BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Dasar Halusinasi Pendengaran - IDA NURUL WAHYUNI BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Dasar Halusinasi Pendengaran 1. Pengertian Persepsi adalah proses akhir dari pengamatan oleh proses

  pengindraan (Sunaryo, 2004). Sensori adalah mekanisme neurologis yang terlibat dalam pengindraan (Sunaryo, 2004). Gangguan persepsi sensori diantaranya adalah halusinasi. Halusinasi diantaranya merasakan sensasi berupa suara, penglihatan, pengecapan, perabaan atau penghiduan tanpa stimulus nyata (Keliat, 2011).

  Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan rangsangan internal (pikiran ) dan rangsangan ekternal (dunia luar). Klien memberi persepsi atau pendapat tentang lingkungan tanpa objek atau rangsangan yang nyata. Sebagai contoh klien mendengarkan suara padahal tidak ada orang yang berbicara ( Kusumawati & Hartono 2010).

  Halusinasi pendengaran atau akustik adalah kesalahan dalam mempersepsikan suara yang di dengar klien. Suara bisa menyenangkan, ancaman, membunuh dan merusak (Yosep, 2007).

  Berdasarkan pengertian halusinasi pendengaran diatas penulis menyimpulkan bahwa halusinasi pendengaran adalah kesalahan mempersepsikan rangsangan yang diterima oleh klien melalui indra

  8 pendengarannya yang sebenarnya rangsangan tersebut tidak ada, tidak nyata dan tidak dapat dibuktikan.

B. Etiologi 1.

  Faktor predisposisi menurut (Yosep, 2011) a.

  Faktor perkembangan Perkembangan klien yang terganggu misalnya kurangnya mengontrol emosi dan keharmonisan keluarga menyebabkan klien tidak mampu mandiri sejak kecil, mudah frustasi ,dan hilang percaya diri.

  b.

  Faktor sosiokultural Seseorang yang merasa tidak terima di lingkungan sejak bayi akan membekas diingatkanya sampai dewasa dan di akan merasa disingkirkan kesepian dan tidak percaya pada lingkungan.

  c.

  Faktor Biokimia Adanya stres yang berlebihan yang dialami oleh seseorang maka di dalam tubuhnya akan dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia buffofeno dan dimetytranferase sehingga terjadi ketidak seimbangan asetilkolin dan dopamin.

  d.

  Faktor psikologis Tipe kepribadian yang lemas dan tidak bertanggung jawab akan mudah terjerumus pada penyalah gunaan zat adiktif. Klien lebih memilih kesenangan sesaat dari alam nyata menuju alam khayal. e.

  Faktor genetik dan pola asuh Hasil studi menunjukan bahwa faktor keluarga menunjukan hubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit ini.

2. Faktor penyebab halusinasi menurut Stuart (2007) a.

  Faktor predisposisi 1)

  Biologis Abnormalitas perkembangan sistem saraf yang berhubungan dengan respon neurobiologis yang maladaptif baru mulai di pahami. Ditujukan oleh penelitian – penelitian yang berikut: a)

  Penelitian pencitraan otak sudah menunjukan keterlibatan otak yang lebih luas dalam perkembangan skizofrenia, luka pada daerah frontal, temporal dan limbik berhubungan dengan psikotik.

  b) Beberapa zat kimia di otak seperti dopamin neurotransmitter

  yang berlebihan dan masalah-masalah pada sistem reseptor dopamin di kaitkan dengan terjadinya skizofrenia.

  c) Pembesaran ventrikel dan penurunan masa kontrikal menunjukan terjadinya atropi yang signifikan pada otak manusia. Pada anatomi otak klien dengan skizofrenia kronis di temukan pelebaran lateral ventrikel. Atropi korteks bagaian depan dan atropi otak kecil ( cerebellum).Temuan kelainan anatomi otak tersebut di dukung oleh otopsi ( post –mortem ).

  2) Psikologis

  Keluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat mempengaruhi respon dan kondisi psikologis klien.Salah satu sikap atau keadaan yang dapat mempengaruhi ganggaun orientasi realitas adalah penolakan atau tindakan kekerasandalam rentang hidup klien.

  3) Sosial Budaya

  Kondisi sosial budaya mempengaruhi ganggaun orientasi realita seperti : kemiskinan, konflik sosial budaya (perang, kerusuhan, bencana alam) dan kehidupan yang terisolasi di sertai stres.

  b.

