PENYELESAIAN SENGKETA WARIS DI PENGADILAN NEGERI BAGI WARGA MUSLIM (KAJIAN KONFLIK KEPENTINGAN ANTARA PENGADILAN NEGERI DAN PENGADILAN AGAMA) (Studi Putusan PN Salatiga Nomor 19/Pdt.G/2002/PN.Sal.) - Test Repository

  

PENYELESAIAN SENGKETA WARIS DI PENGADILAN

NEGERI BAGI WARGA MUSLIM (KAJIAN KONFLIK

KEPENTINGAN ANTARA PENGADILAN NEGERI DAN

PENGADILAN AGAMA)

  

(Studi Putusan PN Salatiga Nomor 19/Pdt.G/2002/PN.Sal.)

SKRIPSI

  Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam (S.H.I)

  

Disusun Oleh :

ROSALINA ARDHIARINI

NIM 21111003

FAKULTAS

  SYARI’AH

  

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

SALATIGA

2017

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

  Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : Rosalina Ardhiarini NIM :21111003 Fakultas : Syariah Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

  Salatiga, Maret 2017 Yang menyatakan Rosalina Ardhiarini NIM 21111003

  

MOTTO



  

…… Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-

Ku hai orang-orang yang berakal.

  (QS Al Baqarah: 197)

  

PERSEMBAHAN

Skripsi ini penulis persembahkan untuk: 

  Kedua orangtuaku, yang senantiasa mendo’akan dan memberikan dukungan.

   Keluargaku yang selalu mendukung, mendo'akan dan memberikan segalanya, baik moral maupun spritual bagi

kelancaran studi, semoga Allah senantiasa meridhoinya.

   Dosenku, pembimbingku yang setia, rekan-rekan mahasiswa

  IAIN Salatiga

  

ABSTRAK

  Rosalina Ardhiarini. 2017. PENYELESAIAN SENGKETA WARIS DI PENGADILAN NEGERI BAGI WARGA MUSLIM (Studi Putusan PN Salatiga Nomor 19/Pdt.G/2002/PN.Sal.). Skripsi Fakultas Syariah.

  Jurusan Hukum Keluarga Islam. Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Evi Ariyani, S.H., M.H.

  Kata Kunci : Sengketa Waris, Pengadilan Negeri, Warga Muslim

  Dewasa ini perkembangan permasalahan tentang kewarisan begitu banyak terjadi, seperti permasalahan pembagian harta warisan yang tidak sesuai, ahli waris yang tidak diakui atau dihilangkan dan masih banyak permasalahan yang lain. Tujuan seseorang mengajukan permohonan maupun gugatan ke pengadilan adalah untuk mencari dan mendapatkan keadilan. Akan tetapi ketika seseorang mengajukan sebuah permohonan yang mempunyai sebuah “tujuan” yang kurang tepat akan memberikan sebuah dampak yang merugikan bagi pihak tertentu.Apakah alasan masyarakat untuk menyelesaikan sengketa waris melalui Pengadilan Negeri Salatiga? Apakah nilai dan kaidah yang menjadi pertimbangan hakim dalam memutuskan sengketa waris sebagaimana dalam Putusan PN Salatiga Nomor 19/Pdt.G/2002/PN.Sal?.

  Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif, yaitu penelitian yang bertujuan memberikan gambaran atas sebuah permasalahan dengan melalui kegiatan analisis data penelitian. Pendekatan yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah pengabungan dua pendekatan yaitu pendekatan normatif dan pendekatan empiris. Analisis data dilakukanterhadapputusanPutusan PN Salatiga Nomor 19/Pdt.G/2002/PN.Sal secara kualitatif.

  Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana kasus yang diputus PN Salatiga Nomor 19/Pdt.G/2002/PN.Sal maka warga muslim sudah tepat jika mengajukan gugatan sengketa waris ke Pengadilan Negeri karena dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tersebut membolehkan warga muslim untuk menyelesaikan sengketa waris melalui Pengadilan Negeri. Hak opsi merupakan kesadaran bagi setiap orang untuk memilih ke peradilan mana akan mengajukan gugatan. Oleh karena itu jaminan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 memberikan kebebasan pada warga muslim untuk menyelesaikan sengketa waris apakah melalui peradilan umum atau peradilan agama.

KATA PENGANTAR

  Tiada ungkapan yang lebih indah selain bersyukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, atas segala karunia yang telah dilimpahkan kepada penulis, sehingga penulis mampu dan dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan lancar tanpa halangan suatu apapun. Adapun judul skripsi yang penulis ajukan adalah “PENYELESAIAN

  

SENGKETA WARIS DI PENGADILAN NEGERI BAGI WARGA

MUSLIM (Studi Putusan PN Salatiga Nomor 19/Pdt.G/2002/PN.Sal.)

  ” pada Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Salatiga, guna memenuhi sebagian persyaratan dari syarat-syarat yang diperlukan dalam mencapai gelar Sarjana Syariah.

  Sejak perencanaan sampai pada penyusunan laporan penelitian ini penulis

mendapat dukungan dari berbagai pihak. Sehubungan dengan hal tersebut maka

pada kesempatan yang berbahagia ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1.

  Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd. selaku Rektor Intitut Agama Islam Negeri Salatiga 2. Ibu Dra. Siti Zumrotun, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Syariah IAIN Salatiga, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan studi dan juga telah memberikan arahan dalam menyelesaikan skripsi.

  3. IbuEvi Ariyani, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing, yang telah memberikan bimbingan dengan penuh keikhlasan hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

  4. Bapak Ketua Pengadilan Negeri Salatiga beserta jajarannya, yang telah memberikan ijin dan kesempatan kepada penulis untuk melaksanakan penelitian ini.

  5. Keluargaku tercinta, yang telah memotivasi penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

  6. Semua pihak yang telah membantu selama penelitian ini.

  Penulis menyadari manusia tidak dapat luput dari salah dan dosa, tentunya skripsi ini masih banyak kekurangan yang terdapat dalam penyusunan maupun dalam tulisan ini, oleh sebab itu kritik dan saran-saran yang bersifat membangun dari pembaca sangat penulis harapkan.

  Salatiga, Maret 2017 Penulis

  

DAFTAR ISI

  HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i HALAMAN PERSETUJUAN ......................................................................... ii HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... iii KATA PENGANTAR ..................................................................................... iv MOTTO DAN PERSEMBAHAN ................................................................... vi ABSTRAK ....................................................................................................... vii DAFTAR ISI .................................................................................................... viii DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... x DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... x

  BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...................................................... 1 B. Rumusan Masalah ................................................................ 4 C. Tujuan Penulisan ................................................................. 5 D. Kegunaan ............................................................................. 5 E. PenegasanIstilah .................................................................. 6 F. MetodePenelitian ................................................................. 7 G. SistematikaPenulisan ........................................................... 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Waris ........................................... 12 B. Tinjauan tentang Kekuasaan Pengadilan ............................. 30

  BAB III PAPARAN KASUS POSISI SENGKETA WEWENANG DI PENGADILAN NEGERI SALATIGA A. GambaranUmum PN Salatiga ................................................. 44 B. KasusPosisi ............................................................................. 53 C. EksepsiTergugat ...................................................................... 60 D. RekonpensiTergugat ............................................................... 62 BAB IV NILAI DAN KAIDAH HAKIM DALAM PUTUSAN PN SALATIGA NO. 19/Pdt.G/2002/PN.Sal A. Putusan PN Salatiga NO. 19/Pdt.G/2002/PN.Sal ................ 64 B. Asas dan Kaidah Hakim dalam Putusan .............................. 69 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan .......................................................................... 77 B. Saran ................................................................................... 78 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 79 LAMPIRAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW merupakan sebuah

  aturan yang lengkap dan sempurna, yang mengatur segala aspek kehidupan untuk keselamatan dunia dan akhirat. Salah satu syariat yang diatur dalam ajaran Islam adalah tentang hukum waris, yakni pemindahan harta warisan kepada ahli waris yang berhak menerimanya. Hukum waris yaitu seperangkat norma atau aturan yang mengatur mengenai berpindahnya atau beralihnya hak dan kewajiban (harta kekayaan) dari orang yang meninggal dunia (pewaris) kepada orang yang masih hidup (ahli waris) yang berhak menerimanya. Hukum waris menurut Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 171 (a) adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak kepemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.

  Tata cara pembagian harta warisan dalam Islam telah diatur dengan sebaik-baiknya. Al-Quran menjelaskan dan merinci secara detail hukum- hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Pembagian masing-masing ahli waris baik itu laki-laki maupun perempuan telah ada ketentuannya dalam Al Quran dan dijabarkan pada Kompilasi Hukum Islam Buku II Hukum Warisan pasal 171 sampai dengan pasal 209.

  Bagi umat Islam melaksanakan ketentuan yang berkenaan dengan hukum kewarisan merupakan suatu kewajiban yang harus dijalankan, karena itu merupakan bentuk manifestasi keimanan dan ketakwaan kepada Allah dan Rasul-Nya. Pembagian harta warisan dapat juga dilakukan dengan cara bagi rata, artinya masing-masing ahli waris mendapat bagian yang sama dari harta warisan tanpa memandang apakah ahli warisnya itu laki-laki atau perempuan dengan jalan berdamai berdasarkan kesepakatan bersama antara ahli waris sebagaimana disebutkan pada ketentuan Pasal 183 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan setelah masing-masing menyadari bagiannya.

  Pada masyarakat muslim di Bringin dalam pembagian harta warisan, sebagian masyarakatnya ada yang menggunakan pembagian harta warisan dengan cara bagi rata antara ahli waris berdasarkan perdamaian (musyawarah) yang dikenal dengan islah. Akan tetapi dengan cara ini lebih sering menimbulkan masalah dibanding dengan menggunakan ketentuan hukum faraidh. Pembagian harta warisan dengan islah dapat berakibat tidak baik bagi keluarga (yang menjadi ahli waris), jika ada pengingkaran dalam pembagian harta warisan tersebut maka timbullah rasa kecemburuan di antara ahli waris. Pada akhirnya kelak akan menimbulkan renggangnya rasa kekeluargaan yang mereka miliki.

