Pengembangan Bukit Abah Menjadi Obyek Ekowisata.

(1)

PENGEMBANGAN BUKIT ABAH

MENJADI OBYEK EKOWISATA

OLEH

COKORDA GEDE ALIT SEMARAJAYA

NANIEK KOHDRATA

PROGRAM STUDI ARSITEKTUR PERTAMANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS UDAYANA

2015


(2)

1 DAFTAR ISI

DAFTAR ISI... 1

PENGEMBANGAN BUKIT ABAH MENJADI OBYEK EKOWISATA ... 2

Pendahuluan ... 2

Potensi Bukit Abah dan Wilayah Sekitarnya ... 9

Potensi Fisik ...10

Potensi Sosial, Ekonomi dan Budaya ...13

Keanekaragaman Hayati dan Sumberdaya Alam ...20

Manfaat Ekonomi, Upaya Konservasi, dan Keterlibatan Masyarakat ....24

Penutup ...27 DAFTAR PUSTAKA


(3)

2

PENGEMBANGAN BUKIT ABAH MENJADI OBYEK EKOWISATA

Pendahuluan

Konsep pembangunan pariwisata berkelanjutan (ekowisata) dapat didefinisikan sebagai pengembangan pariwisata yang bertujuan untuk mendukung upaya-upaya pelestarian lingkungan (alam dan budaya) dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan, sehingga memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat setempat. Sedangkan ditinjau dari segi pengelolaannya, ekowisata dapat didefinisikan sebagai penyelenggaraan kegiatan wisata yang bertanggung jawab di tempat-tempat alami dan/ atau daerah-daerah yang dibuat berdasarkan kaidah alam, secara ekonomi berkelanjutan disertai upaya-upaya pelestarian lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Jadi ekowisata merupakan suatu bentuk wisata yang sangat erat dengan prinsip konservasi. Dengan demikian ekowisata sangat tepat dan berdayaguna dalam mempertahankan keutuhan dan keaslian ekosistem di areal yang masih alami, dan dengan ekowisata pelestarian alam dapat ditingkatkan kualitasnya karena desakan dan tuntutan dari para eco-traveler (Buultjens, 1999).

Ekowisata yang pertama diperkenalkan oleh organisasi The International Ecotourism Society (1990) adalah suatu bentuk perjalanan wisata ke area alami yang dilakukan dengan tujuan mengkonservasi lingkungan, melestarikan kehidupan dan meningkatkan kesejahteraan penduduk setempat. Semula ekowisata dilakukan oleh wisatawan pecinta alam yang menginginkan di daerah tujuan wisata tetap utuh dan lestari, disamping budaya dan kesejahteraan masyarakatnya tetap terjaga. Namun dalam perkembangannya, bentuk ekowisata berkembang di samping wisatawan ingin berkunjung ke area alami, juga bermaksud dapat menciptakan kegiatan bisnis. Ekowisata kemudian


(4)

3

didefinisikan sebagai bentuk perjalanan bertanggungjawab atau bertualang ke area alami yang dapat menciptakan industri pariwisata (Sproule, 2000). Bahkan di beberapa wilayah berkembang suatu pemikiran bahwa aspek pendidikan sangat diperlukan dalam kegiatan wisata ini. Hal ini seperti didefinisikan oleh The International Ecotourism Society (1990), bahwa ekowisata adalah wisata berbasis pada alam dengan mengikutkan aspek pendidikan dengan pengelolaan kelestarian ekologis. Definisi ini memberi penegasan bahwa aspek yang terkait tidak hanya bisnis seperti halnya bentuk pariwisata lainnya, tetapi lebih dekat dengan pariwisata minat khusus, alternative tourism atau special interest tourism

dengan obyek dan daya tarik wisata alam. Dalam kaitan itu, strategi pengelolaan sumber daya alam dan budaya harus berupaya mensinergikan kearifan tradisional dengan sains dan teknologi modern melalui pemberdayaan kelembagaan (Linberg dan Hawkins, 2003).

Pendekatan pengelolaan ekowisata adalah konservasi, kelestarian lingkungan dan keberpihakan kapada masyarakat setempat. Konservasi dimaksudkan sebagai upaya menjaga kelangsungan pemanfaatan sumberdaya alam untuk waktu kini dan masa mendatang, meliputi konservasi alam (kepedulian, tanggung jawab dan komitmen terhadap pelestarian lingkungan alam) dan konservasi budaya (peka dan menghormati nilai-nilai sosial-budaya dan tradisi keagamaan masyarakat setempat). Hal ini sesuai dengan pendapat Goodwin (1998), bahwa konservasi adalah usaha manusia untuk memanfaatkan biosphere dengan berusaha memberikan hasil yang besar dan lestari untuk generasi kini dan mendatang. Pendekatan lain adalah bahwa ekowisata harus dapat menjamin kelestarian lingkungan. Maksud dari menjamin kelestarian ini adalah : (1) menjaga tetap berlangsungnya proses ekologis dalam mendukung sistem kehidupan, (2) melindungi keanekaragaman hayati flora dan fauna, dan (3) menjamin kelestarian dan pemanfaatan spesies dan ekosistemnya. Dalam


(5)

4

rangka menjamin kelestarian, pemanfaatan areal alam untuk ekowisata mempergunakan pendekatan pelestarian dan pemanfaatan. Kedua pendekatan ini dilaksanakan dengan lebih menitikberatkan pada pelestarian dibanding pemanfaatan. Selanjutnya pendekatan keberpihakan kepada masyarakat setempat dimaksudkan agar mereka mampu mempertahankan budaya lokal, sekaligus kesejahteraannya meningkat dengan melibatkan masyarakat secara optimal.

Prinsip pengembangan ekowisata adalah menitikberatkan pada persyaratan kualitas dan keutuhan ekosistem untuk menjamin pembangunan yang ecological friendly berbasis kerakyatan (commnnity based). Menurut The International Ecotourism Society (1990) terdapat 8 prinsip yang harus dipertimbangkan dalam pengembangan ekowisata, yaitu : (1) Mencegah dan menanggulangi dampak negatif dari aktivitas wisatawan terhadap alam dan budaya. Pencegahan dan penanggulangan disesuaikan dengan sifat dan karakter alam dan budaya setempat; (2) Pendidikan konservasi lingkungan, yaitu mendidik wisatawan dan masyarakat setempat akan pentingnya arti konservasi. Proses pendidikan ini dapat dilakukan langsung di alam; (3) Partisipasi masyarakat dalam perencanaan. Masyarakat diajak dalam merencanakan pengembangan ekowisata. Demikian pula di dalam pengawasan, peran masyarakat diharapkan ikut secara aktif; (4) Menjaga keharmonisan dengan alam. Semua upaya pengembangan termasuk pengembangan fasilitas dan utilitas harus tetap menjaga keharmonisan dengan alam. Apabila ada upaya disharmonize dengan alam maka akan merusak produk wisata ekologis ini. Sebagai contoh, diupayakan untuk menghindari sejauh mungkin penggunaan minyak tetapi mengkonservasi flora dan fauna serta menjaga keaslian budaya masyarakat setempat; (5) Daya dukung lingkungan. Pada umumnya lingkungan alam mempunyai daya dukung yang lebih rendah dengan daya dukung kawasan


(6)

5

buatan. Meskipun mungkin permintaan sangat banyak, tetapi daya dukunglah yang membatasi; (6) Pendapatan langsung untuk kawasan. Mengatur agar kawasan yang digunakan untuk ekowisata dan manajemen pengelola kawasan pelestarian dapat menerima langsung penghasilan atau pendapatan. Retribusi dan conservation tax dapat dipergunakan secara langsung untuk membina, melestarikan dan meningkatkan kualitas kawasan pelestarian alam; (7) Penghasilan masyarakat. Masyarakat setempat harus mendapatkan hasil yang proporsional, karena keuntungan secara nyata terhadap ekonomi masyarakat dari kegiatan ekowisata akan mendorong masyarakat menjaga kelestarian kawasan alam, dan (8) Peluang penghasilan pada porsi yang besar terhadap negara. Apabila suatu kawasan pelestarian dikembangkan untuk ekowisata, maka devisa dan belanja wisatawan didorong sebesar-besarnya dinikmati oleh negara atau pemerintah daerah setempat.

