ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN AKTIVITAS PADA NN. C DI RUANG INAYAH RS PKU MUHAMMADIYAH GOMBONG - Elib Repository

  

ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN AKTIVITAS

PADA NN. C DI RUANG INAYAH RS PKU MUHAMMADIYAH

GOMBONG

  Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Akhir Ujian Komprehensif Jenjang Pendidikan Diploma III Keperawatan

  Pendidikan Ahli Madya Keperawatan

  Program Studi DIII Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah Gombong Karya Tulis Ilmiah, Agustus 2016 Jehan Pristya¹, Arnika Dwi Asti²

  

ABSTRAK

ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN AKTIVITAS

PADA NN.C DI RUANG INAYAH RS PKU MUHAMMADIYAH GOMBONG

Latar Belakang : Penyakit gagal ginjal kronik

  menyebabkan beberapa gambaran klinis yaitu anemia yang terjadi hampir 80-90%. Anemia menimbulkan gejala seperti kelemahan fisik dan mudah pusing saat beraktivitas sehingga pasien akan mengalami intoleransi aktivitas.

  

Tujuan Penulisan Karya Ilmiah : Tujuan dari penulisan karya ilmiah adalah untuk

mengetahui gambaran mengenai asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan

pemenuhan kebutuhan aktivitas.

  

Resume Keperawatan : Hasil pengkajian pada tanggal 9 Juni 2016 didapatkan data

subjektif klien mengatakan merasa lemas dan pusing. Data objektif keadaan umum klien

lemah, konjungtiva anemis, klien hanya berbaring di tempat tidur, kadar hemoglobin 5,6

g/dl. Diagnosa keperawatan yang muncul intoleransi aktivitas berhubungan dengan

ketidakseimbangan antara suplai oksigen dengan kebutuhan. Intervensi dan implementasi

yang dilakukan menentukan penyebab intoleransi aktivitas, memonitor tanda-tanda vital,

memonitor kadar hemoglobin, memberikan transfusi darah sesuai advise dokter.

  

Rekomendasi : untuk institusi agar mahasiswa mendapatkan tambahan materi mengenai

transfusi darah lebih mendalam, untuk rumah sakit jika menemui pasien dengan

intoleransi aktivitas dilakukan tindakan yang dapat membantu meningkatkan hemoglobin

selain dari transfusi darah sehingga bisa membantu dalam proses peningkatan

hemoglobin sehingga mencapai batas normal.

  Kata Kunci : Asuhan Keperawatan, Intoleransi aktivitas, Transfusi darah

DIPLOMA III OF NURSING PROGRAM MUHAMMADIYAH HEALTH SCIENCE INSTITUTE OF GOMBONG

  Nursing Care Report, August 2016

  Jehan Pristya¹, Arnika Dwi Asti²

ABSTRACT

NURSING CARE OF FULFILLING ACTIVITIES NEED

  

TO Nn. C IN INAYAH WARD, PKU MUHAMMADIYAH HOSPITAL OF

GOMBONG

Background : The disease is chronic renal failure caused some clinical features are

anemia is almost 80-90%. Anemia causes symptoms such as physical weakness and

dizziness easily while on the move so that the patient will experience activity intolerance.

  

The purpose of Scientific Writing : The purpose of scientific writing is to describe the

nursing care in patients with impaired fulfillment activity.

Nursing Care : From the assessment results on June 9, 2016 obtained subjective data the

client says to feel weak and dizzy. Objective data of the general state of weak clients,

conjunctival pallor, the client just lying in bed, a hemoglobin level of 5.6 g / dl. Nursing

diagnoses emerging activity intolerance related to imbalance between the supply of

oxygen to the needs. Intervention and implementation conducted to determine the cause

of activity intolerance, monitor vital signs, monitor hemoglobin levels, provide

appropriate blood transfusion doctors advise.

  

Recommendation : for an institution that students get the extra material on blood

transfusions deeper, to the hospital when seeing patients with intolerance activity

performed actions that can help increase hemoglobin other than blood transfusion that

may help in the process of increasing hemoglobin so as to achieve the normal range.

  Keywords : Activity Intolerance, Blood Transfusion, Nursing Care

KATA PENGANTAR

  Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah yang berjudul

  “Asuhan Keperawatan Pemenuhan

Kebutuhan Aktivitas Pada Nn.C di Ruang Inayah RS PKU Muhammadiyah

Gombong”.

  Karya tulis ilmiah ini disusun untuk memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mendapatkan gelar ahli madya keperawatan di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah Gombong. Penulis menyadari bahwa terselesaikannya karya tulis ini tidak terlepas dari bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, untuk itu penulis menyampaikan terimakasih kepada: 1. Madkhan Anis, S.Kep.Ns selaku ketua STIKes Muhammadiyah Gombong.

  2. Sawiji, S.Kep.Ns,M.Sc selaku ketua Program Studi DIII Keperawatan STIKes Muhammadiyah Gombong.

  3. Arnika Dwi Asti, S.Kep.Ns,M.Kep selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, masukan, dan motivasi dalam penyusunan karya tulis ini.

  5. Dosen-dosen STIKes Muhammadiyah Gombong yang telah memberi bekal ilmu pengetahuan yang sangat bermanfaat bagi penulis.

  9. Teman

  • – teman DIII Keperawatan angkatan 2013 khususnya Nofidon Laela, Nesi Nur Istiqomah, Nurul Istiqlaliyah, Nur Za’adah, Herlina Yulianti Kulsum, Imas Susanti, Ike Puji Astati, Leny Oktaviani Puji Rahayu, dan Nina Wanda, Kartika yang bersama-sama menjadi sebuah keluarga yang selama ini saling mendukung, mengisi dan berbagi.

