PENGANGKATAN ANAK DAN AKIBAT HUKUMNYA MENURUT ADAT BALI (STUDI PADA MASYARAKAT BALI DI DESA WIRATA AGUNG KECAMATAN SEPUTIH MATARAM KABUPATEN LAMPUNG TENGAH)

Ni Putu Yudiastuti

ABSTRAK

PENGANGKATAN ANAK DAN AKIBAT HUKUMNYA MENURUT ADAT BALI
(STUDI PADA MASYARAKAT BALI DI DESA WIRATA AGUNG KECAMATAN
SEPUTIH MATARAM KABUPATEN LAMPUNG TENGAH)

Oleh

Ni Putu Yudiastuti

Kedudukan anak angkat dalam hukum adat umumnya ditentukan oleh sistem hukum dalam
proses pengangkatan anak, sistem kekeluargaan dan sistem pewarisan yang dilakukan.
Pengangkatan anak adalah pengangkatan anak orang lain ke dalam keluarga sendiri
sedemikian rupa sehingga antara anak yang diangkat dengan orang tua angkatnya timbul
hubungan antara anak sebagai anak sendiri dan orang tua angkat sebagai orang tua sendiri.
Dalam praktiknya pengangkatan anak di Desa Wirata Agung disebut dengan “nyentanayang”.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana pelaksanaan pengangkatan anak,
kedudukan anak angkat, serta akibat hukum pengangkatan anak menurut adat Bali di Desa
Wirata Agung Kecamatan Seputih Mataram Kabupaten Lampung Tengah.

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif empiris, dengan tipe penelitian
deskriptif. Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan normatif empiris . Data
yang digunakan adalah data primer dan data sekunder yang diperoleh dengan cara wawancara
dan studi pustaka. Data yang diperoleh kemudian diolah dan dianalisis dengan menggunakan
analisis kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pengangkatan anak menurut adat Bali di Desa Wirata
Agung disebut “Nyentanayang” dengan upacara peperasan / widhi widhana. Pelaksanaan
pengangkatan anak lazimnya diambil dari salah satu keluarga yang ada hubungan
tradisionalnya, yaitu yang disebut purusa (pancer laki-laki). Tetapi akhir-akhir ini dapat pula
diambil dari keluarga istri (pradana). Pada umumnya anak yang diangkat itu diutamakan
adalah anak laki-laki dan apabila tidak ada anak laki-laki barulah bisa terhadap anak
perempuan dengan merubah statusnya menjadi “Sentana Rajeg”. Masyarakat Adat Bali di
Desa Wirata Agung dalam proses pengangkatan anak hanya dengan cara mengadakan upacara
adat “pemerasan” atau “widhi widhana” dengan dipimpin oleh Pendeta atau pemangku adat
dan disaksikan oleh para pejabat adat, baru kemudian dibuatkanya surat peras sebagai alat

Ni Putu Yudiastuti

bukti tertulis adanya pengangkatan anak bagi masyarakat setempat (masyarakat Hindu Bali).
Kedudukan anak angkat adalah sama dengan anak kandung, maka hak dan kewajiban anak

angkat sama dengan anak kandung. Akibat hukum dari perbuatan pengangkatan anak pada
masyarakat Bali adalah anak yang sudah diangkat tidak mendapat hak waris dari orang tua
kandungnya melainkan menjadi ahli waris orang tua angkatnya. Hubungan dengan orang tua
kandung menjadi terputus tetapi tidak memutuskan pertalian keluarga anak dengan orang tua
kandungnya dan kedudukan anak angkat dengan orang tua angkat mempunyai kedudukan
sebagai anak sendiri atau kandung.
Kata kunci: Anak Angkat, Akibat Hukum, Hukum Adat.

DAFTAR ISI

Halaman
ABSTRAK .. .................................................................................................................... i
HALAMAN JUDUL .. .................................................................................................... ii
HALAMAN PERSETUJUAN .. .................................................................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN .. ...................................................................................... iv
RIWAYAT HIDUP . ....................................................................................................... v
MOTO . ............................................................................................................................ vi
HALAMAN PERSEMBAHAN . ................................................................................... vii
SANWACANA . .............................................................................................................. viii
DAFTAR ISI ................................................................................................................... xi

BAB I PENDAHULUAN
A.
B.
C.
D.

Latar Belakang ....................................................................................................
Rumusan Masalah ...............................................................................................
Tujuan Penelitian .................................................................................................
Kegunaan Penelitian ...........................................................................................

1
6
7
7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Masyarakat Hukum Adat ...........................................................
1. Pengertian Hukum Adat .................................................................................
2. Betuk Masyarakat Hukum Adat .....................................................................

B. Tinjauan Umum Masyarakat Hukum Adat Bali ...................................................
C. Tinjauan Umum Pengangkatan Anak ..................................................................
1. Pengertian Anak .............................................................................................
2. Pengertian Pengangkatan Anak ......................................................................
3. Pengertian Pengangkatan Anak Menurut Adat Bali .......................................
4. Jenis-jenis Pengangkatan Anak Pada Masyarakat Bali .................................
5. Asas-asas Pengangkatan Anak .......................................................................
6. Kedudukan anak Angkat Dalam Hukum Waris Adat ....................................
7. Hak Mewaris Bagi Anak Angakt ...................................................................

9
9
12
15
17
17
20
21
23
24

25
26

D. Akibat Hukum Yang Tmbul Dari Pengangkatan Anak .......................................

27

BAB III METODE PENELITIAN
A.
B.
C.
D.
E.

Jenis Penelitian dan Tipe Penelitian .....................................................................
Pendekatan Masalah .............................................................................................
Data dan Sumber Data .........................................................................................
Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data ........................................................
Analisis Data ........................................................................................................


30
31
32
34
37

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan Pengangkatan Anak Menurut Adat Bali .........................................
1. Syarat Dan Prosedur Pengangkatan Anak Menurut Adat Bali
Di Desa Wirata Agung ....................................................................................
2. Pelaksanaan Upacara Pengangkatan Anak Menurut Adat Bali
Di Desa Wirata Agung ...................................................................................
B. Kedudukan Anak Angkat Menurut Adat Bali .....................................................
1. Kedudukan Anak Angkat Di dalam Keluarga Menurut Adat Bali
Di Desa Wirata Agung ...................................................................................
2. Kedudukan Anak Angkat Terhadap Harta Waris Menurut Hukum
Adat Bali Di Desa Wirata Agung ...................................................................
C. Akibat Hukum Perbuatan Pengangkatan Anak Dalam Hukum
Adat Bali Di Desa Wirata Agung ........................................................................


38

BAB V PENUTUP...........................................................................................................
A. Kesimpulan ..........................................................................................................
B. Saran ....................................................................................................................

63
63
65

DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................................

66

38
43
54
54
55
61


PERSEMBAHAN

Puji Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
yang selalu mengiringi langkahku dan selalu memberikan kemudahan dalam penyelesaian
skripsi ini. Dengan rendah hati kupersembahkan skripsi ini kepada :
Kedua orang tuaku Ayahanda Drs. I Nyoman Gama dan Ibunda Ni Nyoman Suniatin, S.E.
serta saudara-saudara tercintaku I Ngurah Bagus Suganda, I Ngurah Wetu Dwi Phayana,
I Ngurah Tripanca Diputra.
Terimakasih untuk seluruh waktu, cinta, kasih sayang dan pengorbanan serta doa yang tak
pernah berhenti mengalir yang selalu tercurah sepanjang hidup untuk penulis.

