BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Halusinasi - Riska Estriana Lukitasari BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Halusinasi 1. Pengertian halusinasi Halusinasi adalah gangguan penerimaan panca indra tanpa ada stimulus

  eksternal (Keliat, 2011). Halusinasi adalah persepsi tanpa adanya rangsangan apapun pada panca indra seseorang, yang terjadi pada keadaan sadar/bangun dasarnya mungkin organik, fungsional, psikotik, ataupun histerik (Maramis, 2004).

  Halusinasi terjadi apabila yang bersangkutan mempunyai kesan tertentu tentang sesuatu, padahal kenyataanya tidak terdapat rangsangan apapun atau tidak terjadi sesuatu apapun atau bentuk kesalahan pengamatan tanpa objektivitas pengindraan dan tidak disertai stimulus fisik yang adekuat (Sunaryo, 2004). Halusinasi merupakan pengindraan tanpa sumber rangsangan eksternal. Hal ini dibedakan dari distori atau ilusi yang merupakan tanggapan salah dari rangsangan yang ada. Pasien merasakan halusinasi sebagai sesuatu yang amat nyata, paling tidak untuk suatu saat tertentu (Kaplan & Sadock, 2010).

  2.Etiologi Secara umum pasien dengan gangguan halusinasi timbul gangguan setelah adanya hubungan yang bermusuhan, tekanan, isolasi, perasaan tidak berguna, putus asa dan tidak berdaya.

  9 Penilaian individu terhadap stressor dan masalah koping dapat mengindikasikan kemungkinan kekambuhan (Keliat, 2006). Model adaptasi stress menurut Stuart (2006), meliputi faktor predisposisi, stresor presipitasi, penilaian terhadap stresor, sumber koping, mekanisme koping, rentang respons koping, dan aktivitas tahap pengobatan. Hal tersebut didasarkan pada beberapa landasan teori, salah satunya teori tentang neurobiologi.

  Halusinasi termasuk dalam perilaku yang berhubungan dengan masalah persepsi yang berkaitan dengan respon neurobiologis maladaptif.

  Menurut Stuart (2006), faktor penyebab terjadinya halusinasi adalah:

  a. Faktor predisposisi (1) Biologis

  Abnormalitas perkembangan sistem saraf yang berhubungan dengan respon neurobiologis yang maladaptif baru mulai dipahami. Ini ditunjukkan oleh penelitian-penelitian yang berikut:

  (a) Penelitian pencitraan otak sudah menunjukkan keterlibatan otak yang lebih luas dalam perkembangan skizofrenia. Lesi pada daerah frontal, temporal dan limbik berhubungan dengan perilaku psikotik.

  (b) Beberapa zat kimia di otak seperti dopamin neurotransmitter yang berlebihan dan masalah-masalah pada sistem reseptor dopamin dikaitkan dengan terjadinya skizofrenia. (c) Pembesaran ventrikel dan penurunan massa kortikal menunjukkan terjadinya atropi yang signifikan pada otak manusia. Pada anatomi otak pasien dengan skizofrenia kronis, ditemukan pelebaran lateral ventrikel, atropi korteks bagian depan dan atropi otak kecil (cerebellum). Temuan kelainan anatomi otak tersebut didukung oleh otopsi (post-mortem)

  (2) Psikologis Keluarga, pengasuh dan lingkungan pasien sangat mempengaruhi respon dan kondisi psikologis pasien. Salah satu sikap atau keadaan yang dapat mempengaruhi gangguan orientasi realitas adalah penolakan atau tindakan kekerasan dalam rentang hidup pasien.

  (3) Sosial Budaya Kondisi sosial budaya mempengaruhi gangguan orientasi realita seperti: kemiskinan, konflik sosial budaya (perang, kerusuhan, bencana alam) dan kehidupan yang terisolasi disertai stress.

  b.

  Faktor Presipitasi Menurut Stuart (2006), faktor presipitasi terjadinya gangguan halusinasi adalah:

  (1) Biologis Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur proses informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi stimulus yang diterima oleh otak untuk diinterpretasikan.

