Suplementasi jus daun pepaya dalam ransum komersial untuk meningkatkan kualitas daging ayam kampung.

(1)

SUPLEMENTASI JUS DAUN PEPAYA TERFERMENTASI DALAM

RANSUM KOMERSIAL UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS

DAGING AYAM KAMPUNG

Ni Made Suci Sukmawati, I Putu Sampurna dan Made Wirapartha

Fakultas Peternakan, Universitas Udayana Jl. Pb. Sudirman, Denpasar Bali (E-Mail : suci_unud@yahoo.com)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh suplementasi jus daun pepaya terfermentasi dalam ransum komersial terhadap kualitas daging ayam kampung umur 4-16 minggu. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 4 perlakuan dan 4 kelompok sebagai ulangan. Masing-masing kelompok menggunakan 5 ekor ayam kampung dengan berat badan berkisar antara 62-149 g. Keempat perlakuan tersebut adalah : A) ransum komersial tanpa jus daun pepaya terfermentasi sebagai kontrol; B) Ransum komersial + 8% jus daun pepaya terfermentasi; C) Ransum komersial + 12% jus daun pepaya terfermentasi; dan D) Ransum komersial + 16% jus daun pepaya terfermentasi. Variabel yang diamati meliputi pH daging, kadar air, daya ikat air, susut masak dan organoleptik (warna, aroma, tekstur,citarasa dan penerimaan secara keseluruhan). Hasil penelitian menunjukkan bahwa suplementasi jus daun pepaya terfermentasi dari level 8-16% berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap nilai organoleptik (aroma, tekstur, citarasa dan penerimaan keseluruhan) serta pH daging. Peningkatan level jus daun pepaya secara nyata (P<0,05) dapat meningkatkan kadar air daging sebesar 0,72% dan 2,27% masing-masing pada perlakuan C dan D dibandingkan dengan kontrol (A). Daya ikat air menurun nyata sebesar 8% pada perlakuan B, 70% pada perlakuan C dan 14% pada perlakuan D. Penurunan daya ikat air pada daging tersebut menyebabkan terjadinya peningkatan susut masak sebesar 16,10% dan 16,53% masing-masing pada perlakuan B dan D dibandingkan dengan kontrol.Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa suplementasi jus daun pepaya terfermentsi pada ransum komersial dari level 8-16% tidak berpengaruh terhadap nilai organoleptik dan pH daging, namun dapat meningkatkan kadar air dan susut masak serta menurunkan daya ikat air pada daging ayam kampung. Level optimum penggunaan jus daun pepaya terfermentasi dalam ransum komersial berdasarkan uji organoleptik adalah 12%.

Kata kunci : Ayam kampung, ransum komersial, jus daun pepaya terfermentasi, kualitas daging

THE SUPPLEMENTATION OF FERMENTED PAPAYA LEAF JUICE IN COMMERCIAL DIETS TO IMPROVE MEAT QUALITYOF KAMPONG CHICKENS

ABSTRACT

This study was carried out to determine the effect of papaya leaf juice supplementation in commercial diet on meat quality of kampong chickens 4 to 16 weeks of age. The experimental design used was a block randomized design that consisted of four treatments and four blocks as replications. Every block was consisted of five kampong chickens. The treatments were : A) commercial diet without fermented papaya leaf juice as a control; B) Commercial diet + 8% fermented papaya leaf juice; C) Commercial diet + 12% fermented papaya leaf juice; and D) Commercial diet + 16% fermented papaya leaf juice. Variables observed were : pH,water content, water holding capacity, cocked decrease and organoleptic test (meat colour,aroma , textur, flavor, and whole of receive). The results showed that 8 to 16% fermented papaya leaf juice supplementation in comercial diet not significantly affect (p>0,05) on organoleptic value and pH of meat. Fermented papaya leaf juice supplementation could increase water content of meat about 0,72 and 2,27% on C and D treatments compared with control (A). Water holding capacity was significantly decreased on B treatment (8%), C (70%) and D (14%). The decreased of water holding capacity caused the increased of cocked decrease of B and D treatments about 16,10% and 16,53% compare with control. It can be concluded that fermented papaya leaf juice supplementation in comercial diet not affect on organoleptic value and pH of meat, but it could increased water


(2)

content, cocked decrease and increased water holding capacity of meat. The optimum level of fermented papaya leaf juice in comercial diet is 12% acording to the organoleptic test.

Keywords: Kampong chicken, commercial diets, fermented papaya leaf juice, and meat quality

PENDAHULUAN

Daging ayam kampung merupakan salah satu komoditi peternakan yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan daging yang terus meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya nilai gizi protein hewani bagi pertumbuhan dan kesehatan. Daging ayam kampung rasanya enak dan gurih, tetapi juga dikenal lebih alot dari daging unggas yang lain seperti daging ayam broiler.

Untuk mendapatkan kualitas karkas yang tinggi (rendah lemak dan kolesterol) serta daging yang empuk, maka dalam ransum perlu ditambahkan suatu bahan yang bersifat probiotik. Salah satu bahan sebagai sumber probiotik yang mudah didapat, adalah jus daun papaya terfermentasi. Probiotik adalah mikroorganisme hidup dalam bentuk kering yang mengandung tempat tumbuh dan produksi metabolismenya (Matthews, 1988).

