PENERTIBAN DAN PEMANFAATAN TANAH HAK GUNA USAHA (HGU) Penertiban Dan Pendayagunaan Tanah Hak Guna Usaha (Hgu) Perkebunan Di Jawa Tengah (Studi Analisis Terhadap Tanah Terlantar).

PENERTIBAN DAN PEMANFAATAN
TANAH HAK GUNA USAHA (HGU)
PERKEBUNAN TERLANTAR
DI JAWA TENGAH

NASKAH PUBLIKASI
Diajukan kepada
Program Studi Magister Ilmu Hukum
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Untuk memenuhi salah satu syarat
Guna Memperoleh Gelar Magister Ilmu Hukum

Oleh :
TJAHJO SURJONO SIGIT
NIM: 100070036

PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SURAKARTA

1


2

3

PENERTIBAN DAN PEMANFAATAN
TANAH HAK GUNA USAHA (HGU) PERKEBUNAN TERLANTAR
DI JAWA TENGAH

oleh :
TJAHJO SURJONO SIGIT
Dosen Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Magelang
Abstrak
Penelantaran tanah baik di kota, di desa maupun di lahan pertanian / perkebunan
selain merupakan tindakan yang tidak bijaksana, tidak ekonomis, juga merupakan
pelanggaran terhadap kewajiban yang harus dijalankan para pemegang hak atas
tanah atau pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan tanah. Tujuan
penelitian adalah untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan Peraturan Pemerintah
No.11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar,

kendala-kendala yang ada dan model (penyelesaian masalah) penertiban dan
pendayagunaan tanah terlantar di Jawa Tengah. Subyek penelitian adalah PT.UFI
( Pemegang HGU Perkebunan Kandangan, Kabupaten Semarang), PT. Pawana
(Pemegang HGU Perkebunan Susukan , Kabupaten Kendal), Dinas Perkebunan
Provinsi Jawa Tengah, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Semarang, Kepala
Kantor Pertanahan Kabupaten Kendal, Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan
Nasional Provinsi Jawa Tengah.Metode yang digunakan dalam penelitian adalah
mengenai : jenis penelitian, pendekatan yang digunakan, sumber data, dan teknis
analisa data. Hasil penelitian mengenai pelaksanaan penertiban dan
pendayagunaan tanah terlantar di Jawa Tengah adalah tidak optimal. Kendalakendala dalam pelaksanaan penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar adalah
adanya kontradiksi normatif, perbedaan persepsi tentang pengertian “tanah
terlantar”, adanya pengecualian objek penertiban dan adanya sengketa atau
penjarahan tanah. Model pengaturan untuk menyelesaikan atau mengatasi kendala
tersebut adalah: a. Menetapkan undang-undang no. 18 tahun 2004 sebagai dasar
pelaksanaan penertiban dan pemanfaatan tanah terlantar (supaya tidak terjadi
kontradiksi normatif); b. Mensosialisasikan kepada para pelaksana penertiban
tentang asas-asas hukum dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan pemanfaatan dan penggunaan tanah (supaya tidak terjadi perbedaan
persepsi tentang pengertian “tanah terlantar”) ; c. Merevisi atau mencabut Pasal 3
Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2010 (supaya tidak ada lagi pengecualian

objek penertiban tanah terlantar), dan d. Perlu segera dibentuk Peradilan
Pertanahan untuk mengatasi sengketa pertanahan.
Kata kunci : memanfaatkan tanah terlantar.

4

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah
Penelantaran tanah baik di kota , di desa maupun di lahan pertanian/
perkebunan selain merupakan tindakan yang tidak bijaksana, tidak ekonomis juga
merupakan suatu pelanggaran terhadap kewajiban yang harus dijalankan para
pemegang hak atas tanah atau pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan
tanah.
Penelantaran tanah juga menghambat pencapaian tujuan program
pembangunan, rentannya ketahanan pangan dan ketahanan ekonomi nasional.
Negara memberikan hak atas tanah baik Hak Milik, Hak Guna Usaha,
Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Pengolahan tidak lain untuk dipergunakan,
dimanfaatkan serta dipelihara dengan baik dalam rangka untuk kesejahteraan
masyarakat, bangsa dan negara. Oleh sebab itu penelantaran tanah harus dicegah

dan ditertibkan untuk mengurangi atau menghapus dampak negatif. Dengan
demikian pencegahan, penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar merupakan
langkah dan prasarat penting untuk menjalankan program-program pembangunan
nasional terutama di bidang agraria. Berkenaan dengan usaha perkebunan,
masalah lahan/ tanah sangat erat hubungannya dengan perkembangan perkebunan,
karena perkebunan membutuhkan lahan/ areal tanah yang sangat luas.
Berkaitan dengan Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan bermasalah untuk
wilayah Jawa Tengah, ada beberapa perkebunan yang demikian kurang

