BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hasil Penelitian Terdahulu - PENANGANAN KASUS KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT) OLEH DINAS PENGENDALIAN PENDUDUK DAN KELUARGA BERENCANA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK (DPPKBP3A) DI KABUPATEN BANJARNEGARA - reposi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hasil Penelitian Terdahulu Skipsi dengan judul “Faktor-faktor Penyebab Tindakan Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Rumah Tangga (Studi Kasus di Kota Bandar Lampung)” ditulis oleh Saeno Fitrianingsih Mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung Bandar Lampung pada tahun 2016. Dalam penelitian tersebut memiliki persamaan dengan yang akan penulis teliti

  yakni dalam rumusan masalah sama-sama meneliti faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Namun, yang menjadi perbedaan adalah wilayah penelitian yang akan diteliti oleh penulis. Penelitian yang dilakukan Saeno Fitrianingsih berada di Kota Bandar Lampung, dan penulis melakukan penelitiannya di Kabupaten Banjarnegara, perbedaan yang lainnya adalah Saeno Fitrianingsih dalam rumusan masalah hanya membahas tentang faktor-faktor penyebab KDRT dan karakteristik KDRT, berbeda dengan rumusan masalah yang ditulis oleh penulis selain faktor-faktor penyebab KDRT juga membahas penanganan kasus KDRT oleh lembaga yang menanunginya.

  Skripsi yang ditulis oleh Winda Yuliarti Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar

  , dengan judul “Tinjauan Psikologi Hukum Terhadap Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Kabupaten Bone (Studi Kasus : No. 139/Pid.B/2013/PN.WTP)” pada tahun 2017 ini memiliki persamaan pada kata kunci yakni Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dan juga dalam pembahasan terdapat faktor pemicu atau penyebab terhadap terjadinya KDRT. Namun, penelitian tersebut terdapat perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis. Winda Yuliarti dalam penelitiannya melakukan kunjungan ke Pengadilan Negeri Watampone Kabupaten Bone guna mendapatkan putusan berkaitan dengan KDRT suami terhadap isterinya, dan penelitiannya yang dicantumkan dalam rumusan masalah lebih melihat kondisi kejiwaan yang dialami oleh pelaku saat melakukan Kekerasan Dalam Rumah Tangga terhadap istrinya yang disebabkan oleh faktor emosi kepada istrinya, hal ini berbeda dengan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis yang mengambil datanya di Dinas PPKBP3A, sementara rumusan masalah yang dibahas penulis tentang faktor-faktor penyebab KDRT dan penanganan kasus KDRT oleh DPPKBP3A.

  “Eksistensi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Terhadap

Kejahatan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) di Makassar”. Judul skripsi ini ditulis oleh Hasriana Mahasiswi Fakultas Syariah dan Hukum

  tersebut terdapat persamaan dengan penelitian yang akan dilakukan penulis, yakni di dalam rumusan masalah sama-sama meneliti dan membahas tentang lembaga yang menaungi korban kekerasan dalam lingkup rumah tangga. Namun, yang menjadi perbedaannya adalah lembaga yang digunakan sebagai objek penelitian oleh Hasriana untuk menaungi korban KDRT adalah Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), sedangkan penulis menggunakan Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana, Pemberdayaan

  Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPKBP3A) sebagai objek penelian dalam menaungi korban KDRT, perbedaannya yang lain dalam perumusan masalah penulis mengungkapkan faktor-faktor penyebab KDRT sementara Skripsi milik Hasriana memfokuskan bagaimana lembaga LPSK melindungi korban KDRT.

B. Landasan Teori 1. Teori Gender

  Menurut Faqih Manshour dalam Herien Puspitawati (2010: 1), gender adalah perbedaan peran, fungsi, persifatan, kedudukan, tanggung jawab dan hak perilaku, baik perempuan, maupun laki-laki yang dibuat, dan disosialisasikan oleh norma, adat, kebiasaan, dan kepercayaan masyarakat setempat. Sedangkan kesetaraan gender secara jelasnya merupakan pembagian peran antara laki-laki dan perempuan yang diatur oleh masyarakat itu sendiri yang bersifat dinamis, dan berbeda antara masyarakat

  Pendapat Moore dalam Megawangi (2010: 19), mendefinisikan gender yang terbagi dalam dua kelompok atau golongan yang mendefisinikan gender secara berbeda. Kelompok pertama adalah kelompok feminis yang mengatakan bahwa perbedaan jenis kelamin tidak menyebabkan perbedaan peran dan perilaku gender dalam tataran sosial. Kelompok kedua menganggap bahwa perbedaan jenis kelamin akan menyebabkan perbedaan perlakuan atau peran berdasarkan gender, misalnya ada perlakuan khusus pada pekerja wanita karena kondisi biologisnya seperti cuti hamil, pemberian jam kerja malam, dan sebagainya.

  Sementara Baron dalam D. W. Vries (2010: 34) mengartikan gender dilihat dari berkembangnya masyarakat karena kemajuan teknologi terdapat diferensiasi peran (division of labor) antara laki-laki dan perempuan bukan disebabkan oleh adanya perbedaan biologis, melainkan lebih disebabkan oleh faktor sosial budaya. Sebagai hasil bentukan sosial, peran gender dalam berubah-ubah dalam waktu, kondisi, dan tempat yang berbeda sehingga peran laki-laki dan perempuan mungkin dapat ditukar (D. W. Vries, 2010: 34).

  Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata kasus dapat berarti soal atau perkara, dapat juga berarti keadaan atau kondisi khusus yang berhubungan dengan seseorang atau suatu hal. Jika istilah kasus dihubungkan dengan seseorang, maka dapat berarti bahwa pada orang yang dimaksudkan terdapat “soal” atau “perkara” tertentu (1993: 413).