  (2) Stress lingkungan Ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi terhadap stressor lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku. (3) Sumber koping

  Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi stressor.

3. Jenis Halusinasi

  Menurut Kusumawati & Hartono (2011) halusinasi dibedakan menjadi & macam, yaitu: a.

  Halusinasi Pendengaran : mendengarkan suara atau kebisingan yang kurang jelas ataupun yang jelas, dimana terkadang suara-suara tersebut seperti mengajak berbicara pasien dan kadang memerintah pasien untuk melakukan sesuatu.

  b.

  Halusinasi Penglihatan : stimulus visual dalam bantuk kilatan atau cahaya, gambar atau bayangan yang rumit dan kompleks. Bayangan bias menyenangkan atau menakutkan.

  c.

  Halusinasi Penghidu : membau bau-bauan tertentu seperti bau darah, urine, feses, parfum atau bau yang lain.

  d.

  Halusinasi Pengecapan : merasa mengecap rasa seperti darah, urine, feses atau yang lainnya.

  e.

  Halusinasi Perabaan : merasa mengalami nyeri, rasa tersetrum, atau ketidak nyamanan tanpa stimulus yang jelas. f.

  Halusinasi Cenesthetic : merasa fungsi tubuh seperti aliran darah di vena atau arteri, pencernaan makanan, pembentukan urine.

  g.

  Halusinasi Kinestetika : merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa bergerak.

4. Proses terjadinya Halusinasi

  Menurut Kusumawati & Hartono (2011), proses terjadinya halusinasi terdiri 4 fase yaitu : a.

  Fase pertama disebut dengan fase comforting yaitu fase menyenangkan. Pada tahap ini masuk dalam golongan non psikotik.

  Karakteristik: pasien mengalami stress, cemas, perasaan perpisahan, rasa bersalah, kesepian yang memuncak dan tidak dapat diselesaikan.

  Pasien mulai melamun dan memikirkan hal-hal yang menyengkan, cara ini hanya menolong sementara. Perilaku pasien: tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai, mengeragan bibir tanpa suara, pergarakan mata cepat, respon verbal yang lambat jika sedang asyik dengan halusinasinya dan suka menyendiri.

  b.

  Fase kedua disebut dengan fase condemming yaitu halusinasi menjadi menjijikan dan menakutkan, kecemasan meningkat, melamun dan berfikir sendiri jadi dominan. Mulai dirasakan ada bisikan yang tidak jelas. Pasien tidak ingin orang lain tau dan ia tetap dapat mengontrolnya. Perilaku pasien: meningkatnya tanda-tanda sistem saraf otonom seperti peningkatan denyut jantung & tekanan darah.

  Pasien asyik dengan halusinasinya, tidak bisa membedakan realitas. c.

  Fase ketiga adalah fase controlling yaitu pengalaman sensori menjadi berkuasa. Termasuk dalam gangguan psikotik. Karakteristik: bisikan, suara, isi halusinasi semakin menonjol, menguasai dan mengontrol pasien. Pasien menjadi terbiasa dan tidak berdaya terhadap halusinasinya. Perilaku pasien: kemauan dikendalikan halusinasinya, rentang perhatian hanya beberapa menit atau detik. Tanda-tanda fisik berupa pasien berkeringat, tremor, dan tidak mampu mematuhi perintah.

  d.

  Fase keempat adalah conquering atau panik yaitu pasien lebur dengan halusinasinya. Termasuk dalam psikotik berat. Karakteristik: halusiansinya berubah menjadi mengancam, memerintah, dan memarahi pasien. Pasien menjadi takut, tidak berdaya, hilang kontrol, dan tidak dapat berhubungan secara nyata dengan orang lain di lingkungannya. Perilaku pasien: perilaku teror akibat panik, potensi bunuh diri, perilaku kekerasan, agitasi, menarik diri, tidak mampu merespon terhadap perintah kompleks dan tidak mampu berespon lebih dari satu orang.