Daun papaya (Carica papaya L) merupakan salah satu limbah pertanian, yang kandungan nutrisinya cukup tinggi. Daun papaya cukup baik digunakan sebagai pakan ternak karena mengandung protein kasar 13,5%, serat kasar 14,68%, lemak kasar 12,80%, dan abu 14,4%. Daun papaya juga mengandung enzim-enzim papain, alkoloid carpain, pseudo karpaina, glikosida, karposida dan saponin, sukrosa dan dektrosa. Kebanyakan alkaloid berupa zat padat, rasa pahit dan sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam chloroform, eter dan pelarut organik lain yang relatif non polar (Mursyidi, 1990) dalam Suryaningsih (1994).

Pengaruh positip dari pemberian daun papaya adalah ternak lebih sehat terutama ternak ayam kampung. Pemberian daun papaya mulai dari pase starter dapat menurunkan angka kematian ternak yam kampung. Namun apabila diberikan berlebihan akan dapat menyebabkan rasa pahit pada daging, karena daun papaya mengandung alkaloid carpain (C14H25NO2)

(Hartono, 1994). Untuk menurunkan kandungan alkaloid carpain dilakukan dengan berbagai metode seperti metode fisik, kimia, fisiko kimia dan biologi. Salah satu metode yang paling efektif dan mudah dilakukan adalah metode fermentasi menggunkan mikroba efektif. Beberapa peneltian tentang pemanfaatan daun papaya pada ternak adalah Andriani (2007)


(3)

mendapatkan bahwa penambahan daun papaya dan sekam padi sebagai pakan serat dengan suplementasi “starnox” tidak berpenagruh nyata terhadap peningkatan bobot potong, bobot karkas, persentase karkas dan komposisi fisik karkas. Namun pemberian daun papaya dapat menurunkan lemak subkutan termasuk kulit dan meningkatkan persentase tulang karkas. Rukmini (2006) mendapatkan bahwa pemberian ekstrak daun papaya segar 3% dalam air minum tidak berpengaruh nyata terhadap peningkatan (performance, berat karkas, dan persentase karkas), namun nyata dapat meningkatkan persentase daging dan menurunkan lemak subkutan dan kulit, lemak bantalan dan lemak abdomen.

Berdasarkan uraian tersebut di atas belum ada data tentang pemanfaatan jus daun papaya terfermentasi pada ransum komersial yang mampu meningkatkan kualitas daging ayam kampung sehingga penelitian ini perlu dillaksanakan.

MATERI DAN METODE Tempat dan Lama Penelitian

Penelitian ini di laksanakan di kandang milik peternak di Desa Kediri, Tabanan Bali, mulai tanggal 26 April 2015 sampai pemotongan ayam pada tanggal 20 Juli 2015.

Kandangdan Ayam

Kandang yang digunakan adalah kandang dengan system battery koloni terbuat dari bilah-bilah bambu sebanyak 16 petak, masing-masing berukuran panjang 70 cm; lebar 60 cm; dan tinggi 50 cm. Tiap petak kandang dilengkapi dengan tempat pakan dan minum yang dibeli di toko pakan ternak. Di bawah tempat pakan diisi plastik transparan untuk menghindari pakan jatuh. Ayam yang digunakan adalah ayam kampung umur 30 hari sebanyak 80 ekor dengan berat badan berkisar antara 62-149 g. Anak ayam diperoleh dari peternak yang ada di Desa Jadi, Tabanan.

Ransum dan air minum.

Ransum yang diberikan adalah ransum komersial BRI (511) ditambah jus daun pepaya terfermentasi dengan level berbeda sesuai dengan perlakuan. Komposisi nutrien dalam ransum terdapat pada Tabel 1. Air minum yang diberikan berasal dari PDAM setempat. Ransum dan air minum diberikan secara ad. libitum sepanjang periode penelitian. Penambahan ransum


(4)

dilakukan 2-3 kali sehari dan tempat ransum diusahakan terisi ¾ bagian untuk mencegah agar ransum tidak tercecer.

Tabel 1. Komposisi nutrien dalam ransum

Komposisi Nutrien Perlakuan

A B C D

BK (%) 87,89 87,89 88,32 88,46

Protein kasar (%) 20,51 20,51 20,59 20,62

Abu (%) 5,90 5,90 5,98 6,00

Serat kasar (%) 5,00 5,00 5,06 5,08

Ca (%) 0,90 0,90 0,91 0,91

P (%) 0,60 0,60 0,60 0,60

GE (Kkal/kg) 3799,00 3799,00 3814,84 3820,13

Keterangan:

Perlakuan A : ransum komersial tanpa jus daun papaya terfermentasi Perlakuan B : ransum komersial + 8% jus daun papaya terfermentasi Perlakuan C : ransum komersial + 12% jus daun papaya terdermentasi Perlakuan D : ransum komersial + 16% jus daun papaya terfermentasi

Jus Daun Pepaya Terfermentasi

Daun pepaya yang digunakan untuk jus (ekstrak) adalah daun pepaya yang tua dalam bentuk segar dipotong dengan ukuran + 0,5 cm lalu diblander. Daun pepaya yang sudah diblander kemudian difermentasi dengan mikroba efektif dengan perbandingan 1 kg jus daun pepaya + 5 liter air + 250 ml mikroba efektif, kemudian dimasukkan dalam jerigen 10 liter, ditutup rapat lalu disimpan selama 3-5 hari. Setelah 3 hari jus daun pepaya sudah siap digunakan untuk mencampur ransum sebagai sumber probiotik.