Konsep pengembangan ekowisata dilaksanakan dengan cara pengembangan pariwisata pada umumnya. Perbedaannya adalah pengembangan ekowisata memperhatikan aspek konservasi (konservasi alam dan budaya), partisipasi masyarakat (perencanaan dan pengembangannya melibatkan masyarakat setempat secara optimal) dan aspek edukasi (dapat meningkatkan kesadaran dan apresiasi terhadap alam, nilai-nilai peninggalan sejarah dan budaya serta memberikan nilai tambah dan pengetahuan bagi wisatawan, masyarakat, dan para pihak yang terkait) disamping mempertimbangkan aspek ekonomi (dapat memberikan manfaat yang optimal kepada masyarakat setempat dan berkelanjutan) dan aspek wisata (dapat memberikan kepuasan dan menambah pengalaman bagi pengunjung). Ekowisata tidak melakukan eksploitasi alam, tetapi hanya menggunakan jasa alam dan nilai sosial budaya untuk memenuhi kebutuhan pengetahuan dan


(7)

6

psikologis wisatawan. Ekowisata bukan menjual destinasi tetapi menjual filosofi sehingga ekowisata tidak akan mengenal kejenuhan pasar (Fandeli, 2000).

Dalam konteks ekowisata, maka sumber daya alam jangan dipandang hanya sebagai suatu sumber daya, karena ini akan melahirkan pandangan dan kegiatan-kegiatan yang sifatnya ekstraktif. Akan tetapi sumber daya alam harus dipandang sebagai aset, sehingga kegiatan-kegiatan yang dilahirkan akan bersifat non-ekstraktif dan mengelola sumber daya alam sebagai aset yang miliki nilai ekonomi tinggi. Pendekatan yang kemudian muncul dan digunakan dalam pengembangan ekowisata adalah yang bersifat simbiotik, dimana para pelaku wisata berinteraksi positif dengan kawasan yang dikelolanya dan bukan bersifat parasitik, seperti yang banyak terlihat di kawasan pariwisata Indonesia termasuk di Bali.

Selama ini pengembangan pariwisata di Bali lebih diorientasikan pada peningkatan pendapatan, terutama pendapatan negara (devisa), pendapatan pemerintah (pajak) dan terlalu diwarnai oleh komersialisme. Dengan kata lain, pariwisata senantiasa dipersepsikan sebagai instrumen untuk meningkatkan pendapatan saja, sementara fakta implementasinya sering terlihat memarginalisasikan masyarakat yang tinggal disekitar daerah tujuan wisata. Sebagai suatu fenomena yang ditimbulkan oleh salah satu bentuk kegiatan yang bersifat konsumtif maka pariwisata memang memiliki potensi untuk peningkatkan pendapatan negara, pendapatan pemerintah baik pusat maupun daerah, pendapatan dunia usaha, bahkan pendapatan masyarakat, sehingga mempunyai nilai ekonomi dan nilai komersial yang tinggi. Namun dibalik itu pariwisata sebenarnya memiliki berbagai potensi lain yang tidak bersifat ekonomi dan komersial, seperti peningkatan kualitas nilai-nilai sosial budaya, integritas dan jati diri, perluasan wawasan, persahabatan, konservasi alam dan peningkatan mutu lingkungan, dan lain sebagainya. Hal ini harus disadari oleh


(8)

7

pemerintah, sehingga harus dirumuskan suatu kebijakan dan membuat pendekatan yang berbeda di dalam pengembangan sistem pemanfaatan keanekaragaman hayatinya, terutama kebijakan dalam pengembangan pariwisata yang secara langsung memanfaatkan sumber daya alam sebagai aset. Pengembangan sumber daya alam yang non-ekstraktif, non-konsumtif dan berkelanjutan perlu diprioritaskan dan dalam bidang pariwisata pengembangan seperti ekowisata harus menjadi pilihan utama. Oleh karena itu maka sangatlah tepat bahwa konsep ekowisata dapat dijadikan sebagai salah satu bagian dari visi dan misi pengembangan pariwisata di Indonesia pada umumnya dan Bali pada khususnya.

Kabupaten Klungkung memiliki kawasan Bukit Abah yang sangat potensial untuk dikembangkan sebagai objek ekowisata. Hal tersebut didukung oleh diversitas berbagai jenis tanaman di lokasi tersebut, termasuk tanaman yang bernilai sosial budaya, dipadu keindahan panorama alam dengan udara bersih, sejuk dan segar seperti udara pegunungan padahal lokasinya dekat pantai. Disamping itu didukung oleh budaya lokal yang kuat dan mudah diakses dari segala penjuru termasuk dari Ibu Kota Kabupaten dan Ibu Kota Provinsi Bali. Keberadaan Bukit Abah yang dilengkapi dengan Bumi Perkemahan dan Kebun Botani Plasma Nutfah (Arboretum) serta dikelilingi oleh kondisi lingkungan alami merupakan faktor pendukung penting dalam pengembangan obyek ekowisata. Hal ini sesuai dengan pendapat Fandeli (2000) bahwa destinasi yang diminati wisatawan eco-treveller adalah daerah alami dan kawasan konservasi seperti Taman Nasional, Taman Hutan Raya, Cagar Alam, Suaka Margasatwa, dan Taman Wisata. Kawasan lain seperti hutan lindung, hutan produksi, hutan rakyat, ekosistem sungai, danau, rawa, gambut, daerah hulu atau muara sungai bila memiliki obyek alam sebagai daya tarik ekowisata dapat dipergunakan pula


(9)

8

untuk pengembangan ekowisata. Namun pendekatan yang harus dilaksanakan adalah tetap menjaga area tersebut tetap lestari sebagai areal alam.