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Seputih Mataram, Kabupaten Lampung Tengah
pada tanggal 22 Desember 1992, sebagai anak pertama dari empat
bersaudara, buah hati pasangan Bapak Drs. I Nyoman Gama dan Ni
Nyoman Suniatin, S.E

Penulis memulai jenjang pendidikan pada Sekolah Dasar (SD) Negeri 1 Wirata Agung

Kecamatan Seputih Mataram Lampung Tengah yang diselesaikan pada tahun 2004,
dilanjutkan Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 1 Seputih Mataram yang diselesaikan
pada tahun 2007 dan melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri Seputih
Mataram yang diselesaikan pada tahun 2010.

Pada tahun yang sama, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas
Lampung. Pada Januari – Februari 2013, penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN)
Tematik di Kampung Kedaton Induk , Kecamatan Batang Hari Nuban, Kabupaten Lampung
Timur.

SANWACANA

Puji syukur penulis haturkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
karunia dan nikmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sebuah skripsi
sederhana dengan judul Pengangkatan Anak Dan Akibat Hukumnya Menurut Adat Bali
(studi Pada Masyarakat Bali Di Desa Wirata Agung Kecamatan Seputih Mataram
Kabupaten Lampung Tengah) sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum
pada Bagian Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Penulis menyadari bahwa dalam menyusun dan menyelesaikan skripsi ini tidak terlepas dari
bantuan, bimbingan dan dukungan berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung,

oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang tulus dan
sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S., Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung;
2. Bapak Dr. Wahyu Sasongko, S.H., M.Hum., Ketua Bagian Hukum Keperdataan Fakultas
Hukum Universitas Lampung;
3. Ibu Aprilianti, S.H., M.H., Pembimbing I atas kesediaannya untuk memberikan
bimbingan, saran dan kritik serta petunjuk kepada penulis dalam proses penyelesaian
skripsi ini;
4. Ibu Dr. Nunung Rodliyah, M.A., Pembimbing II yang telah bersedia meluangkan
waktunya untuk memberikan bimbingan, ketelitian dan arahan dalam penulisan skripsi
ini;

5. Bapak Prof. Dr. I Gede AB Wiranata, S.H., M.H., Pembahas I yang telah memberikan
saran dan kritik serta masukan untuk perbaikan dalam penyusunan skripsi ini;
6. Ibu Siti Nurhasanah, S.H., M.H., Pembahas II yang telah memberikan masukan, motivasi
dan saran demi perbaikan penulisan skripsi ini;
7. Ibu Upik Hamidah, S.H., M.H., Pembimbing Akademik yang telah memberikan bantuan,
saran dan arahan yang membangun terhadap skripsi penulis dan selalu menjadi tempat
penulis untuk berbagi pikiran dalam menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universtisas
Lampung;

8. Seluruh Dosen pengajar Fakultas Hukum yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu
yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat bagi penulis selama penulis mengikuti
proses perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Lampung;
9. Pak Tarno, Bude Siti, Pakde yang telah membantu dalam segala urusan;
10. Seorang sosok teman terbaik dan terdekatku I Wayan Is Indra Saputra sebagai sosok yang
selalu memberikan pengertian, dukungan, semangat, motivasi, perhatian, kasih sayang
serta tawa dan canda yang tiada henti kepada penulis selama ini;
11. Saudara dan sahabatku Ni Komang Windari, Ni Komang Novita Sari, I Wayan Samudra,
I Gusti Ngurah Yoga, I Nyoman Wisnu, I Wayan Agus Setiawan, I Made Dopiada yang
selalu mencurahkan perhatian, kasih sayang, berbagi tawa dan canda. Terimakasih atas
persahabatan yang indah dan kebersamaan yang telah kalian berikan selama ini;
12. Sahabatku : Marselyna atalanta, Triana Rahmadani, Meutia Kumala, Nasrida, Rendi,
Medi, Angga, Riski, Ardi, yang selalu memberikan semangat, kasih sayang, dukungan
dan tak lelah mengiringi masa tumbuhku hingga sekarang;

13. Teman-temanku angkatan 2010 :Ni Putu Ratih, Jimmi Erda, Ahmada, Budiarti, Yuri,
Jimbo, Ivander, Rio, Zulkipi, Oddy dan semua teman-teman yang tidak bisa disebutkan
satu persatu. Terima kasih atas kebersamaan dan pengalamannya;
14. Teman-teman KKN Kedaton Induk kec. Batang Hari Kab. Lampung Timur: Dewi, Oktia,
Ara, Esti, Ngudi, fery, Ariken, Doddy, Ulya. Terima kasih telah berbagi hidup bersama,
pengalaman berharga yang tak kan pernah terlupakan. 40 hari bersama, 40 hari untuk
selamanya;
15. Seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini yang
tidak bisa penulis sebutkan satu persatu;
16. Almamater tercinta dan seluruh Civitas Akademika Fakultas Hukum Universitas
Lampung.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas kebaikan yang telah diberikan kepada penulis dengan
kebaikan yang lebih besar lagi di sisi-Nya dan akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini
dapat bermanfaat bagi kita semua.

Bandar Lampung, Agustus 2014
Penulis

Ni Putu Yudiastuti

1

BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak merupakan dambaan setiap orang, yang kehadirannya sangat dinanti-natikan
dan tumbuh kembangnya sangat diperhatikan. Tak heran banyak sekali orang yang
menunggu-nunggu diberikan anak oleh Tuhan agar lengkap kehidupan rumah
tangganya. Terkadang memiliki anak merupakan salah satu bentuk penyempurna
peran suami dan istri.
Setiap pernikahan tidak selamanya berjalan lancar dengan memiliki keturunan atau
anak. Kita memang tidak bisa menebak takdir dan tidak pernah tahu apa kehendak
Tuhan. Banyak faktor pasangan suami istri tidak bisa mempunyai anak. Namun
banyak cara juga untuk mendapatkan anak, yaitu dengan proses bayi tabung, dan
mengadopsi anak (pengangkatan anak). Anak dalam masyarakat merupakan
pembawa kebahagiaan, hal ini dapat dibuktikan dalam setiap upacara pernikahan,
terdapat doa restu dan harapan semoga kedua insan atau kedua mempelai dikaruniai
anak. Seperti halnya pada masyarakat, anak yang lahir diharapkan dapat membawa
manfaat bagi orang tuanya.
Pengangkatan anak lazim dilakukan di seluruh Indonesia, akan tetapi caranya
berbeda-beda menurut hukum adat setempat. Hal tersebut selanjutnya berdampak
terhadap akibat dari pengangkatan anak tersebut yaitu memutuskan hubungan