  10. Pihak-pihak lain yang telah memberikan dukungan dan bantuan yang tidak bisa disebutkan satu-persatu.

  Penulis menyadari bahwa karya tulis ilmiah ini masih jauh dari sempurna karena keterbatasan penulis. Meskipun demikian, penulis berharap karya tulis ilmiah ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca umumnya.

  Kebumen, Agustus 2016

  

DAFTAR ISI

  HALAMAN JUDUL ...........................................................................................i LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ......................................................ii LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ...............................................................iii ABSTRAK ..........................................................................................................iv ABSTRACT ........................................................................................................v KATA PENGANTAR ........................................................................................vi DAFTAR ISI .......................................................................................................viii

  BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ................................................................................1 B. Tujuan Penulisan .............................................................................4 C. Manfaat Penulisan ...........................................................................4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Dasar Kebutuhan Aktivitas ...............................................7

  1. Kebutuhan Aktivitas ....................................................................7

  2. Definisi Intoleransi Aktivitas ......................................................8

  3. Anemia Pada Gagal Ginjal Kronik..............................................9 B. Manajemen Intoleransi Aktivitas ...................................................13

  1. Definisi Transfusi Darah ............................................................13

  2. Tujuan Transfusi Darah ..............................................................13

  3. Indikasi Transfusi Darah ............................................................14

  4. Kontraindikasi Transfusi Darah .................................................14

  5. Macam-macam Transfusi Darah ................................................15

  6. Komplikasi Transfusi Darah ......................................................16

  7. Prosedur Transfusi Darah ...........................................................16

  C. Konsep Dasar Inovasi Tindakan Keperawatan .................................17

  BAB III RESUME KEPERAWATAN A.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Insidens typhoid menurun di USA dan Eropa akan tetapi di sebagian besar negara berkembang typhoid di perkirakan 21,6 kasus dengan 216.500 kematian tahun 2000. Tertinggi >100 kasus per 100.000 populasi per tahun di Asia Tengah, Selatan serta Tenggara, dan kemungkinan di Afrika Selatan. Yang tergolong insidens sedang 10-

  100 kasus 100.000 populasi per tahun di Asia dan negara lainnya. Insidens rendah <10 kasus per 100.000 populasi per tahun di belahan dunia lainnya. Di Indonesia insidens typhoid banyak dijumpai karena berkaitan dengan rumah tangga dimana adanya anggota keluarga yang pernah mengalami tifoid (WHO, 2008).

  Typhoid di Indonesia disebabkan oleh faktor kebersihan meliputi makanan, kebersihan pribadi, dan lingkungan, maupun masalah klinis seperti koinfeksi dengan penyakit lain serta belum adanya vaksin yang efektif (Depkes, 2006). Laporan profil kesehatan Indonesia 2007, menyebutkan bahwa 10 penyakit terbanyak pada pasien rawat inap di rumah sakit tahun 2006 diantaranya adalah typhoid dengan presentase 3,26% yaitu 72.804 orang (Depkes, 2007). Angka kejadian tinggi biasanya pada daerah tropis dibandingkan daerah berhawa dingin. Beberapa literature menyebutkan penyakit typhoid dapat mengenai siapa saja, tetapi lebih sering dialami oleh anak- anak.

  Profil Kesehatan Indonesia tahun 2010 menyebutkan typhoid masuk dalam peringkat ketiga dari 10 penyakit terbanyak rawat inap di rumah sakit. Menurut Riset

  2

  Penularan typhoid melalui banyak cara yang lebih dikenal dengan 5F (Food, Fingers, Fly, Feces, Fomitus). Gejala yang muncul biasanya berupa demam yang akan terjadi mulai dari sore hari hingga malam, lidah kotor, sakit kepala, terkadang juga disertai dengan diare. Di pulau Jawa dimana sentra pemerintahan berada tidak menutup kemungkinan penyakit typhoid tidak bisa menyebabkan penularan yang karena di pulau Jawa tingkat kepadatan penduduknya tinggi, lalu tingkat ekonominya rendah sehingga standart hidup dan kebersihan rendah.

  Pathogenesis typhoid melalui beberapa tahapan. Setelah kuman masuk, kuman dapat bertahan pada asam lambung dan masuk melalui mukosa usus pada ileum, kemudian menyebar ke pembuluh dalah melalui sistem limfatik. Periode ini terjadi selama 7-14 hari. Diagnosis pasti demam typhoid berdasarkan 3 prinsip, yaitu isolasi bakteri, deteksi antigen mikroba, titrasi antibodi pada organisme penyebab. Peran pemeriksaan widal masih kontroversial, biasanya antibodi gen-O dijumpai pada hari ke 6-8 dan anti gen-H pada hari ke 10-12 setelah sakit diagnosis didasarkan atas kenaikan titer (Sudoyo, 2009).

  Dikarenakan pasien yang dikelola penulis memiliki riwayat penyakit gagal ginjal kronik maka penulis pun menuliskan latar belakang yang berkaitan dengan penyakit gagal ginjal kronik.

  Di Indonesia penyakit gagal ginjal kronik termasuk penyakit yang memiliki penderita terbanyak dengan prevalensi 10% tiap tahunnya (Sudoyo, 2009). Di Amerika Serikat, penderita gagal ginjal kronik di perkirakan 20 juta orang ada dua penyebab terbesar dari gagal ginjal kronik yaitu hipertensi dan diabetes mellitus diperparah oleh obesitas, merokok, dan faktor lainnya (Bailie, 2006). Prevalensi gagal

  3

  per satu juta penduduk dan yang menjalani hemodialisa mencapai 2.260 orang dan meningkat menjadi 2.148 orang dari tahun sebelumnya di tahun 2007 Gagal ginjal kronik merupakan penyakit yang mengganggu fungsi renal secara progresif dan ireversibel sehingga tubuh gagal mempertahankan metabolism dan keseimbangn cairan serta elektrolit sehingga menyebabkan uremia (Brunner & Suddarth, 2010).

