BAB II TINJAUAN PUSTAKA - NOFRIANTI BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hasil Penelitian Terdahulu Di Kabupaten Banyumas, berdasarkan penelitian etnofarmakologi yang

  dilakukan oleh Permatasari (2010), menyimpulkan bahwa penggunaan tumbuhan obat sebagai obat tradisional yang ada di 6 desa di Kecamatan Baturraden (Kemutug Lor, Karang Salam, Rempoah, Kebumen dan Purwosari), khususnya untuk penyakit diare adalah jambu biji, kara, ketumbel, kunyit, lengkuas, manggis nangka, pala dan patikan kebo. Sedangkan untuk penggunaan yang khas di Baturraden saja adalah Kara yaitu dengan penggunaannya diremas-remas untuk diare.

  Pada penelitian lain menyebutkan penggunaan tumbuhan obat dari suku Zingiberaceae sebagai obat tradisional oleh masyarakat di Kecamatan Baturraden Kabupaten Banyumas, terdapat 16 jenis tumbuhan yang digunakan sebagai pengobatan dan pemanfaatan suku Zingiberaceae yang khas yaitu: jahe untuk masuk angin, kapulaga untuk memijat dan kecombrang untuk demam (Yulianto, 2010). Kusumaningrum (2010) dalam penelitiannya, menyimpulkan bahwa dari sub kelas Rosidae terdapat 22 jenis tumbuhan obat dari 8 suku. Euphorbiaceae 6 jenis, Fabaceae 2 jenis, Apiaceae 4 jenis, Meliaceae 1 jenis, Myrtaceae 2 jenis dan Thymelaceae 1 jenis.

  Penelitian mengenai etnomedisin juga telah dilakukan di beberapa daerah di Indonesia. Pada penelitian yang dilakukan oleh SMD et al. (2007) di Gunung Gede Pangrango, memaparkan bahwa pemanfaatan etnomedisin di lokasi tersebut terbatas pada dukun beranak dan telah diinventarisasi sebanyak 23 jenis penyakit dengan 72 resep yang menggunakan 80 jenis tumbuhan obat serta beberapa jenis simplisia dari lokasi survei memenuhi standar mutu yang ditetapkan MMI.

  Selain itu, pada penelitian lain oleh Ramdhan et al. (2015) di Desa Cikondang, Bandung, Jawa Barat memperoleh data dari masyarakat setempat yaitu, terdapat 68 spesies yang termasuk ke dalam 39 famili untuk digunakan sebagai tumbuhan obat dan Zingiberaceae merupakan famili yang paling banyak digunakan. Bagian tumbuhan yang untuk pengobatan yaitu: akar, umbi, rizoma, batang, kulit kayu, daun, bunga dan buah. Bagian yang paling banyak digunakan adalah daun (29 spesies). Masyarakat menggunakan beberapa metode untuk penyiapan simplisia, diantaranya rebus, dihaluskan, diremas, diiris, dibakar dan tanpa diproses apapun. Cara yang paling banyak digunakan adalah direbus (37 spesies). Berdasarkan tipe penyakit, masyarakat Cikondang mengklasifikasikannya ke dalam 6 kelompok, yaitu: eksternal, internal, digestif, pernafasan, reproduksi dan urogenital. Dengan penyakit eksternal menggunakan paling banyak tumbuhan (25 spesies).

  Pada penelitian-penelitian tersebut, terlihat bahwa hasil penelitian hanya terfokus pada data kualitatif mengenai informan, identifikasi nama dan jumlah tumbuhan yang digunakan hingga tingkat spesies, serta ramuan yang digunakan untuk penyakit tertentu saja. Sedangkan pada beberapa penelitian di Kabupaten Banyumas mengenai penggunaan tumbuhan obat yang dilakukan oleh mahasiswa Perguruan Tinggi dan masih dalam cakupan jenis atau sub kelas tumbuhan tertentu saja serta penyakit tertentu (etnofarmakologi). Sehingga untuk penelitian selanjutnya perlu dilakukan di daerah yang berbeda dan analisis data secara kuantitatif sebagai data pendukungnya.

