BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Tinjauan Umum tentang Notaris 1.1 Sejarah Notariat di Indonesia - Bab II Alif Nur Choliq

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Tinjauan Umum tentang Notaris

1.1 Sejarah Notariat di Indonesia

  Asal usul perkataan Notaris berasal dari perkataan notarius, adalah nama yang pada zaman Romawi diberikan kepada orang-orang yang menjalankan pekerjaan menulis. Fungsi notarius ini masih sangat berbeda dengan fungsi Notaris pada waktu sekarang. Nama notarius ini lambat laun mempunyai arti yang berbeda dengan pada mulanya, sehingga kira-kira pada abad kedua sesudah Kristus yang disebut dengan nama notarius ialah mereka yang mengadakan pencatatan dengan tulisan cepat, jadi seperti stenograf sekarang. Selain itu ada juga pendapat lain yang mengatakan bahwa notarius itu berasal dari perkataan nota literaria, yaitu tanda (letter merk atau karakter) yang menyatakan sesuatu perkataan. Kemudian dalam abad kelima dan keenam sebutan notarius itu diberikan kepada penulis (sekretaris) pribadi dari raja (kaisar), sedangkan pada akhir abad kelima sebutan tersebut diberikan kepada pegawai-pegawai istana yang melaksanakan pekerjaan administratif (Tedjosaputro, 1991: 10).

  Sejarah Notariat di Indonesia dimulai pada permulaan abad ke-17 yaitu tepatnya pada tanggal 27 Agustus 1620, Melchior Kerchem diangkat sebagai Notaris pertama di Indonesia. Kepadanya ditugaskan untuk menjalankan tugas pekerjaannya sesuai sumpah setia yang diucapkannya yaitu dengan kewajiban untuk mendaftarkan semua akta yang dibuatnya. Setelah (Notodisoerjo, 1993: 22).

  Masuknya lembaga notariat di Indonesia, diawali dari sejarah lembaga notariat itu sendiri, yaitu yang berasal dari negara-negara di Eropa dan khususnya dari negara Belanda. Belanda sebagai negara yang menjajah bangsa Indonesia, yang mengatur peraturan tentang notariat tersebut. Sejak Notaris yang pertama kali diangkat sampai dengan tahun 1822, lembaga notariat ini diatur dengan dua peraturan, yaitu pada tahun 1625 dan 1765 dan selalu mengalami perubahan, sesuai dengan kebutuhan yang dengan tiba-tiba dibutuhkan pada masa tersebut. Pada tahun 1860, Pemerintah Belanda merubah peraturan-peraturan yang lama dengan Peraturan Jabatan Notaris dikenal dengan Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesie (Stbl. 1860: 3), yang mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 1860. Dengan diundangkannya Peraturan Jabatan Notaris ini, maka diletakkanlah dasar yang kuat bagi pelembagaan notariat di Indonesia (Tobing, 1983: 20).

  Menurut Adityo Ariwibowo (2013) Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Jabatan Notaris yang berlaku, sebagian besar masih didasarkan pada peraturan perundang-undangan peninggalan zaman kolonial Hindia Belanda, yaitu Peraturan Jabatan Notaris yang termuat dalam Stbl.

  1860 Nomor 3 yang sudah beberapa kali dirubah, terakhir dirubah dalam

  Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 101 dan sebagian lagi merupakan peraturan perundang-undangan nasional. Akhirnya setelah hampir 144 tahun tanggal 6 Oktober Tahun 2004, Peraturan Jabatan Notaris tersebut telah dinyatakan tidak berlaku, pada tanggal tersebut telah diundangkan Undang- undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Oktarino, 2012).

  Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dibentuk, karena berbagai ketentuan dalam peraturan perundang-undangan tentang jabatan Notaris peninggalan zaman kolonial Hindia Belanda, dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia menganggap perlu, diadakan pembaharuan dan pengaturan kembali secara menyeluruh dalam satu Undang-undang yang mengatur tentang jabatan Notaris, sehingga dapat tercipta suatu unifikasi hukum yang berlaku untuk semua penduduk di seluruh wilayah negara Republik Indonesia, khususnya unifikasi hukum di bidang kenotariatan dan dari itu lahirlah Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris ini menjadi dasar yang baru bagi pelembagaan notariat di Indonesia (Taligara, 2014).

1.2 Pengertian Notaris

  Pengertian Notaris dalam sistem Civil Law yang diatur dalam Pasal 1 tanggal 1 Juli 1860 yang kemudian diterjemahkan oleh Soegondo Notodisoedo (1993) menyatakan bahwa pengertian Notaris adalah sebagai berikut:

  “Notaris adalah pejabat umum, khususnya (satu-satunya) yang berwenang untuk membuat akta-akta otentik tentang semua tindakan, perjanjian-perjanjian, dan keputusan-keputusan yang diharuskan oleh perundang-undangan umum untuk dikehendaki oleh yang berkepentingan bahwa hal itu dinyatakan dalam surat otentik, menjamin tanggalnya, menyimpan akta-akta dan mengeluarkan grosse, salinan-salinan (turunan-turunan) dan kutipan-kutipannya, semuanya itu apabila pembuatan akta-akta demikian itu atau dikhususkan itu atau dikhususkan kepada pejabat-pejabat atau orang-orang lain.” Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka (1) Undang-undang

  Nomor 2 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris menyatakan bahwa Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini atau Undang-undang lainnya.

