Peralihan Hak Guna Usaha Sekaligus Dilakukan Alih Fungsi Penggunaan Tanah

(1)

PERALIHAN HAK GUNA USAHA SEKALIGUS

DILAKUKAN ALIH FUNGSI PENGGUNAAN TANAH

TESIS

Oleh

VIVI DUMASARI SIAHAAN

087011130/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PERALIHAN HAK GUNA USAHA SEKALIGUS

DILAKUKAN ALIH FUNGSI PENGGUNAAN TANAH

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan

pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

VIVI DUMASARI SIAHAAN

087011130/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Judul Tesis : PERALIHAN HAK GUNA USAHA SEKALIGUS DILAKUKAN ALIH FUNGSI PENGGUNAAN TANAH

Nama Mahasiswa : Vivi Dumasari Siahaan Nomor Pokok : 087011130

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) Ketua

(Prof. Dr. Sunarmi, SH, MHum) (Notaris Syafnil Gani, SH, MHum) Anggota Anggota

Ketua Program Studi, Dekan

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 31 Agustus 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN Anggota : 1. Prof. Dr. Sunarmi, SH, MHum

2. Notaris Syafnil Gani, SH, MHum 3. Chairani Bustami, SH, SpN, MKn 4. Notaris Syahril Sofyan, SH, MKn


(5)

ABSTRAK

Hak Guna Usaha (HGU) adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara, dalam jangka waktu tertentu (Pasal 29 UUPA) kepada badan hukum atau perorangan guna pengusahaan pertanian, perikanan dan peternakan. Dalam pelaksanaannya Hak Guna Usaha (HGU) merupakan objek hak atas tanah yang dapat memberikan manfaat secara finansial bagi pihak yang memegang haknya dan dapat pula dialihkan kepada pihak lain. Dalam pelaksanaannya peralihan Hak Guna Usaha (HGU) ada pula yang dilakukan sekaligus dengan alih fungsi penggunaan tanah seperti yang dilakukan oleh PT. Anugrah Tambak Prakasindo Kepada PT Perkebunan Sungai Wang.

Penelitian ini bersifat deskriptif, karena menggambarkan gejala-gejala, fakta, aspek-aspek serta upaya hukum yang berkaitan dengan Peralihan Hak Guna Usaha Melalui Perikatan Jual Beli Sekaligus Dilakukan Alih Fungsi Penggunaan Tanah antara PT. Anugrah Tambak Prakasindo Kepada PT Perkebunan Suangai Wang dan dilakukan pendekatan pendekatan yuridis normatif.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa prosedur peralihan Hak Guna Usaha adalah atas permohonan pihak yang menguasai tanah Hak Guna Usaha dengan menyertakan izin BPN dan persetujuan pemerintah daerah dan Dinas Perkebunan. Akibat hukum yang timbul dari peralihan Hak Guna Usaha, pihak pemegang Hak Guna Usaha dalam hal ini PT. Anugrah Tambak Prakasindo berkewajiban untuk menyerahkan tanah Hak Guna Usaha dimaksud yang dijanjikan kepada pihak pembeli PT. Perkebunan Sungai Wang, dengan persyaratan tanah dimaksud harus terlebih dahulu dimohonkan izin peralihan. Peranan notaris dan PPAT dalam peralihan Hak Guna Usaha sekaligus pengalihan fungsi penggunaan tanah hanyalah dalam pembuatan akta sebagai bukti peralihan hak atas tanah objek peralihan dalam bentuk Akta Jual Beli secara profesional dan tidak memihak tanpa campur tangan dan wajib melakukan pendaftaran peralihan pada Kantor Pertanahan.

Disarankan kepada para pihak untuk memperhatikan prosedur peralihan Hak Guna Usaha. Kepada instansi terkait dalam proses alih fungsi penggunaan tanah agar dapat lebih selektif dalam memberikan izin alih fungsi penggunaan tanah agar tidak disalahgunakan. Disarankan kepada Notaris dan PPAT agar dapat memberikan penyuluhan dan advis hukum kepada masyarakat, jika masyarakat tidak mengerti mengenai hal-hal tersebut maka sebaiknya perjanjian pengikatan jual belinya di buat di hadapan notaris, karena notaris dapat membantu untuk memastikan hal-hal tersebut serta akta yang di buat di hadapan notaris lebih menjamin adanya kepastian hukum.


(6)

ABSTRACT

Concession Right is the right to work on state-owned land for a certain period of time (Article 29 UUPA) given to a corforate body or an individual for the purpose of agricultural, fishery,and animal husbandry businesses. In its implementation, Concession Right is the object of right to land than can bring financial benefit to the party holding the right and it can also be transfereed to the another party. In a special case, the transfer Concession of Concession Right simultaneously done with the shifting of land use function like what was done by PT. Anugerah Tambak Prakasindo to PT.Perkebunan Sungai Wang.

This descriptive study with normative juridical approach was to describe the symptoms, fact, aspects and legal attempts related to the transfer of Concession Right through trading agrement and the shifting of land use function simultaneously done by PT. Anugerah Tambak Prakasindo to PT. Perkebunan Sungai Wang.

The result of study showed that the procedure of the transfer of Concession Right was based on the application lodged by the party holding the Concession Right with the enclosures of the license issued by the National Land Bord (BPN) and the latter of consent issued by the local goverment and Plantation Service. Legal consequence resulted from the transfer of Concession Right was that the holder of Concession Right, in this case was PT.Anugerah Tambak Prakasindo, was required to hand the land with the Concession Right promised to the buyer,in this case, PT. Perkebunan Sungai Wang with the condition that the application for the permit to transfer the Concession Right must first be filed to the Office of Land Bord.The role of Notary and Land Certificate Issuing Official (PPAT) in terms of transfer of Concession Right and at the same time to shift the land use function was limited to the marking and issuing of act/certificate professionally as the evidence in the from of Trading Agreement/Act that the right to the land has been transferred without intervention and responsibility to register the transfer to the Office of Land Board.

All of the parties involved are suggested to pay agood attention to the procedure of transfer of Concession Right. The agencies related to the process of the shifting of land use function are suggested to be more selective in issuing the license of the shifting of land used function that the parties involved cannot abuse it. Notary and land certificate Issuing Official(PPAT) are suggested to provide some extension on legal advice to the society members. If the society members do not understand the procedure, it is better for them to make the trading agreement before a notary can help them do it and the agreement/act made before the notary can guarantee a legal certainty more


(7)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis sampaikan kehadirat ALLAH SWT karena hanya dengan berkat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul “Peralihan Hak Guna Usaha Sekaligus Dilakukan Alih Fungsi Penggunaan Tanah”. Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh Gelar Magister Kenotariatan (M.Kn.) Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis dapat

diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih yang mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormat dan

amat terpelajar Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS,CN. Ibu Prof. Dr. Sunarmi, SH, MHum. dan Bapak Notaris Syafnil Gani, SH, MHum., selaku Komisi Pembimbing yang telah dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.

Terima kasih juga disampaikan kepada Ibu Chairani Bustami, SH, SpN, MKn dan Notaris Syahril Sofyan, SH, MKn yang telah berkenan memberi masukan dan arahan yang konstruktif dalam penulisan tesis ini sejak tahap kolokium, seminar hasil sampai pada tahap ujian tertutup sehingga penulisan tesis ini menjadi lebih sempurna dan terarah.

Selanjutnya ucapan terima kasih penulis yang sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak Prof. DR. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku

Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada kami untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan (M.Kn.) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 2. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN selaku Ketua Program Studi

Magister Kenotariatan (M.Kn.) dan Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum beserta para seluruh Staf atas bantuan, kesempatan dan fasilitas yang diberikan, sehingga dapat diselesaikan studi pada Program Studi Magister Kenotariatan (M.Kn.) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, MHum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak DR. Iing R. Sodikin, SH, CN, MH, Kepala Bidang Hak Atas Tanah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sumatera Utara yang telah memberi izin pada penulis untuk melakukan penelitian pada tesis ini.

5. Bapak dan Ibu Guru Besar juga Dosen Pengajar pada Program Studi Magister Kenotariatan (M.Kn.) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik dan membimbing penulis sampai kepada tingkat Program Studi Magister Kenotariatan (M.Kn.).


(8)

6. Para pegawai/karyawan pada Program Studi Magister Kenotariatan (M.Kn.) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang selalu membantu kelancaran dalam hal manajemen administrasi yang dibutuhkan.

7. Kepala Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sumatera Utara, beserta staf dan seluruh responden dan informan yang telah banyak membantu dalam hal pengambilan data dan informasi-informasi penting lainnya yang berkenaan dengan penulisan tesis ini.

Sungguh rasanya suatu kebanggaan tersendiri dalam kesempatan ini penulis juga turut menghaturkan sembah sujud dan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada Ayahanda H. Saluddin Siahaan, SH dan Ibunda Lailani Pulungan, yang telah melahirkan, mengasuh, mendidik dan membesarkan penulis serta semua saudaraku Kakakku Dina Irma Dani Adikku Novie Syafrina, M. Dian Syah Putra, Ika Agustian, Harry Wibowo yang telah memberikan doa dan perhatian yang cukup besar selama ini, sehingga penulis dapat menyelesaikan studi pada Program Studi Magister Kenotariatan (M.Kn.) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

Dan rasa Trimakasih yang tak terhingga kepada Bapak Abdul Rahim Lubis dan Keluarga yang telah memberikan waktu, saran dan bimbingannya kepada penlis agar penulisan tesis ini lebih baik dan memberikan dorongan semangat agar saya dapat menyelesaikan pendidikan di Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara.

Terima kasih kepada rekan-rekan seangkatan penulis yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah memberi sumbang saran, ide dan pendapatnya sehingga membuat warna tersendiri dalam tesis pada di Program Studi Magister Kenotariatan (M.Kn.) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis berharap semoga semua bantuan dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT, agar selalu dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan dan rezeki yang melimpah kepada kita semua.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, namun tak ada salahnya jika penulis berharap kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak, terutama para pemerhati hukum perdata pada umumnya dan ilmu kenotariaan pada khususnya.

