Realisasi Tesis Mahan dan Castex Mengena

Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Strategi Kelautan dan Geopolitik Kemaritiman (SOH322)

Realisasi Tesis Mahan dan Castex Mengenai Perkembangan Teknologi dalam Kasus
Indonesia Mempertahankan Wilayah Irian Barat Pada Masa Pemerintahan Presiden
Soekarno
oleh
Yunia Damayanti (071311233066)
Mahasiswi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Airlangga

Abstraksi
Strategi kemaritiman menjadi salah satu aspek penting dalam perkembangan teknologi suatu
negara dalam hal keamanan kelautannya. Perkembangan teknologi tersebut juga tidak jarang
berhubungan dengan kasus peperangan di daerah laut. Pelbagai tesis-tesis strategi kemaritiman
tradisional juga digunakan dalam mengamati dan menganalisis hal tersebut. Tesis-tesis yang
digunakan berhubungan dengan perkembangan tesis strategi kemaritiman dari Blue-Water
School, yaitu dengan pemikir Alfred Thayer Mahan hingga pada tesis Continental School, yang
mana dengan pemikir terkenalnya, yaitu Raoul Castex. Tulisan ini akan menganalisis mengenai
persoalan keberlakuan dan ketidakberlakuan tesis-tesis tersebut dengan melihat studi kasus
perkembangan teknologi kemaritiman ketika Indonesia pada masa Soekarno meningkatkan

angkatan laut untuk menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), khususnya dalam
kasus pembebasan Irian Barat. Perkembangan teknologi kemaritiman penting adanya untuk
diselaraskan dengan tesis-tesis yang ada, agar tesis tersebut dapat terbukti dengan adanya studi
kasus mengenai sejarah perkembangan kemaritiman Indonesia. Kasus tersebut tidak terlepas
dari aspek keamanan laut suatu negara yang menjadi salah satu hal penting bagi negara
kepulauan seperti Indonesia.
Kata kunci: strategi kemaritiman, teknologi, Indonesia, Irian Barat, keamanan laut, militer

Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Strategi Kelautan dan Geopolitik Kemaritiman (SOH322)

Kelautan dan kemaritiman menjadi aspek yang dipertimbangkan oleh suatu negara dalam
mencapai kesejahteraan wilayahnya. Maka dari itu, tidak dapat dipungkiri bahwa banyak
peristiwa-peristiwa sejarah, seperti perang dan perkembangan teknologi di awali dari keinginan
suatu negara untuk menguasai suatu wilayah, dalam kasus ini adalah wilayah laut. Memahami
konsep penguasaan laut tidak terlepas dari aspek geopolitik, seperti halnya Britania Raya yang
dulu merupakan negara dengan armada angkatan laut terkuat dan terbesar, sehingga negara
tersebut menjadi negara superpower. Tesis dari Alfred Thayer Mahan pun muncul atas dasar
fenomena keberhasilan Britania Raya sebagai negara dengan angkatan laut terkuat di dunia, pada
saat itu. Dikatakan bahwa tesis dari Mahan tersebut telah memberikan sebuah patokan bahwa
apabila suatu negara ingin meningkatkan kekuatannya, maka negara tersebut harus menguasai

laut sepenuhnya. Namun, seiring dengan berjalannya waktu dan semakin berkembangnya
teknologi, tesis Mahan tersebut dipertanyakan keabsahannya. Perkembangan teknologi yang
bertujuan untuk kesejahteraan maritim suatu negara tidak hanya berdasarkan dengan penguasaan
laut yang sebesar-besarnya. Hal tersebut melainkan berusaha bertindak strategis, seperti
pengembangan teknologi kapal selam ataupun senjata nuklir yang mana tujuannya adalah untuk
keamanan dan kesejahteraan suatu negara.
Tidak terkecuali negara Indonesia yang mana mengalami kemajuan dalam aspek kemaritiman
pada masa pemerintahan Presiden Soekarno. Doktrin “Wawasan Nusantara” menjadi konsep
dasar negara Indonesia dalam hal yang berhubungan dengan orientasi kemaritiman. “Wawasan
Nusantara” telah menjadi identitas nasional dan integrasi politik negara Indonesia yang berbasis
atas persatuan wilayah kemaritiman (Djalal, 1996: 49). Dinamika perkembangan maritim negara
Indonesia pada masa pemerintahan Soekarno tidak terlepas dari peristiwa perebutan wilayah
Irian Barat oleh Belanda. Sehingga, dalam esai kali ini penulis akan mencoba menganalisis
mengenai elaborasi tesis-tesis strategi kelautan dan kemaritiman dengan situasi studi kasus
negara Indonesia pada masa kepemerintahan Soekarno, yaitu mengenai perkembangan teknologi
negara Indonesia dalam mempertahankan wilayah Irian Barat. Studi kasus tersebut tidak lain dan
tidak bukan untuk menjelaskan keberlakuan dan ketidakberlakuan tesis-tesis yang sudah ada dan
dihubungkan oleh realitas perkembangan teknologi dalam aspek kelautan dan kemaritiman.

Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Strategi Kelautan dan Geopolitik Kemaritiman (SOH322)


Penjabaran Tesis-Tesis Strategi Kemaritiman Alfred Thayer Mahan dan Julian Corbett
Memahami suatu tesis mengenai strategi kemaritiman tidak terlepas dari tesis pemikir seperti
Alfred Thayer Mahan dan Raoul Castex. Hal tersebut dikarenakan bahwa menurut penulis kedua
pemikir tersebut telah memberikan batasan-batasan mengenai konsep lama atau the Old
Concept, yaitu dengan Blue-Water Thinker, Alfred Thayer Mahan dengan konsep baru atau the
New Concept yang mana dari Continental School Thinker dengan Raoul Castex sebagai
pemikirnya. Hal tersebut bukan berarti bahwa adanya batasan-batasan tersebut menyebabkan
tesis yang lama hilang begitu saja, justru kehadiran tesis yang baru telah membuat tesis yang
lama berkembang agar dapat sesuai dengan keadaan yang ada. Sebagai the father of modern
naval history, tesis Mahan berperan signifikan terhadap perkembangan angkatan laut negaranegara dunia dalam mencapai maritime warfare. Dalam tesisnya Mahan menjelaskan bahwa
penting bagi angkatan laut suatu negara untuk melakukan aksi, yaitu ofensif secara taktis
maupun strateginya. Mahan juga berpendapat bahwa coastal defense memiliki nilai yang rendah
dalam melakukan aksi penguasaan laut. Maka dari itu, Mahan berpendapat faktor defensif dari
sebuah angkatan laut adalah faktor ofensif itu sendiri (Vego, 2009: 3). Asumsi dari Mahan
tersebut menjelaskan bahwa hal utama yang dilakukan oleh angkatan laut suatu negara adalah
beraksi ofensif terhadap angkatan laut negara lainnya. Atau dalam kata lain, menghancurkan atau
menguasai kapal musuh adalah wajib. Hal tersebut dibuktikan dari tesis berikutnya yang mana
Mahan mendukung bahwa decisive battle dan blokade tertutup atau close blockade adalah perlu
halnya.

“The success is achieved less by occupying a position than by the defeat of the
enemy’s organized force—his battle fleet. The same result will be achieved, though
less conclusively and less permanently if the enemy fleet is reduced to inactivity by
the immediate presence of a superior force, but decisive defeat, suitably followed up,
alone assures a situation.”
Alfred Thayer Mahan
Sehingga dari pernyataan di atas ditekankan kembali bahwa tesis Mahan mengenai strategi
kemaritiman adalah berada pada decisive battle. Yang mana suatu angkatan laut sebuah negara
jika ingin menguasai lautan dan mengalahkan musuh dari persaingan merebut wilayah kelautan

Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Strategi Kelautan dan Geopolitik Kemaritiman (SOH322)

serta kemaritiman maka cara yang dipakai adalah cara ofensif. Terdapat pula istilah command of
the sea, yang mana menurut Mahan adalah suatu hal yang absolut dan harus dicapai oleh suatu
angkatan laut negara apabila ingin menguasai laut. Pemikiran Mahan ini bertahan hingga kirakira pada tahun 1914 dan selama itu pula banyak angkatan laut negara-negara dunia hanya
memikirkan secara taktikal agar dapat menguasai wilayah laut dengan melakukan aksi ofensif.
Sehingga terdapat suatu hal yang tidak kalah penting yang terlewatkan oleh Mahan, yaitu
perkembangan teknologi kelautan dan kemaritiman. Maka dari itu, tesis-tesis Mahan mulai
diragukan lagi keabsahannya karena tesisnya tidak menjelaskan tentang perkembangan teknologi
angkatan laut yang mengutamakan manuver-manuver, tidak hanya mengutamakan taktik.