  Menurut Susalit (2012) penderita gagal ginjal kronik di Indonesia mencapai 300.000 orang tetapi yang belum tertangani semua oleh medis, yang sudah tertangani baru mencapai 25.000 pasien. Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 prevalensi gagal ginjal kronik yang tertinggi adalah di Sulawesi Tengah sekitar 0,5%, sementara di pulau Jawa khususnya di Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur masing

  • – masing 0,3%. Hemodialisa merupakan terapi yang bertujuan agar fungsi ginjal bisa tetap dilakukan walaupun digantikan dengan mesin dan pasien yang mengalami hemodialisa akan berketergantungan seumur hidup. Penyakit gagal ginjal kronik juga biasanya menyebabkan beberapa gambaran klinis diantaranya yaitu anemia yang terjadi hampir 80-90% pasien gagal ginjal kronik mengalaminya. Anemia yang terjadi akibat dari defisiensi sintesis hormon eritropoietin yang merupakan hormon endogen yang dihasilkan fibroblas peritubular yang terdapat di korteks ginjal secara normal eritropoietin disintesis jika terjadi kehilangan darah akibat perdarahan maupun hipoksia jaringan yang menyebabkan produksinya meningkat 1000 kali faktor lain terjadinya anemia yaitu pemendekan usia eritrosit akibat peningkatan hemolisis eritrosit serta kehilangan darah seperti perdarahan saluran cerna dan defisiensi vitamin (asam folat dan vitamin B 12). Anemia secara fungsional adalah sebagai penurunan jumlah masa eritrosit (red cell mass) sehingga

  4

  karena mereka kehilangan banyak darah saat melalui menstruasi, terlebih saat menstruasi hari pertama.

  Penurunan produksi sel darah merah menyebabkan penurunan kadar hemoglobin sehingga transportasi oksigen ke darah berkurang dan terjadi hipoksia karena suplai oksigen tidak seimbang, dari hal tersebut menimbulkan kelemahan fisik sehingga menyebabkan kebutuhan sehari-hari tidak terpenuhi., karena mengalami kelemahan tidak mampu melakukan aktivitasnya dikarenakan energi besar diperlukan untuk menyelesaikan aktivitas, dari keterangan tersebut dapat disimpulkan bahwa intoleransi aktivitas merupakan masalah keperawatan yang harus teratasi pada karena di dalam kehidupan sehari-hari seseorang memerlukan energi yang besar dalam beraktivitas. (Smeltzer & Bare, 2002)

  Intoleransi aktivitas adalah jenis dan jumlah latihan atau kerja yang dapat dilakukan oleh seseorang (Perry dan Potter, 2006) sedangkan menurut Herdman (2012) intoleran aktifitas adalah ketidakcukupan energi secara fisiologis atau psikologis dalam pemenuhan aktivitas sehari-hari yang dibutuhkan atau diperlukan.

  Penderita anemia akan beresiko mengalami masalah intoleransi aktivitas sehingga menghambat pasien dalam menjalani aktivitasnya. Oleh karena itu pada karya tulis ilmiah (KTI) yang penulis buat akan menjabarkan lebih lanjut bagaimana pengelolaan intoleransi aktivitas pada pasien kelolaan yang mengalami penyakit typhoid yang disertai dengan gagal ginjal kronik sehingga menyebabkan adanya penurunan kadar hemoglobin dalam darah dan mengakibatkan produktivitas seseorang mengalami gangguan.

  5

2. Tujuan khusus a.

  Mampu melakukan pengkajian keperawatan pada klien dengan gangguan pemenuhan kebutuhan aktivitas pada klien typhoid disertai dengan gagal ginjal kronik b. Mampu menganalisa masalah yang muncul dan menegakkan diagnose keperawatan pada klien dengan gangguan pemenuhan kebutuhan aktivitas pada klien typhoid disertai dengan gagal ginjal kronik c. Mampu menyusun intervensi keperawatan sesuai dengan masalah keperawatan yang muncul pada klien dengan gangguan pemenuhan kebutuhan aktivitas pada klien thypoid disertai dengan gagal ginjal kronik d. Mampu melakukan implementasi pada klien dengan gangguan pemenuhan kebutuhan aktivitas pada klien thypoid disertai dengan gagal ginjal kronik e.

  Mampu melakukan evaluasi dari hasil implementasi yang telah dilakukan pada klien pada klien dengan gangguan pemenuhan kebutuhan aktivitas thypoid disertai dengan gagal ginjal kronik f. Mampu mendokumentasikan hasil tindakan keperawatan pada klien dengan masalah keperawatan pemenuhan kebutuhan aktivitas pada klien thypoid disertai dengan gagal ginjal kronik C.

   Manfaat Penulisan 1.

  Manfaat keilmuan a.

  Manfaat untuk penulis Melatih kemampuan penulis untuk menerapkan ilmu pengetahuan yang

  6

2. Manfaat aplikatif

  a. Manfaat untuk pasien dan keluarga Dapat menambah pengetahuan serta wawasan pasien dan keluarga tentang cara perawatan pada pasien dengan gangguan pemenuhan kebutuhan aktivitas akibat penyakit thypoid disertai dengan gagal ginjal kronik.

  b. Manfaat untuk instansi kesehatan Dapat mengoptimalkan transfusi darah yang efektif dalam membantu proses pemulihan gangguan pemenuhan kebutuhan aktivitas pada pasien thypoid disertai dengan gagal ginjal kronik.

DAFTAR PUSTAKA

  Acomb, C., (2003).Anemia, dalam Walker, R., Edwards, C., 3rd , Clinical

  Pharmacy and Therapeutics , 725-730, Churchill Livingstone., Philadelphia.