Amien Ya Rabbal ‘Alamin

Medan, Agustus 2010 Penulis,


(9)

RIWAYAT HIDUP

I. Identitas Pribadi

Nama : VIVI DUMA SARI SIAHAAN

Tempat Tanggal Lahir : Medan, 09 Juni 1975

Jenis Kelamin : Perempuan

Status : Belum Kawin

Agama : Islam

Pekerjaan : Wiraswasta

Alamat : Komplek Taman Monaco

Kelurahan Gedung Johor – Medan Johor

II. Identitas Keluarga

Nama Orang Tua

Nama Ayah : H.SALUDDIN SIAHAAN

Nama Ibu : LAILANI PULUNGAN

III. Riwayat Pendidikan

1. Taman Kanak-kanak : TK Eria Medan, 1984 - 1986

2. Sekolah Dasar : Sekolah Dasar Negeri 064029 Medan,

1986 - 1991

3. SMP : SMP Negeri 13 Medan, 1991 - 1994

4. SMA : SMA AL Azhar Medan, 1994 - 97

5. S-1 : Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Yogyakarta, 1997 – 2004

6. S-2 : Program Studi Magister Kenotariatan

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (2008 – 2010)


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK .……... i

ABSTRACT ………... ii

KATA PENGANTAR ……... iii

RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ………….……… vi

DAFTAR SINGKATAN... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A.Latar belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 15

C.Tujuan Penelitian ... 16

D.Manfaat Penelitian ... 16

E. Keaslian Penelitian ... 17

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ………... 18

G.Metode Penelitian ... 32

BAB II PROSEDUR PERALIHAN HAK GUNA USAHA MELALUI PERIKATAN JUAL BELI SEKALIGUS ALIH FUNGSI PENGGUNAAN TANAH ... 38

A.Pengaturan Tentang Perikatan Jual Beli …………...……….. 38

B. Syarat Sahnya Perikatan Jual Beli ...………… 49

C.Jual Beli sebagai Dasar Peralihan Hak Guna Usaha ... 55

D.Alih Fungsi Tanah dan Pemberian Izin Alih Fungsi Pengunaan Tanah ………... 59

BAB III AKIBAT HUKUM DARI PERALIHAN HAK GUNA USAHA SEKALIGUS ALIH FUNGSI PENGGUNAAN TANAH ... 64

A.Tinjauan Umum tentang Hak Guna Usaha ……… 64

B. Peralihan dan Pendaftaran Hak Guna Usaha ………. 84


(11)

D. Akibat Hukum Peralihan Hak Guna Usaha yang

Disertai Alih Fungsi Penggunaan Tanah ... 97

BAB IV PERANAN NOTARIS DAN PPAT DALAM PERALIHAN HAK GUNA USAHA SEKALIGUS ALIH FUNGSI PENGGUNAAN TANAH ... 102

A. Pengertian dan Kewenangan Notaris dan PPAT ………..… 102

B. Kewenangan dan Peranan Notaris/ PPAT sebagai Pejabat yang Berwenang dalam Pembuatan Akta Peralihan Hak Guna Usaha yang Disertai dengan Alih Fungsi Tanah ... 119

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 131

A. Kesimpulan ... 131

B. Saran ... 133


(12)

DAFTAR SINGKATAN

BPN : Badan Pertanahan Nasional

HGU : Hak Guna Usaha

KBPN : Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional

KUHPerdata : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

PP : Peraturan Pemerintah

PPAT : Pejabat Pembuat Akta Tanah

PT : Perseroan Terbatas

RTRW : Rencana Tata Ruang Wilayah

SHGU : Sertifikat Hak Guna Usaha

SK : Surat Keputusan


(13)

ABSTRAK

Hak Guna Usaha (HGU) adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara, dalam jangka waktu tertentu (Pasal 29 UUPA) kepada badan hukum atau perorangan guna pengusahaan pertanian, perikanan dan peternakan. Dalam pelaksanaannya Hak Guna Usaha (HGU) merupakan objek hak atas tanah yang dapat memberikan manfaat secara finansial bagi pihak yang memegang haknya dan dapat pula dialihkan kepada pihak lain. Dalam pelaksanaannya peralihan Hak Guna Usaha (HGU) ada pula yang dilakukan sekaligus dengan alih fungsi penggunaan tanah seperti yang dilakukan oleh PT. Anugrah Tambak Prakasindo Kepada PT Perkebunan Sungai Wang.

Penelitian ini bersifat deskriptif, karena menggambarkan gejala-gejala, fakta, aspek-aspek serta upaya hukum yang berkaitan dengan Peralihan Hak Guna Usaha Melalui Perikatan Jual Beli Sekaligus Dilakukan Alih Fungsi Penggunaan Tanah antara PT. Anugrah Tambak Prakasindo Kepada PT Perkebunan Suangai Wang dan dilakukan pendekatan pendekatan yuridis normatif.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa prosedur peralihan Hak Guna Usaha adalah atas permohonan pihak yang menguasai tanah Hak Guna Usaha dengan menyertakan izin BPN dan persetujuan pemerintah daerah dan Dinas Perkebunan. Akibat hukum yang timbul dari peralihan Hak Guna Usaha, pihak pemegang Hak Guna Usaha dalam hal ini PT. Anugrah Tambak Prakasindo berkewajiban untuk menyerahkan tanah Hak Guna Usaha dimaksud yang dijanjikan kepada pihak pembeli PT. Perkebunan Sungai Wang, dengan persyaratan tanah dimaksud harus terlebih dahulu dimohonkan izin peralihan. Peranan notaris dan PPAT dalam peralihan Hak Guna Usaha sekaligus pengalihan fungsi penggunaan tanah hanyalah dalam pembuatan akta sebagai bukti peralihan hak atas tanah objek peralihan dalam bentuk Akta Jual Beli secara profesional dan tidak memihak tanpa campur tangan dan wajib melakukan pendaftaran peralihan pada Kantor Pertanahan.

Disarankan kepada para pihak untuk memperhatikan prosedur peralihan Hak Guna Usaha. Kepada instansi terkait dalam proses alih fungsi penggunaan tanah agar dapat lebih selektif dalam memberikan izin alih fungsi penggunaan tanah agar tidak disalahgunakan. Disarankan kepada Notaris dan PPAT agar dapat memberikan penyuluhan dan advis hukum kepada masyarakat, jika masyarakat tidak mengerti mengenai hal-hal tersebut maka sebaiknya perjanjian pengikatan jual belinya di buat di hadapan notaris, karena notaris dapat membantu untuk memastikan hal-hal tersebut serta akta yang di buat di hadapan notaris lebih menjamin adanya kepastian hukum.


(14)

ABSTRACT

Concession Right is the right to work on state-owned land for a certain period of time (Article 29 UUPA) given to a corforate body or an individual for the purpose of agricultural, fishery,and animal husbandry businesses. In its implementation, Concession Right is the object of right to land than can bring financial benefit to the party holding the right and it can also be transfereed to the another party. In a special case, the transfer Concession of Concession Right simultaneously done with the shifting of land use function like what was done by PT. Anugerah Tambak Prakasindo to PT.Perkebunan Sungai Wang.

This descriptive study with normative juridical approach was to describe the symptoms, fact, aspects and legal attempts related to the transfer of Concession Right through trading agrement and the shifting of land use function simultaneously done by PT. Anugerah Tambak Prakasindo to PT. Perkebunan Sungai Wang.

The result of study showed that the procedure of the transfer of Concession Right was based on the application lodged by the party holding the Concession Right with the enclosures of the license issued by the National Land Bord (BPN) and the latter of consent issued by the local goverment and Plantation Service. Legal consequence resulted from the transfer of Concession Right was that the holder of Concession Right, in this case was PT.Anugerah Tambak Prakasindo, was required to hand the land with the Concession Right promised to the buyer,in this case, PT. Perkebunan Sungai Wang with the condition that the application for the permit to transfer the Concession Right must first be filed to the Office of Land Bord.The role of Notary and Land Certificate Issuing Official (PPAT) in terms of transfer of Concession Right and at the same time to shift the land use function was limited to the marking and issuing of act/certificate professionally as the evidence in the from of Trading Agreement/Act that the right to the land has been transferred without intervention and responsibility to register the transfer to the Office of Land Board.

All of the parties involved are suggested to pay agood attention to the procedure of transfer of Concession Right. The agencies related to the process of the shifting of land use function are suggested to be more selective in issuing the license of the shifting of land used function that the parties involved cannot abuse it. Notary and land certificate Issuing Official(PPAT) are suggested to provide some extension on legal advice to the society members. If the society members do not understand the procedure, it is better for them to make the trading agreement before a notary can help them do it and the agreement/act made before the notary can guarantee a legal certainty more


(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tanah dalam wilayah Negara Republik Indonesia merupakan salah satu sumber daya alam utama, yang selain mempunyai nilai bathiniah yang mendalam bagi rakyat Indonesia, juga berfungsi sangat strategis dalam memenuhi kebutuhan negara dan rakyat yang makin beragam dan meningkat, baik pada tingkat nasional maupun dalam hubungannya dengan dunia internasional.1 Tanah di seluruh wilayah Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada rakyat Indonesia merupakan salah satu unsur utama bagi kelangsungan hidup dan penghidupan bangsa Indonesia sepanjang masa, dengan tujuan untuk dipergunakan bagi tercapainya sebesar-besar kemakmuran rakyat yang terbagi secara adil dan merata, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945.

Hubungan hukum antara negara dengan tanah melahirkan hak menguasai negara oleh tanah.2 Hubungan antara masyarakat hukum adat dengan tanah ulayatnya melahirkan hak ulayat, dan hubungan antara perorangan dengan tanah melahirkan hak-hak perorangan atas tanah.3 Idealnya hubungan ketiga hak tersebut terjalin secara harmonis dan seimbang, artinya ketiga hak tersebut sama kedudukan dan

1

Boedi Harsono, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, Universitas Trisakti,

Jakarta, 2007, hal. 3

2

UUPA memakai istilah hak menguasai dari Negara, lihat Pasal 2 ayat 2 UUPA.

3

Muhammad Bakri, Hak Menguasai Tanah Oleh Negara (Paradigma Baru Untuk Reformasi


(16)

kekuatannya, dan tidak saling merugikan. Hak penguasaan atas tanah berisi serangkaian wewenang dan kewajiban, dan atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihakinya. Sesuatu yang boleh, wajib, atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi kriteria atau tolak ukur pembeda diantara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam hukum tanah4.