  Hal yang tersebut, mendorong peneliti untuk melakukan penelitian mengenai etnomedisin dan pengetahuan mengenai tumbuhan obat untuk menggali dan menyediakan informasi pengetahuan lokal etnomedisin sebagai kearifan lokal dan keanekaragaman tumbuhan obat secara kualitatif (pendokumentasian dan penyediaan database mengenai etnomedisin dan tumbuhan obat) dan kuantitatif (nilai Species Use Value), di Kecamatan Baturraden dan Kecamatan Sumbang, Kabupaten Banyumas. Sehingga dapat menambah informasi penting yang kemudian dapat menjadi dasar bagi pengembangan penelitian berkelanjutan dalam bidang etnomedisin dan tumbuhan obat. Dengan demikian obat tradisional lokal dapat diproses untuk dapat dimanfaatkan di wilayah tempat asalnya, baik dalam bidang kesehatan, ekonomi dan bidang lainnya.

B. Landasan Teori 1. Indonesia sebagai negara megabiodiversity

  Negara megadiversity merupakan istilah yang digunakan pertama kali pada tahun 1988 untuk negara yang kaya akan biodiversity. Negara-negara tersebut berfokus pada peningkatan kesadaran nasional untuk konservasi , dengan banyak spesies unik di masing-masing negara tersebut.

  biodiversity

  Kriteria untuk suatu negara dapat dikatakan sebagai negara megadiversity, yaitu endemik pada tingkat spesies, kemudian pada tingkat taksonomi yang lebih tinggi seperti genus dan family. Kualifikasi negara megadiversity yaitu harus: a.

  Mempunyai sekurang-kurangnya 5000 dari tanaman endemik di dunia.

  b.

  Mempunyai ekosistem laut sebagai perbatasan negara. Persyaratan lainnya yang digunakan sebagai pertimbangan yaitu, hewan dan invertebrata endemik, keberagaman ekosistem dan keberadaan ekosistem hutan-hujan (rainforest).

  Landasan pikiran yang mendasari negara megadiversity ini adalah: a. Biodiversity sangat penting untuk kebertahanan nasional dan menjadi komponen pokok dari strategi pengembangan dalam skala nasional maupun regional.

  b.

  Biodiversity tidak tersebar merata di seluruh planet ataupun di semua negara. Lebih khusus untuk negara-negara dengan iklim tropis dan terdapat ekosistem laut akan mempunyai biodiversity yang lebih banyak dibandingkan dengan negara-negara lainnya.

  c.

  Spesies-spesies dalam biodiversity memiliki ekosistem khusus yang harus diperhatikan dan diperlakukan secara baik.

  d.

  Mendapatkan pengaruh yang maksimal dengan sumber daya yang terbatas, maka usaha konservasi perlu dilakukan. Apalagi untuk spesies dengan keadaan ekosistem yang buruk. Investasi sumber daya tersebut harus diupayakan untuk kontribusinya dalam biodiversity secara global. 17 negara dari seluruh negara di dunia, teridentifikasi sebagai negara dengan kekayaan biodiversity-nya, dengan berfokus pada kekayaan

  

biodiversity yang endemik. Negara-negara tersebut adalah USA, Mexico,

  Colombia, Ecuador, Peru, Venezuela, Brazil, Democratic Republic of Congo, Afrika Selatan, Madagascar, India, Malaysia, Indonesia, Philipines, Papua New Guinea, China dan Australia. Kelompok negara-negara tersebut terbentuk pada Deklarasi Cancun sebagai tindakan untuk kerjasama dan mekanisme dalam konservasi biologi (UNEP & WCMC, 2014).

  Menurut ASEAN Report to WSSD (2002) dalam ACB (2009), Indonesia menduduki urutan ke 3 untuk Biodiversity diikuti dengan Malaysia (urutan ke 14) dan Phillippines (urutan ke 17) dan menduduki urutan ke 2 untuk Endemik, diikuti Malaysia (urutan ke 8) dan Phillippines (urutan ke 15). Asia tenggara memiliki 1/3 dari kekayaan laut dunia. Indonesia, Malaysia dan Phillippines termasuk kedalam bagian Coral Triangle, yang merupakan 75% kekayaan laut dunia.

  Berdasarkan hasil toponimi atau inventarisasi dan penamaan pulau oleh Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau - pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2010, Indonesia terdiri atas lebih dari 13.487 (tiga belas ribu empat ratus delapan puluh tujuh) pulau. Pulau yang satu dan yang lain dipisahkan oleh lautan sehingga membuahkan 47 (empat puluh tujuh) ekosistem yang sangat berbeda (Kem Hukum dan HAM, 2013).