Berbagai tempat/lokasi di sekitar Bukit Abah di Lingkungan Kecamatan Dawan memiliki potensi yang dapat dikembangkan untuk mendukung pengembangan Bukit Abah sebagai obyek ekowisata, seperti budaya kerajinan keris di Kusamba, keanekaragaman hayati/tanaman kelapa langka di Pesinggahan, industri kecil dan kerajinan penunjang upakara berbahan baku sumberdaya alam lokal di Paksebali, Besan, Pikat, Gunaksa, Sulang, dan lain-lain, proses produksi garam secara tradisional di Goalawah, proses produksi Gula Merah di Desa Dawan, Bandungan Kali Unda dengan terjunan airnya sebagai

tempat shooting film di Desa Paksebali,wisata spiritual ke Makam Habib Ali di

Kelurahan Kampung Kusamba, dan berbagai atraksi budaya dan ritual keagamaan di seputar Kecamatan Dawan yang unik dan menarik. Dalam pengembangan ekowisata, pengelolaan sumberdaya alam, budaya lokal dan peran keunggulan kearifan tradisional perlu dikedepankan. Geriya (2003) menyatakan bahwa kearifan tradisional memiliki beberapa keunggulan antara lain: mengedepankan filosofi harmoni dalam keragaman, bertumpu pada paradigma keseimbangan yang dinamik, berpola partisipasi masyarakat yang bersifat bottom up, dan berbasis komunitas dengan dukungan kelembagaan (tradisional) yang mengkhalayak. Dalam kaitan pengembangan Bukit Abah sebagai obyek ekowisata maka potensi lokal yang ada di sekitar Bukit Abah harus dioptimalkan, diberdayakan dan dilestarikan sehingga pengembangan Bukit Abah dapat terinegrasi dan menjadi satu kesatuan secara holistik dengan wilayah sekitarnya. Namun demikian, ketangguhan sains, teknologi dan nilai-nilai baru juga perlu diadopsi untuk memberikan wawasan, manajerial dan efisiensi.


(10)

9

Menurut Hector Ceballos-Lascurain, wisata alam atau pariwisata ekologis adalah perjalanan ketempat-tempat alami yang relatif masih belum terganggu atau terkontaminasi (tercemari) dengan tujuan untuk mempelajari, mengagumi dan menikmati pemandangan, tumbuh-tumbuhan dan satwa liar, serta bentuk-bentuk manifestasi budaya masyarakat yang ada, baik dari masa lampau maupun masa kini. Ekowisata merupakan upaya untuk memaksimalkan dan sekaligus melestarikan pontensi sumber-sumber alam dan budaya untuk dijadikan sebagai sumber pendapatan yang berkesinambungan. Dengan kata lain ekowisata adalah kegiatan wisata alam plus plus. Menurut TIES (The International Ecotourism Society) dalam kegiatan ekowisata terkandung unsur-unsur kepedulian, tanggung jawab dan komitmen terhadap kelestarian lingkungan dan kesejahtraan penduduk setempat (Anon., 2009).

Menurut Departemen Kehutanan, dalam pengembangan ekowisata perlu memperhatikan prinsip-prinsip : (a). konservasi, (b) pendidikan, (c) ekonomi, (d) peran serta masyarakat, dan (e) wisata (Kemungkinan Meningkatkan Ekowisata. http://www.dephut.go.id/informasi/phpa /EWISATa. htm.)

Potensi Bukit Abah dan Wilayah Sekitarnya

Dalam rincian sebaran kawasan pariwisata yang tertuang dalam Perda Provinsi Bali No 3 tahun 2005, di wilayah Kabupaten Klungkung antara lain disebutkan dikembangkannya Objek Daya Tarik Wisata (ODTW) Bukit Abah dan Gunaksa (Pemerintah Kabupaten Klungkung, 2008) (sumber : Status Lingkungan Hidup Kab. Klungkung 2008).

Bukit Abah memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai obyek ekowisata karena dilandasi oleh diversitas berbagai jenis tanaman di lokasi tersebut, termasuk tanaman yang bernilai sosial budaya, dipadu keindahan panorama alam dengan udara yang sejuk dan segar seperti udara pegunungan


(11)

10

padahal lokasinya dekat pantai. Di samping itu didukung pula oleh berbagai tempat/lokasi di sekitar Bukit Abah di Lingkungan Kecamatan Dawan yang memiliki potensi yang dapat dikembangkan untuk mendukung pengembangan Bukit Abah sebagai obyek ekowisata. Dalam rangka mengembangkan Bukit Abah maka potensi-potensi wilayah sekitarnya ikut diberdayakan dengan maksud agar pengembangan Bukit Abah dapat terintegrasi dan menjadi satu kesatuan secara holistik dengan wilayah sekitarnya. Adapun potensi fisik, sosial, ekonomi dan budaya serta potensi lainnya yang dimiliki Bukit Abah dan wilayah sekitarnya adalah seperti berikut.

Potensi Fisik

Wilayah Kecamatan Dawan secara geografis terletak didaerah dengan topografi mulai dari kawasan perbukitan hingga pantai. Kekayaan fisik bentang alam yang dimiliki Kecamatan Dawan berupa pemandangan topografi yang sangat beragam dan kaya. Tidak banyak wilayah yang memiliki kondisi alam semacam ini. Bentuk alam semacam ini juga memungkinkan beragam vegetasi dapat dijumpai di Kecamatan Dawan. Secara fisik, potensi kawasan Bukit Abah dan wilayah sekitarnya yang mendukung pengembangan Bukit Abah menjadi obyek ekowisata seperti berikut.

1. Di Bukit Abah dikembangkan dan dibangun Bumi Perkemahan dan Kebun Botani (arboretum) yang merupakan bagian dari wisata alam yang mengandung makna antara lain pendidikan dan pelestarian plasma nutfah. 2. Lokasi bumi perkemahan yang strategis, karena terletak di puncak bukit

yang memiliki nice view . Pemandangan yang spesifik adalah terlihatnya

tiga pulau di Nusa Penida secara terpisah dan berbagai object of interest

lainnya. Lokasi untuk mencapai titik pandang membutuhkan perjalanan melalui jalan setapak di bawah rerimbunan kanopi tanaman hutan rakyat.


(12)

11

3. Ketersediaan akses jalan menuju bumi perkemahan dan menuju Bukit Abah secara memadai. Akses tersebut dapat melalui Desa Dawan Kelod, Desa Pesinggahan atau Desa Gunaksa. Dalam perencanaan ke depan lalulintas akses ke dan dari Bukit Abah dapat diatur sedemikian rupa agar wisatawan dapat menikmati seluruh potensi unggulan yang ada di sekitar kawasan Bukit Abah.

Pemandangan alam dari Bukit Abah

4. Di lokasi Bumi Pekemahan dan di Bukit Abah terdapat sumber air dan telah tersedia sarana air bersih.


(13)

12

5. Adanya terjunan air di Sungai Unda yang menjadi objek wisata para wisatawan yang secara kebetulan melewati jembatan lama dan tempat ini seringkali digunakan sebagai lokasi shooting film .

Sumber air dekat lokasi Bumi Perkemahan (kiri) dan terjunan air Tukad Unda (kanan)

6. Desa Pikat yang merupakan batas bagian Timur Desa Besan dan secara topografi lokasinya berbukit, diketahui memiliki sumber mata air, walaupun mata air yang dimaksud lebih banyak merupakan rembesan, sehingga pada saat musim kemarau debit rembesan sangat kecil.


(14)

13 Potensi Sosial, Ekonomi dan Budaya

Dari aspek sosial dan budaya, Bali dikenal mempunyai keunikan dibanding propinsi lain di seluruh Indonesia. Perjalananan masyarakat adat sangatlah panjang yang hasilnya dapat dirasakan dan dinikmati berupa produk sosial budaya yang dijiwai oleh agama Hindu. Demikian pula halnya di wilayah Kecamatan Dawan.