Hubungan tanah dengan manusia bukan hanya sekedar tempat hidup, tetapi lebih dari itu tanah merupakan tempat dimana manusia hidup dan berkembang, tanah menjadi sumber bagi segala kepentingan hidup manusia. Walaupun jumlah tanah yang dapat dikuasai oleh manusia sangat terbatas, sedangkan jumlah manusia yang akan menggunakan tanah senantiasa bertambah. Disamping itu juga karena luas daratan yang ada hanyalah 1/3 (sepertiga) dari luas seluruh permukaan bumi dan dari keseluruhan daratan tersebut tidaklah semuanya yang dapat dikuasai dan dimanfaatkan dalam kehidupan manusia.

Menyadari semakin meluasnya aktivitas masyarakat dalam berbagai bidang dan semakin bertambahnya penduduk dan kebutuhan manusia akan tanah menyebabkan kedudukan tanah yang sangat penting terutama dalam penguasaan, penggunaannya dan kepemilikannya. Khususnya hal ini semakin majunya aktivitas ekonomi, maka banyak tanah yang tersangkut di dalamnya, meluasnya aktivitas itu yang umumnya berupa bertambah banyaknya jual beli, sewa menyewa, pewarisan,

4

Boedi Harsono, Undang-Undang Pokok Agraria Sejarah Penyusunan Isi dan


(17)

pemberian kredit bahkan juga timbulnya hubungan hukum dengan orang atau badan hukum asing.

Kekuasaan negara mengenai tanah mencakup tanah yang sudah dikuasai dengan suatu hak oleh seseorang maupun yang tidak. Kekuasaan negara mengenai tanah yang sudah dipunyai orang dengan sesuatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu, artinya sampai seberapa Negara memberikan kekuasaan kepada yang mempunyai untuk menggunakan haknya, sampai disitulah batas kekuasaan negara tersebut. Sedangkan kekuasaan negara atas tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak oleh seseorang atau pihak lainnya adalah lebih luas dan penuh, artinya negara dapat memberikan tanah kepada seseorang atau badan hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya.

Isi wewenang negara yang bersumber pada hak menguasai sumber daya alam oleh negara tersebut semata-mata bersifat publik, yaitu wewenang untuk mengatur (wewenang regulasi) dan bukan wewenang untuk menguasai tanah secara fisik dan menggunakan tanahnya sebagaimana wewenang pemegang hak atas tanah yang bersifat pribadi.5

Secara teoritis, penyebutan ketentuan konstitusional mengenai Hak Menguasai dari Negara ini sesungguhnya bersifat deklaratif, artinya dengan atau tanpa penyebutan ketentuan tersebut setiap negara tetap mempunyai hak menguasai negara. Namun demikian, ketentuan tersebut tetap penting untuk mengkonfirmasi

5


(18)

eksistensi dari hak menguasai negara tersebut dan menunjukkan sifat hubungan antara negara dan tanah.6

Hak atas tanah apapun, semuanya memberi kewenangan untuk memakai suatu bidang tanah tertentu dalam rangka memenuhi kebutuhan tertentu. Pada hakikatnya pemakaian tanah itu hanya terbatas untuk dua tujuan.7 Pertama, untuk diusahakan, misalnya untuk usaha pertanian, perkebunan, perikanan (tambak) dan peternakan.

Kedua, tanah dipakai sebagai tempat membangun sesuatu.

Sejalan dengan hal tersebut di atas, maka pada Pasal 2 dan 4 Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960 (UUPA), mengatur bahwa bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, dan atas dasar hak menguasai dari negara tersebut ditentukan adanya macam-macam hak atas tanah yang dapat diberikan kepada perorangan maupun badan hukum (subyek hak). Besarnya peranan tanah dalam kehidupan sosial, ekonomi dan politik serta pengaruhnya terhadap laju atau lambannya suatu proses pembangunan, khususnya pembangunan dalam bidang pertanahan, maka diperlukan suatu peraturan yang mampu menjamin hak-hak seseorang dan atau badan hukum terhadap tanah miliknya.

Hak-hak atas tanah tersebut memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dan dalam batas-batas menurut ketentuan

6

Oloan Sitorus dan HM Zaki Sierrad, Hukum Agraria di Indonesia, Konsep Dasar dan

Implementasi, Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, Yogyakarta 2006, hal. 60

7Ibid,


(19)

peraturan perundangan. Dengan kata lain mengalokasikan kekuasaan hak atas tanah oleh negara kepada orang atau badan hukum yang dilakukan secara terukur supaya dapat digunakan bagi kelangsungan hidup setiap orang secara bersama-sama.8

Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam UUPA dapat dilihat bahwa Negara memberikan hak-hak atas tanah kepada perorangan atau badan hukum (subyek hak), bahkan menjamin, mengakui, melindungi hak-hak tersebut untuk dimanfaatkan dalam rangka mensejahterakan kehidupannya dan tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun.

Untuk memberikan jaminan dan perlindungan hukum bagi setiap masyarakat yang mempunyai hak atas suatu bidang tanah, yakni melalui pendaftaran tanah dalam Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960 (UUPA), sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 19 Undang-Undang Pokok Agraria, yang menyatakan :

1) Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah;

2) Pendaftaran tersebut dalam ayat 1 pasal ini meliputi : a. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah.

b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut. c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

3) Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan negara dan masyarakat, keperluan lalu lintas sosial ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraannya menurut pertimbangan Menteri Agraria.

4) Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan Pendaftaran termaksud dalam ayat 1 di atas dengan ketentuan bahwa

8


(20)

rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.9

Hak atas tanah adalah hak sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 16 UUPA, yaitu:

1. Hak atas tanah primer (originair)

Hak atas tanah primer (originair) yaitu hak atas tanah yang langsung diberikan oleh negara kepada subyek hak seperti:

a. Hak Milik b. Hak Guna Usaha c. Hak Guna Bangunan 2. Hak atas tanah sekunder

Hak atas tanah sekunder adalah hak untuk menggunakan tanah milik hak lain.

Misalnya:

a. Hak Guna Bangunan b. Hak Pakai

c. Hak Usaha Bagi Hasil d. Hak menumpang

Dalam hal penguasaan hak atas tanah, menurut S. Chandra terdapat tiga persyaratan yang harus dimiliki oleh pemegang hak yaitu, (1) pemilik sebagai subjek hak, (2) tanah sebagai objek hak dan (3) surat sebagai alas hak.10 Chandra S. yang juga mengutip pendapat Soerdjono Dirdjosisworo, mengatakan bahwa :

Subjek hak atas tanah merupakan orang perseorangan atau badan hukum yang dapat memperoleh sesuatu hak atas tanah, sehingga namanya dapat dicantumkan di dalam buku tanah selaku pemegang sertifikat hak atas tanah. Subyek hukum (subject van een recht) adalah orang perseorangan (nutuurlijke persoon) atau badan hukum

9

A.P.Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Mandar Maju, Bandung,1994. hal .8.

10

S.Chandra, Sertifikat Kepemilikan Hak Atas Tanah (Persyaratan Permohonan di


(21)

rechts persoon yang mempunyai hak, mempunyai kehendak, dan dapat melakukan perbuatan hukum.11

Pendapat tersebut dikaitkan dengan isi Undang-undang Pokok Agraria maka subyek hukum hak atas tanah merupakan orang atau badan hukum yang dapat mempunyai sesuatu hak atas tanah dan dapat melakukan perbuatan hukum untuk mengambil manfaat bagi kepentingan dirinya, keluarganya, bangsa dan negara kesatuan Republik Indonesia.

Objek hak atas tanah merupakan bidang-bidang tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia yang dapat dipunyai dengan sesuatu pemilikan hak atas tanah oleh orang perorangan atau badan hukum menurut ketentuan peraturan perundang-undangan berlaku.12

Objek hak merupakan sesuatu yang tidak mempunyai hak dan tidak menjadi pihak dalam hukum, semata-mata hanya diobyekkan atau hanya berguna bagi subyek hak. Dengan demikian, dalam hukum perdata yang menjadi obyek hak itu adalah benda, di antaranya adalah benda tak bergerak, misalnya tanah.13 Tanah dimaksud merupakan daratan di lapisan kulit bumi nusantara yang dapat dipunyai dengan sesuatu pemilikan hak atas tanah oleh orang perseorangan atau badan hukum sesuai peraturan perundang-undangan berlaku.14

11 Ibid

., hal. 7.

12 Ibid

., hal. 11.

13

Marhainis Abdulhay, Hukum Perdata Materiel., Pradnya Paramitha, Jakarta, 1984,

hal 28.


(22)

Menurut hukum perdata yang diatur Burgerlijk Wetboek atau KUH Perdata bahwa tanah selaku obyek hak bukan saja dipandang sebagai benda (zaak) tak bergerak berwujud yang dapat dilihat secara nyata melalui panca indra, juga dipandang terpisah sebagai benda tak bergerak dan tak berwujud (onlichamelijk zaak), sehingga ketika terjadi peralihan haknya harus diikuti penyerahan haknya (levering), sebagaimana diatur dalam Pasal 612 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

Menurut hukum adat di Indonesia, tanah sebagai obyek hak merupakan benda tak bergerak berwujud, karena dapat dilihat secara nyata (conkreet denkeen), sementara hak atas tanah hanya dipandang sebagai bagian yang tidak berpisah dengan bendanya sehingga sewaktu terjadi peralihan haknya tidak perlu diiringi penyerahan hak (levering), sebagaimana ketentuan Pasal 612 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata).

Selanjutnya terhadap hak atas tanah yang diberikan pemerintah tersebut di atas juga dapat dilakukan peralihan dari pemegang hak yang semula menerima hak dari pemerintah kepada pihak lain yang menerima peralihan tersebut. Salah satu objek hak atas tanah yang selalu menjadi objek peralihan selain dari hak milik adalah Hak Guna Usaha (HGU). Hal ini disebabkan karena Hak Guna Usaha (HGU) merupakan objek hak atas tanah yang dapat memberikan manfaat secara finansial bagi pihak yang memegang haknya.

Hak Guna Usaha (HGU) adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam Pasal 29


(23)

UUPA, guna perusahaan pertanian, perikanan dan peternakan. Tujuan penggunaan tanah yang dipunyai dengan Hak Guna Usaha terbatas, yaitu pada usaha pertanian, perikanan, dan peternakan. Pengertian pertanian termasuk juga perkebunan dan perikanan. Oleh karena itu maka Hak Guna Usaha dapat dibebankan pada tanah hak milik.