5

mengoptimalkan pemanfaatan atau ijin usahanya, sehingga dapat dikategorikan
sebagai tanah HGU-Perkebunan yang diterlantarkan.
Dengan telah diterbitkannya Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2010
tentang penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar, menjadi harapan bila tanah
terlantar yang ada di Indonesia dapat ditertibkan untuk dimanfaatkan dan
didayagunakan untuk kesejahteraan masyarakat, bangsa dan negara. Hal ini sesuai
seperti yang diamanatkan oleh Pasal 33 Ayat (3) Undang Undang Dasar 1945
yang menentukan bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Pengertian “dikuasi” oleh negara tersebut bukan berarti negara memiliki
bumi dan air dan kekayaan alam tersebut di atas, tetapi negara mengatur
peruntukan, penggunaan, pemeliharaan dari persediaan bumi , air dan kekayaan
tersebut untuk kepentingan kemakmuran seluruh rakyat Indonesia (seperti yang
ditentukan dalam Pasal 2 UUPA)
Rumusan Masalah
Dengan adanya masalah tersebut di atas, rumusan masalah adalah bagaimana
pelaksanaan aturan mengenai penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar di
Jawa Tengah, kendala-kendala apa yang ditemui dalam pelaksanakan penertiban.,
serta model/ cara menyelesaikan atau mengatasi kendala-kendala tersebut.
Tujuan
Tujuan

dalam

penelitian

adalah

untuk


mengetahui

bagaimana

pelaksanaan PP No. 11 Tahun 2010 di Jawa Tengah khususnya dan di Indonesia
umumnya

6

Tempat dan Subjek Penelitian
Penelitian mengenai pelaksanaan PP No.11 Tahun 2010 dilakukan di
perkebunan Kandangan Kecamatan Bawen Kabupaten Semarang dan perkebunan
Susukan , Kabupaten Kendal, dengan subyek penelitiannya adalah PT. Sanzibar
atau PT.UFI, PT. Pawana, Kantor Pertanahan Kabupaten Semarang, Kantor
Pertanahan Kabupaten Kendal, Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Tengah, Kantor
Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Jawa Tengah.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam pengumpulan data dengan cara studi
kepustakaan, wawancara dan peninjauan/studi lapangan. Analisis data dilakukan

dengan menghubungkan data lapangan dengan unsur teori atau ketentuan hukum
untuk memperoleh fakta pendukung, fakta penghambat dalam pelaksanaan aturan
penertiban dan pendayagunaan tanah HGU perkebunan terlantar dalam kaitannya
dengan fungsi sosial hak atas tanah, kemudian ditarik kesimpulan yurudisnya
termasuk model pengaturannya.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Pelaksanaan PP No. 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan
Pendayagunaan Tanah Terlantar di Jawa Tengan (khususnya di Kabupaten
Semarang dan Kabupaten Kendal ternyata tidak optimal). Yang menjadi
keprihatinan penulis (peneliti) bahwa hasil identifikasi panitia dapat memperoleh
atau mengungkap data/fakta kondisi riil tanah HGU perkebunan di daerahnya,
tetapi belum dapat dilaksanakan tindakan penertiban karena memang berdasarkan
mekanisme yang ada Kanwil BPN hanya sebatas mengusulkan kepada Kepala

7

BPN RI untuk menetapkan tanah yang bersengketa sebagai tanah terlantar untuk
selanjutnya dilakukan penghapusan hak atas HGU-nya dan tanah HGU tersebut
menjadi dikuasi oleh Negara. Sampai sekarang upaya penertiban tanah terlantar
yang dilakukan belum sampai mencapai adanya kepastian hukum dalam arti

adanya tindakan yuridis berupa penetapan adanya tanah terlantar yang kemudian
itu dipakai sebagai dasar tindakan pembatalan hak atas tanah (HGU) perkebunan
sehingga hak atas tanah menjadi hapus dan dalam kekuasaan Negara. Disamping
adanya pelaksanaan penertiban yang tidak optimal, juga terdapat beberapa
kendala-kendala. Kendala-kendala tersebut akan kami bahas pada berikut ini :
a. Adanya Kontradiksi Normatif (Kendala Yuridis)
Isi materi pengaturan HGU yang diatur dalam peraturan-peraturan yang
ada sudah seimbang secara vertical, tetapi terjadi kekosongan hukum
untuk mengatur secara khusus HGU Perkebunan.
Undang-Undang

