HUKUM TRANSENDENTAL; ARGUMENTASI HUKUM MENGGUNAKAN NORMA-NORMA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI PURWOREJO - Test Repository

HUKUM TRANSENDENTAL;

  

ARGUMENTASI HUKUM MENGGUNAKAN NORMA-NORMA AGAMA

DI PENGADILAN NEGERI PURWOREJO

Penulis

  

Drs. Badwan, M.Ag

Farkhani, S.HI., S.H., M.H

KATA PENGANTAR

  Segala puji bagi Allah swt dan shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Nabi Muhammad saw, keluarga, sahabat dan pengikutnya sampai akhir zaman.

  Kajian keilmuan di bidang hukum, berjalan dan beriring dengan perkembangan keilmuan secara umum dalam dunia global. Ia bergerak mengikuti siklus pergerakan keilmuan secara umum, ada saat dimana ia muncul, berkembang dan tegak di atas permukaan keilmuan, terkadang pula tertutupi oleh tren kemajuan dan perkembangan keilmuan dalam sektor lain. Dalam keilmuan hukum berlaku pula falsifikasi, dekontruksi maupun rekonstruksi dan bahkan pula ia berkutat dalam satu tren kemudian bergerak secara evolutif menuju kejenuhan terhadap tren yang dianggapnya sudah tidak lagi kompatibel terhadap kebutuhan dan pergeseran kehidupan masyarakat.

  Di Indonesia, proses seperti ini terasa pula dalam perkembangan pewacanaan ilmu hukum. Positivisme hukum yang pernah jaya dan diagungkan mulai dikritisi karena berbagai kegagapan dan kegagalan dalam mewujudkan cita-cita hukum. Berdasarkan pada argumentasi ini, ditopang semakin goyahnya positivisme menuju post positivisme (bermula dari gerakan modernisme menuju post modernisme) serta keinginan untuk mengkaji pada apa yang disebut hukum yang berkeindonesiaan, muncullah berbagai macam tawaran wacana atau pradigma keilmuan dalam ilmu hukum, sebut saja hukum progresif, hukum non-sistemik, hukum profetik, hukum ala al-takwil al-ilmi dan hukum transendental.

  Penelitian ini mencoba memperbincang hukum transendental, yakni suatu ajaran hukum yang bersumber pada nilai-nilai suci yang terkandung dalam ragam kitab suci yang ada pada agama-agama dunia (yang diakui di Indonesia) yang selanjutnya diobjektifikasi dalam ranah realitas hukum yang dihadapi, yang diharapkan menghasilkan satu produk hukum yang bernilai ilahiyah sekaligus kompatibel bagi perkembangan kehidupan manusia, yang sudah barang tentu, salah satu hasilnya tercermin dalam ragam argumentasi hukum yang dilakukan oleh para pembelajar hukum, termasuk hakim-hakim pada sistem peradilan yang berlaku di Indonesia.

  Oleh karenanya dalam buku ini, kajian-kajian yang ada didalamnya adalah berkenaan dengan apa yang dimaksud dengan hukum transendental dan bagaimana mula perbincangan hukum transendental ini terlacak. Kemudian bagaimana aplikasi dan prospek hukum transendatal itu dalam ranah realitas hukum, salah satunya dipergunakan dalam argumentasi hukum yang biasa dipakai oleh hakim dalam memutuskan sebuah perkara. Untuk melihat perbincangan tersebut, secara spesifik, buku ini mengkaji salah satu Putusan Pengadilan Negeri Purworejo (Putusan Nomor: 61/Pid.B/2011/PN.Pwr). Dari sana, kita dapat melihat bagaimana pradigma berfikir hakim yang mencoba menerapkan hukum transendental dalam putusan pengadilannya.

  Akhirnya, penulis bersyukur kepada Allah Swt yang memberikan kekuatan untuk menyelesaikan buku kecil ini, selanjutnya selaku penulis mengharap adanya koreksi dari berbagai pihak terutama para pembaca yang insya Allah akan kami jadikan sebagai bahan revisi buku pada kesempatan yang akan datang. Selamat membaca dan terima kasih.

  Penulis Drs. Badwan, M.Ag Farkhani, S.HI., S.H., M.H

  

DAFTAR ISI

  KATA PENGANTAR ……………………………………………………… DAFTAR ISI ..……………………………………………………………

  BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………… A. Gerak dan Arah Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia... B. Norma Agama Sebagai Sumber Hukum Transendenta..........

BAB II HUKUM TRANSENDENTAL DAN ARGUMENTASI HUKUM

DALAM PUTUSAN HAKIM ....................................

  …… A.

  Hukum Transendental ........................ …………………….......

  B.

  Akaar Diskursus Hukum Transendental …………………………..

  C.

  Argumentasi Hakim dalam Putusan Hakim ...................................

  D.

  Implementasi Hukum Transendental Sebagai Argumentasi Hukum dalam Putusan Hakim ................................................................

  BAB III KABUPATEN PURWOREJO DAN PENGADILAN NEGERI PURWOREJO .............................................................................. A. Sekilas Kabupaten Purworejo .......................................................... B. Pengadilan Negeri Purworejo .......................................................... BAB IV PARADIGMA BERFIKIR HUKUM HAKIM PENGADILAN NEGERI PURWOREJO DALAM PUTUSAN NOMOR: 61/Pid.B/2011/PN.Pwr.................................................................... A. Paradigma Berfikir Hukum ............................................................ B. Analisis Paradigma Berfikir Hukum Hakim Pengadilan Negeri Purworejo dalam Putusan Nomor 61/Pid.B/2011/PN.Pwr...... DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………

BAB I PENDAHULUAN A. Gerak dan Arah Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia Gerak dan wacana hukum, dalam perkembangannya terus

  mengalami perubahan dan pergeseran. Bermula dari kajian tentang filsafat alam yang berkembang pada zaman Yunani Kuno, kemudian dengan kehadiran Socrates, Plato dan Aristoteles filsafat yang semula hanya memperbincangkan perdebatan diseputar penciptaan alam kemudian bergeser pada problem keseharian hidup manusia atau situasi manusiawi (Otje Salman S, 2012: 2). Pada masa ini, alam dimana manusia itu tinggal dianggap sebagai suatu kekuasaan yang mengancam manusia. Oleh karenanya perlu ada orang yang mampu menghadapi alam sebagai sesuatu yang penuh misteri dan sakral itu dan sebab manusia itu juga hidup dalam alam, maka manusia pun dianggap sesuatu yang mengandung misteri juga (Theo Huijber, 1982: 19).