Rancangan Percobaan

Rancangan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan empat macam perlakuan dan empat kelompok sebagai ulangan. Tiap kelompok (unit percobaan) menggunakan 5 ekor ayam kampung umur 4 minggu dengan berat badan berkisar antara 62-149 g. Keempat perlakuan tersebut, yaitu : A) Ransum komersial tanpa jus daun papaya terfermentasi sebagai kontrol; B) ransum komersial + 8% jus daun pepaya terfermentasi, C) ransum komersial + 12% jus daun pepaya terfermentasi dan D) ransum komersial + 16% jus daun pepaya terfermentasi.

Pemotongan ayam

Pemotongan ayam dilakukan pada akhir penelitian yaitu semua ayam pada masing-masing unit percobaan dipotong. Sebelum dipotong, terlebih dahulu ayam dipuasakan selama


(5)

12 jam. Ayam dipotong dengan sayatan pada vena jugularis. Darah ayam ditampung, kemudian di masukkan ke dalam kantong plastik yang telah diberi kode perlakuan, lalu ditimbang untuk menentukan berat karkas.

Pemisahan Bagian-Bagian Tubuh

Pemisahan bagian-bagian tubuh diawali dengan pencabutan bulu. Untuk memudahkan pencabutan bulu, ayam yang telah mati dicelupkan kedalam air panas dengan temperatur 70,1o-80,2oC selama 0,5 –1,0 menit. Selanjutnya dilakukan pemisahan bagian-bagian tubuh ayam, yaitu pengeluaran saluran pencernaan, organ dalam, pemotongan kaki, serta kepala, dan terkhir didapatlah karkas (USDA., 1977). Pengeluaran saluran pencernaan dan organ dalam dilakukan dengan pembedahan bagian perut, kecuali tembolok. Khusus untuk tembolok, dikeluarkan dengan membedah lapisan kulit dibagian pangkal ventral leher yang menutupi tembolok tersebut. Dalam pemisahan kepala dan leher dilakukan dengan memotong sendi

Altlanto occipitalis, yaitu pertautan antara tulang atlas (Vertebrae cervikalis) dengan tulang tengkorak. Untuk memisahkan kaki dilakukan dengan memotong sendi Tibio tarsometatarsus. Bagian-bagian tubuh tersebut kemudian ditimbang untuk dicari beratnya.

Variabel yang Diamati

1. pH daging : diukur dengan pH meter, dengan cara membenamkan elektroda ke dalam 20 g sampel yang telah dihaluskan. Sebelum pengukuran, pH meter dikalibrasi terlebih dahulu dengan larutan buffer pH 4,0 dan pH 7,0 (Soeparno, 2005)

2. Kadar air daging : diukur dengan cara pengeringan dalam oven 105oC selama 5 jam. Kadar air = (berat awal-berat akhir/berat awal) x 100%

3. Daya ikat air : 10 g daging yang telah dihaluskan ditimbang (berat awal), kemudian dibungkus dengan kertas saring dan disentrifuse dengan kecepatan 3000 rpm selama 30 menit. Sampel (tanpa kertas saring) ditimbang (berat akhir). Daya ikat air dihitung menurut Soeparno (2005) dengan rumus :

Expressed juice (EJ) = (berat awal-berat akhir/berat awal) x 100% Daya Ikat Air = (kadar air-EJ/kadar air) x 100%

4. Susut masak daging : 30 g daging dtimbang (berat awal) kemudian dibungkus dengan plastik dan dimasak dalam air dengan suhu 90oC selama 90 menit, lalu ditimbang (berat akhir) (Soeparno, 2005)


(6)

Susut masak (%) = (berat awal-berat akhir/berat awal) x 100%

5. Uji organoleptik daging (warna, aroma, tekstur, citarasa, dan penerimaan secara keseluruhan) : sampel daging dimasak terlebih dahulu kemudian diuji oleh panelis. Penilaian masing-masing sampel, yaitu : sangat suka (5), suka (4), biasa (3), tidak suka (2) dan sangat tidak suka (1).

Analisis Statistik

Data yang diperoleh diolah dan dianalisis dengan sidik ragam menggunakan program SPSS versi 16.0. Apabila terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05) di antara perlakuan, maka analisis dilanjutkan dengan uji Duncan (Steel and Torrie, l989).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Data pengaruh suplementasi jus daun pepaya terfermentasi dalam ransum komersial terhadap kualitas daging (pH, kadar air, daya ikat air, susut masak dan uji organoleptik) ayam kampung terdapat pada Tabel 2 dan 3.