2

kekeluargaan antara anak angkat dengan orang tua kandungnya dan adapula yang
tidak memutus hubungan kekeluargaan anak angkat dengan orang tua kandungnya.
Pengangkatan anak di Indonesia pada umumnya dilatarbelakangi oleh sang calon
orang tua angkat yang belum adanya keturunan atau karena ingin menambah
momongan, tetapi terhalang oleh karena suatu keadaan pada dirinya sehingga calon
orang tua angkat tersebut menempuh lembaga pengangkatan anak. Pemahaman
pengangkatan anak secara meluas adalah masuknya anak orang lain kedalam
pengasuhan orang tua angkat dan kepada anak tersebut diberi hak hak yang sama
sebagaimana anak kandungnya karena pengangkatan anak ini pada dasarnya diikuti
pula sikap batin sang orang tua angkat yang mengganggap anak tersebut adalah
keturunannya. Salah satu wujud sikap batin tersebut contohnya adalah ketidakrelaan
bilamana orang tua kandung meminta kembali anaknya.
Dari sikap batin itulah kemudian anak angkat diberi hak-hak yang sama sebagaimana
anak kandungnya. Di sini bukan saja meliputi terhadap pemenuhan kebutuhan
kesejahteraannya sehari-hari, melainkan juga terhadap hak-hak hukum kekeluargaan,
misalnya, anak tersebut akan memperoleh hak warisan yang sama seperti anak
kandungnya, hak menggunakan nama keturunan, dan lain-lain.
Pengertian pengangkatan anak menurut hukum adat Bali yaitu mengangkat anak
orang lain dan menempatkan sebagai anak kandung dengan tujuan melanjutkan
keturunan dari kepurusa, agar kemudian sesudah pengangkat meninggal, ada orang

3

yang melakukan pengabenan

mayatnya dan penghormatan pada rohnya dalam

Sanggah atau Pura yang mengangkat.
Pada masyarakat hukum ada Bali ikatan kekeluargaannya patrilineal, yaitu
berdasarkan pada garis keturunan bapak. Hal ini membawa konsekwensi adanya
peranan yang sangat penting bagi anak laki-laki sebagai penerus keturunan bagi
keluarganya, sedangkan tidak demikian halnya dengan anak perempuan. Anak lakilaki sebagai penerus keturunan, mempunyai kewajiban bertanggungjawab terhadap
pemujaan leluhurnya, oleh karena itu ia berhak terhadap harta warisan orang tuanya.
Selanjutnya bagi mereka yang tidak mempunyai anak laki-laki seringkali akan
melakukan perbuatan mengangkat anak sebagai penerus keturunan keluarganya.
Seorang anak laki-laki menjadi tumpuan harapan orang tuanya, yang berkewajiban
memelihara orang tuanya di kemudian hari setelah tidak mampu bekerja lagi, terlebih
untuk kesempurnaan peribadatan orang tuanya saat meninggal dunia.
pengangkatan anak menurut hukum adat Bali harus adanya upacara Dewa Saksi,
Manusia Saksi dan adanya Siar. Dewa Saksi di dalam masyarakat hukum adat Bali
disebutkan dengan Peras, sedangkan Manusia Saksi merupakan persetujuan serta
kesaksian dari pihak yang berkepentingan. Siar merupakan pengumuman terhadap
pengangkat anak tersebut yang biasanya dilakukan di dalam pertemuan masyarakat
adat atau banjar dimana yang bersangkutan tunduk pada hukum adatnya.
Ajaran umum yang diutamakan dalam pewarisan menurut adat Bali sering disebut
kapurusan yaitu kedudukan seorang laki-laki lebih penting dibandingkan dengan
saudara-saudara perempuannya. Lelaki selaku pemikul Dharma berkewajiban

4

menunaikan pitra puja yaitu pemujaan dan tanggung jawab kepada leluhur, yang
diiringi dengan hak mendapat warisan, mempergunakan dan menjaga barang-barang
pusaka. Berdasarkan susunan masyarakat Bali yang mempertahankan garis keturunan
bapak (patrilinial) yang berhak menjadi ahli waris adalah anak laki-laki karena anak
laki-laki menurut kepercayaan masyarakat adat Bali adalah juru selamat orang tua di
dunia dan akhirat.
Anak perempuan tidak berhak mendapat harta warisan karena setelah menikah ia
akan meninggalkan keluarganya dan masuk ke dalam ikatan keluarga suaminya
sehingga tidak akan bisa melaksanakan tanggung jawab seperti yang dibebankan pada
anak laki-laki. Namun jika pasangan suami istri hanya mempunyai anak perempuan
lebih-lebih bila hanya putri tunggal, dapat mengusahakan membuat sentana rajeg
yaitu pengantin wanita yang menarik suaminya keluar dari ikatan purusa bapak ibu
dan saudara-saudaranya dan kemudian masuk ke dalam keluarga istrinya. Dan
selanjutnya keturunan yang diperoleh adalah merupakan pelanjutan dari keluarga
istrinya. Dengan kata lain dalam hal kekeluargaan dan pewarisan, laki-laki yang
kawin dengan seorang perempuan yang berstatus sentana rajeg, berkedudukan atau
berstatus sebagai wanita. Tujuan utamanya adalah anak wanita

memperoleh

kedudukan sebagai sentana purusa atau sebagai anak pelanjut keturunan dalam
lingkungan keluarganya.
Anak

angkat

lazimnya diambil

dari salah satu

keluarga laki-laki

yang

disebut “purusa” dan ada beberapa yang diangkat dari kelarga perempuan yang
disebut “pradana”. Anak itu diambil dari lingkungan asalnya dan dimasukkan dalam

5

keluarga orang yang mengangkat ia menjadi anak angkat. Alasan pengangkatan anak
pada umumnya tidak ada keturunan. Kedudukan hukum dari anak yang diangkat
demikian adalah sama dengan anak kandung suami istri yang mengangkat anak,
sedangkan hubungan kekeluargaan dengan orang tuanya sendiri secara adat menjadi
putus. Ada juga mengangkat anak dari kalangan keluarga. Anak angkat lazimnya
diambil dari salah satu keluarga laki-laki yang disebut “purusa” atau pengangkatan
anak dari dalam keluarga.
Dari uraian tersebut di atas jelaslah pengertian anak angkat di Bali adalah anak orang
lain yang oleh seseorang diambil, dipelihara dan diperlakukan sebagai keturunan
sendiri. Di dalam perkembangannya pengangkatan anak di Desa Wirata Agung
Kecamatan Seputih Mataram Kabupaten Lampung Tengah sudah tidak sesuai dengan
ketentuan yang ada, terutama syarat-syarat anak yang diangkat. Adapun
pengangkatan anak akan berakibat pula pada pewarisan untuk si anak angkat itu
sendiri. Perkembangan itu tentunya menimbulkan permasalahan tersendiri, baik
mengenai pengangkatan anaknya maupun pewarisannya.