  Prayitno (2009: 77) mengemukakan bahwa, penanganan kasus pada umumnya dapat dilihat sebagai keseluruhan perhatian dan tindakan seseorang terhadap kasus (yang dialami oleh orang lain) dihadapkan kepadanya sejak awal sampai dengan diakhirinya perhatian dan tindakan tersebut. Penanganan kasus dalam pengertian yang khusus menghendaki strategi dan teknik-teknik yang sifatnya khas sesuai dengan pokok permasalahan yang akan ditangani. Penanganan kasus dapat dipandang sebagai upaya-upaya khusus untuk secara langsung menangani sumber- sumber pokok permasalahan dengan tujuan utama teratasinya permasalahan yang dimaksudkan.

  3.1. Definisi Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Arti kekerasan dalam kamus Bahasa Indonesia, adalah perihal

  (yang bersifat, berciri) keras, perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993: 425). Tindakan kekerasan (perbuatan yang menyebabkan cedera/luka/mati/kerusakan) sangat dekat dengan, perbuatan yang mengandung sifat penyiksaan (torture) dan pengenaan penderitaan atau rasa sakit yang sangat berat (severe pain or suffering ) (Arief Barda Nawawi, 1998: 20).

  Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), domestic violence maupun orang yang berada dalam lingkup rumah tangga tersebut. Dan itu tidak terbatas sebagai kekerasan fisik (Ginkgo, 2017 : 2). Bentuk kekerasan : 1) Kekerasan Fisik, Melemparkan sesuatu, memukul, menendang, dll. 2) Kekerasan Lisan, kekerasan psikis, Mengeluarkan kata-kata kasar,ataupun kata-kata yang merendahkan, ancaman, dll.

  3) Kekerasan Ekonomi, Memaksa untuk bekerja, atau sebaliknya melarang untuk bekerja diluar, maupun penelantaran.

   Pemaksaan untuk melakukan pornografi.  Penyiksaan dalam hubungan seksual.

  Kekerasan (Violence) pada dasarnya merupakan konsep yang makna dan isinya sangat bergantung kepada masyarakat itu sendiri, kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan kekerasan berbasis gender yang mengakibatkan kerugian fisik, seksual, atau psikologis, penderitaan terhadap perempuan, termasuk tindakan yang berupa ancaman, pemaksaan atau perampasan kebebasan, apakah itu terjadi di publik atau kehidupan pribadi (Fathul Djannah, 2007: 11).

  Realitas dalam masyarakat menunjukan bahwa kasus-kasus

Kekerasan Dalam Rumah Tangga semakin banyak terjadi, karena bagaikan “fenomena gunung es” yang tersembunyi di balik dinding-

  dinding rumah sangat sulit mengungkapkannya. Dengan kata lain, jumlah kasus yang terungkap sering tidak dapat dijadikan sandaran mengenai keadaan yang sebenarnya terjadi (kussunaryatun, 2007: 57).

  Candrakirana dalam Sukerti (2005: 4) mengemukakan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah perbuatan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan, termasuk penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan penelantaran, termasuk juga ancaman yang menghasilkan kesengsaraan di dalam lingkup rumah tangga. Kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri disebut juga kekerasan domestic (domestic violence).

  Fakih dalam Fakih Manshour (1999: 17) mendefinisikan bahwa kekerasan adalah serangan atau invasi terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Kekerasan terhadap semua manusia ini dapat berasal dari berbagai sumbe, namun terdapat salah satu jenis kekerasan yang bersumber dari anggapan gender. Kekerasan yang disebabkan bias gender ini disebut dengan gender related violence.

  Dalam UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) memberikan pengertian tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang terdapat pada Pasal 1 ayat (1) sebagai berikut:

  “Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama terhadap perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”. Yang termasuk dalam lingkup keluarga menurut UU No. 23 tahun 2004 Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) yang terdapat pada pasal 2 adalah : a. Suami, istri, dan anak. b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan suami, istri dan anak, karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga.

  c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.

  Menurut Kementrian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia, “KDRT adalah setiap tindakan yang mengakibatkan kesengsaraan dan penderitaan-penderitaan pada perempuan secara psikologis, fisik, dan seksual termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum atau dalam lingkungan kehidupan pribadi”.

  Dari beberapa pengertian di atas maka yang dimaksud dengan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah setiap perbuatan yang dilakukan oleh anggota keluarga terhadap anggota keluarga yang fisik maupun nonfisik. Walaupun penganiyaan yang dilakukan termasuk ringan tetap saja perbuatan yang dilakukan dengan sengaja yang menimbulkan rasa sakit luka pada tubuh tetap dapat disebut dengan kekerasan (Adami Chazawi, 2001: 12).

  Menurut UU No. 23 tahun 2004 tentang PKDRT, Kekerasan dalam rumah Tangga (KDRT) dapat dirumuskan lagi sebagai berikut : a. Kekerasan secara fisik, mencakup melukai fisik dengan atau tanpa senjata.

  b. Kekerasan secara psikologis, mencakup perkataan yang bersifat merendahkan, mengancam korban, membatasi gerak korban di luar rumah.

  c. Kekerasan secara seksual, mencakup pemaksaan dan penuntutan hubungan seksual, menghindari kewajiban untuk memenuhi kebutuhan seksual pasangannya.

  d. Kekerasan secara ekonomi atau Penelantaran dalam Rumah Tangga, mencakup tidak memberikan nafkah, melarang korban bekerja, atau memperkerjakan korban untuk dieksploitasi (Iin Ratna Sumirat, 2002: 111).

