Pengembangan Ekowisata Gajah di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Provinsi Lampung
PROVINSI LAMPUNG
GUNARDI DJOKO WINARNO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2015
(2)
(3)
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul ―Pengembangan Ekowisata Gajah di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Provinsi Lampung‖ adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir dalam disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Gunardi Djoko Winarno
NIM E362100011
(4)
.
Barisan Selatan National Park, Lampung Province. Supervised by RICKY AVENZORA, SAMBAS BASUNI and M. BISMARK
Beside economical benefits, the growth of wildlife ecotourism is also important to be seen as an important strategy to conserve the animal and its habitat. The wildlife ecotourism activities are very potentials to shift the recently cost center wildlife management to become a benefit center wildlife management. The ecotourism scientific planning approach has been used to identify the Elephant Ecotourism Opportunities Spectrum (EEOS) of the elephants population in Pemerihan and Way Haru Resorts, Bukit Barisan Selatan National Park (BBSNP). The GPS-collar technology used to detect the elephant moving pattern and home-range; as well as the Landsat Imagery TM-7 with Erdas Imagine was used to analyze the habitat characteristics. Meanwhile, the alignment of perceptions, motivations and preferences amongst stakeholders in ecotourism development program does not only cause an inefficiency and uneffective process of ecotourism developement, but also cause such kind degradation value of ecotourism resources itself. The objectives of this study are: a). to describe the pattern of elephants movements and to identify habitat condition in elephants home range, b) to know discrepancy between positive and negative perception posessed by stakeholder; and to describe a harmonious relationship between stakeholder groups and c). to arrange the spectrum of elephant ecotourism acticitie. The results of the study above show that the elephant ecotourism activities in the NPBBS, that up to now had only been concentrated in 475 Ha Camp Elephant Patrol (CEP), is quite potential to be developed into various elephant ecotourism activities covering 15 301.20 Ha elephants home range area. The result of chi-square test on 100 sets of stakeholder’s perceptions between local people, BBSNP-officers, and tourists showed that only 60% which are statistical aggregately classified as in significant (aligned) and only shows 40% of un-alignment. The aggregate value of motivation between the people of Pemerihan, Sumberejo & Way Haru is 60.3% un-aligned, while the aggregate value of motivation between local people, BBSNP-officers and tourists is 100% in un-aligned. Last, the aggregate value of preferences amongst all stakeholders is also 100% in un-aligned.
(5)
GUNARDI DJOKO WINARNO. Pengembangan Ekowisata Gajah di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Provinsi Lampung. Dibimbing oleh RICKY AVENZORA, SAMBAS BASUNI dan M. BISMARK
Pertumbuhan ekowisata satwa liar yang terus meningkat di dunia tidak hanya penting dipandang sebagai penunjang perekonomian suatu negara, tetapi juga perlu dipetakan sebagai suatu strategi konservasi satwa dan habitatnya; yang selama ini cenderung bersifat cost center menjadi bersifat benefit center melalui kegiatan-kegiatan ekowisata. Di satu sisi gajah liar sulit dijumpai di alam bebas, di sisi lain kepuasan aktifitas ekowisata satwa liar salah satunya ditentukan oleh tingkat keberhasilan perjumpaan turis dengan satwa liar yang dijadikan objek ekowisata. Atas hal itu dianggap perlu untuk melakukan perancangan―spektrum potensi aktifitas ekowisata gajah‖ (SPAEG) di TNBBS. Studi dengan menggunakan pendekatan
ecotourism scientific planning pada populasi gajah di Resort Pemerihan dan Way Haru. Teknologi GPS-collar untuk mendeteksi pola pergerakan dan home-range, sedangkan karakteristik habitatnya dianalisis dengan Citra Landsat TM-7 dengan Erdas Imagine. Perancangan SPAEG dengan memetakan potensi yang ada ke dalam ―human-attracted points‖. Analisis vegetasi dengan metode garis berpetak digunakan untuk mendapatkan kekayaan spesies, keanekaragaman spesies, kemerataan spesies,
kerapatan spesies, frekuensi spesies dan dominansi spesies pada fase semai (seedling), pancang (sapling), tiang (pole) dan pohon (tree). Jumlah petak sebanyak 100 buah yang tersebar di di dalam home range gajah.
Sementara itu, keberhasilan pengembangan ekowisata salah satunya ditentukan oleh keselarasan persepsi, motivasi dan preferensi diantara stakeholder. Ketidakselarasan tiga hal tersebut bukan hanya akan menyebabkan tidak efisien dan efektifnya proses pembangunan ekowisata yang dilakukan, melainkan juga dapat menjadi sumber kehancuran dari sumberdaya yang akan dibangun tersebut. Metode
(6)
Tujuan penelitian secara garis besar terdiri atas 3 bagian yaitu : (1) menganalisis kondisi home range dan karakteristik habitat terkait dengan pola pergerakan gajah (2) menganalisis keselerasan persepsi, motivasi dan preferensi masyarakat di sekitar home range gajah, pengunjung serta pengelola untuk perencanaan pengembangan ekowisata gajah dan (3) perancangan spektrum potensi aktivitas ekowisata gajah di dalam home range gajah.
Pola pergerakan gajah di home rangenya yang cenderung berulang secara periodik menjadi potensi dalam pengembangan ekowisata. Home range gajah seluas 15 301.20 Ha; setara 32 kali luasan areal Camp Elephant Patrol (CEP) yang sejak 6 tahun lalu menjadi single focal pointekowisata gajah. Perancangan SPAEG berbasiskan karakteristik habitat menunjukan peningkatan keanekaragaman aktifitas ekowisata gajah dapat ditingkatkan kuantitas serta kualitasnya menjadi 30 variasi yang bisa didistribusikan sepanjang tahun pada home range.
Hasil analisis vegetasi menunjukan kekayaan spesies pepohonan di dalam
home range gajah teridentifikasi 255 spesies. Proporsi jenis pakan gajah dan proporsi kerapatan pakan, di hutan primer tergolong paling rendah dibandingkan dengan hutan sekunder, semak dan kebun. Intensitas kunjungan gajah tidak sebanding dengan tingginya keanekaragaman maupun kekayaan spesies di hutan. Walaupun hutan primer memiliki keanekaragaman tinggi dibandingkan hutan.
Persepsi pasangan stakeholder ternyata hanya 60% saja yang ―tidak berbeda
nyata” atau selaras, sedangkan secara agregat, persepsi antara masyarakat, pengelola dan wisatawan hanya menunjukan 40% selaras. Agregat motivasi antara Masyarakat Pemerihan, Sumberejo dan Way Haru 60.3% tidak selaras, sedangkan agregat motivasi antara masyarakat, pengelola dan wisatawan 100% tidak selaras. Adapun agregat preferensi antara masyarakat, pengelola dan wisatawan 100% tidak selaras.
(7)
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
(8)
(9)
PROVINSI LAMPUNG
GUNARDI DJOKO WINARNO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2015
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
(10)
Penguji Luar pada Ujian Tertutup : Dr Frans Teguh, MA . Dr Ir Harnios Arief, MScF .
Penguji Luar pada Ujian Terbuka : Dr Ir Bambang Supriyanto, MSc
Dr Ir Tutut Sunarminto, MS :
(11)
NRP : E 362100011
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Ricky Avenzora, MScF Ketua
Prof Dr Ir Sambas Basuni, MS Prof (R) Dr Ir M Bismark, MS Anggota Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana
Manajemen Ekowisata dan Jasa Lingkungan
Dr Ir Ricky Avenzora, MScF Dr Ir Dahrul Syah, MSc.Agr
(12)
(13)
Ayahanda Sugito dan Ibunda Sriyati. Penulis adalah anak kelima dari 5 bersaudara. Pada tanggal 12 Mei tahun 1995 penulis menikah dengan Debi Hardian SPi dan saat ini telah di karunia dua anak perempuan yang bernama Sahda Salsabila (17 tahun) dan Syana Salima (9 tahun).
Pendidikan sarjana diselesaikan pada tahun 1992 dengan gelar Sarjana Kehutanan dari Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan IPB. Pada tahun 2005 penulis menyelesaikan pendidikan Program Magister Sains di Program Studi Ilmu Kehutanan, Sekolah Pascasarjana IPB. Selanjutnya pada tahun 2010 penulis mendapatkan kesempatan melanjutkan Studi Program Doktor di Program Studi Manajemen Ekowisata dan Jasa Lingkungan, Sekolah Pascasarjana IPB. Beasiswa Pendidikan Pascasarjana diperoleh dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Bantuan data diperoleh dari TNBBS Lampung, WWF Lampung dan WCS.
Penulis bekerja sebagai staf pengajar sejak tahun 2005 di Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung.
Tiga buah jurnal ilmiah yang isinya merupakan bagian dari disertasi telah diselesaikan dengan judul :
1. The planning of ecotourism opportunities spectrum of elephant related ecotourism activities on Sumatran Elephant home range in Bukit Barisan Selatan National Park Lampung Province-Indonesia. Jurnal telah dipublikasikan pada International Journal of Sciences: Basic and Applied Research (IJSBAR)
2. The alignment of perceptions, motivations and preferences amongst stake holders on wild elephant ecotourism development in Bukit Barisan Selatan national park, Lampung Province – Indonesia. Jurnal telah dipublikasikan pada International Journal of Multidisciplinary Research and Development. 3. Pola pergerakan gajah dalam berbagai pacth di home range gajah di Taman
(14)
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga disertasi yang berjudul Pengembangan Ekowisata Gajah di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Propinsi Lampung. Selawat dan salam kita sampaikan kepada Nabi Besar Muhammad SAW atas kasih sayangnya kepada kita semua.
Sebagai ungkapan rasa terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr Ir Ricky Avenzora, MScF sebagai ketua komisi pembimbing, Bapak Prof Dr Ir Sambas Basuni, MS dan Bapak Prof (R) Dr Ir M Bismark, MS selaku anggota pembimbing, serta Bapak Dr Ir Tutut Sunarminto, MS, Bapak Dr Ir Harnios Arief MScF, Bapak Dr Ir Burhanuddin M, MS yang telah memberikan kritik dan saran perbaikan proposal hingga disertasi ini. Begitupula ucapan terima kasih kepada Rektor Universitas Lampung, Bapak Prof Dr Ir Sugeng P. Harianto dan semua Staf Pengajar di Jurusan Kehutanan Unila serta Bapak Ir Helmi Machmud, yang telah memberikan dorongan moril serta doanya. Penulis menyampaikan penghargaan kepada kawan sekelas Ichwan, Heri, Irwan, Samsuri, atas kerjasama dan doanya. Terima kasih kepada kawan-kawan di ―Markas Bapak Avenzora‖ Okto, Putu, Adam, Sabil, Priyo, Jalil, Dina, Bambang, Laode, Pak Imron, Didi atas bantuannya selama proses pembuatan disertasi. Ucapan terima kasih kepada seluruh staf TNBBS (John Kenedy, Manipul, Jaya Sumpena, Philip, Novriyanto dan kawan-kawan), semua staf WWF (Yob Charles, Zulfaldi, Sutarno, Ali, Heri, Rijal, Anton dan kawan-kawan) atas data GPS Collar, informasi, akomodasi dan logistik. Terima kasih kepada Staf WCS (Meyner Nusalawo, Janji, Rahman, Laji dan Bunyamin) atas data iklim, tumbuhan dan informasi serta akomodasi yang diberikan penulis. Ucapan terima kasih kepada para pawang gajah (Supri, Manin, Sulis, Sugianto, Gendon, Dwi dan Tutu) yang membantu penulis mengantar ke dalam hutan. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Aparat Desa Pemerihan dan masyarakat setempat (Lurah Cahyadi, Kuat, Agus, Sarjono, Kamsi dan isteri, Jari, Kusir, Amir, Mahmudi dan kawan-kawan) atas sambutan dan bantuannnya selama penulis bermalam di desa. Terima kasih juga kepada Para Sahabat Gajah (Warsono dan isteri, Susilo, Sugiono, Untung, Jarno dan kawan-kawan) atas pendampingannya dalam pengambilan data baik di desa maupun di hutan. Terima kasih juga tidak lupa disampaikan kepada para gajah (Arni, Karnangin, Yongki, Renggo dan Tomi) atas tunggangannya selama di dalam hutan.