  Asmadi. (2008). Teknik Prosedural Keperawatan Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien . Jakarta:Salemba Medika. Ayu Nyoman, Suega Ketut, Widiana Gede.(2010). Hubungan Antara Beberapa

  Parameter Anemia Dan Laju Filtrasi Glomerulus Pada Penyakit Ginjal Kronik Pradialisis

  Bailie, George R PharmD, PHD ; Curtis A.Johnson, PharmD ; Nancy A.Mason, PharmD ; and Wendy Lst. Peter, PharmD. (2006) A Guide to Select NKF.

  KDOQI Guidelines and Recommendations was edited by Nephrology Pharmacy Associates. Journal NKF-KDOQI National Kidney Foundation Chronic Kidney Diseases.

  Baki Aber, Musa Nevine, Kamel Cherry. (2012). Iron Deficiency Among Anemic Pre-Dialysis Chronic Kidney Patients: Life Science Journal. Bakta, I Made. (2007). Hematologi Klinik Ringkasan Jakarta: EGC Bastiansyah, Eko. (2008). Panduan Lengkap : Membaca Hasil Tes Kesehatan.

  Jakarta : Penebar Plus.

  Brunner and Suddarth. (2010). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, alih bahasa: Waluyo Agung, Yasmin Asih, Juli, Kuncara, I Made Karyasa, Jakarta, EGC. edisi 8, volume 3. Jakarta: EGC

  Doengoes, Maryllin E. (2014). Manual Diagnosis Keperawatan : rencana,

  intervensi, & dokumentasi asuhan keperawatan. Edisi 3. Alih bahasa : Bhesty Angelina. Jakarta : EGC.

  Dokman Gilang.( 2010). Profil Status Besi Pada Penderita Penyakit Ginjal Kronis Stadium 5 Yang Menjalani Hemodialisis Berkelanjutan di Instalasi Hemodialis RSUD Dr.Soetomo Evelyn, Pearce. (2009). Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. Jakarta : PT.

  Gramedia Pustaka Utama. Gombotz, H., (2012). Patient Blood Management: A Patient-Orientated Approach to Blood Replacement with the Goal of Reducing Anemia, Blood Loss and the Need for Blood Transfusion in Elective Surgery, Transfusion Medicine

  and Hemotherapy ., 39, 67 –72.

  Herdman, T. Heather. (2012). Nursing Diagnoses : Deffinition & Classification

  2012- 2014. Jakarta : EGC

  Hoffbdand A.V. dan Pettit J.E. (2011) : Alih Bahasa Iyan Darmawan, Kapita Selekta Hematologi , Edisi II.EGC. Jakarta. Ineck, B., Mason, B.J., Lyons,W., (2008). Anemia, dalam Dipiro, J.T., Wells,

  B.G., Schwinghammer, T.L., Dipiro, C.V., 7th, Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach , 1639-1660, McGrawHill., United Stated. Kidney International Supplements, (2012).Clinical practice for Anemia in chronic

  Kidney disease, KDIGO., 2, 283 –287. KTW, 2009. Annual Meeting 2009 Perhimpunan Nefrologi Indonesia.

  Semarang, Universitas Diponegoro Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran, Sari Pediatri, Vol.13, No.3, Oktober 2011. Ochiai RL, Acosta JC, Danovaro, Holliday MC, Baiqing D, Bhattacharya SK,

  Agtini M, et al. A Study of Thypoid Fever In Five Asian Countries : Disease burden and implications for controls, Bull World Health

  Organization (WHO). (2008). ; 86 : 260 – 8.

  Pali, Moeis, Rotty. (2012). Gambaran Anemia Pada Penderita Gagal Ginjal Kronik Di BLU. RSUD. Prof. Dr. R.D.Kandou. Universitas Sam Ratulangi Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran.

  Purba Regina Tatiana, Kampono Nugroho, Handaya, Moegni Endi.M. (2007).

  Perbandingan Efektivitas Terapi Besi Intra Vena dan Oral pada Anemia Defisiensi Besi Dalam Kehamilan, Majalah Kedokteran Indonesia, Vol : 57, No. 4, April 2007.

  Potter & Perry. (2006) Buku Ajar Fundamental Konsep, Proses, dan Praktik (Vol.2). Jakarta: EGC

  Pratidina, Eki., Pustika, Pupu. (2001). Transfusi Darah. Bhakti Kencana Medika,

  Vol.1, No.3, Juli 2001, hal : 89-95 PPM dan PL. Profil Kesehatan Indonesia . (2005).Jakarta: DepKes RI; (2006).

  Rejeki, Pradani, Nurhayati, Supriyanto. (2014). Model Prediksi Kebutuhan Darah,

  Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, Vol.8, No.7, Februari 2014 .

  Sudoyo, A W. (2009). Buku Ajar Penyakit Dalam. Jakarta : Interna Publising Sumiati, Ningsih, Nurkhikmah. (2015) Administration Periode Of PRC

  Smeltzer & Bare. (2002). Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Volume 2.

  Jakarta : EGC Smeltzer

  , S. C. & Bare, B. G Brunner and Suddarth’s 2010. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Volume 3. Edisi 8. Jakarta: FKUI.

  Strippoli, G.F.M., Craig, J.C., Manno, C., Schena, F.P., (2004). Hemoglobin Targets for the Anemia of Chronic KidneyDisease: A Meta-analysis of Randomized, Controlled Trials, J Am Soc Nephrol., 15, 3154 –3165.

  Tarwoto, Watonah. (2006). Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan, Edisi : 3, Jakarta : Salemba. Teddy. (2011). Hubungan Hepcidin Dengan Feritin Serum Pasien Anemia Defisiensi Besi Pada Penyakit Ginjal Kronik. Tesis. Universitas Andalas.