  Kekerasan sering dilakukan bersamaan dengan salah satu bentuk ancaman kekerasan, atau alat yang dipakai, masing-masing tergantung pada kasus yang timbul. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (domestic

  violence ), seringkali tindak kekerasan ini disebut kejahatan tersembunyi

  (hidden crime) disebut demikian, karena baik pelaku maupun korban berusaha untuk merahasiakan perbuatan tersebut dari pandangan publik (M. Hadi Soeroso, 2010: 1).

  Para korban kekerasan dalam rumah tangga sulit mengajukan penderitaan yang dialaminya kepada penegak hukum, karena kuatnya pandangan bahwa perlakuan kasar suami kepada istri merupakan bagian dari peristiwa privat (urusan rumah tangga), sehingga tidak bisa dilaporkan kepada aparat kepolisian. Sehingga penderitaan korban kekerasan dalam rumah tangga (istri) berkepanjangan tanpa perlindungan (M. Arief Mansur, 2007: 135).

  Terjadinya kekerasan dalam keluarga akan menimbulkan dampak yang negatif pada anak bahkan keluarga itu sendiri, seperti istri menuntut untuk bercerai karena tidak tahan akan perilaku suami yang keras. Hubungan yang tidak wajar lagi antara beberapa individu ini memperbesar dinding pemisah dan merusak keutuhan keluarga. Penderitaan ini akan lebih dirasakan oleh kaum istri, karena istri merupakan penampung emosi dari suami (Singgih Gunarsa, 2007: 89).

  3.2. Bentuk-bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) (1991: 57), kekerasan merupakan bentuk dari tindak kejahatan, ada tiga kejahatan menurut penggunanya : a. Pengertian secara praktis, merupakan pelanggaran atas norma-norma keagamaan, kebiasaan, kesusilaan, dan norma yang berasal dari adat- istiadat yang mendapat reaksi, baik berupa hukuman maupun pengecualian. b. Pengertian secara religius, mengidentikan dengan dosa, dan setiap dosa terancam dengan hukuman api neraka terhadap jiwa yang berdosa.

  c. Pengertian secara yuridis, dapat dilihat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana hanyalah setiap perbuatan yang bertentangan dengan Pasal-pasal dari buku kedua, itulah yang disebut dengan kejahatan.

  Menurut UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), tindak kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga dibedakan ke dalam 4 (empat) macam, terdapat dalam Pasal 5 UU No. 23 tahun 2004 tentang PKDRT yaitu : a. Kekerasan fisik.

  b. Kekerasan psikis.

  c. Kekerasan seksual.

  d. Penelantaran dalam rumah tangga.

  Penjelasan dari pengertian pasal 5 UU No. 23 tahun 2004 tentang sebagai berikut: a. Kekerasan Fisik

  Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat. Perilaku kekerasan yang termasuk dalam golongan ini antara lain adalah menampar, memukul, meludahi, menarik rambut (menjambak), menendang, menyulut rokok, menyetrika, memukul/melukai dengan senjata, dan sebagainya.

  Biasanya perlakuan ini akan nampak seperti bilur-bilur, muka lebam, gigi patah atau bekas luka lainnya. KDRT jenis ini biasanya terjadi dikarenakan pelaku tidak bisa menahan emosi pada saat terjadi perselisihan.

  b. Kekerasan Psikis Kekerasan psikologis atau emosional adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan atau penderitaan psikis berat pada seseorang.

  Perilaku kekerasan yang termasuk penganiyaan secara emosional adalah penghinaan, komentar-komentar yang menyakitkan atau merendahkan harga diri, mengisolir istri dari dunia luar, mengancam atau menakut-nakuti sebagai sarana memaksakan ini adalah termasuk dalam KDRT. Kekerasan jenis ini juga akan berdampak negatif terhadap perkembangan bayi, apabila korban sedang mengandung karena tekanan-tekanan yang diderita.

  c. Kekerasan Seksual Kekerasan jenis ini meliputi pengisolasian (menjauhkan) istri dari kebutuhan batinnya, memaksa melakukan hubungan seksual, memaksa selera seksual sendiri, tidak memperhatikan kepuasan pihak istri.

  d. Penelantaran dalam Rumah Tangga Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut.

  Contoh dari kekerasan jenis ini adalah tidak membeikan nafkah istri, bahkan menghabiskan uang istri. Nafkah merupakan kewajiban suami terhadap istri, sedangkan seorang istri yang bekerja sifatnya hanya membantu. Seorang suami tidak menafkahi keluarganya biasanya karena suami itu suka main judi, selingkuh, sehingga lupa akan tanggung jawabnya. Kondisi yang demikian yang berlangsung secara terus-menerus biasanya menjadi alasan bagi istri untuk mengajukan perceraian (Lela Wahyudiarti, 2012: 12). mengalami KDRT secara ganda, sebagai contoh korban mengalami kekerasan secara fisik dengan cara dipukul hingga mengakibatkan luka lebam sekaligus diancam agar tidak memberitahu kejadian ini pada keluarga atau orang lain dengan ancaman tertentu. Dari contoh tersebut korban mengalami kekerasan fisik dengan cara dipukul dan kekerasan psikis yaitu ancaman yang mengakibatkan ketakutan. Data statistik yang tercatat di mitra perempuan Women Crisis , sebuah lembaga pelayanan yang mendampingi dan membantu

  Center

  perempuan yang mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga (domestic violence) menyatakan bahwa, bentuk kekerasan terjadi tidak hanya satu jenis, tetapi mengalami kekerasan berganda sebanyak 37,7%, misalnya mengalami kekerasan fisik sekaligus psikologis dan ekonomi. Data ini juga menunjukan bahwa pelaku kekerasan antara lain suami (66,3%), mantan suami, saudara kandung, dan lain-lain (33,7%) (Fathul Djannah, 2007: 24-25).

