TINGKAT STRES SARJANA YANG MENGANGGUR

  

TINGKAT STRES

SARJANA YANG MENGANGGUR

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

  

Program Studi Psikologi

Disusun oleh:

Devita Ambar Koeswarawangi

  

NIM : 059114043

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

  

2009

  Tidak ada sesuatu pun yang terjadi padaku yang Engkau dan aku tidak dapat menyelesaikannya bersama-sama…

  No mountain too high for you to climb All you have to do is have some climbing faith No rivers too wide for you to make it across All you have to do is BELIEVE it when you pray

  (Celine Dion and R. Kelly) “Waktu Tuhan” By. NN

  Di dalam hidup ini, semua ada waktunya Ada waktunya kita menabur, ada waktu menuai Mungkin dalam hidupmu badai datang menyerbu Mungkin doamu bagai tak terjawab, namun yakinlah tetap

  Bagaikan kuncup mawar pada waktunya mekar Percaya Tuhan jadikan semua indah pada waktunya Hendaklah kita selalu, hidup dalam firman-Nya Percaya Tuhan nantikanlah dia bekerja dalam waktu-Nya

  Tuhan takkan terlambat, juga tak akan lebih cepat Semuanya Dia jadikan indah, tepat pada waktunya Tuhan dengar doamu, Tuhan tak pernah tinggalkanmu Pertolongan-Nya pasti’kan tiba, TEPAT PADA WAKTUNYA…

  Karya ini kupersembahkan untuk: DIA yang memiliki kehidupan dan menghembuskan nafas kehidupan padaku…

  Mereka berdua yang menjadi perantara sehingga aku bisa hadir dan hidup di dunia… Mereka yang membuatku lebih menghargai kehidupan….

  Dan

Mereka yang masih dan akan selalu hidup di hatiku…

  

ABSTRAK

Devita Ambar Koeswarawangi (2009). Tingkat Stres Sarjana yang

Menganggur. Yogyakarta: Fakultas Psikologi, Jurusan Psikologi, Program

Studi Psikologi, Universitas Sanata Dharma.

  Penelitian ini bertujuan untuk melihat tingkat stres yang dialami oleh sarjana yang menganggur dengan menggunakan satu skala yaitu skala tingkat stres sarjana yang menganggur yang terdiri dari 59 item. Pengujian validitas dilakukan dengan professional judgement dan uji reliabilitasnya dengan Alpha

  Cronbach. Skala tersebut memiliki koefisien reliabiltas sebesar 0,961.

  Subjek penelitian ini adalah 100 orang sarjana yang belum mendapatkan pekerjaan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif. Hasil penelitian menyatakan bahwa sarjana yang menganggur mengalami stres dalam tingkatan yang rendah. Hal ini disebabkan antara lain karena adanya dukungan instrumental dari keluarga berupa bantuan biaya hidup. Selain itu, tingkat pendidikan yang tinggi, dan adanya anonimitas dalam diri sarjana yang menganggur juga menjadi faktor yang berpengaruh. Subjek memiliki kekuatan pada aspek reaksi personal yang ditandai dengan skor mean terendah, yaitu sebesar 17.4100.

  Kata kunci: tingkat stres, sarjana, menganggur

  

ABSTRACT

Devita Ambar Koeswarawangi (2009). The Level Stress of Unemployment

Bachelor Degree Graduates. Yogyakarta: Faculty of Psychology, Department

of Psychology Study Program, Sanata Dharma University.

  The aim of this research was to find out the level stress that happened to unemployment bachelor degree graduates with using one scale that was called unemployment bachelor degree graduate’s level stress scale that contains of 59 items. Validity testing was done with professional judgment and testing’s reliability was done with alpha cronbach. The reliability coefficient scale’s was 0,961.

  The subject of this research was one hundred unemployment bachelor degree graduates. The method that was used in this research is descriptive statistic. The result of this research explained that unemployment bachelor degree graduates got stress in the low level. This was caused by instrumental supports given by their family such as living costs. Beside that the education level and the existence of anonymity of them also became influence factors. The subject had strongest strength in personal reaction aspect which is showed by the lowest mean score. The score was 17.4100 Key words: Level stress, bachelor degree graduate, unemployment

KATA PENGANTAR

  Tiada kata yang dapat menggambarkan betapa ku bersyukur kepada Bapa di surga atas segala penyertaan-Nya dalam kehidupanku, terutama pada saat penggarapan skripsi ini. Rasa syukur selalu kuselipkan dalam tiap nada dan doa yang terucap. Disela-sela rasa lelah dan tetes air mata kerinduan, Engkau menyertaiku sehingga jiwaku kembali bersemangat dan dipenuhi rasa suka cita. Skripsi ini dapat kuselesaikan, tak lain dan tak bukan karena kuasa dan kasih-Mu yang begitu nyata dalam hidupku, Bapa. Terima kasih karena Engkau baik, dan selalu baik.

  Skripsi ini dapat diselesaikan tentunya atas dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu ijinkan penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

  1. Bapak P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si, selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

  2. Bapak Heri Widodo, S.Psi., M.Psi, selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah memberi pengarahan dengan sangat sabar; Terima kasih banyak karena telah membuat impian saya menjadi nyata.

  3. Prof. Dr. A. Supratiknya dan YB Cahya Widiyanto, S.Psi., M.Si., selaku Dosen Penguji Skripsi.

  4. Ibu Kristiana Dewayani, S.Psi., M.Si, selaku Dosen Pembimbing Akademik yang turut memberi inspirasi dan dukungan akademik kepada penulis.