  Dewasa ini perkembangan permasalahan tentang kewarisan begitu banyak terjadi, seperti permasalahan pembagian harta warisan yang tidak sesuai, ahli waris yang tidak diakui atau dihilangkan dan masih banyak permasalahan yang lain. Tujuan seseorang mengajukan permohonan maupun gugatan ke pengadilan adalah untuk mencari dan mendapatkan keadilan. Akan tetapi ketika seseorang mengajukan sebuah permohonan yang mempunyai sebuah “tujuan” yang kurang tepat akan memberikan sebuah dampak yang merugikan bagi pihak tertentu. Misal A mengajukan sebuah penetapan ahli waris tanpa berunding dengan ahli waris yang lain, setelah keluar penetapannya ditetapkan A dan B menjadi ahli waris, penetapan ini tidak disertai pembagiannya sehingga pembagiannya dilakukan oleh A dan B sendiri. Karena A memang memiliki tujuan yang tersembunyi yaitu ingin mengusai harta warisan dari pewaris, A mengajukan saksi hanya dari pihaknya. Dalam hal kesaksian tersebut hanya dilihat dari satu sudut pandang pihak A sehingga menimbulkan kerugian bagi B.

  Dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman terutama Pasal 25 ayat (3) yang berisi, Peradilan Agama berwenang memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang : Perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syari'ah (Basyir, 2002: 84).

  Pasca disahkannya Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, kalimat yang terdapat dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama guna memangkas choice of law dalam Hukum Kewarisan. Dalam Penjelasan Umum tersebut dinyatakan “Para Pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian warisan”, dinyatakan dihapus.

  Secara harfiah dari Pernyataan dalam Penjelasan Umum tersebut adalah pilihan hukum sudah tidak dimungkinkan lagi. Dalam praktek masih terdapat hakim Pengadilan Negeri masih menerima, memeriksa dan memutus sengketa waris. Di Pengadilan Negeri Salatiga pada pelaksanaannya menerima gugatan yang didalamnya menyangkut penetapan ahli waris meskipun didahului dengan adanya sengketa penguasaan tanah oleh salah seorang ahli waris.

  Sehubungan dengan uraian di atas, maka penulis terdorong untuk menganalisis: SENGKETA WARIS DI

  “PENYELESAIAN PENGADILAN NEGERI BAGI WARGA MUSLIM (Studi Putusan PN Salatiga Nomor 19/Pdt.G/2002/PN.Sal) B. Rumusan Masalah

  Berdasarkan uraian di atas, dirumuskan pertanyaan sebagai berikut : Apakah nilai dan kaidah yang menjadi pertimbangan hakim dalam memutuskan sengketa waris sebagaimana dalam Putusan PN Salatiga Nomor 19/Pdt.G/2002/PN.Sal?

  C. Tujuan Penelitian

  Adapun tujuan penelitian dalam penulisan skripsi ini untuk mengetahui Nilai dan kaidah yang menjadi pertimbangan hakim dalam memutuskan sengketa waris sebagaimana dalam Putusan PN Salatiga Nomor 19/Pdt.G/2002/PN.Sal?.

  D. Kegunaan Penelitian

  Penelitian ini memiliki beberapa kegunaan, sebagai berikut: 1. Teoritis

  Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap wacana keilmuan di kalangan civitas akademika khususnya dibidang Hukum waris, Filsafat hukum, maupun Hukum Islam. Hasil penelitian juga diharapkan berguna bagi pengembangan pengetahuan ilmiah di bidang Hukum waris dan Filsafat hukum dikalangan praktisi hukum.

2. Praktis a.

  Bagi Pengadilan Sebagai bahan masukan terhadap perkembangan hukum di Indonesia, sehingga dapat digunakan sebagai dasar untuk meningkatkan kualitas keadilan dalam masyarakat.

  b.

  Bagi Masyarakat Dapat dijadikan masukan dalam rangka alternatif penyelesaian sengketa waris non penal (penyelesaian melalui musyawarah dan secara adat) yang lebih mengedepankan aspek kekeluargaan.

E. Penegasan Istilah

  Untuk memberikan batasan terhadap judul penelitian yang dilakukan, maka dapat dijelaskan definisi istilah sebagai berikut:

  1. Nilai Nilai adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda atau hal untuk memuaskan manusia (Surayin, 2007: 374). Nilai juga diartikan kualitas suatu hal yang menjadikan hal itu dapat disukai, diinginkan, berguna, dihargai dan dapat menjadi objek kepentingan (Sjarkawi, 2009: 29).

  2. Kaidah Kaidah diartikan sebagai ketentuan atau aturan yang digunakan dalam menentukan suatu masalah (Poerwadarminto, 2007: 278).

  3. Sengketa Waris Sengketa waris diartikan sebagai perselisihan akibat adanya pembagian harta warisan (Basyir, 2002: 14).

  4. Putusan Putusan dapat berupa putusan dan ketetapan. Putusan merupakan pernyataan hakim dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam siding terbuka untuk umum (Hamzah, 2006: 38). Ketetapan merupakan tindakan hokum yang sepihak dalam bidang pemerintahan yang dilakukan oleh alat kelengkapan Negara berdasarkan kewenangan khusus (Tjakranegara, 2005: 19).