  Indonesia memang kaya akan keanekaragaman hayati tetapi laju kemerosotannya juga sangat tinggi. Sejalan dengan menipisnya cadangan migas, keanekaragaman hayati akan menjadi sumber daya alam yang penting sebagai pemegang tongkat estafet pembangunan nasional Indonesia pada masa mendatang. Keanekaragaman hayati Indonesia tersebut terancam punah akibat kerusakan habitat, jenis asing invasif dan pencurian sumber daya genetik Indonesia (biopiracy).

  Selain biopiracy, degradasi keanekaragaman hayati pesisir dan laut di Indonesia semakin mengkhawatirkan. Penyebabnya antara lain adalah introduksi jenis asing invasif (JAI) terutama yang berasal dari luar negeri.

  Dalam rangka melindungi kelestarian lingkungan hidup, keanekaragaman hayati, sistem produksi dan kesehatan manusia harus dilakukan pengendalian terhadap jenis asing invasif di wilayah Republik Indonesia.

  Menurut UN-CBD (The United Nations Convention on Biological

  

Diversity ), Jenis Asing Invasif atau Jenis Invasive (JAI/JI) diartikan sebagai

  jenis yang mengalami introduksi dan/atau penyebarannya di luar tempat penyebaran alaminya, baik dahulu maupun saat ini, mengganggu atau mengancam keanekaragaman hayati. Sampai dengan saat ini, informasi mengenai keberadaan JAI/JI di Indonesia masih terbatas sehingga perlu adanya kegiatan identifikasi dan inventarisasi yang dilakukan di masing- masing sektor sesuai dengan kewenangannya maupun kegiatan terpadu antar sektor. Menurut beberapa laporan mengenai JAI/JI, di Indonesia diperkirakan terdapat setidaknya 2000 jenis tumbuhan asing dan banyak jenis satwa asing yang telah terintroduksi. Salah satunya adalah Mikania micrantha yang masuk ke Indonesia melalui Kebun Raya Bogor sebagai bahan baku obat namun dalam perkembangannya menyebar keluar dan kemudian menekan pertumbuhan jenis mikania lokal (Mikania cordata) (Yuwono, 2014).

  Aturan-aturan untuk memenuhi kebutuhan legalitas dan mengatasi gangguan yang mungkin terjadi terkait dengan kekayaan biodiversity perlu dibuat oleh masing-masing negara sesuai dengan kebijakan pemerintah yang bersangkutan, seperti legalitas area yang dilindungi. Hal ini perlu dilakukan untuk menghindari degradasi kekayaan alam serta dapat memberikan manfaat dalam penilaian dan pembuatan keputusan mengenai hal terkait (UNEP & WCMC, 2014).

  Maka dari itu, pemerintah Indonesia melalui Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan Rencana Strategis Direkrorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Tahun 2015-2019 yang disusun sebagai amanat dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Rencana Strategis Direktorat Jenderal KSDAE Tahun 2015-2019 dimaksudkan sebagai pedoman dan acuan dalam melaksanakan langkah-langkah strategis pencapaian sasaran Program KSDAE, agar upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dapat berjalan pada arah yang benar, mencapai tujuan dan sasarannya secara efektif dan efisien, serta mencapai multi manfaat keanekaragaman hayati untuk kepentingan ekonomi, sosial dan ekologi. Kegiatan di lingkup Program KSDAE, terdiri dari pemolaan dan informasi konservasi alam, pengelolaan kawasan konservasi, konservasi spesies dan genetik, pemanfaatan jasa lingkungan kawasan konservasi dan kegiatan pembinaan konservasi kawasan ekosistem esensial (KLHK, 2015).

  Menjaga kelestarian dan pengembangan yang berkaitan dengan sumber daya genetik agar dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan sebagai sumber daya pembangunan untuk kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, perlu dilakukan berbagai langkah seperti melakukan inventarisasi terhadap berbagai potensi sumber daya yang dapat dijadikan modal pembangunan. Sumber daya dimaksud salah satunya adalah sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan sumber daya genetik yang memiliki nilai ekonomis. Selanjutnya, sumber daya tersebut perlu dijaga kelestariannya dan dikembangkan agar dapat di manfaatkan secara berkelanjutan (Kem Hukum dan HAM, 2013).