B. Dukungan Keluarga

  Keluarga merupakan faktor penting yang menentukan keberhasilan asuhan keperawatan pada pasien halusinasi. Dukungan keluarga selama pasien dirawat di rumah sakit sangat dibutuhkan sehingga pasien termotivasi untuk sembuh. Demikian juga saat pasien tidak lagi dirawat di rumah sakit (dirawat di rumah). Keluarga yang mendukung pasien secara konsisten akan membuat pasien mampu mempertahankan program pengobatan secara optimal. Namun demikian jika keluarga tidak mampu merawat pasien, pasien akan kambuh bahkan untuk memulihkannya lagi akan sangat sulit. Oleh karena itu, dukungan keluarga yang efektif bagi pasien halusinasi baik di rumah sakit maupun dirumah sangat penting (Keliat, 2011).

  Dukungan keluarga yaitu informasi verbal, sasaran, bantuan yang nyata atau tingkah laku yang diberikan oleh orang-orang yang akrab dengan subjek didalam lingkungan sosialnya atau yang berupa kehadiran dan hal yang dapat memberikan keuntungan emosional atau pengaruh pada tingkah laku penerimaannya (Suparyanto, 2012). Dalam hal ini orang yang merasa memperoleh dukungan sosial, secara emosional merasa lega diperhatikan, mendapat saran atau kesan yang menyenangkan pada dirinya. Dukungan keluarga dapat berupa keberatan, kesedihan, kepedulian dari orang-orang yang dapat diandalkan, menghargai dan menyayangi kita, pandangan yang sama juga dikemukakan oleh Cobb (2002 dalam Suparyanto, 2012) mendefinisikan dukungan keluarga sebagai adanya kenyamanan, perhatian, penghargaan atau menolong orang dengan sikap menerima kondisinya, dukungan keluarga tersebut diperoleh dari individu maupun kelompok. Menurut Coyne & Smith (1985 dalam Kusuma, 2009) terdapat tiga cara pemberian dukungan yaitu:

  1. Keterlibatan aktif (active engagemen), dapat diberikan oleh salah satu anggota keluarga dengan cara melibatkan individu dalam sebuah diskusi dan menanyakan mengenai permasalahan perasaan individu.

  2. Pelindung penyangga (protective buffering), mengarah pada tingkah laku salah satu anggota keluarga yang menyembunyikan kekhawatiran, menyagkal kekhawatiran dan mengalah pada individu untuk menghidari pertengkaran.

  3. Perlindungan berlebih (overprotective), mengarah pada tingkah laku salah satu anggota keluarga yang mengabaikan kemampuan individu sehingga individu memperoleh bantuan yang tidak diperlukan dan aktivitasnya dibatasi.

  Dan menurut Suparyanto (2012), dukungan sosial yang merupakan transaksi interpersonal dapat melibatkan satu atau lebih aspek berikut ini:

  1. Dukungan emosional (emosional support) Keluarga sebagai sebuah tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi. Meliputi ungkapan empati, kepedulian dan perhatian terhadap anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa (misalnya: umpan balik, penegasan).

  2. Dukungan penghargaan (apprasial assistance) Keluarga bertindak sebagai bimbingan umpan balik, membimbing dan menengahi pemecahan masalah dan sebagai sumber dan validator identitas anggota. Dapat diungkapkan dengan cara menghargai, menghormati dan mengganggap sebagai anggota keluarga yang sah.

  3. Dukungan materi (tangibile assistance) Keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan praktis dan konkrit, mencakup bantuan langsung seperti dalam bentuk uang, peralatan, waktu, modifikasi lingkungan maupun menolong dengan pekerjaan pada saat mengalami stress.

4. Dukungan informasi (information support)

  Bentuk dukungan keluarga yang diberikan oleh keluarga adalah dorongan semangat, pemberian nasehat atau mengawasi tentang pola makan sehari-hari dan pengobatan. Jenis informasi seperti ini dapat menolong individu untuk mengenali dan memecahkan masalah lebih mudah.