  5. Segenap dosen-dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, terima kasih atas bimbingan dan ilmu-ilmu yang sangat berharga yang telah diberikan.

  6. Kedua orangtuaku, Agoestinus Koesmin dan Yustina Ambar Endah Kristianingsih yang selalu memberi dukungan yang sangat cukup baik moral maupun material sejak penulis dilahirkan hingga saat ini. Dari semua

  orangtua yang ada di dunia ini, kalian yang TERHEBAT!!! Terima kasih banyak atas doa-doanya…

  7. Kakak-kakakku: Mas Adhy, Mas Bayu, dan Mas Chandra yang telah menjadi kakak-kakak yang sangat sabar menghadapi adiknya yang seperti ini. Thanks a

  lot, Bro.. Doaku untuk kalian..

  8. Adit, Mas Charlie, Mbak Lia Alto, Brondang, Mbak Esti, Lili, Iche, Surya, Mbak Ellen, Ita, Bibik, Mas Har, Pippi, Mbak Ully, Hafid, Andang, Topix, Inug, Mbak Nuri, Dion, Mas Anto, Mas Ridwan, Alfa, Agus, Indra, Puput, Budi, Mbak Eva, Mas Njun, Pak Lukas, Daniel, Mbak Dani, Mas Adji. Terima kasih semuanya… Tanpa kalian entah sampai di mana skripsiku saat ini…

  9. Mami dan Lilie, terima kasih atas dukungan-dukungan baik secara fisik maupun moril. Terima kasih juga karena banyak membantuku ketika aku sakit.

  10. Dewi, Marni, Beatrik, Bibik, dan semua teman-teman yang selalu memberi semangat di setiap kesempatan.

  11. Teman-teman Perganal: Sutok, Pipit, Donk-Donk, Lista. Terima kasih karena kalian tidak pernah berubah. Kualitas jauh lebih penting daripada kuantitas.

  Iya kan, gals??!!

  12. Saudara-saudara di PSM Cantus Firmus: Mas Mbonk, Mbak Nuri, Mbak Ike, I’ie, Maleo, Andang, Agus, Mbak Prima, Mas Danang, Bang Iyus, Oma dan semuanya yang telah menjadi saudaraku. Thanks to PSM karena telah memberikan pelajaran-pelajaran berharga dan sempat memberikanku seseorang yang amat berharga dalam perjalananku untuk menjadi dewasa.

  13. Teman-teman Felicitas Choir, Jhi-lo Choir, dan Konco Kenthel: Terima kasih banyak karena telah begitu banyak membawa tawa dan suka cita dalam hidupku. Begitu banyak pengalaman menyenangkan bersama kalian. Bersama kalian aku tumbuh dalam semangat pelayanan. Kebersamaan dengan kalian juga membuat skripsiku mundur dua bulan..  14. Kak Badai atas pertolongannya di saat yang genting.

  15. Brondang, atas info tentang apa saja yang harus dilakukan sebelum ujian skripsi. Sampai-sampai merelakan waktunya untuk mengetik itu semua.

  Makasih banyak, Bang.

  16. Raymond Runtukahu yang secara tidak langsung menjadi pemacu untuk mengawali skripsi ini dengan kobaran semangat dan Felix Elang Hutagaol yang ‘menemani’ dan senantiasa menjadi penyemangat untuk terus memperjuangkan skripsi ini.

  17. Semua pihak yang tanpa sengaja belum disebutkan di sini; terima kasih banyak.

  

DAFTAR ISI

Halaman

  HALAMAN JUDUL………………………………………….................. i HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING………………... ii

  HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………… iii HALAMAN MOTTO……………………………………………………. iv HALAMAN PERSEMBAHAN…………………………………………. v PERNYATAAN KEASLIAN KARYA…………………………………. vi ABSTRAK……………………………………………………………….. vii ABSTRACT……………………………………………………………… viii HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH……….. ix KATA PENGANTAR…………………………………………………… x DAFTAR ISI……………………………………………………………... xiii DAFTAR TABEL………………………………………………………... xvi BAB I. PENDAHULUAN……………………………………………….

  1 A. Latar Belakang Masalah……………………………………..

  1 B. Rumusan Masalah……………………………………………

  5 C. Tujuan Penelitian…………………………………………….

  6 D. Manfaat Penelitian……………………………………………

  6 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………

  7 A. Stres………………………………………………………….

  7

  1. Definisi Stres…………………………………………….

  7 2. Penyebab Stres…………………………………………..

  10 3. Reaksi Stres……………………………………………...

  12

  4. Faktor yang Mempengaruhi Stres………………………

  15 B. Sarjana yang Menganggur…………………………………...

  17 C. Stres Sarjana yang Menganggur……………………………..

  17 BAB III. METODE PENELITIAN………………………………………

  20 A. Jenis Penelitian………………………………………………

  20 B. Identifikasi Variabel Penelitian……………………………..

  20 C. Definisi Operasional…………………………………………

  20 D. Subjek Penelitian…………………………………………….

  22 E. Metode dan Alat Pengumpulan Data……………………….

  23 F. Instrumen Pengukuran………………………………………

  24

  1. Validitas…………………………………………………

  24 2. Seleksi Item…….……...………………………………..

  25 3. Reliabilitas..……………………………………………..

  26 G. Metode Analisis Data………………………………………

  26 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN………………………………..