  Faktor presipitasi 1)

  Biologis Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur proses informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi stimulus yang diterima oleh otak untuk diinterprestasikan. 2)

  Stres lingkungan Ambang toleransi terhadap stres yang berinteraksi terhadap stresor lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan.

  3) Sumber Koping

  Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menaggapi stresor .

C. Jenis –jenis halusinasi Jenis halusinasi antara lain menurut Stuart (2007).

  1. Halusinasi pendengaran Karakteristik ditandai dengan suara, terutama suara –suara orang,biasanya klien mendengar suara orang sedang berbicara apa yang sedang dipikirkan dan memerintahkan untuk melakukan sesuatu.

  2. Halusinasi penglihatan Karakteristik dengan adanya stimulus penglihatan dalam bentuk pancaran cahaya, gambaran geometrik, gambaran kartun dan/atau panorama yang luas dan kompleks. Penglihatan bisa menyenangkan atau menakutkan.

  3. Halusinasi pengidu Karakteristik di tandai dengan adanya bau busuk,amis dan bau yang menjijikan seperti darah urine atau feses. Kadang–kadang bau harum.

  Biasanya berhubungan dengan stroke tumor kejang dan dementia.

  4. Halusinasi peraba Karakteristik ditandai dengan adanya rasa sakit atau tidak enak tanpa stimulus yang terlihat contoh merasa sensasi listrik datang dari tanah, benda mati atau orang lain.

  5. Halusinasi pengecap Karakteristik ditandai dengan merasakan sesuatu yang busuk,amis dan menjijikan,merasa mengecap rasa seperti rasa darah, urin atau feses.

6. Halusinasi kenestetik

  Karakteristik ditandai dengan merasakan fungsi tubuh seperti darah mengalir melalui vena atau arteri, makanan dicerna atau pembentukan urine.

  .

D. Proses Terjadinya masalah

  Halusinasi berkembang melalui empat fase menurut Stuart (2007),yaitu sebagai berikut :

  1. Fase Pertama Disebut juga dengan fase comforting yaitu fase menyenangkan .

  Pada tahap ini masuk dalam golongan nonpsikotik .

  Karakteristik dari fase ini adalah klien mengalami stress, cemas , perasaan perpisahan, atau bersalah, kesepian yang memuncak dan dapat di selesaikan. Klien mulai melamun dan memikirkan hal-hal yang menyenangkan , cara ini menolong sementara.

  Perilaku klien meliputi tersenyum atau tertawa tidak sesuai, menggerakan bibir tanpa suara, penggerak mata cepat, respon verbal yang lambat jika sedang asik dengan halusinasinya dan suka menyendiri.

  2. Fase ke dua Disebut dengan fase condemming yaitu halusinasi menjadi menjijikan.Termasuk dalam psikotik ringan.

  Karakteristik dari fase ini pengalaman sensori yang menjijikan dan menakutkan kecemasan meningkat, melamun dan berfikir sendiri jadi dominan. Mulai ada bisikan yang tidak jelas, klien tidak ingin orang lain tahu dan dapat mengontrolnya.

  3. Fase ke tiga Adalah fase controlling yaitu pengalaman sensori menjadi kuasa.Termasuk dalam gangguan psikotik.

  Karakteristik difase ini bisikan, suara, isi halusinasi semakin menonjol, menguasai dan mengontrol klien. Klien menjadi terbiasa dan tidak berdaya terhadap halusinasinya .

  Perilaku klien difase ini kemampuan dikendalikan halusinasinya, rentang perhatian lainya beberapa menit dan detik. Tanda-tanda fisik berup klien berkeringat, tremor, dan tidak mampu memantau perintah.

  4. Fase ke empat Adalah fase conquering atau panik yaitu klien kabur dengan halusinasinya. Termasuk dalam psikotik berat.

  Karakteristik difase ini halusinasi berubah menjadi mengancam ,memerintah dan memarahi klien. Klien menjadi takut, tidak berdaya, hilang control, dan tidak dapat berhubungan secara nyata dengan orang lain dilingkungan.

  Perilaku klien difase ini adalah perilaku teror akibat panik, potensi bunuh diri, perilaku kekerasan, agitasi, menarik diri, atau katatonik, tidak mampu merespon terhadap perintah kompleks dan tidak mampu berespon lebih dari satu orang.