  Notaris sebagai salah satu penegak hukum karena Notaris membuat alat bukti tertulis yang mempunyai kekuatan pembuktian. Para ahli hukum berpendapat bahwa akta Notaris dapat diterima dalam pengadilan sebagai bukti yang mutlak mengenai isinya, tetapi meskipun demikian dapat diadakan penyangkalan dengan bukti sebaliknya oleh saksi-saksi, yang dapat membuktikan bahwa apa yang diterangkan oleh Notaris dalam aktanya adalah benar (Tedjosaputro, 1991: 4). dan diberhentikan oleh pemerintah dan diberi wewenang dan kewajiban untuk dapat memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam membantu membuat perjanjian, membuat akta beserta pengesahannya yang juga merupakan kewenangan Notaris. Meskipun disebut sebagai pejabat umum, namun Notaris bukanlah pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kepegawaian. Notaris terikat dengan peraturan jabatan pemerintah, Notaris tidak menerima gaji dan pensiun dari pemerintah, tetapi memperoleh gaji dari honorarium atau fee dari kliennya (Anshori, 2009: 16).

1.3 Tugas dan Wewenang Notaris

  Tugas pokok Notaris ialah membuat akta otentik. Adapun kata otentik itu berdasarkan Pasal 1870 Kitab Undang-undang Hukum Perdata memberikan kepada pihak-pihak yang membuatnya suatu pembuktian sempurna. Disinilah letak arti penting dari seorang Notaris, bahwa Notaris karena Undang-undang diberi wewenang menciptakan alat pembuktian yang sempurna, dalam pengertian bahwa apa yang tersebut dalam akta otentik itu pada pokoknya dianggap benar sepanjang tidak ada bukti sebaliknya (Rachman, 2011).

  Mengenai wewenang yang harus dipunyai oleh Notaris sebagai pejabat umum untuk membuat suatu akta otentik, seorang Notaris hanya boleh dalam daerah atau wilayah hukum itu ia berwenang (Pasal 18 Undang- undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris). Apabila Notaris membuat akta di luar wilayah hukumnya maka akta tersebut adalah tidak sah.

  Kewenangan Notaris meliputi empat hal, yaitu: a.

  Notaris berwenang sepanjang yang menyangkut akta yang dibuatnya itu.

  Notaris hanya berwenang membuat akta otentik bidang hukum perdata sepanjang bukan merupakan wewenang dari pejabat umum lain dan tidak berwenang membuat akta otentik di bidang hukum publik; b. Notaris berwenang sepanjang mengenai orang-orang untuk kepentingan siapa akta itu dibuat. Notaris tidak berwenang membuat akta untuk kepentingan setiap orang, seperti yang tercantum dalam Pasal 52 Undang- undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris; c. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat dimana akta itu dibuat. Sesuai Pasal 19 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Notaris tidak berwenang membuat akta di luar wilayah kedudukannya; d.

  Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu.

  Notaris tidak boleh membuat akta selama ia masih cuti atau dipecat dari jabatannya (Anshori, 2009: 17).

1.4 Aturan Hukum Jabatan Notaris

  Aturan hukum Jabatan Notaris di Indonesia, dari pertama kali banyak mengalami perubahan dan bermacam-macam. Dari beberapa aturan hukum yang ada, kemudian dimasukkan ke dalam satu aturan hukum yaitu Undang- undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Misalnya tentang pengawasan, pengangkatan dan pemberhentian Notaris. Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris maka telah terjadi unifikasi hukum dalam pengaturan Notaris di Indonesia dan Undang- undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris merupakan hukum tertulis sebagai alat ukur bagi keabsahan Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya (Adjie, 2011: 38).

  Mengenai pengangkatan Notaris ditentukan dalam Pasal 3 Undang- undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang ditambah lagi syarat sebagaimana tersebut dalam Bab II Pasal 2 ayat (1) dan tata cara pengangkatan Notaris diatur dalam Bab III, Pasal 3-8 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.01.HT.03.01 Tahun 2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pengangkatan, Perpindahan, dan

  Notaris tidak dapat melakukan tindakan apapun, seperti merubah isi akta, tapi yang dapat dilakukannya yaitu merawat dan mengeluarkan salinan atas permintaan para pihak yang namanya tersebut dalam akta atau para ahli warisnya. Mereka yang menjalankan tugas jabatan Notaris oleh umur biologis. Umur yuridis akta Notaris bila sepanjang masa, sepanjang aturan hukum yang mengatur jabatan Notaris masih ada, dibandingkan dengan umur biologi Notaris sendiri yang akan berakhir karena Notaris meninggal

  ( dunia Adjie, 2008: 31).

1.5 Tanggung Jawab Notaris

  Notaris tidak bertanggung jawab atas kelalaian dan kesalahan isi akta yang dibuat di hadapannya, melainkan Notaris hanya bertanggung jawab bentuk formal akta otentik sesuai yang diisyaratkan oleh Undang-undang. Mengenai tanggung jawab Notaris selaku pejabat umum yang berhubungan dengan kebenaran materil dibedakan menjadi empat poin, yaitu: a.

  Tanggung jawab Notaris terhadap kebenaran materil terhadap akta yang dibuatnya; b.

  Tanggung jawab Notaris secara perdata terhadap kebenaran materil dalam akta yang dibuatnya; c.

  Tanggung jawab Notaris berdasarkan Peraturan Jabatan Notaris terhadap kebenaran materil dalam akta yang dibuatnya; Tanggung jawab Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya berdasarkan kode etik Notaris (Anshori, 2009: 16).

1.6 Notaris Setelah Berlakunya Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris

  Sebelumnya Profesi Notaris di atur di dalam Undang-undang Nomor

  30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Setelah hampir 10 tahun untuk menyesuaikan perkembangan yang ada di masyarakat, pengaturan Notaris masuk ke dalam tatanan baru dengan adanya perubahan terhadap Undang- undang jabatan Notaris. Pada saat ini Notaris diatur dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

  Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang- undang ini atau berdasarkan Undang-undang lainnya. Dari Pasal ini terlihat sebuah perbedaan dengan pada masa awal Notaris di Indonesia.