6

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian
dengan judul: “Pengangkatan Anak dan Akibat Hukumnya Menurut Adat Bali
( Studi Pada Masyarakat Bali Di Desa Wirata Agung Kecamatan Seputih
Mataram Kabupaten Lampung Tengah )”

B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup
Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, yang menjadi masalah dalam
skripsi ini adalah :
1. Bagaimana pelaksanaan pengangakatan anak menurut hukum adat Bali di
wilayah Kelurahan Wirata Agung Kecamatan Seputih Mataram Kabupaten
Lampung Tengah?
2. Bagaimana kedudukan anak angkat menurut hukum adat Bali di wilayah
Kelurahan Wirata Agung Kecamatan Seputih Mataram Kabupaten Lampung
Tengah?
3. Apa akibat hukum pengangkatan anak menurut hukum adat Bali di Kelurahan
Wirata Agung Kecamatan Seputih Mataram Kabupaten Lampung Tengah?

Ruang lingkup dalam penelitian ini sebagaimana sesuai dengan permasalahannya
adalah ruang lingkup materi penelitian yang mencakup keberlakuan hukum adat
dalam kehidupan masyarakat hukum adat , yang berkaitan dengan pengangkatan
anak.

7

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian
skripsi ini adalah mengetahui, memahami dan Menganalisis:
1. Pelaksanaan pengangkatan anak menurut hukum adat Bali di wilayah
Kelurahan Wirata Agung Kecamatan Seputih Mataram Kabupaten Lampung
Tengah.
2. Kedudukan anak angkat menurut hukum adat Bali di wilayah Kelurahan
Wirata Agung Kecamatan Seputih Mataram Kabupaten Lampung Tengah.
3. Akibat hukum pengangkatan anak menurut hukum adat Bali di wilayah
Kelurahan Wirata Agung Kecamatan Seputih Mataram Kabupaten Lampung
Tengah.

D. KegunaanPenelitian

Kegunaan penelitian ini dibagi dua yaitu :

a. Manfaat Teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat menunjang pengembangan ilmu
pengetahuan dibidang keperdataan khususnya dalam lingkup hukum adat, Serta
memberi gambaran pelaksanaan dan akibat hukum dalam pengangkatan anak
menurut hukum adat Bali di wilayah Kelurahan Wirata Agung Kecamatan Seputih
Mataram Kabupaten Lampung Tengah.

8

b. Manfaat Praktis

1) Secara praktis penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi pihak pihak yang
ingin melakukan pengangkatan anak menurut hukum adat Bali.
2) Diharapkan dapat membantu masyarakat atau pembaca untuk bisa mengatahui
proses pengangkatan anak menurut hukum adat Bali.
3) Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi pihak pihak yang terkait
dengan pengangkatan anak menurut hukum adat Bali.
4) Diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran atau masukan pada hukum
nasional

1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Masyarakat Hukum Adat
1. Pengertian Hukum Adat
Hukum adat adalah aturan kebiasaan manusia dalam hidup bermasyarakat. Sejak
manusia itu diturunkan Tuhan ke muka bumi, maka ia memulai hidupnya
berkeluarga, kemudian bermasyarakat dan kemudian bernegara. Terjadinya hukum
dimulai dari pribadi manusia yang diberi Tuhan akal pikiran dan perilaku. Perilaku
yang terus menerus dilakukan perorangan menimbulkan “kebiasaan pribadi”. Apabila
kebiasaan pribadi itu ditiru orang lain maka ia juga akan menjadi kebiasaan orang itu.
Lambat laun di antara orang yang satu dan orang yang lain di dalam kesatuan
masyarakat ikut pula melakukan kebiasaan itu, maka lambat laun kebiasaan itu
menjadi “adat” dari masyarakat itu.
Hukum adat merupakan produk dari budaya yang mengandung substansi tentang
nilai-nilai budaya cipta, karsa, rasa manusia. Dalam arti bahwa hukum adat lahir dari
kesadaran

atas kebutuhan dan keinginan manusia untuk hidup secara adil dan

beradab sebagai aktualisasi peradaban manusia. Selain itu hukum adat juga
merupakan produk social

yaitu sebagai hasil kerja bersama (kesepakatan) dan

2

merupakan karya bersama

secara bersama (milik sosial) dari suatu masyarakat

hukum adat.1
Jadi adat adalah kebiasaan masyarakat, dan kelompok-kelompok masyarakat lambat
laun menjadikan adat itu sebagai adat yang seharusnya berlaku bagi semua anggota
masyarakat sehingga menjadi “hukum adat”. Jadi hukum adat adalah adat yang
diterima dan harus dilaksanakan dalam masyarakat bersangkutan.2
Hukum adat adalah sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial di
Indonesia. Hukum adat adalah hukum asli bangsa Indonesia. Sumbernya adalah
peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan
dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena peraturan-peraturan
ini tidak tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat memiliki kemampuan
menyesuaikan diri dan elastis. Selain itu dikenal pula masyarakat hukum adat yaitu
sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama
suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar
keturunan.3

1

Dr. Djamanat samosir, 2013, Hukum Adat Indonesia, Bandung: penerbit Nuansa Aulia, hlm2
Hilman Hadikusuma, 2003, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung: Penerbit Mandar
Maju, hlm.1
3
Djaren Saragih,1996, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Bandung: Tarsito, hlm. 32

2

3

Hukum Adat berbeda di tiap daerah karena pengaruh:
a. Agama : Hindu, Budha, Islam, Kristen dan sebagainya. Misalnya : di Pulau
Jawa dan Bali dipengaruhi agama Hindu, Di Aceh dipengaruhi Agama Islam,
Di Ambon dan Maluku dipengaruhi agama Kristen.
b.

Kerajaan seperti antara lain: Sriwijaya, Airlangga, Majapahit.

c.

Masuknya bangsa-bangsa Arab, China, Eropa.

Ciri-ciri dari hukum adat yaitu:
a.

Tidak tertulis dalam bentuk perundangan dan tidak dikodifikasi.

b.

Tidak tersusun secara sistematis.

c.

Tidak dihimpun dalam bentuk kitab perundangan.

d.

Tidak tertatur.

e.

Keputusannya tidak memakai konsideran (pertimbangan).

f.

Pasal-pasal aturannya tidak sistematis dan tidak mempunyai penjelasan.4

Adat Menurut Masyarakat Bali adalah pokok pangkat kehidupan kelompok
masyarakat adat di Bali berdasarkan pada penuangan dari falsafah agama Hindu
disebut Tri Hita Karana atau yaitu upaya umum masyarakat untuk berusaha
menegakan keseimbangan hubungan antara warga masyarakat itu sendiri, upaya
penegakan keseimbangan hubungan warga masyarakat dalam kelompok masyarakat
dan keseimbangan masyarakat keseluruhan dengan alam Ke-Tuhanan.5

4

Muhammad Bushar, 2004, Pokok-Pokok Hukum Adat, Jakarta: PT Penebar Swadaya, hlm. 5

5

I ketut Artadi, 2012, Hukum Adat Bali dengan Aneka Masalahnya, Bali: Pustaka Bali Post, hlm.3