  Socrates, Plato dan Aristoteles mencoba merubah paradigma masyarakakat Yunani Kuno yang religio primitif, menjadi lebih realitis dan rasionalis dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang tujuan hidup. Ajaran yang dibawakan oleh tiga filosof guru dan murid jelas merubah alam pemikiran manusia yang sebelumnya bahwa kehidupan itu berjalan sebagai suatu keharusan alamiah saja menjadi lebih manusiawi. Bermula dari pemikiran mereka, lalu muncul pemikiran tentang hukum. Sebab pemikiran awal yang muncul adalah tentang filsafat alam, maka aliran hukum yang pertama muncul adalah aliran filsafat hukum alam, kemudian seiring perkembangan zaman muncul aliran-aliran hukum lainnya seperti positifisme, utulitarianisme, aliran hukum wahyu dan lain-lain. Diantara aliran-aliran itu ada dominasi dalam penerapan hukum ada pula yang berhenti dalam tataran makna dan hanya berlaku dalam kurun waktu yang pendek kemudian berhenti dalam diskursus ilmu pengetahuan hukum.

  Dari banyaknya aliran pemikiran hukum pada masa klasik sampai pada post modernisme, Stanley L. Poulsen dan Shidarta membaginya dalam dua model aliran hukum yang pembagian tersebut berangkat dari pola hubungan antara hukum, fakta dan moral; pertama hukum yang menyatu dengan fakta (reductive thesis) dan terpisah dari fakta (normativity

  

thesis ). Kedua, hukum menyatu dengan moral (morality thesis) dan terpisah

  dari moral (separability thesis). Dari pola ini Poulsen tidak merinci pada banyak aliran-aliran pemikiran dalam hukum, ia hanya melampirkan tiga aliran pemikiran hukum, yaitu; aliran hukum kodrat (natural law theory), aliran legisme hukum ala Kelsenian ( Klesen’s pure theory of law) dan aliran realisme hukum (empirico-positivist theory of law) (Shidarta dalam Absori dkk, 2017: 4).

  Pada masa dasa warsa terakhir, muncul ragam tawaran pemikiran hukum baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Di dalam negeri muncul aliran hukum progresif yang diinisiasi oleh begawan hukum dari Universitas Dipenogoro Semarang, Satjipto Raharjo, hukum non sistemik yang dipelopori oleh Anthon F. Susanto seorang dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung, di Univesitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta muncul ide penafsiran hukum al- ta’wil al-ilmi yang berawal dari model pembacaan teks dengan model bayani, burhani dan irfani-nya Syed Hossein Naser, di Univeritas Muhammadiyah Surakarta dan Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta muncul ide hukum profetik. Ilmu Hukum Profetik yang digaungkan di UII Yogyakarta belum memiliki arah pemikiran yang jelas, sementara Ilmu Hukum Profetik yang dikembangkan di UM Surakarta, oleh Kelik Wardiono dikembangkan dengan meminjam pola pemikiran Ilmu Sosial Profetik yang dikenalkan oleh Kuntowijoyo (Absori dkk, 2015, dan Kelik Wardiono, 2016) dan akhir-akhir ini Universitas Muhammadiyah Surakarta sedang gencar menyebarkan wacana hukum transendental. Istilah wacana hukum langitan juga pernah dilontarkan oleh Anthon F. Susanto yang ditulisnya dalam sebuah buku kecil yang dikhususkan untuk mengkritisi wacana hukum profetik yang kedua buku tersebut dilaunching pada acara Konferensi Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia (AFHI) ke-5 di Universitas Muhammadiyah Surakarta (Anthon F. Susanto, 2015). Terakhir adalah istilah hukum langit dari prosiding disertasi Muhyar Fanani (2008) yang menjelaskan upaya nasionalisasi hukum Islam dan Islamisasi hukum nasional.

  Munculnya wacana pemikiran hukum yang beyond postmodernisme di Indonesia itu tidak lain adalah bermula pada kegagalan legal positifisme hukum dalam memecahkan persoalan- persoalan kontemporer hukum yang sesungguhnya tidak an sich membutuhkan kepastian hukum dan legalitas atas segala perbuatan hukum, baik yang bersifat onrechtsmatigedaad maupun yang

  

zaakwarneming . Kasus-kasus seperti pencurian biji kakao oleh nenek

  Minah, semangka afkiran oleh Kholil dan Basar, sandal jempit oleh pelajar SMK di Palu, kayu bakar oleh nenek Asyani, pisang batu oleh kakek Klijo Sumarto, minyak kayu putih oleh nenek Hasnah, piring oleh nenek Rasminah, penebang pohon Mangrove oleh Busri dan beberapa kasus semisal lainnya berbanding terbalik oleh kasus pembakaran hektaran hutan di Riau, dan korupsi menjadi bukti nyata ketidakmampuan positifisme hukum dalam menciptakan tujuan hukum diantara keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.

  Mengubah arah pemikiran hukum dari para penegak hukum di Indonesia bukan urusan semudah membelah pisang. Penancapan alur fikir legal positifisme sangat panjang, dimana awal masa munculnya pemikiran hukum legal formalisme pada tahun 1650 M, Belanda melalui

  VOC-nya dan pemerintahan kolonialnya telah menancapkan kuku imperialisme besarta tatanan nilai-nilai (norma dan teori) hukum, hingga masa akhir kejayaan paham teori ini (awal abad 19) Belanda masih tetap bercokol di Bumi Indonesia. Masa tanam dan internalisasi norma dan produk hukum kolonial yang positifistik ini jelas telah mengurat akar, dan sangat sulit dihilangkan dalam sejarah perkembangan hukum di Indonesia, maka dapat saja dipahami mengapa hakim-hakim itu mayoritas terkungkung dan nyaman terjebak dalam lingkaran legal formalistik yang positifitik, rasionalistik dan empiristik (Farkhani dan Evi Aryani, 2016: 31).