Secara sosial, ekonomi, dan budaya Kecamatan Dawan juga kaya dengan keragaman dan keunikan yang mungkin hanya dapat ditemui di tempat tersebut. Kondisi alam yang cukup bervariasi telah membentuk masyarakat dengan sosial, ekonomi, dan budaya yang telah beradaptasi dengan lingkungannya dalam rentang waktu yang sangat panjang. Aktivitas sosial dan budaya dapat dijumpai di desa-desa atau banjar dengan kelompok masyarakat yang memiliki keahlian khusus, dan dari aktivitas tersebut menghasilkan nilai ekonomi serta nilai sosial dan budaya yang kuat untuk mendukung pengembangan ekowisata di kawasan tersebut. Secara lebih rinci, aspek sosial, ekonomi dan budaya yang dimiliki dan berkembang di kawasan Kecamatan Dawan, khususnya di wilayah yang berdekatan dengan Bukit Abah yang mendukung pengembangan obyek ekowisata adalah :

1. Masih tetap eksis dan bahkan semakin berkembangnya berbagai kegiatan sosial budaya seperti kelompok kegiatan kesenian serta produk kesenian yang dihasilkan di masing-masing desa/banjar. Asset dan keunggulan lokal berupa keberagaman nilai sosial budaya tersebut merupakan perekat kesatuan dan persatuan serta menjadi asset dalam meningkatkan kepariwisataan berbasis nilai budaya lokal. Berdasarkan data Kecamatan Dawan Dalam Angka (2009), sebaran kelompok kegiatan kesenian di Kecamatan Dawan terdiri atas kesenian Barong 7 buah, gong kebyar 24 kelompok, angklung 15 kelompok, balegenjur 30 kelompok, wayang kulit 10


(15)

14

unit, pesantian 22 kelompok. Di luar yang sudah disebutkan ini tentu masih banyak lagi atraksi kesenian yang berkembang di wilayah perencanaan. 2. Pura Goa Lawah merupakan objek wisata yang sudah dikenal di manca

negara. Objek wisata ini bukan saja sebagai objek fisik, namun juga sangat diyakini sebagai tempat pelaksanaan upacara/yadnya bagi umat Hindu Bali. Banyaknya kunjungan wisata ke Pura Goa Lawah dapat dijadikan sebagai entry point untuk mendorong pengembangan ekowisata di Kecamatan Dawan.

3. Pura Bukit Sangmong merupakan salah satu pura yang terdapat di Kabupaten Klungkung. Secara administratif terletak di Desa Dawan Kelod, Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung. Pura ini disungsung oleh krama (sekelompok masyarakat) Subak Dawan. Pura ini banyak menyimpan peninggalan arkeologi, dalam bentuk arca dan sejumlah fragmen bangunan. Situs ini berada di tempat ketinggian yang dikelilingi oleh persawahan, jauh dari pemukiman penduduk (Suwita Utami, 2009).

4. Pande Keris berpamor di Desa Kusamba. Salah seorang dari pande keris tersebut dengan proses pembuatan produknya sesuai dengan pakem dari para leluhur pande telah terkenal sampai ke manca Negara, konsumennya berasal dari berbagai Negara seperti Eropa, Amerika, dan lain-lain. Spesifikasi jenis keris yang diproduksi secara garis besar ada dua jenis yakni keris biasa/pasaran dengan nilai ekonomi yang relatif murah karena materi dan proses pembuatannya lebih mudah. Sedangkan keris berpamor membutuhkan bahan baku yang spesial (mengandung batu meteor) dan bahkan proses produksinya menggunakan pakem-pakem dan anggah -ungguh dewasa waktu mulai dibuat sangat ketat sesuai dengan tujuan dibuatnya keris yang bersangkutan. Proses produksi keris berpamor yang sangat langka dan spesifik tersebut dapat diramu menjadi sebuah objek


(16)

15

wisata untuk mendukung pengembangan ekowisata Bukit Abah. Hingga saat ini hanya ada 3 buah perapen yang masih aktif berproduksi, sehingga dirasakan perlu untuk dilestarikan keberadaannya. Keris bagi masyarakat Indonesia, terkadang dikonotasikan sebagai benda pusaka yang mengandung kekuatan magis. Keris merupakan media penghubung dunia nyata dan maya. Tidaklah heran bila keris begitu lekat dengan keseharian masyarakat di nusantara, terutama berkenaan dengan ritual-ritual adatnya. Bila memasuki dunia pecinta Keris, baik kolektor, pedagang, perantara, atau pembuat keris, seseorang akan dihadapkan pada cerita sensasi dan fantastisnya harga keris. Ditambah pula dengan keunggulan, keindahan, keadiluhungan, dan cerita-cerita berbau mistik yang menyertai sebuah senjata. Tak heran bila yang memandang keris sebagai produk sebuah jaman, menganggap keris yang punya kelas adalah yang berasal dari Jaman Majapahit. Diyakini saat itu motivasi empu pembuat keris begitu tinggi, sehingga hasilnyapun berkualitas.


(17)

16

Batu meteor sebagai salah satu bahan pembuatan keris bertuah oleh salah seroang pengerajin keris di Desa Kusamba

5. Adanya upacara adat yang disakralkan berupa Joli Mepalu / Adu Joli yang

pelaksanaannya dilakukan setiap 210 hari, momennya jatuh pada setiap Hari Raya Kuningan di Desa Paksebali.

6. Adanya wisata spiritual dalam bentuk Ziarah Rohani ke pemakaman Habib bin Abu Bakar al-Hamid sebagai penyebar agama Islam di Kampung Kusamba. Kunjungan ke makam ini merupakan perjalanan wisata ziarah yang masih berkaitan dengan kunjungan ke obyek-obyek wisata di lingkungan Klungkung. Kegiatan ziarah secara masal umumnya terjadi setahun sekali, walaupun secara sporadis kunjungan terjadi setiap hari. Diyakini oleh umat muslim yang berasal bukan saja dari Klungkung dan sekitarnya bahkan dari luar Bali. Makam ini dipugar pada 1 Oktober 1995 dengan bangunan permanen serta dilengkapi dengan patung berkuda, bangunan terbuka, lahan parkir, dan sarana lainnya.


(18)

17

Wisata spiritual/Ziarah Rohani ke pemakaman Habib bin Abu Bakar al-Hamid di Desa Kampung Kusamba

7. Aktivitas ekonomi berupa kegiatan rumah tangga tenun ikat di Desa Paksebali dan pembuatan alat-alat rumah tangga perpandean seperti pisau di Desa Paksebali dan Kusamba.

8. Industri rumah tangga pembuatan anyaman ate oleh beberapa masyarakat di Desa Besan, Gunaksa, dan lain-lain. Hal ini dimungkinkan karena bahan baku relatif masih mudah diperoleh di lahan desa dan sekitarnya. Disamping itu, nampaknya masih terlihat juga potensi industri anyaman

kurungan dan produk anyaman dipasarkan ke luar kabupaten yakni ke daerah Subagan.

9. Adanya industri rumah tangga pembuatan gula merah, gula semut dan minuman arak berbahan baku nira kelapa di Desa Besan, Dawan Kaler, dan Dawan Kelod.

10. Kegiatan pembuatan anyaman tembikar berbahan baku daun pandan di Desa Pesinggahan. Produksi daun pandan dapat dipanen sepanjang tahun namun panen raya hanya setahun sekali. Kegiatan anyaman oleh pengrajin masih merupakan kegiatan sambilan dalam keseharian masyarakat beraktivitas, sehingga secara ekonomi produktivitas kurang optimal dengan


(19)

18

rata-rata produksi sehelai tembikar per hari atau penghasilan Rp 15.000,00/hari. Sistem pemasarannya sangatlah sederhana yakni pengepul mendatangi para pengrajin untuk membeli produknya.