  28 A. Pelaksanaan Penelitian………………………………………

  28 B. Hasil Penelitian…………………………………..................

  29 1. Seleksi Item……………………………………………..

  30

  2. Uji Reliabilitas………..…………………………………

  32 3. Uji Normalitas…………………………………………..

  32

  4. Analisis Deskriptif………………………………………

  33 C. Pembahasan………………….……………………………...

  37 BAB V. PENUTUP……………………………………………………….

  44 A. Kesimpulan…………………………………………………..

  44 B. Saran…………………………………………………………

  44 C. Kelemahan Penelitian……………………………………….

  44 DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………….

  45 LAMPIRAN………………………………………………………………

  48

  

DAFTAR TABEL

  Tabel Halaman

  1. Blue print Skala Tingkat Stres Lulusan Sarjana yang Menganggur…………………………………………………….

  24

  2. Sebaran item Skala Tingkat Stres Lulusan Sarjana yang Menganggur (sebelum analisis item)……………………………

  30

  3. Sebaran item Skala Tingkat Stres Lulusan Sarjana yang Menganggur (setelah analisis item)……………………………..

  31 4. Norma Kategorisasi Skor………………………………………..

  35 5. Kategori Tingkat Stres Lulusan Sarjana yang Menganggur…….

  36

  6. Statistik Deskriptif Tiap Aspek Reaksi Stres……………………

  37

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap manusia dalam kehidupannya dapat mengalami masalah-masalah

  berupa tantangan, tuntutan, dan tekanan-tekanan dari lingkungan sekitar. Hal tersebut dapat memunculkan stres dalam diri individu. Stres merupakan hal yang melekat pada kehidupan manusia. Siapa saja dalam bentuk tertentu, dalam kadar berat ringan yang berbeda dan dalam jangka waktu yang tidak sama, pernah atau akan mengalaminya. Tak seorang pun bisa terhindar dari stres (Hardjana, 1994).

  Stres adalah sebuah keadaan yang kita alami ketika ada sebuah ketidaksesuaian antara tuntutan-tuntutan yang diterima dan kemampuan untuk mengatasinya (Looker.T & Gregson.O, 2004). Stres merupakan suatu gejala yang muncul dalam diri individu ketika ia menghadapi suatu masalah. Banyak peristiwa yang dapat menyebabkan seseorang menjadi stres, salah satunya adalah karena menganggur.

  Menganggur adalah fenomena yang kerap kita temui pada saat ini. Mendapatkan pekerjaan bukanlah sebuah perkara yang mudah. Masyarakat pun mulai menyadari bahwa fakta ini memang terjadi. Hal ini terbukti dengan adanya salah satu iklan produk rokok di televisi yang menampilkan adegan seorang pria muda yang berusaha menarik sarjana-sarjana yang memakai toga yang sedang berada di sebuah pulau kecil dengan motor boat. Pada akhir cerita muncul pertanyaan, “Daripada gak kerja-kerja, lebih baik gak lulus-lulus?” Iklan ini sangat mengena karena iklan tersebut merupakan gambaran fenomena yang saat ini sedang terjadi di Indonesia.

  Pada saat ini angka pengangguran terus-menerus membengkak. Hal ini menyebabkan setiap kali dibuka lowongan pekerjaan, ribuan calon pencari kerja berduyun-duyun datang dan rela antri berjam-jam hanya untuk memasukkan lamaran.

  Selasa, 16 Agustus 2003 dan Rabu, 17 Juli 2003,

digelarlah Bursa Kerja Career 2003, di Hotel Kartika Chandra,

Jl Gatot Subroto. Selama dua hari pergelaran acara ini, lebih

dari 15.000 pencari kerja mengunjungi pameran bursa kerja ini,

sekaligus mendaftarkan diri untuk memperebutkan 3.000

lowongan yang ditawarkan 40 perusahaan besar dalam pameran

tersebut ( www.sinarharapan.co.id ).

  Pengangguran-pengangguran tersebut tidak hanya terbatas pada lulusan SMA atau yang sederajat, melainkan lulusan perguruan tinggi. Banyak sarjana yang menganggur atau dapat disebut dengan istilah pengangguran terdidik. Yang dimaksud dengan pengangguran terdidik adalah mereka yang mempunyai kualifikasi lulusan pendidikan yang cukup namun masih belum memiliki pekerjaan.

  Saat ini jumlah pengangguran terdidik terus meningkat (www.indonesianinstitute.com). Jumlahnya hampir mencapai setengah jumlah pengangguran nasional. Hal itu terungkap saat rapat kerja Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) dengan Komisi IX DPR, di Jakarta, 3 September 2008. Dari 9.427.600 penganggur, tercatat yang masuk kategori terdidik sebanyak 4.516.100 orang. Para penganggur itu memiliki ijazah SLTA dan perguruan tinggi (Media Indonesia, 4 September 2008). Menurut data BPS, sarjana yang menganggur adalah sebanyak 409.890 orang pada tahun 2007 (www.bernas.co.id).

  Dalam fase perkembangan, para sarjana termasuk dalam fase dewasa muda. Hurlock (1980) mengatakan bahwa secara umum, mereka yang tergolong dewasa muda (young adult) atau dewasa awal ialah mereka yang berusia 20-40 tahun. Individu yang sudah tergolong dewasa memiliki peran dan tanggung jawab yang tentunya makin bertambah besar. la seharusnya tak lagi harus bergantung secara ekonomis, sosiologis ataupun psikologis pada orang tuanya. Mereka justru merasa tertantang untuk membentuk dirinya menjadi seorang pribadi dewasa yang mandiri. Salah satu kriteria yang diajukan untuk menunjukkan akhir masa muda dan permulaan dari dewasa awal adalah kemandirian ekonomi (Santrock, 2005). Bekerja adalah salah satu cara yang dapat ditempuh agar individu dapat mencapai kemandirian ekonomi. Tapi pada kenyataanya tidak semua sarjana mudah mendapatkan pekerjaan setelah lulus kuliah walaupun mereka telah mengantongi gelar sarjana.