  Legal formalistik yang positifistik, seusungguhnya tidak begitu buruk bilamana konsistensi dalam menjalankan hukum untuk keadilan dan kepastian hukumnya diterapkan secara adil kepada siapapun, prinsip atau azas equal before the law dipegangi dengan teguh oleh seluruh penegak hukum.

  Ketidakkonsistenan yang selama ini diperlihatkan membuat pesimistis terhadap sistem hukum dan peradilan selama ini. Realitas yang kasat mata mempertontonkan para penegak hukum menjadi sangat cekatan, tegas dan mantap memproses hukum pada para terdakwa dari kalangan masyarakat kaum proletar, membunyikan peraturan perundang-undangan dan sedikit berkreasi bila kasusnya di publish dan di

  

blow up oleh berbagai media massa, baik cetak dan elektronik dan diikuti

  oleh aksi demontrasi dari kalangan mahasiswa, lembaga swadaya masyarakat dan aksi solidaritas lainnya. Sementara pada kasus-kasus yang melibatkan politisi, birokrat, selebriti, penguasa dan pemilik modal, kebenaran dan keadilan hukum diperdagangkan (Farkhani dan Evi Aryani, 2016: 32). Equality before the law hanya menjadi mimpi buruk bagi para pencari keadilan hukum dari masyarakat proletar.

  Zaman terus bergerak dan berubah, ilmu pengetahuan terus dikembangkan, kesenjangan antara idealita dan kehidupan praksis terus didekatkan dalam semua sisi kehidpan manusia, termasuk dalam hal pemikiran ilmu hukum dan penerapannya dalam kasus perkasus. Para hakim sebagai benteng terakhir penegakan hukum, mulai ada yang berani membuka diri, menggali ilmu, nilai dan norma yang dapat dipedomani sebagai sumber hukum. Norma adat, norma kesopanan, norma kesusilaan dan norma agama mulai lebih sering dilirik, dijadikan bahan hukum guna tercapainya keadilan hukum sedekat mungkin dengan keadilan yang sesungguhnya.

  Terkhusus dengan norma agama, hakim yang hidup dalam negara Indonesia yang berke-Tuhan-an Yang Maha Esa dan dalam setiap irah- irah putusannya tercantum “Demi Keadilan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, menjadikan hakim sebagai “wakil” Tuhan di muka bumi untuk penegakan keadilan bagi seluruh manusia. Artinya bahwa setiap putusan yang hakim keluarkan harus benar-benar dapat dipastikan bahwa putusannya itu dapat dipertangungjawabkan dihadapan Tuhan Yang Maha Esa.

  Dalam sejarah putusan pengadilan di Indonesia, sunguh telah ada hakim yang memiliki pemikiran bahwa hakim adalah “wakil” Tuhan. Nama Bismar Siregar (dalam posisi sebagai judex facti) menjadi rujukan utama sebagai salah satu hakim yang paling sering menggunakan argumentasi yang berlandaskan norma-norma agama dalam setiap putusannya. Beliau menjadi hakim yang paling berani melawan aras hukum yang menjadi ideologi hukum para hakim pada umumnya. Norma-norma agama, terutama ajaran dalam al-Quran dan Injil sering kali beliau jadikan sebagai argumentasi untuk jatuhnya putusan dalam akhir sebuah persidangan. Hal ini menunjukan bahwa norma hukum transendental dapat pula dijadikan sebagai bahan pertimbangan sebagai argumentasi hukum dalam putusan pengadilan, dan sangat mungkin ada peluang untuk menjadikannya sebagai norma hukum nasional.

  Setelah era Bismar Siregar, sulit didapatkan hakim yang menggunakan norma agama menjadi salah satu argumentasi dalam memutuskan perkara dalam persidangan, bukan berarti tidak ada. Akhir- akhir ini muncul putusan hukum yang semisal dengan apa yang pernah dilakukan oleh Bismar Siregar. Dalam sebuah persidangan pada perkara pembunuhan berencana di Pengadilan Negeri Purworejo, majlis hakim yang diketuai oleh Purnawan Narsongko, S.H., dengan hakim anggota Alex. TMH. Pasaribu, S.H. dan Mardiana Sari, S.H., M.H., menggunakan norma-norma agama sebagai salah satu argumentasi pemberian hukuman pada terdakwa Adriawan bin Subarjo.

  Penelitian ini mencoba untuk mengkaji putusan hukum hakim Pengadilan Negeri Purworejo dalam menggunakan norma agama sebagai argumen hukum untuk pemberian hukuman pada terdakwa, dan bertolak dari persoalan ini juga akankah semakin terbuka dan berani para penegak hukum untuk menggunakan norma hukum transendental sebagai norma hukum yang keberlakuannya diakui secara terbuka dan menasional.

B. Norma Agama Sebagai Sumber Hukum Transendental

  Ilmu modern yang bercorak rasional positifistik dianggap bukan segala-galanya, sebab alam kehidupan manusia tidak melulu yang bersifat wadag dan dapat ditangkap oleh rasio manusia yang memiliki keterbatasan. Rasionalisasi yang dipegangteguhi oleh positifisme jelas akan sangat terbata-bata untuk memperbincangkan segala hal yang bersifat batiniyah. Sebab positifisme erat terkait dengan tangkapan indrawi dan bukti empirik. Akal manusia dijadikan sebagai alat ukur terhadap suatu problem dengan jawaban pasti; logis dan tidak logis.