  Kekerasan terhadap perempuan dapat kita saksikan dalam berbagai bentuk dengan korban perempuan beragam usia dan dari berbagai lapisan sosial, begitu juga kejadiannya, tidak mengenal ruang dan waktu, bisa terjadi kapan saja dan dimana saja. Hal ini sangat mengherankan bahwa banyak kekerasan yang terjadi di rumah tangga, dan kebanyakan kekerasan tersebut dilakukan oleh orang yang dikenal

  3.3. Penyebab Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Penyebab Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang selama ini terjadi terhadap korban relatif berbeda, kekerasan yang menimpa antara korban yang satu dengan korban yang lain cenderung berbeda bentuk kekerasannya. Menurut Farha Ciciek dalam Farha Ciciek (2007: 33-34), mengemukakan bahwa faktor-faktor penyebab Kekerasan

  Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang selama ini terjadi adalah sebagai berikut : a. Masyarakat masih membesarkan anak laki-laki dengan mendidiknya agar mempunyai keyakinan bahwa lelaki harus kuat dan dominan.

  Lelaki dilatih untuk merasa berkuasa atas diri dan orang sekelilingnya ketika memasuki rumah tangga. Suami seolah-olah mempunyai hak atas istrinya sehingga dengan cara apapun suami dapat bertindak terhadap istrinya tersebut termasuk dalam bentuk kekerasan. Hal ini melanggengkan budaya kekerasan.

  b. Adanya kebiasaan yang mendorong perempuan atau istri agar supaya bergantung pada suami khusunya secara ekonomi. Hal ini membuat perempuan sepenuhnya berada di bawah kekuasaan suami. Akibatnya istri sering diperlakukan semena-mena sesuai kehendak suami.

  c. Fakta menunjukkan bahwa lelaki dan perempuan tidak diposisikan kekuasaan terhadap istri ini dapat berada di bawah kendali suami.

  Jika istri melakukan kekeliruan, maka suami dapat berbuat apa saja terhadap istrinya termasuk dengan kekerasan.

  d. Masyarakat tidak menganggap kekerasan dalam rumah tangga sebagai persoalan sosial tetapi persoalan pribadi antara suami istri.

  Adanya anggapan masyarakat bahwa masalah kekerasan dalam rumah tangga adalah urusan pribadi atau masalah rumah tangga yang orang lain tidak layak mencampurinya.

  e. Pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama yang menganggap bahwa laki-laki boleh menguasai perempuan. Penafsiran ini mengakibatkan pemahaman bahwa agama juga membenarkan suami untuk melakukan pemukulan terhadap istri dalam rangka mendidik.

  Suami adalah penguasa yang mempunyai kelebihan-kelebihan kodrat yang merupakan anugerah Tuhan. Pemahaman ini akan melestarikan tindakan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

  Pada umumnya, laki-laki oleh masyarakat diharapkan berada di sektor publik, sedangkan perempuan berada di sektor domestik.

  Kedudukan istri sebagai ibu rumah tangga dengan sederet kewajibannya, pada hakikatnya merupakan upaya domestifikasi perempuan. Domistifikasi perempuan menyebabkan lemahnya peluang perempuan untuk mengakses sumber-sumber ekonomi. Selain itu, juga suaminya (Nafisah, 2008: 3).

  Proses sosialisasi yang massif dan mapan ini, pada akhirnya melahirkan ideologi bahwa kekuasaan ada pada laki-laki sebagai manusia yang superior dan aktif, sementara perempuan menjadi pasif dan berposisi sebagai objek kekuasaan laki-laki. Dalam posisi suami yang kuat, maka ia bebas mengendalikan, mengontrol, dan menentukan keputusan sendiri dengan melakukan kekerasan atas pembenaran nama ideologi ini (Ridwan, 2008: 47-48).

  Pola relasi yang timpang antara laki-laki dan perempuan ini menjadi awal penyebab terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

  Kondisi ini tidak jarang mengakibatkan tindak kekerasan oleh suami terhadap istrinya justru dilakukan sebagai bagian dari penggunaan otoritas yang dimilikinya sebagai kepala keluarga. Dengan menggunakan alur piker semacam ini, maka kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga (domestic violence) merupakan kekerasan berbasis gender. Dengan kata lain, kekerasan itu lahir disebabkan oleh perbedaan peran-peran gender yang dikontruksi secara sosial di mana salah satu pihak menjadi sub-ordinat dari pihak lain (Ridwan, 2008: 50).

  Hal ini didukung oleh pendapat Azis dalam Sukerti (2005: 10) bahwa budaya patriarki, pemahaman yang sering keliru terhadap ajaran memukul merupakan faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan seperti yang telah disebutkan di atas, faktor yang paling dominan adalah budaya patriarki ini dapat mempengaruhi budaya hukum masyarakat.

  Latar belakang lain penyebab tindak kekerasan terhadap perempuan dalam lingkup rumah tangga seperti terkadang ada seorang istri yang terlalu banyak menuntut dalam hal untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, baik dari kebutuhan sandang, pagan, papan maupun kebutuhan pendidikan (Arbaiyah Prantiasih, 2015: 16-17).

  Latar belakang tersebut antara lain :

  a. Kekerasan Fisik, faktor yang melatar belakangi terjadinya kekerasan fisik terhadap perempuan disebabkan karena : 1) Suami tidak bekerja. 2) Suami pekerjaannya tidak menentu, artinya kadang-kadang bekerja, kadang-kadang tidak.