  Para sarjana yang belum mendapatkan pekerjaan atau menganggur dapat dikatakan sedang menghadapi masa transisi dari dunia sekolah atau kuliah ke dunia kerja. Masa transisi ini dapat menciptakan kesulitan-kesulitan serius dan dapat menjadi sumber stres bagi para sarjana yang sedang mengalaminya (www.all-about-stres.com). Pada masa ini, di satu sisi anak-anak muda sedang berusaha membuktikan diri mereka sebagai orang yang dewasa dan ingin mendapatkan pengakuan dari orang lain, namun pada saat yang bersamaan membutuhkan penghargaan psikologis seperti dalam bentuk pujian, promosi, penambahan gaji, serta tanggung jawab yang lebih besar (Cary Cooper& Alison Straw, 1995).

  Jika hal-hal tersebut tidak muncul, maka sangat mungkin akan menimbulkan berbagai kesulitan dan stres seperti yang dialami para sarjana yang belum mendapatkan pekerjaan atau menganggur. Berdasarkan wawancara singkat, peneliti mendapatkan informasi tentang seorang sarjana, sebut saja namanya Et (perempuan, 23 tahun). Et telah menyelesaikan kuliahnya di sebuah universitas swasta dengan tepat waktu dan bahkan lulus dengan pujian, tapi sampai sekarang belum juga mendapatkan pekerjaan. Ia mengatakan bahwa kondisinya yang masih menganggur itu membuatnya stres. Et juga mengaku bahwa tekanan dari keluarga semakin membuatnya stres.

  Kasus lain terjadi di Bandung, 9 Oktober 2008. Seperti yang dimuat dalam Kompas.com:

  Diduga stres karena tidak mendapatkan pekerjaan di

Bandung, pemuda asal Cianjur, Jabar, Ikar Syarifudin (19),

ditemukan tewas tergantung di rumah sahabatnya di Jalan Jati

No 36 RT 03/07, Kelurahan Paledang, Kecamatan Lengkong,

Bandung.

  Keluarga yang terus-menerus menuntut para sarjana untuk segera bekerja juga menjadi salah satu tekanan, bahkan teman-teman seangkatannya yang telah banyak bekerja juga menjadi tekanan tersendiri hingga membuatnya merasa jengkel, marah, sedih, atau tidak semangat dan tidak berdaya. Kebutuhan- kebutuhan materialistis semakin menonjol mengarahkan kehidupan manusia pada persaingan yang tajam, yang secara otomatis meningkatkan gejala stres dalam kehidupan seseorang (E.P Gintings, 1999). Tingkah laku jengkel, sedih, dan bingung juga dialami oleh sarjana yang menganggur karena pada dasarnya mereka telah menyelesaikan kuliah dan memiliki kemampuan serta pengetahuan dalam bidang tertentu, namun kemampuan tersebut tidak dapat digunakan karena belum juga mendapatkan pekerjaan. Mereka juga dapat mengalami salah paham dan sulit berpikir jernih pada saat ada orang yang berbicara padanya yang mungkin hanya sekedar memberikan semangat atau nasehat, namun malah dirasakannya sebagai ejekan atau sindiran. Hal tersebut membuat mereka tidak berminat bertemu orang lain karena mereka merasa malu atau malas menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sangat mungkin ditanyakan pada mereka yang berkaitan dengan pekerjaan dan hal itu akan semakin menambah rasa kecewa dan kegagalan yang mereka rasakan.

  Berangkat dari pemaparan di atas, peneliti berniat untuk melakukan penelitian dengan mengangkat tema ini. Peneliti melihat tema ini terjadi di sekitar kita dan ini adalah permasalahan yang menarik. Penelitian ini akan mengungkap sejauh mana tingkat stres yang dialami oleh sarjana yang menganggur.

B. Rumusan Masalah

  Adapun rumusan masalah dari penelitian ini adalah sebagai berikut: Sejauh mana tingkat stres yang dialami oleh sarjana yang belum mendapatkan pekerjaan atau menganggur?

  C. Tujuan Penelitian

  Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana tingkat stres yang dialami oleh sarjana yang menganggur.

  D. Manfaat Penelitian

  1. Manfaat Teoritis Memperluas pengetahuan terutama di bidang psikologi, terutama psikologi klinis dan psikologi sosial.

  2. Manfaat Praktis Bagi masyarakat pada umumnya dan bagi keluarga pada khususnya, penelitian ini dapat memberi gambaran tentang tingkat stres yang dialami oleh sarjana yang masih menganggur sehingga dapat mengantisipasi agar tidak terjadi stres pada sarjana yang menganggur.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Stres

1. Definisi stres

  Altman mengatakan bahwa stres adalam arti umum adalah perasaan tertekan, cemas, dan tegang (dalam Rahayu, 1997). Stres merupakan keadaan tertekan baik secara fisik maupun psikis (Chaplin, 1991). Cranwell-Ward (dalam Iswinarti dan Haditono, 1999) mengemukakan bahwa stres adalah reaksi fisiologis dan psikologis yang terjadi jika seseorang merasakan ketidakseimbangan antara tuntutan yang dihadapi dengan kemampuannya untuk mengatasi tuntutan tersebut. Hal yang serupa juga disampaikan oleh Looker T dan Gregson O (2004) bahwa stres dapat didefinisikan sebagai sebuah keadaan yang kita alami ketika ada sebuah ketidaksesuaian antara tuntutan-tuntutan yang diterima dan kemampuan untuk mengatasi.

