JURNAL ILMIAH PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK DAN AKIBAT HUKUMNYA MENURUT HUKUM ADAT BALI DAN HUKUM POSITIF

JURNAL ILMIAH

  

PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK DAN AKIBAT HUKUMNYA

MENURUT HUKUM ADAT BALI DAN HUKUM POSITIF

  Oleh :

NI NYOMAN INTEN TRIJAYANTI D1A 113 220 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MATARAM 2017

  

HALAMAN PENGESAHAN

PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK DAN AKIBAT HUKUMNYA

MENURUT HUKUM ADAT BALI DAN HUKUM POSITIF

Oleh : NI NYOMAN INTEN TRIJAYANTI D1A 113 220

  

Menyetujui,

Pembimbing Pertama

Muhammad Umar, SH., MH.

  

NIP. 19521231 198403 1 104

  

ABSTRAK

PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK DAN AKIBAT HUKUMNYA

MENURUT HUKUM ADAT BALI DAN HUKUM POSTIF

NI NYOMAN INTEN TRI JAYANTI

NIM. D1A 113 220

  Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses pelaksanaan pengangkatan anak berdasarkan hukum adat Bali dan hukum positif dan mengetahui kedudukan anak angkat dalam pewarisan terhadap orangtua angkatnya berdasarkan hukum adat Bali dan hukum positif. Metode yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu: metode normatif empiris adalah metode yang mengkaji dan meneliti bahan kepustakaan dan peraturan perundangan- undangan, serta efektifitas yang timbul dalam masyarakat. Proses pengangkatan anak didasarkan pada peraturan perundang-undangan yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak dan Peraturan Mentri Sosial Nomor 110/HUK/2009 Tentang Persyaratan Pengangkatan Anak, serta dapat dilaksanakan melalui hukum adat setempat salah satunya hukum adat Bali. Kedudukan anak angkat dalam pewarisan di dalam hukum positif anak angkat berkedudukan sebagai ahli waris yang dapat mewaris harta orangtua angkatnya dengan melalui wasiat dan bedasarkan hukum adat Bali anak angkat akan berkedudukan sebagai anak kandung, maka anak tersebut berhak mewaris layaknya anak kandung.

  

ABSTRACT

  

IMPLEMENTATION OF ADOPTION AND ITS LEGAL CONSEQUENCES

ACCORDING TO BALINESE COSTOMARY LAW AND POSITIVE LAW

NI NYOMAN INTEN TRI JAYANTI

NIM.D1A 113 220

The purpose of this research is to know the process of applying the

adoption of children based on Balinese customary law and positive law and to

know the position of adopted children in the inheritance of their adoptive parents

based on Balinese customary law and positive law. The method used in this

research, namely: empirical normative method is a method that examines and

examines the literature materials and regulations of legislation, and the

effectiveness that arise in society. The process of adopting children is based on

laws and regulations, namely Government Regulation No. 54/2007 concerning the

Implementation of Child Appointment and Social Minister Regulation No. 110/

HUK / 2009 on the Requirements for the Appointment of Children, and can be

implemented through local customary law one of Bali's customary law. The

position of the adopted child in the inheritance of the adoptive child's positive law

is domiciled as the heirs who can inherit the property of his adoptive parents by

means of a will and based on Balinese customary law the adopted child shall be

domiciled as a biological child, the child shall be entitled to inherit as a natural

child.

I. PENDAHULUAN

  Setiap manusia ditakdirkan untuk hidup saling berpasangan untuk membentuk sebuah keluarga yang terdiri dari suami, istri dan anak dari hasil perkawinan yang dilakukan secara sah. Dalam sebuah perkawinan hal yang sangat dinanti dan diharapkan oleh sepasang suami istri adalah kehadiran anak yang menjadi harapan, penerus keturunan keluarga, dan kelestarian harta kekayaan, maka itulah pasangan yang telah terikat perkawinan menginginkan kehadiran anak karena anak dianggap sebagai unsur terpenting bagi terciptanya keluarga yang bahagia.

  Dalam suatu keluarga anak adalah bagian dari segala tumpuan dan harapan kedua orang tua, serta pelengkap kebahagian keluarga tanpa kehadiran seorang anak, maka keluarga yang telah dibina dirasa kuranglengkap. Keinginan memiliki anak merupakan hal yang sangat di nanti oleh setiap pasangan yang membina keluarga karena anak adalah penerus dari orang tua yang akan mewarsi sifat dari kedua orang tua yang melahirkannya.