Ungkapan rasa terima kasih disampaikan kepada keluarga penulis Ayahanda Sugito, Ibunda Sriyati, Mas Joko dan Mba Ina, Mas Njun dan Mba Titi, Mba Wati, Zaki dan Mba Wiwin. Terima kasih untuk Istri penulis Debi Hardian, anak kami Sahda Salsabila dan Syana Salima serta seluruh keluarga atas dukungannya.
Semoga karya ilmiah ini berguna untuk semua pihak.
Bogor, Agustus 2015
(15)
DAFTAR TABEL xvii
DAFTAR GAMBAR xvi
DAFTAR LAMPIRAN xviii 1 PENDAHULUAN
Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Kerangka Pemikiran Novelty 1 3 6 6 6 8
2 TINJAUAN PUSTAKA 10
Wisata dan Wisatawan Ekowisata
Gajah
Perlindungan Gajah Habitat Gajah Populasi Gajah Daya Dukung Habitat Pakan Gajah
Home range dan Aktivitas Gajah Konflik Gajah dan Manusia Manajemen Habitat
Manajemen Taman Nasional Daya Dukung Wisata
Potensi Ekowisata di TNBBS Potensi Aktivitas Ekowisata Gajah Persepsi, Motivasi dan Preferensi Program Ekowisata
Desain Program Ekowisata
10 13 19 19 19 20 21 22 24 28 30 31 33 35 35 38 41 44
3 METODE PENELITIAN 47
Waktu dan Tempat Persiapan penelitian Survey Pendahuluan Penelitian
Pendekatan Pengumpulan Data Analisis Data 47 48 48 49 52 55
(16)
Aksesibilitas Iklim
Geologi
Sosial, Ekonomi & Budaya
67 68 69 69
5
HASIL DAN PEMBAHASAN
71Area Home range Gajah
Kelerengan dan Iklim di dalam Homer range
Karakteristik Vegetasi di dalam Home range Pola pergerakan Gajah
Karakteristik Stakeholder
Persepsi Stakeholder terhadap Ekowisata Gajah Motivasi Stakeholder terhadap Ekowisata Gajah Preferensi Stakeholder terhadap Ekowisata Gajah Dukungan Masyarakat
Keselarasan Persepsi, Motivasi dan Preferensi Tiap Kelompok
Stakeholder
Sebaran Obyek Wisata yang Terkait di Home range Gajah Spektrum Potensi Aktivitas Ekowisata Gajah
Nilai Ekonomi Ekowisata Gajah
Perencanaan Desain Tapak Destinasi, Produk dan Aktivitas Ekowisata Gajah 71 74 75 96 103 105 113 119 122 123 125 128 130 133
6 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN 145 147 149 157
(17)
Tabel 2.1 Jumlah Gajah Asia di alam bebas tahun 1996 20
Tabel 2.2 Ukuran home range dengan alat radio‐tracked di
Selous‐Niassa Wildlife Corridor, dihitung dengan menggunakan metode minimum convex polygon, kernel dan
Jennrich‐Turner methods
26
Tabel 2.3 Ukuran home range gajah pada berbagai curah hujan 27
Tabel 2.4 Potensi Rekreasi di TNBBS 36
Tabel 2.5 Rekreasi potensial wisata gajah 37
Tabel 2.6 Motivasi berwisata menurut Mayo dan Jarvis (1981) 41
Tabel 2.7 Berbagai pendekatan program wisata 42
Tabel 2.8 Tipe-tipe aktivitas rekreasi outdoor 44
Tabel 2.9 Contoh program format dan area 45
Tabel 2.10 Opsi-opsi dalam programme setting 45
Tabel 2.11 Opsi-opsi dalam programme mobility 46
Tabel 2.12 Opsi-opsi dalam programme lodging 46
Tabel 3.1 Data gajah yang dipasang GPS Collar 47
Tabel 3.2 Lembaga yang relevan dan data yang diharapkan 36
Tabel 3.3 Komponen data biofisik ekowisata gajah 50
Tabel 3.4 Komponen data sosial ekonomi masyarakat desa 51
Tabel 3.5 Komponen data pengunjung yang disurvei 51
Tabel 3.6 Komponen data pengelola 52
Tabel 3.7 Kriteria yang diukur pada metode Neu menurut Bibby et al
(1998)
59
Tabel 3.8 Matrik panduan pertanyaan persepsi, motivasi dan preferensi stakeholder.
67
Tabel 5.1 Curah hujan bulanan dan rata-rata jarak tempuh gajah di Resort Pemerihan-Way Haru, TNBBS (WCS, 2010)
75
Tabel 5.2 Sepuluh spesies dominan di hutan primer, hutan sekunder, semak dan kebun di dalam home range gajah, Resort Pemerihan-Way Haru TNBBS
82
Tabel 5.3 Jumlah individu/ha di di hutan primer, hutan sekunder, semak dan kebun di dalam home range gajah, Resort Pemerihan-Way Haru TNBBS
86
Tabel 5.4 Sepuluh spesies dominan pakan gajah di di hutan primer, hutan sekunder, semak dan kebun di dalam home range gajah, Resort Pemerihan-Way Haru TNBBS.
90
Tabel 5.5 Perbandingan Kerapatan Spesies Pakan (KSP) dengan Kerapatan Total Spesies (KTS) di hutan primer, hutan sekunder, semak dan kebun di dalam home range gajah, Resort Pemerihan-Way Haru TNBBS
(18)
Tabel 5.7 Daftar urut Indeks Nilai Penting Grid dan Indeks Preferensi
Neu berdasarkan frekuensi jumlah kunjungan dan frekuensi bulan kunjungan gajah (Desember 2009-Desember 2011)
102
Tabel 5.8 Luas Pekon dan Kepadatan Penduduk 103
Tabel 5.9 Keselarasan persepsi, motivasi, dan persepsi setiap stake holder
124
Tabel 5.10 Deskripsi potensi obyek ekowisata terkait di dalam home range gajah.
127 Tabel 5.11 Tabel 5.12 Tabel 5.13 Tabel 5.14 Tabel 5.15
Komponen pengeluaran wisatawan jika dikembangkan menjadi ekowisata di dalam home range gajah di Pemerihan-Way Haru.
Peraturan perundang-undangan yang terkait dalam pengembangan desain tapak didalam home range gajah di Taman Nasional.
Produk ekowisata gajah di Resort Pemerihan TNBBS
Itinerary ekowisata gajah di Pemerihan TNBBS
Itinerary ekowisata gajah selama 3 hari 2 malam, bernilai estetika konservasi gajah (aspek air terjun dan sungai) di TNBBS 132 134 142 143 144 DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Kerangka pemikiran pengembangan ekowisata gajah berbasis habitat di TNBBS
9
Gambar 2.1 Sebaran kantong populasi gajah di Sumatera tahun 1980 21
Gambar 2.2 Kondisi habitat gajah dengan berbagai penutupan lahan di TN Kerinci Seblat
28
Gambar 2.3 Sebaran aktivitas gajah yang berbeda-beda di habitanya 29
Gambar 2.4 Pengorganisasian Model dari Kaplan tentang Pemilihan Lingkungan
40
Gambar 3.1 Peta sebaran jalur pengamatan vegetasi di dalam home range gajah
42
Gambar 4.1 Organisasi Balai Besar TNBBS 68
Gambar 5.1 Peta penutupan lahan di dalam home range gajah di Resort Pemerihan-Way Haru TNBBS.
(19)
range gajah TNBBS
Gambar 5.4 Kecenderungan nilai INP pada sepuluh jenis dominan di Hutan Primer (HP), Hutan Sekunder (HS), semak dan kebun di dalam home range gajah, Resort Pemerihan-Way Haru TNBBS.
84
Gambar 5.5 Kekayaan spesies pada berbagai fase pertumbuhan di hutan primer, hutan sekunder, semak dan kebun di dalam home range gajah, Resort Pemerihan-Way Haru TNBBS
85
Gambar 5.6 Nilai keanekaragaman spesies (H’) pada fase pertumbuhan
di hutan primer, hutan sekunder, semak dan kebun di dalam home range gajah, Resort Pemerihan-Way Haru TNBBS.
87
Gambar 5.7 Kemerataan spesies (E) pada tiap fase pertumbuhan di hutan primer, hutan sekunder, semak dan kebun di dalam
home range gajah, Resort Pemerihan-Way Haru TNBBS
88
Gambar 5.8 Kekayaan spesies pakan di hutan primer, hutan sekunder, semak dan kebun di dalam home range gajah, Resort Pemerihan-Way Haru TNBBS
89
Gambar 5.9 Rata-rata proporsi jumlah spesies pakan gajah di hutan primer, hutan sekunder, semak dan kebun di dalam home range gajah, Resort Pemerihan-Way Haru TNBBS
92
Gambar 5.10 Nilai palatabilitas pakan gajah (Data primer dirujukkan pada penelitian Supartono, 2007:85)
94
Gambar 5.11 Rata-rata palatabilitas pakan gajah berdasarkan famili (Data primer dirujukkan pada penelitian Supartono, 2007:85).
95
Gambar 5.12 Pola jarak tempuh gajah berdasarkan waktu siang-malam di home range gajah, Resort Pemerihan-Way Haru, TNBBS.
96
Gambar 5.13 Jarak tempuh gajah di hutan primer, hutan sekunder, semak dan kebun di dalam home range gajah, Resort Pemerihan-Way Haru TNBBS berdasarkan siang dan malam
99
Gambar 5.14 Hasil uji keselarasan persepsi positif (a dan b) dan negatif (c dan d) semua stakeholder secara berpasangan
110
Gambar 5.15 Hasil uji keselarasan motivasi 3 kelompok masyarakat secara berpasangan
115
Gambar 5.16 Skor kumulatif motivasi wisatawan melihat atraksi gajah liar
116
Gambar 5.17 Skor kumulatif dan skor rata-rata motivasi wisatawan terhadap habitat gajah.
117
Gambar 5.18 Skor kumulatif motivasi pengelola untuk terlibat dalam kegiatan ekowisata gajah
(20)
range gajah.
Gambar 5.21 Peta rute aktivitas ekowisata gajah di Resort Pemerihan, TNBBS Propinsi Lampung.