  3) Suami temperamental, artinya perilakunya kasar, sering marah dan mudah emosional.

  b. Kekerasan Psikis, latar belakang penyebab terjadinya kekerasan psikis dalam rumah tangga tidak dapat dipisahkan juga dengan faktor penyebab terjadinya kekerasan fisik, sebab kekerasan psikis yang dapat mengakibatkan ketakutan, rasa tidak berdaya, penderitaan psikis berat pada korban, disebabkan juga karena suami, ibu, dalam mudah emosional. Selain itu juga pihak suami tidak mempunyai pekerjaan sehingga menyebabkan mudah emosional atau mudah marah.

  c. Kekerasan Penelantaran dalam rumah tangga, berdasarkan kasus yang ada, kekerasan dalam bentuk ini disebabkan juga karena faktor suami yang tidak bekerja atau pekerjaan yang tidak menentu, sehingga pihak istri dan anak selalu mengharapkan pertanggung jawaban dari pihak suami. Hal ini diperkuat lagi bila istri tidak bekerja dan selalu menggantungkan atau mengakibatkan ketergantungan ekonomi pada pihak suami. Akan tetapi sebaliknya apabila istri bekerja, maka istri tidak selalu menggantungkan diri pada suaminya meskipun di dalam rumah tangganya ada masalah.

  Dalam struktur sosial kemasyarakatan, kehidupan keluarga yang penuh harmoni akan sangat bergantung dari pola relasi di antara anggota keluarga yang setara dan berkeadilan dengan menghargai posisi dan peran masing-masing anggota keluarga. Untuk mengetahui pola relasi dalam keluarga antara laki-laki (suami) dan perempuan (istri) dan antara anak dengan orang tuanya secara setara dan berkeadilan sebagaimana dikemukakan Ridwan (2008: 45), dapat dilihat hal-hal berikut : a. Seberapa besar partisipasi aktif seluruh anggota keluarga dalam perumusan dan pengambil keputusan atau perencanaan maupun maupun publik.

  b. Seberapa besar manfaat yang diperoleh seluruh anggota keluarga secara merata dari hasil pelaksanaan berbagai kegiatan baik sebagai pelaku maupun sebagai pemanfaat dan pengikat hasilnya.

  c. Seberapa besar akses dan kontrol seluruh anggota keluarga dalam berbagai sumberdaya manusia maupun sumberdaya alam yang jadi asset keluarga, seperti hak waris, hak memperoleh pendidikan dan pengetahuan, jaminan kesehatan, hak-hak reproduksi, dan sebagainya.

  3.4. Dampak Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Menurut Harkristuti Harkrisnowo, tindak kekerasan terhadap perempuan merupakan ancaman terus menerus bagi perempuan dimanapun di dunia, harus diingat bahwa kedudukan perempuan di sebagian dunia dianggap tidak sejajar dengan laki-laki, membuat masalah ini menjadi suatu hal yang menakutkan bagi kaum perempuan. Terlebih lagi rasa takut kaum wanita terhadap kejahatan (fear of crime) jauh lebih tinggi dibandingkan dengan apa yang dirasakan kaum pria.

  Dapat dipahami bahwa kerentanan wanita secara kodrati (dalam aspek jasmaniah) membuat fear of crime mereka jauh lebih tinggi.

  Bukan itu saja, karena jika dikaitkan dengan isu tindak kekerasan terhadap wanita, derita yang dialami perempuan baik pada saat maupun setelahnya terjadinya kekerasan pada kenyataannya jauh lebih lebih

  Dilihat sebagai perbuatan manusia, maka kejahatan kekerasan merupakan bentuk perbuatan tertentu yang memiliki ciri-ciri atau karakteristik tertentu yang berbeda dengan perbuatan yang lain terlepas dari pelakunya maupun korbannya. Artinya perbuatan tersebut dapat dilakukan oleh pria, wanita, remaja, orang dewasa, individu, kelompok, “resmi atau tidak” (Susanto, 1995: 1).

  Berdasarkan data yang ada di Indonesia bahkan seluruh dunia, istri merupakan korban utama dalam kekerasan rumah tangga. Istri sebagai korban kekerasan berasal dari semua golongan masyarakat yang tidak memandang dari segi lapisan sosial, golongan pekerjaan, suku, bangsa, budaya, agama maupun rentang usia tertimpa musibah kekerasan.

  Kekerasan yang dialami korban mengakibatkan timbulnya berbagai macam penderitaan. Penderitaan tersebut berupa fisik yaitu perbuatan yang bisa mengakibatkan rasa sakit, secara ekonomi karena tidak diberi nafkah, penderitaan psikologis yang bisa mengakibatkan rasa takut, tidak percaya diri dan sebagainya, sedangkan penderitaan secara seksual seperti pemaksaan hubungan seksual (Lela Wahyudiarti, 2012: 14). Adapun beberapa penderitaan tersebut diantaranya sebagai berikut : a. Jatuh sakit akibat stres seperti sakit kepala, asma, sakit perut, dan b. Menderita kecemasan, depresi dan sakit jiwa yang bisa parah.

  c. Kemampuan menyelesaikan masalah rendah.

  d. Kemungkinan keguguran dua kali lebih tinggi bagi korban yang hamil.

  e. Bagi yang menyusui, ASI seringkali terhenti akibat tekanan jiwa. f. Lebih berkemungkinan bertindak kejam terhadap anak karena tidak dapat menguasai diri akibat penderitaan yang berkepanjangan dan tidak menemukan jalan keluar.

  Dewasa ini terjadi begitu banyak perempuan yang mengalami tindak kekerasan dalam kehidupannya, bahkan hal tersebut dimulai dari lingkungan terdekatnya yakni oleh keluarganya sendiri. Kekerasan seksual merupakan hal yang sangat sering terjadi. Situasi ini semakin di perparah dengan ideologi jaga praja atau menjaga ketat ideologi keluarga, khususnya dalam budaya Jawa “membuka aib keluarga berarti membuka aib sendiri

  ”, situasi demikian menurut Harkristuti

Harkrisnowo dalam berbagai kesempatan menyebabkan tingginya “domestic violence” karena tidak dilaporkan (Mien Rukmini, 2009: 2)

  Sebelum diundangkannya UU PKDRT, Kekerasan Dalam Rumah Tangga tidak dianggap sebagai sebuah kejahatan kriminal tertentu. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika banyak kasus kekerasan yang tidak aparat penegak hukum. Di sisi lain, persoalan bias gender yang berangkat dari budaya patriarki sebagai hasil kontruk sosial juga menjadi kendala untuk terciptamya pola relasi yang adil gender (Ridwan, 2008: 102-103).

  Perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana kurang mendapat perhatian Undang-undang, baik hukum pidana materiil maupun hukum acara pidana (hukum pidana formil) dibandingkan dengan perlindungan hukum terhadap tersangka dan terdakwa. Hal itu dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya faktor Undang-undang, kesadaran hukum korban, fasilitas pendukung, sumber daya manusia. Eksistensi suatu peraturan perundang-undangan dalam suatu sistem hukum sangat menentukan terwujudnya suatu tertib hukum, karena Undang-undang merupakan sumber hukum yang utama (Sulistyowati Irianto, 2007: 144).

  Dalam praktiknya, Kekerasan Dalam Rumah Tangga sulit diungkap sebagaimana dijelaskan Ridwan (2008: 50-51), diantaranya adalah :

  a. KDRT terjadi dalam lingkup rumah tangga dipahami sebagai urusan yang bersifat privasi, di mana orang lain tidak boleh ikut campur (intervensi).

  b. Pada umumnya, korban (istri) adalah pihak yang secara struktual lemah dan memiliki ketergantungan, khususnya secara ekonomi selalu mengambil sikap diam atau bahkan menutupi tindak kekerasan tersebut, karena dengan membuka kasus KDRT ke publik berarti membuka aib keluarga.

  c. Kurangnya pengetahuan dan kesadaran hukum masyarakat terhadap hak-hak hukum yang dimilikinya.

  d. Adanya stigma sosial bahwa kekerasan yang dilakukan oleh suami dipahami oleh masyarakat sebagai hal yang mungkin dianggap wajar dalam kerangka pendidikan yang dilakukan oleh pihak yang memang mempunyai otoritas untuk melakukannya. Pada posisi ini, korban sering enggan melapor kepada aparat penegak hukum karena khawatir justru akan dipersalahkan.

  KDRT merupakan perilaku yang terjadi secara berulang-ulang dan memiliki pola yang khas, yaitu suami-istri yang terlibat dalam tindak kekerasan menganggap bahwa tindak KDRT merupakan hal yang wajar terjadi di setiap keluarga. Jika terjadi kekerasan dan konflik, mereka masih mempunyai cinta dan harapan bahwa kekerasan akan reda. Dari perasaan cinta dan dilandasi harapan hubungan menjadi lebih baik, pihak korban akan memaafkan kesalahan pelaku, maka akan muncul hubungan baru lagi sebagai bulan madu pasca konflik.

  Kemudian lahir konflik baru dan terus sama menjadi siklus yang terus berputar, ia akan berhenti seiring dengan lahirnya kesadaran kolektif masyarakat bahwa perilaku kekerasan apapun harus dihapuskan

  Meski Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 telah ada, masih banyak korban tidak melaporkan kasusnya kepolisian dengan sebab antara lain (Sulistyowati Irianto, 2007: 68) :

  a. Rasa malu, sungkan dengan keluarga besar, aib jika diketahui orang banyak. Alasan ini muncul akibat pemahaman sebagian anggota masyarakat, bahwa kekerasan yang dialami istri adalah akibat kesalahan istri sendiri. b. Ketergantungan yang besar terhadap pelaku (suami) secara ekonomi.

  c. Berkaitan dengan kinerja penegak hukum dalam menangani perkara merupakan pertimbangan perempuan untuk untuk melapor kekerasan yang terjadi pada dirinya.

  4.1. Definisi Korban Menurut Arif Gosita dalam Moerti Hadiati Soeroso (2010: 112), korban adalah: “Mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita”.

  Korban (victims) menurut Muladi adalah orang-orang yang baik secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian fisik atau mental, emosional, ekonomi atau gangguan subtansial terhadap hak-haknya yang fundamental melalui perbuatan 2010: 108).

  Menurut Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 dalam Pasal 1 berbunyi: “Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga”.

  Menurut Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban berbunyi : “Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental dan kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana”.

  Dari beberapa definisi mengenai korban yang ada, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan korban adalah seseorang atau kelompok yang memperoleh penderitaan baik fisik, mental, ekonomi karena suatu tindakan kekerasan maupun ancaman.

  Korban KDRT yang sering dialami adalah perempuan sebagai istri, hal tersebut karena ada anggapan bahwa laki-laki memiliki kekuatan yang lebih serta kedudukan laki-laki sebagai kepala keluarga terkadang membuat laki-laki bebas untuk melakukan apa saja, jika seorang istri dianggap bersalah. Istri sebagai korban kekerasaan selama ini masih memiliki kecenderungan untuk diam terhadap perlakukan suaminya. Kecenderungan tersebut dikarenakan adanya berbagai rasa

  Menurut Idrus dalam Danang Arif Darmawan (2007: 4) kecenderungan istri memilih diam disebabkan beberapa alasan yaitu : a. Ketidaktahuan istri dalam sebagai korban mengenai prosedur pelaporan kekerasan yang dialaminya melalui jalur hukum. Hal ini dikarenakan masih rendahnya pemahaman tentang UU Penghapusan KDRT. b. Masih terdapat anggapan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah aib yang perlu ditutupi.

  c. Kurangnya kepedulian masyarakat terhadap kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan.

  d. Tidak adanya keyakinan dalam diri korban bahwa kasus kekerasan akan ditangani secara adil. Korban kurang percaya terhadap hukum yang ada.