4

2. Bentuk Masyarakat Hukum Adat
a. Masyarakat Hukum Teritorial
Masyarakat hukum teritorial adalah masyarakat yang tetap dan teratur, yang anggotaanggota masyarakatnya terikat pada suatu daerah kediaman tertentu, baik dalam
kaitan duniawi sebagai tempat kehidupan maupun dalam kaitan rohani sebagai tempat
pemujaan terhadap roh-roh leluhur.
Para anggota masyarakatnya merupakan anggota-anggota yang terikat dalam
kesatuan yang teratur baik ke luar maupun ke dalam. Di antara anggota yang pergi
merantau untuk waktu sementara masih tetap merupakan anggota kesatuan territorial
itu. Begitu pula orang yang datang dari luar dapat masuk menjadi anggota kesatuan
dengan memenuhi persyaratan adat setempat.
b. Masyarakat Hukum Genealogis
Masyarakat atau persekutuan hukum yang bersifat genealogis adalah suatu kesatuan
masyarakat yang teratur, di mana para anggotanya terikat pada suatu garis keturunan
yang sama dari satu leluhur, baik secara langsung karena hubungan darah (keturunan)
atau secara tidak langsung karena pertalian perkawinan atau pertalian adat. Menurut
para ahli hukum adat di masa Hindia Belanda masyarakat yang genealogis itu dapat
dibedakan dalam tiga macam yaitu yang bersifat patrilinial, matrilinial dan bilateral
atau parental.

5

c. Masyarakat Teritorial-Genealogis
Masyarakat hukum teritorial-genealogis adalah kesatuan masyarakat yang tetap dan
teratur di mana para anggotanya bukan saja terikat pada tempat kediaman pada suatu
daerah tertentu, tetapi juga terikat pada hubungan keturunan dalam ikatan pertalian
darah dan atau kekerabatan.
d. Masyarakat Adat-Keagamaan
Di antara berbagai kesatuan masyarakat adat akan terdapat kesatuan masyarakat adat
yang khusus bersifat keagamaan di beberapa daerah tertentu. Jadi ada kesatuan
masyarakat adat-keagamaan menurut kepercayaan lama, ada kesatuan masyarakat
yang khusus beragama Hindu, Islam, Kristen/Katolik, dan ada yang sifatnya
campuran.
Di lingkungan masyarakat yang didominasi kepercayaan dan agama tertentu, maka
para anggotanya selain merupakan warga kesatuan desa menurut perundangan, tetapi
juga juga merupakan warga adat yang tradisional dan warga keagamaan yang
dianutnya masing-masing.
Tetapi ada kalanya kita melihat adanya suatu desa atau suatu daerah kecamatan yang
tidak terdiri dari suatu kesatuan masyarakat adat atau masyarakat agama tertentu,
melainkan berbeda-beda, sehingga karena adanya perbedaan itu maka diantara masy
arakat itu di samping sebagai anggota kemasyarakatan yang resmi, membentuk
kesatuan masyarakat adat keagamaan yang khusus sesuai dengan kepentingan adat

6

keagamaaan mereka. Jadi ada masyarakat yang merupakan kesatuan masyarakat
“desa umum” berdasarkan ketentuan perundangan dan ada “desa adat” yang khusus.
e. Masyarakat Adat Perantauan
Masyarakat desa adat keagamaan Sadwirama tersebut merupakan suatu bentuk baru
bagi orang-orang Bali untuk tetap mempertahankan eksistensi adat dan agama
Hindunya di daerah perantauan. Lain halnya dengan masyarakat adat Melayu, seperti
orang Aceh, Batak, Minangkabau, Lampung, Sumatera Selatan, Kalimantan,
Sulawesi, Maluku dan lainnya, yang berada di daerah perantauan cenderung
membentuk kelompok-kelompok kumpulan kekeluargaan seperti “rukun kematian”,
atau membentuk sebagai “kesatuan masyarakat adat” yang berfungsi sebagai
pengganti kerapatan adat di kampung asalnya.
Di dalam organisasi perkumpulan tersebut duduk para tua-tua adat dari masyarakat
adat bersangkutan, dengan susunan pengurus: Ketua, Sekretaris, Bendahara dan para
anggota. Susunan kepengurusan itu disesuaikan dengan keadaan masyarakat yang ada
di perantauan. Jadi tidak lagi tersusun sebagaimana susunan asli di daerah asalnya;
begitu pula hukum adat yang diterapkan tidak lagi sempurna sebagaimana di daerah
asalnya.
f. Masyarakat Adat Lainnya
Di dalam kehidupan masyarakat kita dapat menjumpai pula bentuk-bentuk kumpulan
organisasi yang ikatan anggota-anggotanya didasarkan pada ikatan kekaryaan sejenis

7

yang tidak berdasarkan pada hukum adat yang sama atau daerah asal yang sama,
melainkan pada rasa kekeluargaan yang sama dan terdiri dari berbagai suku bangsa
dan berbeda agama.
Bentuk masyarakat adat ini kita temukan di berbagai instansi pemerintah atau swasta,
atau di berbagai lapangan kehidupan sosial ekonomi yang lain. Kesatuan masyarakat
adatnya tidak lagi terikat pada hukum adat yang lama melainkan dalam bentuk
hukum kebiasaan yang baru.
B. Tinjauan Umum Masyarakat Hukum Adat Bali
Pokok pangkal kehidupan kelompok masyarakat adat di Bali berdasar pada
penuangan dari falsafah agama Hindu yang disebut Tri Hita Karana yaitu upaya
umum masyarakat untuk berusaha menegakkan keseimbangan hubungan antara
warga masyarakat itu sendiri, upaya menegakkan keseimbangan hubungan warga
masyarakat dengan kelompok masyarakat dan keseimbangan masyarakat keseluruhan
dengan alam ke-Tuhanan. Falsafah ini sudah begitu mendalam mewarnai
kehidupan/pola hidup masyarakat Bali, sehingga kini upaya pengembalian
masyarakat selalu disandarkan kepada ketiga hal diatas6. Berikut adalah uraian
singkat mengenai ketiga hal pokok tersebut:
a. Hubungan Antarwarga
Di dalam susunan murni lingkungan masyarakat adat Bali, dikenal adanya wadah
“desa adat” yang mengorgansir masyarakat secara bulat. Eksistensi desa adat
6

Ibid. hlm 42

8

sangat dominan bahkan hampir menjangkau seluruh aspek kehidupan. Desa adat
berpegangan kepada suatu sarana yang menyebabkan ia semakin bulat yang
disebut Pura Kahyangan Tiga sebagai tempat pemujaan Trisakti. Pura Kahyangan
Tiga ini meliputi Pura Bale Agung sebagai tempat pemujaan Brahma, Pura Puseh
sebagai tempat pemujaan Wisnu dan Pura Dalem

sebagai tempat pemujaan

Durga. Dari ketiga sarana inilah bersumber begitu banyak kewajiban dan hak-hak.

