kritik dari para pakar seperti Steven Smith. Para
pakar positivis (neo-liberalisme/realisme) berpendapat bahwa teori tersebut
mengenyampingkan terlalu banyak asumsi positivis untuk dapat dianggap sebagai teori
positivis.
7. Teori Kritis
Artikel utama: Teori hubungan internasional kritis

Teori hubungan internasional kritis adalah penerapan “teori kritis” dalam hubungan

internasional. Pada pendukung seperti Andrew Linklater, Robert W. Cox, dan Ken Booth
berfokus pada kebutuhan terhadap emansipansi (kebebasan) manusia dari Negara-negara.
Dengan demikian, adalah teori ini bersfat “kritis” terhadap teori-teori HI “mainstream” yang
cenderung berpusat pada negara (state-centric). Catatan: Daftar teori ini sama sekali tidak
menyebutkan seluruh teori HI yang ada. Masih ada teori-teori lain misalnya fungsionalisme,
neofungsionalisme, feminisme, dan teori dependen.
Teori Marxis dan teori Neo-Marxis dalam HI menolak pandangan realis/liberal tentang
konflik atau kerja sama negara, tetapi sebaliknya berfokus pada aspek ekonomi dan materi.
Marxisme membuat asumsi bahwa ekonomi lebih penting daripada persoalan-persoalan yang
lain; sehingga memungkinkan bagi peningkatan kelas sebagai fokus studi. Para pendukung
Marxis memandang sistem internasional sebagai sistem kapitalis terintegrasi yang mengejar
akumulasi modal (kapital). Dengan demikian, periode kolonialisme membawa masuk
pelbagai sumber daya untuk bahan-bahan mentah dan pasar-pasar yang pasti (captive
markets) untuk ekspor, sementara dekolonisasi membawa masuk pelbagai kesempatan baru
dalam bentuk dependensi (ketergantungan). Berkaitan dengan teori-teori Marx adalah teori
dependensi yang berargumen bahwa negara-negara maju, dalam usaha mereka untuk
mencapai kekuasaan, menembus negara-negara berkembang lewat penasihat politik,
misionaris, pakar, dan perusahaan multinasional untuk mengintegrasikan negara-negara
berkembang tersebut ke dalam sistem kapitalis terintegrasi untuk mendapatkan sumbersumber daya alam dan meningkatkan dependensi negara-negara berkembang terhadap
negara-negara maju. Teori-teori Marxis kurang mendapatkan perhatian di Amerika Serikat di
mana tidak ada partai sosialis yang signifikan. Teori-teori ini lebih lazim di pelbagai bagian
Eropa dan merupakan salah satu kontribusi teoritis yang paling penting bagi dunia akademis
Amerika Latin, sebagai contoh lewat teologi.
Teori-teori pascastrukturalis dalam HI berkembang pada 1980-an dari studi-studi
pascamodernis dalam ilmu politik. Pasca-strukturalisme mengeksplorasi dekonstruksi
konsep-konsep yang secara tradisional tidak problematis dalam HI, seperti “kekuasaan” dan
“agensi” dan meneliti bagaimana pengkonstruksian konsep-konsep ini membentuk hubunganhubungan internasional. Penelitian terhadap “narasi” memainkan peran yang penting dalam
analisis pascastrukturalis, sebagai contoh studi pascastrukturalis feminis telah meneliti peran
yang dimainkan oleh “kaum wanita” dalam masyarakat global dan bagaimana kaum wanita
dikonstruksi dalam perang sebagai “tanpa dosa” (innocent) dan “warga sipil”. Contoh-contoh
riset pasca-positivis mencakup: Pelbagai bentuk feminisme (perang “gender” war
—“gendering” war) Pascakolonialisme (tantangan-tantangan dari sentrisme Eropad dalam
HI)
8. Konsep-konsep dalam hubungan internasional
Konsep-konsep level sistemik Hubungan internasional sering dipandang dari pelbagai level
analisis, konsep-konsep level sistemik adalah konsep-konsep luas yang mendefinisikan dan
membentuk lingkungan (milieu) internasional, yang dikarakterkan oleh Anarki.