Menurut Peraturan Pemerintah No 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas tanah dalam Pasal 8 menyebutkan sebagai berikut :

1. Hak Guna Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 diberikan untuk jangka waktu paling lama 35 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 25 tahun.

2. Sesudah jangka waktu Hak Guna Usaha dan perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 berakhir, kepada pemegang hak dapat diberikan pembaharuan Hak Guna Usaha diatas tanah yang sama .

Menurut Pasal 11 Undang Undang No 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan, menyebutkan bahwa :

1. Hak Guna Usaha untuk usaha perkebunan diberikan dengan jangka waktu paling lama 35 ( tiga puluh lima ) tahun.

2. Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat 1, atas permohonan pemegang hak diberikan perpanjangan jangka waktu paling lama 25 (dua puluh lima) tahun oleh instansi yang berwenang dibidang pertanahan, jika pelaku usaha perkebunan yang bersangkutan menurut penilaian menteri, memenuhi seluruh kewajibannya dan melaksanakan pengelolaan kebun sesuai dengan ketentuan teknis yang ditetapkan.

3. Setelah jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir, atas permohonan bekas pemegang hak diberikan Hak Guna Usaha baru, dengan jangka waktu sebagaimana yang ditentukan pada ayat 1 dan persyaratan yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).


(24)

Selanjutnya dijelaskan pula oleh Oloan Sitorus dan HM. Zaki Sierrad bahwa Hak Guna Usaha dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Dapat beralih artinya bahwa jika pemegang haknya meninggal dunia, hak tersebut jatuh kepada ahli warisnya.15 Namun demikian, di dalam UUPA tidak terdapat ketentuan soal pemindahan hak tersebut.16

Surat Keputusan Menteri Agraria No. SK 13/Depag/66 menyebutkan bahwa peralihan Hak Guna Usaha dilakukan di hadapan PPAT Khusus. Bukan PPAT yang ada di kecamatan, melainkan PPAT Khusus yang ditunjuk dari kalangan pejabat lingkungan Badan Pertanahan Nasional. Hal ini sekaligus merupakan pengawasan peralihan Hak Guna Usaha tersebut dan Peralihan Hak Guna Usaha harus dengan izin dari Kepala Badan Pertanahan Nasional termasuk pengalihan saham-saham.17

PPAT Khusus adalah pejabat Badan Pertanahan Nasional yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT tertentu khusus dalam rangka pelaksanaan program atau tugas Pemerintah tertentu.18 PPAT khusus hanya berwenang membuat akta mengenai perbuatan hukum yang disebut secara khusus dalam penunjukannya.19

Untuk melayani masyarakat dalam pembuatan akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT atau untuk melayani golongan masyarakat tertentu

15

Oloan Sitorus dan HM. Zaki Sierrad, Op.Cit., hal. 124.

16

Boedi Harsono, Op.Cit., hal. 191.

17

AP. Parlindungan, Komentar Atas Undang-undang Pokok Agraria, Mandar Madju,

Bandung, 1996, hal. 163.

18

Pasal 1 angka (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

19

Pasal 3 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.


(25)

dalam pembuatan akta PPAT tertentu, Menteri dapat menunjuk pejabat-pejabat di bawah ini sebagai PPAT Sementara atau PPAT Khusus:20

a. Camat atau Kepala Desa untuk melayani pembuatan akta di daerah yang belum cukup terdapat PPAT, sebagai PPAT Sementara;

b. Kepala Kantor Pertanahan untuk melayani pembuatan akta PPAT yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan program-program pelayanan masyarakat atau untuk melayani pembuatan akta PPAT tertentu bagi negara sahabat berdasarkan asas resiprositas sesuai pertimbangan dari Departemen Luar Negeri, sebagai PPAT Khusus.

Mengenai peralihan Hak Guna Usaha ini juga terdapat di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, yakni Pasal 16 ayat (4), yang berbunyi “Peralihan Hak Guna Usaha karena jual beli, kecuali melalui lelang, tukar menukar penyertaan dalam modal, dan hibah dilakukan dengan akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta tanah”.

Ketentuan ini dapat dikatakan sebagai ketentuan khusus dari pengaturan kewenangan PPAT sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (2) PP Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang menyatakan bahwa pembuatan semua perbuatan hukum mengenai tanah, yang meliputi:

1. Jual beli; 2. Tukar menukar 3. Hibah;

4. Pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng); 5. Pembagian hak bersama;

6. Pemberian Hak Guna Usaha/hak pakai atas tanah hak milik 7. Pemberian hak tanggungan; dan

20

Pasal 5 Ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.


(26)

8. Pemberian kuasa membebankan hak tanggungan, harus dituangkan dalam suatu akta otentik yang disebut sebagai akta PPAT.

Sebelumnya di dalam ketentuan Pasal 95 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah juga dinyatakan sebagai berikut:

1) Akta tanah yang dibuat PPAT untuk dijadikan dasar pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah adalah

a. akta jual beli; b. akta tukar menukar; c. akta hibah

d. akta pemasukan ke dalam perusahaan; e. akta pembagian hak bersama;

f. akta pemberian hak tanggungan;

g. akta pemberian hak guna bangunan atas tanah hak milik; h. akta pemberian hak pakai atas tanah hak milik.

2) Selain akta-akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) PPAT juga membuat surat kuasa membebankan hak tanggungan yang merupakan akta pemberian kuasa yang dipergunakan dalam pembuatan akta pemberian hak tanggungan.

Agar misi pengawasan Hak Guna Usaha yang sekaligus ditunaikan oleh PPAT dengan wewenang khusus sebagaimana yang diinginkan Surat Keputusan Menteri Agraria No. SK 13/Depag/66 tetap dapat terlaksana, maka pembuatan akta PPAT mengenai pemindahan Hak Guna Usaha karena jual beli itu baru dapat dibuat setelah ada izin peralihan Hak Guna Usaha tersebut dari instansi yang berwenang.21

Selanjutnya perlu diketahui bahwa PPAT dengan kewenangan khusus sebagaimana dimaksud surat keputusan Menteri Agraria No. SK/13/Depag/66 sudah

21


(27)

berbeda dengan PPAT khusus yang dimaksud oleh Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998. PPAT khusus menurut Pasal 5 ayat (3) huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 adalah Kepala Kantor Pertanahan, yang diberikan tanggung jawab:

a) Untuk melayani pembuatan akta PPAT yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan program-program pelayanan masyarakat; atau

b) Untuk melayani pembuatan akta PPAT tertentu bagi negara sahabat berdasarkan asas resiprositas sesuai pertimbangan dari Departemen Luar Negeri.

Penjelasan Pasal 5 ayat (3) huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 disebutkan bahwa:

Program-program pelayanan masyarakat ini adalah misalnya program pensertifikatan tanah yang memerlukan adanya akta PPAT terlebih dahulu karena tanah yang bersangkutan belum atas nama pihak yang menguasainya. Pekerjaan yang dilakukan oleh PPAT khusus ini adalah pekerjaan pelayanan dan karena itu pembuatan akta dimaksud tidak dipungut biaya. Dalam praktek hubungan internasional seringkali suatu negara memberikan kemudahan kepada negara lain di berbagai bidang, termasuk di bidang pertanahan. Atas dasar tersebut dipandang perlu ada ketentuan untuk memberi kemungkinan Indonesia memberikan kemudahan yang sama di bidang perubahan data pendaftaran hak atas tanah kepunyaan negara asing.

Ketentuan di atas menjelaskan bahwa dalam hal izin peralihan tetap berada pada Kepala Badan Pertanahan Nasional sedangkan peralihannya dapat


(28)

dilakukan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) di mana objek tanah tersebut berada tidak lagi pada PPAT khusus di Jakarta (Pasal 16 ayat (4) PP No. 40 Tahun 1996).

Berdasarkan ketentuan di atas, peralihan Hak Guna Usaha (HGU) harus

dilakukan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah dan harus dilakukan atas izin dari instansi yang berwenang. Izin dimaksud dapat berupa

izin untuk melakukan peralihan penguasaan Hak Guna Usaha juga dapat berupa izin untuk mengalih fungsikan tanah Hak Guna Usaha (HGU) objek peralihan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam praktek ditemukan adanya Pelaksanaan Peralihan Hak Guna Usaha Melalui Perikatan Jual Beli Sekaligus Dilakukan Alih Fungsi Penggunaan Tanah. Hal ini sebagaimana diketahui dari salah satu transaksi Peralihan Hak Guna Usaha Sekaligus Alih Fungsi Penggunaan Tanah antara PT. Anugrah Tambak Prakasindo Kepada PT. Perkebunan Sungai Wang. Peralihan Hak Guna Usaha tersebut pada awalnya tidak dilakukan secara langsung tetapi diawali dengan perikatan jual beli antara para pihak saja yang hanya dibuat dengan akta dibawah tangan dan tidak dibuat pada pejabat yang berwenang.

Hal ini dilakukan karena para pihak terlebih dahulu menginginkan adanya izin baik itu izin peralihan maupun izin alih fungsi penggunaan tanah, dimana tanah yang menjadi objek jual beli sebelumnya adalah areal tambak kemudian setelah dilakukan peralihan dialih fungsikan menjadi areal perkebunan kelapa sawit.


(29)

Adapun tanah yang menjadi objek peralihan tersebut adalah :

1. Tanah seluas 335,8 Ha SHGU No. 4 / 2001 terletak di Desa Pematang Lalang, Kecamatan Pecut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumetera Utara (Masa HGU 25 Tahun), yang dilakukan dengan Akta Jual Beli No. 39 /2009 dihadapan Johanes Ginting Sarjana Hukum, Notaris/PPAT di Deli Serdang. 2. Tanah seluas 94,67 Ha SHGU No. 1 / 1995 terletak di Desa Pematang Lalang,

Kecamatan Pecut Sei Tuan Kabupaen Deli Serdang Provinsi Sumetera Utara (Masa HGU 25 Tahun), yang dilakukan dengan Akta Jual Beli No. 40 /2009 dihadapan Johanes Ginting Sarjana Hukum, Notaris/PPAT di Deli Serdang

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut penulis tertarik untuk menelaah lebih lanjut tentang pelaksanaan peralihan Hak Guna Usaha yang disertai dengan alih fungsi penggunaan tanah. Penelaahan ini nantinya akan dilakukan melalui suatu penelitian dengan judul “PERALIHAN HAK GUNA USAHA SEKALIGUS DILAKUKAN ALIH FUNGSI PENGGUNAAN TANAH”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka yang menjadi permasalahan untuk dikaji adalah :

1. Bagaimanakah prosedur peralihan Hak Guna Usaha melalui perikatan jual beli sekaligus dengan alih fungsi penggunaan tanah?