  Menurut Widijatmoko Ketua Litbang Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia (2010) Notaris bukan lagi pegawai pemerintah melainkan pejabat otentik sepanjang untuk pembuatan akta tersebut tidak dikecualikan kepada pejabat lain. Seiring dengan pentingnya Notaris dalam kehidupan masyarakat khususnya dalam pembuatan akta otentik yang digunakan sebagai alat bukti, maka Notaris mempunyai kedudukan sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik dan sekaligus merupakan perpanjangan tangan pemerintah.

  Secara administratif, Notaris memiliki hubungan dengan negara dalam hal pemerintahan. Salah satunya adalah berkaitan dengan pengangkatan dan pemberhentian Notaris. Menurut Komar Andasasmita (1981: 12), bentuk atau corak Notaris dapat dibagi menjadi 2 (dua) kelompok utama yakni:

  Notariat functional, hal mana wewenang-wewenang pemerintah didelegasikan (gedelegeerd) dan demikian itu diduga mempunyai kebenaran isinya, mempunyai kekuatan bukti formal dan mempunyai daya/kekuatan eksekusi. Di negara-negara yang menganut bentuk notariat ini terdapat pemisahan yang keras antara wettelijke dan niet wetteljike, wekzaamheden yaitu pekerjaan-pekerjaan yang didasarkan Undang-undang atau hukum dan yang tidak/bukan dalam notariat. Notariat profesional, dalam kelompok ini walaupun pemerintah mengatur tentang organisasinya tetapi akta-akta Notaris ini tidak mempunyai akibat-akibat khusus tentang kebenarannya, kekuatan bukti demikian kekuatan eksekutorialnya.

2. Tinjauan Umum tentang Perlindungan Hukum Notaris

2.1 Pengertian Hukum

  Menurut Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka (1994) menyebutkan arti yang diberikan masyarakat pada hukum sebagai berikut: a.

  Hukum sebagai ilmu pengetahuan, yakni pengetahuan yang tersusun secara sistematis atas dasar kekuatan pemikiran.

  b.

  Hukum sebagai disiplin, yakni suatu sistem ajaran tentang kenyataan atau gejala-gejala yang dihadapi.

  c.

  Hukum sebagai kaidah, yakni pedoman atau patokan sikap tindak atau perikelakuan yang pantas atau diharapkan.

  d.

  Hukum sebagai tata hukum, yakni struktur dan proses perangkat kaidah- kaidah hukum yang berlaku pada suatu waktu.

  e.

  Hukum sebagai petugas, yakni pribadi-pribadi yang merupakan kalangan yang berhubungan erat dengan penegakan hukum.

  f.

  Hukum sebagai keputusan penguasa, yakni hasil proses diskresi yang menyangkut keputusan penguasa.

  g.

  Hukum sebagai proses pemerintahan, yaitu proses hubungan timbal-balik antara unsur-unsur pokok sistem kenegaraan. h.

  Hukum sebagai sikap tindak ajeg atau perikelakuan yang teratur, yaitu perikelakuan yang diulang-ulang dengan cara yang sama, yang bertujuan i.

  Hukum sebagai jalinan nilai-nilai, yaitu jalinan-jalinan dari konsepsi- konsepsi abstrak tentang apa yang siagap baik dan buruk.

  2.2 Pengertian Perlindungan Hukum

  Secara umum pengertian perlindungan hukum dapat diartikan bahwa setiap hubungan hukum tentu menimbulkan hak dan kewajiban, selain itu masing- masing anggota masyarakat tentu mempunyai hubungan kepentingan yang berbeda-beda dan saling berhadapan atau berlawanan, untuk mengurangi ketegangan dan konflik maka hukum yang mengatur dan melindungi kepentingan tersebut yang dinamakan perlindungan hukum (Royen, 2009: 53).

  2.3 Pengertian Perlindungan Hukum Notaris

  Perlindungan hukum Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya diatur dalam ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 16 ayat (1) huruf f Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang khusus terkait dengan tentang sumpah atau janji Notaris dan kewajiban Notaris untuk menjaga kerahasiaan atas akta yang dibuatnya adalah untuk melindungi kepentingan semua pihak yang terkait dengan akta yang dibuatnya.

  Bila Undang-undang menentukan bahwa suatu informasi boleh dibuka maka hal tersebut bukan berarti kewajiban Notaris untuk merahasiakan tidak rahasia jabatannya, maka Notaris selain dilindungi oleh Pasal 16 ayat (1) huruf f Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang- undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris juga dilindungi oleh

  Pasal 50 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang menyatakan bahwa barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan Undang- undang, tidak dipidana.

3. Tinjauan Umum tentang Pengawasan Notaris di Indonesia

3.1 Pengertian Pengawasan

  Dalam setiap organisasi terutama dalam organisasi pemerintahan fungsi pengawasan adalah sangat penting, karena pengawasan adalah usaha untuk menjamin adanya kearsipan antara penyelenggara tugas pemerintahan oleh daerah-daerah dan oleh pemerintah untuk menjamin kelancaran penyelenggaraan pemerintahan secara berdaya guna dan berhasil guna. Pengawasan adalah salah satu fungsi dasar manajemen yang dalam bahasa Inggris disebut controlling. Dalam bahasa Indonesia, fungsi controlling itu mempunyai dua arti yaitu pengawasan dan pengendalian (Oktarino, 2012).