Kekuasaan
Konsep Kekuasaan dalam hubungan internasional dapat dideskripsikan sebagai tingkat
sumber daya, kapabilitas, dan pengaruh dalam persoalan-persoalan internasional. Kekuasaan
sering dibagi menjadi konsep-konsep kekuasaan yang keras (hard power) dan kekuasaan

yang lunak (soft power), kekuasaan yang keras terutama berkaitan dengan kekuasaan yang
bersifat memaksa, seperti penggunaan kekuatan, dan kekuasaan yang lunak biasanya
mencakup ekonomi, diplomasi, dan pengaruh budaya. Namun, tidak ada garis pembagi yang
jelas di antara dua bentuk kekuasaan tersebut.
Polaritas
Polaritas dalam Hubungan Internasional merujuk pada penyusunan kekuasaan dalam sistem
internasional. Konsep tersebut muncul dari bipolaritas selama Perang Dingin, dengan sistem
internasional didominasi oleh konflik antara dua negara adikuasa dan telah diterapkan
sebelumnya. Sebagai akibatnya, sistem internasional sebelum 1945 dapat dideskripsikan
sebagai terdiri dari banyak kutub (multi-polar), dengan kekuasaan dibagi-bagi antara negaranegara besar. Runtuhnya Uni Soviet pada 1991 telah menyebabkan apa yang disebut oleh
sebagian orang sebagai unipolaritas, dengan AS sebagai satu-satunya negara adikuasa.
Beberapa teori hubungan internasional menggunakan ide polaritas tersebut. Keseimbangan
kekuasaan adalah konsep yang berkembang luas di Eropa sebelum Perang Dunia Pertama,
pemikirannya adalah bahwa dengan menyeimbangkan blok-blok kekuasaan hal tersebut akan
menciptakan stabilitas dan mencegah perang dunia. Teori-teori keseimbangan kekuasaan
kembali mengemuka selama Perang Dingin, sebagai mekanisme sentral dalam Neorealisme
Kenneth Waltz. Di sini konsep-konsep menyeimbangkan (meningkatkan kekuasaan untuk
menandingi kekuasaan yang lain) dan bandwagoning (berpihak dengan kekuasaan yang lain)
dikembangkan. Teori stabilitas hegemonik juga menggunakan ide Polaritas, khususnya
keadaan unipolaritas. Hegemoni adalah terkonsentrasikannya sebagian besar kekuasaan yang
ada di satu kutub dalam sistem internasional, dan teori tersebut berargumen bahwa hegemoni
adalah konfigurasi yang stabil karena adanya keuntungan yang diperoleh negara adikuasa
yang dominan dan negara-negara yang lain dari satu sama lain dalam sistem internasional.
Hal ini bertentangan dengan banyak argumen Neorealis, khususnya yang dikemukakan oleh
Kenneth Waltz, yang menyatakan bahwa berakhirnya Perang Dingin dan keadaan
unipolaritas adalah konfigurasi yang tidak stabil yang secara tidak terelakkan akan berubah.
Hal ini dapat diungkapkan dalam teori peralihan Kekuasaan, yang menyatakan bahwa
mungkin suatu negara besar akan menantang suatu negara yang memiliki hegemoni
(hegemon) setelah periode tertentu, sehingga mengakibatkan perang besar. Teori tersebut
mengemukakan bahwa meskipun hegemoni dapat mengontrol terjadinya pelbagai perang, hal
tersebut menyebabkan terjadinya perang yang lain. Pendukung utama teori tersebut, A.F.K.
Organski, mengemukakan argumen ini berdasarkan terjadinya perang-perang sebelumnya
selama hegemoni Inggris. Portugis, dan Belanda. Interdependensi Banyak orang yang
menyokong bahwa sistem internasional sekarang ini dikarakterkan oleh meningkatnya
interdepedensi atau kesalingbergantungan: tanggung jawab terhadap satu sama lain dan
dependensi terhadap pihak-pihak lain. Para penyokong pendapat ini menunjuk pada
meningkatnya globalisasi, terutama dalam hal interaksi ekonomi internasional. Peran
institusi-institusi internasional, dan penerimaan yang berkembang luas terhadap sejumlah
prinsip operasional dalam sistem internasional, memperkukuh ide-ide bahwa hubunganhubungan dikarakterkan oleh interdependensi.
Dependensi
Teori dependensi adalah teori yang paling lazim dikaitkan dengan Marxisme, yang
menyatakan bahwa seperangkat negara Inti mengeksploitasi kekayaan sekelompok negara
Pinggiran yang lebih lemah. Pelbagai versi teori ini mengemukakan bahwa hal ini merupakan

keadaan yang tidak terelakkan (teori dependensi standar), atau menggunakan teori tersebut
untuk menekankan keharusan untuk berubah (Neo-Marxisme).