129
Gambar 5.22 Gambar 5.23
Spektrum peluang aktivitas ekowisata gajah di dalam home range gajah selama 12 bulan
Sebaran Fasilitas Wisata di dalam home range gajah di TNBBS
131 141
LAMPIRAN
1.1 Rute Ekowisata pada Bulan Januari 157
1.2 Rute Ekowisata pada Bulan Pebruari 157
1.3 Rute Ekowisata pada Bulan Maret 158
1.4 Rute Ekowisata pada Bulan April 158
1.5 Rute Ekowisata pada Bulan Mei 159
1.6 Rute Ekowisata pada Bulan Juni 159
1.7 Rute Ekowisata pada Bulan Juli 160
1.8 Rute Ekowisata pada Bulan Agustus 160
1.9 Rute Ekowisata pada Bulan September 161
1.10 Rute Ekowisata pada Bulan Oktober 161
1.11 Rute Ekowisata pada Bulan Nopember 162
(21)
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kegiatan konservasi gajah yang selama ini melindungi dan melestarikan populasi gajah dari kepunahan seringkali mengalami hambatan bahkan populasinya cenderung menurun, oleh karena itu dibutuhkan alternatif kegiatan lain yang dapat menyelamatkan gajah sekaligus memberikan dampak positif terhadap ekologi, ekonomi dan sosial budaya masyarakat sekitar. Menurut Soehartono et al. (2007:3) perlindungan gajah di Indonesia telah ditetapkan sejak tahun 1931 berdasarkan Ordonansi Perlindungan Binatang Liar tahun 1931. Gajah Sumatera menurut International Union for Conservation of Nature and Natural Resouces (IUCN), sejak tahun 1986 dinyatakan sebagai spesies satwa liar dengan status endangered species atau spesies terancam punah (IUCN, 2013:1). Berdasarkan CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna atau Konvensi tentang Perdagangan International Satwa dan Tumbuhan), Gajah Sumatera masuk ke dalam Appendix I yang berarti tidak boleh diperdagangkan (UNEP, 2010:1).
Azmi dan Gunaryadi (2011:56) melaporkan tahun 2007 populasi Gajah Sumatera diperkirakan hanya berjumlah 2 000 sampai 2 800 ekor dan berpotensi mengalami penurunan. Soehartono et al. (2007:14), populasi gajah yang semakin menurun disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya; (1) degradasi dan fragmentasi habitat gajah, (2) perburuan liar serta, (3) konflik gajah dengan manusia. Faktor pertama, degradasi dan fragmentasi habitat disebabkan oleh adanya pembukaan hutan untuk kegiatan pertanian, perkebunan, pemukiman dan pembangunan di luar bidang kehutanan. Kedua, tingkat kemiskinan penduduk di sekitar habitat gajah dan permintaan pasar illegal gading gajah secara komersial menjadi pendorong utama terjadinya pemburuan gading gajah secara ilegal. Dilaporkan pula contoh kasus yang terjadi di sekitar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, terdapat 12 pemburu dan cukong gading yang telah menjual 1.260 kg gading sejak tahun 2003. Jumlah gading ini setara dengan membunuh 47 ekor gajah. Faktor yang ketiga, konflik gajah dengan manusia karena persaingan pemanfaatan sumberdaya alam di kawasan hutan dan sekitarnya.
(22)
Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk perlindungan dan pemanfaatan gajah. Menurut Soehartono et al. (2007:2) dalam rangka konservasi Gajah Sumatera, pemerintah pada tahun 1983 melakukan penggiringan kelompok gajah yang dikatagorikan mengganggu atau konflik di area pemukiman trasmigrasi di Lampung dan Sumatera Selatan. Penggiringan gajah dilakukan dengan menggunakan gajah hasil pelatihan dari Pusat Latihan Gajah (PLG).
Penggiringan gajah belum dapat menyelesaikan konflik gajah dan manusia, karena gajah yang telah digiring datang kembali ke area konflik secara periodik yang menjadi jalur aktivitas dalam habitat gajah. Konflik antara manusia dan gajah di Sumatera dan Kalimantan meningkat dengan pesat seiring dengan meluasnya fragmentasi habitat. Pada tahun 1995 dilakukan kaji ulang program konservasi dan penggiringan gajah, yang kemudian melahirkan percepatan upaya pemanfaatan gajah hasil PLG untuk keperluan logging dan wisata alam. Pada tahun 2007 pemerintah dan para pihak termasuk pemerhati gajah di Indonesia melakukan kajian dan menetapkan Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Gajah Indonesia untuk waktu sepuluh tahun mendatang. Visi yang disepakati dalam konservasi gajah Indonesia 2007-2017 adalah ―manusia hidup berdampingan dengan gajah secara harmonis‖.
Salah satu bagian dari habitat gajah yang terdegradasi dan menjadi area konflik terdapat di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Lampung. Menurut Hedges (2005:1) di taman nasional ini menampung populasi gajah diperkirakan berjumlah 498 ekor. Populasi gajah di beberapa lokasi sering mengganggu tanaman kebun masyarakat sehingga menimbulkan konflik. Gajah liar secara periodik mendatangi lahan garapan di dalam kawasan hutan maupun diperbatasan untuk mencari pakan. Masyarakat merasa dirugikan dan mereka berusaha mengusir gajah liar. Pemanfaatan gajah yang lain adalah untuk mengusir gajah liar yang aktif mendatangi areal perbatasan antara kawasan dan kebun. Gajah jinak untuk mengusir gajah liar tersebut diambil dari Pusat Konservasi Gajah (PKG) di Way Kambas. Kemudian masyarakat tertarik untuk mendatangi area patroli gajah dan pemeliharaan gajah sebagai tempat rekreasi. Beberapa wisatawan asing tertarik dan datang untuk melihat kelompok gajah liar yang sering mendatangi area perbatasan antara kawasan hutan dan pemukiman, seperti
(23)
di Desa Pemerihan dan Sumberejo. Kondisi ini tentu menjadi potensi wisata satwa liar yang dapat dikembangkan di TNBBS.
Berdasarkan hasil pemantauan sebelumnya yang telah dilakukan oleh tim WWF dan Tim TNBBS, ternyata kelompok gajah lebih terkonsentrasi di perbatasan antara kawasan TNBBS dengan ladang di perkampungan. Konsentrasi populasi gajah ini dapat disebabkan oleh ketersediaan sumber pakan di lokasi tersebut. Masyarakat memanfaatkan kawasan untuk ditanami berbagai tanaman pertanian dan perkebunan. Jenis tanaman perkebunan perlu diteliti sebagai sumber data untuk menjawab pertanyaan mengapa gajah sering berkunjung ke lokasi perbatasan hutan dan ladang. Kondisi ini akan berpotensi menjadi lokasi ekowisata gajah liar dan perlu dukungan masyarakat.
Pengelolaan ekowisata perlu mempertimbangakan beberapa prinsip dalam ekowisata. Menurut Avenzora (2008:14) secara esensial gagasan ekowisata haruslah dipandang sebagai (1) principle atau bahkan roh dan jiwa bagi apapun bentuk kepariwisataan, (2) bersifat implementatif, (3) haruslah diterima sebagai
obligatorily task atau tanggung jawab yang diemban bagi setiap tourism stake holders.
Kegiatan konservasi gajah dapat diprogramkan melalui pengembangan ekowisata gajah pada habitatnya. Kajian pengembangan ekowisata gajah secara keseluruhan berhubungan dengan karakteristik home range gajah. Komponen biofisik meliputi aspek tipe vegetasi, kondisi kelerengan, iklim, pola pergerakan, aspek persepsi, motivasi dan preferensi masyarakat, wisatawan dan pengelola terhadap ekowisata gajah.
Perumusan Masalah
Konservasi gajah di TNBBS umumnya kegiatan seperti patroli gajah, mengusir gajah dari perbatasan ke dalam hutan, pemeliharaan gajah jinak, perlindungan gajah liar dari perburuan dan perlindungan habitat gajah serta restorasi yang membutuhkan biaya besar. Kegiatan konservasi tersebut sebagian besar dalam rangka menanggulangi konflik antara gajah dengan manusia. Apabila konflik berkurang maka populasi gajah dan habitatnya akan semakin baik. Kenyataannya konflik manusia dengan gajah liar di TNBBS masih terus
(24)
berlangsung. Kondisi ini tentunya menjadi masalah bagi konservasi Gajah Sumatera. Pemanfaatan lahan untuk tanaman pertanian dan perkebunan di perbatasan kawasan hutan menjadi daya tarik bagi kelompok gajah untuk mencari pakan dan menyebabkan kerugian petani karena tanamannya dimakan ataupun dirusak oleh gajah. Akhirnya petani menganggap gajah sebagai hama dan menjadi sumber konflik gajah dengan manusia.
Disisi lain kegiatan patroli gajah selama ini semakin kurang efektif dan efisien. Kegiatan ini tidak akan pernah selesai karena gajah akan selalu datang secara periodik dalam rangka mencari makan dan aktivitas lainnya di lahan masyarakat. Patroli gajah dianggap cara yang baik untuk mencegah dan mengusir gajah liar yang mengganggu masyarakat sekitar. Namun patroli gajah maupun pengusiran gajah ini membutuhkan biaya terus menerus dan selalu menjadi cost center dalam konservasi gajah. Sehingga untuk mengatasi dan mengubah kondisi yang cost center ini diperlukan alternatif kegiatan lain yaitu dalam hal ini adalah kegiatan ekowisata gajah yang sekaligus dapat menjadi andalan benefit center
dalam konservasi gajah. Gajah dapat dimanfaatkan untuk kegiatan ekowisata yang melibatkan masyarakat sekitar sehingga dapat mengurangi konflik gajah-manusia. Perilaku gajah yang berkaitan dengan tanaman masyarakat menjadi salah satu obyek wisata yang menarik. Diharapkan gajah tidak lagi menjadi hama bagi tanaman mereka.
Sementara ini penelitian tentang pergerakan gajah di habitatnya yang dikaitkan dengan wisata masih terbatas. Menurut Wittemyeret al. (2007:9) gajah bergerak secara periodik dari satu lokasi ke lokasi lain mengikuti ketersediaan pakan, tempat berlindung dan berkembangbiak. Pola ini membentuk home range
gajah yang dapat dimanfaatkan untuk menentukan keberadaan gajah yang dapat dimanfaatkan dalam penentuan lokasi pengamatan bagi wisatawan. Namun demikian hingga kini masih belum ada penelitian yang menyeluruh tentang daerah jelajah untuk kepentingan ekowisata.
Ekowisata dapat memberikan solusi sebagai strategi pelaksanaan restorasi dan preservasi habitat gajah yang terdegradasi dan pencegahan fragmentasi habitat yang masih terus berlangsung saat ini. Disamping itu aktivitas ekowisata diharapkan akan menjadi pelindung populasi gajah dari kepunahan sebagai akibat
(25)
dari konflik antara gajah dengan masyarakat sekitar. Diharapkan gajah tidak lagi menjadi hama ataupun musuh masyarakat. Manusia dapat menghargai gajah dan habitatnya sehingga konflik dapat dihindari.