  Stres merupakan hal yang melekat pada kehidupan. Siapa saja dalam bentuk tertentu, dalam kadar berat ringan yang berbeda dan dalam jangka waktu yang tidak sama, pernah atau akan mengalaminya. Tak seorang pun bisa terhindar dari stres (Hardjana, 1994). Stres memang tidak dapat dihindari, namun dengan pengelolaan yang baik stres bukanlah menjadi suatu masalah. Tiap individu akan memberikan reaksi stres yang berbeda pada stressor yang sama (Setianingsih, 2003). Selye (dalam Setianingsih, 2003) mengemukakan bahwa efektifitas suatu stimulus yang menekan (stressor) tergantung pada bagaimana individu tersebut meresponnya.

  Stres terjadi ketika seseorang tidak dapat mengatasi masalah yang disebabkan oleh tekanan yang dialaminya (Douglas, 1991). Stres yang terjadi dalam tubuh individu tergantung pada kemampuan penyesuaian diri yang dimilikinya (Tryer, 1980). Hal ini sejalan dengan pendapat Bootzin (dalam Rahayu, 1997) yang mengatakan bahwa dalam sehari-hari stres dikenal sebagai stimulus atau respon yang menuntut individu untuk melakukan penyesuaian. Individu yang tidak dapat menyesuaikan diri akan merasa kesulitan, merasa terganggu, tertekan, dan pada gilirannya akan timbul berbagai macam masalah sebagai akibat dari ketidak mampuan individu tersebut dalam menyesuaikan diri (Setianingsih, 2003).

  Menurut Sarafino (dalam Gusniarti, 2002), stres dikonseptualisasikan dalam tiga pendekatan, yaitu: a. Stres sebagai stimulus

  Pendekatan ini menekankan pada lingkungan. Dalam pendekatan ini sumber stres hadir dalam bentuk kejadian atau keadaan yang mengancam dan membahayakan sehingga menimbulkan ketegangan. Sumber stres ini disebut stressor.

  b. Stres sebagai respon Pendekatan ini menekankan pada respon/reaksi seseorang terhadap stressor. Reaksi ini muncul dalam dua bentuk, yaitu psikologis dan fisiologis. Bentuk psikologis meliputi emosi, kognitif, dan konatif. Bentuk fisiologis meliputi rangsangan tubuh yang meningkat. Contoh dari pendekatan ini adalah ketika orang-orang menggunakan kata stres untuk menunjukkan keadaan tegang mereka.

  c. Stres sebagai proses Pendekatan ini menggambarkan stres sebagai proses, termasuk di dalamnya stressor, strain (respon psikologis dan fisiologis seseorang terhadap stressor), ditambah dimensi yang penting yaitu hubungan individu dan lingkungan (Sarafino dalam Gusniarti, 2002).

  Dalam proses ini manusia dan lingkungan berinteraksi saling mempengaruhi. Proses ini disebut transaksi.

  Terkait dengan pandangan ini, stres tidak hanya sebuah stimulus dan sebuah respon, tetapi lebih dari sebuah proses yaitu individu sebagai perantara yang aktif dapat mempengaruhi tekanan stressor melalui tingkah laku, pikiran, dan strategi emosional.

  Jadi stres adalah suatu tekanan tuntutan yang diterima, baik fisik maupun mental oleh individu. Individu merasakan ketidakseimbangan antara tuntutan yang dihadapi dengan kemampuan untuk mengatasi tuntutan tersebut, maka akan mengakibatkan dirinya terancam. Stres dapat dilihat sebagai stimulus, respon, dan proses.

2. Penyebab stres

  Resick (dalam Passer dan Smith, 2007) membedakan stressor berdasarkan kepelikan atau intensitasnya menjadi tiga kategori, yaitu: a. Microstressor

  Microstressor berupa masalah sehari-hari dan masalah-masalah

  sepele yang dihadapi dalam keseharian, misalnya macet, ujian akhir, dan lain-lain.

  b. Major negative events atau peristiwa-peristiwa negatif yang besar.

  Peristiwa-peristiwa negatif tersebut sangat membebani dan menuntut usaha yang besar untuk mengatasinya. Misalnya kematian orang yang dicintai, kegagalan studi, penyakit serius, korban kejahatan, dan lain-lain.

  c. Catastrophic events

  Catastrophic events muncul karena adanya peristiwa-peristiwa

  yang terjadi secara tak terduga dan berpengaruh terhadap masyarakat luas, misalnya gempa Bantul, tsunami Aceh, dan lain-lain.

  Powell (1993) mengemukakan bahwa ada tiga karakteristik penting dari suatu stimulus yang dapat menjadi stressor bagi individu, yaitu: a) Frustasi

  Frustasi adalah keadaan tidak nyaman yang disebabkan oleh lingkungan yang menghambat atau menghalangi kegiatan seseorang.