9. Perangkat-perangkat sistemik dalam hubungan internasional
Diplomasi adalah praktik komunikasi dan negosiasi antara pelbagai perwakilan negaranegara. Pada suatu tingkat, semua perangkat hubungan internasional yang lain dapat
dianggap sebagai kegagalan diplomasi. Pemberian sanksi biasanya merupakan tindakan
pertama yang diambil setelah gagalnya diplomasi dan merupakan salah satu perangkat utama
yang digunakan untuk menegakkan pelbagai pernjanjian (treaties). Sanksi dapat berbentuk
sanksi diplomatik atau ekonomi dan pemutusan hubungan dan penerapan batasan-batasan
terhadap komunikasi atau perdagangan. Perang, penggunaan kekuatan, sering dianggap
sebagai perangkat utama dalam hubungan internasional. Definisi perang yang diterima secara
luas adalah yang diberikan oleh Clausewitz, yaitu bahwa perang adalah “kelanjutan politik
dengan cara yang lain.” Terdapat peningkatan studi tentang “perang-perang baru” yang
melibatkan aktor-aktor selain negara. Studi tentang perang dalam Hubungan Internasional
tercakup dalam disiplin “Studi Perang” dan “Studi Strategis”.
Mobilisasi tindakan memperlakukan secara internasional juga dapat dianggap sebagai alat
dalam Hubungan Internasional. Hal ini adalah untuk mengubah tindakan negara-negara lewat
“menyebut dan mempermalukan” pada level internasional. Penggunaan yang terkemuka
dalam hal ini adalah prosedur Komisi PBB untuk Hak-hak Asasi Manusia 1235, yang secara
publik memaparkan negara-negara yang melakukan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
10. Konsep-konsep unit level dalam hubungan internasional
Sebagai suatu level analisis level unit sering dirujuk sebagai level negara, karena level
analisis ini menempatkan penjelasannya pada level negara, bukan sistem internasional.
Tipe rezim
Sering dianggap bahwa suatu tipe rezim negara dapat menentukan cara suatu negara
berinteraksi dengan negara-negara lain dalam sistem internasional. Teori Perdamaian
Demokratis adalah teori yang mengemukakan bahwa hakikat demokrasi berarti bahwa
negara-negara demokratis tidak akan saling berperang. Justifikasi terhadap hal ini adalah
bahwa negara-negara demokrasi mengeksternalkan norma-norma mereka dan hanya
berperang dengan alasan-alasan yang benar, dan bahwa demokrasi mendorong kepercayaan
dan penghargaan terhadap satu sama lain. Sementara itu, komunisme menjustifikasikan suatu
revolusi dunia, yang juga akan menimbulkan koeksitensi (hidup berdampingan) secara damai,
berdasarkan masyarakat global yang proletar. Revisionisme/Status quo. Negara-negara dapat
diklasifikasikan menurut apakah mereka menerima status quo, atau merupakan revisionis,
yaitu menginginkan perubahan. Negara-negara revisionis berusaha untuk secara mendasar
mengubah pelbagai aturan dan praktik dalam hubungan internasional, merasa dirugikan oleh
status quo (keadaan yang ada). Mereka melihat sistem internasional sebagai untuk sebagian
besar merupakan ciptaan barat yang berfungsi mengukuhkan pelbagai realitas yang ada.
Jepang adalah contoh negara yang beralih dari negara revisionis menjadi negara yang puas
dengan status quo, karena status quo tersebut kini menguntungkan baginya.
Agama

Sering dianggap bahwa agama dapat memiliki pengaruh terhadap cara negara bertindak
dalam sistem internasional. Agama terlihat sebagai prinsip pengorganisasi terutama bagi
negara-negara Islam, sementara sekularisme terletak yang ujung lainnya dari spektrum
dengan pemisahan antara negara dan agama bertanggung jawab atas tradisi Liberal.
11. Konsep level sub unit atau individu
Level di bawah level unit (negara) dapat bermanfaat untuk menjelaskan pelbagai faktor
dalam Hubungan Internasional yang gagal dijelaskan oleh teori-teori yang lain, dan untuk
beranjak menjauhi pandangan yang berpusat pada negara (negara-sentris) dalam hubungan
internasional.