  Hal 38-39 Weiner, D.E., Miskulin, D.C., (2010). Anemia Management in Chronic Kidney

  Disease: Bursting the Hemoglobin Bubble, Annals of Internal Medicine., Vol 153, Number 1 . WHO, 2011. Global Status Report on Noncommunicable Diseases 2010.

  

  Ermaya, Hilmanto, Reniarti. (2007). Hubungan Kadar Hemoglobin Sebelum Transfusi dan Zat Pengikat Besi Dengan Kecepatan Pertumbuhan Penderita Thallasemia Major, Majalah Kedokteran Indonesia, Vol.57, No.11, November 2007.

  Zulkoni, Akhsin. (2011). Parasitologi. Yogyakarta : Nuha Medika

LAPORAN PENDAHULUAN TYPHOID DI RUANG INAYAH RS PKU MUHAMMADIYAH GOMBONG

  Disusun oleh : Jehan Pristya (A01301779)

LAPORAN PENDAHULUAN THYPOID A.

   Pendahuluan

  Thypoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella thypi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang terutama terletak di daerah tropis dan subtropis. Penyakit ini juga merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting karena penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar higiene industri pengolahan makanan yang masih rendah (Simanjuntak, C. H, 2009. Tifoid, Epidemiologi dan Perkembangan Penelitian. Cermin Dunia Kedokteran No. 83.)

  Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan jumlah kasus tifoid, Diseluruh dunia mencapai 16-33 juta dengan 500-600 ribu kematian setiap tahunnya. Tifoid merupakan penyakit infeksi menular yang dapat terjadi pada anak maupun dewasa. Anak merupakan yang paling rentan terkena demam tifoid, walaupun gejala yang dialami anak lebih ringan dari pada dewasa. Hampir disemua daerah endemik, insiden demam tifoid banyak terjadi pada anak usia 5-19 tahun (Nugroho, 2011)

  Berdasarkan laporan Ditjen Pelayanan Medis Depkes RI, pada tahun 2008, demam tifoid menempati urutan kedua dari 10 penyakit terbanyak pasien rawat inap di rumah sakit di Indonesia dengan jumlah kasus 81.116 dengan proporsi 3,15%, urutan pertama ditempati oleh diare dengan jumlah kasus 193.856 dengan proporsi 7,52%, urutan ketiga ditempati oleh DBD dengan jumlah kasus 77.539 dengan proporsi 3,01% (Departemen Kesehatan RI, 2009)

  Saluran pencernaan terdiri dari mulut, tenggorokan (faring), kerongkongan, lambung, usus halus, usus besar, rectum dan anus. Sistem pencernaan juga meliputi organ-organ yang terletak di luar saluran pencernaan, yaitu pankreas, hati dan kandung empedu.

  A. Usus Halus (usus kecil) Usus halus atau usus kecil adalah bagian dari saluran pencernaan yang terletak di antara lambung dan usus besar. Dinding usus kaya akan pembuluh darah yang mengangkut zat-zat yang diserap ke hati melalui vena porta. Dinding usus melepaskan lendir (yang melumasi isi usus) dan air (yang membantu melarutkan pecahan-pecahan makanan yang dicerna). Dinding usus juga melepaskan sejumlah kecil enzim yang mencerna protein, gula dan lemak. Lapisan usus halus meliputi, lapisan mukosa (sebelah kanan), lapisan otot melingkar (M sirkuler), lapisan otot memanjang (M longitudinal) dan lapisan serosa (sebelah luar).

  Usus halus terdiri dari tiga bagian yaitu usus dua belas jari duodenum), usus kosong (jejenum) dan usus penyerapan (ileum). Villi usus halus terdiri dari pipa berotot (> 6 cm), pencernaan secara kimiawi, penyerapan makanan. Terbagi atas usus 12 jari (duodenum), usus tengah (jejenum), usus penyerapan (ileum).

1. Usus dua belas jari (Duodenum)

  Usus dua belas jari atau duodenum adalah bagian dari usus halus yang terletak setelah lambung dan menghubungkannya ke usus kosong (jejenum). Bagian usus dua belas jari merupakan bagian terpendek dari usus halus, dimulai dari bulbo duodenale dan berakhir di ligamentum Treitz.

  Usus dua belas jari merupakan organ retroperitoneal, yang tidak terbungkus seluruhnya oleh selaput peritoneum. pH usus dua belas jari yang normal berkisar

  2. Usus Kosong (jejenum) Usus kosong atau jejenum (terkadang sering ditulis yeyunum) adalah bagian dari usus halus, diantara usus dua belas jari (duodenum) dan usus penyerapan (ileum).

  Pada manusia dewasa, panjang seluruh usus halus antara 2-8 meter, 1-2 meter adalah bagian usus kosong. Usus kosong dan usus penyerapan digantungkan dalam tubuh dengan mesenterium. Permukaan dalam usus kosong berupa membran mukus dan terdapat jonjot usus (vili), yang memperluas permukaan dari usus. Secara histologis dapat dibedakan dengan usus dua belas jari, yakni berkurangnya kelenjar Brunner. Secara hitologis pula dapat dibedakan dengan usus penyerapan, yaitu sedikitnya sel goblet dan plak Peyeri. Sedikit sulit untuk membedakan usus kosong dan usus penyerapan secara makroskopis.

  3. Usus Penyerapan (ileum) Usus penyerapan atau ileum adalah bagian terakhir dari usus halus. Pada sistem pencernaan manusia, ini memiliki panjang sekitar 2-4 m dan terletak setelah duodenum dan jejunum, dan dilanjutkan oleh usus buntu. Ileum memiliki pH antara 7 dan 8 (netral atau sedikit basa) dan berfungsi menyerap vitamin B12 dan garam- garam empedu.