Hubungan antarwarga desa ini, meliputi aturan-aturan nyata yang dibuat oleh
masyarakat yang dituangkan dalam bentuk awig-awig yang mengatur misalnya
batas-batas

pekarangan,

pitra

yadnya

yaitu

warga

masyarakat

harus

mengindahkan juga hubungan keagamaan dengan upacara-upacara di tempat
persembahyangan desa. Dalam aspek lain hubungan antarwarga ini menonjol juga
di dalam hal pentaatan terhadap kebiasaan pergaulan hidup yang dihormati yang
dapat berupa tata susila, sopan santun dalam pergaulan hidup di suatu desa dan
lain-lain.
b. Hubungan Warga dengan Kelompok Masyarakat
Bentuk hubungan ini umumnya lebih jelas dapat dilihat dalam bentuk pengaturan
hubungan hidup kerukunan dalam wadah aturan tertulis (awig-awig), termasuk
pula yang tidak tertulis tetapi ditaati secara turun-temurun.
Di dalam perhubungan ini, tercermin bagaimana masyarakat dalam kehidupan
kelompok berhadapan dengan warga masyarakat secara perseorangan. Setiap
warga yang punya pekerjaan menyangkut adat istiadat masyarakat, anggota/warga
yang punya pekerjaan harus mengerti dan berhati-hati dalam bertingkah. Bahkan

9

kesopanan adat dan tata susila yang dianggap patut itu menjadi terdorong ke
depan pada setiap tindakan dan dilaksanakan dengan sedemikian penuh kesadaran
oleh setiap anggota masyarakat, karena takut akan sanksi sosial yang umumnya
ditimpakan oleh kelompok masyarakat.
c. Hubungan dengan Alam ke-Tuhanan
Manifestasi hubungan ini sangat nyata di masyarakat Bali. Secara bulat
masyarakat adat terikat kepada kewajiban-kewajiban ke tempat persembahyangan
yang ada di desa yang disebut Pura Kahyangan Tiga. Ke pura ini masyarakat
memikul cukup banyak kewajiban-kewajiban keagamaan. Tidak jarang
kewajiban-kewajiban ini ada sangkut pautnya dengan sumber kekayaan dan
kehidupans sehari-hari bahkan sejumlah kehidupan material dengan sarana-sarana
kekayaan seperti tanah-tanah, pekarangan dicantolkan dengan kewajiban ke pura
atau ke desa.
Setiap langkah kehidupan, terkait dengan begitu menyatu pada sarana-sarana desa
yang ada dan hampir setiap kegoncangan yang terjadi di masyarakat selalu
dihubungkan dengan alam ke-Tuhanan.
C. Tinjauan Umum Pengangkatan Anak
1. Pengertian Anak

Anak merupakan insan pribadi (persoon) yang memiliki dimensi khusus dalam
kehidupannya, dimana selain tumbuh kembangnya memerlukan bantuan orang tua,

10

faktor lingkungan juga memiliki peranan yang sangat penting dalam mempengaruhi
kepribadian si anak ketika menyongsong fase kedewasaannya kelak. Yang dimaksud
dengan anak adalah seseorang sejak mulai berada dalam kandungan sampai usia 18
tahun dan belum pernah kawin. Anak adalah sosok yang akan memikul tanggung
jawab di masa yang akan datang, sehingga tidak berlebihan jika Negara memberikan
suatu

perlindungan

bagi

anak-anak

dari

perlakuan-perlakuan

yang

dapat

menghancurkan masa depannya. Undang-Undang memberikan beberapa terminologi
anak berdasarkan fungsi dan kedudukannya antara lain sebagai berikut:7

a.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang
senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat
dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi
anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam
Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
tentang Hak-Hak Anak. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara,
anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa,
sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan
berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak
kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.

b.

7

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

D.Y. Witanto, Hukum Keluarga Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin, Prestasi Pustaka, Jakarta,
2012, hlm 4-5

11

Anak adalah potensi serta penerus cita-cita bangsa yang dasar-dasarnya
telah diletakkan oleh generasi sebelumnya.
c.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya
manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan
bangsa, yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri dan sifat
khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka
menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial
secara utuh, serasi, selaras dan seimbang.

d.

Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pengangkatan
Anak
Anak merupakan bagian dari generasi muda, penerus cita-cita
perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan
nasional.

Dari beberapa terminologi diatas pada prinsipnya mengandung persamaan persepsi
bahwa anak adalah pribadi yang memiliki peranan penting dan strategis dalam
memikul tanggung jawab masa depan bangsa. Anak mempunyai ciri dalam dimensi
kehidupan yang khusus sehingga tidak bisa dilepaskan dari peranan orang tua dalam
memelihara dan mendidiknya hingga ia mencapai masa kedewasaannya.

12

2. Pengertian Pengangkatan Anak
Dari segi perkembangan hukum nasional. rumusan pengertian pengangkatan anak
secara formal dan berlaku bagi seluruh pengangkatan anak di Indonesia tanpa
membeda-bedakan golongan atau suku, juga tanpa membedakan domestic adoption
atau inter-country adoption dituangkan dalam Pasal 1 butir 2 Peraturan Pemerintah
Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanan Pengangkatan Anak8.
“Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan,
seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang
lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan
anak tersebut kedalam lingkungan keluarga orang tua angkat”
Pengangkatan anak adalah pengangkatan anak orang lain ke dalam keluarga sendiri
sedemikian rupa sehingga antara anak yang diangkat dengan orang tua angkatnya
timbul hubungan antara anak sebagai anak sendiri dan orang tua angkat sebagai orang
tua sendiri. Hubungan yang timbul ini berupa akibat hukum yang timbul dari
perbuatan hukum pengangkatan anak.
Pengangkatan anak sering juga diistilahkan dengan adopsi. Adopsi berasal
dari Adoptie (Belanda) atau adoption (Inggris). Adoption artinya pengangkatan,
pemungutan, adopsi, dan untuk sebutan pengangkatan anak disebut adoption of a
child.

8

Pandika Rusli, 2012, Hukum Pengangkatan Anak, Sinar Grafika Jakarta. hlm. 105

13

3. Pengertian pengangkatan anak menurut Adat Bali
Pada hukum adat Bali pengangkatan anak dikenal dengan beberapa istilah seperti
meras pianak atau meras sentana. Kata sentana berarti anak atau keturunan dan kata
meras berasal dari kata peras yaitu semacam sesajen atau banten untuk pengakuan /
pemasukan si anak ke dalam keluarga orang tua angkatnya. Disamping istilah
tersebut di atas ada pula yang memakai istilah atau menyebut dengan ngidih sentana /
ngidih pianak. Penyebutan tersebut mengandung pula pengertian sama dengan
pengertian meras senatana taupun meras pianak.
Pengertian pengangkatan anak di Bali kiranya tidak jauh berbeda dengan yang
dikemukakan di atas. Adapun yang dimaksud dengan anak angkat dalam hukum adat
Bali adalah anak orang lain diangkat oleh orang tua angkatnya menurut adat
setempat, sehingga dia mempunyai kedudukan sama seperti anak kandung yang
dilahirkan oleh orang tua angkatnya tersebut. Hal ini selanjutnya akan membawa
akibat hukum

dalam hubungan

kekeluargaan, waris dan

kemasyarakatan.

Konsekuensinya disini segala hak dan kewajiban yang ada ada orang tua angkatnya
akan dilanjutkan oleh anak angkat itu sendiri, sebagaimana layaknya seperti anak
kandung. Dari pengertian pengangkatan menurut Hukum Adat Bali seperti tersebut di
atas dapat dijabarkan :
a. Adanya perbuatan melepas si anak dari kekuasaan orang tua kandung.
b. Adanya perbuatan memasukkan si anak ke dalam kekerabatan orang tua
angkatnya.