F. Metode penelitian

  1. Jenis Penelitian

  Penelitian ini termasuk deskriptif analitis, yaitu penelitian yang bertujuan memberikan gambaran atas sebuah permasalahan dengan melalui kegiatan analisis data penelitian (Sugiyono, 2009: 4)

  2. Pendekatan

  Pendekatan yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah pengabungan dua pendekatan yaitu pendekatan yuridis normatif.

  a.

  Pendekatan Yuridis penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum (Ibrahim, 2010: 14) b. Pendekatan normatif

  Pendekatan normatif digunakan untuk memahami suatu masalah yang diteliti dengan melakukan penelitian yang dilakukan pada peraturan- peraturan yang tertulis atau bahan-bahan hukum yang lain (Waluyo, 2002: 14). Yang akan dikaji penetapan Pengadilan Negeri Salatiga Nomor 19/Pdt.G/2002/PN.Sal. tentang penetapan Ahli Waris yaitu nilai dan kaedah hukum yang dipertimbangkan dalam mengeluarkan penetapan.

  3. Jenis dan Sumber Data

  Penelitian ini membutuhkan dua jenis data yang berasal dari sumber yang berbeda yaitu : a.

  Data Primer Penelitian lapangan dilakukan untuk memperoleh data primer yang berupa kejadian-kejadian di lapangan atau pendapat subyek penelitian atau segala sesuatu yang berhubungan dengan sengketa waris yang terjadi. Data primer dalam penelitian ini berupa putusan pengadilan Nomor 19/Pdt.G/2002/PN.Sal. Data primer juga diperoleh melalui wawancara dengan hakim dan pihak yang bersengketa.

  b.

  Data Sekunder Pada penelitian hukum normatif, bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam ilmu penelitian dikatagorikan sebagai data sekunder, baik data sekunder yang bersifat pribadi maupun data sekunder yang bersifat publik. Dalam penelitian ini data sekunder yang dibutuhkan adalah putusan pengadilan dan undang-undang yang berhubungan dengan penelitian.

4. Teknik Pengumpulan Data

  Sumber data primer dalam skripsi ini diperoleh dari : a.

  Wawancara Wawancara akan dilakukan secara bebas dalam hal ini pewawancara melakukan kegiatan secara spontan, akan tetapi tetap berdasarkan pedoman dari tujuan dan rumusan penulisan ini. Keuntungan dari jenis wawancara ini penulis bisa mendapatkan info yang lebih dalam karena dari setiap jawaban yang diberikan oleh narasumber bisa ditanyakan lebih jelas. Akan tetapi hal ini tetap berada didalam satu pedoman.

  Yang menjadi narasumber dalam penulisan ini adalah :  Hakim Pengadilan Negeri Salatiga.

   Tokoh masyarakat yang mengerti tentang hukum adat maupun hukum Islam disekitar.

  b.

  Observasi dilakukan dengan mengamati masyarakat yang berada disekitar lingkungan ahli waris. Untuk melihat dan mengetahui nilai- nilai yang terkandung didalam masyarakat.

4. Teknik Analisis Data

  Dalam menganalisa data, data yang telah diperoleh dianalisa dengan menggunakan analisa kualitatif dengan menggunakan pola pikir induksi.

  Teknik ini dilakukan dengan metode interaktif yang terdiri dari tiga jenis kegiatan, yaitu : reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan yang dapat dilakukan pada saat sebelum dan selama pengumpulan data.

  Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan juga transformasi data yang muncul dari catatan tertulis di lapangan. Sementara penyajian data merupakan penyajian sekumpulan informasi yang tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.

G. Sistematika Skripsi

  Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh maka rancangan kerangka skripsi adalah sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN, berisi tentang uraian latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metode penelitian, dan sistematika skripsi.

  BAB II TINJAUAN PUSTAKA, berisi tentang tinjauan umum tentang waris dalam Islam dan tinjauan umum kewenangan pengadilan. BAB III HASIL PENELITIAN, merupakan bab yang berisikan hasil penelitian yaitu gambaran PN Salatiga, paparan kasus penetapan pengadilan Negeri Salatiga Nomor 8/Pdt.G//2010/PN.Sal, eksepsi tergugat, rekonpensi tergugat dan putusan pengadilan.

  BAB IV PEMBAHASAN, yang berisikan gambaran mengenai pembahasan mengenai analisis asas dan kaidah hakim dalam putusan pengadilan Negeri Salatiga Nomor 8/Pdt.G//2010/PN.Sal.

  BAB V PENUTUP, berisikan kesimpulan dari pembahasan yang telah diuraikan disertai pula saran-saran sebagai rekomendasi berdasarkan temuan-temuan yang diperoleh dalam penelitian.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Waris 1. Pengertian Pewarisan dalam Hukum Islam Waris berasal dari kata mirats, menurut bahasa adalah

  berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain, atau dari suatu kaum kepada kaum yang lain. Sesuatu ini bersifat umum, bisa berupa harta, ilmu, keluhuran atau kemuliaan. Sedangkan waris menurut Ash- Shabuni, ialah berpindahnya hak milik dari mayit kepada ahli warisnya yang hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta, atau hak- hak syar’i ahli waris.