  Pengawasan dalam hal ini adalah pengawasan dalam arti sempit, yaitu segala usaha atau kegiatan untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya tentang pelaksanaan tugas atau pekerjaan, apakah sesuai dengan yang semestinya atau tidak, sedangkan pengendalian pengertiannya lebih menjamin dan mengarahkan agar pelaksanaan tugas atau pekerjaan berjalan dengan yang semestinya (Sujamto, 1996: 53).

  Pengertian dasar dari pengawasan adalah segala usaha atau kegiatan untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya tentang pelaksanaan tugas atau kegiatan, apakah sesuai dengan yang semestinya atau tidak. Pengawasan adalah proses pengamatan daripada pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar semua pekerjaan yang sedang dilaksanakan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya (Sujamto, 1987: 53).

  Dari beberapa pengertian tentang pengawasan yang telah disebut di atas maka jelaslah bahwa manfaat pengawasan secara umum adalah untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya tentang objek yang diawasi, apakah sesuai dengan yang semestinya atau tidak. Jika dikaitkan dengan masalah penyimpangan, manfaat pengawasan adalah untuk mengetahui terjadi atau tidak terjadinya penyimpangan dan bila terjadi perlu diketahui sebab-sebab terjadinya penyimpangan tersebut (Sujamto, 1983: 64). Selain itu pengawasan berfungsi pula sebagai bahan untuk melakukan perbaikan-perbaikan di waktu yang akan datang, setelah pekerjaan suatu kegiatan dilakukan pengawasan oleh pengawas.

3.2 Pengawasan Notaris

  Notaris sebagai pejabat umum menjalankan suatu fungsi sosial yang mana masyarakat meminta nasehat-nasehat dari Notaris mengenai isi dari akta-akta yang dibuat oleh Notaris. Notaris juga memberikan nasehat-nasehat dan pendapat-pendapat agar para pihak yang melakukan transaksi berjalan sesuai dengan koridor hukum yang berlaku. Notaris juga diharapkan berperan dalam rangka memberikan perlindungan-perlindungan kepada pihak masyarakat yang akan melakukan investasi (Hamzah, 2011).

  Pada awalnya pengawasan Notaris berdasarkan Undang-undang Nomor

  14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, bahwa Departemen Kehakiman mempunyai otoritas terhadap organisasi, administrasi dan finansial pengadilan, termasuk di dalamnya pengawasan terhadap Notaris. Dalam Pasal 2 ayat (1-4) Bab II Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Tahun 1985 juga disebutkan tentang Ruang Lingkup Pengawasan Notaris.

  Setelah Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman tersebut kemudian dicabut dan digantikan dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, maka berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan kehakiman yang baru tersebut, secara substansi Departemen Kehakiman, Menteri Kehakiman sudah tidak lagi mempunyai otoritas untuk melakukan pengawasan terhadap Notaris. Tapi pengawasan Notaris tersebut menjadi Undang-undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, sedangkan Menteri Kehakiman dapat melakukan tindakan terhadap Notaris berdasarkan laporan Ketua Pengadilan Negeri dan setelah mendengar pendapat dari organisasi Notaris (Adjie, 2008: 127).

  Ketentuan sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 54 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum tersebut di atas telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi berdasarkan Pasal 91 ayat (4) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang perubahan atas undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Berdasarkan Undang-undang Jabatan Notaris tersebut pengawasan Notaris memasuki babak baru, dimana pengawasan tidak hanya dari Notaris saja akan tetapi juga dari unsur pemerintah (Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia) dan akademis bidang hukum (Renvoi, 2005: 36).

  Berdasarkan Staatblad Tahun 1860 Nomor 3 tentang Peraturan Jabatan Notaris, Pengertian pengawasan dalam Pasal 50 alinea (1) sampai alinea (3), yaitu:

  “tindakan yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri berupa peneguran dan/atau pemecatan selama tiga (3) sampai enam (6) bulan terhadap Notaris yang mengabaikan keluhuran dari martabat atau tugas jabatannya atau melakukan pelanggaran terhadap peraturan umum atau melakukan kesalahan-kesalahan lain, baik di dalam maupun diluar jabatannya sebagai Notaris, yang diajukan oleh penuntut umum pada Pengadilan Negeri pada daerah kedudukannya.

  Pasal 67 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris menyatakan bahwa yang dimaksud dengan pengawasan yaitu meliputi juga pembinaan yang dilakukan oleh Menteri kepada Notaris. Dalam Pasal 67 ayat (2) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang- undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dinyatakan bahwa dalam melaksanakan pengawasan berdasarkan Pasal 67 ayat (1) Undang- undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor

  30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dilakukan oleh Menteri namun dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Majelis Pengawas Notaris yang dibentuk oleh Menteri.

  Pasal 1 angka (1) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pengangkatan Anggota, Pemberhentian Anggota, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Majelis Pengawas Notaris menyatakan bahwa yang dimaksud dengan pengawasan adalah kegiatan prefentif dan represif termasuk kegiatan pembinaan yang dilakukan oleh Majelis Pengawas terhadap Notaris.

  Berdasarkan Pasal 1 ayat (8) Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Nomor M-OL.H.T.03.01 Tahun 2003 tentang Kenotarisan menyatakan bahwa pengawasan adalah kegiatan administratif yang bersifat preventif dan represif oleh Menteri yang bertujuan untuk menjaga agar para undangan.

  Berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.39-PW.07.10 Tahun 2004 tentang Pedoman pelaksanaan Tugas Majelis Pengawas Notaris menyatakan bahwa pengawasan adalah pemberian pembinaan dan pengawasan baik secara preventif maupun kuratif kepada Notaris dalam menjalankan profesinya sebagai pejabat umum sehingga Notaris senantiasa harus meningkatkan profesionalisme dan kualitas kerjanya, sehingga dapat memberikan jaminan kepastian dan perlindungan hukum bagi penerima jasa Notaris dan masyarakat luas.