14

Pengertian melepaskan si anak adalah perbuatan berupa permintaan calon orang tua
angkat terhadap orang tua kandung si anak atau kerabat si anak. Permintaan itu untuk
melepas si anak dari kekuasaan orang tua kandungnya/kerabatnya yang selanjutnya
dimasukkan ke dalam keluarga orang tua angkat untuk didudukkan sebagai pelanjut
keturunan. Perbuatan hukum ini termasuk pula pengumuman atau siaran yaitu
pengumuman yang ditujukan kepada masyarakat adat maupun kepada kerabatkerabat si anak itu. Adapun maksud dari pengumuman itu agar ada kata sepakat untuk
melepas si anak tersebut dan perbuatan tersebutpun menjadi terang. Pengertian
memasukkan si anak ke dalam kerabat orang tua angkatnya : tercermin dalam
perbuatan yang berupa pelaksanaan upacara pemerasan atau mewidiwidana. Secara
keagamaan hal ini mengandung arti bahwa si anak akan dilepas dari kekuasaan baik
dari orang tua kandungnya/kerabat maupun leluhurnya untuk selanjutnya dimasukkan
dalam lingkungan kerabat orang tua angkatnya. Disamping itu upacara tersebut juga
mengandung arti bahwa si orang tua angkat selanjutnya akan mengakui si anak tadi
sebagai anak kandung sendiri. Mulai saat itulah timbul hubungan hukum antara si
anak angkat terhadap orang tua angkatnya. Dengan demikian secara yuridis anak
angkat dengan orang tua kandungnya tidak lagi ada hubungan waris mewaris tapi ia
mewaris pada orang tua angkatnya.
Bila kita membandingkannya dengan pengangkatan anak di luar daerah Bali misalnya
yang mempunyai sistem kekeluargaan parental seperti di daerah Jawa, maka
pengangkatan anak tidaklah mempunyai konsekuensi yuridis seperti di Bali. Pada

15

masyarakat adat di Jawa kedudukan anak angkat hanya sebagai anggota keluarga
orang tua angkatnya, ia tidak berstatus sebagai anak kandung.9
4. Jenis-jenis Pengangkatan anak pada masyarakat Bali

Pengangkatan dilakukan melalui upacara Paperasan yaitu upacara yang dihadiri oleh
kepala adat dan keluarga dalam satu “pakraman” atau kekeluargaan. Upacara
dilakukan dengan membakar benang melambangkan hubungan dengan ibunya putus,
dan pembayaran adat berupa 1.000 (seribu) kepeng serta seperangkat pakaian. Yang
kemudian diumumkan (siar) kepada warga desa, dan kemudian raja memberikan
izinnya dengan membuatkan akta (“surat Peras”).10
Memperhatikan ketentuan di atas, tampak ada beberapa poin penting yang patut
diperhatikan apabila pasangan suami-istri ingin mengangkat anak, yaitu: (1). Anak
yang diangkat berasal dari anggota keluarga sedarah terdekat (“kasta” yang sama),
dalam garis keturunan laki-laki. (2). Perlu mendapat persetujuan keluarga dan desa.
Dalam pengangkatan anak (adopsi) kemenakan ini selain dilatarbelakangi karena
alasan tidak atau belum dikaruniai anak, juga terdorong oleh rasa kasihan atau iba.
Perbedaan antara adopsi kemenakan dan adopsi dengan satu clan/ kekerabatan dalam
perbedaan status dan tidak adanya pembayaran.

Menurut Tolib Setiady , pada umumnya pada masyarakat Bali terdapat sebab-sebab
mengangkat anak dari keponakan adalah:
9

R.Soepomo, 2000, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita, hlm 104
http://www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=detailberitaminggu&kid=13&id=53909.dikutip 7
Juli 2013 Pukul 18.30
10

16

a. Tidak mempunyai anak sendiri sehingga dengan mengangkat keponakan
tersebut merupakan jalan untuk mendapatkan keturunan.
b. Belum dikaruniai anak sehingga dengan mengangkat anak tersebut.
c. diharapkan akan mempercepat kemungkinannya akan medapatkan anak
(kandung).
d. Terdorong oleh rasa kasihan terhadap keponakan yang bersangkutan karena
misalnya hidupnya kurang terurus, dan lain sebagainya.11

5. Asas Pengangkatan Anak Pada Masyarakat Adat

Dalam pengangkatan anak pada masyarakat adat akan memunculkan asas-asas antara
lain:

a. Asas mengangkat anak untuk meneruskan garis keturunan.
b. Asas mengangkat anak laki-laki untuk meneruskan garis keturunannya
Biasanya terjadi pada msyarakat Bali.
c. Asas mengutamakan kesejahteraan anak angkat Kedudukan anak angkat
dalam keluarga.12
d. Asas kekeluargaan
e. Asas kemanusiaan
f. Asas persamaan hak

11
12

Tolib setiady, 2009, Intisari Hukum Adat Indonesia. Alfabeta, Bandung, hlm. 30
Hilman Hadikusuma, 1987, Hukum Kekerabatan Adat, Fajar Agung, Jakarta, hlm 78

17

g. Anak angkat dalam masyarakat adat diterima secara biologis dan sosial,
sehingga kedudukannya sama dengan anak kandung begitupula dengan hakhaknya sebagai anak.
h. Asas musyawarah dan mufakat
i. Asas tunai dan terang

6. Kedudukan Anak Angkat Dalam Hukum Waris Adat
Pada umumnya menurut hukum adat kedudukan anak angkat sama dengan anak
kandung apabila ia diangkat secara terang dan tunai yaitu disaksikan oleh Ketua adat
(Kepala Desa) dan ada uang sebagai penganti untuk orang tua kandung si anak
angkat.
Kedudukan anak angkat di Bali yaitu anak angkat diperlakukan sama sebagai anak
kandung sendiri juga terhadap harta warisan dari orang tua angkatnya ia berhak
mewarisinya dan sebaliknya si anak angkat itu akan kehilangan hak waris di rumah
keluarga kandungnya sendiri dan ia berkewajiban untuk menyelenggarakan upacara
pembakaran jenasah (pengabenan) orang tua angkatnya.13
Apabila seorang anak perempuan disahkan menjadi anak angkat, maka ia dianggap
sebagai seorang lelaki dan ia tetap mempunyai hak waris setelah ia menikah (kawin
nyeburin), sehingga kemudian dalam mewaris harta peninggalan orang tua asalnya ia
mewaris bersama-sama dengan saudara-saudara perempuannya yang belum menikah.