  Menurut Absori (dalam Absori dkk, 2017: 14-15), pemikiran transendental berkaitan dengan pemahaman yang menempatkan ilmu pada jangkauan yang lebih luas melampaui batas-batas normatif kaidah ilmu yang bersifat rasional. Binkai ilmunya bersifat metafisik, supranatural dan sering kali irasional. Immanuel Kant memaknai transendental sebagai sebuah pemahaman yang melampaui batas-batas pengalaman. Menurut kaum Skolastik, transendental dipahami bersifat superkategoris, yakni mencakup segala hal yang lebih luas dari kategorisasi tradisional, baik dalam bentuk, potensi dan aksi. Transendental mampu mengungkap ciri universal dan adiindrawi dari yang ada yang ditangkap melalui intuisi yang melampaui pengalaman apapun. Transendental menunjukkan eksistensi melalui akumulasi kegiatan berfikir, kesadaran dan dunia (Lorens Bagus, 1996: 1118-1122).

  Roger Garaudy, memaknai transendental dalam tiga perspektif; pertama, pengakuan ketergantungan manusia kepada Sang Pencipta, kedua, pengakuan terhadap kontinuitas dan ukuran bersama antar Tuhan dan manusia dan ketiga, mengakui keunggulan norma-norma mutlak yang melampaui akal manusia (M. Fahmi, 2005: 97). Dari pemahaman ini semua, diyakini bahwa agama, spiritual, etika dan moral sebagai bagian dari transendensi dalam kehidupan manusia.

  Agama (penuh muatan transendensi) diyakini sebagai suatu sistem nilai dan ajaran memiliki fungsi yang jelas dan pasti untuk pengembangan kehidupan umat manusia yang lebih beradab dan sejahtera. Dalam perspektif ajaran dan sejarah, agama apa pun turun ke dunia untuk memperbaiki moralitas manusia, dari kebiadaban menuju manusia bermoral. Di dalam agama terdapat nilai-nilai transenden berupa iman, kepercayaan kepada Tuhan, serangkaian ibadah ritual dan petunjuk kehidupan manusia sebagai manifetasi kepercayaan dan kepatuhan kepada Sang Pencipta. Menurut Abd A’la (dalam Adi Sulistyono, 2008: 2), transendensi agama bersifat fungsional, bukan sekadar untuk kehidupan akhirat yang bersifat ekskatologis murni dan terpisah dari kehidupan sekarang. Namun hal itu juga berfungsi praktis dan applicable untuk kehidupan dunia.

  Agama sebagai petunjuk hidup yang didalammnya tertera banyak norma, termasuk norma yang bermuatan hukum, dapat dijadikan sebagai sumber hukum dan dapat pula dijadikan sebagai argumen hukum dalam mempertimbangan pemberian hukuman bagi pelanggar hukum. Bermula dari pemahaman ini kemudian muncul istilah hukum transendental yang sedang dikembangwacanakan oleh para sarjana hukum di Universitas Muhammadiyah Surakarta. Konsep hukum transendental tercipta setelah mengelaborasi; (1) berbagai pemahaman dari para sarjana tentang transendental, (2) introdusir Spiritual Intellegence-nya Danar Zohar dan Ian Marshall yang diyakininya sebagai The Ultimate Intellegence, (3) konsep Emotional Spiritual Quotient-nya Ari Ginanjar Agustian dan (4) konsep hukum yang membahagiakannya Satjipto Rahardjo diperolehlah pemahaman bahwa yang dimaksud dengan hukum transendental adalah hukum yang mendasarkan pada nilai dan norma luhur agama, spiritual, etik dan moral untuk mengatur perilaku tutur dan tingkah laku masyarakat hukum agar tercipta kehidupan yang harmoni, mensejahterakan dan membahagiakan lahir dan batin. Hukum transendental juga tidak hanya menghendaki konten hukumnya tetapi juga pada sikap para penegak hukumnya yang menginternalisasi nilai- nilai transendensi.

  Argumentasi hukum sifatnya wajib bagi hakim dalam setiap pemberian hukuman kepada pelanggar hukum. Keberadaannya di pastikan ada pada setiap putusan pengadilan pada saat mengakhiri persidangan. Dalam Terminologi Hukum (Rahuhandoko, 1996: 67), istilah

  

‘argument’ diartikan sebagai berusaha mempercayakan orang lain dengan mengajukan alasan-alasan. Dalam Kamus Filasafat (Rakhmad, 1995: 22- 23), ‘argument’ dari bahasa Latin ‘arguere’ yang berarti menjelaskan alasan- alasan (bukti) yang ditawarkan untuk mendukung atau menyangkal sesuatu. Adapun hukum secara ringkas diartikan sebagai aturan. Sehingga dapat dimakna bahwa yang dimaksud dengan argumentasi hukum adalah alasan-alasan yang dianggap logis yang memuat norma- norma hukum yang bertujuan meyakinkan pihak lain atas alasan yang dikemukakan. Argumentasi hukum yang biasa dijadikan pertimbangan pemberian putusan bagi hakim meliputi unsur-unsur legal justice, moral justice dan social justice.

  Aspek-aspek yang termasuk dalam moral justice adalah falsafah humanisme, psikologi, pendidikan dan agama. Aspek (norma) agama sangat jarang diungkap secara tegas dalam putusan-putusan hakim pengadilan, terkhusus pengadilan negeri dan lebih khusus pada kasus pidana.

BAB II HUKUM TRANSENDENTAL DAN ARGUMENTASI HUKUM DALAM PUTUSAN HAKIM A. Hukum Transendental Kebebasan beragama (religious freedom) menjadi salah satu bagian

  terpenting dalam kluster hak asasi manusia. Dalam sejarah pembentukan dan perubahan konstitusi di Indonesia, klausul kebebasan beragama tidak pernah hilang, bahkan mengalami penguatan dari waktu ke waktu dan semakin diperhatikan keberadaannya. Sebab sangat urgennya hak kebebasan beragama (religious freedom) dimasukan dalam klasifikasi sebagai non-derogable right - hak lainnya; hak atas hidup (freedom to life), hak bebas dari penyiksaan (rights to be free from torture), hak bebas dari perbudakan (rights to be free from slavery), hak bebas dari penahanan karena gagal memenuhi perjanjian (utang), hak bebas dari pemidanaan yang berlaku surut, hak atas kebebasan berfikir, keyakinan dan agama-, artinya hak kebebasan beragama adalah hak yang tidak boleh dikurangi dalam kondisi apapun (bencana, darurat ataupun perang) (Ifdhal Kasim, 2001: xii-xiii). Hak non-derogable right ini juga secara tegas tertuang dalam UUD 1945 pasal 28 huruf I ayat 1.