  Namun tidak semua pasangan dapat beruntung memiliki seorang anak meskitelah bertahun-tahun membina rumah tangga seperti yang dirasakan oleh keluarga lainnya yang telah dikarunia anak. Maka akibatnya keluarga tersebut terancam punah dan putus apabila tidak memiliki keturuan yang dapat meneruskan keluarga dan kerabat keluarga. Dalam hal ini untuk memenuhi keinginan mendapatkan anak, maka segala hal akan di upayakan untuk dapat memiliki anak salah satu upaya yang dapat di upayakan yaitu melakukan pengangkatan anak atau adopsi.

  Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain ke dalam keluarga sendiri, sehingga antara orang yang mengangkat anak dengan anak yang di angkat timbul suatu hubungan kekeluargaan yang sama seperti antara orangtua dengan anak kandung.

  Dalam Peraturan mengatur mengenai pengertian pengangkatan anak dalam Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak menyebutkan:“Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yangsah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut, kedalam lingkungan keluarga orang tua angkat.”

  Pengangkatan anak menurut hukum adat Bali mengatur mengenai pengangkatan anak yang menimbulkan kedudukan yang sama dengan anak kandung seperti halnya penerus keturunan dan sekaligus selaku ahli waris terhadap harta kekayaan orang tua angkatnya. Dalam hukum adat Bali pengangkatan anak merupakan perbuatan melepaskan anak dari orang tua asalnya menjadi anak kandung dari orang tua angkatnya dan berkedudukan sebagai anak kandung untuk meneruskan turunan dari orangtua angkatnya. Pengangkatan anak yang dilakukan oleh masyarakat adat Bali akan pewarisan untuk anak angkat itu sendiri. Dari latarbelakang tersebut, maka timbullah alasan dan motivasi penyusun untuk meneliti mengenai judul

  “PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK DAN AKIBAT

HUKUMNYA MENURUTHUKUM ADAT BALI DAN HUKUM

POSITIF

  .”

  Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dapat ditarik pokok permasalahan, sebagai beriku: 1.) Bagaimanakah proses pengangkatan anak berdasarkan hukum adat Bali dan hukum positif? 2.)Bagaimanakah kedudukan anak angkat dalam pewarisan terhadap harta orangtua angkatnya berdasrkan hukum adat Bali dan hukum positif?

  Tujuan dari penelitian ini adalah 1.) Untuk mengetahui proses pelaksanaan penagngkatan anak menurut hukum adat Bali dan hukum psoitif, 2.) Untuk mengetahui kedudukan anak dalam pewarisan terhadap harta warisan orangtua angkatnya. Manfaat penelitian ini,yaitu: diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan dan pengkajianilmu secara umum di bidang hukum perdata khususnya mengenai pengangkatan anak dan akibat hukumnya. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan literatur dalam dunia kepustakaan khususnya.

  Metode penelitian yang digunakan adalah metode normatif empiris dimana metode ini mengkaji bahan kepustakaan maupun peraturan perundang-undangan, serta efektivitas yang terjadi dalam kehidupan

  

II. PEMBAHASAAN

Proses Pelaksanaan Pengangkatan Anak Menurut Hukum Positif dan Hukum Adat Bali Proses Pelaksanaan Pengangkatan Anak Menurut Hukum Positif

  Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (B.W) tidak mengatur mengenai ketentuan pengangkatan anak atau adopsi. Tidak diaturnya lembaga adopsi dikarenakan KUHPerdata merupakan produk pemerintahan Hindia Belanda dimana dalam hukum Belanda sendiri tidak

  1 mengenal lembaga pengangkatana anak atau adopsi.