  Adapun dalam hukum waris Islam adalah penggunaan hak manusia akan harta peninggalan orang yang meninggal kepada ahli waris karena adanya sebab-sebab dan telah terpenuhinya syarat rukunnya, tidak tergolong terhalang atau menjadi penghalang warits.

  Menurut al-Raghib (dalam Ali Parman), dikatakan bahwa pewarisan adalah pengalihan harta milik seseorang yang telah wafat kepada seseorang yang masih hidup tanpa terjadi akad lebih dahulu. Jadi esensi pewarisan dalam al-Quran adalah proses pelaksanaan hak-hak pewaris kepada ahli warisnya dengan pembagian harta pusaka melalui tatacara yang telah ditetapkan oleh nash. Kata kedua dalam al-Quran yang menunjukan waris dan kewarisan adalah Al-faraidh. Dalam bahasa Arab, al-Faraidh adalah bentuk jamak dari kata faridhah, yang diambil dari kata

  fardh yang artinya ketentuan yang pasti. Sebagaimana disebutkan dalam

  al-Quran SuratAn- Nisa’ (4) ayat 11 & 12:

  

ههُهَلَف ِهْيَتَىْحا َقْىَف ًءاَسِو ههُك ْنِإَف ِهْيَيَخْولأا ِّظَح ُلْخِم ِسَكهرلِل ْمُكِدلاْوَأ يِف ُ هاللَّ ُمُكيِصىُي

ٍدِحاَو ِّلُكِل ًِْيَىَبلأَو ُفْصِّىلا اَهَلَف ًةَدِحاَو ْتَواَك ْنِإَو َكَسَت اَم اَخُلُح اهمِم ُسُدُّسلا اَمُهْىِم

َى ْخِإ ًَُل َناَك ْنِإَف ُجُلُّخلا ًِِّملأَف ُياَىَبَأ ًَُحِزَوَو ٌدَلَو ًَُل ْهُكَي ْمَل ْنِإَف ٌدَلَو ًَُل َناَك ْنِإ َكَسَت

ٌة

   َت لا ْمُكُؤاَىْبَأَو ْمُكُؤاَبآ ٍهْيَد ْوَأ اَهِب يِصىُي ٍةهيِصَو ِدْعَب ْهِم ُسُدُّسلا ًِِّملأَف ْمُهُّيَأ َنوُزْد ( اًميِكَح اًميِلَع َناَك َ هاللَّ هنِإ ِ هاللَّ َهِم ًةَضيِسَف اًعْفَو ْمُكَل ُبَسْقَأ ١١ )

ُعُبُّسلا ُمُكَلَف ٌدَلَو ههُهَل َناَك ْنِإَف ٌدَلَو ههُهَل ْهُكَي ْمَل ْنِإ ْمُكُجاَوْشَأ َكَسَت اَم ُفْصِو ْمُكَلَو

ِدْعَب ْهِم َهْكَسَت اهمِم ْهُكَي ْمَل ْنِإ ْمُتْكَسَت اهمِم ُعُبُّسلا ههُهَلَو ٍهْيَد ْوَأ اَهِب َهيِصىُي ٍةهيِصَو

ْوَأ اَهِب َنىُصىُت ٍةهيِصَو ِدْعَب ْهِم ْمُتْكَسَت اهمِم ُهُمُّخلا ههُهَلَف ٌدَلَو ْمُكَل َناَك ْنِإَف ٌدَلَو ْمُكَل

ًةَللاَك ُثَزىُي ٌلُجَز َناَك ْنِإَو ٍهْيَد اَمُهْىِم ٍدِحاَو ِّلُكِلَف ٌتْخُأ ْوَأ ٌخَأ ًَُلَو ٌةَأَسْما ِوَأ

اَهِب ىَصىُي ٍةهيِصَو ِدْعَب ْهِم ِجُلُّخلا يِف ُءاَكَسُش ْمُهَف َكِلَذ ْهِم َسَخْكَأ اىُواَك ْنِإَف ُسُدُّسلا

ٌميِلَح ٌميِلَع ُ هاللََّو ِ هاللَّ َهِم ًةهيِصَو ٍّزاَضُم َسْيَغ ٍهْيَد ْوَأ

   ( ٢١ )

  11. Allah mewasiatkan (mensyari'atkan) kepadamu tentang (pembagian harta warisan untuk) anak-anakmu, yaitu: bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan; Maka jika anak (ahli waris) itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga (2/3) dari harta yang ditinggalkan; Dan jika anak perempuan (ahli waris) itu seorang saja, maka ia memperoleh separo (1/2) harta. Dan untuk dua orang bapak-ibu, masing-masing mendapatkan bagian seperenam (1/6) dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; Maka jika orang yang meninggal itu tidak mempunyai anak dan ia