E. Tanda dan gejala

  Karakteristik perilaku yang dapat ditunjukan klien dan kondisi halusinasi menurut Direja (2011).

1. Halusinasi pendengaran

  Data subyektif : Klien mendengarkan suara atau bunyi tanpa stimulus nyata, melihat gambaran tanpa stimulus yang nyata, mencium nyata stimulus yang nyata, merasa makan sesuatu, merasa ada sesuatu pada kulitnya,takut terhadap suara atau bunyi yang di dengar,ingin memukul dan melempar barang.

  Data obyektif : Klien berbicara, senyum dan tertawa sendiri,pembicaraan kacau dan terkadang tidak masuk akal, tidak dapat membedakan hal yang nyata dan tidak nyata, menarik diri dan menghindar dari orang lain, disorientasi, tidak bisa memusatkan perhatian atau konsentrasi menurun, perasaan curiga, takut,gelisah, bingung, ekpresi wajah tegang, muka merah dan pucat,tidak mampu melakukan aktifitas mandiri dan kurang mengontrol diri, menunjukan perilaku, merusak diri dan lingkungan.

  2. Halusinasi penglihatan Data subyektif:

  Klien akan menunjuk- nunjuk kearah tertentu, akan merasa ketakutan terhadap sesuatu yang tidak jelas.

  Data obyektif: Klien melihat bayangan seperti melihat hal-hal yang lain hantu atau lainya yang sebenarnya tidak ada.

  3. Halusinasi penghidu Data Subyektif : Klien membau-bauan seperti merasakan bau darah,urine kadang- kadang bau terasa menyenangkan.

  Data Objektif : Klien menghidung seperti sedang membaui bau-bauan tertentu klie akan menutup hidung.

  4. Halusinasi pengecap Data Subyektif : Klien merasakan seperti rasa darah, urin atau yang lainya dalam mulutnya.

  Data Obyektif : Klien sering meludah, dan muntah- muntah tanpa sebab.

  5. Halusinasi Perabaan Data Subyektif : Klien mengatakan merasa ada hewan atau ada sesuatu yang melekat pada permukaan kulitnya.

  Data Obyektif : Klien sering mengusap-usap kulitnya berharap hewan atau yang lainya pergi dari kulitnya.

F. Psikopatologi

  

Pada model stres dan adaptif dalam keperawatan jiwa halusinasi disebabkan

oleh faktor berikut ini antara lain faktor predisposisi, stresor presifitasi, penilaian

terhadap stresor, sumber koping, mekanisme koping, dan rentang respon Stuart

(2007).

  Model Stres Adaptif Stuart Faktor Predisposisi

  Psikologi Sosial Budaya Bio Sterssor Presipitasi Sifat Asal Waktu

  Jumlah

Penilaian terhadap stressor

Kognitif Afektif Fisiologis perilaku Sosial

  Sumber- sumber Koping Kemampuan personal Dukungan sosial Aset materi

  Keyakinan Positif Mekanisme Koping construtive

  Destructive Regresi Menarik diri Proyeksi Rentang respon

  Respon adaptif Respon maladaptif

  • Pikiran logis Pikiran kadang Gangguan pikiran atau menyimpang waham (delusions) Persepsi akurat
  • >Emosional Ilusi Haluasinasi -
  • Konsisten dengan Emosional berlebihan Kerusakan proses e
  • - -

    pengalaman Perilaku aneh Perilaku tidka teroganisasi
  • - -

    Perilaku cocok Menarik diri Isolasi sosial
  • Hubungan sosial harmonis
  • Gambar II. I Patopsikologis, Respon neurobiological berdasarkan model stress dan adaptasi Stuart (2013)

G. Penatalaksaaan medis

  Terapi dalam jiwa bukan hanya meliputi pengobatan dan farmakologi, tetapi juga pemberian psikoterapi, serta terapi modalitas yang sesuai dengan gejala atau penyakit klien yang akan mendukung penyembuhan klien jiwa. Pada terapi tersebut juga harus dengan dukungan keluarga dan sosial akan memberikan peningkatan penyembuhan karena klien akan merasa berguna dalam masyarakat dan tidak merasa diasingkan dengan penyakit yang di alaminya (Kusmawati & Hartono, 2010).

