Hak Asasi Pemberian Remisi dan Terpidana

PEMBERIAN REMISI BAGI TERPIDANA KORUPSI

Oleh:
Patty Regina
Rafli Fadilah Achmad
Valeryan Natasha

Universitas Indonesia
Depok
April 2015

LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS
Kami yang bertandatangan di bawah ini :
Nama : Patty Regina

Nama : Rafli Fadilah

NPM : 1106056075

NPM : 1206246313


Program Studi : Ilmu Hukum

Program Studi: Ilmu Hukum

Nama :

Valeryan Natasha

NPM :

1206251471

Program Studi: Ilmu Hukum
Menyatakan bahwa artikel imiah yang berjudul :
PEMBERIAN REMISI BAGI TERPIDANA KORUPSI
Benar-benar merupakan hasil karya pribadi dan seluruh sumber yang dikutip
maupun dirujuk telah kami nyatakan dengan benar. Demikian pernyataan ini kami
buat dengan sebenarnya, tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Apabila di
kemudian hari terbukti terdapat pelanggaran di dalamnya, kami siap untuk
didiskualifikasi dari kompetisi ini sebagai bentuk tanggung jawab kami.

Depok, 12 Mei 2015

(Patty Regina)

(Rafli Fadilah Achmad)
DAFTAR

ISI

(Valeryan Natasha)

Lembar Orisinalitas..................................................................................................2
Daftar Isi ....................................................................................................................3

I. PENDAHULUAN
I.1Pendahuluan.............................................................................................4

II. PEMBAHASAN
II.1Pembahasan............................................................................................4
II.2 Pandangan Pro Pemberian Remisi Bagi Terpidana Korupsi................. ....5

II.2.A Remisi adalah Hak Dasar bagi Setiap Narapidana...... ..............5
II.2.B Pemberian Remisi bagi Terpidana Korupsi sesuai dengan
Tujuan Pemidanaan...........................................................6
II.2.C Peniadaan Hak untuk Mendapatkan Remisi bagi Terpidana
Korupsi adalah Suatu Ketidakadilan..................................8
II.3 Pandangan Kontra Pemberian Remisi Bagi Terpidana Korupsi..............9
II.3.A Tindak Pidana Korupsi adalah Kejahatan Luar Biasa yang
harus ditindak secara Luar Biasa....................................9
II.3.B

Pemberian Remsi bagi Terpidana Korupsi bertentangan
dengan Tujuan Pemidanaan................................................12

II.3.C Mekanisme Alokasi Dana Desa (Solusi).............................11

III. PENUTUP

DAFTAR PUSTAKA

I. PENDAHULUAN


Pemberian remisi bagi terpidana korupsi kembali hangat diperbincangkan
setelah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), Yasonna Laoly,
mengeluarkan wacana untuk merevisi Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 2012
tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1999 tentang
Syarat dan Tata Cara Pelaksana Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. 1 Revisi yang
hendak dilakukan Menkumham sifatnya melonggarkan kembali mekanisme
pemberian remisi bagi terpidana korupsi, yang coba diperketat oleh Peraturan
Pemerintah No. 99 Tahun 2012. Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan besar
di masyarakat, terutama terkait dengan salah satu semangat kabinet yang dibawa
Presiden Joko Widodo, yaitu nawacita yang disuarakan ketika masa kampanyenya
tentang keinginan melawan korupsi bahkan sampai ke akar-akarnya. Ternyata
konkritisasinya oleh Menkumham adalah wacana pelonggaran pemberian remisi
kepada koruptor. Terlebih lagi, sebenarnya korupsi yang telah membudaya
merupakan musuh seluruh rakyat Indonesia yang harus dihukum dengan cara
yang paling berat pula.
Alasan Menkumham mengenai revisi ini adalah terkait hak koruptor yang
seharusnya tidak dibedakan dengan terpidana lainnya, selain itu pandangan
Menkumham dimana para koruptor telah dihukum dengan pidana yang lebih berat
dibanding tindak pidana umum, sehingga pengetatan pemberian remisi

dipandangan sebagai penghukuman dua kali kepada para koruptor. Pro dan kontra
inilah yang kemudian menyebabkan pemberian remisi bagi terpidana korupsi
menjadi diskurus hangat di Indonesia dewasa ini. Hal inilah yang akan dibahas
dalam tulisan ini secara komprehensif.
II.PEMBAHASAN
Dalam tulisan ini, yang dimaksud dengan terpidana korupsi adalah pelaku
tindak pidana korupsi yang dijatuhi pidana penjara,2 di dalam putusan pengadilan
yang berkekuatan hukum tetap dan menjadi warga binaan di lembaga
permasyarakatan. Remisi adalah pengurangan masa menjalani pidana yang
diberikan kepada Narapidana dan Anak Pidana yang memenuhi syarat-syarat yang
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. 3