2. Etnomedisin

  Etnomedisin berarti kepercayaan dan praktik-praktik yang berkaitan dengan penyakit yang merupakan hasil dari perkembangan budaya asli yang secara eksplisit tidak berasal dari kerangka konseptual kedokteran modern. Etnomedisin sendiri mengkaji pengobatan rakyat (folk medicine), klasifikasi penyakit yang berbeda, terapi dan prevensi tradisional (Wicaksono, 2011). Proses pewarisan informasi mengenai etnomedisin umumnya dilakukan secara oral. Kondisi yang demikian dan masuknya budaya modern akan mendorong terjadinya erosi informasi tersebut (SMD et al, 2007).

  Jalius dan Muswita (2013), menyatakan bahwa eksplorasi pengetahuan lokal mengenai tumbuhan obat (etnomedisin) merupakan riset pengetahuan tradisional dalam pemanfaatan tumbuhan obat yang dilakukan untuk tujuan menjawab kebutuhan informasi terkait data tumbuhan obat dan ramuan tradisional yang digunakan oleh berbagai etnis di Indonesia.

  Etnomedisin merupakan praktek medis tradisional yang tidak berasal dari medis modern. Etnomedisin tumbuh dan berkembang dari pengetahuan setiap suku dalam memahami penyakit dan makna kesehatan. Pemahaman akan penyakit ataupun teori tentang penyakit tentunya berbeda di setiap suku. Hal ini dikarenakan latar belakang kebudayaan pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki setiap suku tersebut berbeda dalam memahami penyakit, terutama dalam pengobatannya (Puspitawati et al, 2013).

  Pada umumnya pengobatan dibagi menjadi 2 kategori yaitu: pengobatan modern dan tradisional. Pengobatan modern lebih dikenal dengan pengobatan medis yang didasarkan pada rasionalitas dan kajian ilmiah. Pengobatan tradisional lebih banyak dikenal dengan pengobatan alternatif yang tidak menggunakan bahan kimia atau alat teknologi modern. Sistem pengobatan tradisional ini dalam kepustakaan antropologi disebut juga sebagai etnomedisin (Wicaksono, 2011).

  Menurut Dunn dalam Wicaksono (2011), mengelompokkan sistem medis secara geografis dan setting budaya dalam 3 kelompok, yaitu: a.

  Sistem medis lokal: suatu kategori yang dapat mengakomodasi sebagian besar sistem medis primitive atau folk medicine. Sesuai namanya, sistem ini hanya berkembang di dalam lokal tertentu. Tetapi dapat juga terdapat persamaan dalam ide dan praktik pengobatan antara satu lokal dengan yang lainnya yang dapat diakibatkan karena penemuan sendiri atau saling mempengaruhi.

  b.

  Sistem medis regional: seperti sistem medis Ayurvedik, Unani dan Cina.

  c.

  Sistem medis kosmopolitan: istilah lain untuk sistem medis modern, ilmiah atau barat.

  Berdasarkan etiologi yang digunakan dalam menjelaskan penyakit, sistem medis dikelompokkan menjadi 2 kelompok, yaitu: a.

  Sistem medis personalistik: berlaku di masyarakat rumpun, dimana sistem ini menjelaskan bahwa penyakit (merasa sakit) disebabkan oleh intervesi dari aktifitas agen-agen. Agen tersebut dapat berupa makhluk bukan manusia (hantu, roh jahat) atau manusia itu sendiri yang mampu menggerakkan atau menggunakan kekuatan gaib untuk mencapai tujuan tertentu (tukang sihir, tukang tenung). Menurut sistem ini orang jatuh sakit merupakan korban dari intervensi sebagai objek dari agresi akibat dari kesalahan yang dilakukan atau pelanggaran terhadap sistem tabu yang ada pada masyarakat yang bersangkutan. Tindakan preventif dalam sistem ini dilakukan dengan cara membina hubungan baik.

  b.