  1. Psikofarmakologis Farmakoterapi adalah pemberian terapi dengan menggunakan obat.

  Obat yang digunakan untuk gangguan jiwa disebut dengan psikofarmaka atau psikotropika atau pherentropika. Terapi gangguan jiwa dengan menggunakan obat-obatan disebut dengan psikofarmakoterpi atau medikasi psikotropika yaitu obat yang mempunyai efek terapeutik langsung pada proses mental penderita karena kerjanya pada otak / sistem saraf pusat. Obat bias berupa haloperidol, Alprazolam, Cpoz, Trihexphendyl.

  2. Terapi Somatis Terapi somatis adalah terapi yang diberikan kepada klien dengan ganggua jiwa dengan tujuan mengubah perilaku yang maladatif menjadi perilaku adaptif dengan melakuakn tindakan yang di tujukan pada kondisi fisik kien.Walaupun yang di beri perilaku adalah fisik klien,tetapi target adalahperilaku klien. Jenis somatic adalah meliputi pengingkatan, terapi kejang listrik,isolasi, dan fototerapi.

  a.

  Pengingkatan Pengikatan adalah terapi menggunakan alat mekanik atau manual untuk membatasi mobilitas fisik klien yang bertujuan untuk melindungi cedera fisik sendiri atau orang lain.

  b.

  Terapi kejang listrik / Elekrto convulsive Therapy (ECT) Adalah bentuk terapi pada klien dengan menimbulkan kejang (grandma) dengan mengalirkan arus listrik kekuatan rendah (2- 8joule) melalui elektroda yang ditempelkan beberapa detik pada pelipis kiri / kanan (lobus frontal) klien (Stuart, 2007).

3. Terapi Modalitas

  Terapi Modalitas adalah terapi utama dalam keperawatan jiwa.Tetapi diberikan dalam upaya mengubah perilaku klien dan perilaku yang maladaftif menjadi perilaku adaftif.Jenis terapi modalitas meliputi psikoanalisis, psikoterapi.terapi perilaku kelompok, terapi keluarga, terapi rehabilitas, terapi psikodrama, terapi lingkungan (Stuart, 2007).

H. Pohon Masalah

  Risiko perilaku kekerasan ………………………Effect

  Gangguan Sensori Persepsi Hauisinasi Pendengaran …Core problem

  Isolasi sosial ……………………………Causa Gangguan konsep diri : Harga diri rendah Gambar II.2 Pohon masalah Keliat (2005).

I. Diagnosa Keperawatan 1.

  Gangguan Sensori Persepsi: halusinasi pendengaran.

  2. Risiko perilaku mencederai diri.

  3. Isolasi sosial.

  4. Gangguan Konsep Diri: harga diri rendah

  J. Intervensi 1. Gangguan sensori persepsi Halusinasi a.

  Tum :Klien dapat mengontrol terjadinya halusinasi b. Tuk :

  1) Klien dapat membina hubungan saling percaya. 2) Klien dapat mengenal halusinasi. 3) Klien dapat mengontrol halusinasi. 4) Klien memilih cara mengatasi seperti yang telah di diskusikan. 5) Klien dapat dukungan dari keluarga dalam mengontrol halusinasi. 6) Klien dapat memanfaatkan obat dengan baik.

  c.

  Intervensi 1)

  Bina hubungan saling percaya dengan mengungkapkan prinsip komunikasi terapeutik.

  2) Sapa klien dengan ramah. 3) Perkenalkan diri dengan sopan. 4) Tanya nama lengkap klien. 5) Jelaskan tujuan pertemuan. 6) Jujur dan tepati janji. 7) Tunjukan sikap empati. 8) Beri perhatian pada klien. 9) Observasi tingkah laku klien terkait dengan halusinasi. 10) Diskusikan dengan klien situasi yang menimbulkan halusinasi.

  11) Identifikasi bersama klien cara tindakan yang di lakukan jika terjadi halusinasi.

  12) Diskusikan manfaat yang dilakukan klien dan beri pujian pada klien.

  13) Diskusikan cara lain memutus mengontrol halusinasi. 14) Bantu klien melatih cara memutuskan halusinasi. 15)

  Beri kesempatan untuk melakukan cara yang di latih 16)

  Anjurkan klien untuk memberi tahu keluarga jika mengalami halusinasi.

  17) Diskusikan dengan keluarga pada saat berkunjung tentang gejala halusinasi yang di alami.