Tabel 2. Pengaruh jus daun pepaya terfermentasi terhadap kualitas fisik daging ayam Kampung umur 12 minggu

Peubah Perlakuan

1)

SEM2)

A B C D

pH 6,01a 5,8a 5,8a 6,04a 0,26

Kadar air (%) 71,93a 71,98a 72,45b 73,56c 0,29 Daya ikat air (%) 0,50b 0,46a 0,45a 0,43a 0,01 Susut masak 2,36b 2,74c 2,23a 2,75c 0,05 Keterangan:

1. Perlakuan A : ransum komersial tanpa jus daun papaya terfermentasi Perlakuan B : ransum komersial + 8% jus daun papaya terfermentasi Perlakuan C : ransum komersial + 12% jus daun papaya terdermentasi Perlakuan D : ransum komersial + 16% jus daun papaya terfermentasi

2. SEM : Standard Error of the Treatment Means

3. Huruf yang berbeda pada baris menunjukkan perbedaan yang nyata (P <0,05)

Kualitas daging sangat dipengaruhi oleh nilai pH karena erat kaitannya dengan warna dan flavour daging, serta daya ikat air. Daging yang pH-nya rendah (5,1-6,2) berwarna merah cerah dan flavournya lebih disukai, sedangkan daging yang pH-nya tinggi berwarna merah ungu, rasanya kurang enak dan perkembangan mikrobanya tinggi. pH yang lebih rendah atau lebih tinggi dari pH isoelektrik protein daging (5,0-5,1) menyebabkan daya ikat air oleh


(7)

protein daging meningkat (Soeparno, 2005). Selanjutnya Buckle et al. (1987) menyatakan bahwa tinggi rendahnya pH daging setelah ternak dipotong pada dasarnya ditentukan oleh kandungan asam laktat yang tertimbun di dalam otot, dan hal ini ditentukan oleh kandungan glikogen dan penanganan ternak sebelum penyembelihan. Semakin banyak glikogen yang tersedia di dalam otot, semakin banyak asam laktat yang terbentuk setelah pemotongan sehingga pH daging akan semakin rendah, demikian pula sebaliknya.

Nilai pH pada penelitian ini adalah berkisar antara 5,8 – 6,04 (Tabel 5.1) dan secara statistik menunjukkan perbedaan yang tidak nyata pada keempat perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian jus daun pepaya terfermentasi dalam ransum komersial pada level 8-16% tidak memberikan pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap pH daging ayam kampung umur 12 minggu. pH daging pada penelitian ini sedikit lebih tinggi dari pH ultimat nomal daging post mortem, yaitu 5,5 (Soeparno, 2005). pH ultimat daging adalah pH yang tercapai setelah glikogen otot menjadi habis (Lawrie, 2003). Hal ini mungkin disebabkan oleh kurangnya kandungan energi pada ransum yang diberikan, karena menurut Soeparno (2005), otot pada ternak yang mengkonsumsi pakan berenergi rendah akan mempunyai pH yang lebih tinggi. Tidak berbedanya pH pada keempat perlakuan disebabkan oleh kandungan energi ransum yang hampir sama.

Selain pH, kualitas daging juga ditentukan oleh kadar airnya. Kadar air daging ayam kampung pada penelitian ini berkisar antara 71,93-73,56% (Tabel 5.1) dengan kadar air tertinggi terdapat pada perlakuan D. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa suplementasi jus daun papaya terfermentasi pada level 12% dan 16% secara nyata (P<0,05) menyebabkan peningkatan kadar air daging sebesar 0,72% dan 2,27% dibandingkan dengan control (A), sementara pada level 8% sama dengan control. Peningkatan kadar air ini disebabkan oleh pH yang lebih tinggi dari pH isoelektik protein daging, sehingga sejumlah muatan positif dibebaskan dan terdapat surplus muatan negative yang mengakibatkan penolakan dari miofilamen dan memberi lebih banyak ruang untuk molekul-molekul air. Selain itu, kemungkinan juga disebabkan oleh rendahnya kadar lemak pada daging sebagai akibat dari jus daun papaya yang diberikan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Rukmini (2006) yang mendapatkan bahwa pemberian ekstrak daun papaya segar 3% dalam air minum dapat meningkatkan persentase daging dan menurunkan lemak subkutan dan kulit, lemak bantalan


(8)

dan lemak abdomen. Selanjunya, Purnomo dan padaga (1989) menyatakan bahwa kadar air daging dipengaruhi oleh lemak intramuscular dan ransum yang diberikan pada ternak.

Daya ikat air adalah kemampuan serat-serat daging untuk menahan airnya sendiri karena pengaruh tekanan atau pengaruh dari luar seperti pemotongan, pemanasan, penggilingan atau pengepresan (Soeparno, 2005). Daya ikat air pada perlakuan A (control) adalah 0,50% (Tabel 5.2). Suplementasi jus daun papaya terfermetasi pada level 8%, 12% dan16% dalam ransum komersial menyebabkan turunnya daya ikat air pada daging berturut-turut sebesar 8%, 10% dan 14%. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh tekstur daging yang semakin lunak akibat adanya enzim papain pada daun papaya yang bersifat proteolitik sehingga air dalam sel-sel daging mudah lepas. Kemampuan daging untuk mengikat molekul air sangat erat hubungannya dengan daya ikat air oleh protein. Hasil penelitian ini berbeda dengan yang ditemukan Fidiyanto (2007), bahwa daun papaya dapat meningkatkan daya ikat air pada daging itik afkir.

Susut masak adalah berat yang hilang akibat pemasakan atau pemanasan. Susut masak merupakan indikator nilai nutrisi daging yang berhubungan dengan jus daging yaitu banyaknya air yang terikat di dalam dan diantara serabut otot daging. Dengan susut masak yang lebih rendah, kualitasnya lebih baik karena kehilangan nutrisi selama pemasakan lebih sedikit daripada daging yang susut masaknya lebih besar. Susut masak daging pada penelitian ini berkisar antara 2,23-2,75% dengan nilai tertinggi pada perlakuan D. Susut masak daging pada umumnya adalah berkisar antara 15%-40%. Jadi, masih jauh lebih rendah dari susut masak daging pada umumnya.