Restorasi dan perlindungan habitat serta populasi gajah yang telah dilakukan pemerintah selalu membutuhkan biaya besar dan menjadi cost centre dalam kegiatan konservasi. Biaya yang dikeluarkan oleh WWF untuk patroli hutan perbulan dengan menggunakan gajah dilaporkan 20-25 juta rupiah. Oleh karena itu melalui pengembangan kegiatan ekowisata gajah diharapkan dapat merubah kegiatan konsevasi yang cost center menjadi benefit centre.
Untuk mengetahui keberadaan gajah biasanya dengan mencari informasi pada masyarakat sekitar. Mereka setiap hari selalu beraktivitas di sekitar ataupun di dalam kawasan hutan. Masyarakat mungkin hanya menunjukkan tempat yang biasanya ditemukan gajah, saat mereka melakukan aktivitasnya di sekitar atau di dalam hutan. Sedangkan gambaran pola pergerakan di suatu hamparan tipe habitat yang luas dan dalam kurun waktu yang panjang, mereka tidak mengetahuinya.
Kini alternatif lain untuk mengetahui keberadaan gajah adalah dengan menggunakan GPS Collar. Alat ini akan memberikan informasi titik koordinat dan waktunya dalam pergerakan gajah selama jangka waktu yang relatif panjang (1 tahun). Berdasarkan informasi inilah disusun suatu peta pergerakan yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan wisata. Informasi ini tentunya perlu diolah dan dianalisis dengan menggunakan SIG. Sehingga dapat mudah dibaca dan digunakan.
Apabila pola pergerakan gajah ini diketahui maka jalur pergerakannya dapat menjadi informasi untuk perencanaan kegiatan ekowisata. Aktivitas wisata dapat diarahkan sesuai dengan pola pergerakan gajah di home range.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimana home range gajah dan karakteristik habitatnya dapat dimanfaatkan untuk pengembangan ekowisata gajah ?
2. Bagaimana persepsi, motivasi dan preferensi masyarakat, pengunjung dan pengelola terhadap pengembangan ekowisata gajah?
(26)
3. Bagaimana pola pergerakan gajah di dalam home range menjadi dasar dalam membuka spektrum potensi ekowisata gajah ?
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah sebagai berikut :
1. Menganalisis karakteristik habitat di dalam home range gajah untuk pengembangan ekowisata gajah.
2. Menganalisis persepsi, motivasi dan preferensi masyarakat lokal dan pengunjung untuk pengembangan ekowisata gajah.
3. Menganalisis potensi sumber daya wisata di dalam home range gajah untuk merencanakan spektrum peluang aktivitas ekowisata gajah berdasarkan karakteristik habitat.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapakan dapat memberikan manfaat baik untuk pengelola taman nasional ataupun pihak terkait yang akan terlibat dalam kegiatan ekowisata gajah. Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Tersedianya sumber data referensi dan informasi serta peta pergerakan gajah bagi peneliti dalam melakukan studi maupun konservasi habitat dan khususnya perlindungan serta pengembangan ekowisata gajah.
2. Menciptakan peluang kerja bagi masyarakat sekitar.
Kerangka Pemikiran
Kawasan hutan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan sebagai habitat Gajah Sumatera yang telah mengalami degradasi. Sebagian areal hutan khususnya diperbatasan kawasan telah berubah menjadi pemukiman, lahan pertanian dan perkebunan. Beberapa tanaman pertanian dan perkebunan seperti padi, pisang dan kelapa sawit dapat menarik kehadiran gajah untuk menjadikannya sebagai areal mencari makan.
(27)
Pergerakan intensif populasi gajah dan perilaku makannya di perbatasan kawasan hutan ini menjadi pemicu konflik manusia dengan gajah. Pengusiran gajah, pemasangan perangkap, bahkan perburuan gajah dapat mengancam kelestarian populasi gajah. Gajah dianggap menjadi hama bagi tanaman masyarakat sekitar. Untuk menangani konflik ini tentunya dibutuhkan manajemen habitat agar kerusakan habitat dan menurunnya populasi gajah tidak semakin berlanjut.
Restorasi hutan, monitoring jelajah gajah dan pengusiran gajah telah dilakukan oleh pihak taman nasional bekerja sama dengan tim WWF sebagai upaya pencegahan terjadinya konflik. Pengusiran gajah liar dengan menggunakan gajah jinak dari Taman Nasional Way Kambas. Meskipun telah dilakukan pengusiran, namun hingga kini populasi gajah liar secara kontinyu masih mendatangi area perbatasan kawasan hutan yang telah terdegradasi tersebut. Dalam proses perkembangan penanggulangan konflik gajah dengan manusia, masyarakat sekitar dan pihak asing justru memanfaatkan gajah jinak untuk rekreasi. Hingga kini area konflik masih dikunjungi wisatawan asing. Situasi di lokasi ini memunculkan paradigma baru dalam penanggulangan konflik melalui ekowisata gajah.
Pengembangan ekowisata gajah dikaji dari 4 aspek utama yaitu : (1) Home range dan tipe habitat, (2) pergerakan gajah, (3) persepsi, motivasi dan preferensi pengunjung, (4) spektrum peluang ekowisata gajah di home rangenya. Kajian jenis-jenis pakan gajah didekati dengan analisis vegetasi kemudian dilakukan identifikasi dan verifikasi jenis pakan untuk mempermudah dan menghemat waktu yang didasari pada penelitian terdahulu. Uji statistik dipakai untuk mencari hubungan antara komponen habitat (biofisik) dengan pergerakan gajah.
Keterlibatan masyarakat sekitar dapat menjadi penentu kelestarian ekowisata gajah. Untuk itu perlu dikaji persepsi, motivasi dan preferensi mereka. Hal ini berguna agar mereka dapat merasa pentingnya keberadaan gajah dan melindunginya agar tidak lagi diburu dan tidak lagi merusak habitat gajah. Pentingnya penelitian ini adalah wisata yang dapat mendukung konservasi gajah.
Pengembangan ekowisata gajah berdasarkan karakteristik habitat ini dianalisis dengan menggunakan pendekatan perencanaan sumberdaya (ekologi),
(28)
permintaan (wisatawan), dan pengelolaan. Secara skematis kerangka pemikiran penelitian dijabarkan dalam suatu pendekatan ilmiah, yang prosesnya seperti pada
Gambar 1.1.
Novelty
Novelty penelitian ini adalah analisis yang mengungkap hubungan antara pola pergerakan gajah dengan karakteristik habitat di dalam home range sebagai dasar dalam pengembangan spektrum peluang aktivitas ekowisata. Pengembangan ekowisata gajah mengkaji pemanfaatan habitat oleh gajah, karakteristik habitat, dan kecenderungan perilaku gajah terhadap habitat berupa hutan primer, hutan sekunder, semak, kebun yang berpotensi sebagai obyek ekowisata. Penelitian ini sangat penting dilakukan sebagai strategi mengatasi konflik dan konservasi gajah di TNBBS. Melalui ekowisata ini kemandirian taman nasional dapat mendukung pelestarian gajah sebagai salah satu satwa dilindungi yang berfungsi sebagai spesies kunci di habitatnya. Masyarakat menjadi progresif dalam pemanfaatan gajah sebagai obyek ekowisata. Pengunjung menjadi semakin aktif dalam ekowisata yang menunjang konservasi habitat.
(29)
Gambar 1.1. Kerangka Pemikiran Pengembangan Ekowisata Gajah di TNBBS Komponen Penyusunan Pengembangan Ekowisata Gajah
Komponen sosial ekonomi Komponen
ekologi
Komponen Pengelola
Analisis Habitat dan Pergerakan gajah
Analisis Wisatawan
Preferensi Motivasi
Persepsi GPS Collar dan
keberadaan gajah
Analisis Pengelola Analisis program Analisis masyarakat
Tipe habitat
Sintesis
Potensi ekowisata Preferensi habitat & home range
Preferensi
Persepsi
Motivasi
Preferensi
Pengembangan ekowisata gajah Persepsi
Sintesis Sintesis Sintesis
(30)
2 TINJAUAN PUSTAKA
Wisata dan Wisatawan
Untuk memahami pengertian wisata perlu adanya rujukan dari berbagai sumber sebagai bahan perbandingan. Pada umumnya definisi wisata berbeda-beda karena dilatarbelakangi oleh tujuannya. Beberapa definisi wisata dari berbagai sumber adalah sebagai berikut :
1. Menurut Undang Undang Republik Indonesia No 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan, wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu tertentu. Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah, dan pemerintah daerah. Kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan, Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Pengusaha.
2. Menurut Gun (1994:4) wisata didefinisikan sebagai encompassing all travel with the exception of commuting. Definisi ini sangat luas dan dibutuhkan dari sudut pandang perencanaan wisata, walaupun tidak disepakati dari sudut pandang lainnya.
3. World Tourism Organization (WTO), wisata adalah aktivitas perjalanan menuju dan tinggal di suatu tempat di luar lingkungan rutinnya untuk leisure, bisnis dan tujuan lainnya. Pandangan ini secara konsep menunjukkan perpindahan sementara menuju destinasi di luar aktivitas dan lingkungan normalnya. Secara teknis definisi ini diformulasikan untuk berbagai tujuan termasuk perjalanan khusus yang berhubungan dengan tujuan, waktu dan kriteria jarak (Medlik, 2003:vii).
4. Menurut Cooper et al. (1996:8-9) wisata dipandang dari sisi permintaan adalah aktivitas perjalanan menuju dan tinggal di luar lingkungan tempat
(31)
tinggalnya selama tidak lebih dari 1 tahun berurutan untuk leisure, bisnis, dan tujuan lainnya. Dipandang dari sisi penawaran, definisi wisata didekati dari dua hal yaitu secara konsep dan teknis. Secara konsep bahwa industri wisata terdiri perusahaan, organisasi dan fasilitas yang secara intensif melayani kebutuhan khusus dan keinginan wisatawan. Problem utama secara teknis adalah adanya spektrum bisnis wisata mulai dari siapa yang melayani wisatawan sampai pada penduduk lokal dan pasar lainnya.
Menurut Avenzora (2008: 3-4) menyatakan bahwa determinan yang sangat mempengaruhi berbagai aspek di dalam wisata adalah waktu dan ruang. Pemahaman wisata dari variabel waktu analisisnya diarahkan pada pemanfaatan waktu setiap individu atau populasi. Pola pemanfaatan waktu untuk setiap individu dibedakan menjadi 3 kelompok yaitu :
1. Existence time : waktu yang digunakan manusia untuk memenuhi kebutuhan dasar harian mereka seperti makan, tidur, mandi dan istirahat.
2. Subsistence time : waktu yang digunakan untuk melaksanakan aktivitas guna terpenuhinya kebutuhan dasar.
3. Leisure time : waktu dimana mereka bebas melakukan aktivitas lain setelah dua kebutuhan 1 dan 2 terpenuhi. Pemahaman leisure time diperlukan 2 hal yaitu pola dan pola aktivitas dalam leisure time. Pola untuk mengukur kebutuhan dan peluang rekreasi oleh individu. Pola aktivitasnya menggambarkan tingkat partisipasi aktif yang dilakukan individu dalam memanfaatkan waktu luang.