Faktor-faktor psikologis dalam Hubungan Internasional Mengevaluasi faktor-faktor
psikologis dalam hubungan internasional berasal dari pemahaman bahwa negara bukan
merupakan “kotak hitam” seperti yang dikemukakan oleh Realisnme bahwa terdapat
pengaruh-pengaruh lain terhadap keputusan-keputusan kebijakan luar negeri. Meneliti peran
pelbagai kepribadian dalam proses pembuatan keputusan dapat memiliki suatu daya penjelas,
seperti halnya peran mispersepsi di antara pelbagai aktor. Contoh yang menonjol dalam
faktor-faktor level sub-unit dalam hubungan internasional adalah konsep pemikirankelompok (Groupthink), aplikasi lain yang menonjol adalah kecenderungan para pembuat
kebijakan untuk berpikir berkaitan dengan pelbagai analogi-analogi
Politik birokrat – Mengamati peran birokrasi dalam pembuatan keputusan, dan menganggap
keputusan-keputusan sebagai hasil pertarungan internal birokratis (bureaucratic in-fighting),
dan sebagai dibentuk oleh pelbagai kendala. Kelompok-kelompok keagamaan, etnis, dan
yang menarik diri — Mengamati aspek-aspek ini dalam level sub-unit memiliki daya penjelas
berkaitan dengan konflik-konflik etnis, perang-perang keagamaan, dan aktor-aktor lain yang
tidak menganggap diri mereka cocok dengan batas-batas negara yang pasti. Hal ini terutama
bermanfaat dalam konteks dunia negara-negara lemah pra-modern. Ilmu, Teknologi, dan
Hubungan Internasional—Bagaimana ilmu dan teknologi berdampak pada perkembangan,
teknologi, lingkungan, bisnis, dan kesehatan dunia.
12. Institusi-institusi dalam hubungan internasional
Institusi-institusi internasional adalah bagian yang sangat penting dalam Hubungan
Internasional kontemporer. Banyak interaksi pada level sistem diatur oleh institusi-institusi
tersebut dan mereka melarang beberapa praktik dan institusi tradisional dalam Hubungan
Internasional, seperti penggunaan perang (kecuali dalam rangka pembelaan diri).
Ketika umat manusia memasuki tahap peradaban global, beberapa ilmuwan dan teoritisi
politik melihat hirarki institusi-institusi global yang menggantikan sistem negara-bangsa
berdaulat yang ada sebagai komunitas politik yang utama. Mereka berargumen bahwa
bangsa-bangsa adalah komunitas imajiner yang tidak dapat mengatasi pelbagai tantangan
modern seperti efek Dogville (orang-orang asing dalam suatu komunitas homogen), status
legal dan politik dari pengungsi dan orang-orang yang tidak memiliki kewarganegaraan, dan
keharusan untuk menghadapi pelbagai masalah dunia seperti perubahan iklim dan pandemik.
Pakar masa depan Paul Raskin telah membuat hipotesis bahwa bentuk politik Global yang
baru dan lebih absah dapat didasarkan pada pluralisme yang dibatasi (connstrained
pluralism). Prinsip ini menuntun pembentukan institusi-institusi berdasarkan tiga
karakteristik: ireduksibilitas (irreducibility), di mana beberapa isu harus diputuskan pada
level global; subsidiaritas, yang membatasi cakupan otoritas global pada isu-isu yang benar-

benar bersifat global sementara isu-isu pada skala yang lebih kecil diatur pada level-level
yang lebih rendah; dan heterogenitas, yang memungkinkan pelbagai bentuk institusi lokal dan
global yang berbeda sepanjang institusi-institusi tersebut memenuhi kewajiban-kewajiban
global.
BAB III
KESIMPULAN
Kesimpulan yang saya tarik pada kali ini adalah :
1. Bahwa ilmu hubungan international adalah suatu ilmu yang tidak dapat berdiri sendiri
melainkan membutuhkan beberapa disiplin ilmu lainnya sebagai pelengkap dan
penunjang.
2. Permasalahan dalam ilmu hubungan international adalah ketidakrelevannya suatu
teori dengan prakteknya itu sendiri.
3. Dunia sangat butuh ilmu ini karena sebagai perekat antara suatu negara atau bangsa
dengan negara atau bangsa lainnya.