2. Bagaimanakah akibat hukum yang timbul dari peralihan Hak Guna Usaha sekaligus dengan alih fungsi penggunaan tanah tersebut ?


(30)

3. Bagaimanakah peranan notaris dan PPAT dalam peralihan Hak Guna Usaha sekaligus dengan alih fungsi penggunaan tanah ?

C. Tujuan Penelitian

Adapuntujuan yang hendak dicapai dalam pelaksanaan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui prosedur peralihan Hak Guna Usaha melalui perikatan jual sekaligus dengan alih fungsi penggunaan tanah.

2. Untuk mengetahui akibat hukum yang timbul dari peralihan Hak Guna Usaha sekaligus dengan alih fungsi Penggunaan tanah tersebut.

3. Untuk mengetahui peranan notaris dan PPAT dalam peralihan Hak Guna Usaha sekaligus dengan alih fungsi penggunaan tanah.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dari dua sisi baik secara teoritis maupun secara praktis, yaitu :

1. Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan kajian lebih lanjut untuk berbagai konsep ilmiah yang pada gilirannya memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum pada umumnya dan peralihan hak atas tanah dengan perikatan jual beli.


(31)

2. Secara praktis, penulis juga berharap bahwa tulisan ini akan bermanfaat untuk memberikan informasi dan pengetahuan bagi masyarakat tentang pelaksanaan peralihan Hak Guna Usaha sekaligus dengan alih fungsi penggunaan tanah.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran kepustakaan khususnya dilingkungan Sekolah Pascasarjana Ilmu Hukum dan Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, ditemukan adanya penelitian yang menyangkut masalah perikatan jual beli yang pernah dilakukan oleh :

1. Chairani Bustami, dengan penelitian berjudul “Aspek-Aspek Hukum yang Terkait Dengan Akta Perikatan Jual Beli yang Dibuat Notaris Dalam Kota

Medan” Tahun 2002.

2. Husni Nasution, dengan penelitian berjudul “Perubahan Kebijakan

Pemerintah atas Jangka Waktu Hak Guna Usaha”, Tahun 2008.

3. Bunhai, dengan penelitian berjudul Perlindungan Hukum Terhadap Pembeli Bangunan Melalui Angsuran yang Diikat dengan Perjanjian Pengikatan Jual Beli. Tahun 2007.

Namun dari hasil penelaahan penulisan materi/substansi dan permasalahannya serta pengkajian dan penelitiannya berbeda sekali dengan penelitian yang penulis lakukan. Oleh karena itu, penelitian berjudul “PERALIHAN HAK GUNA USAHA


(32)

yang meneliti pada sehingga penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan orisinalitasnya sebagai sebuah karya ilmiah secara akademis.

G. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Teori berguna menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi,22 dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya,23Menurut Soerjono Soekanto bahwa “kontinuitas perkembangan ilmu hukum selain bergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori”.24 Menurut Burhan Ashshofa, suatu teori merupakan “serangkaian asumsi konsep, definisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep”.25 Menurut Snelbecker yang mendefinisikan teori sebagai “seperangkat proposisi yang terintegrasi secara sintaktis (yaitu yang mengikuti aturan tertentu yang dapat dihubungkan secara logis satu dengan lainnya dengan data dasar yang dapat diamati) dan berfungsi sebagai wahana untuk meramalkan dan menjelaskan fenomena yang diamati”.26 Sedangkan suatu kerangka teori bertujuan menyajikan cara-cara untuk bagaimana mengorganisasi dan

22

J.J.J. M. Wuisman, dikutip dalam S. Mantayborbir, Sistem Hukum Pengurusan Piutang

Negara, Pustaka Bangsa Press, Jakarta , 2004, hal 13.

23Ibid

, hal 13.

24

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Universitas Indonesia, Jakarta

1986,, hal 6.

25

Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta , 1996, hal 19

26

Snelbecker, dikutip dalam Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja


(33)

menginterpretasi hasil-hasil penelitian dan menghubungkannya dengan hasil-hasil penelitian yang terdahulu.27

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.28 Di dalam landasan/ kerangka teori diuraikan segala sesuatu yang terdapat dalam teori sebagai suatu sistem aneka ajaran (di dalam bahasa Belanda;”leerstelling”).29 Teori menurut Maria S.W. Sumardjono adalah Seperangkat preposisi yang berisi konsep abstrak atau konsep yang sudah didefiniskan dan saling berhubungan antar variable sehingga menghasilkan pandangan sistematis dari fenomena yang digambarkan oleh suatu variable dengan

variable lainnya dan menjelaskan bagaimana hubungan antar variable tersebut ”.30

Landasan teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang

logis, artinya mendudukan masalah penelitian yang telah dirumuskan di dalam kerangka teoritis yang relevan yang mampu menerangkan masalah

tersebut.31

27

Burhan Ashshofa, Op.,Cit., hal 19.

28

M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, CV.Mandar Maju, Bandung, 1994,

hal.80

29 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan

Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal.7

30

Maria S. W. Sumardjono, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, (Yogyakarta: Gramedia,

1989), hlm 12

31 I Made Wirartha, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Skripsi dan Tesis, Andi


(34)

Untuk mempelajari norma hukum maka harus mengetahui asas-asas hukumnya. Dengan perkataan lain, norma hukum itu lahir tidak dengan sendirinya. Ia lahir dilatar belakangi oleh dasar-dasar filosofi tertentu.

Satjipto Raharjo yang dikutip Rahmadi Usman mengatakan bahwa :

Asas hukum bukan peraturan hukum, namun tidak ada hukum yang bidang dipahami tanpa mengetahui asas-asas hukum yang ada didalamnya. Oleh karena itu untuk memahami hukum suatu bangsa dengan sebaik baiknya tidak bisa hanya melihat pada peraturan-peraturan hukumnya saja, melainkan harus menggalinya sampai pada asas-asas hukumnya. Asas hukum inilah yang memberi makna etos kepada peraturan-peraturan hukum serta tata hukum.”32

Mariam Darus Badrulzaman, menyatakan bahwa dalam hukum perjanjian dikenal asas-asas penting yang melandasi suatu perjanjian yaitu asas konsensualisme, asas kepercayaan, asas kebebasan berkontrak, asas kekuatan mengikat, asas persamaan hukum, asas keseimbangan, asas kepastian hukum, asas moral dan asas kepatutan33.

Setiap usaha apapun yang dikembangkan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan memerlukan kepastian hukum yang merupakan suatu elemen yang tidak dapat dipisahkan dari berjalannya usaha itu. Sehingga wajar kalau setiap investor yang akan menanamkan modalnya selalu melihat elemen hukum. Oleh karena itu investasi dan kepastian hukum adalah dua sejoli yang tidak dapat dipisahkan dalam pengembangan pembangunan, apalagi usaha pembangunan

32

Rahmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia, PT.Gramedia Pustaka

Utama, Jakarta, 2001, hal 13-14

33

Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung,


(35)

yang dilakukan memerlukan pemanfaatan tanah, maka elemen kepastian hukum tanah dalam memberikan kesejukan berinvestasi adalah hal yang utama.34

Kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah sebagaimana yang dicita-citakan UUPA mencakup tiga hal, yaitu kepastian mengenai objek hak atas tanah, kepastian mengenai subjek hak atas tanah dan kepastian mengenai status hak atas tanah. Dalam kaitannya dengan investasi, memerlukan sumber daya alam dalam hal ini tanah yang luas sehingga diberikan kepada investor melalui salah satu hak atas tanah yang sering digunakan dalam investasi adalah Hak Guna Usaha (HGU) baik dalam usaha pertanian, perikanan maupun peternakan.

Penelitian ini selanjutnya berusaha untuk memahami pelaksanaan peralihan Hak Guna Usaha melalui perikatan jual beli yang disertai dengan alih fungsi tanah yang menjadi objek penelitian ini, tidak telepas dari peranan pemerintah selaku pengambil kebijakan sekaligus pelaksanaanya dilapangan melalui pemberian alih fungsi tanah setelah terjadinya peralihan hak atas tanah termasuk terhadap Hak Guna Usaha (HGU).

Dalam masyarakat terhadap pengaturan suatu objek telah ada sistem hukumnya namun kemudian situasi dilapangan menghendaki adanya perubahan akibat jalinan hubungan antara subjek hukum yang tidak sistematis sehingga dalam masyarakat sering terjadi perubahan. Hal ini menunjukkan bahwa dalam masyarakat banyak sekali faktor yang mempengaruhinya, kekuatan-kekuatan (kekuasaan) dan

34

Muhammad Yamin, Beberapa Dimensi Filosofis Hukum Agraria, Pustaka Bangsa Press,


(36)

saling tarik menarik dan berbenturan di dalamnya menimbulkan ketidak teraturan. Dengan kata lain, hukum dan masyarakat bukan suatu yang sistematis, tetapi penuh dengan ketidakteraturan inilah yang kemudian dikenal dengan teori ketidakteraturan (theories of legal disorder) yang dikembangkan oleh Charles Stamford.35 Namun demikian, seharusnya hukum dapat menjamin adanya suatu keteraturan terutama dalam kondisi masyarakat yang sedang membangun, karena keteraturan tersebut merupakan salah satu tujuan dari masyarakat yang sedang membangun, maka hukum menjadi suatu alat yang tidak dapat diabaikan dalam proses pembangunan.36

Berdasarkan teori di atas, yang dijadikan kerangka berfikir dalam penelitian ini guna melihat situasi hubungan antara masyarakat atau subjek hukum dengan tanah dalam hal aspek penggunaan dan tata guna tanah dikaitkan antara adanya perubahan penggunaan tanah (alih fungsi) tanah setelah dilakukan peralihan pemegang hak atas tanah dimaksud.