II.2 Pandangan Pro terhadap Pemberian Remisi bagi Terpidana Korupsi
II.2.A Remisi adalah Hak Dasar bagi Setiap Narapidana
Negara Indonesia adalah negara hukum sebagaimana diatur didalam Pasal 1
Ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD
NRI 1945).4 Salah satu ciri negara hukum adalah perlindungan terhadap hak-hak
warga negaranya. Perlindungan ini tidak memandang pada ras, suku, agama,
etnik, status sosial hingga status hukum, sehingga pemenuhan terhadap
perlindungan hak ini haruslah menjadi suatu prioritas.5 Status hukum disini

mengacu pada apakah warga negara itu merupakan terpidana atau bukan. Negara
tidak boleh mengacuhkan apalagi meniadakan hak-hak terpidana sebagai warga
negaranya melainkan harus melindungi hak tersebut tanpa ada kecualinya.6
Salah satu hak yang dimiliki oleh terpidana adalah hak untuk mendapatkan
pengurangan masa tahanan atau yang biasa disebut sebagai remisi. Hal ini diatur
didalam Pasal 14 Ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan. Hak mendapatkan remisi ini merupakan hak dasar yang
diberikan hukum positif Indonesia. Lebih lanjut lagi, terpidana yang dimaksud
tidaklah dibedakan berdasarkan tindak pidana yang dilakukannya, sehingga semua
terpidana untuk tindak pidana apapun memiliki hak untuk mendapatkan remisi,
selama persyaratan-persyaratan yang diatur didalam peraturan pelaksanaan
Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan telah terpenuhi.
Permasalahan yang ada tentang pemberian remisi ini adalah penolakan
terhadap diberikannya remisi kepada terpidana korupsi. Hal ini dikarenakan
korupsi merupakan tindak pidana luar biasa yang dilakukan secara sistematik oleh
mereka yang memiliki kekuasaan untuk memperkaya diri mereka sendiri dengan
mengambil uang negara sehingga merugikan masyarakat Indonesia secara luas. 7
Namun, perlu diperhatikan bahwa sebenarnya mengenai karakteristik dan akibat
dari tindak pidana korupsi ini telah diatur didalam Undang-Undang No. 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan memberikan

ancaman pidana yang paling berat yaitu pidana mati, 8 selain itu mengenai
pemberian remisi bagi terpidana korupsi, telah diatur mekanisme yang lebih ketat

dibandingkan dengan tindak pidana umum seperti pembunuhan, pencurian,
penggelapan dan lain-lain sebagaimana diatur didalam Peraturan Pemerintah No.
99 Tahun 2012, maka dari itu tidaklah dapat dibenarkan untuk meniadakan hak
terpidana korupsi untuk mendapatkan remisi karena tindak pidananya. 9 Hal ini
senada dengan pendapat Prof. Mardjono Reksodiputro, yang menyatakan:10
“Bila alasannya mereka (koruptor) jahat sehingga wajar untuk tidak
diberikan remisi maka hukumlah yang keras, minta supaya jaksa menuntut
tinggi dan hakim memutus tinggi. Selama mereka berkelakuan baik
berikanlah haknya”
Disini Prof. Mardjono Reksodiputro berusaha menekankan bahwa selama
mekanisme yang telah diatur didalam hukum Indonesia bagi terpidana korupsi
telah dipenuhi seperti berkelakuan baik, bersedia bekerja sama dengan penegak
hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya,
serta telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan
pengadilan. Maka dari itu, jelas bahwa hak terpidana korupsi untuk mendapatkan
remisi merupakan salah satu hak yang harus dipenuhi oleh Negara dan tidaklah
boleh ditiadakan karena jika demikian maka Indonesia telah gagal dalam