  Namun diatur dalam Staatblad Nomor 129 Tahun 1917 mengatur mengenai pengangkatan anak atau adopsi.Dalam Pasal 5 mengatur mengenai siapa saja yang berhak melakukan pengangkatan anak, yaitu suami istri yang tidak mempunyai keturunan laki-laki. Seorang janda tidak kawin lagi yang suaminya telah meninggal dunia dengan tidak ditinggalkan catatan atau wasiat yang berisi tidak menghendaki janda tersebut melakukan pengangkatan anak. Tata cara pengangkatan anak diatur dalam Pasal 8 sampai 10 Staatblad 1917 Nomor 129. Pada Pasal 8 menyebutkan empat syarat untuk pengangkatan anak, yaitu: 1. Persetujuan orang yang mengangkat anak, 2.Jika anak yang diangkat itu adalah anak sah sari orang tuanya, maka diperlukan izin dari orangtua itu, jika bapaknya sudah wafat dan ibunya sudah kawin lagi, maka harus ada persetujuan dari walinya dan dari balai harta peninggalan selaku penguasa wali, 3. Jika anak yang diangkat itu adalah lahir diluar perkawinan, maka diperlukan izin dari orangtua yang mengakui sebagai anakya, jika anak itu sama sekali tidak diakui sebagai anak, maka harus ada persetujuan dari walinya serta dari balai harta peninggalan, 4. Jika anak yang diangkat itu sudah berusia 19 tahun diperlukan persetujuan dari anak itu sendiri, 5.Jika yang mengangkat anak itu seorang perempuan janda, harus ada persetujuan dari saudara laki-laki.

  Ketentuan lain yang mengatur mengenai pengangkatan anak yaitu dalam Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak. Pengangkatan anak yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu: pengangkatan secara langsung adalah pengangkatan anak yang dilakukan antara orang tua kandung dan orang tua angkat dan pengangkatan anak secara tidak langsung adalah pengangktan anak yang dilakukan melalui lembaga pengasuhan.

  Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak Pasal 12 mengatur mengenai persyaratan bagi calon anak sebagai berikut: 1.Belum berusia 18 tahun, 2.Merupakan anak terlantar atau ditelantarkan 3.Berada dalam asuhan keluarga atau dalam lembaga pengasuhan anak, 4.Memerlukan perlindungan khusus.Dalam hal ini pengangkatan anak yang menjadi prioritas utama adalah anak yang belum berusia 6 tahun. Selain persyaratan bagi calon anak angkat yang dipenuhi yang telah ditentukan dalam Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, sebagai berikut: 1. Sehat jasmani dan rohani, 2.Berumur paling rendah 30 tahun dan paling tinggi 55 tahun, 3.Beragama sama dengan agama calon anak angkat, 4.Berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak kejahatan, 5.Berstatus menikah paling singkat 5 tahun, 6.Tidak merupakan pasangan sejenis, 7.Tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang anak, 8.Dalam keadaan mampu ekonomi dan sosial, 9.Memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis orang tua atau wali anak, 10Membuat persyarat.an tertulis bahwa pengangkatan anak adalah demi kepentingan terbaik bagi anak, kesejahteraan anak dan perlindungan,

  11.Adanya laporan sosial dari pekerja sosial setempat, 12.Telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 bulan sejak izin pengasuhan,

  13Memperoleh izin Mentri dan/atau Kepala Instasi Sosial.

  Selanjutnya calon orang tua angkat harus memenuhi dan menjalani tata cara dalam melaksanakan pengangkatan anak. Proses yang harus dijalani telah ditentukan dalam Pasal 22 Peraturan Mentri Sosial Republik Indonesia Nomor 110/HUK/2009 tentang persyaratan pengangkatan anak, yaitu: 1. Calon orang tua angkat mengajukan permohonan izin pengasuhan anak kepada kepala instasi sosial propinsi diatas kertas bermaterai cukup dengan melampirkan seluruh persyaratan,

  2. Kepala instasi sosial propinsi/kabupaten/kota menugaskan pekerja sosial orang tua angkat, 3. Permohonan pengangkatan anak diajukan kepada kepala instansi sosial propinsi melalui instansi sosial kabupaten/kota,

  4.Kepala instansi sosial mengeluarkan rekomendasi untuk dapat diproses lebih lanjut ke propinsi, 5.Kepala instansi sosial kabupaten/kota mengeluarkan rekomendasi untuk dapat diproses lebih lanjut ke propinsi,

  6.Kepala instansi sosial mengeluarkan surat keputusan tentang izin pengangkatan anak untuk dapat diproses lebih lanjut ke propinsi, 7.Kepala instansi propinsi mengeluarkan surat keputusan tentang izin pengangkatan anak untuk dapat diproses lebih lanjut ke pengadilan, 8.Setelah terbitnya penetapan pengadilan dan selesainya proses pengangkatan anak calon orang tua angkat melapor dan menyampaikan salinan tersebut ke instansi sosial dan ke dinas kependudukan dan pencatatan sipil kabupaten/ kota,

  9.Instansi sosial mencatat dan mendokumentasikan, serta melaporkan pengangkatan anak tersebut ke Departermen Sosial.