  Selain itu, frustasi juga dapat terjadi jika objek yang dituju tidak ada

  (Handoyo,2001), misalnya seorang sarjana mengalami frustasi karena tujuannya tidak tercapai yaitu mendapatkan pekerjaan sehingga ia menganggur.

  b) Ancaman Ancaman adalah kekhawatiran akan ketidakmampuan untuk menghadapi situasi yang akan datang. Pada keadaan ini, seseorang membayangkan kejadian atau bahaya yang mungkin tidak bisa ia atasi sehingga ia merasa terancam, misalnya seorang lulusan sarjana mengalami stres karena membayangkan bahwa kondisi di mana ia tidak bisa mendapatkan pekerjaan tidak dapat ia atasi.

  c) Konflik Konflik terjadi karena ada dua kepentingan yang sejajar yang saling bersinggungan atau bersaing untuk dipilih atau dilakukan

  (Santrock, 2005).

  Neil Miller (dalam Santrock, 2005) menyatakan bahwa ada tiga tipe konflik, yaitu: 1) Approach/approach conflict

  Konflik jenis ini terjadi ketika individu harus memilih antara dua stimulus yang sama-sama menarik atau diinginkan.

  2) Avoidance/avoidance conflict Konflik jenis ini terjadi ketika individu harus memilih salah satu di antara dua pilihan yang sama-sama tidak menarik atau tidak diinginkan.

  3) Approach/avoidance conflict Konflik jenis ini terjadi ketika suatu stimulus memiliki sesuatu yang menarik sekaligus sesuatu yang tidak diinginkan.

  Jadi, penyebab stres dapat dibedakan berdasarkan beberapa hal sebagai berikut:  kepelikan atau intensitasnya; yaitu microstressor, major negative events, dan catastrophic events.

   karakter dari stimulusnya; yaitu frustasi, ancaman, dan konflik.

3. Reaksi stress

  Munculnya stres akan memunculkan reaksi tertentu pada seseorang. Secara umum, Luthans (1985) membagi reaksi stres menjadi tiga bentuk penyimpangan, yaitu:

  a. Reaksi psikologis Biasanya lebih dikaitkan pada aspek emosi seperti mudah marah, sedih ataupun mudah tersinggung (Helmi, 2000). Secara garis besar, terganggunya fungsi psikologis dari individu yang mengalami stres dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu: 1) Reaksi emosional

  Helmi (2000) menyatakan bahwa reaksi emosional dapat ditandai dengan adanya perasaan sedih, mudah marah, ataupun mudah tersinggung. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Braham (dalam Handoyo, 2001) bahwa individu yang mengalami stres biasanya menampakkan gejala-gejala seperti mudah marah, mudah tersinggung dan terlalu sensitif, gelisah dan cemas, suasana hati mudah berubah-ubah, sedih, mudah menangis dan depresi, gugup, agresif terhadap orang lain, bermusuhan serta mudah menyerang, dan kelesuan mental. 2) Reaksi kognitif

  Braham (dalam Handoyo, 2001) menyebut kategori ini sebagai gejala intelektual seperti mudah lupa, pikiran kacau, daya ingat menurun, sulit berkonsentrasi, suka melamun berlebihan, pikiran hanya dipenuhi satu pikiran saja. Helmi (2000) juga mengatakan bahwa reaksi kognitif biasanya tampak dalam gejala sulit konsentrasi, mudah lupa, ataupun sulit mengambil keputusan.

  b. Reaksi fisiologis Biasanya muncul dalam keluhan-keluhan fisik seperti pusing, nyeri tengkuk, tekanan darah naik, nyeri lambung, gatal-gatal di kulit, ataupun rambut rontok (Helmi, 2000). Hal ini sejalan dengan Costello et al., Atkinson, dan Coleman (dalam Iswinarti dan Haditono,1999) yang mengatakan bahwa reaksi fisiologis muncul dalam gejala fisik seperti pusing, sakit kepala, capai, lelah, sakit perut, mual-mual, berdebar-debar, dada sakit, dan keluar keringat dingin. c. Reaksi perilaku Penyimpangan pada perilaku juga dibagi menjadi dua, yaitu:

  1) Perilaku secara Personal Penyimpangan perilaku ini lebih mengarah pada diri individu secara pribadi. Cox (dalam Handoyo, 2001) mengatakan bahwa penyimpangan perilaku secara personal dapat muncul dalam bentuk peningkatan konsumsi alkohol dan rokok, perubahan nafsu makan, dan penyalahgunaan obat- obatan.

  2) Perilaku secara Interpersonal Pada kategori ini penyimpangan perilaku lebih mengarah pada hubungan individu dengan orang lain, seperti adanya sikap acuh dan mendiamkan orang lain, menurunnya kepercayaan terhadap orang lain, mudah mengingkari janji pada orang lain, sering mencari kesalahan orang lain atau menyerang dengan kata-kata, menutup diri secara berlebihan, dan mudah menyalahkan orang lain (Braham, dalam Handoyo, 2001). Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa gejala stres dapat muncul dalam bentuk penyimpangan psikologis yang dibagi lagi menjadi reaksi emosional dan kognitif, penyimpangan fisiologis, dan penyimpangan perilaku yang dibagi menjadi perilaku secara personal dan interpersonal.

4. Faktor yang Mempengaruhi Stres

  Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi apakah suatu stimulus akan menyebabkan stress atau tidak bagi seseorang (Handoyo, 2001).