memenuhi hak-hak dasar terpidana korupsi yang telah diatur didalam hukum
positif Indonesia dan telah mendustakan konsep negara hukum yang dipilih
Indonesia. Bahkan, hak dasar untuk mendapatkan bagi terpidana untuk
mendapatkan remisi ini telah diakui secara internasional, dan diatur di dalam
Pasal 30 Ayat (5) United Nation Convention Against Corruption (UNCAC), yang
telah diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 2006.
II.2.B Pemberian Remisi bagi Terpidana Korupsi sesuai dengan Tujuan
Pemidanaan
Salah satu teori pemidanaan yang dikenal adalah teori relatif, yang
menekankan pada tujuan pemidanaan untuk memperbaiki pelaku kejahatan.
Dengan diberikan pemidanaan ini, diharapkan bahwa nantinya seorang pelaku
kejahatan dapat berubah menjadi sosok yang lebih baik lagi dan untuk
memulihkan keseimbangan yang rusak karena dilakukannya kejahatan. 11
Perubahan tujuan pemidanaan dari konsep balas dendam telah berubah di
Indonesia sejak tahun 1964, sehingga munculah sistem “kepenjaraan” baru yang

dikenal dengan Sistem Pemasyarakatan.12 Inti dari teori ini telah diadopsi didalam
sistem permasyarakatan Indonesia sebagaimana dapat dilihat didalam bagian
menimbang


huruf

(c),

Undang-Undang

tentang

Pemasyarakatan

yang

menyatakan,
“bahwa sistem pemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam huruf b,
merupakan rangkaian penegakan hukum yang bertujuan agar Warga
Binaan Pemasyarakatan menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan
tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh
lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan
dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung
jawab”

Dalam hal ini, pemberian remisi dalam sistem pemasyarakatan Indonesia
ditempatkan sebagai suatu motivasi untuk membina diri sendiri. Sebab, remisi
tidak lagi sebagai hukum seperti dalam suatu sistem pemasyaraktan, tidak pula
sebagai anugerah sebagaimana dalam sistem kepenjaraan, tetapi sebagai hak dan
kewajiban yang dimiliki oleh narapidana. Artinya, jika narapidana termasuk untuk
tindak pidana korupsi benar-benar melaksanakan kewajibannya, ia berhak
mendapat remisi.13
Pemberian remisi bagi terpidana korupsi juga sesuai dengan filosofi remisi.
Menurut Drs. Didin Sudirman, Bc.IP M.Si, Kepala Pusat Pengkajian dan
Pengembangan Kebijakan Departemen Hukum dan HAM RI 2007, filosofi remisi
adalah sebagai proses pemberian latihan agar narapidana dapat memikul tanggung
jawab secara bertahap terhadap perilakunya. Hal ini dikaitkan dengan falsafah
yang terkandung dalam sistem pemasyarakatan yang melaksanakan tujuan
pemidanaan yaitu untuk membina pelanggar hukum dan memperbaikinya secara
bertahap. Apabila hak ini dihilangkan, maka sebenarnya terdapat hal negatif yang
dapat terjadi, yaitu terkait dengan penjara sebagai school of crime. Di dalam
penjara dapat terjadi internalisasi nilai-nilai kejahatan, sehingga seseorang dapat
menjadi lebih buruk lagi. Inilah dampak negatif dari penjara. Namun, hal ini tidak
boleh menghilangkan eksistensi pidana penjara di Indonesia. Dikaitkan dengan
pemberian remisi kepada terpidana korupsi, sebenarnya apabila seorang terpidana

korupsi memenuhi kewajibannya, sebenarnya sudah dapat dipandang sebagai
sosok yang telah memasuki tahapan memperbaiki diri sebagaimana dimaksud