  Proses Pelaksanaan Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Bali

  Kelahiran putra suputra dalam masyarakat adat Bali sangatlah di dambakan oleh para orang tua dan menjadi tujuan yang ideal dalam setiap perkawinan, namun tidak semua pasangan suami istri dapat berhasil memiliki anak.Keluarga yang tidak mempunyai anak disebut Aputra,

  

Niputrika dan Nirsamtana . Namun mereka dapat memiliki anak dengan

  cara adopsi yang di dalam bahasa sansekerta disebut prigraha atau putika, sedangkan anak yang diangkat disebut krtakaputra, datrimasuta atau putra

  2 dattaka.

  Pengangkatan anak dalam masyarakat adat Bali dalam memilih calon anak angkat terdapat kebebasan yang sangat luas, namun orang yang mengangkat anak tetap harus memilih dari dalam lingkungannya yang memuja pada satu tempat pemujaan (matunggal sembah), yang “berdadian” satu (satu tempat persembahyangan yang kastanya sama), atau yang mekerame

  “dadia” satu (hanya menjadi anggota dan tidak

  3 masuk satu golongan kastanya sama).

  Anak yang diangkat wajib beragama Hindu jika yang diangkat seseorang yang bukan beragama Hindu, maka nantinya pengangkatan anak itu nanti akan ditolak oleh warga desa atau banjar karena tujuan pengangkatan anak antara lain untuk meneruskan warisan baik dalam bentuk kewajiban maupun hak, termasuk kewajiban desa adat atau banjar, terutama hubungan dengan tempat suci. Proses pengangkatan anak yang dijalani oleh calon orang tua angkat harus menjalani tata cara yang berlaku dalam masyarakat adat Bali, yaitu:1. Melakukan musyawarah.Untuk menentukan anak siapa yang akan diangkat, maka harus melakukan musyawarah dengan anggota keluarga dan meminta persetujuan dari kedua belah pihak keluarga. Apabila telah mendapatkan 2 persetujuan dari keluarga yang akan mengangkat anak dan keluarga anak

  Sejarah Hari Raya Hindu, Sentana-Paperasan,sejarahharirayahindu.blogspot.co.id, Pada Tanggal 22 Juli 2017 yang bersangkutan, serta tidak ada keberatan lagi, maka barulah dapat ditentukan hari baik untuk melaksanakan upacara widhi widana (pemerasan). 2.Melakukan Upacara Pengesahaan Bentuk upacara masyarakat adat Bali berupa upacara keagamaan yang disebut dengan upacara widhi widana atau pemerasan.Upacara pengesahan atau pemerasan terdiri atas 2 (dua) bagian yakni pamitan dari dewa-dewa,serta orang tua dari si anak angkat itu sendiri dan sesudah itu menyatakan hormat dan sujud kepada keluarga baru yang mengangkatnya anak dan dewa-dewa mereka. Upacara ini dilaksanakan dipimpin oleh pedanda (pendeta) dan dibuatkan banten (sesajen) pemerasaan. 3.Melakukan siar kepada banjar (pengumuman kepada banjar) Setelah semua terlaksana, maka hal yang dilakukan melakukan pengumuman kepada banjar dalam rapat banjar yaitu melakukan siaran kepada banjar. Hal ini dilakukan agar seluruh karma banjar mengetahui bahwa adanya suatu pengangkatan anak.

  

Kedudukan Anak Angkat Dalam Pewarisan Berdasarkan Hukum

Adat Bali Dan Hukum Positif

Kedudukan Anak Angkat Dalam Pewarisan Berdasarkan Hukum

Positif

  Staatblad 1917 Nomor 129 Pasal 11 bahwa pengangkatan anak

  membawa akibat demi hukum orang yang diangkat menjadi nama keturunan orang yang mengangkatnya sebagai ganti dari nama keturunan orang yang diangkat itu. Anak yang diangkat secara serta merta menjadi dengan nama ayah angkatnya atau ibu angkatnya dan secara otomantis

  4 terputus hubungan anak dengan orang tua kandungnya.