  Kebebasan beragama (religious freedom) tidak boleh dikurangi, hanya diperbolehkan dilakukan pembatasan dengan alasan-alasan yang dibenarkan dan berdasarkan pada peraturan perundang-undangan. Adapun keterangan yang dimaksud dengan pembatasan adalah sebagiamana terangkum dalam;

  1. Konvensi internasional hak sipil dan politik yan telah diratifikasi melalui Undang-Undang No. 12 tahun 2005 dalam pasal 18 ayat 3 yang berbunyi; “kebebasan untuk menjalankan agama atau

  kepercayaannya seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan hukum, yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat atau hak dan kebebasan mendasar orang lain”.

  2. Deklarasi hak asasi manusia PBB (DUHAM) terangkum dalam

  

  pasal 29 ayat 2; dalam menjalankan hak-hak dan kebebasan-

  kebebasannya, setiap orang harus tunduk hanya pada pembatasan- pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang yang tujuannya semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan yang tepat terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil dalam hal kesusilaan, ketertiban dan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis ”.

  3. Deklarasi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Berdasarkan Agama dan Kepercayaan (Declaration on the

  Elimination of All Forms of Intolerance and of Discrimination Based on Religion and Belief) tahun 1981, pada pasal 1 Ayat 3; “Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keamanan pribadi”.

  4. Konvensi Hak-Hak Anak Persyarikatan Bangsa-Bangsa (Convention

  on the Rights of the Child ), terdapat dalam pasal 14 ayat 3; “kebebasan untuk menyatakan agama seseorang atau kepercayaan seseorang, dapat tunduk hanya pada pembatasan-pembatasan seperti yang ditentukan oleh undang-undang dan yang diperlukan untuk melindungi keselamatan umum, ketertiban umum, kesehatan atau kesusilaan atau hak-hak atau kebebasan- kebebasan dasar orang lain”.

  Komponen-komponen yang menjadi pembatasan dari hak kebebasan beragama yang tercantum dalam berbagai konvensi dan deklarasi internasional itu, kemudian dijadikan bahan untuk menyusun

  pasal 28 huruf j UUD 1945; (1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi

  

manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan

bernegara.(2) Dalam menjalankan dan melindungi hak asasi dan kebebasannya,

  

setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-

undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta

penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan

yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan

ketetiban umum.

  Berkenaan dengan hal tersebut, ada perdebatan yang cukup menarik antar hakim Mahkamah Konstitusi dalam Putusan MK No. 140/PUU-VII/2009 berkenaan dengan penodaan agama, yang berpusat pada dua titik pemahaman dalam memahami kebebasan beragama dalam secara forum internum (sikap batiniyah) dan forum eksternum (sikap lahiriyah) (Suparman Marzuki, 2013: 200-203).

  Berkaitan dengan persolan ini, mendasarkan pada UUD 1945 pasal 28 huruf I ayat 1, sangat mungkin melahirkan kebebasan berfikir dan berpendapat yang berdasarkan pada pemahaman atas keyakinan agama seseorang. Oleh karena tidak dapat disangkal bila kemudian ditemukan pemikiran-pemikiran dari para cerdik cendikia yang berkompeten di bidangnya masing-masing, ada kalanya mengikutsertakan pemahaman atau keilmuan yang berkaitan dengan agama pada persoalan yang sedang diperbincangkan atau bahkan menjadi landasan argumentasi dalam pandangan-pandangannya, baik secara tertulis maupun lisan.

  Dalam ranah hukum, penyampaian argumentasi atau pendapat pribadi yang dikaitkan pada persoalan hukum yang sedang dihadapi bisa saja terjadi; apakah berasal dari para pihak yang bersengketa, terdakwa, kuasa hukum, penuntut umum bahkan dari hakim itu sendiri dalam pertanyaan-pertanyaan di persidangan sampai pada argumentasi hukum dalam putusannya.

  Argumentasi yang mendasarkan pada hak kebebasan beragama termasuk didalamnya menggunakan diktum-diktum ajaran agama dalam kehidupan, biasa digunakan dengan istilah norma agama. Norma agama adalah norma luhur dan adi luhung, atau ia adalah norma yang melampaui batas-batas rasionalitas (rasionalisme) yang didukung oleh kemampuan daya tangkap dan daya tampung panca indera manusia (empirisme). Selanjutnya nilai atau norma tersebut dikenal dengan istilah transendental.

  Pengenalan istilah transendental sejatinya telah lama, yakni suatu pola pemikiran yang terlahir dari phythagorianisme yang mempengaruhi pemikiran Plato dan para pengikutnya serta kaum Neoplatonis, dan terus diperbincangkan dalam zaman Skolastik serta beberapa sarjana mewacanakannya sebagai anti tesis dari wacana yang telah popoler dan berkembang sebelumnya. Diantara tokoh yang mengangkat tesis ini adalah Immanuel Kant.

  Tesis Kant (trancendental philosophy) tentang hal ini bermula dari perdebatan antara paham rasionalisme dan empirisme, khususnya rasionalisme G.W. Leibniz (1646-1716), dan empirisme David Hume (1711- 1776). Kritik Kant berkenaan dua paham yang saling beroposisi melahir kan satu tesis baru yang “melampaui” batas-batas paradigma yang dipergunakan oleh dua paham tersebut. Kant tidak terpuaskan oleh argumentasi-argumentasi yang digunakan oleh rasionalisme yang lebih mengandalkan pada hasil pemikiran rasio semata. Ia menentang jargon yang diusung oleh Rene Descrtates “cogito erga sum” (saya berfikir maka saya ada”. Pemikiran Descrates ini seolah-olah tidak ada jalan pemikiran dan keilmuan kecuali dengan cara mengeksploitasi kemampuan pikir manusia. Ketidaksetuajuan Kant terhadap empirisme juga terlihat nyata, ia tidak sepakat atau tidak terpuaskan dengan argumentasi kaum empirisme yang menyatakan bahwa satu satunya sumber pengetahuan adalah pengalaman inderawi, atau dengan kata lain bahwa sesuatu dapat dikatakan ilmu kebenaran yang dipancarkan dari ilmu itu dapat ditangkap dan dibuktikan secara nyata oleh indera manusia.