  

mewariskan (mempusakai) bapak-ibu (saja), maka ibunya mendapat

sepertiga (1/3); Jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara,

maka ibunya mendapat seperenam (1/6), (pembagian-pembagian tersebut

di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar

(lunas) semua hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu

tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak)

manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah

Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

  

12. Dan bagimu (para suami) separo (1/2) dari harta yang ditinggalkan

oleh isteri-isterimu, jika mereka (isteri-isterimu yang telah meninggal)

tidak mempunyai anak. Dan jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka

kamu mendapat seperempat (1/4) dari harta yang ditinggalkannya sesudah

dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah semua hutangnya

dibayar (lunas). Dan para isteri memperoleh seperempat (1/4) dari harta

yang kamu tinggalkan, jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu (para

suami yang telah meninggal) mempunyai anak, maka para isteri

memperoleh seperdelapan (1/8) dari harta yang kamu tinggalkan sesudah

dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar (lunas) semua

hutangmu. Jika seseorang meninggal baik laki-laki maupun perempuan

yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi

mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara

perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis

saudara itu seperenam (1/6). Akan tetapi jika saudara-saudara seibu itu

lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam sepertiga (1/3), sesudah

dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar (lunas) semua

hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah

menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at (perintah) yang benar-

benar dari Allah; Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun .

  Faraidh dalam istilah syara’ adalah bagian yang telah ditentukan bagi ahli waris. Kata faraidh sering diartikan sebagai saham-saham yang telah dipastikan kadarnya, maka ia mengandung arti pula sebagai suatu kewajiban yang tidak bisa diubah karena datangnya dari Allah.

  Berkaitan dengan hukum pasti ini, kata faraidh (kepastian) terdiri dari dua kata, pertama: mafrudha (An- Nisa’:7), menurut al-Maraghi hal itu mengandung makna bahwa saham yang telah ditetapkan kadarnya itu, para ahli waris harus mengambilnya, kedua: faridhatan (An-

  Nisa’:11), menurut al-Maraghi juga, mengandung maksud bahwa saham-saham yang telah disebutkan dalam al-Quran secara terinci itu disertai siapa- siapa ahli waris yang akan memperoleh saham itu. Dan ini merupakan ketetapan yang harus diimplementasikan.

  Dengan demikian, secara operasional dapat ditegaskan bahwa dalam konteks kewarisan, kata faraidh tetap dimaksudkan sebagai pengalihan harta pewaris kepada ahli warisnya dengan saham yang pasti. Kata ketiga dalam al-Quran yang menunjukan waris dan kewarisan adalah al-Tirkah. Dalam bahasa Arab, adalah bentuk masdar dari kata tunggal taraka, mengandung beberapa makna dasar, yakni membiarkan menjadi, mengulurkan lidah, meninggalkan agama dan harta peninggalan.

  Menurut Madzhab Hanafi, tirkah adalah harta yang ditinggalkan oleh mayit (orang yang mati) secara mutlak. Ibnu Hazm menambahkan bahwa Allah telah mewajibkan warisan pada harta bukan yang lain, yang ditinggalkan oleh manusia sesudah ia mati. Sebelum harta itu dibagi kepada ahli warisnya, maka hak-hak yang berhubungan dengan tirkah harus didahulukan, seperti biaya penguburan jenazah, pelunasan utang atau wasiat pewaris. Dengan demikian, tirkah adalah semua harta peninggalan orang yang meninggal dunia sebelum diambil untuk kepentingan pemeliharaan jenazah, pembayaran utang dan pelaksanaan wasiat serta pembagian kepada ahli warisnya.

  Pengertian hukum kewarisan dalam KHI disebutkan pada Pasal 171 ayat (a) yang berbunyi :

  "Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang

pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris,

menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa

bagiannya masing-masing."

  Dari definisi di atas, maka hukum kewarisan menurut KHI mencakup ketentuan-ketentuan sebagai berikut : a.

  Ketentuan yang mengatur siapa pewaris b. Ketentuan yang mengatur siapa ahli waris c. Ketentuan yang mengatur tentang harta peninggalan d. Ketentuan yang mengatur tentang akibat peralihan harta peninggalan dari pewaris kepada ahli waris e.

  Ketentuan yang mengatur tentang bagian masing-masing .

  Terdapat beberapa pendapat mengenai definisi hukum waris yang dikemukakan oleh beberapa fuqaha (ahli hukum fiqh) yaitu : a.

  Abdullah Malik Kamal Bin As-Sayyid Salim, Ilmu fara’id ialah Ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah fikih dan ilmu hitung yang berkaitan dengan harta warisan dan orang-orang yang berhak mendapatkan harta warisan. b.

  Ahmad Zahari, Hukum kewarisan Islam yaitu hukum yang mengatur tentang peralihan hak milik atas harta warisan dari pewaris kepada orang-orang yang berhak menerimanya (ahli waris), berapa besar bagiannya masing-masing, kapan dan bagaimana cara peralihannya sesuai ketentuan dan petunjuk Al- Qur’an, hadist dan ijtihad para ahli.