Adapun ruang yang dimaksud adalah sumberdaya rekreasi dengan batas-batas tertentu yang mengandung elemen-elemen ruang yang dapat menarik minat untuk rekreasi, menampung kegiatan rekreasi dan memberikan kepuasan. Adapun ruang ini termasuk dalam aspek suplay yang dapat dipahami melalui pengertian tentang :
1. Apa dan berapa banyak dapat diberikan. 2. Kapan dapat diberikan.
3. Kepada siapa dapat diberikan.
Kaitan waktu luang dengan rekreasi adalah rekreasi dilakukan di dalam waktu luang. Secara umum terdapat 5 karakteristik rekreasi :
(32)
1. Harus dilaksanakan dalam waktu luang. 2. Sukarela.
3. Menyenangkan.
4. Tidak terikat aturan tertentu. 5. Tidak untuk mencari nafkah.
Salah satu komponen lain yang penting di dalam kajian wisata adalah wisatawan. Menurut Instruksi Presiden RI No. 9 Tahun 1969 wisatawan adalah setiap orang yang bepergian dari tempat tinggalnya untuk berkunjung ke tempat lain dengan menikmati perjalanan dan kunjungan itu. Definisi ini ada kejanggalan karena tidak semua wisatawan pulang dengan perasaan puas, karena kondisi destinasi tidak seperti yang diharapkan. Menurut Undang Undang Republik Indonesia No 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan, wisatawan adalah orang yang melakukan kegiatan wisata.
Salah satu definisi yang telah diterima oleh banyak negara ialah definisi
UN Convention Concerning Customs Facilities for Touring yang ditetapkan tahun 1954 bahwa wisatawan ialah setiap orang yang datang di suatu negara karena alasan yang sah kecuali untuk berimigrasi dan yang tinggal setidak-tidaknya selama 24 jam dan selama-lamanya 6 bulan dalam tahun yang sama. (Soekadijo:15). Kalau disimak lebih teliti terbukti ada inkonsistensi misalnya batas waktu 24 jam menimbulkan kesulitan saat datangnya pengunjung dengan kapal pesiar yang tinggal kurang dari 24 jam. Disamping itu banyak orang mengadakan perjalanan wisata berangkat pagi dan pulang sore atau malam harinya yang kurang dari 24 jam.
Inskeep (1991:18-19) menjelaskan bahwa walaupun tidak ada definisi wisatawan internasional yang diterima oleh semua pihak secara luas, namun UN Conference on International Travel an Tourism tahun 1963 menyatakan bahwa pengunjung adalah setiap orang yang mengunjungi suatu negara dengan berbagai alasan kecuali untuk bekerja. Terminologi pengunjung dibedakan menjadi dua yaitu :
1. Wisatawan (tourists) : pengunjung yang tinggal di suatu negara yang dikunjunginya paling sedikit 24 jam untuk tujuan : leisure (rekreasi, liburan, kesehatan, keagamaan, dan olah raga), bisnis, keluarga, misision dan meeting.
(33)
2. Excurtionists : pengunjung temporal yang tinggal kurang dari 24 jam di destinasi dan tidak menginap.
Kemudian WTO menambahkan bahwa tujuan perjalanan wisata termasuk untuk konferensi dan konvensi, mengunjungi teman, studi, dan tujuan lain yang terkait. Definisi ini sangat konsisten dan komprehensif untuk perencanaan dan pembangunan wisata, karena fasilitas dan pelayanan dibutuhkan untuk mendukung non-holiday and holiday tourists.
Wisatawan yang berkunjung ke suatu destinasi mempunyai karakter atau tipe yang berbeda-beda dalam melakukan aktivitasnya. Untuk memahami tipologi wisatawan, Avenzora, (2008:6) telah merangkum tipe dasar wisatawan sebagai berikut :
1. Venture-someness : wisatawan yang melakukan ekslporasi dan penelitian serta cenderung menjadi pioner dalam perjalanan ke suatu destinasi.
2. Pleasure-seeking : wisatawan ini cenderung menginginkan kemewahan dalam pelayanan, akomodasi dan semua aspek selama di dalam perjalanannya. 3. Impassivity : wisatawan yang tanpa perencanaan detil dan segera melakukan
perjalanannya.
4. Self-confidence : wisatawan yang berbeda dalam memilih destinasinya sebagai refleksi dari rasa percaya diri yang tinggi.
5. Planfulnes : wisatawan dengan perencanaan yang sangat baik, tetapi lebih pada program paket-paket wisata.
6. Masculinity : wisatawan yang berorientasi pada aksi-aksi outdoors dan cara-cara sangat tradisional.
7. Intellectualism : wisatawan membayar cukup untuk atensinya pada aspek-aspek sejarah dan budaya di destinasi.
8. People orientation : orientasi wisatawan untuk dekat dengan masyarakat yang mereka kunjungi.
Ekowisata
Menurut pendapat beberapa penulis, tempat atau produk ekowisata bersifat alami atau relatif masih asli ataupun tidak tercemar (Boo 1990: 54; TES 1993:7; Gun 1994:92, Ceballos-Lascurain 1996:20; Indecon 1996; Betton 1998:1;
(34)
Buckley 2009:2). Perdebatan ini penting untuk diketahui mengingat hal tersebut sangat menentukan apakah suatu wisata dapat dikatakan ekowisata atau bukan. Beberapa definisi ekowisata sebagai berikut :
1. Menurut pendapat Boo (1990:54) mendefinisikan ekowisata adalah perjalanan ke kawasan alam yang relatif masih asli dan tidak tercemar dengan minat khusus untuk mempelajari, mengagumi dan menikmati pemandangan, tumbuhan, satwa liar dan budaya.
2. The Ecotourism Society (1993:7) mendefinisikan ekowisata sebagai penyelenggaraan kegiatan wisata yang bertanggung jawab ke tempat-tempat alami, yang mendukung upaya pelestarian lingkungan (alam dan budaya) serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.
3. Menurut Gunn (1994:92) walaupun belum ada definisi dari ekowisata yang diterima secara universal namun terdapat interpretasi secara umum, yaitu sebagai volume pengunjung yang terbatas mengunjungi daerah yang masih alami untuk mendapatkan pelajaran pengalaman baru, juga lebih menekankan pada kebutuhan perencanaan terpadu untuk keseimbangan antara perlindungan sumberdaya alam dan kebutuhan pengunjung.
4. Ceballos-Lascurain (1996:20) berpendapat ekowisata adalah perjalanan yang bertangung jawab ke tempat-tempat alami yang relatif belum terganggu dan terpolusi, dengan tujuan spesifik untuk belajar, mengagumi dan menikmati pemandangan alam dengan tumbuhan dan satwa liar serta budaya yang ada di tempat tersebut.
5. Indonesian Ecotourism Network (1996:1) ditinjau dari segi pengelolaannya, ekowisata dapat didefinisikan sebagai penyelenggaraan kegiatan wisata yang bertanggung jawab di tempat-tempat alami dan/atau daerah-daerah yang dibuat berdasarkan kaidah alam, yang secara ekonomi berkelanjutan, dan mendukung upaya-upaya pelestarian lingkungan (alam dan budaya) serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.
6. Sue Betton (1998:1) menyatakan unsur-unsur utama dari pengertian ekowisata adalah alami, pendidikan dan interpretasi serta pengelolaan yang berkelanjutan.
(35)
7. Buckley (2009:2) menyebutkan bahwa komponen utama ekowisata adalah : produknya berbasis alam, manajemen minimal-dampak, pendidikan lingkungan, kontribusi pada konservasi.
Beberapa penulis mendefinisikan ekowisata tanpa menyebutkan persyaratan tempat yang masih alami. Pendapat tersebut diantaranya dikemukakan oleh :
1. Masyarakat Ekowisata Internasional mengartikan ekowisata sebagai perjalanan wisata alam yang bertanggung jawab dengan cara mengkonservasi lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal (The International Ecoturism Society, 2000). Dari definisi ini ekowisata dilihat dari tiga perspektif :
a. Sebagai produk, merupakan semua atraksi yang berbasis pada sumberdaya alam.
b. Sebagai pasar, merupakan perjalanan yang diarahkan pada upaya-upaya pelestarian lingkungan.
c. Sebagai pendekatan pengembangan, merupakan metode pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya pariwisata secara ramah lingkungan.
2. Menurut IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources), ekowisata adalah perjalanan dan kunjungan yang bertanggungjawab terhadap lingkungan yang relatif tidak mengganggu kawasan alam dalam hal menikmati alam, studi, dan apresiasi alam termasuk aspek budayanya, untuk menunjang konservasi, yang semua aktivitas pengunjung berdampak negatif rendah dan mendukung kesejahteraan masyarakat sekitar (Ceballos-Lascurain, 1996:20).
3. Menurut Damanik dan Webber (2006: 37) pemahaman ekowisata merupakan salah satu bentuk kegiatan wisata khusus, yang menjadikannya sering diposisikan sebagai lawan dari wisata massal.
4. Western (1993: 7) menyatakan bahwa ekowisata adalah hal tentang menciptakan dan memuaskan suatu keinginan akan alam, tentang mengekploitasi potensi wisata untuk konservasi dan pembangunan serta mencegah dampak negatif terhadap ekologi, kebudayaan dan keindahan.
(36)
Berdasarkan 85 batasan pengertian ekowisata yang dikaji oleh Fennell (2002:15) – yang dikembangkan sampai dengan tahun 1999 oleh para pakar, pemerhati dan organisasi, bermunculan secara berulang sejumlah kata-kata sama, yaitu merujuk pada : (1) tempat dimana ekowisata diselenggarakan (62,4%); (2) konservasi (61,2%); (3) budaya (50,6%); (4) manfaat untuk masyarakat setempat (48,2%); (5) pendidikan (41,2%); keberlanjutan (25,9%); dan (6) dampak (25%).
Perdebatan tentang kata ―alami‖ atau tidak alami atau ―artifisial‖ merupakan hak masing-masing orang atau kelompok, karena mempunyai tujuan masing-masing dalam memberikan definisi ekowisata. Ceballos-Lascurain (1995:12) menekankan bahwa ekowisata hendaknya tidak dibatasi pada kawasan-kawasan yang dilindungi. Memajukan ekowisata di kawasan-kawasan alami yang tidak berstatus dilindungi dapat mendorong tindakan penduduk setempat akan lebih efektif dalam melindungi kawasan alami dan sumberdaya di lingkungan mereka atas dasar kepentingan bersama.
Western (1995:7) menyatakan bahwa dasar pengembangan ekowisata terletak pada wisata alam dan wisata ruang terbuka. Para pengunjung yang beramai-ramai datang ke Yellowstone dan Yosemit seabad yang lalu adalah ekowisatawan pemula. Wisata-wisata khusus safari, pengamatan burung, mengendarai unta, jalur-jalur alami terpadu dan lainnya terus semakin meluas. Kelompok kecil yang sedang tumbuh inilah yang kemudian disebut dengan ekowisata.
Avenzora (2008:14) menyatakan bahwa secara menyeluruh ekowisata dipandang sebagai prinsip. Secara esensial gagasan ekowisata haruslah : (1) dipandang sebagai prinsip atau bahkan roh dan jiwa bagi apapun bentuk kepariwisataan, (2) bersifat implementatif dan tidak hanya bersifat retorika belaka, dan (3) haruslah diterima sebagai obligatorily task bagi setiap tourism stake hoders. Akhirnya Avenzora (2008: 13) memberikan beberapa pertimbangan dalam mengevaluasi kesempurnaan definisi tersebut sebagai berikut :
1. Dalam setiap perjalanan wisata terdapat 5 tahap yang tidak terpisahkan yaitu : perencanaan, perjalanan, kegiatan di destinasi, perjalanan pulang dan tahap relokasi. Kepuasan di destinasi hanya menyumbang 30 % dari kepuasan
(37)
total. Dengan demikian maka pendefinisan suatu konsep ekowisata menjadi tidak sempurna jika hanya di fokuskan pada area tujuan wisata.