  Sistem medis naturalistik: berlaku di masyarakat petani pedesaan, dimana penyakit atau merasa sakit dalam sistem ini dipengaruhi oleh model keseimbangan. Menurut sistem ini, sakit terjadi karena unsur-unsur tetap yang berada dalam tubuh manusia (panas, dingin) berada dalam keadaan seimbang secara logis dengan lingkungan alamiah dengan lingkungan sosialnya. Terganggunya keseimbangan dapat terjadi karena masuknya panas atau dingin secara berlebihan ke dalam tubuh. Unsur tersebut dapat berupa; suhu udara (panas matahari, udara dingin) dan panas atau dingin selain suhu udara (buah-buahan asam yang menyebabkan dingin, garam dan gula yang menyebabkan rasa panas). Tindakan preventifnya, cenderung dilakukan dengan menghindari penyebab sakit itu sendiri.

  Etnomedisin dalam penelitian ini merupakan sistem pengobatan atau cara pengobatan yang berlandaskan pada pengetahuan pengobatan lokal yang dilakukan oleh masyarakat tertentu yang biasanya disebut dengan sistem medis tradisional dengan praktisi adalah seorang tokoh yang menggunakan tumbuhan obat sebagai media pengobatan utama.

3. Obat tradisional a. Definisi

  Dalam Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan disebutkan bahwa obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat (Kemenkes RI, 2009).

  Obat tradisional dalam negeri adalah obat tradisional yang dibuat dan dikemas oleh industri di dalam negeri meliputi obat tradisional tanpa lisensi, obat tradisional lisensi dan obat tradisional kontrak. Obat tradisional lisensi adalah obat tradisional yang dibuat di Indonesia atas dasar lisensi. Obat tradisional kontrak, obat herbal terstandar kontrak dan fitofarmaka kontrak adalah produk yang pembuatannya dilimpahkan kepada industri obat tradisional lain atau industri farmasi berdasarkan kontrak. Obat tradisional impor adalah obat tradisional yang dibuat oleh industri di luar negeri, yang dimasukkan dan diedarkan di Indonesia (BPOM RI, 2005).

  Jamu saintifik merupakan jamu yang sudah terbukti manfaat dan khasiatnya melalui uji klinik. Jamu saintifik yang dihasilkan dari program digunakan untuk terapi komplementer di fasilitas pelayanan kesehatan dan dijadikan pilihan masyarakat jika mereka menginginkan untuk mengonsumsi jamu saja sebagai subyek dalam upaya preventif, promotif, kuratif, rehabilitatif dan paliatif. Selain jamu saintifik maka dikenal juga istilah Obat Herbal Terstandar (OHT) dan fitofarmaka. Obat herbal terstandar adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan bahan bakunya telah distandarisasi. Fitofarmaka adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan klinik, bahan baku dan produk jadinya telah distandarisasi. Sampai Oktober 2014 ada 41 OHT dan 6 Fitofarmaka yang terdaftar dalam BPOM RI (Aditama, 2014).

b. Pemanfaatan obat tradisional di Indonesia

  Pada dasarnya hingga saat ini sistem pengobatan di Indonesia didasarkan pada sistem pengobatan konvensional menggunakan produk-produk terapi berbasis bahan kimia tunggal. Sejalan dengan meningkatnya perhatian masyarakat terhadap pengobatan tradisional, dimana di dalamnya melibatkan penggunaan obat tradisional, baik ramuan tradisional (jamu) maupun formula modern dalam bentuk obat tradisional (Kemenkes RI, 2013a).

  Obat tradisional telah diterima secara luas di negara-negara yang tergolong berpenghasilan rendah sampai sedang. Bahkan di beberapa negara berkembang obat tradisional telah dimanfaatkan dalam pelayanan kesehatan terutama dalam pelayanan kesehatan strata pertama. Sementara itu di banyak negara maju penggunaan obat tradional semakin populer.

  Penggunaan obat tradisional di Indonesia merupakan bagian dari budaya bangsa dan banyak dimanfaatkan masyarakat sejak berabad-abad yang lalu, namun demikian pada umumnya efektifitas dan keamanannya belum sepenuhnya didukung oleh penelitian yang memadai (Kemenkes RI, 2007). Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), terjadi peningkatan penggunaan obat tradisional di Indonesia dari tahun ke tahun.

  Pada tahun 1980 tercatat 19,9% dan menjadi 23,3% pada tahun 1986 dan meningkat menjadi 31,7% tahun 2001 dan meningkat terus menjadi 32,8% pada tahun 2004 dan akan terus mengalami peningkatan di masa yang akan mendatang (Kemenkes RI, 2013a).