  Dari pengertian diatas dapat dirumuskan pengertian hukum waris islam menurut penulis adalah suatu hukum yang mengatur pembagian harta peninggalan seseorang yang berdasarkan Al-Qur'an dan Hadis. Dan pewarisan muncul ketika seseorang meninggal dunia dan meninggalkan harta peninggalan atau harta warisan serta ahli waris.

2. Asas Pewarisan menurut Hukum Islam

  Hukum waris islam mengandung berbagai asas yang menunjukkan bentuk karakteristik dari hukum waris islam. Asas-asas hukum waris islam antara lain : a.

  Asas Ijbari Asas Ijbari adalah peralihan harta dari orang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketentuan Allah SWT tanpa tergantung kepada kehendak pewaris atau ahli waris. Asas Ijbari dalam hukum kewarisan Islam tidak dalam arti yang memberatkan ahli waris. Seandainya pewaris mempunyai hutang yang lebih besar dari warisan yang ditinggalkannya, ahli waris tidak dibebani untuk membayar hutang tersebut, hutang yang dibayar hanya sebesar warisan yang ditinggalkan oleh pewaris.

  b.

  Asas bilateral Asas bilateral dalam hukum waris islam berarti seseorang menerima hak atau bagian warisan dari kedua belah pihak garis kerabat, yaitu pihak kerabat garis keturunan laki-laki dan pihak kerabat garis keturunan perempuan. Asas bilateral memiliki 2 dimensi; 1. Dimensi saling mewaris antara anak dengan orang tuanya. 2. Dimensi saling mewaris antara orang yang bersaudara terjadi jika pewaris tidak mempunyai keturunan atau orang tua. Dengan demikian dikenal penggantian ahli waris.

  c.

  Asas individual Arti kata individual dalam asas hukum waris islam adalah bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi untuk dimiliki secara perorangan. Ini berarti setiap ahli waris berhak atas bagian yang didapatnya tanpa tergantung dan terikat dengan ahli waris lainnya. Keseluruhan harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang mungkin dibagi-bagi, kemudian jumlah tersebut dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak menurut kadar masing-masing. Bisa saja harta warisan tidak dibagi-bagikan asal ini dikehendaki oleh ahli waris yang bersangkutan, tidak dibagi-baginya harta warisan itu tidak menghapuskan hak mewaris para ahli waris yang bersangkutan. d.

  Asas keadilan berimbang Asas ini dapat diartikan adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan.

  Secara dasar dapat dikatakan bahwa faktor perbedaan jenis kelamin tidak menentukan dalam hak kewarisan artinya laki-laki mendapat hak kewarisan begitu pula perempuan mendapat hak kewarisan sebanding dengan yang didapat oleh laki-laki.

  e.

  Asas semata akibat kematian Asas ini menetapkan bahwa peralihan harta seseorang kepada orang lain berlaku setelah yang mempunyai harta tersebut meninggal dunia dan selama yang mempunyai harta masih hidup maka secara kewarisan harta itu tidak dapat beralih kepada orang lain.

3. Unsur dalam hukum waris islam

  Dari definisi tampak unsur-unsur pewarisan, dalam hukum waris islam terdapat 3 unsur yaitu; pewaris, ahli waris dan harta warisan atau tirkah.

a. Pewaris

  Tentang pewaris tercantum dalam Pasal 171 huruf b KHI :

  "Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan beragama Islam, meniggalkan ahli waris dan harta peninggalan."

  Berdasarkan uraian di atas tampak bahwa untuk terjadinya pewarisan disyaratkan untuk pewaris adalah telah meninggal dunia, baik secara hakiki ataupun hukum. Hal ini sebagaimana telah ditentukan oleh ulama tentang syarat-syarat terjadinya pewarisan antara lain meninggalnya pewaris baik secara hakiki, hukum atau takdir (Sabiq, 2010: 46). Syarat lain untuk menjadi pewaris dalam KHI yang tertuang dalam Pasal diatas selain telah meninggal dunia, pewaris harus beragama Islam dan mempunyai ahli waris dan harta peninggalan.

b. Ahli Waris

  Pengertian ahli waris dalam Pasal 171 huruf c KHI disebutkan dalam:

  "Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris"

  Dari Pasal 171 huruf c ini, menurut penulis perlu adanya penyempurnaan redaksi, karena jika diperhatikan redaksi tersebut seakan-akan yang meninggal itu adalah ahli waris, padahal yang dimaksud tentunya bukan demikian. Hal seperti diatas telah diutarakan lebih jelas oleh M. Ali Ash Shabuni seorang ulama fiqh

  mawaris bahwa salah satu syarat terjadinya pewarisan adalah

  hidupnya ahli waris saat kematian pewaris, baik secara hakiki maupun hokum (Ash Shabuni, 2009: 27).

  Menurut penulis untuk penyempurnaan redaksi tersebut adalah:

  "Ahli waris adalah orang yang masih hidup pada saat

  meninggalnya pewaris mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris ."

  Dari penjelasan tentang ahli waris menurut KHI ini, dapat disimpulkan bahwa syarat-syarat sebagai ahli waris adalah; 1)

  Hidup; 2)

  Mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan; 3)

  Beragama Islam; Tentang syarat beragama Islam bagi ahli waris ini lebih lanjut diatur dalam Pasal 172 KHI:

  "Ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari kartu identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau lingkungannya."

4) Tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.

  Terhalangnya seseorang menjadi ahli waris dalam KHI disebutkan pada Pasal 173, yang berbunyi sebagai berikut:

  "Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai ketetapan hukum yang tetap, dihukum karena:

  a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewaris.

  b. Dipersalahkan

  secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris

  

telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5

tahun penjara atau hukuman yang lebih berat".

  Ketentuan terhalangnya seorang ahli waris sebagaimana disebutkan di atas, merupakan perluasan dari ketentuan mawani' al irs (penghalang mewarisi) menurut para ulama dalam fiqh mawaris. Jika dalam fiqh mawaris yang menjadi ketentuan mawani' al irs adalah perbudakan; pembunuhan; berlainan agama. Ketentuan di atas tampaknya diadopsi dari BW Pasal 838 tentang ketentuan orang-orang yang tidak pantas untuk menerima warisan bagi kelompok ahli waris karena kematian (Subekti, 2002: 209). Jika dibandingkan terhalangnya seseorang menjadi ahli waris menurut KHI dengan mawani' al irs dalam fiqh mawaris tampak bahwa yang terkandung dalam Pasal 173 KHI ini hanya pembunuhan. Untuk perbudakan mungkin dapat diterima, karena di Indonesia tidak ada perbudakan. Adapun tentang berbeda agama walaupun tidak dicantumkan dalam Pasal 173 KHI yang mengatur tentang halangan seseorang menjadi ahli waris, namun sebenarnya KHI juga mengakui bahwa perbedaan agama menjadi penghalang pewarisan juga. Hal ini seperti diatur dalam Pasal 171 huruf b dan huruf c tentang pewaris dan ahli waris yang harus beragama Islam. Dari kedua ayat ini dapat diketahui bahwa beragama Islam menjadi salah satu syarat bagi pewaris dan ahli waris agar terjadi pewarisan. Karena beragama Islam menjadi salah satu syarat terjadi pewarisan, maka berbeda agama menjadi salah satu penghalang pewarisan. Jadi akan lebih baik apabila Pasal 173 KHI yang mengatur tentang terhalangnya seseorang menjadi ahli waris ditambah dengan berbeda agama.

c. Adanya Harta Peninggalan (Tirkah)

  Hal ini berarti jika pewaris tidak meninggalkan tirkah, maka tidak akan terjadi pewarisan. Adapun pengertian tirkah di kalangan para ahli ada beberapa pendapat. Beberapa pendapat itu yaitu, : 1)

  M. Junaedi, MH berpendapat : “tirkah adalah harta peninggalan (semua harta yang ditinggalkan) muwaris (orang yang meninggalkan harta waris) termasuk hak- haknya”. 2)

  Muhamad Ali As berpendapat : “tirkah atau tarikah yaitu sesuatu yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia baik yang berbentuk benda dan hak-hak kebendaan serta hak-hak yang bukan hak kebendaan.

  Dilihat dari berbagai pendapat diatas dapat dimengerti bahwa

  tirkah dan maurus dipisahkan, yaitu bahwa tirkah mempunyai arti

  yang lebih luas dari maurus (Zahrah, 2005: 150). Hal ini juga ditegaskan oleh pendapat Emariani, SH yaitu sebelum harta peninggalan dibagikan kepada ahli waris, terlebih dahulu harus dikeluarkan hak-hak yang berhubungan dengan harta peninggalan si pewaris barulah harta tersebut berbentuk harta warisan. Dari pendapat diatas terdapat kejanggalan dari kata hak-hak yang harus dikeluarkan terlebih dahulu, dalam hal ini analisis yang didapatkan penulis adalah kata hak disini bukanlah hak yang dimiliki oleh pewaris tapi hak yang dimiliki oleh orang lain, misal pewaris mempunyai hutang ke A, disini maksud dari hak-hak (hak A) yang harus dikeluarkan terlebih dahulu dengan kata lain harus dilunasi hutangnya terlebih dahulu baru dibagi kepada ahli waris.

  KHI yang merupakan intisari dari berbagai pendapat para ahli, memberi kesimpulan terhadap definisi tirkah atau harta peninggalan yang dituangkan ke dalam Pasal 171 huruf d KHI:

  

"Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris

baik yang berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun hak-

haknya."

  Dari definisi diatas dapat dilihat yang menjadi harta peninggalan adalah seluruh harta yang ditinggalkan pewaris baik harta yang sudah menjadi hak milik maupun harta dalam bentuk hutang maupun piutang. Sedangkan tentang harta warisan dijelaskan pada Pasal 171 huruf e KHI;

  

"Harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta

bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit

sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz),

pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat."

  Berdasarkan penjelasan diatas terdapat beberapa point yang perlu dijelaskan, dilihat dari pola bahasa penulisannya pengertian harta waris dalam KHI diperuntukan bagi pewaris yang status perkawinannya adalah kawin. Hal ini dapat dilihat dari point

  

“bagian dari harta bersama”, menurut penulis harta bersama ada