Suplementasi jus daun pepaya terfermentasi pada level 8% (B) dan 16% (D) secara nyata meningkatkan susut masak daging sebesar 16,10% dan 16,53%, sementara pada perlakuan B terjadi sedikit penurunan susut masak. Peningkatan nilai susut masak ini berhubungan dengan menurunnya daya ikat air pada daging. Hal ini sesuai dengan pendapat Soeparno (2005) bahwa selain temperatur dan lama pemasakan, susut masak juga dipengaruhi oleh pH daging, panjang sarkomer, serabut otot, panjang potongan serabut, status kontraksi miofibril daging, ukuran dan berat sampel, penampang lintang, kandungan lemak pada daging dan daya ikat air daging.


(9)

Tabel 3. Uji Organoleptik daging betutu ayam kampong yang disuplementasi jus daun papaya terfermentasi

Peubah Perlakuan

1)

SEM2)

A B C D

Warna 3,64b 3,93b 3,57b 3,07a3) 0,25

Aroma 3,50a 3,86a 3,93a 3,64a 0,23

Tekstur 3,21a 3,42a 3,50a 3,50a 0,26

Citarasa 3,00a 3,36a 3,21a 3,57a 0,31

Penerimaan keseluruhan 3.29a 3,43a 3,57a 3,57a 0,25 Keterangan:

1. Perlakuan A : ransum komersial tanpa jus daun papaya terfermentasi Perlakuan B : ransum komersial + 8% jus daun papaya terfermentasi Perlakuan C : ransum komersial + 12% jus daun papaya terdermentasi Perlakuan D : ransum komersial + 16% jus daun papaya terfermentasi 2. SEM : Standard Error of the Treatment Means

3. Huruf yang berbeda pada baris menunjukkan perbedaan yang nyata (P <0,05)

Hasil analisis statistik terhadap uji organoleptik (warna, aroma, tekstur, citarasa dan penerimaan secara keseluruhan) menunjukkan perbedaan yang tidak nyata diantara perlakuan, kecuali tingkat kesukaan panelis terhadap warna pada perlakuan D, nyata (P<0,05) lebih rendah dibanding ketiga perlakuan lainya (Tabel 5.2). Meskipun tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, tetapi penilaian panelis terhadap kesukaan daging yang disuplementasi jus daun pepaya terfermentasi cenderung meningkat sampai level 12% ( perlakuan C) dan mulai menurun pada level 16%. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian jus daun pepaya terfermentasi pada ayam kampung cukup sampai taraf 12%, karena pemberian di atas 12% dapat menimbulkan rasa pahit pada daging sehingga kurang disukai oleh konsumen.

Meningkatnya tingkat kesukaan panelis terhadap daging yang diberi jus daun pepaya disebabkan karena daun pepaya dapat mengurangi rasa amis pada daging dan memberikan tekstur yang lebih empuk, sehingga dapat memberikan aroma dan citarasa yang lebih gurih pada daging. Enzim papain yang terkandung dalam daun pepaya dapat mengurangi pembentukan kolagen pada daging sehingga daging lebih lembek.


(10)

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :

1. Suplementasi jus daun pepaya terfermentasi dalam ransum komersial pada level 8-16% nyata dapat meningkatkan kadar air dan susut masak, serta menurunkan daya ikat air pada daging ayam kampung.

2. Suplementasi jus daun pepaya terfermentasi dalam ransum komersial pada level 8-16% secara tidak nyata dapat meningkatkan kesukaan panelis terhadap aroma, tekstur, cita rasa dan penerimaan secara keseluruhan daging betutu ayam kampung. 3. Level optimum penggunaan jus daun pepaya terfermentasi dalam ransum

komersial berdasarkan uji organoleptik adalah 12%. Saran

Dari hasil penelitian ini dapat disarankan bahwa untuk mendapatkan kualitas daging ayam kampung yang baik bisa digunakan jus daun pepaya terfermentasi dengan level 12%. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut pada umur ayam yang lebih tua dan variabel yang lebih banyak.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih penulis persembahkan kepada Rektor Universitas Udayana, melalui Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Udayana, atas dana yang diberikan dalam DIPA (Dosen Muda) Tahun Anggaran 2015, sehingga penelitiann dapat berjalan dengan semestinya.


(11)

DAFTAR PUSTAKA.

Andriani, S. 2007. Pengaruh Starnox dalam Ransum yang Mengandung Sumber Serat Berbeda dan Tepung Daun Pepaya terhadap Bobot Potong dan Kmposisi Fisik Karkas Itik Bali Umur 76 Minggu. Skripsi Fakultas Peternakan Universitas Udayana, Denpasar. Arifien, M. 2002. Rahasia Sukses Memelihara Ayam Broiler di daerah Tropis. Penebar

Swadaya, Jakarta.

Haryanto, R. Matnur, Hakim, T. Sugiharto dan Spudiati. 1994. Pengaruh suhu pengasapan dan penggunaan papain terhadap keempukan daging ayam buras. Jurnal Penelitian Universitas Mataram Vol. 1, Thn 2, No. 7 Pebruari, 1994. Universitas Matarama, NTB.