  Kritik Immanuel Kant terhadap rasionalisme dan empirisme ini sebab keduanya tidak mampu atau mengeluarkan segala sesuatu atau pengetahuan yang berasal dari sumber yang berada di luar rasia dan inderawi, misalkan memperbincangkan tentang Tuhan dan jiwa (ruh). Pemikiran Kant yang berkecenderungan bersifat metafisis memang mengalami pertentang-pertentangan dalam zamannya, namun pemikirannya sampai saat ini tidak hilang bahkan menjadi jalan lain (alternatif) atas kebuntuan-kebuntuan dari ilmu yang terpapar rasionalisme dan empirisme. Transendentalisme menjadi tren baru di fase post modernisme.

  Begitu pula dalam ranah hukum, kejenuhan terhadap ragam produk dan pemikiran hukum yang bersifat rasional dan empiri mulai diragukan karena ketidakmampuannya untuk melahirkan keadilan dan rasa keadilan masyarakat yang menjadi subyek dari hukum itu sendiri. Hukum yang bersifat transendental mulai diangkat sebagai upaya lain untuk menerobos kekakuan-kekakuan hukum yang selama ini menjadi persoalan pelik dan selalu debatable, terutama dalam ranah law enforcment dari produk-produk hukum yang lebih mengunggulkan kepastian hukum.

  Transendental, dalam bahasa Inggris

  ‘transcendent’, berasal dari

  bahasa Latin ‘trancender’. Trans bermakna seberang, atas, melampaui dan

  

scender bermakna memanjat. Dari arti bahasa ini, muncul beberapa

  pengertian tentang makna istilah dari transendental; 1) sesuatu yang lebih tinggi, unggul, agung, melampaui, superlatif, 2) melampaui apa yang dalam pengalaman, 3) berhubungan dengan apa yang selamanya melampaui pemahaman terhadap pengalaman biasa dan penjelasan ilmiah, 4) tidak tergantung dan sendiri.

  Dari penjelasan awal muncul wacana transendentalia pada abad pertengahan, dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan transendental adalah sesuatu yang berada di luar batas kemampuan dan pengalaman-pengalaman yang berawal dari eksploitasi ruang rasio dan inderawi manusia, ia adalah sesuatu yang tinggi, agung, suci, dan unggul, metafisis dan sangat mungkin bersifat ilahiyah.

  Bila pengertian ini diterapkan pada ranah hukum, disebut sebagai hukum transendantal, secara sederhana adalah hukum yang tidak hanya terpaku pada produk-produk hukum yang argumentasi dan tafsirnya yang terpancang pada segala apa yang dapat ditangkap oleh logika hukum yang rasionalistik empiristik, tetapi melampaui batas-batas itu yang bersifat metafisis dan ilahiyah. Sebab dalam ranah hukum, produk hukum akan selalu terkait dengan sumber hukumnya dan idea of law, maka jalur yang paling singkat dan mudah untuk menemukan dan memahaminya adalah dalam norma-norma agama yang tersimpan rapih dalam diktum-diktum ajaran agama dalam masing-masing kitab suci agama. Selanjutnya lebih mudah menyebutnya sebagai norma dan/atau nilai agama. Singkatnya hukum transendental adalah objektifikasi norma dan/atau nilai agama menjadi hukum bagi manusia.

  Jujur diakui bahwa wacana ini belum begitu populer dalam perkembangan ilmu hukum, tetapi telah ada dan mulai dilirik dalam berbagai kesempatan dalam ranah hukum terutama pada aspek argumentasi hukum dan ada pula produk-produk hukum di Indonesia.

B. Akar Diskursus Hukum Transendental

  Diskursus mengenai hukum dan aliran hukum terus melaju dan berkembang, dimulai ketika para filsuf memperbincangkan manusia dan alam. Oleh karenanya pemikiran yang lahir pada masa awal –yang diyakini sebagai- lahirnya filsafat adalah berkaitan dengan manusia, jiwa, alam raya dalam satu lingkaran makro kosmos.

  Para ilmuan mengatakan bahwa orang yang pertama kali memperbincangankan manusia dengan segala yang terkait dengan kehidupannya adalah Socrates. Dia-lah yang mengangkat tema manusia dengan segala seginya, termasuk bagaimana seharusnya manusia berperilaku pada diri dan alam sekitarnya. Berperilaku disini bermakna seharusnya manusia memposisikan diri sebagai organ makro kosmos untuk tunduk pada aturan-aturan alamiah. Pemikiran utama Socrates ini kemudian diperbincangkan dalam berbagai perspektif dan dari sini pula diyakini perbincangan tentang filsafat hukum termasuk kategorisasi aliran-aliran pemikiran hukum mulai berkembang. Pemikiran awal tentang hukum ini kemudian masuk dalam kategori aliran pemikiran hukum alam atau filsafat hukum alam.

  Masa berikutnya adalah masa Plato. Plato adalah murid Socrates, maka tidak heran bila pandangan filsafatnya (filsafat hukum) banyak dipengaruhi oleh pemikiran Socrates. Tetapi perlu diketahui pula bahwa Plato mengenal filsafat tidak hanya dari Socrates, ia juga belajar pada filsuf-filsuf yang disebut sebagai filsuf pra sokratik, diantaranya Kratylos dan Heraklietos. Plato juga belajar dari kaum Sofis, walaupun banyak bertentangan dengan konsep relativisme moral kaum Sofis.