  C.

   Usus Besar (Kolon)

  Usus besar atau kolon dalam anatomi adalah bagian usus antara usus buntu dan rektum. Fungsi utama organ ini adalah menyerap air dari feses. Usus besar terdiri dari kolon asendens (kanan), kolon transversum, kolon desendens (kiri), kolon sigmoid (berhubungan dengan rectum). Banyaknya bakteri yang terdapat didalam usus besar berfungsi mencerna makanan beberapa bahan dan membantu penyerapan zat-zat gizi. Sebagian besar herbivore memiliki sekum yang besar, sedangkan karnivora ekslusif memiliki yang kecil, yang sebagian atau seluruhnya digantikan oleh umbai cacing.

  E. Umbai Cacing (Appendix) Umbai cacing atau apendiks adalah organ tambahan pada usus buntu. Infeksi pada organ ini disebut apendisitis atau radang umbai cacing. Apendisitis yang parah dapat menyebabkan apendiks pecah dan membentuk nanah di dalam rongga abdomen atau peritonitis (infeksi rongga abdomen). Dalam anatomi manusia, umbai cacing adalah ujung buntu tabung yang menyambung dengan caecum. Umbai cacing terbentuk dari caecum pada tahap embrio. Dalam orang dewasa, umbai cacing berukuran sekitar 10 cm tetapi bisa bervariasi dari 2 sampai 20 cm. walaupun lokasi apendiks selalu tetap, lokasi ujung umbai cacing bisa berbeda-beda di retrocaecal atau di pinggang (pelvis) yang jelas tetap terletak di peritoneum. Banyak orang percaya umbai cacing tidak berguna dan organ vestigial (sisihan), sebagian yang lain percaya bahwa apendiks mempunyai fungsi dalam sistem limfatik.

  Operasi membuang umbai cacing dikenal sebagai appendiktomi.

  F.

  Rektum dan Anus Rektum adalah sebuah ruangan yang berawal dari usus besar (setelah kolon sigmoid) dan berakhir di anus. Organ ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan sementara feses.

  Biasanya rektum ini kosong karena tinja disimpang ditempat yang lebih tinggi, yaitu pada kolon desendens. Jika kolon desendens penuh dan tinja masuk ke dalam rektum, maka timbul keinginan untuk buang air besar (BAB). Mengembangnya dinding rektum karena penumpukan material didalam rectum akan memicu sistem saraf yang menimbulkan keinginan untuk melakukan defekasi. Jika defekasi tidak terjadi, seringkali material akan spinter. Feses dibuang dari tubuh melalui proses defekasi (buang air besar

  • – BAB), yang merupakan fungsi utama anus.

  C. Pengertian Tifoid adalah penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan infeksi salmonella Thypi.

  Organisme ini masuk melalui makanan dan minuman yang sudah terkontaminasi oleh faeses dan urine dari orang yang terinfeksi kuman salmonella (Smeltzer & Bare. 2002). Tifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh kuman salmonella Thypi (Mansjoer, Arif. 2009).

  D. Etiologi

  Etiologi demam thypoid adalah salmonella thypi (S.thypi) 90 % dan salmonella parathypi (S. Parathypi Adan B serta C). Bakteri ini berbentuk batang, gram negatif, mempunyai flagela, dapat hidup dalam air, sampah dan debu. Namun bakteri ini dapat mati dengan pemanasan suhu 60 selama 15-20 menit. Akibat infeksi oleh salmonella thypi, pasien membuat antibodi atau aglutinin yaitu : a. Aglutinin O (antigen somatik) yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari tubuh kuman).

  b. Aglutinin H (antigen flagela) yang dibuat karena rangsangan antigen H (berasal dari flagel kuman).

  c. Aglutinin Vi (envelope) terletak pada kapsul yang dibuat karena rangsangan antigen Vi (berasal dari simpai kuman)

  Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk pada sel-sel mukosa dan kemudian menginvasi mukosa dan menembus dinding usus, tepatnya di ileum dan jejunum. Sel- sel M, sel epitel khusus yang melapisi Peyer’s patch, merupakan tempat internalisasi Salmonella typhi. Bakteri mencapai folikel limfe usus halus, mengikuti aliran ke kelenjar limfe mesenterika bahkan ada yang melewati sirkulasi sistemik sampai ke jaringan RES di organ hati dan limpa. Salmonella typhi mengalami multiplikasi di dalam sel fagosit mononuklear di dalam folikel limfe, kelenjar limfe mesenterika, hati dan limfe (Soedarmo, 2012.).

  Setelah melalui periode waktu tertentu (periode inkubasi) yang lamanya ditentukan oleh jumlah dan virulensi kuman serta respons imun pejamu maka Salmonella typhi akan keluar dari habitatnya dan melalui duktus torasikus masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Dengan cara ini organisme dapat mencapai organ manapun, akan tetapi tempat yang disukai oeh

  Salmonella typhi adalah hati, limpa, sumsum

  tulang belakang, kandung empedu dan Peyer’s patch dari ileum terminal. Invasi kandung empedu dapat terjadi baik secara langsung dari darah atau penyebaran retrograd dari empedu. Ekskresi organisme di empedu dapat menginvasi ulang dinding usus atau dikeluarkan melalui tinja. Peran endotoksin dalam patogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari

  Salmonella typhi menstimulasi makrofag di dalam hati, limpa, folikel limfoma usus halus dan

  kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat-zat lain. Produk dari makrofag inilah yang dapat menimbulkan nekrosis sel, sistem vaskular yang tidak stabil, demam, depresi sumsum tulang belakang, kelainan pada darah dan juga menstimulasi sistem imunologik (Soedarmo, 2012).