Selanjutnya dalam hal pelaksanaan peralihan Hak Guna Usaha dengan melalui perikatan jual beli, maka penelitian ini juga tidak terlepas dari membicarakan perjanjian, sebagaimana diatur dalam KUH Perdata. Menurut Pasal 1313 KUH Perdata, perjanjian dirumuskan sebagai suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Kata “perjanjian” adalah terjemahan dari overeenkomst, yang merupakan salah satu sumber dari

35

HR. Otje Salman dan Anton F. Sutanto, ,Teori Hukum,Mengingat,Mengumpulkan dan Membuka Kembali,Rafika Aditama, Bandung, 2005, hal 105-108.

36

Muchtar Kusumaatmaja, Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional, Bina


(37)

perikatan (verbintenis). Substansi dari perjanjian dalam pasal tersebut adalah perbuatan (handeling).37 Kata “perbuatan” telah dikritik oleh para ahli hukum dengan alasan kurang memuaskan, tidak lengkap, dan sangat luas. Seharusnya perjanjian adalah perbuatan hukum (rechtshandeling). Perubahan rumusan ini dapat dilihat dari pandangan Franken dan Rutten.38

Franken merumuskan perjanjian adalah perbuatan hukum yang bersisi banyak antara dua pihak atau lebih untuk mengadakan perikatan. Rutten mengatakan perjanjian adalah satu perbuatan hukum untuk mencapai persesuaian kehendak dengan tujuan menimbulkan akibat hukum tertentu.39

Selanjutnya Tan Kamello juga menjelaskan bahwa :

Dengan penambahan kata hukum (recht) membawa perubahan arti bahwa tidak semua perbuatan termasuk dalam pengertian perjanjian. Dalam perkembangannya, perjanjian bukan lagi sebagai perbuatan hukum melainkan merupakan hubungan hukum (rechtsverhouding). Pandangan ini dikemukakan oleh van Dunne yang mengatakan bahwa perjanjian adalah perbuatan hukum merupakan teori klasik, atau teori konvensional. Communis Opinio Doctorum selama ini memahami arti perjanjian adalah satu perbuatan hukum yang bersisi dua (een tweezijdige rechtshandeling) yaitu perbuatan penawaran (aanbod, offer), dan penerimaan (aanvaarding, acceptance). Seharusnya perjanjian adalah dua perbuatan

37

Tan Kamello, Karakter Hukum Perdata Dalam Fungsi Perbankan Melalui

Hubungan Antara Bank Dengan Nasabah, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar ,USU, 2

September 2006, hal 4.

38

Sudikno Mertokusumo, Catatan Kapita Selekta Hukum Perjanjian, Penataran

Dosen Hukum Perdata/Dagang, Yogyakarta, 1992, hal 15.

39


(38)

hukum yang masing-masing bersisi satu (twee eenzijdige rechthandeling) yaitu penawaran dan penerimaan yang didasarkan kepada kata sepakat antara dua orang atau lebih yang saling berhubungan untuk menimbulkan akibat hukum (rechtsgevolg). Konsep ini melahirkan arti perjanjian adalah hubungan hukum.40

Dalam Pasal 1233 KUHPerdata menyebutkan bahwa “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan maupun karena undang-undang”. Ketentuan Pasal 1233 KUHPerdata diketahui bahwa timbulnya perikatan karena persetujuan dan karena Undang-Undang, dengan demikian dikatakan bahwa undang-undang dan perjanjian adalah sumber perikatan.

Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat, syarat-syarat tersebut diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang menyebutkan untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat :

a) sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; b) kecakapan untuk membuat suatu perikatan; c) suatu hal tertentu;

d) suatu sebab yang halal.

Kedua syarat yang pertama adalah merupakan syarat yang menyangkut subjeknya, sedangkan kedua syarat yang terakhir adalah mengenai objeknya. Suatu perjanjian yang mengandung cacat pada subjeknya yaitu syarat : sepakat mereka yang mengikatkan dirinya dan kecakapan untuk bertindak tidak selalu menjadikan

40Ibid


(39)

perjanjian tersebut menjadi batal dengan sendirinya, tetapi seringkali hanya memberikan kemungkinan untuk dibatalkan, sedangkan perjanjian yang cacat dalam segi objeknya yaitu mengenai segi “suatu hal tertentu” atau suatu sebab yang halal adalah batal demi hukum.

Kewajiban dalam perikatan memberikan sesuatu diatur dalam Pasal 1235 KUHPerdata, yang menentukan bahwa :

Dalam tiap-tiap perikatan untuk memberikan sesuatu adalah termaktub kewajiban si berutang untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan dan untuk merawatnya sebagai seorang bapak rumah yang baik, sampai pada saat penyerahan.

Kewajiban yang terakhir ini adalah kurang atau lebih luas terhadap perjanjian-perjanjian tertentu, yang akibat-akibatnya mengenai hal ini ditunjuk dalam bab-bab yang bersangkutan.

Jadi yang merupakan kewajiban untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan dalam perikatan jual beli tanah Hak Guna Usaha adalah penjual, sesuai dengan perjanjian dan persyaratan yang dijanjikan kepada pembeli, sedangkan kewajiban pembeli membayar lunas harga pembelian sesuai dengan yang disepakati dalam perjanjian perikatan jual beli kedua belah pihak.

Pasal 1236 KUHPerdata disebutkan ”si berutang adalah wajib memberikan ganti biaya, rugi, dan bunga kepada si berpiutang, apabila ia telah membawa dirinya dalam keadaan tak mampu untuk menyerahkan kebendaannya, atau telah tidak merawat sepatutnya guna menyelamatkannya.” Apabila pembeli telah membayar


(40)

sesuai dengan kewajibannya akan tetapi pihak penjual tidak dapat memenuhi kewajibannya untuk menyerahkan tanah sesuai dengan perjanjian maka penjual berkewajiban untuk memberikan ganti biaya, rugi dan berupa bunga kepada pembeli.

Objek hukum dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli adalah tanah dalam hal ini tanah Hak Guna Usaha (HGU) yang baru akan dimohonkan oleh pemegang hak pertama berdasarkan perjanjian, hal ini merupakan pertanyaan apakah terhadap objek yang baru akan ada dikemudian hari dapat menjadi objek perjanjian perikatan jual beli. Mengacu kepada Pasal 1334 KUHPerdata yang mengatakan “Barang-barang yang baru akan ada dikemudian hari dapat menjadi objek perjanjian”.41

Terdapat hal yang ditetapkan dalam Pasal 1334 KUHPerdata, Djoko Soepadmo, memberikan pendapat tentang pengertian belum ada, dapat dibedakan :

a) belum ada yang bersifat mutlak belum ada barangnya sama sekali, misalnya barang-barang berupa perkakas rumah tangga yang baru akan di buat oleh perusahaan mebel. Meskipun demikian perusahaan itu dapat saja membuat persetujuan dengan kliennya, asal saja nantinya pada saat penyerahan barangnya, barang yang diperjanjikan itu sudah selesai di buat atau disediakan.

b) belum ada dalam pengertian tidak mutlak, karena barangnya sebetulnya sudah ada, akan tetapi masih menjadi milik orang lain.

Yang penting bagi pihak penjual dan pembeli ialah bahwa barang yang diperjanjikan itu pada saat penyerahan sudah ada, dalam kekuasaan penjual.42

Dari bentuk perjanjian pengikatan jual beli, pemegang hak pertama berkewajiban untuk mengjukan permohonan alih fungsi penggunaan tanah yang

41

Lihat Pasal 1234 KUHPerdata

42

Djoko Soepadamo, Ketentuan-ketentuan dan Komentar mengenai Jual Beli, Tukar

Menukar, Sewa Menyewa, dalam Tehnik Pembuatan Akta, Seri B-4, Bagian Pertama, Cetakan


(41)

dijanjikan kepada pihak pembeli, maka dapat dikatakan bahwa maksud belum ada, dalam perjanjian pengikatan jual beli adalah merupakan belum ada yang bersifat mutlak belum ada barangnya sama sekali, misalnya pada perjanjian jual beli rumah dengan developer dimana bangunan rumah tersebut baru akan dibangun setelah di buat perjanjian dengan pembeli. Dengan demikian, apakah dengan dibuatnya suatu perjanjian pengikatan jual beli, maka kedua belah telah terjadi persetujuan jual beli pada saat di buatnya perjanjian pengikatan jual beli.

Mengenai kekuatan hukum dari suatu janji untuk menjual, Diephuis berpendapat sebagai berikut :

Janji untuk menjual sekarang jadinya mempunyai suatu kekuatan, yang harus diberikan terhadapnya berdasarkan peraturan umum; tidak terjadi apa-apa sebelum diterima dan berhubung dengan diterimanya tawaran tersebut terjadi kekuatan hukum yang mengikat seperti pada suatu persetujuan (overeemkomst). Akan tetapi bukan berdasarkan perjanjian/persetujuan jual beli yang sebenarnya akan tetapi suatu perikatan untuk lebih lanjut tahap berikutnya melakukan perjanjian jual beli itu. Jadi suatu perikatan untuk melakukan sesuatu.

Atas dasar kekuatan itu dia dapat menuntut orang yang berjanji tadi untuk menuntut pelaksanaannya, akan tetapi bukan terhadap pelaksanaan dari persetujuan jual beli yang belum dilaksanakannya, dan apabila itu tidak dipenuhi, maka dia dapat menuntut ganti rugi berupa : ongkos-ongkos kerugian dan bunga-bunga akan tetapi bukan tuntutan levering.43

Menurut pendapat Diephuis tersebut, jelas bahwa perjanjian perikatan jual beli hanya merupakan suatu perikatan untuk melakukan sesuatu seperti pada

suatu persetujuan (overeemkomst). Karena itu tidak dapat dituntut sesuai dengan kewajiban dari pihak penjual, untuk melakukan penyerahan (levering) terhadap barang yang diperjanjikan. Akan tetapi hanya dapat menuntut orang yang berjanji

43Ibid


(42)

untuk menuntut pelaksanaannya, misalnya dalam pelaksanaan jual beli tanah dengan ada suatu persyaratan izin peralihan sekaligus izin alih fungsi penggunaan tanah yang telah dijanjikan kepada pembeli. Apabila penjual tidak dapat memenuhi untuk memperoleh izin peralihan sekaligus izin alih fungsi maka pembeli hanya dapat menuntut ganti rugi berupa : ongkos-ongkos kerugian dan bunga-bunga. Akan tetapi bukan tuntutan penyerahan (levering) terhadap objek perjanjian yang dijanjikan kepada pembeli.