  Menurut Juniver Ganap (2014) tujuan dari pengawasan yang dilakukan tehadap Notaris adalah supaya Notaris sebanyak mungkin memenuhi persyaratan-persyaratan yang dituntut kepadanya. Persyaratan-persyaratan yang dituntut itu tidak hanya oleh hukum atau Undang-undang saja, akan tetapi juga berdasarkan kepercayaan yang diberikan oleh klien terhadap notaris tersebut. Tujuan dari pengawasan itu tidak hanya ditujukan bagi penataan kode etik Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditetapkan oleh Undang-undang demi pengamanan atas kepentingan masyarakat yang dilayani

  Menurut Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.39-PW.07.10 Tahun 2004 tentang Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas sangat penting bagi lalu lintas kehidupan masyarakat, maka perilaku dan perbuatan Notaris dalam menjalankan jabatan profesinya, rentan terhadap penyalahgunaan yang dapat merugikan masyarakat, sehingga lembaga pembinaan dan pengawasan terhadap Notaris perlu diefektifkan. Ketentuan yang mengatur Majelis Pengawas dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 30 tentang Jabatan Notaris, merupakan salah satu upaya untuk mengantisipasi kelemahan dan kekurangan dalam sistem pengawasan terhadap Notaris, sehingga diharapkan dalam menjalankan profesi jabatannya, Notaris dapat meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat.

  Menurut Desny Prianty (2009) Institusi Notaris di Indonesia perlu dilakukan pengawasan oleh pemerintah. Adapun yang merupakan tujuan dari pengawasan agar para Notaris ketika menjalankan tugas jabatannya memenuhi semua persyaratan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas jabatan Notaris, demi untuk pengaman kepentingan masyarakat, karena Notaris diangkat oleh pemerintah, bukan untuk kepentingan diri Notaris sendiri melainkan untuk kepentingan masyarakat yang dilayaninya.

  Menurut Lessa Lestari (2015) sebagai konsekuensi logis seiring dengan adanya tanggung jawab Notaris kepada masyarakat, maka haruslah dijamin adanya pengawasan dan pembinaan terus menerus agar Notaris selalu sesuai dengan kaidah hukum yang mendasari kewenangannya dan dapat terhindar nilai-nilai etika dan hukum yang seharusnya dijunjung tinggi oleh Notaris dapat berjalan sesuai Undang-undang yang ada, maka sangat diperlukan adanya pengawasan.

  Berdasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, adapun tujuan pengawasan Notaris adalah memenuhi persyaratan-persyaratan dan menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam perundang- undangan yang berlaku demi pengaman kepentingan masyarakat umum, sedangkan yang menjadi tugas pokok pengawasan Notaris adalah agar segala hak dan kewenangan maupun kewajiban yang diberikan kepada Notaris dalam menjalankan tugasnya sebagaimana yang diberikan oleh peraturan dasar yang bersangkutan, senantiasa dilakukan di atas jalur yang telah ditentukan bukan saja jalur hukum tetapi juga atas dasar moral dan etika profesi demi terjaminnya perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat.

  Menurut Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia (2011) Pengawasan Notaris sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dilakukan oleh Pengadilan Negeri dalam hal ini oleh Hakim. Namun setelah keberadaan Pengadilan Negeri diintegrasikan satu atap di bawah Mahkamah Agung maka pengawasan dan pembinaan Notaris beralih ke Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, pada dasarnya yang mempunyai wewenang melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap Notaris adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia mempunyai tugas yang dalam pelaksanaanya Menteri membentuk Majelis Pengawas Notaris. Menteri sebagai kepala Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia mempunyai tugas membantu Presiden dalam menyelenggarakan sebagian urusan pemerintah di bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia.

  Majelis Pengawas Notaris terbagi menjadi 3 yaitu Majelis Pengawas Daerah yang berkedudukan di Kabupaten/Kota, Majelis Pengawas Wilayah berkedudukan di ibukota Provinsi dan Majelis Pengawas Pusat yang berkedudukan di Ibukota Negara.

3.3 Majelis Pengawas Notaris

  Menurut Syafran Sofyan (2013) Notaris selaku pejabat umum mempunyai fungsi yang sangat penting yaitu melaksanakan sebagian kewibawaan pemerintah. Notaris diberi wewenang untuk membuat akta otentik berdasarkan hubungan hukum para pihak yang menjadi klien dari Notaris yang bersangkutan. Notaris dalam menjalankan jabatannya adalah untuk kepentingan masyarakat dan negara, sehingga Notaris yang merupakan jabatan kepercayaan. Kepercayaan bagi masyarakat dan juga kepercayaan bagi negara. mempunyai sikap yang dapat dipercayai dan netral. Bagi seorang Notaris untuk dapat mempertahankan kepercayaan pihak lain terhadap dirinya ialah sangat mudah yaitu dengan sungguh-sungguh mematuhi rambu-rambu yang telah tetapkan bagi seorang Notaris berdasarkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Andyaksa, 2010: 12).

  Berdasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Pasal 67 sampai dengan Pasal 81 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris mengatur tentang pengawasan bagi Notaris. Hal ini dikarenakan seorang Notaris tidak lain adalah manusia tidak lepas dari kesempurnaan dan tetap mungkin dapat melanggar rambu-rambu yang telah ditetapkan bagi dirinya tersebut.

  Pengawasan atas Notaris dilakukan oleh Menteri dengan membentuk Majelis Pengawas. Pengawasan yang dilakukan oleh Majelis Pengawas meliputi perilaku Notaris dan pelaksanaan jabatan Notaris. Yang dimaksud dengan “pengawasan” dalam ketentuan ini termasuk pembinaan yang dilakukan oleh Menteri terhadap Notaris. Dalam melaksanakan pembinaan, Menteri membentuk Majelis Kehormatan Notaris.