National Research Council (NRC). 1984. Nutrient Requirement of Poultry 8 th Resived Edition National Academi Press, Washington D.C.

Rukmini, S.N.K. 2006. Penampilan dan Karakteristik Fisik Karkas Itik Bali Jantan yang diberi Daun Pepaya (Caica papaya L.), Daun Katuk (Sauropus androgenus) dan Kombinasinya melalui Air Minum. Tesis Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar.

Siti, N.W. 2013. Pengaruh suplementasi tepung daun papaya (Carica papaya L) dalam ransum komersial terhadap penampilan, kualitas karkas serta profil lipida darah dan daging itik bali jantan. Disertasi Program Pascasarjana Universitas udayana, Denpasar. Sudjatinah, C.H. Wibowo dan P Widyaningrum. 2005. Pengaruh pemberian ekstrak daun

pepaya terhadap tampilan produksi ayam broiler. J. Indon. Trop. Agric. 30 (4) : 224-229.

Steel, R.G.D and J.H. Tome. 1989. Prinsip dan Prosedur Statistika. Edisi Kedua, Penerjemah Bambang Soemantri. PT. Gramedia. Jakarta.

Tie Tze. 2002. Terapi Pepaya. PT. Prestasi Pustaka Raya, Jakarta.

Zulkaesih, Elly dan Rakhmad Budirakhman. 2005. Pengaruh sbstitusi pkan kmersial dengan dedak padi terhadap persentase karkas ayam kampung jantan. Ziraa`ah Majalah Pertanian. Fakultas Pertanian Universitas Islam Kalimantan, Banjarmasin. 14 (3): 100-104.

Widjastuti, T. 2009. PemanfaatanTepung Daun Pepaya (Carica papaya L.) Dalam Upaya Peningkatan Produksi Dan Kualitas Telur Ayam Sentul. J. Agroland 16 (3) : 268 – 273.


(1)

Susut masak (%) = (berat awal-berat akhir/berat awal) x 100%

5. Uji organoleptik daging (warna, aroma, tekstur, citarasa, dan penerimaan secara keseluruhan) : sampel daging dimasak terlebih dahulu kemudian diuji oleh panelis. Penilaian masing-masing sampel, yaitu : sangat suka (5), suka (4), biasa (3), tidak suka (2) dan sangat tidak suka (1).

Analisis Statistik

Data yang diperoleh diolah dan dianalisis dengan sidik ragam menggunakan program SPSS versi 16.0. Apabila terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05) di antara perlakuan, maka analisis dilanjutkan dengan uji Duncan (Steel and Torrie, l989).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Data pengaruh suplementasi jus daun pepaya terfermentasi dalam ransum komersial terhadap kualitas daging (pH, kadar air, daya ikat air, susut masak dan uji organoleptik) ayam kampung terdapat pada Tabel 2 dan 3.

Tabel 2. Pengaruh jus daun pepaya terfermentasi terhadap kualitas fisik daging ayam Kampung umur 12 minggu

Peubah Perlakuan

1)

SEM2)

A B C D

pH 6,01a 5,8a 5,8a 6,04a 0,26

Kadar air (%) 71,93a 71,98a 72,45b 73,56c 0,29 Daya ikat air (%) 0,50b 0,46a 0,45a 0,43a 0,01 Susut masak 2,36b 2,74c 2,23a 2,75c 0,05

Keterangan:

1. Perlakuan A : ransum komersial tanpa jus daun papaya terfermentasi Perlakuan B : ransum komersial + 8% jus daun papaya terfermentasi Perlakuan C : ransum komersial + 12% jus daun papaya terdermentasi Perlakuan D : ransum komersial + 16% jus daun papaya terfermentasi

2. SEM : Standard Error of the Treatment Means

3. Huruf yang berbeda pada baris menunjukkan perbedaan yang nyata (P <0,05)

Kualitas daging sangat dipengaruhi oleh nilai pH karena erat kaitannya dengan warna dan flavour daging, serta daya ikat air. Daging yang pH-nya rendah (5,1-6,2) berwarna merah cerah dan flavournya lebih disukai, sedangkan daging yang pH-nya tinggi berwarna merah ungu, rasanya kurang enak dan perkembangan mikrobanya tinggi. pH yang lebih rendah atau lebih tinggi dari pH isoelektrik protein daging (5,0-5,1) menyebabkan daya ikat air oleh


(2)

protein daging meningkat (Soeparno, 2005). Selanjutnya Buckle et al. (1987) menyatakan bahwa tinggi rendahnya pH daging setelah ternak dipotong pada dasarnya ditentukan oleh kandungan asam laktat yang tertimbun di dalam otot, dan hal ini ditentukan oleh kandungan glikogen dan penanganan ternak sebelum penyembelihan. Semakin banyak glikogen yang tersedia di dalam otot, semakin banyak asam laktat yang terbentuk setelah pemotongan sehingga pH daging akan semakin rendah, demikian pula sebaliknya.