Pendapat lainnya yang dikemukakan oleh Limburg-Asser yaitu “seseorang yang berjanji untuk (akan) menjual barangnya, belum menjual barangnya itu, akan tetapi hanya berkewajiban untuk berbuat demikian (maksudnya untuk menjual barangnya) begitu pihak lainnya menuntut hal yang sedemikian itu (maksudnya agar pihak yang satunya menjual barangnya itu)”.44

Dengan pendapat yang dikemukan oleh Limburg-Asser ini juga menunjukkan hal-hal yang sama dengan apa yang dikemukakan Diephuis, janji untuk akan menjual barang, belum menjual barangnya itu, akan tetapi hanya berkewajiban untuk berbuat demikian, sehingga pembeli tidak dapat menuntut penyerahan barang yang telah dijanjikan dalam perjanjian perikatan jual beli.

Selanjutnya apabila dilihat dari perjanjian pengikatan jual beli sebagai alat bukti tulisan, maka terdapat bermacam-macam bentuk dan jenis alat bukti, yang mampu memberi ketentuan dan penjelasan tentang masalah yang diperkarakan di pengadilan. Alat bukti mana diajukan para pihak untuk membenarkan dalil gugat atau

44Ibid


(43)

dalil bantahan. Berdasar keterangan dan penjelasan yang diberikan alat bukti itulah hakim melakukan penilaian, pihak mana yang paling sempurna pembuktiannya.

Jadi, para pihak yang berperkara hanya dapat membuktikan kebenaran dalil gugat dan dalil bantahan maupun fakta-fakta yang mereka kemukakan dengan jenis atau bentuk alat bukti tertentu. Hukum pembuktian yang berlaku di Indonesia sampai saat ini masih berpegang kepada jenis alat bukti tertentu saja, diluar itu tidak dibenarkan diajukan alat bukti lain. Alat bukti yang diajukan di luar yang ditentukan Undang-Undang adalah tidak sah sebagai alat bukti oleh karena itu, tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian untuk menguatkan kebenaran dalil atau bantahan yang dikemukakan.

Mengenai alat bukti yang diakui dalam acara perdata diatur secara dalam Pasal 1866 KUHPerdata dan Pasal 284 RBg / 164 HIR, yang terdiri dari (1) Dengan tulisan atau surat; (2) Bukti dengan saksi-saksi; (3) Persangkaan; (4) Pengakuan; dan (5) Sumpah.45

Pada Pasal 1866 KUHPerdata dan Pasal 284 RBg/164 HIR disebutkan urutan pertama alat bukti adalah bukti tulisan, dalam acara perdata bukti tulisan merupakan alat bukti yang penting dan paling utama dibanding yang lain. Hal ini sesuai dengan kenyataan jenis surat atau akta dalam perkara perdata, memegang peran yang penting. Semua kegiatan yang menyangkut bidang perdata, sengaja dicatat atau dituliskan dalam surat atau akta. Setiap perjanjian transaksi jual-beli, sewa-menyewa,

45

K. Wantjik Saleh, Hukum Acara Perdata, RBG/HIR, Cetakan ke-6, (Jakarta : Ghalia


(44)

pengangkutan, asuransi, perkawinan, kelahiran dan kematian, sengaja di buat dalam bentuk tertulis dengan maksud sebagai alat bukti atas transaksi atau peristiwa hubungan hukum yang terjadi, apabila suatu ketika timbul sengketa atas peristiwa itu, dapat dibuktikan permasalahan dan kebenarannya oleh surat maupun akta yang bersangkutan. Atas kenyataan itu, dalam berperkara alat bukti yang dianggap paling dominan dan determinan adalah alat bukti tulisan atau surat.

Ditinjau dari segi hukum pembuktian tulisan atau akta mempunyai beberapa fungsi :

a) Berfungsi Sebagai Formalitas Kausa

Maksudnya surat atau akta tersebut berfungsi sebagai syarat atas keabsahan suatu tindakan hukum yang dilakukan. Apabila perbuatan atau tindakan hukum yang dilakukan tidak dengan surat atau akta, tindakan itu menurut hukum tidak sah, karena tidak memenuhi formalitas kausa

(causa).

b) Berfungsi Sebagai Alat Bukti

Fungsi utama surat atau alat akta ialah sebagai alat bukti. Bukankah Pasal 1866 sendiri telah menetapkannya sebagai alat bukti pada urutan pertama Memang tujuan utama membuat akta diperuntukkan dan dipergunakan sebagai alat bukti. Dalam transaksi jual-beli para pihak menuangkannya dalam bentuk akta dengan maksud sebagai alat bukti tertulis tentang perjanjian itu. Apabila timbul sengketa, sejak semula telah tesedia akta untuk membuktikan kebenaran transaksi.

c) Fungsi Probationis Causa

Maksudnya, surat atau akta yang bersangkutan merupakan satu-satunya alat bukti dapat dan sah membuktikan suatu hal atau peristiwa. Jadi keperluan atau fungsi akta itu merupakan dasar untuk membuktikan suatu hal atau peristiwa tertentu. Tanpa akta itu, peristiwa atau hubungan hukum yang terjadi tidak dapat dibuktikan. Kedudukan dan fungsi akta itu bersifat spesifik. Misalnya perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta perkawinan. Eksistensi Perseroan Terbatas menurut Pasal 7 ayat (1)


(45)

UU No. 1 Tahun 1995, hanya dapat dibuktikan dengan akta pendirian yang berbentuk akta notaris.46

Jika dilihat dari segi maksud para pihak untuk mengadakan perjanjian pengikatan jual maka cenderung untuk berfungsi sebagai alat bukti karena memang tujuan utama membuat surat atau akta perjanjian pengikatan jual beli itu diperuntukkan dan dipergunakan sebagai alat bukti terhadap kesepakatan para pihak yang tercantum dalam perjanjian tersebut. Kemudian apabila timbul sengketa atau salah satu pihak tidak memenuhi kewajiban yang tercantum dalam perjanjian tersebut, sejak semula telah tesedia surat atau akta untuk membuktikan kebenaran terhadap kesepakatan mereka.

2. Kerangka Konsepsional

Berdasarkan judul dari penelitian tesis ini, dirumuskan serangkaian kerangka konsepsi atau definisi operasional sebagai berikut.

1. Hak Guna Usaha adalah hak untuk melakukan pengusahaan di atas secara komersial di atas tanah negara47 seperti halnya tanah objek penelitian.

2. Peralihan Hak Guna Usaha adalah suatu usaha untuk melakukan peralihan penguasaan hak tanah atas tanah negara yang diberikan Hak Guna Usaha48 dari pemegang hak pertama kepada pemegang hak lainnya melalui perikatan jual beli.

46

M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,

Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta 2005, hal 563-565.

47

Pasal 28 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960

48

Andri Hernandi, Pendaftaran Tanah dan Peralihan Hak Atas Tanah, Kelompok


(46)

3. Perikatan Jual beli adalah suatu bentuk perjanjian yang dilakukan oleh para pihak namun belum sepenuhnya dilengkapi dengan ketentuan jual beli seperti halnya dalam objek tanah objek Hak Guna Usaha (HGU) yang belum memenuhi syarat karena belum terbit penetapan alih fungsi.

4. Alih fungsi penggunaan tanah adalah permohonan yang diajukan untuk mengalihkan fungsi penggunaan tanah objek Hak Guna Usaha (HGU) dari pengunaan untuk fungsi yang lama ke fungsi tanah yang baru,49 seperti halnya pengajuan alih fungsi yang dilakukan oleh PT. Anugrah Tambak Prakasindo, dimana tanah yang sebelumnya adalah areal tambak kemudian setelah dilakukan peralihan dialih fungsikan menjadi areal perkebunan kelapa sawit. 5. Peralihan Hak Guna Usaha dalam Penelitian ini adalah peralihan yang

dilakukan dengan Akta Jual Beli yang dibuat di hadapan PPAT yang ada di wilayah dimana objek tanah tersebut berada sesuai dengan Peraturan Pemerintan Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

G. Metode Penelitian 1. Objek Penelitian

Objek Penelitian tesis ini adalah pelaksanaan Peralihan Hak Guna Usaha Melalui Perikatan Jual Beli yang Diatasnya Dilakukan Alih Fungsi Penggunaan

49

Lilis Nur Faizah, Alih Fungsi Tanah Pertanian Menjadi Tanah Non Pertanian, FH UGM,


(47)

Tanah. Dalam hal ini difokuskan pada salah satu transaksi peralihan, Peralihan Hak Guna Usaha Melalui Perikatan Jual Beli yang Diatasnya Dilakukan Alih Fungsi Penggunaan Tanah antara PT. Anugrah Tambak Prakasindo Kepada PT Perkebunan Sungai Wang, dimana tanah yang menjadi objek jual beli sebelumnya adalah areal tambak kemudian setelah dilakukan peralihan dialih fungsikan menjadi areal perkebunan kelapa sawit.

2. Spesifikasi Penelitian

Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisis dan kontruksi yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten. Yang dimaksud dengan “metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu, sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, dan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dengan suatu kerangka tertentu”.50

Penelitian ini bersifat deskriptif, karena menggambarkan gejala-gejala, fakta, aspek-aspek serta upaya hukum yang berkaitan dengan Peralihan Hak Guna Usaha Melalui Perikatan Jual Beli Sekaligus Dilakukan Alih Fungsi Penggunaan Tanah antara PT. Anugrah Tambak Prakasindo Kepada PT Perkebunan Suangai Wang .

Metode Pendekatan penelitian dilakukan dengan mempergunakan pendekatan

yuridis normatif untuk mengkaji peraturan-peraturan dan dokumen-dokumen yang berhubungan dengan peralihan Hak Guna Usaha melalui perikatan jual beli, sehingga

50


(48)

diketahui Peralihan Hak Guna Usaha Sekaligus Dilakukan Alih Fungsi Penggunaan Tanah serta peraturan hukum yang ada telah memadai untuk mengatur hal tersebut.