dalam filosofi remisi. Dengan menghilangkan hak ini, terdapat kemungkinan
bahwa perbaikian diri yang telah dilakukan terpidana korupsi menjadi sia-sia
dikarenakan dua hal, yaitu:
a. Terpidana korupsi tersebut tidak lagi memiliki suatu dorongan untuk
berubah dan menjadi seseorang yang lebih baik
b. Efek penjara sebagai school of crime menjadi semakin kuat kepada diri
seorang terpidana korupsi sehingga proses internalisasi nilai-nilai kejahatan
menjadi lebih mudah dibanding ketika seorang terpidana korupsi memiliki
dorongan untuk berubah dengan adanya hak remisi.
Melihat hal ini maka jelaslah pemberian remisi bagi terpidana korupsi akan
menjadi salah satu upaya untuk mencapai tujuan pemidanaan itu sendiri. Selain
itu, pemberian remisi ini juga dapat dipandang sebagai apresiasi pada terpidana
korupsi yang telah memenuhi kewajibannya.
II.2.C Peniadaan Hak untuk Mendapatkan Remisi bagi Terpidana Korupsi
adalah Suatu Ketidakadilan
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa Indonesia adalah negara hukum.
Dengan menganut konsep ini, ada suatu konsekuensi logis yang tidak boleh
dinafikkan, yaitu bahwa segala sesuatu tindakan yang dilakukan oleh Negara
haruslah didasarkan pada hukum, bukan pada kekuasaan. Untuk dapat
menerapkan hukum dengan baik, harus diketahui terlebih dahulu sebenarnya
apakah tujuan hukum itu agar penerapannya menjadi terarah.
Salah satu tujuan hukum, menurut Gustav Radbuch, adalah keadilan
hukum. Kata keadilan ini memang memiliki suatu makna yang luas dan sangat
sulit untuk definisikan. Namun, sebenarnya dapat digambarkan bahwa keadilan
akan tercapai ketika ada pemenuhan hak setelah pelaksanaan kewajiban. Dalam
hal ini, secara umum, untuk mendapatkan remisi, seorang terpidana harus
memenuhi kewajiban yang telah diatur didalam hukum Undang-Undang tentang
Pemasyarakatan dan peraturan pelaksananya. Ketika kewajiban ini telah dipenuhi,
maka hak pun dapat dimintakan, yaitu hak mendapatkan remisi. Namun, apabila
seorang terpidana korupsi ini tidak memiliki hak mendapatkan remisi, maka

tindakan apapun yang dia lakukan untuk pemenuhan kewajiban seperti
berkelakuan baik, bekerja sama mengungkapkan kasus, membayar denda dan lainlain tidak akan dapat diseimbangkan dengan pemberian hak. Hal ini merupakan
suatu bentuk yang jelas dari ketidakadilan. Tidaklah adil bagi seorang terpidana
korupsi, bila tidak mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan haknya
mengenai remisi, meskipun ia telah terpenuhi terlebih dahulu memenuhi
kewajibannya.
Ketidakadilan ini juga sebenarnya bertentangan dengan sila kelima
Pancasila, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pertama, harus
diperhatikan frasa yang digunakan adalah “seluruh,” dalam hal ini, maka
sebenarnya tidak boleh ada suatu tindakan negara yang memberikan ketidakadilan
hanya karena ada suatu perbedaan di dalam kondisi warga negaranya, yaitu
mengenai perbedaan jenis tindak pidana yang dilakukannya. Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia ini menghendaki dalam pelaksanaan kegiatan Negara
tidak ada pilih kasih dan diskriminasi. Dengan peniadaan hak untuk mendapatkan
remisi, jelaslah bahwa Negara Indonesia telah tidak memenuhi tujuan hukum
sebagai negara hukum dan melanggar pancasila sebagai dasar negara dan falsafah
bangsa Indonesia.
II.3 Pandangan Kontra Pemberian Remisi Bagi Terpidana Korupsi
II.3.A Tindak Pidana Korupsi adalah Kejahatan Luar Biasa yang harus
ditindak secara Luar Biasa
Terpidana korupsi adalah para koruptor yang telah secara sah dan
meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi. Korupsi ini merupakan kejahatan
luar biasa atau extrordinary crime,14 yang dalam menangani kejahatan ini,
diperlukan suatu mekanisme yang luar biasa atau extraordinary measure. Tindak
pidana korupsi ini terus berkembang akibat adanya kemajuan ekonomi,15 dan telah
merasuki seluruh sendi-sendi kehidupan bernegara dan memberikan dampak yang
masif kepada rakyat Indonesia. Hal ini seharusnya ditangani oleh Pemerintah
secara tegas, agar kesejahteraan masyarakat tidak semakin terusik akibat korupsi.
Terdapat empat sifat korupsi sebagai extraordinary crime, antara lain:

1. Korupsi merupakan kejahatan terorganisasi yang dilakukan secara sistematis.
Dalam hal ini, praktik korupsi menjadi mata rantai yang senantiasa menghantui
sistem pemerintahan,16 dan juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi
masyarakat.17
2. Korupsi merupakan white-collar crime atau kejahatan kerah putih. Secara
konseptual, kejahatan yang termasuk dalam white-collar crime adalah kejahatan
yang dilakukan oleh orang berstatus sosial ekonomi tinggi yang berhubungan
dengan jabatan atau pekerjaannya. Hal ini sesuai dengan pandangan dari Clinard
dan Quienney dalam bukunya, yakni:18 “Occupational crime consists of offenses
commited by individual for them selves in the course of their occupations and the
offenses of employees against their empolyers,”
Korupsi ini sangat dekat pula dengan kekuasaan bahkan dikatakan pula bahwa
korupsi dan korupsi ibarat dua sisi dari satu mata uang. 19 Semakin tinggi tingkat
kekuasaan seseorang maka semakin rentan orang tersebut pada praktik korupsi.
Hubungan korupsi dengan kekuasaan ini menjadi suatu dasar yang dapat
menjustifikasi penolakan pemberian remisi bagi terpidana remisi. Remisi
diberikan kepada terpidana dengan suatu mekanisme permohonan yang diajukan
pada saat-saat tertentu20. Pemberian remisi ini diberikan berdasarkan keputusan
menteri dengan mekanisme didalam hukum tentang remisi.21 Mengenai hal ini
maka jelaslah pihak yang memiliki hak untuk memberikan remisi adalah orang
yang memiliki kewenangan tersebut sesuai dengan kekuasaan dan jabatannya. Hal
ini menyebabkan mudahnya pemberian remisi akibat dari terpidana korupsi akibat
dari pejabat berwenang yang memiliki kekuasaan mulai melakukan praktik KKN
dan menimbulkan adanya obral remisi. Obral remisi ini pun pada tahun 2014 telah
menjadi isu hangat yang diperbincangkan. Obral remisi ini juga terjadi karena
adanya permainan uang oleh terpidana korupsi yang melakukan suap.22
3. Korupsi biasanya dilakukan dengan modus operandi yang rumit, sehingga tidak
mudah untuk membuktikannya.23 Tindakan ini dilakukan sedemikian rupa dan
berhati-hati sehingga tidak meninggalkan jejak yang dapat kemudian digunakan
untuk melawan mereka. Umumnya modus operandi dimulai dari tahap formulasi
kebijakan keuangan negara, (budget policy formulation), perencanaan operasional

anggaran keuangan negara hingga impelemtasi anggaran keuangan negara,24 yang
biasanya dilakukan dalam bentuk program bantuan sosial.25 Untuk menyelesaikan
masalah inipun, muncul isu untuk menyelesaikan pembuktian terbalik secara
penuh dalam pembuktian tindak pidana korupsi yang telah juga diterapkan
beberapa Negara.26
4. Korupsi adalah kejahatan yang memiliki dampak dalam jangka panjang bagi
warga negara. Tindakan korupsi terjadi akibat adanya kewenangan yang
dimonopoli tanpa ada transparansi, contohnya korupsi APBN.27 Korupsi APBN
akan membuat adanya pagu anggaran yang kehilangan sejumlah uang, sehingga
akan mempengaruhi program Ppemerintah yang dibiayai pagu anggaran tersebut.
Dampaknya selama setahun ke depan, program yang sebenarnya diperuntukkan
bagi pemenuhan kebutuhan warga negara melalui program tersebut justru
terhambat. Contohnya, menurut Indonesia Corruption Watch pada tahun 2014
Indonesia telah mengalami kerugian sebesar Rp 5,29 T28
Keempat alasan diatas merupakan dasar yang valid, untuk kemudian dapat
dilakukan pengkategorian korupsi sebagai tindak pidana luar biasa yang sangat
berbeda dengan tindak pidana umum lainnya. Sehingga, harus ditindak dengan
mekanisme luar biasa yang salah satunya adalah dengan tidak memberikan remisi
bagi

terpidana

korupsi.