Nilai pH pada penelitian ini adalah berkisar antara 5,8 – 6,04 (Tabel 5.1) dan secara statistik menunjukkan perbedaan yang tidak nyata pada keempat perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian jus daun pepaya terfermentasi dalam ransum komersial pada level 8-16% tidak memberikan pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap pH daging ayam kampung umur 12 minggu. pH daging pada penelitian ini sedikit lebih tinggi dari pH ultimat nomal daging post mortem, yaitu 5,5 (Soeparno, 2005). pH ultimat daging adalah pH yang tercapai setelah glikogen otot menjadi habis (Lawrie, 2003). Hal ini mungkin disebabkan oleh kurangnya kandungan energi pada ransum yang diberikan, karena menurut Soeparno (2005), otot pada ternak yang mengkonsumsi pakan berenergi rendah akan mempunyai pH yang lebih tinggi. Tidak berbedanya pH pada keempat perlakuan disebabkan oleh kandungan energi ransum yang hampir sama.

Selain pH, kualitas daging juga ditentukan oleh kadar airnya. Kadar air daging ayam kampung pada penelitian ini berkisar antara 71,93-73,56% (Tabel 5.1) dengan kadar air tertinggi terdapat pada perlakuan D. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa suplementasi jus daun papaya terfermentasi pada level 12% dan 16% secara nyata (P<0,05) menyebabkan peningkatan kadar air daging sebesar 0,72% dan 2,27% dibandingkan dengan control (A), sementara pada level 8% sama dengan control. Peningkatan kadar air ini disebabkan oleh pH yang lebih tinggi dari pH isoelektik protein daging, sehingga sejumlah muatan positif dibebaskan dan terdapat surplus muatan negative yang mengakibatkan penolakan dari miofilamen dan memberi lebih banyak ruang untuk molekul-molekul air. Selain itu, kemungkinan juga disebabkan oleh rendahnya kadar lemak pada daging sebagai akibat dari jus daun papaya yang diberikan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Rukmini (2006) yang mendapatkan bahwa pemberian ekstrak daun papaya segar 3% dalam air minum dapat


(3)

dan lemak abdomen. Selanjunya, Purnomo dan padaga (1989) menyatakan bahwa kadar air daging dipengaruhi oleh lemak intramuscular dan ransum yang diberikan pada ternak.

Daya ikat air adalah kemampuan serat-serat daging untuk menahan airnya sendiri karena pengaruh tekanan atau pengaruh dari luar seperti pemotongan, pemanasan, penggilingan atau pengepresan (Soeparno, 2005). Daya ikat air pada perlakuan A (control) adalah 0,50% (Tabel 5.2). Suplementasi jus daun papaya terfermetasi pada level 8%, 12% dan16% dalam ransum komersial menyebabkan turunnya daya ikat air pada daging berturut-turut sebesar 8%, 10% dan 14%. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh tekstur daging yang semakin lunak akibat adanya enzim papain pada daun papaya yang bersifat proteolitik sehingga air dalam sel-sel daging mudah lepas. Kemampuan daging untuk mengikat molekul air sangat erat hubungannya dengan daya ikat air oleh protein. Hasil penelitian ini berbeda dengan yang ditemukan Fidiyanto (2007), bahwa daun papaya dapat meningkatkan daya ikat air pada daging itik afkir.

Susut masak adalah berat yang hilang akibat pemasakan atau pemanasan. Susut masak merupakan indikator nilai nutrisi daging yang berhubungan dengan jus daging yaitu banyaknya air yang terikat di dalam dan diantara serabut otot daging. Dengan susut masak yang lebih rendah, kualitasnya lebih baik karena kehilangan nutrisi selama pemasakan lebih sedikit daripada daging yang susut masaknya lebih besar. Susut masak daging pada penelitian ini berkisar antara 2,23-2,75% dengan nilai tertinggi pada perlakuan D. Susut masak daging pada umumnya adalah berkisar antara 15%-40%. Jadi, masih jauh lebih rendah dari susut masak daging pada umumnya.

Suplementasi jus daun pepaya terfermentasi pada level 8% (B) dan 16% (D) secara nyata meningkatkan susut masak daging sebesar 16,10% dan 16,53%, sementara pada perlakuan B terjadi sedikit penurunan susut masak. Peningkatan nilai susut masak ini berhubungan dengan menurunnya daya ikat air pada daging. Hal ini sesuai dengan pendapat Soeparno (2005) bahwa selain temperatur dan lama pemasakan, susut masak juga dipengaruhi oleh pH daging, panjang sarkomer, serabut otot, panjang potongan serabut, status kontraksi miofibril daging, ukuran dan berat sampel, penampang lintang, kandungan lemak pada daging dan daya ikat air daging.


(4)

Tabel 3. Uji Organoleptik daging betutu ayam kampong yang disuplementasi jus daun papaya terfermentasi

Peubah Perlakuan

1)

SEM2)

A B C D

Warna 3,64b 3,93b 3,57b 3,07a3) 0,25

Aroma 3,50a 3,86a 3,93a 3,64a 0,23

Tekstur 3,21a 3,42a 3,50a 3,50a 0,26

Citarasa 3,00a 3,36a 3,21a 3,57a 0,31 Penerimaan keseluruhan 3.29a 3,43a 3,57a 3,57a 0,25 Keterangan:

1. Perlakuan A : ransum komersial tanpa jus daun papaya terfermentasi Perlakuan B : ransum komersial + 8% jus daun papaya terfermentasi Perlakuan C : ransum komersial + 12% jus daun papaya terdermentasi Perlakuan D : ransum komersial + 16% jus daun papaya terfermentasi 2. SEM : Standard Error of the Treatment Means