No.18

Tahun

2004

tentang

Perkebunan


dalam

pertimbangannya tidak mengacu pada UUPA khususnya pasal-pasal
tentang HGU. Disinilah terdapat kontradiksi antara UUPA dengan
Undang-Undang Perkebunan, seolah-olah antara UUPA dengan UU
Perkebunan terlepas tidak ada hubungan satu sama lain.
Untuk menganalisis keberadaan peraturan perundang-undangan yang
sederajat ini tentu saja kita gunakan asas hukum yaitu ketentuan yang
khusus mengalahkan ketentuan yang umum (lex specialis derogat lex
generalis). Dengan

demikian UUPA akan dikalahkan oleh UU

Perkebunan. Demikian juga kalau menggunakan asas ketentuan yang baru

8

akan mengalahkan ketentuan yang lama (lex posteriori derogat lex priori),
maka yang wajib digunakan adalah UU Perkebunan, karena UU

Perkebunan lahir pada tahun 2004 sedangkan UUPA lahir tahun 1960.
Selain dari hal-hal di atas, UU Perkebunan sama sekali tidak mengatur
perolehan hak atas tanah HGU untuk usaha perkebunan yang diatur
hanyalah pengelolaan perkebunan. Hal inilah yang menyebabkan
terjadinya kontradiksi normatif secara horizontal.
b. Adanya perbedaan persepsi tentang pengertian “tanah terlantar”
Dalam pasal 34 UUPA tentang hapusnya HGU disebutkan bahwa salah
satu penyebab hapusnya HGU adalah karena diterlantarkan. Unsur dan
kriteria dari HGU terlantar antara lain adalah adanya subyek pemegang
hak atas tanah, ada objek hak, ada perbuatan yang disengaja membuat
HGU terlantar yaitu pengusahaan tanah tersebut tidak sesuai dengan
peruntukannya seperti yang telah ditetapkan oleh ketentuan perundangundangan.
Dalam melakukan identifikasi terhadap terlantar, penyamaan persepsi
diantara petugas lapangan merupakan suatu hal yang mutlak harus ada
agar tidak mengalami kegagalan untuk mencapai tujuan. Oleh sebab itu
para pelaksana penertiban wajib memahami asas-asas hukum termasuk
asas hukum tanah terlantar. Perbedaan persepsi antara Dinas Perkebunan
dengan Kanwil BPN Provinsi Jawa Tengah yang berkaitan dengan
masalah tanah (HGU) terlantar dapat dilihat pada bagan di bawah ini :


9

PERSEPSI TENTANG PENGERTIAN
“TANAH TERLANTAR”

Menurut Dinas Perkebunan :
-

-

Tanaman Perkebunan diatas tanah HGU
yang tidak dipelihara dengan baik sesuai
dengan pembinaan/ teknis pertanian/
perkebunan
Tidak produktif
Ganti tanaman perkebunan tidak masalah
(dengan cara konversi).

TANAH HGU
PERKEBUNAN
TERLANTAR

Menurut Kanwil Pertanahan:
- Tanah HGU yang tidak dipergunakan
sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan
pemberian haknya
- Tanaman di atas tanah HGU harus sesuai
dengan permohonan/ keputusan pemberian
haknya.
(kalau tanaman perkebunan tidak sesuai
keputusan pemberian haknya dianggap
menelantarkan tanah HGU nya)

c. Adanya pengecualian objek penertiban

10

Dalam pasal 2 PP No. 11 Tahun 2010 menyebutkan mengenai tanah yang
menjadi objek penertiban yaitu Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan, Hak Pakai dan Hak Pengolahan atau yang telah memperoleh
dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan ,
atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan
pemberian hak atau dasar penguasaannya.
Sedang yang dikecualikan (tidak menjadi objek penertiban) adalah tanahtanah Pemerintah/ Negara yang sudah berstatus maupun belum berstatus
sebagai Barang Milik Negara/ Daerah yang dikuasai oleh Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) maupun Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
Hal tersebut di atas sangat disesalkan karena akibatnya tidak semua tanah
terlantar dapat ditertibkan. Pengecualian ini dapat menjadi kerikil tajam.
Kita memahami bahwa salah satu sumber utama ketimpangan kemiskinan
dan konflik, bahkan kerusakan ekologis tanah adalah adanya penguasaan
tanah dalam skala luas disertai penelantaran di dalamnya oleh
BUMN/BUMD yang mengelola sektor kehutanan, perkebunan dan
sebagainya.
Dalam praktek nanti, tanah-tanah yang terbukti dengan sengaja
diterlantarkan dan atau dapat menyebabkan ketimpangan, konflik dan
kerusakan lingkungan harus dapat dijadikan sebagai objek penertiban
tanah

terlantar,

sekaligus

sebagai

objek

diperuntukkan bagi kepentingan rakyat miskin.