  Faktor pertama adalah penilaian kognitif, yaitu proses yang memungkinkan individu untuk mengevaluasi apakah stimulus yang diterimanya relevan dengan kemampuannya (Folkman dalam Handoyo, 2001). Korshin (1976) menyatakan bahwa proses kognitif adalah proses mental dalam menilai stressor serta kemampuan diri untuk mengatasi

  stressor . Hal inilah yang menyebabkan adanya individual differences

  dimana suatu peristiwa yang dianggap sebagai sebuah stressor oleh seorang individu belum tentu menjadi stressor bagi individu yang lain.

  Faktor kedua adalah self control. Faktor ini berkaitan dengan bagaimana seseorang memberikan respon atas sebuah stimulus yang ia terima dari lingkungan. Lebih tepatnya, hal ini berkaitan dengan penyesuaian diri.

  Masten dan Coatsworth (dalam Passer dan Smith, 2004) mengemukakan faktor-faktor personal dan lingkungan mempengaruhi perkembangan kemampuan seseorang untuk menghadapi situasi penyebab stress secara efektif: a. Sumberdaya individu, terdiri atas fungsi intelektual yang baik, watak dan penampilan yang mudah bersosialisasi dan ramah, self-efficacy, kepercayaan diri dan harga diri yang tinggi, bakat serta keyakinan. b. Sumberdaya keluarga, meliputi hubungan yang dekat dengan figur orangtua yang mengasuh dengan baik dan hubungan yang baik dengan keluarga besar yang suportif.

  c. Sumberdaya lingkungan di luar keluarga, yang mencakup hubungan dengan orang-orang yang prososial di luar keluarga, hubungan dengan organisasi prososial serta pendidikan di sekolah yang efektif.

  Selain itu, dukungan sosial juga menjadi hal yang berperan dalam meningkatkan potensi diri dan kemampuan dalam mengatasi stres (Susilowati, 2007). Dukungan sosial yang tinggi dapat membuat seseorang merasa diterima, diperhatikan, dihargai, dan dicintai sehingga konsep diri, kepercayaan diri, dan efikasi diri mereka berkembang. Reaksi emosional yang positif ini akan membuat mereka terbebas dari perasaan yang penuh tekanan atau stres. Jadi, dukungan sosial yang tinggi akan membuat seseorang dapat mengatasi stressor dan terbebas dari stres (Susilowati, 2007).

  Jadi dapat disimpulkan bahwa stres yang dialami oleh individu dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu penilaian kognitif, dukungan sosial, dan self control. Perkembangan kemampuan seseorang untuk menghadapi situasi penyebab stress secara efektif dipengaruhi oleh faktor personal dan lingkungan. Faktor personal berkaitan dengan sumber daya individu, sedangkan faktor lingkungan berkaitan dengan sumber daya keluarga dan sumber daya lingkungan di luar keluarga.

  A. Sarjana yang Menganggur

  Orang yang sedang mencari pekerjaan dapat dikategorikan sebagai pengangguran. Definisi pengangguran menurut BPS (Badan Pusat Statistik) adalah mereka yang mencari kerja, mereka yang sedang mempersiapkan usaha, mereka yang tidak mencari kerja karena tidak mungkin mendapatkan pekerjaan, dan mereka yang sudah punya pekerjaan tapi belum mulai bekerja (dalam Hatmadji dan Wiyono, 2004).

  Sarjana yang belum mendapatkan pekerjaan atau menganggur dapat dikatakan sebagai pengangguran terdidik. Yang dimaksud dengan pengangguran terdidik adalah mereka yang mempunyai kualifikasi lulusan pendidikan yang cukup namun masih belum memiliki pekerjaan.

  B. Stres Sarjana yang Menganggur

  Kebanyakan sarjana termasuk dalam tahap perkembangan masa dewasa awal atau dewasa dini. Individu yang termasuk dalam masa dewasa awal memiliki tugas-tugas perkembangan, salah satu di antaranya adalah kemandirian ekonomi (Santrock, 1995).

  Lulus dari perguruan tinggi adalah suatu keberhasilan yang bisa membawa kebahagiaan bercampur kekhawatiran karena satu bagian hidup (dunia kuliah) berakhir dan pada saat yang bersamaan bagian baru (dunia kerja) akan dimulai. Masa transisi dari dunia sekolah ke dunia kerja dapat menciptakan kesulitan-kesulitan serius dan dapat menjadi sumber stres bagi para sarjana yang baru saja lulus (www.all-about-stres.com). Mencari pekerjaan adalah masalah yang menghadang sarjana segera setelah mereka berhasil lulus.

  Berbeda dengan pengangguran lainnya yang memang tidak menyelesaikan sekolah mereka, lulusan perguruan tinggi memiliki tuntutan sosial tersendiri. Mereka diharapkan mempunyai peluang yang lebih besar dalam mendapatkan pekerjaan dengan status sarjananya, namun ternyata malah menjadi sumber stres itu sendiri. Hal ini terjadi karena ternyata dengan gelar sarjana pun tidak membuat mereka mudah mendapatkan pekerjaan.

  Terdapat kesenjangan antara tuntutan untuk mendapatkan pekerjaan dengan kemampuan individu dalam mendapatkan pekerjaan.

  Hal lain yang juga dapat memunculkan stres adalah karena adanya perasaan sia-sia karena telah mempertaruhkan banyak uang dan waktu untuk menyelesaikan kuliah namun pada kenyataannya tetap saja susah mendapatkan pekerjaan.