3. Huruf yang berbeda pada baris menunjukkan perbedaan yang nyata (P <0,05)

Hasil analisis statistik terhadap uji organoleptik (warna, aroma, tekstur, citarasa dan penerimaan secara keseluruhan) menunjukkan perbedaan yang tidak nyata diantara perlakuan, kecuali tingkat kesukaan panelis terhadap warna pada perlakuan D, nyata (P<0,05) lebih rendah dibanding ketiga perlakuan lainya (Tabel 5.2). Meskipun tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, tetapi penilaian panelis terhadap kesukaan daging yang disuplementasi jus daun pepaya terfermentasi cenderung meningkat sampai level 12% ( perlakuan C) dan mulai menurun pada level 16%. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian jus daun pepaya terfermentasi pada ayam kampung cukup sampai taraf 12%, karena pemberian di atas 12% dapat menimbulkan rasa pahit pada daging sehingga kurang disukai oleh konsumen.

Meningkatnya tingkat kesukaan panelis terhadap daging yang diberi jus daun pepaya disebabkan karena daun pepaya dapat mengurangi rasa amis pada daging dan memberikan tekstur yang lebih empuk, sehingga dapat memberikan aroma dan citarasa yang lebih gurih pada daging. Enzim papain yang terkandung dalam daun pepaya dapat mengurangi pembentukan kolagen pada daging sehingga daging lebih lembek.


(5)

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :

1. Suplementasi jus daun pepaya terfermentasi dalam ransum komersial pada level 8-16% nyata dapat meningkatkan kadar air dan susut masak, serta menurunkan daya ikat air pada daging ayam kampung.

2. Suplementasi jus daun pepaya terfermentasi dalam ransum komersial pada level 8-16% secara tidak nyata dapat meningkatkan kesukaan panelis terhadap aroma, tekstur, cita rasa dan penerimaan secara keseluruhan daging betutu ayam kampung. 3. Level optimum penggunaan jus daun pepaya terfermentasi dalam ransum

komersial berdasarkan uji organoleptik adalah 12%.

Saran

Dari hasil penelitian ini dapat disarankan bahwa untuk mendapatkan kualitas daging ayam kampung yang baik bisa digunakan jus daun pepaya terfermentasi dengan level 12%. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut pada umur ayam yang lebih tua dan variabel yang lebih banyak.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih penulis persembahkan kepada Rektor Universitas Udayana, melalui Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Udayana, atas dana yang diberikan dalam DIPA (Dosen Muda) Tahun Anggaran 2015, sehingga penelitiann dapat berjalan dengan semestinya.


(6)

DAFTAR PUSTAKA.

Andriani, S. 2007. Pengaruh Starnox dalam Ransum yang Mengandung Sumber Serat Berbeda dan Tepung Daun Pepaya terhadap Bobot Potong dan Kmposisi Fisik Karkas Itik Bali Umur 76 Minggu. Skripsi Fakultas Peternakan Universitas Udayana, Denpasar. Arifien, M. 2002. Rahasia Sukses Memelihara Ayam Broiler di daerah Tropis. Penebar

Swadaya, Jakarta.

Haryanto, R. Matnur, Hakim, T. Sugiharto dan Spudiati. 1994. Pengaruh suhu pengasapan dan penggunaan papain terhadap keempukan daging ayam buras. Jurnal Penelitian Universitas Mataram Vol. 1, Thn 2, No. 7 Pebruari, 1994. Universitas Matarama, NTB.

National Research Council (NRC). 1984. Nutrient Requirement of Poultry 8 th Resived Edition National Academi Press, Washington D.C.

Rukmini, S.N.K. 2006. Penampilan dan Karakteristik Fisik Karkas Itik Bali Jantan yang diberi Daun Pepaya (Caica papaya L.), Daun Katuk (Sauropus androgenus) dan Kombinasinya melalui Air Minum. Tesis Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar.

Siti, N.W. 2013. Pengaruh suplementasi tepung daun papaya (Carica papaya L) dalam ransum komersial terhadap penampilan, kualitas karkas serta profil lipida darah dan daging itik bali jantan. Disertasi Program Pascasarjana Universitas udayana, Denpasar. Sudjatinah, C.H. Wibowo dan P Widyaningrum. 2005. Pengaruh pemberian ekstrak daun

pepaya terhadap tampilan produksi ayam broiler. J. Indon. Trop. Agric. 30 (4) : 224-229.

Steel, R.G.D and J.H. Tome. 1989. Prinsip dan Prosedur Statistika. Edisi Kedua, Penerjemah Bambang Soemantri. PT. Gramedia. Jakarta.

Tie Tze. 2002. Terapi Pepaya. PT. Prestasi Pustaka Raya, Jakarta.

Zulkaesih, Elly dan Rakhmad Budirakhman. 2005. Pengaruh sbstitusi pkan kmersial dengan dedak padi terhadap persentase karkas ayam kampung jantan. Ziraa`ah Majalah Pertanian. Fakultas Pertanian Universitas Islam Kalimantan, Banjarmasin. 14 (3): 100-104.

Widjastuti, T. 2009. PemanfaatanTepung Daun Pepaya (Carica papaya L.) Dalam Upaya Peningkatan Produksi Dan Kualitas Telur Ayam Sentul. J. Agroland 16 (3) : 268 – 273.