  Dari hasil belajarnya, Plato memiliki idea filsafatnya sendiri. Ia memulai bahwa apa yang ditangkap oleh indrawi adalah sebuah realitas yang bisa dipertanggungjawabkan. Namun ia juga menyadari bahwa alam inderawi senantiasa berada dalam perubahan, tidak tetap, tidak sempurna, tidak abadi, majemuk dan puspa ragam (J.H. Rapar, 2001: 46). Pemikiran Plato juga menjunjung dunia idea, dimana alam idea seringkali tidak dapat ditangkap oleh alam inderawi. Untuk kepentingan keduanya, perlu ada penghubung antar keduanya, dan Plato menyebutnya “jiwa”, dalam bahasa lain adalah “ruh” (J.H. Rapar, 2001: 47). Dengan demikian, jelas pengaruh Socrates sangat kental dalam pemikiran filsafatnya, yang tidak mau dengan serta merta meninggalkan ajaran gurunya yang beraliran hukum alam. Sedangkan hukum alam menurut Otje Salman (2002: 63) adalah hukum yang normanya berasal dari Tuhan Yang Maha Esa, dari alam semesta dan dari akal budi manusia.

  Berawal dari pemikiran filsafat Plato ini, penulis meyakini sebagai cikal bakal aliran filsafat hukum positif (positifisme, realisme hukum). Statemen ini semakin jelas pemikiran hukum Aristotels yang merupakan murid langsung dari Plato. Otje Salman (2002: 64) menyebut Aristoteles sebagai pemikir hukum yang pertama-tama membedakan antara hukum alam dan hukum positif.

  Perdebatan atau diskursus biner antara hukum alam dan hukum positif terus berlanjut sampai pada masa jauh setelah zaman Yunani kuno, diantaranya Thomas Aquinas dan Hugo Grotius sebagai filsuf hukum yang lebih condong beraliran hukum alam walau dengan bahasan yang lebih rinci dan klasifikasi kategoris yang mendasarkan pada asal sumber pemikiran hukumnya. Aquinas mengatakan bila antara hukum positif dengan hukum alam terjadi pertentangan, maka yang dimenangkan adalah hukum alam. Adapun Grotius mengatakan bahwa hukum alam adalah hukum yang riil dan sama dengan hukum positif (Otje Salman, 2002: 64-65).

  Abad Pertengahan (18-19 M) adalah abad kejayaan pemikiran positifisme –aliran hukum positif. Para penstudi hukum sepakat bahwa pelopor aliran pemikiran hukum ialah John Austin (1790-1859) yang berpendirian bahwa hukum adalah perintah dari penguasa. Hakikat hukum sendiri menurut Austin terletak pada unsur “perintah” (command). Hukum dipandang sebagai suatu sistem atau corpus yang tetap, logis, dan tertutup. Pemikiran itu kemudian berkelindan dengan pemikir yang serupa seperti August Comte (1798-1857) yang berpendapat bahwa perlu adanya kepatian dari hukum untuk mengikuti perkembangan untuk mengatur roh manusia dan segala gejala hidup bersama dan itulah secara mutlak. Comte juga hanya mau mengakui hukum yang dibuat oleh negara.

  Setelah dua tokoh itu, muncul Hans Kelsen (1881-1973) yang mengusung teori hukum murni. Hans Kelsen semakin mempertegas posisi dan kedudukan hukum positif di tengah menguatnya pemikiran dan praktik negara modern.

  Dalam bukunya “The Pure Theory of Law”, ia menyatkan “bahwa hukum itu harus dibersihkan dari anasir-anasir yang tidak yuridis seperti etika, sosiologi, politik, sejarah, dan lain sebagainya”. Selanjutnya menurut Kelsen bahwa orang menaati hukum karena ia merasa wajib untuk menaatinya sebagai suatu kehendak negara. hukum itu tidak lain merupakan suatu kaidah ketertiban yang menghendaki orang menaatinya sebagaimana seharusnya.

  Pada masa ini pergulatan antara hukum yang bersumber pada idea Tuhan, kehendak alam dan akal budi manusia dan moral dengan hukum adalah hukum yang dibuat oleh negara lebih banyak unggul yang terakhir, kecuali pada negara-negara dibelahan Timur, terkhusus negara- negara Islam yang berada dalam kekhilafahan Turki Utsmani. Sampai pada persoalan ini John Gilisem dan Frits Gorle (dalam Anton F. Susanto, 2010: 74) menerangkan bahwa sejarah memperlihatkan hukum berkembang dari apa yang kita kenal sebagai tatanan-tatanan hukum yang primitif menjadi tatanan hukum yang modern. Perkembangan selanjutnya menjadi semakin miris, karena melihat dunia hukum hanya dari teleskop perundang-undangan belaka untuk kemudian menghakimi peristiwa-peristiwa yang terjadi (Khudzaifah Dimyati, 2005: 60).

  Aliran pemikiran hukum yang digjaya pada abad itu tentu saja mempengaruhi alam pemikiran hukum di Indonesia. Sebab pada kurun abad itu Indonesia di jajah oleh beberapa bangsa Eropa yang menggunakan alam pemikiran positivisme (hukum) pada peraturan perundang-undangannya, terutama Belanda. Tentu saja dengan berbagai argumentasi, terutama asas konkordasi, hukum yang mereka miliki diterapkan begitu saja kepada negara jajahannya serta diperkuat dengan pembelajaran ilmu hukum yang mendukung madzhab pemikiran hukum yang berjaya pada masa itu. Baik dengan cara menyediakan sekolah- sekolah hukum bagi pribumi di negara mereka dan/atau mendirikan sekolah hukum di negeri jajahan.