2. Konsep kelestarian mensyaratkan setiap sektor pembangunan termasuk ekowisata memelihara 3 pilar yaitu ekologi, sosial budaya dan sosial ekonomi. Sejalan dengan 5 tahapan diatas maka ketiga pilar tersebut haruslah juga dipelihara pada setiap kesatuan ruang yang digunakan untuk terselenggaranya setiap tahapan tersebut. Untuk itu perlu memasukan konsep
regional development dalam mengintegrasikan kesatuan ruang tersebut. Dengan demikian pendefinisian ekowisata yang hanya terfokus pada area tujuan wisata dapat dikatakan tidak adil.
3. Sesungguhnya tidak ada satu perjalanan wisatapun yang bisa melepaskan diri dari modernisasi produk secara totalitas. Pendefinisian ekowisata yang berorientasi pada kealamiahan sumberdaya dan lokasi dapat dikatakan ambigu.
4. Para wisatawan memaksimumkan kepuasan dengan mengkonsumsi beragam jasa yang dapat mereka akses. Dengan demikian maka pembatasan bentuk aktivitas wisata dalam pendefinisian ekowisata adalah di luar kenyataan.
Berbagai definisi ekowisata mengandung prinsip penting dalam pelaksanaannya. Prinsip ekowisata menurut Indonesian Ecotourism Network (1996:1) menekankan tiga prinsip dasar yaitu :
1. Prinsip konservasi, pengembangan ekowisata harus mampu memelihara, melindungi dan/atau berkontribusi untuk memperbaiki sumberdaya alam. 2. Prinsip partisipasi masyarakat, pengembangan ekowisata harus didasarkan
atas musyawarah dan persetujuan masyarakat setempat serta peka dan menghormati nilai-nilai sosial budaya dan tradisi keagamaan yang dianut masyarakat di sekitar kawasan.
3. Prinsip ekonomi, pengembangan ekowisata harus mampu memberikan manfaat untuk masyarakat, khususnya masyarakat setempat, dan menjadi penggerak pembangunan ekonomi di wilayahnya untuk memastikan bahwa daerah yang masih alami dapat mengembangkan pembangunan yang berimbang (balanced development) antara kebutuhan pelestarian lingkungan dan kepentingan semua pihak.
(38)
Sedangkan dalam penerapan ekowisata dapat mencerminkan dua prinsip, yaitu :
1. Prinsip edukasi, pengembangan ekowisata harus mengandung unsur pendidikan untuk mengubah sikap atau prilaku seseorang menjadi memiliki kepedulian, tanggungjawab dan komitmen terhadap pelestarian lingkungan dan budaya.
2. Prinsip wisata, pengembangan ekowisata harus dapat memberikan kepuasan dan memberikan pengalaman yang orisinil kepada pengunjung, serta memastikan usaha ekowisata dapat berkelanjutan.
Berdasarkan definisi dan prinsip ekowisata, maka supaya lebih mudah dipahami apa itu ekowisata, Fennel (2002:15) menyatakan bahwa pemahaman ekowisata pada hakekatnya, partisipasi dan belajar berdasar pengalaman yang prinsipnya terfokus pada sejarah alamiah suatu daerah, sepanjang mengutamakan hubungan antara manusia dan alam. Hal ini bertujuan untuk pembangunan berkelanjutan (konservasi dan kehidupan manusia) melalui tingkah laku program dan model pengembangan pariwisata yang beretika.
Libosada (1998: 9) menyatakan bahwa konsep ekowisata dapat diterapkan pada setiap lembaga atau individu di dalam industri wisata, mulai dari usaha perjalanan sampai dengan operator resort. Pada setiap pembangunan, dampak terhadap lingkungan harus dipertimbangkan jika pembangunan tersebut tidak akan gagal. Lingkungan adalah aset utama dari wisata, oleh sebab itu diperlukan usaha-usaha untuk menjamin minimalnya dampak pada lingkungan.
Akhirnya Avenzora et al. (2013:561) menyimpulkan bahwa dalam berbagai konteks, terminology ekowisata hendaknya bukan hanya dimaknai sebagai suatu kegiatan wisata di destinasi alam, untouched dan remote saja, namun harus dimaknai sebagai roh dan jiwa dari setiap bentuk kegiatan wisata yang diwujudkan dalam bentuk menegakan 7 pilar utama – yang terdiri dari (a) pilar ekologi, (b) pilar sosial budaya, (c) pilar ekonomi, (d) pilar pengalaman, (e) pilar kepuasan, (f) kenangan dan (g) pilar pendidikan pada semua wilayah yang bersentuhan dan diakses oleh wisatawan untuk mendapatkan kepuasan optimum dalam berwisata, baik pada tahapan perencanaan, perjalanan menuju destinasi, kegiatan didestinasi, perjalanan pulang, maupun tahapan rekoleksi.
(39)
Gajah
1. Perlindungan Gajah
Gajah Asia (Elephas maximus) di Indonesia hanya ditemukan di Sumatera dan Kalimantan Bagian Timur. Spesies ini terdaftar dalam red list book International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN, 2013), dengan status terancam punah. Sementara itu CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) atau Konvensi tentang Perdagangan International Satwa dan Tumbuhan Liar yang Terancam Punah) telah mengkategorikan Gajah Asia dalam kelompok Appendix I di Indonesia sejak tahun 1990.
Gajah Sumatera (E. Maximus sumatranus Temminck, 1847) dan Gajah Kalimantan (E.maximus borneensis) dikategorikan sebagai Evolutionary Significant Unit (Fleischer et al. 2001 dan Fernando et al. 2004; di dalam Soehartono et al. 2007:3). Konsekuensi ini menempatkan bahwa Gajah Sumatera dan Gajah Kalimantan memiliki prioritas yang tinggi dalam konservasi Gajah Asia.
2. Habitat Gajah
Menurut Morrison et al. (2006:46) habitat adalah area dengan kombinasi sumberdaya (seperti makanan, cover, air) dan kondisi lingkungan (temperatur, curah hujan, ada atau tidak ada predator dan kompetitor) yang mendukung okupansi individu atau populasi sehingga dapat bertahan dan berkembang biak. Mc Comb (2008:2) mendefinisikan habitat sebagai suatu set sumberdaya yang dibutuhkan untuk mendukung populasi dalam suatu ruang dan waktu.
Moen (1973:26) mengemukakan bahwa habitat adalah tempat dimana suatu organisme hidup. Area fisik ini dihuni oleh suatu organisma dan dalam skala yang luas dihuni oleh spesies. Karena satwa hidup di habitat tersebut maka dikatakan bahwa area itu adalah habitat burung, habitat rusa, habitat srigala dan seterusnya. Krausman (1999), Hall et al. (1977) dan Garshelis (2000; di dalam McComb, 2008:2) membuat argumen unttuk mengklarifikasi kerancuan tentang habitat yang hasilnya bahwa penggunaan terminologi habitat kepada tipe vegetasi,
(40)
atau klasifikasi lingkungan tidak langsung berkaitan dengan suatu spesies. Berbagai macam definisi habitat biasanya berkaitan dengan tujuannya.
Gajah menempati habitat yang luas dan pada beberapa tipe ekosistem mulai dari pesisir, savana, rawa, sampai pegunungan. Menurut Sitompul (2008:69) gajah lebih cenderung menggunakan canopy medium dan canopy terbuka. Sedangkan canopy tertutup sering digunakan gajah pada saat malam hari. Abdullah et al. (2009:34) menyatakan bahwa gajah menggunakan hutan sekunder sebagai daerah mencari makan dan menggunakan hutan primer sebagai tempat berlindung, beristirahat dan melakukan perkawinan.
3. Populasi Gajah
Santiapillai (1996: di dalam Lair, 1997:2) menyatakan bahwa jumlah gajah liar di Asia pada 1996 diperkirakan 37 530 – 48 180 ekor yang tersebar di 13 Negara-negara Asia (Tabel 2.1). Lair (1997:1) melaporkan bahwa semua populasi gajah di Asia terancam populasinya karena kerusakan habitat, perburuan dan fragmentasi habitat sehingga populasinya menjadi terisolasi. Sedangkan di Sumatera, Soehartono et al. (2007:4) menyatakan bahwa populasi Gajah Sumatera diperkirakan antara 2 800 sampai 4 800 ekor dalam 44 kantong populasi (Gambar 2.1) dengan penyebaran di Lampung 13 kantong, Sumatera Selatan 8, Jambi 5, Bengkulu 2, Riau 11, Sumatera Barat 1 dan Sumatera Utara bagian barat dan Aceh 4 kantong Hedges et al. (2005:1) melaporkan bahwa gajah di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan diperkirakan 498 ekor.
Tabel 2.1. Jumlah Gajah Asia di alam bebas tahun 1996 (Lair, 1997:1)
Negara Minimum Maksimum Sumber
Bangladesh Bhutan Cambodia China India Indonesia Laos PDR Malaysia Myanmar Nepal Sri Lanka Thailand Vietnam 200 50 500 330 23 500 3 500 200 1 700 4 000 50 2 000 1 200 300 250 100 1.000 370 27 500 5 .000 500 2 300 6 000 60 3 .000 1 500 600 Anwarul Islam Santiapillai Santiapillai Santiapillai Goverment of India Santiapillai Robinowitz Khan and Sale Htut and Aung Santiapillai Santiapillai Srikajang Dawson and Giao
(41)
Gambar 2.1. Sebaran kantong populasi gajah di Sumatera tahun 1980 (Sumber Suhartono et al. 2007)
4. Daya Dukung Habitat
Konsep daya dukung dan definisinya berbeda-beda tiap pakar, namun pada umumnya mereka memprioritaskan pada jumlah pengguna sumberdaya yang dapat ditopang oleh sumberdaya tersebut secara berkelanjutan. Istilah daya dukung untuk menganalisis kemampuan suatu habitat dalam mendukung populasinya. Definisi daya dukung menurut beberapa pakar sebagai berikut :
1. Smith and Smith (2003:141), daya dukung didefinisikan sebagai ukuran maksimum populasi yang berkelanjutan pada suatu lingkungan.
2. Miller Jr (2007:163), daya dukung adalah populasi maksimum suatu jenis pada habitat tertentu yang dapat berlangsung terus menerus tanpa adanya kerusakan pada habitat itu. ”The maximum population of a given species
that a particular habitat can sustain indefinitely without degrading the habitat.
(42)
Beberapa hasil penelitian daya dukung gajah menunjukkan nilai yang berbeda-beda. Sukumar (2003; di dalam Fernando, 2011:152) menyatakan bahwa kombinasi padang rumput savana dan pepohonan dapat mendukung gajah sebanyak 3–5 ekor/km2, sedangkan di hutan hujan tropika hanya 0.2 ekor/km2. . Syarifuddin (2008:178) melaporkan daya dukung kawasan hutan produksi, Propinsi Bengkulu, berdasarkan ketersediaan pakan pada musim hujan sebanyak 0.88 km2/ekor dan musim kemarau 3.69 km2/ekor. Penelitian daya dukung ini tidak membedakan lokasi antara hutan sekunder dan primer.