C. Kekambuhan

  Kekambuhan gangguan jiwa psikotik adalah munculnya kembali gejala-gejala pisikotik yang nyata. Angka kekambuhan secara positif hubungan dengan beberapa kali masuk Rumah Sakit (RS), lamanya dan perjalanan penyakit (Wirnata, 2009). Kekambuhan adalah keadaan pasien dimana jatuh sakit lagi (biasanya lebih parah dari pada yang terdahulu) dan mengakibatkan pasien harus dirawat kembali.

1. Faktor-faktor yang mempengaruhi kekambuhan skizofrenia

  Ada beberapa hal yang bisa memicu kekambuhan skizofrenia, antara lain tidak minum obat dan tidak kontrol ke dokter secara teratur, menghentikan sendiri obat tanpa persetujuan dari dokter, kurangnya dukungan dari keluarga dan masyarakat, serta adanya masalah kehidupan yang berat yang membuat stress, (Akbar, 2008 dalam Wirnata, 2009). Menurut Sullinger, (1988 dalam Winarta, 2005) ada 4 (empat) faktor penyebab penderita kambuh dan perlu dirawat di rumah sakit, yaitu: a.

  Penderita Secara umum bahwa pasien yang minum obat secara tidak teratur mempunyai kecenderungan untuk kambuh. Pasien kronis, khususnya skizofrenia sukar mengikuti aturan minum obat karena adanya gangguan realitas dan ketidakmampuan mengambil keputusan.

  b.

  Dokter (pemberian resep) Dokter sebagai pemberi resep obat pada pasien, namun pemakaian obat neuroleptik yang lama dapat menimbulkan efek samping yang mengganggu hubungan sosial seperti gerakan yang tidak terkontrol. Pemberian obat oleh dokter diharapkan sesuai dengan dosis terapeutik sehingga dapat mencegah kekambuhan.

  c.

  Penanggung jawab penderita (Puskesmas/Perawat) Setelah pesien pulang ke rumah, maka penanggung jawab kasus mempunyai kesempatan yang lebih banyak untuk bertemu dengan pasien, sehingga dapat mengidentifikasi gejala dini pasien dan segera mengambil keputusan.

  d.

  Keluarga Keluarga mempunyai tanggung jawab yang penting dalam proses perawatan di rumah sakit, persiapan pulang, dan perawatan di rumah agar adaptasi pasien berjalan dengan baik. Kualitas dan efektifitas perilaku keluarga akan membantu proses pemulihan kesehatan pasien sehingga status kesehatan pasien meningkat. Ekspresi emosi yang tinggi dari keluarga diperkirakan menyebabkan kekambuhan yang paling tinggi pada pasien. Selain itu penderita juga mudah dipengaruhi oleh stres yang menyenangkan maupun yang menyedihkan.

D. Kerangka Teori

  • Dukungan emosional
  • Dukungan Penghargaan - Dukungan Materi - Dukungan Informasi
Gambar 2.1 kerangka teori adaptasi stres modifikasi Stuart (2006), Sullinger (1988 dalam Winarta, 2005), dan Suparyanto (2012).

  Halusinasi kekambuhan Faktor predisposisi

  1. Biologi

  2. Psikologi

  3. Sosial Budaya Faktor Presipitas

  1. Biologis

  2. Stress Likngkungan

  3. Sumber Koping

  Faktor penyabab kekambuhan

  1. Penderita

  2. Dokter

  3.Penanggung jawab

  4. Keluarga :

E. Karangka Konsep

  Kekambuhan pasien gangguan sensori Dukungan Keluarga persepsi

Gambar 2.2 kerangka konsep penelitian.

F. Hipotesis

  Hipotesis penelitian yang diajukan adalah: Ha: Ada hubungan dukungan keluarga terhadap kekambuhan pasien gangguan sensori persepsi : halusinasi.

  Ho: Tidak ada hubungan dukungan keluarga terhadap kekambuhan pasien gangguan sensori persepsi : halusinasi.