  Berdasarkan Pasal 67 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Pemerintah sebanyak tiga orang, Organisasi Notaris sebanyak tiga orang dan Ahli atau akademisi sebanyak tiga orang. Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas dan fungsi, syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian, struktur organisasi, tata kerja, dan anggaran Majelis Pengawas Notaris diatur dengan Peraturan Menteri Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pengangkatan Anggota, Nomor M.39-PW.07.10 Tahun 2004 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Majelis Pengawas Notaris, Nomor M.03.HT.03.10 Tahun 2007 tentang Pengambilan Minuta dan Pemanggilan Notaris.

  Majelis Pengawas dalam menjalankan tugasnya dibagi menjadi tiga bagian, dimana diatur dalam Pasal 67 ayat (2) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, yang masing-masing memiliki peran dan fungsi yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Pembagian tersebut terdiri atas Majelis Pengawas Daerah, Majelis Pengawas Wilayah dan Majelis Pengawas Pusat.

3.3.1 Majelis Pengawas Daerah

  3.3.1.1 Pengertian Majelis Pengawas Daerah

  tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Majelis Pengawas Daerah adalah Majelis Pengawas terhadap Notaris yang dibentuk di Kabupaten atau Kota. Keanggotaan Majelis Pengawas Daerah terdiri dari sembilan orang. Sembilan orang tersebut terdiri atas unsur pemeritah, organisasi Notaris dan ahli atau akademisi di bidang hukum. Dalam beberapa daerah yang baru terbentuk (daerah pemekaran) atau daerah yang tidak banyak Notarisnya, terjadi pemborosan dan tidak adanya efesiensi pengawasan karena anggota Majelis Pengawas Daerah lebih banyak dari jumlah Notaris yang diawasi. Misalnya, dalam satu kabupaten hanya ada dua Notaris, sedangkan jumlah Majelis Pengawas Daerah ada sembilan orang. Untuk menghemat biaya pengawasan dan efisiensi pengawasan maka dirasa perlu untuk penggabungan beberapa wilayah Kabupaten atau Kota.

  3.3.1.2 Masa Jabatan Majelis Pengawas Daerah

  Berdasarkan Pasal 69 ayat (4) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun

  2004 tentang Jabatan Notaris, Ketua dan Wakil Ketua Majelis Pengawas Daerah dipilih dari dan oleh kesembilan orang ketua, dan anggota Majelis Pengawas Daerah adalah tiga tahun dan dapat diangkat kembali.

  3.3.1.3 Kewenangan Majelis Pengawas Daerah

  Kewenangan Majelis Pengawas Daerah diatur dalam Pasal 70 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

  3.3.1.4 Kewajiban Majelis Pengawas Daerah

  Kewajiban Majelis Pengawas Daerah yang diatur dalam Pasal

  71 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

3.3.2 Majelis Pengawas Wilayah

3.3.2.1 Pengertian Majelis Pengawas Wilayah

  Berdasarkan Pasal 72 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Majelis Pengawas Wilayah adalah

  Majelis Pengawas terhadap Notaris yang dibentuk dan berkedudukan di Ibukota Provinsi. Keanggotaan Majelis tersebut terdiri atas unsur pemeritah, organisasi Notaris dan ahli atau akademisi dibidang hukum.

  3.3.2.2 Masa Jabatan Majelis Pengawas Wilayah

  Berdasarkan Pasal 72 ayat (4) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Ketua dan Wakil Ketua Majelis Pengawas Wilayah dipilih dari dan oleh kesembilan orang anggota Majelis Pengawas Wilayah dengan masa jabatan selama tiga tahun dan dapat diangkat kembali.

  3.3.2.3 Kewenangan Majelis Pengawas Wilayah

  Kewenangan Majelis Pengawas Wilayah diatur dalam Pasal 73 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

  3.3.2.4 Kewajiban Majelis Pengawas Wilayah

  Kewajiban Majelis Pengawas Wilayah diatur dalam Pasal 75 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang perubahan atas

  Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

3.3.3 Majelis Pengawas Pusat

  3.3.3.1 Pengertian Majelis Pengawas Pusat

  Berdasarkan Pasal 76 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Majelis Pengawas Pusat adalah Majelis Pengawas terhadap Notaris yang dibentuk dan berkedudukan di Ibukota Negara. Keanggotaan Majelis Pengawas Wilayah terdiri dari sembilan orang. Sembilan orang tersebut terdiri atas unsur pemerintah, organisasi Notaris dan ahli atau akademisi di bidang hukum.

  3.3.3.2 Masa Jabatan Majelis Pengawas Pusat

  Berdasarkan Pasal 76 ayat (4) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Ketua dan Wakil Ketua Majelis Pengawas Pusat dipilih dari dan oleh kesembilan orang anggota Majelis Pengawas Pusat dengan masa jabatan selama tiga tahun dan dapat diangkat kembali.

  3.3.3.3 Kewenangan Majelis Pengawas Pusat

  Kewenangan Majelis Pengawas Pusat diatur dalam Pasal 77 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

  3.3.3.4 Kewajiban Majelis Pengawas Wilayah

  Berdasarkan Pasal 79 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Majelis Pengawas Pusat berkewajiban menyampaikan hasil keputusan pemeriksaan kepada Menteri dan Notaris yang bersangkutan dengan tembusan kepada Majelis Pengawas Wilayah dan Majelis Pengawas Daerah yang bersangkutan serta Organisasi Notaris. Pengawasan terhadap Notaris sangat penting dilakukan, dengan dibentuknya majelis pengawas ini, diharapkan agar Notaris dalam melaksanakan jabatannya dapat selalu dimonitor. Masyarakat yang merasa dirugikan atas tindakan Notaris yang diduga melanggar hukum, melanggar peraturan jabatan Notaris dan/atau melanggar kode etik Notaris dapat melaporkannya kepada majelis pengawas.