  ↑ Bakteri salmonella

  Thypi (perantara 5F)

  Metabolisme menurun ↓ ↑

  Masuk lewat makanan Intake makanan

  (nutrisi) untuk tubuh menurun ↓ ↑

  Saluran pencernaan Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

  ↓ ↑ Lambung

  (sebagian mati oleh asam lambung)

  Napsu makan menurun, nausea & vomit

  ↓ Usus halus (jar. Limfoid usus halus)

  Peristaltik usus menurun ↓ ↓

  Malaise,

  (pusat usus pengaturan

  Perforasi usus suhu tubuh) (bag.distal ileum) periotonitis

  ↑ ↓ Bakterime

  Pirogen beredar primer (bakteri dalam darah masuk ke aliran darah)

  ↑ ↓ Endotoksin meransang

  Bakteri yang sintesa & tidak pelepasan zat difagositosis pirogen oleh akan masuk leukosit pada

  &berkembang jar. radang di hati & limfa

  ↑ ↓ Peradanan

  Inflamasi hati & lokalisasi limfa meningkat endotoksin Nyeri akut G.

   Tanda Dan Gejala

  Tanda dan gejala klinik thypoid :

  Keluhan:

  Nyeri kepala (frontal) 100% Kurang enak di perut

  50% Nyeri tulang, persendian, dan otot

  50% Berak-berak

  50% Muntah

  50%

  Gejala:

  Demam 100% Nyeri tekan perut 75%

  Bronkitis 75% Toksik

  60% Letargik

  60% 40%

  Lidah tifus (“kotor”)

  a. Pada kondisi demam, dapat berlangsung lebih dari 7 hari, febris reminten, suhu tubuh berangsur meningkat b. Ada gangguan saluran pencernaan, bau nafaas tidak sedap,bibir kering pecah-pecah

  (ragaden), lidah ditutpi selaput putih kotor (coated tongue, lidah limfoid) ujung dan

H. Pemeriksaan Diagnostik

  1. Pemeriksaan leukosit Di dalam beberapa literatur dinyatakan bahwa demam typhoid terdapat leukopenia dan limposistosis relatif tetapi kenyataannya leukopenia tidaklah sering dijumpai. Pada kebanyakan kasus demam typhoid, jumlah leukosit pada sediaan darah tepi berada pada batas-batas normal bahkan kadang-kadang terdapat leukosit walaupun tidak ada komplikasi atau infeksi sekunder. Oleh karena itu pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk diagnosa demam typhoid.

  2. Pemeriksaan SGOT Dan SGPT SGOT Dan SGPT pada demam typhoid seringkali meningkat tetapi dapat kembali normal setelah sembuhnya typhoid.

  3. Biakan darah Bila biakan darah positif hal itu menandakan demam typhoid, tetapi bila biakan darah negatif tidak menutup kemungkinan akan terjadi demam typhoid. Hal ini dikarenakan hasil biakan darah tergantung dari beberapa faktor :

  a. Teknik pemeriksaan Laboratorium Hasil pemeriksaan satu laboratorium berbeda dengan laboratorium yang lain, hal ini disebabkan oleh perbedaan teknik dan media biakan yang digunakan. Waktu pengambilan darah yang baik adalah pada saat demam tinggi yaitu pada saat bakteremia berlangsung.

  b. Saat pemeriksaan selama perjalanan Penyakit Biakan darah terhadap salmonella thypi terutama positif pada minggu pertama dan berkurang pada minggu-minggu berikutnya. Pada waktu kambuh biakan darah dapat

  Bila klien sebelum pembiakan darah sudah mendapatkan obat anti mikroba pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil biakan mungkin negatif.

  e. Uji Widal Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin).

  Aglutinin yang spesifik terhadap salmonella thypi terdapat dalam serum klien dengan typhoid juga terdapat pada orang yang pernah divaksinasikan. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji widal ini adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum klien yang disangka menderita tifoid

  Uji widal dilakukan untuk mendeteksi adanya antibody terhadap kuman Salmonella typhi. Uji widal dikatakan bernilai bila terdapat kenaikan titer widal 4 kali lipat (pada pemeriksaan ulang 5-7 hari) atau titer widal O > 1/320, titer H > 1/60 (dalam sekali pemeriksaan) Gall kultur dengan media carr empedu merupakan diagnosa pasti demam tifoid bila hasilnya positif, namun demikian, bila hasil kultur negatif belum menyingkirkan kemungkinan tifoid, karena beberapa alasan, yaitu pengaruh pemberian antibiotika, sampel yang tidak mencukupi. Sesuai dengan kemampuan SDM dan tingkat perjalanan penyakit demam tifoid, maka diagnosis klinis demam tifoid diklasifikasikan atas:

  1. Possible Case dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan gejala demam,gangguan saluran cerna, gangguan pola buang air besar dan hepato/splenomegali. Sindrom demam tifoid belum lengkap. Diagnosis ini hanya dibuat pada pelayanan kesehatan dasar.

I. Penatalaksanaan Medis a. Perawatan.

  Penderita thypoid perlu dirawat di rumah sakit untuk isolasi, observasi dan pengobatan, penderita harus tirah baring sampai minimal 7 hari, batas panas atau kurang lebih 14 hari. Mobilisasi dilakukan secara sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien, penderita yang kesadarannya menurun posisi tubuh harus diubah pada waktu-waktu tertentu untuk menghindari komplikasi dekubitus, defekasi, dan miksi perlu diperhatikan karena kadang-kadang terjadi konstipasi dan retensi urine.

  b. Diet/ Terapi Diet.

  Yaitu penatalaksanaan diet penyakit Thypus Abdominalis dengan tujuan : 1) Memberi makanan secukupnya untuk memenuhi kebutuhan yang bertambah guna mencegah dan mengurangi kerusakan jaringan tubuh.