  Dari beberapa alasan tersebut, korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) tidak dapat diketahui secara pasti karena banyak korban yang tidak berani melaporkan.

  4.2. Hak dan Kewajiban Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam kerangka perlindungan hak asasi manusia, pada hakikatnya, perlindungan terhadap perempuan merupakan salah satu perwujudan hak untuk hidup, hak untuk bebas dari perhambaan (servitude) atau perbudakan (slavery). Hak asasi ini bersifat langgeng bedakan asal-usul, jenis kelamin, agama, serta usia sehingga, setiap negara berkewajiban untuk menegakkannya tanpa terkecuali.

  Dalam realitasnya korban selalu menjadi pihak yang paling dirugikan. Karena selain korban telah menderita kerugian akibat kejahatan yang menimpa dirinya, baik secara materil, fisik maupun psikologis, korban juga harus menanggung derita berganda sebab tanpa disadari sering diperlakukan hanya sebagai sarana untuk terwujudnya sebuah kepastian hukum. Korban menderita karena diharuskan mengemukakan kembali, mengingat bahkan mengulangi (rekonstruksi) kejahatan yang pernah dialaminya pada saat sedang menjalani proses pemeriksaan, baik pada tingkat penyidikan maupun setelah kasusnya diperiksa di pengadilan.

  Keberpihakan hukum terhadap korban yang terkesan timpang jika dibandingkan dengan tersangka atau terdakwa, terlihat dari adanya beberapa peraturan perundang- undangan yang memberikan ”hak istimewa” kepada tersangka atau terdakwa dibandingkan kepada korban (M. Arief Mansur, 2007: 80).

  Kondisi yang berbeda terjadi ketika korban dimintai keterangannya sebagai saksi di tingkat penyidikan maupun pengadilan, sering dijumpai korban harus datang sendiri tanpa memperoleh pengamanan atau pengawalan yang memadai dari aparat keamanan.

  Kondisi tersebut tidak hanya terjadi dalam ”kasus kecil,” tetapi dalam ”kasus besar” (kasus yang menjadi perhatian publik) pun, seperti kasus pembunuhan, terorisme, kejahatan/pelanggaran HAM, korban sering harus datang sendiri ke pengadilan. Sementara, potensi terjadinya kekerasan terhadap saksi (korban) sangat tinggi, terutama jika pelaku divonis hukuman maksimal oleh pengadilan, misalnya dikenai sanksi pidana penjara 12 tahun, atau sanksi pidana penjara seumur hidup, atau hukuman mati (M. Arief Mansur, 2007: 8).

  Berlakunya Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) yang telah disahkan pada tanggal 22 september 2004, dan terdiri atas 10 Bab, dan

  56 Pasal ini dapat memberikan perlindungan hukum bagi anggota dalam rumah tangga, khususnya perempuan, yang paling banyak menjadi korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Negara dan masyarakat wajib memberikan perlindungan agar setiap anggota dalam rumah tangga terhindar dari ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat manusia (Kussunaryatun, 2007: 57).

  Sebagai warga negara, korban memiliki hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan. Apalagi dengan dibentuknya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, maka hak dan kewajiban korban semakin dihormati. Adapun hak korban dalam Pasal 10 UU No. 23 tahun 2004 adalah sebagai a. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pemerintah perlindungan dari pengadilan.

  b. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis.

  c. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban. d. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan perundang- undangan.

  e. Pelayanan bimbingan rohani.

  Jadi, dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tersebut disebutkan bahwa korban memiliki hak baik dalam hal perlindungan, pelayanan kesehatan, pendampingan serta bimbingan rohani, selain itu korban berhak melaporkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya baik secara lansung maupun dengan memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain yang ditunjuk. Seperti yang terdapat dalam UU No. 23 tahun 2004 PKDRT:

  a. Pasal 26 UU PKDRT 1) Korban berhak melaporkan secara langsung kekerasan dalam rumah tangga kepada kepolisian baik ditempat korban berada maupun ditempat kejadian perkara. orang lain untuk melaporkan kekerasan dalam rumah tangga kepada pihak kepolisian baik ditempat korban berada maupun ditempat kejadian perkara.

  b. Pasal 27 UU PKDRT Dalam hal ini korban adalah seorang anak, laporan dapat dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh, atau anak yang bersangkutan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku.

  4.3. Peran Aparat Penegak Hukum dan Elemen Lainnya Dalam Mencegah Kekerasan Dalam Rumah Tangga

  Indonesia sebagai Negara hukum (rechtstaat) berimplikasi terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Konsep rechtstaat, dan konsep , menempatkan HAM sebagai salah satu ciri khas pada

  the rule of law Negara yang disebut rechtstaat, dan menjunjung tinggi the rule of law.

  Dalam Negara demokrasi, pengakuan dan perlindungan HAM merupakan salah satu ukuran tentang baik buruknya suatu pemerintahan (Philipus M. Hadjon, 1987: 21).

  Aspek fisik yang mengakibatkan korban berhenti beraktivitas, aspek psikis yang berwujud munculnya kegoncangan atau ketidakstabilan psikis baik secara temporer maupun permanen dari korban. Untuk menyeimbangkan kondisi korban (keluarga), sehingga berbagai upaya pemulihan, seperti pemulihan secara finansial, medis, dan psikis (mental) korban (M. Arief Mansur, 2007: 160-161).

  Dalam konteks perlindungan terhadap korban kejahatan, adanya upaya preventif dan represif yang dilakukan, baik oleh masyarakat maupun pemerintah (melalui aparat penegak hukum), seperti pemberian perlindungan atau pengawasan dari berbagai ancaman yang dapat membahayakan nyawa korban, pemberian bantuan medis, maupun hukum secara memadai.