  Sebab perkembangan yang demikian itu, menjadi wajar hal itu juga memperngaruhi alam pemikiran hukum di Indonesia. Oleh sebab itu corak pemikiran hukum para sarjana hukum dan peraturan perundang- undangan yang ada masyoritas bergenre positivisme. Tercermin jelas pada penekanan aspek legalitas, lebih sering mengesamping aspek-aspek moralitas, etika dan agama dalam praktek produksi dan penegakan peraturan perundang-undangan. Sebagai penguat atas statemen dimuka, sebagian kecil kasus yang sempat menjadi tranding topic pada beberapa tahun terakhir tulisan ini dibuat, diantaranya; pencurian minyak angin, pencurian biji kakao, ketumbar, sandal jepit, pisang dan beberapa kasus lainnya dengan skema penanganan yang serupa, siapa yang berbuat salah, ketangkap, pencocokan antara perbuatan dengan paraturan perundangan dan vonis.

  Skema pemidanaan dalam pola positivistik hukum

  Pelanggar Hukum Tangkap Vonis Temukan Peraturannya Hukuman

  Fakta dan skema hukum yang terlihat tersebut menunjukkan bahwa hukum itu tidak lain adalah yang terdapat dalam undang-undang, dan bukan apa yang seharusnya, serta mengabaikan aspek moral, agama dan sosial di masyarakat.

  Selanjutkan sebab berbagai fakta yang terjadi dalam dunia ilmu hukum dan hukum di Indonesia yang sangat terpengaruh oleh positivisme hukum, menjadikan hukum di Indonesia terpenjara dalam

  

teks book peraturan perundang-undangan, mengabaikan terwujudnya cita

  hukum yang hakiki, meninggalkan kekacauan dan ragam problema dalam hukum baik dalam teks maupun implementasinya dalam law

  enforcment .

  Kegagalan positivisme hukum yang demikian massif itu menimbulkan ragam kritik, yang intinya bahwa terjadinya kegagalan hukum dalam memainkan peranan yang sejati adalah akibat penerapan teori positivisme hukum dalam pembangunan hukum.

  Dalam berapa kajian dan kritik yang dilakukan terhadap positivisme hukum, termasuk terhadap penerapan positivisme hukum di Indonesia datang dari para penganut penganut hukum responsif –sintesis dari berbagai aliran hukum, terutama aliran Hukum Alam, Madzhab Sejarah Hukum, Aliran Sociological Jurisprudence, Legal Realisme, maupun Critical Legal Studies movement. Ilmu hukum modern mulai digoyang, di geser ke berbagai lompatan wacana post modernisme yang ingin membebaskan diri pada terkungkungan teks dan rasionalitas empiris dalam berbagai ilmu yang selama ini diagungkan.

  Hukum responsif (Philip Nonet dan Shilzinek) misalnya, menganggap positivisme hukum itu sekedar menempatkan hukum di sebuah ruang hampa, menjadi “aturan mati “sebagaimana yang tertera di dalam kitab-kitab hukum. Positivisme hukum telah menjadikan hukum itu sesuatu yang a sosial, padahal hukum itu diciptakan untuk manusia demi tujuan sosial tertentu. Gerakan Critical Legal Studie, sebagai diyakini oleh para penggeraknya –diantaranya Roberto M. Unger- bahwa produk hukum (perundang-undangan) sangat sarat dengan kepentingan (politik), oleh karenanya setiap produk perundangan-undangan sangat terbuka untuk dicurigai ada muatan kepentingan tertentu yang membuat tujuan dari penciptaan hukum tidak tercapai.

  Anton F Susanto dalam buku Ilmu Hukum Non Sitemik (2010) menolak klaim bahwa hukum berada dalam wilayah rasional-dogmatik dan statis yang dipegang erat oleh positivistik hukum, tetapi merupakan wilayah yang senantiasa mengalami retakan dan rekahan sehingga setiap saat akan muncul tatanan baru yang menggantikan tatanan lama dan usang. Sementara Kelik Wardiono (2016) mencoba memberikan tawaran wacana Hukum Profetik, dimana hukum seharus memperhatikan pula nilai-nilai luhur yang bersifat moralitas tertinggi dan nilai-nilai nubuwat. Walaupun apa yang ditawarkan oleh Kelik itu masih perlu pendalaman atau penegasan apa sesungguhnya hukum profetik itu.

  Paling mutakhir yang sedang dikembangkan dan terus diupayakan penggaliannya adalah wacana hukum transendental. Absori (2016) dan para sarjana hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta sedang gencar menyuarakan aliran baru ini. Sebuah aliran yang berkeinginan mem- breakdown-kan nilai-nilai ajaran ilahiyah yang tertampung dalam ragam kitab suci untuk menjadi solusi atas ketidakberhasilan ragam ilmu hukum yang dikembangkan berdasarkan pada rasio dan meta rasio manusia.

C. Argumentasi Hukum dalam Putusan Hakim

  Dari perkembangan tawaran aliran hukum transendental ini, terus disebarkan kepada para pemegang kepentingan atas tegaknya hukum yang sering kali terlihat semakin tidak menentu arahnya, sering meleset dari rel keadilan dan jauh dari rasa keadilan masyarakat.

  Upaya-upaya untuk pembenahan untuk terciptanya hukum yang ideal terus diupayakan, termasuk merubah mainset para penegak hukum dan menggunakan argumentasi hukum yang sebelumnya sangat terkotak dalam idealita positivisme hukum. Terutama paradigma pemikiran hukum para hakim sebagai benteng keadilan hukum yang terakhir. Putusan-putusan pengadilan yang merupakan hasil karya pemikiran para hakim, selama ini mayoritas didominasi pola pemikiran positivistik. Argumentasinya lebih sering tertuju lebih banyak berlandaskan kitab- kitab hukum (law in book law), sangat jarang mencari argumentasi hukum berdasarkan pada norma-norma lain yang hidup dan diakui dalam sistem hukum di Indonesia.

  Andaipun ada, ujung-ujungnya hukum atau sanksi yang diterapkan kembali lagi pada peraturan perundangan yang sudah ada, sangat jarang yang hasil akhirnya out of the box dari positivisme.

  Berkenaan dengan argumentasi hukum yang dapat saja dipakai oleh siapa saja yang memiliki perkara atau kepentingan yang berkaitan dengan hukum. Argumentasi hukum menjadi wajib untuk dikemukakan agar pihak lain memahami persoalan yang sedang diperbincangkan atau dihadapi.