Hal

ini

merupakan

tindakan

negara

untuk

menyeimbangkan kerugian yang diakibatkan. Selain itu, menimbang dari
perkembangan korupsi di Indonesia, masih menyebabkan Indonesia terpuruk
dilihat dari Corruption Perceptions Index 2014 Indonesia masih menempati
peringkat 107 (seratus tujuh). Angka ini menunjukan bahwa korupsi di Indonesia
masih sangat mengkhawatirkan. Oleh karena itu, tindakan tegas ini sebenarnya
adalah untuk melakukan suatu perubahan yang transformatif dan suatu solusi
untuk menekan angka korupsi, sehingga nantinya kerugian masyarakat dapat
semakin ditekan.
II.3.B Pemberian Remisi bagi Terpidana Korupsi bertentangan dengan
Tujuan Pemidanaan

Didalam teori hukum pidana, dikenal setidaknya tiga teori dasar yang
memberikan penggambaran mengenai tujuan pemidanaan, yaitu: teori absolut,
teori relatif dan teori gabungan.29 Namun, dalam penerapannya tidak ada
penggunaan satu teori secara mutlak. Pada akhirnya berdasarkan teori-teori ini dan
perkembangan zaman, disarikan tujuan pemidanaan, yaitu: untuk memperbaiki
pribadi penjahat sendiri, membuat orang jera untuk melakukan tindak pidana,
membuat penjahat tertentu tidak mampu melakukan tindak pidana tertentu,30 serta
memberikan suatu efek jera (deterrence effect) bagi pelaku tindak pidana.31
Tujuan pemidanaan dapat tercapai dengan mekanisme pengaturan para
terpidana yang sesuai dengan karakter dan sifat masing-masing tindak pidana.
Dalam hal ini, korupsi, telah dijelaskan pada bagian sebelumnya merupakan
tindak pidana luar biasa, artinya disini diperlukan suatu penanganan yang luar
biasa agar tujuan pemidanaan menjadi dapat terwujud. Namun, hal ini akan
menjadi suatu angan-angan saja apabila negara tidak membuat kebijakan yang
secara tergas terkait remisi korupsi. Remisi yang pada hakikatnya adalah
pengurangan masa tahanan atau suatu “diskon” bagi terpidana.32
Pada peraturan yang berlaku, bagi terpidana korupsi ada syarat-syarat
khusus sebelum mendapatkan remisi, namun sebenarnya syarat yang seperti
apapun hendak dijadikan dasar remisi hanya akan membuat pencapaian tujuan
pemidanaan terhambat. Pasalnya, korupsi yang pada hakikatnya adalah delik
ekonomi yang merugikan negara dan menguntungkan diri sendiri dilakukan
berdasarkan greed atau keserakahan, dimana dengan mekanisme remisi maka
akan ada perhitungan-perhitungan yang nantinya akan mempercepat seorang
terpidana korupsi keluar dari lembaga pemasyarakatan. Perhitungan ini dapat
dihitung secara ekonomis oleh koruptor, dan dibandingkan dengan jumlah korupsi
yang telah dilakukan, akan membuat terpidana korupsi akan secara tenang
menikmati masa tahanannya karena tahu adanya suatu percepatan yang dapat
diterimanya akan membuat perhitungan uang hasil korupsi dibandingkan kerugian
selama mendekam dalam masa tahanan tetap saja memberikan keuntungan.
Belum lagi sistem lembaga pemasyarakatan dewasa ini yang memanjakan
terpidana korupsi dengan fasilitas hotel berbintang. 33 Pada akhirnya, vonis pidana

yang dijatuhkan hakim pada terpidana korupsi tidak akan tepat sasaran, karena
efek jera yang hendak diberikan guna si terpidana korupsi melakukan perbaikan
diri tidak tercapai, sebab terpidana tersebut dapat terus mengalami pengurangan
masa tahanan dan tujuan pemidanaanpun tidak tercapai. Hal ini juga berlaku bagi
para calon koruptor yang dengan melihat bahwa remisi akan menjadi alat untuk
keluar dari lembaga pemasyarakatan dengan mudah sehingga anasir hukuman, 34
yang berguna untuk menakut-nakuti sesorang agar tidak melakukan tindak pidana
menjadi berkurang dan pada akhirnya ditakutkan peningkatan korupsi menjadi
sulit dibendung. Selain itu, sebenarnya Sistem Pemasyarakatan Indonesia
mengandung arti pembinaan narapidana yang berintegritas dengan masyarakat
dan menuju kepada integritas kehidupan dan penghidupan. Pemasyarakatan
sebagai proses bergerak dengan menstimulir timbulnya dan berkembangnya selfpropelling adjusment menuju ke arah perkembangan pribadi melalui asosiasinya
sendiri