  Langkah nyata pemerintah dalam memberikan perlindungan dan pelayaan korban tertuang dalam UU nomor 23 tahun 2004 Bab 6 tentang peran-peran aparat penegak hukum khususnya kepolisian, advokat dan pengadilan. Adapun peran-peran tersebut adalah sebagai berikut:

  a. Tugas Kepolisian Tugas kepolisian pada saat menerima laporan tentang kasus kekerasan dalam rumah tangga adalah menerangkan akan hak-hak korban untuk mendapatkan pelayanan dan pendampingan. Selain itu kepolisian juga perlu memperkenalkan identitas mereka serta menegasakan bahwa kekerasan dalam rumah tangga merupakan sebuah kejahatan terhadap kepolisian sehingga sudah menjadi kewajiban kepolisian untuk melindungi korban. Setelah itu, 1) Memberikan perlindungan sementara pada korban.

  2) Meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. 3) Melakukan penyelidikan.

  b. Peran Advokat Dalam hal memberikan perlindungan dan pelayanan, advokat wajib: 1) Memberikan konsultasi hukum yang mencakup informasi mengenai hak-hak korban dan proses peradilan.

  2) Mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan dalam sidang pengadilan dan membantu korban untuk secara lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya.

  3) Melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum, relawan pendamping, dan pekerja sosial agar proses peradilan berjalan sebagaimana mestinya. Konflik dalam rumah tangga biasanya dapat diselesaikan melalui 2 jalur yaitu litigasi dan nonlitigasi. Seorang advokat dapat memberikan advokasi litigasi dan advokasi nonlitigasi. Litigasi merupakan upaya penyelesaian konflik dengan menggunakan jalur hukum, sedangkan nonlitigasi adalah upaya penyelesaian konflik dengan jalan musyawarah dan mufakat keluarga namun tetap melibatkan pihak ketiga sebagai mediatornya.

  c. Peran Pengadilan permohonan tentang surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. Setelah pengadilan menerima surat permohonan itu, pengadilan harus : 1) Mengeluarkan surat penetapan yang berisi perintah perlindungan bagi korban dan anggota keluarga lain.

  2) Atas permohonan korban atau kuasanya, pengadilan dapat mempertimbangkan untuk menetapkan situasi kondisi khusus yakni pembatasan gerak pelaku, larangan memasuki tempat tinggal bersama, larangan membuntuti, mengawasi atau mengintimidasi korban.

  Jika ada pelanggaran perintah perlindungan, maka korban dapat melaporkan hal ini ke kepolisian, kemudian secara bersama- sama menyusun laporan yang ditujukan kepada pengadilan.

  d. Peran Tenaga Kesehatan Setelah diketahui adanya kasus kekerasan dalam rumah tangga, maka petugas kesehatan berkewajiban untuk memeriksa kesehatan korban, yang selanjutnya membuat laporan tertulis mengenai hasil pemeriksaan serta membuat visum et repertum atau surat keterangan medis lain yang memiliki kekuatan hukum untuk dijadikan alat bukti.

  e. Peran Pekerja Sosial Pekerja sosial dalam melayani kasus korban Kekerasan Dalam sebagai berikut :

  1) Melakukan konseling untuk menguatkan korban. 2) Menginformasikan mengenai hak-hak korban. 3) Mengantarkan korban ke rumah aman (shelter). 4) Berkoordinasi dengan pihak Kepolisian, dinas sosial, dan lembaga lainnya demi kepentingan korban. f. Peran Pembimbing Rohani Sebagai pembimbing rohani demi kepentingan korban, maka pembimbing rohani berkewajiban memberikan penjelasan mengenai hak, kewajiban, dan memberikan penguatan iman serta takwa.

  g. Relawan Pendamping atau Paralegal Relawan Pendamping atau Paralegal ditujukan kepada seorang yang bukan advokat namun memiliki pengetahuan di bidang hukum, baik hukum materiil maupun hukum acara dengan pengawasan advokat atau lembaga bantuan hukum yang membantu masyarakat mencari keadilan. Karena sifatnya membantu penanganan kasus atau perkara, maka Paralegal sering juga disebut dengan asisten hukum.

  Peran dari Relawan Pendamping atau Paralegal diatur dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2004. Dalam Undang-undang tersebut menyatakan bahwa tugas dari relawan pendamping adalah: 1) Menginformasikan mengenai hak korban untuk mendapatkan 2) Mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan, atau tingkat pemeriksaan pengadilan dengan membinbing korban agar dapat memaparkan kekerasan yang dialaminya secara obyektif dan lengkap.

  3) Mendengarkan segala penuturan korban. 4) Memberikan penguatan kepada korabn secara psikologis maupun fisik.

  Pentingnya korban mendapat pemulihan sebagai upaya penyeimbang kondisi korban yang mengalami gangguan, dikemukakan lebih luas oleh Muladi (Titon Slamet Kurnia, 2010: 29), bahwa korban kejahatan perlu dilindungi karena:

  a. Pertama, Masyarakat dianggap sebagai suatu wujud sistem kepercayaan yang melembaga (system of institutionalized turst).

  Kepercayaan ini terpadu melalui norma-norma yang diekspresikan di dalam struktur kelembagaan, seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan sebagainya. Terjadinya kejahatan atas diri korban akan bermakna penghancuran system kepercayaan tersebut, sehingga pengaturan hukum pidana dan hukum lain yang menyangkut korban sebagai sarana pengendalian sistem kepercayaan tadi.

  b. Kedua, Adanya argumen kontrak sosial dan solidaritas sosial karena Negara boleh dikatakan memonopoli seluruh reaksi sosial pribadi. Karena itu, jika terdapat korban kejahatan, maka Negara harus memperhatikan kebutuhan korban dengan cara peningkatan, pelayanan, dan pengaturan hak.