  Cara individu bereaksi pada stres dapat bermacam-macam tergantung pada kepribadian, pengalaman, masa kecil, dan cara hidup kita masing-masing (Cary Cooper& Alison Straw, 1995). Reaksi pada stres dapat muncul dalam berbagai bentuk. Sebagai contoh, tingkah laku jengkel, sedih, dan bingung dialami oleh sarjana yang menganggur karena pada dasarnya mereka telah menyelesaikan kuliah dan memiliki kemampuan serta pengetahuan dalam bidang tertentu, namun kemampuan tersebut tidak dapat digunakan karena belum juga mendapatkan pekerjaan.

  Selain itu, tingkah laku gelisah dan cemas juga dapat terlihat pada mereka yang mungkin disebabkan oleh teman-teman seangkatannya sudah banyak yang mendapatkan pekerjaan, sedangkan dia sendiri belum mendapatkan pekerjaan. Mereka juga dapat mengalami salah paham dan sulit berpikir jernih pada saat ada orang yang berbicara padanya yang mungkin hanya sekedar memberikan semangat atau nasehat, namun malah dirasakannya sebagai ejekan atau sindiran. Hal tersebut membuat mereka tidak berminat bertemu orang lain karena mereka merasa malu atau malas menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sangat mungkin ditanyakan pada mereka yang berkaitan dengan pekerjaan dan hal itu akan semakin menambah rasa kecewa dan kegagalan yang mereka rasakan. Adanya reaksi-reaksi yang lainnya membuat para sarjana tersebut merasa tidak berdaya menghadapi segala tuntutan yang ada.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif-kuantitatif karena

  perhitungannya menggunakan data statistik. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menggambarkan sejauh mana tingkat stress yang dialami oleh sarjana yang menganggur. Penelitian ini tidak terbatas pada upaya menerima atau menolak dugaan-dugaan (hipotesis). Tujuan penelitian deskriptif adalah untuk membuat pencandraan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu (Suryabrata, 2002).

  B. Identifikasi Variabel Penelitian Variabel dalam penelitian ini adalah tingkat stres.

  C. Definisi Operasional

  Stres adalah suatu tekanan tuntutan yang diterima, baik fisik maupun mental oleh individu. Individu merasakan ketidakseimbangan antara tuntutan yang dihadapi dengan kemampuan untuk mengatasi tuntutan tersebut, maka akan mengakibatkan dirinya terancam. Stres dapat dilihat sebagai stimulus, respon, dan proses. Munculnya stres akan memunculkan reaksi tertentu pada seseorang.

  Tingkat stres ini akan dilihat dengan skala tingkat stres yang disusun sendiri oleh peneliti. Item dalam skala tersebut dibuat dengan melihat aspek reaksi stres. Secara umum, Luthans (1985) membagi reaksi stres menjadi tiga bentuk penyimpangan, yaitu:

  1. Reaksi psikologis, yang dibagi lagi menjadi dua kategori, yaitu:

  a. Reaksi emosional Indikatornya berupa adanya perasaan sedih, mudah marah, ataupun mudah tersinggung, terlalu sensitif, gelisah dan cemas, suasana hati mudah berubah-ubah, mudah menangis dan depresi, gugup, agresif terhadap orang lain, bermusuhan serta mudah menyerang, dan kelesuan mental.

  b. Reaksi kognitif Indikatornya berupa mudah lupa, pikiran kacau, daya ingat menurun, sulit berkonsentrasi, suka melamun berlebihan, pikiran hanya dipenuhi satu pikiran saja, ataupun sulit mengambil keputusan.

  2. Reaksi fisiologis Indikatornya berupa pusing, nyeri tengkuk, tekanan darah naik, nyeri lambung, gatal-gatal di kulit, rambut rontok, sakit kepala, capai, lelah, sakit perut, mual-mual, berdebar-debar, dada sakit, dan keluar keringat dingin.

  3. Reaksi perilaku Penyimpangan pada perilaku juga dibagi menjadi dua, yaitu: a. Perilaku secara Personal Indikatornya dapat muncul dalam bentuk peningkatan konsumsi alkohol dan rokok, perubahan nafsu makan, dan penyalahgunaan obat-obatan.

  b. Perilaku secara Interpersonal Indikatornya berupa adanya sikap acuh dan mendiamkan orang lain, menurunnya kepercayaan terhadap orang lain, mudah mengingkari janji pada orang lain, sering mencari kesalahan orang lain atau menyerang dengan kata-kata, menutup diri secara berlebihan, dan mudah menyalahkan orang lain. Stres dikatakan tinggi apabila subjek mendapatkan total skor yang tinggi dan sebaliknya stres dikatakan rendah apabila subjek mendapatkan total skor yang rendah.

A. Subjek Penelitian

  Pemilihan subjek dalam penelitian ini berdasarkan pada kesesuaian dengan karakteristik yang telah ditentukan. Subjek yang akan dijadikan responden dalam penelitian ini sebanyak 100 orang sarjana yang menganggur. Subjek dalam penelitian ini pada saat penelitian berlangsung tidak sedang bekerja dan tidak memiliki pendapatan. Subjek setidaknya telah lulus kuliah selama lima bulan atau sudah pernah bekerja tapi saat penelitian berlangsung subjek sedang tidak bekerja setidaknya selama lima bulan.

B. Metode dan Alat Pengumpulan Data

  Penelitian ini menggunakan try out terpakai. Jadi, data-data yang didapatkan langsung digunakan untuk proses analisis data. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala tingkat stress pada sarjana yang menganggur. Skala tersebut didasarkan pada bentuk-bentuk respon atau reaksi individu terhadap stres. Skala ini terdiri dari 100 item yang dikembangkan dari tiga aspek yang menggambarkan reaksi stres.