menyesuaikan

dengan

integritas

kehidupan

dan

penghidupan. 35

Pengurangan masa tahanan yang akan mengurangi efek juga juga mengurangi
esensi penting dari sistem pemasyarakatan yaitu masa tahanan adalah masa
pembinaan, mengingat karakterikstik tindak pidana korupsi yang luar biasa ini.
Perlu diperhatikan bahwa sebenarnya penolakan terhadap pemberian
remisi bagi terpidana korupsi bukanlah suatu bentuk pelanggaran terhadap hak
terpidana. Namun, yang dilakukan adalah pemberian standar yang lebih tinggi
dalam pemberian remisi yang kemudian menghilangkan terpidana korupsi dari
definsi terpidana yang memiliki hak untuk mendapatkan remisi sebagai solusi
untuk menangani permasalahan tindak pidana korupsi.
III.PENUTUP
Pemberian remisi bagi terpidana korupsi kembali menjadi isu hangat
setelah Menkumham mengeluarkan wacana untuk merevisi Peraturan Pemerintah
No. 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah No. 32
Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksana Hak Warga Binaan
Pemasyarakatan.36 Revisi yang hendak dilakukan Menkumham sifatnya
melonggarkan kembali mekanisme pemberian remisi bagi terpidana korupsi, yang
coba diperketat oleh Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 2012. Hal ini

menimbulkan berbagai reaksi di masyarakat yang pro dan kontra terhadap
pemberian remisi bagi terpidana korupsi.
Pandangan yang pro terhadap pemberian remisi bagi terpidana korupsi
melihat bahwa remisi merupakan hak dasar setiap terpidana yang harus dijamin
akses terhadap haknya oleh Indonesia sebagai negara hukum. Selain itu, hal ini
juga sesuai dengan tujuan pemidanaan relatif. Bahkan sesungguhnya, pencabutan
hak remisi bagi terpidana korupsi merupakan bentuk ketidakadilan dan
diskriminasi terhadap terpidana.
Pandangan yang kontra terhadap pemberian remisi bagi terpidana korupsi
mendasari pendiriannya berdasarkan kategorisasi korupsi sebagai tindak pidana
luar biasa yang membutuhkan cara penanggulangan yang luar biasa pula. Di sisi
lain, terdapat cara pandang bahwa pemberian remisi bagi terpidana korupsi justru
bertentangan dengan tujuan pemidanaan dari segi masa pembinaan di dalam
lembaga permasyarakatan.