  Akibat hukum dari terputusnya hubungan anak angkat dengan orang tua kandungnya dan masuk menjadi keluarga orang tua angkatnya anak angkat akan disejajarkan dengan kedudukan hukumnya dengan anak kandung orang tua angkatnya. Akibatnyaanak angkat harus memperoleh hak-hak sebagaimana hak-hak diperoleh anak kandung orang tua angkat, maka anak angkat memiliki hak mewaris seperti hak waris anak kandung secara penuh yang dapat menutup hak waris saudara kandung dan juga

  5 orang tua kandung orang tua angkatnya.

  Konsekuensi dari pengangkatan anak adalah bahwa anak angkat tersebut mempunyai kedudukan yang sama dan sederajat seperti anak yang dilahirkan perkawinan suami istri yang mengangkatnya dan hubungan dengan keluarga asal menjadi terputus. Oleh sebab itu anak angkat tersebut tidak memiliki hak mewaris dari keluarga asalnya sebaliknya anak angkat

  6 tersebut memiliki hak mewaris dari keluarga yang mengangkatnya.

  Pada dasarnya pewarisan adalah suatu perbuatan hukum yang timbul karena peristiwa hukum. Pengangkatan anak merupakan suatu peristiwa hukum oleh karena itu anak angkat memiliki hak mewaris yang dimana ia berkedudukan sebagai Legitimie Portieatas segala bentuk harta 4 warisan dari orangtua angkatnya. Ketentuan dalam pasal 852 KUHPerdata 5 Ahmad kamil dan Fauzan, Op.Cit, hlm 27

  merupakan bentuk hak untuk mewaris seorang anak angkat yang telah diakui secara sah meskipun tidak didasarkan atas suatu wasiat tertulis.

  Kedudukan Anak Angkat Dalam Pewarisan Berdasarkan Hukum Adat Bali

  Kedudukan anak angkat didalam pewarisan hukum adat Bali adalah sebagai ahli waris orangtua angkatnya.Keadaan ini tidak berubah apabila setelah pengangkatan anak lahir anak kandung, maka anak angkat tersebut tetap menjadi ahli waris dari orangtua angkatnya. Jika anak kandung yang dilahirkan anak perempuan dan anak tersebut melakukan perkawinan keluar, maka anak angkat tersebut akan menjadi ahli waris

  7 tunggal.

  Berdasarkan hasil wawancara dengan pemuka adat pengangkatan anak yang dilakukan bukan dari keluarga purusa maupun pradananya, maka anak tersebut hanya akan mewaris harta bersama (harta guna kaya) dari orangtua angkatnya hal ini dilakukan untuk menghindari adanya sengketa, sedangkan harta pusaka akan diserahkan kepada orangtua angkatnya. Namun apabila anak tersebut berasal dari keluarga purusa atau

  pradana yang masih ada hubungan darah, maka hak mewaris anak

  8 tersebut tidak ada pembatasannya termasuk harta pusakanya.

  Dalam masyarakat adat Bali warisan mengandung hak dan kewajiban yang tidak bisa di tolak bersifat materil maupun inmaterial. 7 Laki-laki menerima warisan biasanya berupa kewajiban terhadap banjar, kewajiban menjaga kelangsungan ibadah pura, pemerajan yang bersifat

  

dewa yadnya , kewajiban melakukan manusia yadnya dan pitra yadnya

  terhadap anggota keluarga, orangtua maupun saudara perempuan yang janda atau gadis, kewajiban keturuan dengan memiliki anak kandung atau anak angkat, mewaris harta kekayaan keluarga sebaliknya juga semua hutang piutang, memelihara hidup anggota keluarga termasuk saudara-

  9 saudari yang menjadi tanggung jawabnya.