13

I Gde Wayan Pangkat,1990, Hukum Adat Waris di Bali, Putra Persada, Denpasar, hlm. 17

18

7. Hak mewaris bagi anak angkat
Anak-anak yang berhak menjadi ahli waris dapat dibedakan atas :14

1) Anak kandung, yakni anak yang lahir dalam suatu perkawinan sehingga
timbul hubungan hukum antara orang tua dan anak baik dalam pemeliharaan
juga terhadap harta kekayaan.Anak kandung akan menjadi ahli waris dari
orang tuanya yang meninggal dunia, akan tetapi jika dihubungkan dengan
sistem kekerabatan maka tidak semua anak yang masih hidup berhak menjadi
ahli waris, yaitu :
a. Pada masyarakat matrilineal, semua anak berhak menjadi ahli waris hanya
dari ibunya saja (misalnya di Minangkabau).
b. Pada masyarakat patrilineal, hanya anak laki-laki saja yang berhak
menjadi ahli waris dari orang tuanya (misalnya di Batak).
c. Pada masyarakat bilateral, semua anak baik laki-laki maupun perempuan
berhak menjadi ahli waris dari orang tuanya (misalnya di Jawa).
2) Bukan anak kandung, yakni anak yang tidak dilahirkan dari perkawinan
pewaris, yang terdiri atas :
a. Anak angkat, yakni anak orang lain yang diangkat menjadi anak sendiri.
Akan tetapi tidak semua anak angkat berhak menjadi ahli waris. Misal di
Bali anak angkat berhak menjadi ahli waris orang tua angkat karena
pengangkatan anak tersebut mengakibatkan terputusnya pertalian keluarga

14

Ibid,hlm 23

19

dengan orang tua sendiri.Sedangkan di Jawa pengangkatan anak tidak
mengakibatkan putusnya pertalian keluarga orang tuanya sendiri.
b. Anak piara, yakni anak orang lain yang dipelihara baik dengan sukarela
atau perjanjian. Anak piara tidak berhak menjadi ahli waris yang
memeliharanya.
c. Anak gampang, yakni anak yang dilahirkan tanpa ayah sehingga anak
tersebut berhak menjadi ahli waris dari ibunya saja.
d. Anak tiri, yakni anak yang dibawa oleh suami atau istri kedalam suatu
perkawinan yang baru. Anak tiri hanya menjadi ahli waris dari orang tua
kandungnya saja.

D. Akibat Hukum Yang Timbul Dari Pengangkatan Anak

Menurut Ter Haar mengangkat anak mempunyai sifat sebagai suatau perbuatan
hukum yang rangkap, dan juga bersifat magis religius, terang dan tunai. Dari
pengertian tersebut dapat diartikan bahwa pengangkatan anak itu mempunyai sifat:15

1. Perbuatan hukum yang rangkap berarti ada dua perbuatan hukum yang harus
dilalui dalam proses pengangkatan anak yaitu disatu pihak melepaskan anak
tersebut dari ikatan kekeluargaan dengan orang tua kandungnya dan dipihak
lain memasukkan anak tersebut kedalam ikatan kekeluargaan orang tua
angkatnya.

15

Ten Haar, 1986, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, diterjemahkan oleh Soebekti Poesponoto,
Jakarta: Pradnya Paramita, hlm. 89

20

2. Magius religius berarti pada saat pengambilan anak tersebut harus disertai
suatu upacara penyerahan suatu benda sebagai pengganti anak tersebut.
3. Terang artinya pengangkatan anak tersebut dikatakan sah, maka dalam proses
pengesahannya haruslah disaksikan oleh dan dihadapan kepala desa dan
selanjutnya diumumkan secara luas keseluruh desa.
4. Tunai artinya bahwa pengambilan anak harus disertai dengan penyerahan
benda yang kelihatran sebagai pengganti anak tersebut pada saat upacara yang
dilaksanakan pada saat yang bersamaan.
Menurut Surojo Wignyodipuro mengangkat anak adalah suatu perbuatan hukum yang
mengambil anak orang lain kedalam keluarga sendiri sedemikian rupa sehingga
antara orang yang mengangkat anak dengan orang yang diangkat itu timbul suatu
hubungan kekluargaan yang sama seperti yang ada antara orang tua dengan anak
kandung sendiri.16

Dari berbagai definisi yang diberikan oleh para ahli, ada dua corak pengertian anak
angkat. Pertama, mengambil anak orang lain untuk diasuh dan dididik dengan penuh
perhatian dan kasih sayang, tanpa diberikan status anak kandung kepadanya. Kedua,
mengambil anak orang lain sebagai anak sendiri dan dia diberi status sebagai anak
kandung sehingga hak dan kewajibannya sama seperti anak kandung dan dinasabkan
kepada orang tua angkatnya.

Persamaan dari dua jenis defenisi tersebut adalah dari aspek perlindungan dan
kepentingan anak seperti pemeliharaan, pengasuhan, kasih sayang, pendidikan, mas

Dokumen yang terkait

PERSEPSI MASYARAKAT BALI TERHADAP TRADISI OGOHOGOH DI KAMPUNG RAMA UTAMA KECAMATAN SEPUTIH RAMAN KABUPATEN LAMPUNG TENGAH

1 10 64

PERANAN KELOMPOK IBU PKK DI BIDANG KEBUDAYAAN DALAM RANGKA MEMANFAATKAN POTENSI KEBUDAYAAN DAERAH DI DESA WIRATA AGUNG KECAMATAN SEPUTIH MATARAM LAMPUNG TENGAH TAHUN 2013

2 33 82

PERUBAHAN TRADISI KEJAWEN PADA MASYARAKAT JAWA DI KAMPUNG BANJAR AGUNG MATARAM KECAMATAN SEPUTIH MATARAM KABUPATEN LAMPUNG TENGAH (1982-2012)

0 13 61

PERSEMBAHYANGAN PURNAMA DAN TILEM (Studi tentang Persembahyangan Masyarakat Bali ke Pura Puseh dan Pura Dalem di Dusun Tirtayoga Desa Trimulyo Mataram Kecamatan Seputih Mataram Kabupaten Lampung Tengah)

4 46 93

PENGANGKATAN ANAK DAN AKIBAT HUKUMNYA MENURUT ADAT BALI (STUDI PADA MASYARAKAT BALI DI DESA WIRATA AGUNG KECAMATAN SEPUTIH MATARAM KABUPATEN LAMPUNG TENGAH)

0 11 64

PERSEPSI MASYARAKAT BALI TERHADAP SISTEM KASTA DI DESA BUYUT BARU KECAMATAN SEPUTIH RAMAN KABUPATEN LAMPUNG TENGAH TAHUN 2015

0 15 58

PERKAWINAN ANAK DI BAWAH UMUR DITINJAU DARI HUKUM ADAT BALI STUDI PADA MASYARAKAT BALI DI DESA BALINURAGA KECAMATAN WAY PANJI KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

0 12 61

PELAKSANAAN PERJANJIAN GADAI TANAH PERTANIAN MENURUT HUKUM ADAT (STUDI DI DESA SIMPANG AGUNG KECAMATAN SEPUTIH AGUNG KABUPATEN LAMPUNG TENGAH)

1 34 64

PELAKSANAAN PERKAWINAN NYENTANA PADA MASYARAKAT ADAT BALI (STUDI PADA MASYARAKAT ADAT BALI DI DESA RAMA NIRWANA KECAMATAN SEPUTIH RAMAN LAMPUNG TENGAH)

0 18 13

JURNAL ILMIAH PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK DAN AKIBAT HUKUMNYA MENURUT HUKUM ADAT BALI DAN HUKUM POSITIF

0 0 18