reforma

agraria

yang

11

Atas hal tersebut di atas, pasal 3 PP No. 11 tahun 2010 perlu ditinjau
kembali atau dicabut sehingga tanah-tanah BUMN/BUMD yang
diterlantarkan dapat ditertibkan dan didayagunakan

12

OBJEK PENERTIBAN
TANAH TERLANTAR

Tanah yang sudah diberikan hak
oleh negara, berupa:

MASUK OBJEK
PENERTIBAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
TANAH TERLANTAR

TIDAK MASUK
OBJEK PENERTIBAN

Hak Milik (HM)
Hak Guna Usaha (HGU)
Hak Guna Bangunan (HGB)
Hak Pakai
Hak Pengelolaan (HPL)
Tanah yang telah memperoleh
dasar penguasaan

1. Tanah Hak Milik
2. Tanah Hak Guna
Bangunan

Yang tidak diusahakan atau
tidak digunakan sesuai
dengan keadaanya atau sifat
dan tujuan pemberian hak
atau dasar penguasaanya.

Milik perseorangan yang
secara tidak sengaja
dipergunakan sesuai dengan
keadaan atau sifat dan
tujuan pemberian haknya.

Tanah yang dikuasi Pemerintah
Yang belum berstatus

Yang sudah berstatus:
Barang Milik Negara/
Daerah

Langsung maupun tidak
langsung yang tidak sengaja
tidak dipergunakan sesuai
dengan keadaan atau sifat
dan tujuan pemberian haknya

13

d. Adanya sengketa/penjarahan tanah
Sengketa pertanahan di perkebunan Susukan persoalannya adalah
kepemilikan rakyat atas tanah sama tidak jelasnya dengan bukti yuridis
kepemilikan institusi Negara yang mengklaim memiliki hak atas tanah
tersebut. Tanah yang dipersengketakan biasanya berasal dari asset/ HGU
perkebunan yang dulu dikuasai oleh pemerintah kolonial Belanda atau
perusahaan besar (Hak Erfpacht) sebelum kemerdekaan yang kemudian
diambil alih oleh Pemerintah atau perusahaan Negara. Sementara instansi
yang ditugasi mengelola tidak segera mengkonversi kepemilikannya sesuai
hukum, padahal rakyat karena kebutuhan konkritnya memanfaatkan tanah
itu, yang faktanya sering terbengkelai.
Pada sisi masyarakat , selain karena desakan kebutuhan secara ekonomi,
juga karena keterbatasan pemahamannya secara hukum dan kemampuan
finansiilnya menyebabkan pengurusan hak atas tanahnya berlarut-larut.
Pada sisi institusi Negara dengan mengandalkan posisi power formalnya
juga sering teledor menyelesaikan posisi legal dari kepemilikan tanahnya.
Dengan demikian bibit konflik yang secara laten akan terus muncul dari
waktu ke waktu, ditambah ada kesalahpahaman mengenai posisi tanah
termasuk posisi Negara terhadap tanah. Untuk menyelesaikan sengketa
tanah HGU Perkebunan ini dapat ditempuh secara formal (litigasi) maupun
non formal (non litigasi). Tetapi dalam proses melalui litigasi biasanya
menyebabkan orang enggan serta malas menyelesaikan sengketa tanah
perkebunan di pengadilan. Menghadapi situasi itulah kemudian perlu

14

dicari bentuk penyelesaian sengketa tanah perkebunan di luar pengadilan
(non ligitasi) yaitu dengan cara Alternatif Dispute Resolution (ADR). Di
bawah ini kami tampilkan bagan perbandingan penyelesaian sengketa
melalui ligitasi dengan non ligitasi.