  Masyarakat adat Bali yang pada dasarnya menganut sistem patrilineal dimana penerusan harta warisan keluarga dalam masyarakat adat Bali adalah kepada anak laki-laki baik itu anak yang dimiliki secara kandung maupun dengan pengangkatan anak, penerusan harta warisan pada keluarga masyarakat adat Bali di mulai pada saat kedua orang tuanya masih hidup atau setelah orangtua meninggal dunia dan setelah jenasah orang tuanya telah di abenkan. Pada saat setelah diselesaikannya upacara pengabenan tersebut, maka disanalah tempat terbukanya pewarisan tersebut, harta peninggalan dari si pewaris akan dibagikan kepada yang berhak mendapatkan termasuk juga anak angkat karena dalam hal ini anak angkat telah diposisikan sama dengan anak kandung.

III. PENUTUP Simpulan

  

Proses Pelaksanaan Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Bali

dan Hukum Positif

  Proses pelaksanaan pengangkatan anak menurut hukum positif harus memenuhi persyaratan yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak dan Peraturan Mentri Sosial Nomor 110/HUK/2009 Tentang Persyaratan Pengangkatan Anak. Proses pengangkatan anak yang dilaksanakan berdasarkan hukum adat Bali hal yang pertama dilakukan adalah adanya musyawarah yang dilakukan oleh keluarga yang akan mengangkat, setelah memperoleh persetujuan maka dilakukan pula musyawarah dengan keluarga anak yang akan diangkat apabila kedua belah pihak telah menyetujuinya. Keluarga akan melakukan upacara widhi

  

widana atau upacara pengesahan, setelah itu keluarga akan melakukan siaran

  atau pengumuman kepada banjar. Dalam hal pengesahan anak angkat akan disaksikan kedua pihak baik oleh keluarga yang mengangkat maupun keluarga asal dan kelian banjar.

  

Kedudukan Anak Angkat Dalam Pewarisan Menurut Hukum Adat Bali

dan Hukum Positif

  Dalam hal pengangkatan anak yang dilaksanakan berdasarkan hukum positif akan menimbulkan akibat hukum salah satunya mengenai hak dimana status anak tersebut sama seperti anak kandung, maka anak angkat tersebut berhak memperoleh hak waris dari orangtua angkatnya layaknya seperti anak kandung, hak waris tersebut dapat melalui wasiat maupun tanpa wasiat. Pengangkatan anak yang dilaksanakan bedasarkan hukum adat Bali, maka anak angkat tersebut akan berkedudukan sama seperti anak kandung. Anak angkat tersebut juga berhak menerima waris dari orang tua angkatnya layaknya seperti anak kandung dan tidak ada batasan dalam pemberian waris, namun apabila anak angkat berasal dari luar keluarga maka hanya mendapat harta guna karya (harta bersama) dari orang tua angkat.

  Saran

  Pengangkatan anak yang dilaksanakan berdasarkan hukum adat meskipun telah sah dengan melalui upacara adat atau dalam masyarakat adat Bali melalui upacara widhi widana, namun perlu dilakukan pembuatan penetapan dari pengadilan agar anak yang diangkat memiliki kepastian hukum agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dikemudian hari. Bagi orangtua yang melakukan pengangkatan anak, maka harus memperthatikan kesejahteraan anak itu sendiri tidak hanya anak yang diangkat harus memenuhi kewajibannya dan tercapainya tujuan pengangkatan anak dari orangtua angkat tersebut, melainkan orang tua yang mengangkat harus memperhatikan kesejahteran anak, serta bertanggung jawab pada anak angkat dan juga harus terpenuhinya hak anak tersebut.

  

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

  Artadi, I Ketut. Hukum Adat Bali Dengan Aneka Masalahnya. Pustaka Bali Post. Denpasar. 2012

  KamiL, Ahmad dan Fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan

  Anak di Indonesia . Rajawali Pers. Jakarta. 2008 Kron,V.E. Bentuk-BentukSentanaMenurutHukumAdat Bali MasaKolonial.

  Udayana University Press.Denpasar. 2012 Satrio,J. Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-

  Undang . Citra Aditya Bakti. Bandung. 2000 Panetje,Gede. Aneka Catatan Tentang Hukum Adat Bali. Cetakan Ketiga.

  Kayumas Agung. Denpasar . 2004

  PERATURAN-PERATURAN

  Indonesia,Undang-Undang Tentang Perubahan atas Undang-Undang

  Nomor 23 Tahun 2012 Tentang Perlindungan Anak . Nomor 35

  Tahun 2014 Indonesia, Peraturan Pemerintah Tentang Pelaksanaan Pengangkatan

  Anak . Nomor 54 Tahun 2007