3.4 Majelis Kehormatan Notaris

  Dalam melaksanakan pembinaan, Menteri membentuk majelis terdiri atas unsur Notaris sebanyak 3 (tiga) orang, Pemerintah sebanyak 2 (dua) orang dan ahli atau akademisi sebanyak 2 (dua) orang. Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas dan fungsi, syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian, struktur organisasi, tata kerja, dan anggaran Majelis Kehormatan Notaris diatur dengan Peraturan Menteri.

  Sesuai Pasal 66A Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Majelis Kehormatan juga mempunyai peran dalam hal membela hak- hak dari Notaris, seperti memberi persetujuan dalam hal terdapat aparat penegak hukum yang membutuhkan fotokopi minuta akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada minuta akta atau protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris untuk kepentingan Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim. Selain itu yang terutama untuk memberikan rasa aman bagi seorang Notaris dalam menjalankan jabatannya, pemanggilan Notaris oleh aparat penegak hukum harus memperoleh persetujuan Majelis Kehormatan Notaris. Jadi peran Majelis Kehormatan Notaris bagi jabatan Notaris cukup besar, hal ini pada intinya bertujuan agar jabatan Notaris itu sendiri keberadaannya selalu ada dalam masyarakat Indonesia.

4. Tinjauan Umum Akta Otentik

4.1 Pengertian Akta

  memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian. Pembuktian merupakan salah satu langkah dalam proses perkara perdata. Pembuktian diperlukan karena adanya bantahan atau penyangkalan dari pihak lawan atau untuk membenarkan sesuatu hak yang menjadi sengketa (Mertokusumo, 1999: 124).

  Akta adalah suatu tulisan yang semata-mata dibuat untuk membuktikan sesuatu hal peristiwa, karenanya suatu akta harus ditandatangani (Subekti, 1984: 178). Ketentuan Pasal 1 ayat (7) dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris menyatakan bahwa akta Notaris adalah akta yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris berdasarkan bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-undang ini.

  Menurut Hasyim Soska (2011) semua akta yang dibuat di hadapan Notaris dapat disebut sebagai akta otentik. Meskipun demikian, bukan berarti hanya Notaris yang berwenang membuat surat otentik. Ada pihak lain yang juga berwenang membuat akta otentik, yaitu kepolisian dan catatan sipil. Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata, akta otentik adalah sebuah akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-undang atau dibuat di hadapan pejabat umum yang berwenang di tempat pembuatan akta itu. Akta otentik itu proses pembuatan dan penandatangannya dilakukan dihadapan Notaris. Akta otentik dapat membantu bagi pemegang /pemiliknya Berdasarkan Pasal 165 Herzien Inlandsch Reglement (H.I.R), Pasal 285

  Rechtsreglement Buitengewesten (RBg) dan Pasal 1870 Kitab Undang- undang Hukum Perdata menyatakan bahwa suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan Undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu (seperti Notaris, Hakim, Panitera, Juru Sita, Pegawai Pencatat Sipil) di tempat akta itu dibuat. Dalam menjalankan tugas dan jabatannya Notaris mempunyai tugas untuk membuat akta otentik bagi masyarakat yang membutuhkan, akta otentik yang dibuat oleh Notaris adalah merupakan suatu pembuktian yang sempurna yang melahirkan suatu kepastian hukum apabila sewaktu-waktu terjadi perselisihan diantara para pihak yang membuat dan membutuhkan akta tersebut.

  Dari beberapa pengertian mengenai akta yang penulis kutip tersebut diatas, jelaslah bahwa tidak semua dapat disebut akta, melainkan hanya surat- surat tertentu yang memenuhi beberapa syarat tertentu saja yang disebut akta. Adapun syarat yang harus dipenuhi agar suatu akta disebut bukti adalah: a.

  Surat itu harus ditandatangani.

  Keharusan ditanda tangani sesuatu surat untuk dapat disebut akta ditentukan dalam Pasal 1874 Kitab Undang-undang Hukum Perdata; b.

  Surat itu harus memuat peristiwa yang menjadi dasar sesuatu hak atau perikatan. yang dibutuhkan, dan peristiwa hukum yang disebut dalam surat itu haruslah merupakan peristiwa hukum yang menjadi dasar dari suatu hak atau perikatan.

  c.

  Surat itu diperuntukan sebagai alat bukti.

  Jadi surat itu memang sengaja dibuat untuk dijadikan alat bukti. Berdasarkan Pasal 23 ketentuan aturan Bea Materai Tahun 1921 ditentukan antara lain: bahwa semua tanda yang ditanda tangani yang diperbuat sebagai buktinya perbuatan kenyataan atau keadaan yang bersifat hukum perdata dikenakan bea materai tetap sebesar Rp. 25,-. Oleh karena itu surat yang akan dijadikan alat pembuktian di pengadilan harus ditempeli bea materai secukupnya (sekarang sebesar Rp. 6.000,-). Akta Notaris yang dapat dibatalkan dan batal demi hukum ditinjau dari ketentuan Pasal 38 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Adjie, 2009: 36). Keterangan akta Notaris yang dapat dibatalkan Akta Notaris batal demi hukum Alasan Melanggar syarat subyektif, yaitu: 1)

  Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.

  Melanggar syarat objektif, yaitu: 1)

  Suatu hal tertentu;

2) Suatu sebab yang terlarang.