11. Adanya kegiatan kerajinan berbahan baku batok kelapa di Desa Kusamba. 12. Terdapat kegiatan industri rumah tangga pembuatan tedung atau payung

adat di Desa Paksabali

13. Adanya kegiatan industri pembuatan garam tradisional yang jumlahnya sudah terdegradasi. Hingga saat studi ini dilakukan hanya terdapat 2 (dua) unit yang masih beraktivitas. Produksi garam secara tradisional ini sangat potensial sebagai komponen untuk mendukung pengembangan obyek ekowisata.

14. Potensi galian-C terdapat di Desa Gunaksa, namun keberadaan sumberdaya alam galian sudah mulai menipis, sehingga masyarakat yang beraktivitas pada galian kiranya harus berancang-ancang untuk mulai memikirkan jenis kegiatan lainnya, terlebih lagi adanya upaya pihak Pemda Klungkung untuk menalih fungsikan lahan lokasi galian. Potensi lain yang dimiliki oleh Desa Gunaksa adalah terhamparnya kawasan persawahan yang paling luas di Kecamatan Dawan. Selain padi menjadi produk utama, komoditi cabai rawit menjadi produk unggulan pada musim kemarau.

15. Desa Dawan Kelod, secara ekonomi memiliki areal persawahan yang keberadaannya semakin terdegradasi dengan adanya pembukaan jalan baru. Daerah ini merupakan sentra produksi komoditi sawo, sistem pemasarannya lebih banyak dilakukan melalui pengepul masyarakatnya untuk dipasarkan secara lokal dan bahkan sampai antar pulau (Lombok).


(20)

19

Kerajinan pembuatan gula merah dari nira kelapa

Kerajinan tenun ikat di Desa Paksebali (kiri) dan kerajinan pembuatan tikar dari daun pandan di Desa Pikat (kanan)


(21)

20

Kerajinan berbahan baku batok kelapa di Desa Kusamba (kiri) dan pembuatan tedung/payung untuk perlengkapan upacara (kanan)

Kerajinan pembuatan kelangsah dari daun kelapa (kiri) dan kios pemasaran hasil kerajinan untuk upacara agama di Desa Paksebali (kanan)

Keanekaragaman Hayati dan Sumberdaya Alam

Keanekaragaman hayati dan sumberdaya alam merupakan anugerah terbesar bagi umat manusia. Manfaat keanekaragaman hayati antara lain adalah: (1) merupakan sumber kehidupan, penghidupan dan kelangsungan hidup bagi umat manusia, karena potensial sebagai sumber pangan, papan, sandang, obat-obatan serta kebutuhan hidup yang lain, (2) merupakan sumber ilmu pengetahuan dan teknologi, (3) mengembangkan sosial budaya umat manusia, dan (4) membangkitkan nuansa keindahan yang merefleksikan penciptanya.

Keanekaragaman hayati merupakan ungkapan pernyataan terdapatnya berbagai macam variasi bentuk, penampilan, jumlah dan sifat, yang terlihat pada


(22)

21

berbagai tingkatan persekutuam makhluk hidup yaitu tingkatan ekosisitem, tingkatan jenis dan tingkatan genetik. Keanekaragaman hayati menurut UU NO 5 Tahun 1994 adalah keanekaragaman diantara mahluk hidup dari semua sumber termasuk di antaranya daratan, lautan dan ekosistem akuatik lain, serta komplek-komplek ekologi yang merupakan bagian dari keanekaragamannya, mencakup keanekaragaman dalam spesies, antara spesies dengan ekosisitem.

Bukit Abah dan wilayah sekitarnya memiliki keanekaragaman hayati yang cukup tinggi. Keanekaragaman hayati yang dimiliki tersebut sangat bermanfaat dan mempunyai nilai tertentu meliputi nilai ekonomi, nilai biologis, nilai ekologis/lingkungan, serta nilai sosial budaya, keilmuan dan keindahan.

Dari aspek nilai ekonomi, keanekaragaman hayati dapat dijadikan sebagai sumber pendapatan (dapat mendatangkan devisa untuk industri). Misalnya untuk bahan baku industri, rempah-rempah, dan perkebunan. Bahan-bahan industri misalnya berbagai macam kayu untuk industri kosmetik dan untuk perkakas rumah tangga serta meubel, kakao dan kopi untuk industri minuman, kelapa untuk minyak, dan lain sebagainya.

Keanekaragaman hayati memiliki nilai biologis atau penunjang kehidupan bagi makhluk hidup termasuk manusia. Tumbuhan menghasilkan gas oksigen (O2) pada proses fotosintesis yang diperlukan oleh makhluk hidup untuk pernafasan, menghasilkan zat organik misalnya biji, buah, umbi sebagai bahan makanan makhluk hidup lain. Hewan dapat dijadikan makanan dan sandang oleh manusia. Jasad renik diperlukan untuk mengubah bahan organik menjadi bahan anorganik, untuk membuat tempe, oncom, kecap, dan lain-lain. Nilai biologis lain yang penting adalah hutan sebagai gudang plasma nutfah (plasma benih).

Dari aspek nilai ekologis/lingkungan, keanekaragaman hayati merupakan komponen ekosistem yang sangat penting, antara lain merupakan paru-paru


(23)

22

bumi dari kegiatan fotosintesis tumbuhan dapat menurunkan kadar karbondioksida (CO2) di atmosfer, yang berarti dapat mengurangi pencemaran udara dan dapat mencegah efek rumah kaca. Disamping itu, keanekaragamanhayati dapat menjaga kestabilan iklim global, yaitu mempertahankan suhu dan ke lembaban udara.

Dari aspek nilai sosial budaya, keanekaragaman hayati dapat dikembangkan sebagai tempat rekreasi atau pariwisata serta samping untuk mempertahankan tradisi. Disamping itu keanekaragaman hayati juga bermanfaat untuk keilmuan karena Keanekaragaman hayati dapat dijadikan sebagai lahan penelitian dan pengembangan ilmu yang sangat berguna untuk kehidupan manusia, sedangkan manfaat keindahan adalah manfaat keanekaragaman hayati dari bermacam-macam tumbuhan dan hewan yang dapat memperindah lingkungan.

Berdasarkan hasil survey dan data sekunder, keanekaagaman hayati spesifik yang ada di Bukit Abah dan wilayah sekitarnya adalah sebagai berikut:

1. Bukit Abah memiliki 165 jenis plasma nutfah yang memiliki manfaat bagi kehidupan manusia dan secara ekosistem bertstatus stabil dengan nilai indeks keanekaragaman jenis tumbuhan rata-rata >1,5 pada berbagai level ketinggian tempat. Sumber plasma nutfah yang spesifik di kawasan Bukit Abah adalah Juwet Putih (Syzygium cumini) dan pohon Kayu Jeleme/kayu badarah (Knema glauca) yang disakralkan oleh masyarakat sekitarnya karena diyakini bagian tanaman dapat digunakan sebagai bahan obat (Bapeda Kab. Klungkung, 2007: Studi Taksonomi Tumbuhan di Bukit Abah dalam menunjang Pengembangan Bumi Perkemahan).