Menjelaskan mengenai perkembangan teknologi dalam strategi angkatan laut atau naval strategy
beserta manuver-manuver yang menyertainya tidak terlepas dari salah satu tokoh pemikir dalam
Continental School, yaitu Raoul Castex. Pada umumnya Castex meminjam metode historikal
milik Mahan, hanya saja pada prakteknya Castex lebih berfokus pada strategi dalam aspek
keseluruhan, tidak hanya naval strategy (Vego, 2009: 9). Castex juga membahas mengenai
tambahan aspek daratan, dan perlu diketahui bahwa tesis Castex disebut pula sebagai general
strategy. Yang mana inti dari pandangan tersebut adalah adanya kesatuan aksi antara angkatan
darat atau armies dengan armada kapal, dan kedua aspek tersebut harus bekerja sama. Perbedaan
antara Mahan dan Castex adalah bahwa dalam melakukan aksi ofensif atau menyerang musuh
harus memperhatikan juga risiko yang akan ditanggung di belakangnya. Serangan ofensif harus
dipastikan dapat membuat ketidakseimbangan sebuah keputusan bagi musuh. Castex juga
mempertimbangkan mengenai strategic maneuver, yaitu kombinasi antara penyebaran strategis
dan manuver operasional (Vego, 2009: 11).
”improve the conditions of the struggle [at sea], to multiply the return on her efforts
and to obtain the greatest results, whether in the duel between the principal forces
themselves or to the benefit of particularly important non maritime requirements.”
(Vice Admiral) Raoul Castex
Sehingga Castex menegaskan pada aspek manuver yang mana digunakan untuk elemen
pelaksanaan operasi. Manuver menjadi metode yang dipilih untuk meningkatkan kondisi
perjuangan di laut, yang tujuannya adalah untuk memperoleh keuntungan. Castex juga


Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Strategi Kelautan dan Geopolitik Kemaritiman (SOH322)

berpendapat bahwa movement adalah unsur utama dari manuver, tujuan adanya movement adalah
untuk mencapai disposisi yang diinginkan. Castex juga menyorot mengenai pentingnya geografi
atau tipologi lingkungan secara fisik pada pelaksanaan perang di laut. Castex menyatakan bahwa
pertahanan dan komunikasi laut dipengaruhi oleh faktor geografi. Selain berpengaruh terhadap
aspek perdagangan yang mendasari aksi-aksi, geografi juga berpengaruh terhadap saran
pembangunan blokade (Vego, 2009: 13). Castex sadar bahwa pengaruh geografi tersebut bersifat
dinamis terhadap operasi maritim, maka dari itu penting untuk mengembangkan kemajuan
teknologi. Perkembangan teknologi tersebut mencakup teknologi kapal selam, tambang, dan lailain. Telah diketahui bahwa Castex memiliki fokus pandangan terhadap perkembangan
teknologi, contohnya adalah pengembangan kapal selam dan kapal-kapal induk untuk dapat
melakukan operasi-operasi maritim yang dapat mengutamakan manuver serta movement.
Signifikansi Tesis Mahan dan Castex Terhadap Keadaan Indonesia dalam Kasus Irian
Barat
Pembahasan singkat mengenai keberlakuan dan ketidakberlakuan tesis Mahan dan Castex
terhadap kasus Indonesia dalam mempertahankan Irian Barat pada taun 1960an akan dijelaskan
terlebih dahulu oleh pemaparan latar belakang keadaan Indonesia pada saat itu. Indonesia pada
tahun 1960an sedang gencar-gencarnya membangun aspek pertahanan, sehingga segala aspek
kemiliteran dibangun oleh Presiden Soekarno. Diketahui bahwa pada masa Presiden Soekarno

terdapat doktrin “Wawasan Nusantara” yang cukup menjadi identitas negara Indonesia pada saat
itu. Dalam memahami konsep “Wawasan Nusantara” tidak terlepas dari Deklarasi Djuanda, yang
mana berisi tentang batas-batas wilayah kelautan Indonesia yang juga berdasarkan bersetujuan
dari United Nation Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). Keinginan Presiden Soekarno
pada saat itu adalah menyatukan wilayah kepulauan Indonesia dengan berbasis kekuatan
pertahanan militernya, terutama angkatan laut. Pada tahun 1960 hingga 1962 keadaan Irian Barat
—sekarang Papua, semakin memburuk. Pertengahan tahun 1960-an, Belanda membangun
pangkalan militer di Irian Barat yang mana terdapat 18,040 ton kapal induk bernama Karel
Doorman. Tidak hanya kapal induk, Belanda juga memangkalkan beberapa kapal perusak atau
destroyers (Djalal, 1996: 49).

Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Strategi Kelautan dan Geopolitik Kemaritiman (SOH322)

Sumber gambar: histomil.com
Tidak hanya meletakkan kapal induk Karel Doorman, pada tahun yang sama Belanda juga
menambahkan beberapa peralatan militer, seperti selusin jet tempur Hunter, pembom jarak jauh
Neptune, pesawat ringan, dan pesawat pengintai angkatan laut. Pada saat itu Belanda sudah
memiliki sekitar 2,500 pasukan di daratan dan 1,500 di laut (Djalal, 1996: 49). Hal tersebut tentu
membuat Indonesia dituntut untuk dapat mempertahankan Irian Barat untuk tetap menajdi bagian
dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Maka dari itu, pada tanggal 17 Agustus 1960

ketika hari kemerdekaan Indonesia, Presiden Soekarno berpidato bahwa Indonesia memutuskan
hubungan diplomasi dengan The Hague. Menteri Keamanan Nasional Indonesia pada saat itu
Jenderal Nasution dikirim ke Washington dan Moskow untuk mencari bantuan agar dapat
menghadapi kekuatan militer Belanda di sekitar wilayah Irian Barat. Ketika sampai di
Washington, Jenderal Nasution tidak mendapatkan hasil yang memuaskan, atau bisa dibilang
Amerika Serikat tidak bisa memberi bantuan karena Belanda merupakan aliansi NATO
bersamaan dengan Amerika Serikat. Kemudian, presiden Uni Soviet—sekarang Rusia, pada saat
itu Nikita Khrushchev setuju untuk membantu Indonesia, dengan anggaran militer sebesar 400
juta dolar AS. Selain itupula Indonesia mendapat bantuan berupa senjata-senjata seperti MiG-19
fighters, Badger jet peledak, kapal laut perusak atau naval destoyers, kapal selam, kapal torpedo,
dan kapal penjelajah kelas Sverdlov (Djalal, 1996: 50).

Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Strategi Kelautan dan Geopolitik Kemaritiman (SOH322)

Sumber gambar: www.indomiliter.com
“Indonesia had in its disposition over 200 vessels, including a number of
commercial ships which had been mobilized. Among those ships were one cruiser,
eight destroyers, eight frigates, twelve submarines, ten chase submarines, 22 MTB,
12 speed boats with rockets, and many other small vessels. Additionally, the fleet
also had a number of fighter jets, such as IL 28, Gannet and others.”

T.B Simatupang, Pelopor dalam Perang, Pelopor dalam Damai
Gambar di atas merupakan KRI Irian 201, yang mana merupakan kapal induk milik Indonesia
yang menjadi pemberian dari Uni Soviet. Indonesia melakukan berbagai hal agar dapat
mempertahankan Irian Barat. Jalur diplomasi sudah dilakukan tetapi Belanda belum juga jera
untuk merebut wilayah Irian Barat, maka dari itu dengan modal dari Uni Soviet tadi Indonesia
melakukan operasi militer yang bernama Operasi Jaya Wijaya. Dengan cara menduduki pos-pos
penting yang awalnya diduduki musuh, lalu dilakukannya konsolidasi, yaitu kekuasaan Indonesia
secara mutlak di Irian Barat.
Penulis akan menganalisis mengenai keberlakuan dan ketidakberlakuan tesis yang mana
sebelumnya sudah dijelaskan di atas. Sebagaimana Mahan berbicara bahwa penguasaan
sepenuhnya terhadap laut merupakan hal yang penting dalam aspek strategi kemaritiman. Mahan
melupakan hal penting, yaitu bahwa ada beberapa faktor dalam aspek kelautan dan kemaritiman
yang mana faktor tersebut tidak konstan, melainkan dinamis. Mahan melupakan aspek bahwa
perkembangan teknologi juga mempengaruhi kemajuan operasi kemaritiman suatu negara.

Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Strategi Kelautan dan Geopolitik Kemaritiman (SOH322)

Menguasai laut dan wilayah mairitim tidak hanya berpusat pada taktik agar dapat mengalahkan
musuh sampai musuh tidak berkutik, melainkan perlu adanya pengembangan teknologi yang
lebih maju agar musuh dapat melihat bahwa kita lebih memiliki potensi yang jauh daripada

mereka. Maka dari itu, posisi penulis pada kasus ini adalah bahwa pemikiran tesis Raoul Castex
lebih relevan terhadap hal tersebut. Dikarenakan bahwa posisi Indonesia pada saat
mempertahankan Irian Barat dapat dikatakan sebagai movement yang tepat agar dapat
bermanuver sesuai dengan keinginan Indonesia untuk mempertahankan Irian Barat. Tesis Castex
juga menjelaskan mengenai bahwa tidak hanya aksi ofensif yang dibutuhkan dalam operasi
maritim, tetapi aksi defensif juga perlu. Hubungan dengan angkatan darat pun harus dapat
diseleraskan agar aspek daratan dan lautan tetap dapat komperehensif dan bersatu. Pentingnya
kesatuan angkatan darat dan angkatan laut adalah pada tanggal 28 Juli 1962, ketika sedang
mencapai puncak konfrontasi terhadap Belanda, sekitar 2,000 rakyat Indonesia yang mana
tergabung dalam angkatan Trikora melakukan gerilya untuk melawan Belanda (Djalal, 1996:
52). Perang mempertahankan Irian Barat tidak hanya di daratan, di wilayah laut pun yaitu Laut
Arafuru terdapat pertempuran antara KRI Macan Tutul dengan kapal perusak milik Belanda.
Pertempuran tersebut tidak berlangsung lama karena permintaan Presiden Soekarno agar
dihentikan aksi tembak-menembak dan menyerahkan permasalahan tersebut ke PBB.
Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa bukan mengenai cara penyelesaian konflik perebutan
wilayah Irian Barat ini yang mana pada akhirnya Indonesia tetap bisa mempertahankan Irian
Barat sampai saat ini. Namun, hal-hal yang penulis analisis adalah mengenai tesis Castex yang
relevan terhadap perkembangan teknologi dapat menjadikan operasi maritim suatu negara
menjadi lebih baik. Kepemilikan Indonesia atas kapal induk, kapal selam, dan kapal perusak
menjadikan negara tersebut dengan leluasa bermanuver dan melakukan movement untuk dapat

mnakut-nakuti lawan bahkan untuk dapat mempertahankan wilayahnya. Maka dari itu, tidak
heran apabila pada saat itu angkatan laut Indonesia menjadi angkatan laut terkuat se-Asia. Hal
tersebut tidak terlepas dari peran Jenderal Nasution yang melakukan kerjasama dengan Uni
Soviet, yang nantinya akan berpengaruh signifikan terhadap; (1) Indonesia memiliki kapabilitas
dalam hal angkatan laut untuk mewadahi keinginan “membalas” Belanda di Irian Barat; (2)
pengembangan kepemilikan teknologi tersebut menjadikan tujuan dari konflik dengan Belanda

Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Strategi Kelautan dan Geopolitik Kemaritiman (SOH322)