  Mulai Berlaku/terjadinya pembatalan: Akta tetap mengikat selama belum ada putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;

  2) Akta menjadi tidak mengikat sejak akta tersebut ditandatangani dan tindakan hukum yang tersebut didalam akta dianggap tidak pernah terjadi, dan tanpa mengikat sejak ada putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap perlu ada putusan pengadilan (Adjie, 2009: 37).

4.2 Jenis-Jenis Akta

  Menurut bentuknya akta dapat dibagi menjadi akta otentik dan akta di bawah tangan. Pengertian akta otentik dapat ditemukan dalam Pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yaitu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai- pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta itu dibuatnya atau dengan kata lain akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa menurut ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan baik dengan maupun tanpa bantuan dari yang berkepentingan, yang mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat di dalamnya oleh yang berkepentingan.

  Sedangkan yang dimaksud dengan akta di bawah tangan menurut Herry Susanto (2010) ialah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para berkepentingan saja. Pasal 1875 Kitab Undang-undang Hukum Perdata mengatur bahwa suatu tulisan di bawah tangan yang diakui oleh orang terhadap siapa tulisan itu hendak dipakai, atau yang dengan cara berdasarkan Undang-undang dianggap sebagai diakui. Memberikan terhadap orang-orang yang menandatanganinya serta para ahli warisnya dan orang-orang yang mendapat hak dari pada mereka, bukti yang sempurna seperti suatu akta otentik.

4.3 Kekuatan Pembuktian Akta

  Akta otentik sebagai alat bukti yang sempurna, pembuktian dalam hukum acara mempunyai arti yuridis berarti hanya berlaku bagi pihak-pihak yang berperkara atau yang memperoleh hak dari mereka dan tujuan dari pembuktian ini adalah untuk memberikan kepastian kepada Hakim tentang adanya suatu peristiwa-peristiwa tertentu. Maka pembuktian harus dilakukan oleh para pihak dan siapa yang harus membuktikan atau yang disebut juga sebagai beban pembuktian berdasarkan Pasal 163 Herzien Inlandsch

  Reglement (H.I.R) menyatakan bahwa barang siapa yang menyatakan ia

  mempunyai hak atau ia menyebutkan sesuatu perbuatan untuk menguatkan haknya itu atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu. Ini berarti dapat ditarik kesimpulan bahwa siapa yang mendalilkan sesuatu maka ia yang harus Berdasarkan sistem dari Herzien Inlandsch Reglement (H.I.R) Hakim hanya dapat mendasarkan putusannya atas alat-alat bukti yang sudah ditentukan oleh Undang-undang. Berdasarkan Pasal 164 Herzien Inlandsch

  Reglement (H.I.R) menyatakan bahwa alat-alat bukti terdiri dari bukti tulisan, bukti dengan saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah.

  Akta otentik merupakan alat bukti yang sempurna, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1870 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Akta otentik memberikan diantara para pihak termasuk para ahli warisnya atau orang yang mendapat hak dari para pihak itu suatu bukti yang sempurna tentang apa yang diperbuat atau dinyatakan di dalam akta ini.

  Kekuatan pembuktian sempurna yang terdapat dalam suatu akta otentik merupakan perpaduan dari beberapa kekuatan pembuktian dan persyaratan yang terdapat padanya. Ketiadaan salah satu kekuatan pembuktian ataupun persyaratan tersebut akan mengakibatkan suatu akta otentik tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat yang membuat akta akan kehilangan keotentikannya dan tidak lagi menjadi akta otentik. Dalam suatu akta otentik harus memenuhi kekuatan pembuktian lahiriah, formil dan materil (Mertokusumo, 1993: 121).

  Menurut Habib Adjie (2013) Penilaian akta Notaris harus dilakukan dengan asas praduga sah (Vermoeden van Rechtmatigheid) atau Presumptio Notaris harus dianggap sah sampai ada pihak yang menyatakan akta tersebut tidak sah. Untuk menyatakan atau menilai akta tersebut tidak sah harus dengan gugatan ke pengadilan umum.

5. Hak Ingkar

  5.1 Pengertian Hak Ingkar

  Pihak yang diadili mempunyai hak ingkar terhadap hakim yang mengadili perkaranya. Yang dimaksud dengan hak ingkar adalah hak seseorang yang diadili untuk mengajukan keberatan yang disertai dengan alas an terhadap seorang hakim yang mengadili perkaranya. Hak ingkar merupakan pengecualian terhadap ketentuan Pasal 1909 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Pasal 146 dan 227 Herzien Inlandsch

  Reglement (H.I.R). Hak ingkar adalah merupakan konsekuensi dari adanya kewajiban merahasiakan sesuatu yang diketahuinya (Tobing, 1983: 120).

  5.2 Dasar Hukum Hak Ingkar

  Berdasarkan Pasal 1909 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyatakan bahwa namun dapatlah meminta dibebaskan dari kewajibannya memberikan kesaksian siapa yang bertalian kekeluargaan darah dalam garis samping dalam derajat kedua atau semenda dengan salah satu pihak. Siapa yang ada pertalian darah dalam garis lurus tak terbatas dan dalam garis pekerjaannya atau jabatannya berdasarkan Undang-undang diwajibkan merahasiakan sesuatu namun hanyalah semata-mata mengenai hal-hal yang pengetahuannya dipercayakan kepadanya sebagai demikian.

  Berdasarkan Pasal 170 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyatakan bahwa mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka. Hakim menentukan sah atau tidaknya alasan untuk permintaan tersebut.

5.3 Hak Ingkar Notaris

5.3.1 Dasar Filosofi Hak Ingkar Notaris