1

Putri
Adityowati,
Ini
Penjelasan
Menteri
Yasonna
Soal
Obral
Remisi,
http://nasional.tempo.co/read/news/2015/03/17/063650533/Ini-Penjelasan-Menteri-Yasonna-Soal-Obral-Remisi,
diakses pada 19 Mei 2015.
2
P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm.
34.
3
Indonesia, Peraturan Pemerintah Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan,
PP No. 32 Tahun 1999. Pasal 1 angka 6.
4
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, UUD NRI 1945, Pasal 1 ayat (3)
5
Hamid Basyaib, Membela Kebebasan Percakapan tentang Demokrasi Liberal, (Jakarta: Pustaka Alvabet dan
Freedom Institute, 2006), hlm. 145.
6
YLBHI dan PSHK, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia: Pedoman Anda Memahami dan Menyelesaikan
Masalah Hukum, (Jakarta: YLBHI, 2007), hlm. 237.
7
Redaksi Grhatama, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Yogyakarta: Penerbit Pustaka
Grhtama, 2009), hlm. 179.
8
Indonesia, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 31 Tahun 1999, LN No. 40
Tahun 1999, TLN No. 3874, Pasal 2 ayat (2).
9
Indonesia, Peraturan Pemerintah Perubahan Kedua Atas Perubahan Peraturan Pemerintah No.32 Tahun
1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, PP No. 99 Tahun 2012, LN No.
225 Tahun 2012, TLN No. 5359, Lihat pasal 34A.
10
Wawancara dengan Prof. Mardjono Reksodiputro pada tanggal 25 April 2012 di FH Universitas Indonesia,
Jakarta oleh Widya Puspa Rini sebagaimana dikutip didalam Widya Puspa Rini S, Pemberian Remisi Terhadap
Narapidana Tindak Pidana Korupsi ditinjau dari Sistem Pemasyarakatan, Tesis Magistter Hukum pada Fakultas
Hukum Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
11
Harkristuti Harkrisnowo, Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan Terhadap Proses Legislasi dan
Pemidanaan di Indonesia, Orasi Pengukuhan Guru Besar di Universitas Indonesia (Depok: 8 Maret 2003) hlm. 15
12
Romli Atmasasmita, Dari Pemenjaraan ke Pembinaan Narapidana, (Bandung: Alumni, 1975), hlm. 72
13
CL Harsono, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, (Jakarta: Djambatan, 1995), hlm. 25
14
Andy Faisal, Pembalikan Beban Pembuktian dalam Perkara Korupsi, (Medan: USU Press, 2010), hlm.
15
Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1986), hlm. 38.
16
Andy, Op. Cit, hlm. 2
17
Indonesia, Undang Undang tentang Perubahan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 20 Tahun 2001, LN No. 134 Tahun 2001, TLN No. 4150, Lihat
bagian Penjelasan Umum
18
Marshall Clinard dan Richard Quinney, Criminal Behavior Systems: A Typology, (New York: Holt Pinehart
and Winstons Inc, 1973), hlm. 14-15.
19
Arsyad Sanusi, Relasi Antara Korupsi dan Kekuasaan, Jurnal Konstitusi, Volume 6 No. 2, hlm. 83
20
Indonesia, Keputusan Presiden Remisi, Keppres No. 174 Tahun 1999, LN No. 223 Tahun 1999, Lihat pasal
2.
21
Indonesia, Peraturan Pemerintah Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1999
Tentang Tata Syarat dan Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, PP No. 99 Tahun 2012, LN Noi. 225
Tahun 2012, TLN No. 5359, lihat pasal 34 B ayat (4)
22
Oscar Ferri, Obral Remisi Untuk Koruptor, http://news.liputan6.com/read/2193351/obral-remisi-untukkoruptor diakses pada 21 Mei 2015.
23
Saldi Isra dan Eddy O.S Hiariej, Perspektif Hukum Pemberantasan Korupsi di Indonesia, dalam Wijayanto
dan Ridwan Zachrie (Editor), Korupsi Mengorupsi Indonesia: Sebab, Akibat dan Prospek Pemberantasan, (Jakarta; PT
Gramedia Pustaka Umum,2009). hlm. 564.
24
Alfira, Modus Operandi di Pidana Khusus di Luar KUHP: Korupsi, Money Laundering, dan Trafficking ,
(Jakarta: Raih Asa Sukses, 2004), hlm. 11.
25
Muzni Fauzi, SE. MM, Membongkar Trik Penyimbangan Penggunaan Keuangan Negara, (Jakarta:
Gramediana, 2013), hlm. vi.
26
Robert Klitgaard, Ronald Maclean-Abaroa, dan H. Lindsey Parris, Penuntutn Pemberantasan Korupsi
dalam Pemerintahan Daerah, Ed.1, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), hlm. 100.
27
Denny Indrayana, Negeri Para Mafioso Hukum di Sarang Koruptor, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas,
2008), hlm. 91.

28

TRIBUNNEWS.COM, ICW: Kerugian Negara Tahun 2014 Akibat Korupsi Rp 5,29 Triliun,
http://www.tribunnews.com/nasional/2015/02/17/icw-kerugian-negara-tahun-2014-akibat-korupsi-rp-529-triliun,
diakses pada 20 Mei 2015.
29
Yesmil Anwar dan Adang, Pembaruan Hukum Pidana: Reformasi Hukum, (Jakarta: Grasindo, 2008), hlm.
137-138.

30

Tina Asmarawati, Pidana dan Pemidanaan dalam Sistem Hukum di Indonesia (Hukum Penitensier),
(Yogyakarta: Deepublish, 2015), hlm. 82.
31
Saldi Isra, Catatan Hukum Saldi Isra Kekuasaan dan Perilaku Korupsi, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas,
2009), hlm. 60.
32
Redaksi RAS, Tip Hukum Praktiks: Menghadapi Kasus Pidana, (Depok: Raih Asa Sukses, 2010), hlm. 165.
33
Denny Indrayana, Op.Cit, hlm. 77.
34
Alfred Hutauruk dan Marulan Hutauruk, Garis Besar Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Erlangga, 1961),
hlm. 68.
35
Bambang Poernomo, Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan, (Yogyakarta: Liberty,
1986), hlm. 186.

36

Putri
Adityowati,
Ini
Penjelasan
Menteri
Yasonna
Soal
Obral
Remisi,
http://nasional.tempo.co/read/news/2015/03/17/063650533/Ini-Penjelasan-Menteri-Yasonna-Soal-Obral-Remisi,
diakses pada 19 Mei 2015.