  Pemanfaatan obat tradisional itu sendiri dapat dibagi menjadi empat kelompok, yaitu: 1) : memelihara kesehatan dan menjaga kebugaran jasmani

  Promotif 2) : mencegah penyakit

  Preventif 3) : sebagai pengobatan sendiri maupun untuk mengobati

  Kuratif orang lain, sebagai upaya mendampingi atau mengganti obat jadi.

4) Rehabilitatif : memelihara kesehatan (Trisniati, 2006).

  Peranan obat tradisional Indonesia amat penting dalam pembangunan kesehatan terkait pendekatan preventif dan promotif untuk memelihara kesehatan dan peningkatkan akses masyarakat terhadap obat. Akibat harga obat masih mahal, akses masyarakat untuk mendapatkan obat belum merata. Mahalnya harga obat selain karena faktor distribusi juga karena ketergantungan industri farmasi nasional terhadap bahan baku aktif maupun eksipien. Sebagian besar bahan baku obat masih diimpor dari luar negeri. Mahalnya harga obat merupakan salah satu faktor yang menyebabkan masyarakat mencari alternatif pada pengobatan tradisional. Selain itu, meningkatnya penyakit tidak menular akan meningkatkan belanja kesehatan, karena pada umumnya pengobatan penyakit kronis degeneratif membutuhkan waktu yang lama, bahkan seumur hidup. Masyarakat banyak memilih pengobatan tradisional karena pengobatan konvensional dipandang mahal dan dapat menurukan kualitas hidup akibat efek samping obat.

  Potensi Indonesia sebagai salah satu pusat keanekaragaman hayati terbesar (megabiodiversity) di dunia dan juga memiliki potensi kekayaan obat tradisional yang terekspresikan oleh keanekaragaman etnis, terdapat lebih dari 1.340 suku bangsa dengan 1.071 kelompok etnik menyimpan kekayaan pengetahuan tradisional tentang pemanfaatan berbagai jenis tumbuhan dan hewan untuk berbagai manfaat salah satunya yaitu sistem pengobatan tradisional dan penggunaan tanaman obat untuk kesehatan.

  Potensi obat tradisional saat ini belum dimanfaatkan secara optimal. Meskipun industri obat tradisional di Indonesia jumlahnya lebih dari 1200, umumnya masih merupakan usaha kecil obat tradisional (UKOT) dan usaha menengah obat tradisional (UMOT). Industri jamu dan industri farmasi yang akan memproduksi sediaan obat tradisional masih mengalami kendala sulitnya mendapatkan Bahan Baku Obat Tradisional (BBOT) simplisia dalam jumlah besar dan dengan mutu seragam. Sekitar 30

  • – 40% BBOT simplisia terpaksa harus dibuang karena memiliki mutu rendah. Hal ini disebabkan oleh: 1)

  Masalah mutu yaitu, kurangnya upaya budidaya tanaman obat dan penanganan pasca panen yang kurang tepat. 2)

  Masalah keamanan pemakaian obat tradisional yaitu, tidak semua obat tradisional aman. 3)

  Masalah penanganan BBOT yang kurang tepat sehingga dapat mengandung bahan berbahaya bagi kesehatan. Obat tradisional juga dapat mengandung bahan aktif yang dapat memberikan efek samping dan merugikan bagi kesehatan pemakai.

  Dalam kelompok industri kesehatan, industri obat tradisional di Indonesia termasuk industri dengan struktur yang tergolong kuat, dengan jumlah industri sebanyak 129 industri obat tradisional (IOT) dan 1037 usaha kecil dan mikro obat tradisional (UKOT dan UMOT). Sebagian besar industri obat tradisional ini berlokasi di pulau Jawa, sehingga industri ini dikenal sebagai industri jamu, dengan konsentrasi pada provinsi Jawa Tengah. Hingga saat ini terdapat lebih dari 8000 produk jamu, 41 obat herbal terstandar (OHT) dan 6 produk fitofarmaka.