(24)

23

Tanaman langka Juwet Putih (kiri) dan Kayu Jelema (kanan) di kawasan Bukit Abah Desa Besan

2. Adanya berbagai jenis (13 jenis) tanaman kelapa yang spesifik (di Desa Pesinggahan) dan dibutuhkan untuk keperluan upacara khususnya untuk di Pura Besakih. Jenis kelapa yang paling spesifik adalah jenis kelapa ancak. Spesifikasi yang menonjol dari kelapa ini adalah tak pernah berbuah, karena posisi buah berubah menjadi tempat munculnya anakan. Anakan yang terjadi memiliki kesulitan yang sangat tinggi untuk dapat ditumbuhkan


(25)

24

3. Tanaman buah-buahan yang dikenal oleh masyarakat luas dari Kecamatan Dawan adalah sawo (Manilkara achras), bahkan merupakan komoditi primadona daerah. Kondisi tersebut sering muncul ungkapan ingat sawo, ingat Kecamatan Dawan

Tanaman sawo di pinggir jalan dan di kebun/tegalan di Desa Dawan Kelod

4. Kecamatan Dawan diplot sebagai kawasan pertanian khusus/khas (pelestarian plasma nuftah). Rancangan tersebut tercantum dalam draf RTRW Kabupaten Klungkung yang kini masih dalam proses pembahasan untuk kemudian disahkan sebagai peraturan daerah. Kekhususan kawasan pertanian yang dirancang di Kecamatan Dawan dikarenakan keberadaan pohon sawo yang menjadi ciri khas kecamatan tersebut (Bali Post 13 September 2009, Dawan Diplot sebagai Kawasan Pertanian Khusus).

Manfaat Ekonomi, Upaya Konservasi, dan Keterlibatan Masyarakat

Ekowisata merupakan bentuk wisata yang erat kaitannya dengan prinsip konservasi/ pelestarian alam dan pemberdayaan masyarakat lokal (community empowerment) dalam proses kegiatan ekowisata. Disamping itu, pengembangan


(26)

25

ekowisata dapat meningkatkan kualitas kehidupan dalam masyarakat (bidang ekonomi) dan mengkonservasi warisan alam dan budaya.

Dalam Pertemuan Ekoturisme Dunia (WES) I yang berlangsung di Quebec, Kanada, 19 hingga 22 Mei 2002, ekoturisme diyakini sebagai pendekatan yang paling tepat dalam menggabungkan langkah-langkah pembangunan lingkungan berkelanjutan dengan industri wisata yang diharapkan dapat mengangkat kualitas hidup masyarakat setempat. Dari sini dapat disimpulkan bahwa konsep ekowisata merupakan metode pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya pariwisata yang ramah lingkungan dengan melibatkan masyarakat lokal sebagai salah satu pelaku wisata dan sudah seharusnya masyarakat lokal mendapatkan dampak positif dari kegiatan ekowisata (Kiky Septina Kaesa, 2009).

Alur berpikir yang paling mudah mengapa dalam penerapan ekowisata perlu melibatkan masyarakat lokal adalah bahwa kecil kemungkinan berbagai kegiatan yang merusak sumberdaya alam dapat diminimalisir tanpa meningkatkan kualitas kondisi sosial dan ekonomi masyarakat lokal. Oleh karena itu, agar dapat mencapai sasaran dan tujuan yang tepat yaitu terciptanya sumberdaya alam yang lestari dan meningkatnya kondisi ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat maka dalam penerapan ekowisata sudah seharusnya melibatkan masyarakat lokal. Dari kegiatan ekowisata diharapkan terjadi perubahan yang signifikan dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat lokal.

Ketika masyarakat sudah dilibatkan secara aktif maka dengan sendirinya akan muncul rasa memiliki di dalam upaya konservasi sumberdaya alam melalui kegiatan wisata alam. Partisipasi masyarakat lokal ini bisa menjadi key point

dalam pengembangan ekowisata sekaligus dapat memotivasi mereka untuk lebih bertanggungjawab terhadap pemeliharaan lingkungan dan pelestarian alam serta budaya. Tentunya dalam pelaksanaan kegiatan tersebut harus


(27)

26

menekankan pada keseimbangan penggunaan sumberdaya alam dengan usaha-usaha konservasi yang berkelanjutan (suistanable). Untuk mem-folow up hal ini tentu saja dibutuhkan suatu teknik dan upaya dalam rangka menumbuhkan semangat dan partipasi masyarakat lokal yang menjadi titik balik

Pasal 20 Peraturan Menteri Dalam Negeri No 33 tahun 2009 tentang pedoman pengembangan ekowisata daerah, mempertegas bahwa pengembangan ekowisata wajib memberdayakan masyarakat setempat mulai dari perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian ekowisata. Lebih lanjut disebutkan upaya pemberdayaan masyarakat dapat diselenggarakan melalui kegiatan pendidikan dan bentuk keterampilan lainnya. Wujud manfaat yang harus dapat dirasakan oleh masyarakat dengan adanya kunjungan wisatawan dalam bentuk :

1. Pembentukan sentra-sentra produksi dan pemasaran potensi desa-desa penyangga Bukit Abah yang diwujudkan dalam suatu wadah (kelompok) kegiatan sejenis seperti pembuatan gula merah dan gula semut, pembuatan tedun (payung adat), pembuatan anyaman tembikar/bambu, kerajinan batok kelapa, pembuatan keris berpamor, pembuatan jajan tradisional (jajan sangut, jajan koping), dan kegiatan industri kecil lainnya. Melalui pembentukan sentra tersebut, masyarakat dapat menjual proses produksi dalam bentuk paket wisata.

2. Homestay adalah sistem akomodasi yang sering dipakai dalam ekowisata.

Homestay bisa mencakup berbagai jenis akomodasi dari penginapan sederhana yang dikelola secara langsung oleh keluarga sampai dengan menginap di rumah keluarga setempat. Homestay bukan hanya sebuah pilihan akomodasi yang tidak memerlukan modal yang tinggi, dengan sistem

homestay pemilik rumah dapat merasakan secara langsung manfaat ekonomi dari kunjungan wisatawan dan distribusi manfaat di masyarakat lebih


(28)

27

terjamin. Sistem homestay mempunyai nilai tinggi sebagai produk ekowisata di mana soerang turis mendapatkan kesempatan untuk belajar mengenai alam, budaya masyarakat dan kehidupan sehari-hari di lokasi tersebut. Pihak wisatawan dan pihak tuan rumah bisa saling mengenal dan belajar satu sama lain, dan dengan itu dapat menumbuhkan toleransi dan pemahaman yang lebih baik. Homestay sesuai dengan tradisi keramahan masyarakat lokal. 3. Dalam ekowisata, pemandu adalah orang lokal yang pengetahuan dan

pengalamannya tentang lingkungan dan alam setempat merupakan aset terpenting dalam jasa yang diberikan kepada wisatawan. Demikian juga seorang pemandu lokal akan merasakan langsung manfaat ekonomi dari ekowisata, dan sebagai pengelola juga akan menjaga kelestarian alam dan obyek wisata.