Abdullah et al. (2009):36) menjelaskan estimasi daya dukung habitat gajah di Taman Nasional Tessonilo berdasarkan ketersediaan pakan pada bulan basah di Hutan Tessonilo menghasilkan kisaran daya dukung habitat di hutan sekunder (berkisar antara 0.90 ± 0.06 dan 0.96 ± 0.12 ind/km2) lebih tinggi dari hutan primer (berkisar antara 0.20 ± 0.02 dan 0.20 ± 0.02 ind/km2). Estimasi daya dukung pakan pada bulan kering juga menunjukkan kisaran daya dukung pakan di hutan sekunder (berkisar antara 0.55 ± 0.07 dan 0.59 ± 0.08 ind/km2) yang lebih tinggi dari hutan primer (berkisar antara 0.09 ± 0.01 dan 0.11 ± 0.02 ind/km2). Hal ini terutama karena ketersediaan pakan berupa herba dan perdu yang lebih disukai gajah tersedia di hutan sekunder.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa daya dukung habitat bergantung pada kondisi lokasi dan waktu. Hutan sekunder mempunyai nilai daya dukung lebih tinggi dari hutan primer. Daya dukung hutan saat bulan basah lebih tinggi dari pada bulan kering.
5. Pakan Gajah
Gajah Sumatera mengkonsumsi berbagai jenis tumbuhan. Ribai (2011 :81), menyatakan bahwa jenis pakan alami yang dikonsumsi gajah di Taman Nasional Way Kambas Indonesia tercatat 24 jenis. Zahrah (2002:43-44) menemukan 55 jenis pakan gajah di Aceh. Syarifuddin (2008:38) mencatat jenis pakan gajah di Bengkulu sebanyak 70 jenis. Sehingga jika digabung jenis pakan menurut ke 3 peneliti tersebut tercatat 115 jenis. Sedangkan menurut Joshi dan Singh (2008: 34), di Taman Nasional Rajaji India tercatat gajah mengkonsumsi 50 jenis tumbuhan; 74% pohon, 14% rumput, 8% semak dan 4% liana. Bagian
(43)
tumbuhan yang dimakan terutama cabang (78% dari jumlah spesies), daun (76%) dan kulit pohon (24%).
Jenis pakan gajah di India dan di Indonesia pada umumnya berbeda. Hanya spesies Cynodon dactylon yang tercatat sama. Namun jika dilihat dari genus yang sama, ternyata ada 11 genus yaitu Albizzia, Bauhinia, Cynodon, Dalbergia, Eugenia, Ficus, Mallotus, Pithecellobium, Saccharum, Shorea, dan Terminalia.
Menurut Ribai (2011) jenis tumbuhan pakan di Way Kambas yang paling disukai gajah tercatat 4 jenis adalah : (1) rumput gajah mini (Elytrigia repen), (2) teki rawa (Cyperus alternifolius), (3) ilalang (Imperata cylindrical), dan (4) palem serdang (Livistona rotundifolia). Sukumar (1989) menyatakan bahwa gajah memilih jenis rumput panjang (tall grasses) yang berhubungan dengan kesukaannya pada tahap tertentu dari masa pertumbuhan rumput tersebut.
Gajah sangat menyukai rumput pada awal musim hujan karena adanya pertumbuhan rumput baru (fresh grass) yang mengandung karbohidrat yang mudah dicerna dan kandungan serat (lignohemiselulosa) yang rendah. Sedangkan kandungan nutrisi rumput tua (mature grass) berlaku sebaliknya. Sukumar (2003; di dalam Stevenson dan Walter, 2006:13) menyatakan bahwa konsumsi hijauan pakan per ekor per hari 4-8% dari bobot badan atau sekitar 250 kg-300 kg per ekor per hari. Gajah mengeluarkan feses 7-29 kali per hari. Setiap kali feses dikeluarkan sebanyak 3-5 buah dengan berat rata-rata 4 kg.
Kerley et al. (2008:152) melaporkan bahwa gajah mengkonsumsi rumput dan dedaunan dalam proporsi yang bervariasi bergantung pada wilayah, penutupan vegetasi, ketersediaan air, komposisi nutrien tanah dan musim. Rumput dikonsumsi terutama pada musim hujan (40 - 70 persen dari diet). Sedangkan semak dan pohon dikonsumsi pada saat kemarau, ketika rumput kontribusinya hanya 2 - 40 persen. Pada kondisi musim kering, porsi kulit kayu, kayu dan akar-akaran sekitar 70 - 80 persen dari material yang dimakan gajah.
Syarifuddin (2008:153) menyatakan gajah juga mempunyai strategi pemilihan musim dalam menentukan konsumsi antara rumput dan daun-daunan yang sangat terkait dengan kandungan protein tumbuhan. Selama musim kering tingkat protein rumput turun di bawah 2.5%. Sebaliknya pada daun-daunan
(44)
mempunyai kandungan protein yang tinggi pada musim kering (8-10% pada Malvaceae dan 10 - 20% pada Leguminoceae), sehingga pada musim kering, gajah lebih menyukai daun-daunan. Berdasarkan hasil penelitian kulit pohon yang terlihat bekas dimakan (terkelupas) oleh gajah adalah dari jenis Mallotus paniculatus, Macaranga sp, Arthocarpus, Aquilaria, Archboldiodendron calosericeum , Vitex pubescens dan Alstonia pneumetophora.
Produksi pakan gajah di Bengkulu pada musim hujan adalah 18 855.89 kg/ha, sedangkan pada musim kemarau 6 766.97 kg/ha. Produktivitas hijauan pakan gajah pada musim hujan mencapai 471,39 kg/ha/hari dan musim kemarau 112.78 kg/ha/hari, sehingga daya dukung terhadap gajah pada musim hujan sebanyak 0.88 km2/ekor dan musim kemarau 3.69 km2/ekor (Syarifuddin, 2008:178).
6. Home Range dan Aktivitas Gajah
Menurut Goodenough et al. (2010: 415) menyatakan definisi home range
adalah suatu area yang secara normal digunakan untuk berbagai aktivitas termasuk ruang yang dipertahankan dari ancaman satwa lain. White and Garrott (1990; di dalam Osborn, 2004:37) juga menggunakan kata normally moves.
Masalahnya adalah di dalam definisi ini menggunakan kata normal. Dia juga menyatakan bahwa dispersal yang kadang-kadang berada di luar area pergerakkan normalnya mungkin hanya eksplorasi dan tidak masuk ke dalam
home range. Osborn (2004 :37) pada mamalia pola-pola pergerakan secara luas merupakan pengaruh dari ketersediaan sumberdaya, perilaku sosial, penghindaran dari predator, dan gangguan manusia.
McNab (1963:133) menyatakan bahwa ukuran home range merupakan ekspresi fungsi dari berat badan. Namun peneliti lain mengungkapkan kenyataan yang sebaliknya, seperti Sanderson (1966:215) menyatakan bahwa ukuran dan bentuk home range sangat kecil signifikansinya dipengaruhi oleh ukuran badan. Faktor-faktor ekologi lebih mempengaruhi ukuran dan bentuk home range. Untuk mengklarifikasi konsep home renge, Jewell (1966:85) menggunakan istilah
(45)
musiman, perjalanan untuk melakukan perkawinan maupun rute-rute pergerakannya.
Menurut Osborn (2004:38), batas luar home range mungkin berganti dan bervariasi. Bagaimanapun juga secara umum dipercaya bahwa memberikan batasan home range dapat digunakan untuk berbagai alasan jika tujuannya didefinisikan dengan jelas dan secara teknis dapat digunakan.
Goodenough et al. (2010:415) menyatakan bahwa bagian area di dalam
home range seringkali digunakan secara intensif oleh satwa, area ini disebut sebagai core area. Pada beberapa kasus, sering kali di core area ini terdapat sarang satwa atau merupakan sumber pakan dan air. Satwa mempunyai home range dan core area yang saling berbagi diantara sesesama individu sejenis. Sedangkan area yang dipertahankan terhadap ancaman satwa lain disebut sebagai
territory.
Row and Blouin-Demers (2006: 797) menyatakan para peneliti melakukan pengukuran home range satwa dengan berbagai metode. Salah satu yang paling sering digunakan dalam pengukuran home range adalah metode minimum convex polygon (MCP), yang merupakan peluang terkecil polygon konveks yang mencakup semua lokasi yang dikenal oleh individu. Metode ini secara luas digunakan karena konsepnya sederhana. Meskipun demikian MCP hanya menyediakan garis batas luar secara kasar dari jangakauan home range individu. Walapun hasil dari MCP sering mencakup daerah yang luas namun tidak digunakan oleh satwa dan mengabaikan pola seleksi di dalam home range.
Untuk menguji seleksi habitat di dalam home range perlu digunakan metode yang mengkuantifikasi intensitas penggunaan habitat. Row and Blouin-Demers (2006:797) menyatakan bahwa Kernel home-renge estimators adalah metode yang paling luas digunakan karena yang paling konsisten dan akurat. Kernel estimator adalah metode non parametrik yang menghasilkan distribusi dalam memperkirakan kemungkinan menemukan satwa pada lokasi tertentu dalam home range. Kelemahannya juga masih sama seperti MCP, yaitu mencakup area yang tidak pernah digunakan oleh satwa liar.
Sebagai bahan perbandingan hasil pengukuran home range dengan metode MCP dan metode Kernel dapat dilhat pada Tabel 2.2. Luas home range dengan
(46)
metode Kernel dapat menggambarkan intensif penggunaan habitat gajah. Sehingga dapat diketahui area mana yang menjadi inti dalam pergerakan dan aktivitasnya. Metode kernel menggambarkan efisiensi penggunaan habitat dibandingkan MCP, yang dapat dipakai untuk menajemen habitat dengan tujuan tertentu.
Tabel 2.2. Ukuran home range dengan alat radio‐tracked di Selous‐Niassa Wildlife Corridor, dihitung dengan menggunakan metode minimum convex polygon, kernel dan
Jennrich‐Turner methods
Elephant
Identification Total home range by various estimation methods (size in km
2
)
MCP Kernel Home range Jennrich‐Turner
100% 95% 75% 50% 95% ellipse
Sasawala‐A 2369.4 1485.3 390.3 81.5 2495.9
Mbarangandu‐B 328.0 238.5 99.6 35.6 309.9
Nampungu‐C 1493.8 1098.0 277.3 106.3 1889.9
Mbarangandu‐D 548.8 201.1 54.5 20.8 316.6
Likuyu‐F∗ 576.3 1197.6 591.1 290.2 1192.8
Mkasha‐G 4420.8 2449.4 750.0 165.3 3985.1
Ndalala‐H 4610.1 4057.0 1427.2 698.6 5610.1
Sasawala‐I 3134.9 1553.2 333.3 79.6 3773.3
Msanjesi‐J 6905.1 2663.2 419.4 180.7 7728.8
Means ± SE 2709.5±753 1660.4±410 482.5±138 184.3±70 3033.6±833
Pengukuran home range telah dilakukan oleh Mpanduji dan Ngomello, 2007:1) yang hasilnya adalah home range gajah di Afrika seluas 328 – 6 905 km2. Ukuran home range tersebut mereka kelompokkan menjadi 3 katagori yaitu home range kecil (328 - 576 km2, n=3), sedang (1 494 – 3 135 km2, n=3) dan besar (4 421–6 905 km2, n=3). Home range ini menjadi dasar acuan dalam membuat perlindungan habitat dan koridor gajah di kawasan perlindungan antara Tanzania dan Mozambique.