  Jika melihat pasar produk kesehatan berbasis ramuan tradisional, pertumbuhan pasar obat tradisional di Indonesia masih tergolong kecil dengan proyeksi total omzet produk jamu pada tahun 2010 senilai Rp 10 triliun atau sekitar USD 1 miliar. Nilai ini masih kecil dibandingkan omzet jamu sedunia, yang sudah mencapai USD 62 miliar. Pasar Indonesia sendiri diproyeksikan pada tahun 2030 dapat mencapai Rp 16 triliun (sekitar USD 1,6 miliar). Jika Indonesia mampu meningkatkan kualitas dan daya saing produk, serta menerapkan strategi pemasaran yang tepat. Peluang pasar produk obat tradisional dan obat herbal, paling tidak di wilayah Asia masih terbuka lebar (Kemenkes RI, 2013a).

c. Kebijakan obat tradisional di Indonesia

  Walaupun pengembangan BBOT di Indonesia belum optimal, pemerintah telah memberikan dukungan berupa regulasi yang diperlukan, seperti menerbitkan standar mutu BBOT dalam Materia Medika Indonesia, Monografi Ekstrak Tanaman Obat Indonesia dan Farmakope Herbal Indonesia. Selain itu juga terdapat aturan-aturan yang berkaitan dengan obat tradisional, yaitu: 1)

  Permenkes RI No 88 tahun 2013 tentang Rencana Induk Pengembangan Bahan Baku Obat Tradisional. 2)

  Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 381/Menkes/SK/III/2007 tentang Kebijakan Obat Tradisional Nasional. 3)

  Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1109/Menkes/Per/IX/2007 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Komplementer, Alternatif di Fasilitias Pelayanan Kesehatan.

  4) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 003/Menkes/Per/I/2010 tentang Saintifikasi Jamu Dalam Penelitian Berbasis Pelayanan Kesehatan.

  5) Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1134/Menkes/SK/IX/2010 tentang Komisi Nasional Saintifikasi Jamu (Kemenkes RI, 2013b).

  Menyadari bahwa Indonesia merupakan mega-center tanaman obat di dunia, maka perlu disusun suatu kebijakan obat tradisional sebagai acuan semua pihak yang terkait didalamnya. Kebijakan Obat Tradisional Nasional (KONTRANAS) merupakan dokumen resmi yang berisi pernyataan komitmen semua pihak yang menetapkan tujuan dan sasaran nasional di bidang obat tradisional beserta prioritas, strategi dan peran berbagai pihak dalam penerapan komponen-komponen pokok kebijakan untuk pencapaian tujuan pembangunan nasional khususnya di bidang kesehatan.

  Tujuan pengembangan obat tradisional, seperti tercantum dalam KONTRANAS, pada dasarnya untuk: 1)

  Mendorong pemanfaatan obat tradisional dalam upaya peningkatan pelayanan kesehatan.

2) Menjamin pengelolaan sumberdaya hayati secara lintas sektoral.

  3) Tersedianya obat tradisional yang terjamin mutu, khasiat dan keamanannya, baik untuk swamedikasi atau pelayanan kesehatan formal.

  4) Menjadikan obat tradisional Indonesia sebagai komoditi unggul sehingga memberi dampak ekonomi bagi masyarakat.

  Strategi mengenai pengembangan obat tradisional yang diwacanakan oleh pemerintah seperti yang tercantum dalam KONTRANAS, yaitu: 1)

  Mendorong pemanfaatan sumber daya alam Indonesia secara berkelanjutan untuk digunakan sebagai obat tradisional demi peningkatan pelayanan kesehatan dan ekonomi. 2)

  Menjamin obat tradisional yang aman, bermutu tinggi dan bermanfaat serta melindungi masyarakat dari penggunaan obat tradisional yang tidak tepat. 3)

  Tersedianya obat tradisional yang memiliki khasiat nyata yang teruji secara ilmiah dan dimanfaatkan secara luas baik untuk pengobatan sendiri maupun dalam pelayanan kesehatan formal. 4)

  Mendorong perkembangan dunia usaha di bidang obat tradisional yang bertanggung jawab agar mampu menjadi tuan rumah di negeri sendiri dan diterima di negara lain (Kemenkes RI, 2007).

  Penelitian ini, diharapkan dapat menjadi salah satu upaya dan dukungan bagi pemerintah untuk mencapai tujuan dan strategi dalam pengembangan obat tradisional tersebut diatas, baik secara langsung maupun tidak langsung.