Penutup

Ekowisata yang dikembangkan adalah ekowisata yang berkelanjutan dan mengupayakan konservasi terhadap perlindungan bentang alam yang memiliki nilai biologis, ekologis dan nilai sejarah yang tinggi. Untuk itu, (1) prinsip daya dukung lingkungan diperhatikan dimana tingkat kunjungan dan kegiatan wisatawan pada suatu titik objek (misal : lokasi Batu Putih, Juwet Putih, ) sebuah daerah tujuan ekowisata dikelola sesuai dengan batas-batas yang dapat diterima baik dari segi alam maupun sosial-budaya Dalam perencanaan kawasan ekowisata, soal daya dukung (carrying capacity) perlu diperhatikan sebelum perkembanganya ekowisata berdampak negatif terhadap alam dan budaya setempat. Aspek dari daya dukung yang perlu dipertimbangkan antara lain: jumlah turis/tahun; lamanya kunjungan turis; berapa sering lokasi yang rentan secara ekologis dapat dikunjungi; (2) Sedapat mungkin aktivitas dan kegiatan yang dikembangkan yang berbahan baku alam, maka sumber bahan baku


(29)

28

tersebut dipelihara dan dilestarikan untuk kepentingan generasi kini dan generasi yang akan datang, dan (3) sedapat mungkin menggunakan teknologi ramah lingkungan yang selaras dengan kondisi setempat, misalnya listrik tenaga surya, mikrohidro, biogas, dan lain-lain.

Sebagai penutup dari karya tulis ini, kami sampaikan ucapan terima kasih kepada berbagai pihak atas perkenan dan kontribusinya.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous. 2009. http://www.ekowisata.info/kriteria_pengembangan-ekowi-sata. html)[8 Agustus, 2009).

Badan Pusat Statistik Kabupaten Klungkung. 2008. Kabupaten Klungkung Dalam Angka 2008.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Klungkung. 2008. Kecamatan Dawan Dalam Angka 2008.

Bappeda Kabupaten Klungkung. 2007. Studi Taksonomi Tumbuhan di Bukit Abah dalam Menunjang Pengembangan Bumi Perkemahan. Kerjasama Badan Perencanaan Pembangunan Pemerintah Kabupaten Klungkung Dengan Lembaga Penelitian Universitas Udayana Denpasar Bali.

Bappeda Kabupaten Klungkung. 2008. Program Pengembangan Obyek Wisata dengan Konsep Ekowisata di Bukit Abah Kabupaten Klungkung Kerjasama Badan Perencanaan Pembangunan Pemerintah Kabupaten Klungkung Dengan Lembaga Penelitian Universitas Udayana Denpasar Bali.

Buultjens, J. 1999. Tourism: A Prosperous )ndustry or A Lifestyle s Choice. In

Proceedings of the Ecotourism Association of Australia. Australia: Ecotourism Association of Australia.

Fandeli, C. 2000. Pengertian dan Konsep Dasar Ekowisata. Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta. http://www.conservation.or.id/ office/images/album/File//Publikasi/pdf (Senin, 19 Januari 2009)

Fennel, D. A. 1999. Ecotourism: An Introduction. London:Routledge.

Geriya, I. W. 2003. Revitalisasi Peran Lembaga Masyarakat dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup di Kabupaten Gianyar. Makalah dalam Semiloka Forum


(30)

29

Masyarakat Pengamat Lingkungan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Udayana, di Gianyar, 15 Juli 2003.

Goodwin, H. 1998. Sustainable Tourism and Poperty Elimination. Peper on Workshop on Sustainable Tourism and Poperty. United Kingdom.

Kiky Septina Kaesa, 2009. Membangun Kemandirian Ekonomi Masyarakat Lokal Melalui Ekowisata, TN Bali Barat http://www.tnbalibarat. com/?p=113).

Linberg, K. and D.E. Hawkins. 1993. Ecotourism. North Bennington: The Ecotourism Society.

Sproule, K.W. 2000. Community-based Ecotourism Development. Identifying Partners in the Process. Wildlife Preservation Trust International.

Suwita Utami. 2009. http://www.purbakala bali.com/index.php?option=com_ content&view=article&120:konservasi-pura-bukit-sangmong-dawan-klungkung&catid=60: artikel&Itemid=82.

The International Ecotourism Society/TIES. 1990. Regional Prepatory Conference for the World Ecotourism Summit. Belize City.

Warta KEHATI. 1998. Ekowisata, Antara Bisnis dan Konservasi. Jakarta: Yayasan KEHATI.


(1)

24

3. Tanaman buah-buahan yang dikenal oleh masyarakat luas dari Kecamatan Dawan adalah sawo (Manilkara achras), bahkan merupakan komoditi primadona daerah. Kondisi tersebut sering muncul ungkapan ingat sawo, ingat Kecamatan Dawan

Tanaman sawo di pinggir jalan dan di kebun/tegalan di Desa Dawan Kelod

4. Kecamatan Dawan diplot sebagai kawasan pertanian khusus/khas (pelestarian plasma nuftah). Rancangan tersebut tercantum dalam draf RTRW Kabupaten Klungkung yang kini masih dalam proses pembahasan untuk kemudian disahkan sebagai peraturan daerah. Kekhususan kawasan pertanian yang dirancang di Kecamatan Dawan dikarenakan keberadaan pohon sawo yang menjadi ciri khas kecamatan tersebut (Bali Post 13 September 2009, Dawan Diplot sebagai Kawasan Pertanian Khusus).

Manfaat Ekonomi, Upaya Konservasi, dan Keterlibatan Masyarakat

Ekowisata merupakan bentuk wisata yang erat kaitannya dengan prinsip konservasi/ pelestarian alam dan pemberdayaan masyarakat lokal (community empowerment) dalam proses kegiatan ekowisata. Disamping itu, pengembangan


(2)

25

ekowisata dapat meningkatkan kualitas kehidupan dalam masyarakat (bidang ekonomi) dan mengkonservasi warisan alam dan budaya.

Dalam Pertemuan Ekoturisme Dunia (WES) I yang berlangsung di Quebec, Kanada, 19 hingga 22 Mei 2002, ekoturisme diyakini sebagai pendekatan yang paling tepat dalam menggabungkan langkah-langkah pembangunan lingkungan berkelanjutan dengan industri wisata yang diharapkan dapat mengangkat kualitas hidup masyarakat setempat. Dari sini dapat disimpulkan bahwa konsep ekowisata merupakan metode pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya pariwisata yang ramah lingkungan dengan melibatkan masyarakat lokal sebagai salah satu pelaku wisata dan sudah seharusnya masyarakat lokal mendapatkan dampak positif dari kegiatan ekowisata (Kiky Septina Kaesa, 2009).

Alur berpikir yang paling mudah mengapa dalam penerapan ekowisata perlu melibatkan masyarakat lokal adalah bahwa kecil kemungkinan berbagai kegiatan yang merusak sumberdaya alam dapat diminimalisir tanpa meningkatkan kualitas kondisi sosial dan ekonomi masyarakat lokal. Oleh karena itu, agar dapat mencapai sasaran dan tujuan yang tepat yaitu terciptanya sumberdaya alam yang lestari dan meningkatnya kondisi ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat maka dalam penerapan ekowisata sudah seharusnya melibatkan masyarakat lokal. Dari kegiatan ekowisata diharapkan terjadi perubahan yang signifikan dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat lokal.