Osborn (2004: 42) menjelaskan bahwa tampaknya perbedaan home range
dipengaruhi oleh besarnya curah hujan (Tabel 2.3). Ukuran home range
berbanding terbalik dengan curah hujan. Apabila curah hujan rendah makan ukuran home range lebih luas dan sebaliknya. Namun penelitian di Zimbabwe menujukkan bahwa walaupun curah hujan mendekati nilai yang sama, tetapi terjadi perbedaan home range gajah di kawasan lindung dan area milik masyarakat. Kondisi perbedaan ini ternyata dipengaruhi oleh peran manusia.
(47)
Selama melakukan perjalanannya yang membentuk home range, gajah melakukan berbagai aktivitas yang berkaitan dengan habitatnya. Sitompul (2008:13) melaporkan hasil penelitiannya bahwa selama 4.496 jam observasi terhadap 14 gajah diketahui bahwa hampir sepanjang aktivitas hariannya melakukan aktivitas makan (82.2 ± 5.0%), kemudian berjalan (9.5 ± 4.0 %), istirahat (6.6 ± 2.1%) dan minum (1.7 ± 0.6%). Gajah jantan cenderung lebih sering melakukan aktivitas makan dan minum dibanding betina namun sedikit melakukan pergerakan. Kemudian didalam melakukan aktivitasnya gajah-gajah ini menggunakan habitatnya berdasarkan kondisi yang berbeda. Kondisi habitat gajah dalam melakukan aktivitasnya disajikan pada Gambar 2.2.
Tabel 2.3. Ukuran home range gajah pada berbagai curah hujan (Osborn, 2004)
Lokasi Ukuran (km2) Jml
gajah
Curah hujan tahunan (mm)
Sumber
Gajah betina
TN Tsavo East 2380 8 300 Leuthold, 1977
Namibia 5800-8700 7 315 Lindeque and Lindeque, 1991
TN Amboseli 2756 6 350 Western and Lindsay, 1984
Laikipia 600-800 14 400 Thouless, 1996
Laikipia 450-500 4 750 Thouless, 1996
TN Kruger 129-1255 21 550 Whyte, 1993
TN Tsavo West 408 2 550 Leuthold, 1977
Transvaal 115-465 11 600 De Villiers and Kok, 1997
TN Hwange 1038-2544 11 632 Conybeare, 1991
TN Waza 2848-3066 2 700 Tchamba et al. 1995
Zambezi valley 156 11 800 Dunham, 1986
TN Queen Elizabeth
363 6 900 Abe, 1994
TN Lake Manyara 10-57 2 1000 Douglas-Hamilton, 1972
India Selatan 105-115 2 900 Sukumar, 1989
Gajah jantan
TN Tsavo East 1035-1209 2 300 Leuthold and Sale, 1973
TN Tsavo West 294-337 2 550 Leuthold and Sale, 1973
Transvaal 157-342 21 600 De Villiers and Kok, 1997
TN Hwange 1300-2981 7 632 Conybeare, 1991
Sengwa 322 9 668 Osborn, 1998
TN Queen Elizabeth
500 6 900 Abe, 1994
India Selatan 170-320 2 900 Sukumar, 1989
(48)
Gambar 2.2. Kondisi habitat gajah dengan berbagai penutupan lahan di TN Kerinci Seblat (Sitompul, 2011:52)
Sebaran aktivitas gajah lebih cenderung di kanopi terbuka dan medium kanopi (Gambar 2.3) Data hasil perhitungan statistik menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara penggunaan area kanopi terbuka, medium kanopi dibandingkan dengan kanopi tertutup, area terbuka dan habitat air (χ2 = 21.512, df = 4, P<0.001).
7. Konflik Gajah dan Manusia
Menurut Talukdar and Barman (2003:50) contoh kasus konflik gajah dan manusia di Assam India. Assam adalah salah satu daerah penting di India yang memiliki gajah lebih banyak dibandingkan Myanmar, Tailand, Indonesia, dan negara Asia Timur lainnya. Namun akhir-akhir ini populasi gajah mengalami penurunan sebanyak 212 ekor selama kurun waktu 4 tahun (1993-1997 dari 5 524 ekor menjadi 5 312 ekor. Penyebabnya adalah adanya fragmentasi dan kerusakan habitat, serta peningkatan populasi manusia di sekitar habitat gajah. Peningkatan konflik antara manusia dan gajah ini mengakibatkan intoleransi bersama dan permusuhan juga meningkat sehingga manusia membunuh gajah dan gajah
(49)
membunuh manusia. Kasus perburan tercatat sebanyak 41 gajah yang dibunuh (1989-1997), dan 147 mati akibat perburuan, aliran listrik dan peracunan. Ini menjadi contoh yang representatif bagi konflik gajah dan manusia.
Gambar 2.3. Sebaran aktivitas gajah yang berbeda-beda di habitanya di Bengkulu.
Musim utama gangguan gajah terjadi dari bulan Oktober sampai Januari yang juga musim panen utama di Assam. Waktu tersebut adalah saat-saat gajah sulit memperoleh pakan di dalam hutan karena kondisi hutannya rusak beberapa tahun terakhir karena eksploitas dan perambahan hutan. Konflik langsung terjadi ketika petani mempertahankan tanaman mereka dari gangguan gajah. Tiap tahun gajah-gajah liar menghancurkan tanaman pertanian mereka dalam ukuran yang luas.
Hedges et al. (2005:35) melaporkan beberapa kasus konflik gajah dan manusia terjadi di TN Way Kambas dan TN Bukit Barisan Selatan, Propinsi Lampung. Berdasarkan hasil identifikasi konflik gajah di TNWK yang dilakukan
Wildlife Conservation Society (WCS) dari bulan Juni tahun 2000 sampai Desember 2006 terjadi 2081 konflik.Sepanjang tahun 2000-2002 tercatat 340 kejadian tanaman pertanian hancur di TNBBS. Luas tanaman yang rusak akibat gangguan gajah 30 ha pada 2000 dan 20 ha pada 2001. Berdasarkan banyaknya konflik gajah
(50)
dan manusia ini maka perlu dicari solusikonflik yang baik untuk melindungi populasi gajah dan kerusakan habitat maupun perburuan gajah oleh manusia.
Manajemen Habitat
McComb (2008:6) menjelaskan bahwa terdapat dua pendekatan umum dalam manajemen hutan sebagai habitat untuk spesies yaitu : manajemen untuk individu spesies dan manajemen untuk keanekaragaman spesies. Sekarang manajemen lahan berubah dari tujuan perlindungan satwa langka menjadi konservasi ekosistem secara menyeluruh. Pendekatan baru-baru ini adalah manajemen yang mempertemukan tujuan-tujuan sosial, estetika, penangkaran, keanekaragaman, rekreasi, dan pepohonan ke dalam suatu manajemen ekosistem (sebuah pendekatan yang meminimalisir dampak pada spesies dan memaksimalkan kebersamaan untuk keberlanjutan.
McComb (2008:247) melaporkan bahwa beberapa organisasi pengelola sumberdaya alam di Amerika Utara menggunakan bentuk manajemen adaptif sebagai cara antisipasi perubahan pada perencanaan dan secara kontinyu memperbaikinya. Manajemen adaptif yang telah diperkenalkan oleh Walters pada tahun 1982 adalah sebuah proses untuk mendapatkan cara yang terbaik untuk mempertemukan antara tujuan manejemen sumberdaya alam dan penerapan manajemen sebagai suatu hipotesis. Hasil proses ini mengidentifikasi kesenjangan di dalam memahami respon ekosistem untuk aktifitas manajemen. Proses ini menggabungkan pembelajaran kepada proses perencanaan manajemen dan pengumpulan data selama monitoring serta memperoleh umpan balik tentang efektivitas atau alternatif manajemen praktis.
Manajemen adaptif diterapkan karena adanya kondisi yang selalu berubah secara temporal baik dalam dimensi waktu dan ruang. Dalam kaitannya dengan manajemen taman nasional sebagai tempat wisata maka Pigram dan Jenkins (1999:210) mempertanyakan soal akses untuk wisata. Akses menuju taman nasional sebagai tempat wisata mengharuskan manajemen hati-hati untuk memastikan bahwa kegiatan pengunjung berdampingan secara harmonis dengan nilai konservasi alam, budaya, pendidikan dan spiritual. Penting juga untuk
(51)
diperhatikan bahwa taman nasional adalah salah satu elemen dalam sistem kawasan lindung dan lahan publik. Akses rekreasi untuk taman nasional dipandang dalam perspektif regional, dengan mempertimbangkan peluang akses komplementer yang tersedia di lahan publik sebaik lahan pribadi. Perencanaan akses masyarakat terhadap taman nasional secara regional memiliki potensi untuk meningkatkan manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan, dan untuk menjaga keseimbangan dalam spektrum keseluruhan peluang rekreasi.
Manajemen adaptif telah dikoreksi oleh Buck, et al. (2001:1) dengan menggunakan konsep Adaptif Collaboratif Management (ACM). Konsep ACM ini dibangun atas dasar ide dari Lee dan kawan-kawan pada tahun 1993. Tujuan konsep ini adalah strategi untuk konservasi keanekaragaman jenis yang menggabungkan pengetahuan di dalam kerangka kerja di dalam manajemen adaptif dan partisipasi pengambilan keputusan melalui rangkaian proses kolaborasi.
Manajemen Taman Nasional
Taman nasional sebagai habitat satwa perlu didukung dengan manajemen habitat yang baik. Konsep manajemen taman nasional di dunia mengacu pada definisi IUCN 1994. Organisasi internasional untuk konservasi alam (IUCN) telah berusaha memperjelas konsep taman nasional dengan mengusulkan definisi standar. Untuk tujuan perencanaan manajemen, taman nasional didefinisikan sebagai area alami di darat dan di laut, ditunjuk untuk : (a) melindungi integritas ekologi satu atau lebih ekosistem bagi generasi sekarang dan masa depan, (b) melarang eksploitasi atau pemukiman yang bertentangan dengan tujuan desain area, (c) serta mendukung kegiatan rohani, penelitian, pendidikan, wisata, yang semuanya harus selaras dengan lingkungan dan budaya.
Manajemen habitat di dalam taman nasional di Indonesia berdasarkan sistem zonasi seperti yang tercantum di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Definisi taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang
(1)
157
Lampiran 1.1. Rute ekowisata pada bulan Januari
(2)
158
Lampiran 1.3. Rute ekowisata pada bulan Maret
(3)
159
Lampiran 1.5. Rute ekowisata pada bulan Mei
(4)
160
Lampiran 1.7. Rute ekowisata pada bulan Juli
(5)
161
Lampiran 1.9. Rute ekowisata pada bulan September
(6)
162
Lampiran 1.11. Rute ekowisata pada bulan Nopember