  2) Pemberian makanan yang cukup dan seimbang tidak merangsang dan tidak memperberat kerja saluran pernafasan. 3) Jika adanya peradangan pada usus halus, maka harus diberikan secara hati-hati untuk menghindari rangasangan terutama dari serat kasar.

  Penderita diberi bubur saring kemudian bubu kasar, dan akhirnya diberi nasi sesuai dengan tingkat kesembuhan. Beberapa penelitian menunjukan bahwa pemberian makanan pada dini yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (pantang sayuran dengan serat kasar) dapat diberikan dengan aman pada penderita Thypoid.

c. Obat – Obatan.

1. Klorampenikol 4.500 mg selama 14 hari.

  kortikosteroid tidak boleh diberikan tanpa indikasi karena dapat menyebabkan pendarahan intestinal. (Smeltzer & Bare, 2002).

  J. Diagnosa Keperawatan

  Diagnosa keperawatan yang sering muncul dalam kasus demam thypoid adalah sebagai berikut :

  1. Hipertermi berhubungan dengan penyakit atau trauma

  2. Nyeri akut berhubungan dengan agen penyebab cidera biologis atau infeksi

  3. Ketidak seimbangangan Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake makanan yang tidak adekuat

  4. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan, istirahat total dan pembatasan karena pengobatan

  K. Perencanaan Keperawatan Diagnosa Tujuan/hasil yang No Rencana Tindakan Rasional keperawatan diharapkan

  1 Hypertermi b/d

  1. Pantau suhu tubuh pasien setiap 4 jam

  1. Meyakinkan perbandingan data

  Termoregulasi

  proses infeksi Tanda-tanda Vital yang akurat.

  2. Kolaborasi pemberian antipiretik sesuai 2. Menurunkan demam. Setelah dilakukan anjuran tindakan keperawatan

  3. Turunkan panas dengan melepaskan selimut

  3. Meningkatkan kenyaman, atau menanggalkan pakian yang terlalu tebal, menurunkan temperatur suhu selama….x 24 jam pasien menujukan beri kompres dingin pada aksila dan liatan tubuh temperatur dalan batas paha. normal dengan kriteria:

  Bebas dari

  4. Pantau dan catat denyut dan irama nadi,

  4. Peningkatan denyut nadi, kedinginan vekanan vena sentral, tekanan darah, frekuensi penurunan tekan vena sentral, Suhu tubuh napas, tingkat responsitas, dan suhu kulit dan penurunan tekanan darah stabil 36-37 C minimal 4 jam dapat mengindikasikan Tanda-tanda hipovolemia yang mengarah vital dalam rentang pada perfusi jaringan. Kulit yang normal dingin, pucat dan burik dapat juga mengindikasikan peunurunan perfsi jaringan.

  5. Observasi adanya konfusi disorientasi 6. Berikan cairan IV sesuai yang dianjurkan.

  Peningkatan frekuensi pernapasan berkompensasi pada hipoksia jaringan.

  5. Perubahan tingkat kesadaran dapat merupakan akibat dari hipoksia jaringan

  6. Menghindari kehilangan air natrium klorida dan kalium yang berlebihan.

  2 Nyeri akut Tingkat kenyamanan

  Control nyeri

  Setelah dilakukan askep selama ..... x 24 jam pasien menunjukan

  tingkat kenyamanan

  meningkat, dan dibuktikan dengan: level nyeri pada scala 2-3 Pasien dapat

  Manajemen nyeri :

  1. Lakukan pegkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi.

  2. Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan.

  3. Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri klien sebelumnya.

  1. Respon nyeri sangat individual sehingga penangananya pun berbeda untuk masing-masing individu.

  2. Menngetahui tingkat kenyamanan

  3. Komunikasi yang terapetik mampu meningkatkan rasa percaya klien terhadap perawat sehingga dapat lebih kooperatif dalam program manajemen melaporkan nyeri nyeri. pada petugas,

  4. Kontrol faktor lingkungan yang

  4. Lingkungan yang nyaman dapat Frekuensi nyeri mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, membantu klien untuk Ekspresi wajah pencahayaan, kebisingan. mereduksi nyeri.

  Menyatakan kenyamanan fisik dan

  5. Kurangi faktor presipitasi nyeri.

  5. Meningkatkan kenyamanan psikologis,

  6. Pilih dan lakukan penanganan nyeri

  6. Pengalihan nyeri dengan TD 120/80 mmHg, (farmakologis/non farmakologis). relaksasi dan distraksi dapat

  N: 60-100 x/mnt, RR: mengurangi nyeri yang sedang

  16-20x/mnt timbul.

  7. Ajarkan teknik non farmakologis (relaksasi,

  7. Meningkatkan kenyamanan Control nyeri pada distraksi dll) untuk mengetasi nyeri. level 3 dibuktikan dengan:

  8. Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri.

  8. Pemberian analgetik yang tepat Pasien melaporkan dapat membantu klien untuk gejala nyeri dan beradaptasi dan mengatasi nyeri. control nyeri.

  9. Tindakan evaluatif terhadap

  9. Evaluasi tindakan pengurang nyeri/kontrol penanganan nyeri dapat nyeri. dijadikan rujukan untuk penanganan nyeri yang mungkin muncul berikutnya atau yang sedang berlangsung.

  10. Kolaborasi dengan dokter bila ada komplain tentang pemberian analgetik tidak berhasil.

  10. Kolaborasi yang tepat membantu pasien mempercepat tindakan keperawatan

  1. kaji pola makan klien 2. Kaji adanya alergi makanan.

  Manajemen Nutrisi

  Setelah dilakukan askep

  Status gizi : asupan gizi