  18) Cara yang dapat dilakukan klien memutuskan halusinasi. 19)

  Cara merawat halusinasi di rumah, beri kegiatan, jangan biarkan sendiri.

  20) Beri informent karena sudah berinteraksi. 21)

  Diskusikan dengan klien dan keluarga tentang dosis,frekeunsi dan manfaat obat.

  22) Anjurkan klien meminta obat sendiri pada perawat dan merasakan manfaat.

  23) Anjurkan klien bicara minta pada dokter tentang manfaat,efek samping obat.

  24) Bantu klien minum obat.

2. Resiko perilaku kekerasan a.

  Tum : Klien dapat mengontrol atau mencegah perilaku kekerasan baik secara fisik,sosial, verbal,spiritual.

  Diskusikan dengan klien keuntungan dan kerugian perilaku kekerasan.

  Tuk :

  b.

  Tum :Klien dapat berhubungan dengan orang lain secara optimal.

  3. Isolasi sosial a.

  5) Diskusikan bersama klien cara mengontrol perilaku kekerasan. 6) Anjurkan klien mempraktekan latian.

  2) Bantu klien mengungkapkan perasaan. 3) Bantu klien untuk mengungkapkan tanda perilaku kekerasan. 4)

  b.

  Bina hubungan saling percaya dengan menerapkan. Komunikasi terapeutik.

  Intervensi 1)

  c.

  5) Klien dapat mengontrol perilaku kekerasan.

  Klien dapat mengidentifikasikan perilaku kekerasan yang dapat di lakukan.

  Tuk : 1) Bina hubungan saling percaya. 2) Klien dapat mengidentifikasikan perilaku kekerasan. 3) Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan. 4)

1) Klien dapat membina hubungan saling percaya.

  2) Klien dapt mengidentifikasi penyebab isolasasi sosial. 3)

  Klien dapat mengetahui keuntungan dan kerugian berhubungan dengan orang lain.

  4) Klien dapat berkenalan. 5) Klien dapat menentukan topik pembicaraan. 6)

  Klien dapat berinteraksi dengan orang lain secara bertahap berkenalan dengan orang pertama ( perawat).

  7) Klien dapat berinteraksi dengan seacara bertahap berkenalan dengan orang ke dua ( pasien lain).

  c.

  Intervensi 1) Beri salam dan panggil nama klien. 2)

  Sebutkan nama perawat dan saling berjabat tangan 3) Jelaskan tujuan interaksi. 4) Jelaskan kontrak yang akan di buat. 5) Beri rasa aman dan tunjukan sikap empati. 6) Beri kesempatan klien mengungkapkan perasaannya. 7) Bantu klien mengungkapkan alasan klien di bawa ke RS. 8)

  Beri kesempatan klien mengatakan keuntungan berhubungan / berinteraksi dengan orang lain.

  9) Beri kesempatan klien untuk mengatakan kerugian berhubungan / berintraksi dengan orang lain.

  10) Beri kesempatan klien mencontohkan teknik berkenalan. 11) Neri kesempatan klien menerapkan teknik berkenalan.

  12) Beri kesempatan klien dan bantu klien menentukan topik pembicaraan.

  13) Latihan berhubungan sosial secara bertahap dengan perawat. 14) Masukan dalam jadwal kegiatan klien. 15)

  Latihan cara berkenalan dengan 2 orang atau lebih dengan teman 1 ruangan / sesama pasien.

  16) Masukan dalam jadwal kegiatan klien.

  4. Harga Diri Rendah a.

  Tum : Klien dapat berhubungan dengan orang lain secara optimal dan mampu meningkatkan harga dirinya.

  b.

  Tuk : 1) Klien mampu membina hubungan saling percaya. 2) Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek yang dimiliki. 3) Klien dapat menilai kemampuan yang di gunakan. 4)

  Klien dapat merencanakan kegiatan sesuai dengan kemampaun yang dimiliki dan klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi sakit. 5) Klien dapat melakukan kegiatan.

  c.

  Intervensi 1) Bina hubungan terapeutiki. 2) Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang masih dimiliki. 3) Beri kesempatan klien untuk mencoba. 4) Setiap bertemu klien hindarkan penilaian negatif.

  5) Utamakan memberi pujian realistik. 6) Diskusikan dengan klien kegiatan yang masih bisa di gunakan. 7) Rencanakan bersama. 8) Beri reinforcemen positif atas usaha klien.