15

PENYEBAB KONFLIK/SENGKETA
TANAH HGU PERKEBUNAN TERLANTAR

RAKYAT
Merasa berhak memiliki

PEMEGANG HGU
Merasa/ berhak menguasai

Data Materiil:

Data Formil :

Menguasai lahan berdasar sejarah Dasar penguasaan Surat Keputusan Pemberian Hak
kepemilikan

tanah

(bukti tak tertulis)
Kenyataaan menguasai secara fisik

(bukti tertulis)
Alat Bukti

sertifikat hak atas tanah (HGU)

Kepemilikan
Hukum Adat

Dasar Hukum

(Hukum tak tertulis)
Memperoleh hak milik secara adat,
mewarisi turun temurun

Peraturan perundang-undangan
(HUkum tertulis/ UUPA)

Dasar hukum
kepemilikan hak

Surat Keputusan pemberian hak
dari yang berwenang

16

PENYELESAIAN SENGKETA
TANAH HGU PERKEBUNAN

LITIGASI
Formal
1. Kaku / kurang fleksibel
2. Hanya memperhatikan aspek
yuridis
saja
(tanpa
memperhatikan
aspek
sosiologis,
psikologis
dan
religious)
3. Proses peradilan lambat dan
berbelit
4. Tidak komunikatif antara hakim
dan pihak-pihak (para pihak
dianggap sebagai objek)
5. Kebenaran dan keadilan diukur
dari pendapat dan keyakinan
hakim
6. Hakim hanya memperhatikan
teks
hukum
tanpa
memperhatikan
kesadaran
hukum para pihak
7. Kebanyakan perkara perdata
dimintakan banding/ kasasi
(menunjukkan
tidak
ada
kepuasan pihak-pihak atas
putusan hakim).

NON LITIGASI
Non formal
1. Fleksibel dan responsif bagi
kebutuhan para pihak
2. Melibatkan masyarakat dalam
menyelesaikan sengketa

3. Memperluas akses mencapai
atau mewujudkan keadilan
4. Meperhatikan aspek sosiologis,
psikologis dan religious
5. Dapat
ditemukan win-win
solution
pihak-pihak
yang
bersengketa.
6. Memperhatikan subyek-subyek
yang bersengketa
7. Keputusan masyarakat hukum
adat tidak ada perlawanan
banding

17

KESIMPULAN
Dari uraian-uraian yang telah dipaparkan dalam latar belakang masalah dan
pembahasan hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut :
Pelaksanaan penertiban dan pemanfaatan tanah terlantar tidak optimal
karena tidak efektif (belum dapat dilaksanakan tindakan penertiban karena
memang berdasarkan mekanisme yang ada semua petugas dan pejabat di
tingkat provinsi hanya sebatas mengusulkan kepada pihak yang lebih
tinggi yaitu kepada Kepala BPN RI, untuk selanjutnya dilakukan tindakan
menetapkan adanya tanah terlantar.
Kendala-kendala yang ada dalam pelaksanaan penertiban dan pemanfaatan
tanah terlantar karena adanya : (a) Kontradiksi normative antara UUPA
dengan UU Perkebunan. (b) Pengecualian objek penertiban tanah terlantar
yang diatur dalam Pasal 3 PP No.11 tahun 2010 perlu ditinjau kembali
untuk segera dicabut karena tidak sesuai dengan asas pemanfaatan dan
asas fungsi sosial hak atas tanah. (c) Untuk mempercepat proses
penertiban dan pemanfaatan tanah terlantar, Ka Kanwil BPN perlu diberi
kewenangan

dapat

menetapkan

tanah

HGU

Perkebunan

yang

diterlantarkan sebagai tanah “terlantar” dan berstatus sebagai tanah yang
dikuasai oleh Negara. Untuk selanjutnya digunakan untuk kepentingan
reformasi agraria. (d) Untuk mengatasi sengketa tanah antara masyarakat
dengan pemegang HGU perkebunan paling baik adalah menggunakan
model non litigasi (menyelesaikan di luar pengadilan formal) yaitu yang
dikenal dengan cara Alternative Dispute Resolution (ADR)

18

Saran
Untuk Pemerintah /BPN
Agar penertiban dan pemanfaatan tanah terlantar dapat berjalan secara efektif dan
dapat mengatasi problem-problem pertanahan perlu segera langkah-langkah
strategis :
-

Pertama , perlu aturan yang lebih operasional untuk memperjelas tanahtanah yang dapat segera diproses dan dinyatakan sebagai tanah terlantar.