mengarah kepada gunboat diplomacy. Yang mana tujuannya adalah untuk membentuk
pengamanan militer di sekitar wilayah kepulauan, seperti Makassar (Djalal, 1996: 51).
“I think you can properly say that our planning on West Irian has moved from our
heads to our hearts. In our Indonesia way, now we have the capability to act.”
Jenderal Ahmad Yani
Relevansi Tesis Raoul Castex Terhadap Perkembangan Teknologi Maritim di Indonesia
Berhubungan dengan tesis Raoul Castex mengenai pentingnya pengembangan teknologi untuk
menjalankan operasi maritim. Dengan tujuan untuk dapat melakukan operasi manuver yang
luwes agar dapat melakukan langkah strategis mencapai suatu keuntungan. Penulis akan
menjabarkan mengenai perkembangan teknologi maritim Indonesia pada saat ini. Perlu diketahui
bahwa dalam mengenal jenis-jenis kapal perang TNI-AL, terdapat beberapa nomor lambung
kapal yang menjadi ciri dari jenis kapal tersebut; (a) Nomor lambung diawali dengan angka 1
merupakan jenis kapal induk, diberi nama berdasarkan nama Presiden atau Wakil Presiden; (b)
Nomor lambung diawali dengan angka 2, jenis kapal penjelajah atau cruisers dan kapal
penghancur atau destroyers. Diberi nama berdasarkan pulau utama di Indonesia untuk cruiser,
dan pahlawan nasional untuk kapal jenis destroyers. Contohnya adalah KRI Irian 201—sudah
tidak aktif; (c) Nomor lambung diawali dengan angka 3, jenis kapal frigaters, corvettes. Diberi
nama berdasarkan pahlawan nasional, contohnya KRI Kapitan Pattimura 371; (d) Nomor
lambung diawali dengan angka 4, jenis kapal selam dan submarine tenders. Diberi nama
berdasarkan senjata mitos untuk kapal selam dan pahlawan nasional untuk submarine tenders.
Contohnya adalah KRI Cakra 401; (e) Nomor lambung diawali dengan angka 5, jenis kapal
amfibi, Landing Ship, Tank (LST), Landing Platform Dock (LPD), Landing Craft Utility (LCU),
dan command ships. Diberi nama berdasarkan teluk utama atau strategis untuk LST, kota besar
untuk LPD, kota kecil untuk LCU, dan pahlawan nasional untuk command ships. Contohnya
adalah KRI Surabaya 591; (f) Nomor lambung diawali dengan angka 6, jenis kapal untuk
serangan cepat. Diberi nama berdasarkan senjata tradisional bagi kapal cepat rudal dan nama
hewan liar untuk kapal cepat torpedo. Contohnya adalah KRI Tombak 629; (g) Nomor lambung
diawali dengan angka 7 berlaku bagi kapal jenis penyapu ranjau, penanggulangan tambang
kapal. Diberi nama berdasarkan setiap pulau yang memiliki awalan huruf R. Contohnya KRI

Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Strategi Kelautan dan Geopolitik Kemaritiman (SOH322)

Pulau Rengat 711; (h) Nomor lambung diawali dengan angka 8, jenis kapal patrol yang mana
diberi nama berdasarkan ikan dan makhluk hidup di laut lokal, hewan liar, jenis ular lokal,
serangga liar, kota, danau atau sungai yang diawali dengan “si-“. Contohnya, KRI Siada 862,
KRI Sigalu 857, KRI Tenggiri 865; dan (i) terakhir adalah nomor lambung diawali dengan angka
9, jenis kapal pembantu, pencari minyak, kapal penelitian oseanografi, dan kapal berlayar. Diberi
nama berdasarkan gunung berapi, kota, tokoh mistis. Contohnya adalah KRI Dewa Kembar 932
(dishidros.go.id, 2014).
Simpulan
Hal yang penting dalam tesis Castex adalah mengembangkan teknologi sebagai salah satu cara
untu melakukan manuver dan movement. Dalam kasus Indonesia mempertahankan Irian Barat,
jika Indonesia tidak memiliki senjata dan kapal-kapal dengan teknologi tinggi pada waktu itu
mungkin Indonesia tidak bisa mempertahankan Irian Barat hingga sampai saat ini. Posisi penulis
menempatkan Castex sebagai tesis yang paling tepat digunakan untuk menganalisis
perkembangan perang dan teknologi dalam operasi maritim. Studi kasus Irian Barat menjelaskan
bahwa pentingnya mempertahankan wilayah kesatuan agar tercipta keamanan dan kestabilan
wilayah. Jumlah kata: 2.880 kata

Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Strategi Kelautan dan Geopolitik Kemaritiman (SOH322)

Daftar Pustaka
Buku
Djalal, Dino Patti. 1996. The geopolitics of Indonesia’s maritime territorial policy. Jakarta:
Centre for Strategic and International Studies.
Artikel Jurnal
Vego, Milan. 2009. “Naval Classical Thinkers and Operational Art”, NWC 1005, [City
Undocumented]: the Naval War College, pp. 1-20.
Artikel Online
Dinas Hidro-Oseanografi TNI AL, [online] http://dishidros.go.id/hidrografi/562-perlukanpenyesuaian-nama-dan-nomor-lambung-kri-satuan-survei-dishidros-.html?start=2 [diakses
pada 8 Januari 2016]
Indo Militer. [Online] http://www.indomiliter.com/ini-dia-sisa-peninggalan-kri-irian/ [diakses
pada 8 Januari 2016]
RBTH Indonesia. 2015. KRI Irian 201, Simbol Persahabatan Soviet dan Indonesia di Tahun 60an.

[Online]

http://indonesia.rbth.com/technology/2015/08/14/kri-irian-201-simbol-

persahabatan-soviet-dan-indonesia-di-tahun-60-an_390313 [diakses pada 7 Januari 2016]