3. Sumber data

Sumber data berasal dari penelitian kepustakaan (library research) yang diperoleh dari :

1. Bahan hukum primer, yaitu merupakan bahan pustaka yang berisikan pengetahuan ilmiah maupun pengertian baru tentang fakta yang diketahui mengenai suatu gagasan (ide), seperti : peraturan perundang-undangan dan perjanjian tentang perikatan jual beli Hak Guna Usaha (HGU) baik yang di buat di hadapan notaris maupun yang di buat secara di bawah tangan, yang terkait langsung dengan penelitian.

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang berkaitan dengan bahan hukum primer, misalnya buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan, tulisan para ahli, makalah, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan peneltian ini.

3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang bersifat menunjang bahan hukum primer dan sekunder untuk memberikan informasi tentang bahan hukum sekunder, misalnya majalah, surat kabar, kamus hukum, kamus bahasa Indonesia.


(1)

akta ditindaklanjuti dengan pendaftarannya di Kantor Pertanahan. Keterlibatan Badan Pertanahan dalam hal ini Kepala Badan Pertanahan Nasional berkepentingan untuk pula ikut mengawasi dan memberikan petunjuk serta dapat menolak pendaftarannya apabila tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan. B. Saran

1. Disarankan kepada para pihak untuk memperhatikan prosedur peralihan Hak Guna Usaha khususnya mengenai status kepemilikan agar tidak terjadi kesalahan yang menyebabkan timbulnya tuntutan pembatalan di kemudian hari baik oleh para pihak dalam perjanjian maupun oleh pihak ketiga.

2. Kepada instansi terkait dalam proses alih fungsi penggunaan tanah agar dapat lebih selektif dalam memberikan izin alih fungsi penggunaan tanah agar nantinya izin yang diberikan tidak disalahgunakan sehingga tujuan pemberian izin alih fungsi penggunaan tanah sesuai dengan yang diharapkan.

3. Disarankan kepada Notaris dan PPAT agar dapat memberikan penyuluhan dan advis hukum kepada masyarakat, jika masyarakat tidak mengerti mengenai hal-hal tersebut maka sebaiknya perjanjian pengikatan jual belinya di buat di hadapan notaris, karena notaris dapat membantu untuk memastikan hal-hal tersebut serta akta yang di buat di hadapan notaris lebih menjamin adanya kepastian hukum.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku Teks

Abdulhay, Marhainis, Hukum Perdata Materiel., Pradnya Paramitha, Jakarta, 1984.

Andasasmita, Komar, Notaris I, Sumur Bandung¸1981.

Ashshofa, Burhan, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta , 1996. ---, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2001

Badrulzaman, Mariam Darus, Perjanjian Baku (standar) Perkembangannya di Indonesia, Alumni Bandung, 1990.

---, Kompilasi Hukum perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.

Bakri, Muhammad, Hak Menguasai Tanah Oleh Negara (Paradigma Baru Untuk Reformasi Agraria)¸ Citra Media, Yogyakarta, 2007.

Boedi Harsono, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, Universitas Trisakti, Jakarta, 2007.

Budiono, Herlin., Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007.

Chandra, S., Sertifikat Kepemilikan Hak Atas Tanah (Persyaratan Permohonan di Kantor Pertanahan), Grasindo, Jakarta, 2005.

Chomzah, Ali Achmad, Hukum Agraria (Pertanahan) Indonesia, Jilid 2, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta.

---, Hukum Pertanahan, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2002.

Faizah, Lilis Nur., Alih Fungsi Tanah Pertanian Menjadi Tanah Non Pertanian, FH UGM, Yogyakarta, 2007.

Gautama, Sudargo dan Ellyda T. Soetiyarto, Komentar atas Peraturan-peraturan Pelaksanaan Undang-undang Pokok Agraria), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997.

Ginting, Gloria Gita Putri, Pertanggungjawaban Notaris Terhadap Akta yang Mengandung Sengketa, Tesis, Sekolah Pascasarjana USU, Medan, 2005. Harahap, M. Yahya, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung 1992.


(3)

---, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta 2005.

Harsono, Boedi., Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Penyusunan, Isi, dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 1961.

---, Undang-Undang Pokok Agraria Sejarah Penyusunan Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 1970.

---, Reformasi Pengurusan Hak dan Pendaftaran Tanah Sistematis Sebagai Upaya Mewujudkan Catur Tertib Pertanahan dan Manajemen Terpadu (Meningkatkan Koordinasi & Pelaksanaan Tugas Kewenangan yang Belum Cukup atau Belum Ditangani), Makalah disampaikan pada Seminar Nasional “Studi Kebijaksanaan Tata Ruang dan Pertanahan Tahun 1997”, diselenggarakan Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, Yogyakarta, tanggal 7-8 Maret 1997.

Herman Warsito, Pengantar Metodologi Penelitian, Buku Panduan Mahasiswa, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997.

Hernandi, Andri, Pendaftaran Tanah dan Peralihan Hak Atas Tanah, Kelompok Kepakaran Kadaster Departemen Teknik Geodesi, ITB Bandung, 2007.

Kamello, Tan, Karakter Hukum Perdata Dalam Fungsi Perbankan Melalui Hubungan Antara Bank Dengan Nasabah, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar ,USU, 2 September 2006.

Kohar, A., Notaris Dalam Praktek Hukum, Alumni, Bandung, 1983.

Kusumaatmaja, Muchtar, Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional, Bina Cipta, Bandung, 1986.

Lubis, M.Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, CV.Mandar Maju, Bandung, 1994, hal.80

Lubis, Muhammad Yamin, Beberapa Dimensi Filosofis Hukum Agraria, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2003.

---, Jawaban Singkat Pertanyaan Dalam Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2003.

---, Hukum Pendaftaran Tanah, Mandar Maju, Bandung , 2008.

Mertokusumo, Sudikno, Catatan Kapita Selekta Hukum Perjanjian, Penataran Dosen Hukum Perdata/Dagang, Yogyakarta, 1992.


(4)

Miru, Ahmadi, Hukum Kontrak (Perancangan Kontrak), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007.

Muhammad, Abdul Kadir, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1992. ---, Hukum Perjanjian (Business Law), Alumni Bandung, 2006..

Nasution, Husni., Perubahan Kebijakan Pemerintah Atas Jangka Waktu Hak Guna Usaha, MKn, SPS USU, Medan, 2008.

Notodisoerjo. R. Soegondo, Hukum Notariat Di Indonesia (Suatu Penjelasan), Cetakan Kedua, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1993.

Parlindungan, AP., Pedoman Pelaksanaan UUPA dan Tata Cara Pejabat Pembuat Akta Tanah, Alumni, Bandung, 1978.

---., Pendaftaran Tanah di Indonesia, Mandar Maju, Bandung,1994.

---., Komentar Atas Undang-undang Pokok Agraria, Mandar Madju, Bandung, 1996.

Raharjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung , 1996.

Rashid, Harun Al, Sekilas Tentang Jual Beli Tanah, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985. Rasyid, Rustam Effendi, Pendaftaran Tanah dan PPAT, Tanpa Penerbit, Tanpa

Tahun.

Saleh, K. Wantjik, Hukum Acara Perdata, RBG/HIR, Cetakan ke-6, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002.

Salman, HR. Otje., dan Anton F. Sutanto, ,Teori Hukum Mengingat Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Rafika Aditama, Bandung, 2005.

Satrio, J., Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.

Setiawan, Wawan, Kedudukan Akta Notaris Sebagai Alat Bukti Tertulis dan Otentik Menurut Hukum Positif di Indonesi, Media Notariat Nomor 34-35-36-37 Januari-April-Juli-Oktober, Ikatan Notaris Indonesia, Jakarta, 1995.

Siahaan, Marihot P, Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (Teori dan Praktek), Edisi Revisi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003.

Sitorus, Oloan dan HM Zaki Sierrad, Hukum Agraria di Indonesia, Konsep Dasar dan Implementasi, Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, Yogyakarta 2006


(5)

Slamet Uliandi, Grose Akta Notaris Menurut UU Jabatan Notaris, http://tp94.com/articles/, diakses Maret 2010.

Snelbecker, dikutip dalam Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1990.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Universitas Indonesia, Jakarta 1986.

Soepadamo, Djoko., Ketentuan-ketentuan dan Komentar mengenai Jual Beli, Tukar Menukar, Sewa Menyewa, dalam Tehnik Pembuatan Akta, Seri B-4, Bagian Pertama, Cetakan Pertama, Bina Ilmu, Surabaya, 1995.

Soimin, Soedharyo, Status Hak dan Pembebasan Tanah, Sinar Grafika, Jakarta, Edisi Kedua, 2001.

Suardi, Hukum Agraria, Badan Penerbit IBLam, Jakarta, 2005. Subekti, R., Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1984.

---, dan R. Tjitrosudibio, Ktab Undang-undang Hukum Perdata, Cetakan ke-25, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1992.

Suharnoko, Hukum Perjanjian, Teori dan Analisa Kasus, Prenada Media, Jakarta 2004.

Sumardjono, Maria S. W., Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, Gramedia, Yogyakarta, 1989.

Supriadi, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006.

Sutrisno, Komentar Atas UU Jabatan Notaris, Medan, Tanpa Penerbit, 2007

Tedjasaputra, Liliana, Etika Profesi dan Profesi Hukum, Aneka Ilmu, Semarang, 2003.

Tobing, G.H.S. Lumban, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, 1980.

Usman, Rahmadi, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001.

Wirartha, I. Made, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Skripsi dan Tesis, Andi Yogyakarta, 2006.


(6)

Wuisman, J.J.J. M., dikutip dalam S. Mantayborbir, Sistem Hukum Pengurusan Piutang Negara, Pustaka Bangsa Press, Jakarta , 2004.

B. Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Dasar 1945;

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah

Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 Tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara

C. Internet

Annonimous, Notaris Harus Dapat Menjamin Kepastian Hukum, http://www.d-infokom-jatim.go.id/, Diakses Mei 2010.

Mertokusumo, Sudikno, Akta Otentik Sebagai Alat Bukti, http://sudikno.blogspot.com/, diakses Maret 2010

Mohamad Fajri, Perspektif Notaris Dalam Pemeriksaan Sidang Pengadilan, http://www.ptpn5.com/, diakses Mei 2010.