-

Kedua, perlu kooordinasi efektif instansi/ aparat BPN dengan Pemda yang
lebih dekat serta punya kewenangan yang relatif lebih luas di era otonomi
daerah

-

Ke tiga, perlu dukungan politik yang kuat dari parlemen pusat maupun
daerah melalui anggaran (APBN/D)

-

Ke empat, perlu kejujuran, ketegasan dan konsistensi aparatur pelaksana
dengan menghindari kolusi dengan pihak penelantar tanah (HGU)
perkebunan.

-

Ke lima,

tanah-tanah yang terbukti diterlantarkan yang menyebabkan

ketimpangan dan konflik, dapat dijadikan objek penertiban tanah terlantar
sekaligus jadi objek reforma agraria yang diperuntukkan bagi kepentingan
rakyat miskin.
-

Ke enam, Pelaksanaan PP No 11 Tahun 2010 harus bisa menyumbang
pada penanganan dan penyelesaian konflik/ sengketa pertanahan.

-

Ke tujuh, para pelaksana PP ini (BPN) dapat bersifat amanah, konsisten
dan tegas dalam memenuhi kepentingan rakyat kecil atas tanah.

19

-

Ke delapan Pemerintah / Negara perlu segera menghapus HGU dari bui
Indonesia dengan alas an:
a. HGU tidak berdasar pada Hukum Adat
b. HGU tidak sesuai dengan filosofi Pasal 33 ayat 3 UUD 1945
c. HGU memberi peluang dan dinikmati oleh kapitalis

-

Ke Sembilan, untuk menghapus HGU dengan cara:
a. Tidak mengabulkan permohonan baru HGU
b. Jangka waktu HGU yang sudah ada tidak perlu diperpanjang
c. Tanah HGU yang secara fisik terbukti terlantar baik sengaja maupun
tidak sengaja perlu segera dicabut haknya.

20

DAFTAR PUSTAKA
Absori,

2006,

Hukum Penyelesaian Sengketa
Muhammadiyah Universty Press.

Lingkungan,

Surakarta,

Erwin Muhammad, 2008, Hukum Lingkungan (Dalam Sistem Kebijaksanaan
Pembangunan Lingkungan Hidup). Cetakan I, Bandung, Rafika
Aditama.
Erwiningsih Winahyu, 2009, Hak Menguasai Negara Atas Tanah, Cetakan I,
Yogyakarta, Total Media.
Harsono Boedi, 1999, Sejarah Pembentukan Hukum Agraria, Isi dan
Pelaksanaannya, Jilid I. Hukum Tanah Nasional, Jakarta,
Jambatan, Cetakan VIII, Edisi REvisi.
Hidayat Komaruddin, 2006, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat
Madani Edisi Revisi, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Marzuki Peter Muhammad, 2010. Penelitian Hukum, Cetakan I, Jakarta, Kencana,
Cetakan ke 6.
Mu’adi Sholih, 2010, Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Perkebunan,
Cetakan I, Jakarta, Prestasi Pustakaria.
Nonet Philippe dan Philippe Selznick, 2007. Hukum Responsif, Cetakan I,
Bandung, Nusamedia.
Pranjoto Eddy, 2007. Antinomi Norma Hukum Pembatalan Pemberian Hak Atas
Tanah. Bandung. CV. Utama.
Rahardjo Satjipto, 2006, Hukum Dalam Jagad Ketertiban, Jakarta, Uki Press.
Rahardjo Satjipto, 2007, Membedah Hukum Progresif, Jakarta, Kompas, Cetakan
II.
Rahardjo Satjipto, 2009, Negara Hukum (yang Membahagiakan Rakyatnya),
Cetakan II, Yogyakarta, Genta Publishing.
Santoso Urip, 2006, Hukum Agraria dan Hak-hak atas Tanah. Kencana
Santoso Urip, 2010. Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah, Jakarta.
Kencana.
Soemardjono Maria, 2008, Mediasi Sengeketa Tanah. Cetakan II, Kompas Media
Nusantara.

21

Soeradja Irawan, 2003. Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia , Catatan I
Surabaya, Arloka.
Suhariningsih, 2009, Tanah Terlantar , Cetakan I Jakarta, Prestasi Pustaka.
Supriadi, 2010, Hukum Kehutanan dan Hukum Perkebunan di Indonesia . Cetakan
I, Jakarta, Sinar Grafika.
Umam Khotibul,2010, Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Cetakan I,
Yogyakarta, Pustaka Yustisia
Wulandari Dewi, 2010. Hukum Adat Indonesia , Catatan I Bandung, Rafika
Aditama.

Peraturan perundang-undangan :
Himpunan Peraturan tentang Pertanahan (Agraria) Tahun 2010, Jakarta, CV
Tameta Utama