Ketika masyarakat sudah dilibatkan secara aktif maka dengan sendirinya akan muncul rasa memiliki di dalam upaya konservasi sumberdaya alam melalui kegiatan wisata alam. Partisipasi masyarakat lokal ini bisa menjadi key point dalam pengembangan ekowisata sekaligus dapat memotivasi mereka untuk lebih bertanggungjawab terhadap pemeliharaan lingkungan dan pelestarian alam serta budaya. Tentunya dalam pelaksanaan kegiatan tersebut harus


(3)

26

menekankan pada keseimbangan penggunaan sumberdaya alam dengan usaha-usaha konservasi yang berkelanjutan (suistanable). Untuk mem-folow up hal ini tentu saja dibutuhkan suatu teknik dan upaya dalam rangka menumbuhkan semangat dan partipasi masyarakat lokal yang menjadi titik balik

Pasal 20 Peraturan Menteri Dalam Negeri No 33 tahun 2009 tentang pedoman pengembangan ekowisata daerah, mempertegas bahwa pengembangan ekowisata wajib memberdayakan masyarakat setempat mulai dari perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian ekowisata. Lebih lanjut disebutkan upaya pemberdayaan masyarakat dapat diselenggarakan melalui kegiatan pendidikan dan bentuk keterampilan lainnya. Wujud manfaat yang harus dapat dirasakan oleh masyarakat dengan adanya kunjungan wisatawan dalam bentuk :

1. Pembentukan sentra-sentra produksi dan pemasaran potensi desa-desa penyangga Bukit Abah yang diwujudkan dalam suatu wadah (kelompok) kegiatan sejenis seperti pembuatan gula merah dan gula semut, pembuatan tedun (payung adat), pembuatan anyaman tembikar/bambu, kerajinan batok kelapa, pembuatan keris berpamor, pembuatan jajan tradisional (jajan sangut, jajan koping), dan kegiatan industri kecil lainnya. Melalui pembentukan sentra tersebut, masyarakat dapat menjual proses produksi dalam bentuk paket wisata.

2. Homestay adalah sistem akomodasi yang sering dipakai dalam ekowisata. Homestay bisa mencakup berbagai jenis akomodasi dari penginapan sederhana yang dikelola secara langsung oleh keluarga sampai dengan menginap di rumah keluarga setempat. Homestay bukan hanya sebuah pilihan akomodasi yang tidak memerlukan modal yang tinggi, dengan sistem homestay pemilik rumah dapat merasakan secara langsung manfaat ekonomi dari kunjungan wisatawan dan distribusi manfaat di masyarakat lebih


(4)

27

terjamin. Sistem homestay mempunyai nilai tinggi sebagai produk ekowisata di mana soerang turis mendapatkan kesempatan untuk belajar mengenai alam, budaya masyarakat dan kehidupan sehari-hari di lokasi tersebut. Pihak wisatawan dan pihak tuan rumah bisa saling mengenal dan belajar satu sama lain, dan dengan itu dapat menumbuhkan toleransi dan pemahaman yang lebih baik. Homestay sesuai dengan tradisi keramahan masyarakat lokal. 3. Dalam ekowisata, pemandu adalah orang lokal yang pengetahuan dan

pengalamannya tentang lingkungan dan alam setempat merupakan aset terpenting dalam jasa yang diberikan kepada wisatawan. Demikian juga seorang pemandu lokal akan merasakan langsung manfaat ekonomi dari ekowisata, dan sebagai pengelola juga akan menjaga kelestarian alam dan obyek wisata.

Penutup

Ekowisata yang dikembangkan adalah ekowisata yang berkelanjutan dan mengupayakan konservasi terhadap perlindungan bentang alam yang memiliki nilai biologis, ekologis dan nilai sejarah yang tinggi. Untuk itu, (1) prinsip daya dukung lingkungan diperhatikan dimana tingkat kunjungan dan kegiatan wisatawan pada suatu titik objek (misal : lokasi Batu Putih, Juwet Putih, ) sebuah daerah tujuan ekowisata dikelola sesuai dengan batas-batas yang dapat diterima baik dari segi alam maupun sosial-budaya Dalam perencanaan kawasan ekowisata, soal daya dukung (carrying capacity) perlu diperhatikan sebelum perkembanganya ekowisata berdampak negatif terhadap alam dan budaya setempat. Aspek dari daya dukung yang perlu dipertimbangkan antara lain: jumlah turis/tahun; lamanya kunjungan turis; berapa sering lokasi yang rentan secara ekologis dapat dikunjungi; (2) Sedapat mungkin aktivitas dan kegiatan yang dikembangkan yang berbahan baku alam, maka sumber bahan baku


(5)

28

tersebut dipelihara dan dilestarikan untuk kepentingan generasi kini dan generasi yang akan datang, dan (3) sedapat mungkin menggunakan teknologi ramah lingkungan yang selaras dengan kondisi setempat, misalnya listrik tenaga surya, mikrohidro, biogas, dan lain-lain.

Sebagai penutup dari karya tulis ini, kami sampaikan ucapan terima kasih kepada berbagai pihak atas perkenan dan kontribusinya.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous. 2009. http://www.ekowisata.info/kriteria_pengembangan-ekowi-sata. html)[8 Agustus, 2009).

Badan Pusat Statistik Kabupaten Klungkung. 2008. Kabupaten Klungkung Dalam Angka 2008.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Klungkung. 2008. Kecamatan Dawan Dalam Angka 2008.

Bappeda Kabupaten Klungkung. 2007. Studi Taksonomi Tumbuhan di Bukit Abah dalam Menunjang Pengembangan Bumi Perkemahan. Kerjasama Badan Perencanaan Pembangunan Pemerintah Kabupaten Klungkung Dengan Lembaga Penelitian Universitas Udayana Denpasar Bali.

Bappeda Kabupaten Klungkung. 2008. Program Pengembangan Obyek Wisata dengan Konsep Ekowisata di Bukit Abah Kabupaten Klungkung Kerjasama Badan Perencanaan Pembangunan Pemerintah Kabupaten Klungkung Dengan Lembaga Penelitian Universitas Udayana Denpasar Bali.

Buultjens, J. 1999. Tourism: A Prosperous )ndustry or A Lifestyle s Choice. In Proceedings of the Ecotourism Association of Australia. Australia: Ecotourism Association of Australia.

Fandeli, C. 2000. Pengertian dan Konsep Dasar Ekowisata. Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta. http://www.conservation.or.id/ office/images/album/File//Publikasi/pdf (Senin, 19 Januari 2009)

Fennel, D. A. 1999. Ecotourism: An Introduction. London:Routledge.

Geriya, I. W. 2003. Revitalisasi Peran Lembaga Masyarakat dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup di Kabupaten Gianyar. Makalah dalam Semiloka Forum


(6)

29

Masyarakat Pengamat Lingkungan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Udayana, di Gianyar, 15 Juli 2003.

Goodwin, H. 1998. Sustainable Tourism and Poperty Elimination. Peper on Workshop on Sustainable Tourism and Poperty. United Kingdom.

Kiky Septina Kaesa, 2009. Membangun Kemandirian Ekonomi Masyarakat Lokal Melalui Ekowisata, TN Bali Barat http://www.tnbalibarat. com/?p=113).

Linberg, K. and D.E. Hawkins. 1993. Ecotourism. North Bennington: The Ecotourism Society.

Sproule, K.W. 2000. Community-based Ecotourism Development. Identifying Partners in the Process. Wildlife Preservation Trust International.

Suwita Utami. 2009. http://www.purbakala bali.com/index.php?option=com_ content&view=article&120:konservasi-pura-bukit-sangmong-dawan-klungkung&catid=60: artikel&Itemid=82.

The International Ecotourism Society/TIES. 1990. Regional Prepatory Conference for the World Ecotourism Summit. Belize City.

Warta KEHATI. 1998. Ekowisata, Antara Bisnis dan Konservasi. Jakarta: Yayasan KEHATI.