Proseding Seminar Perencanaan dan Pelestarian Lingkungan Terbangun. 22 Desember 2015, Aula Gedung Pascasarjana Universitas Udayana.

ISBN: 978-602-294-092-0
Seminar Perencanaan dan Pelestarian Lingkungan Terbangun - Bali, 22 Desember 2015

Editor
Gusti Ayu Made Suartika, ST., MEng.Sc., PhD.
Ni Ketut Agusintadewi, ST., MT., PhD.
Ni Made Swanendri, ST., MT.

iii

ISBN: 978-602-294-092-0

iv

ISBN: 978-602-294-092-0
Seminar Perencanaan dan Pelestarian Lingkungan Terbangun - Bali, 22 Desember 2015

KATA PENGANTAR

Ide pelestarian menjadi sebuah keharusan di era pembangunan yang pesat ini, di belahan bumi
manapun kita berada. Pelestarian bentang alam, sumber daya alam, energi, peninggalan

bernilai historis, tata nilai budaya dan sosial, identitas, dan lain-lain menjadi kegiatan-kegiatan
yang tidak boleh tidak harus diagendakan. Tujuan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi
yang cepat telah mendorong komponen-komponen serta para pelaku pembangunan untuk
memanfaatkan sumberdaya pendukung yang ada secara maksimal atau malahan secara
berlebihan. Seringkali langkah ini tidak atau belum disertai pertimbangan untuk menjaga
keberlangsungan serta ketersediaan sumberdaya yang sama untuk generasi di masa yang akan
datang. Kadang kala, ketika kita menyisakan sumber daya untuk anak cucu kita di masa yang
akan datang, kualitas serta kuantitasnya kemungkinan tidak pada kondisi prima lagi.
Kota sebagai wadah beragam aktivitas pembangunan secara langsung dipengaruhi oleh situasi
di atas. Ini direfleksikan oleh kondisi lingkungan binaan, dimana kita hidup dan berinteraksi.
Timpangnya aktivitas pembangunan antara desa dan kota telah mendorong laju urbanisasi
yang sangat pesat, khususnya di negara-negara di Asia. Kondisi ini diperparah oleh tingginya
laju pertumbuhan jumlah penduduk yang tidak terkontrol. Seringkali sudah didengungkan jika
kota-kota kita mengalami masalah kemacetan yang kronis; kebanjiran yang menahun; polusi
pada level yang membahayakan; tingkat kepadatan yang melumpuhkan pergerakan dalam
maupun antar kota; menurunnya level livabilitas kota; kualitas-kualitas ruang kota yang
menurun; dominasi dalam pemanfaatan kawasan strategis oleh kepentingan tertentu; konversi
kawasan lindung menjadi kawasan budidaya; merupakan beberapa tantangan dalam
pertumbuhan kota saat ini. Sangat sering jika sebuah kota tumbuh dan berkembang tanpa ada
rencana. Atau, jikapun

blueprint pembangunan spasialnya ada, implementasi serta
pengendaliannya yang bermasalah. Atau pada sirkumstansi yang berbeda, dimana terjadi
koalisi anatar korporasi dengan para pengambil keputusan (pemerintah), produk perencanaan
yang sudah jelas implementasinya bisa dibeli oleh para pemilik modal.
Dengan didasari oleh kondisi-kondisi inilah maka Program Studi Magister Arsitektur,
Universitas Udayana dan Ikatan Arsitek Indonesia Daerah Bali berkolaborasi untuk
menyelenggarakan seminar tahunan dengan tema Perencanaan dan Pelestarian Lingkungan
Binaan di tahun 2015 ini. Kepada Ibu dan Bapak Pembicara Kunci, saya ucapkan terima kasih
atas waktu serta kesediaannya untuk berbagi di melalui Seminar ini. Kepada Ibu dan Bapak
Pemakalah dan Peserta Seminar, saya ucapkan terima kasih atas partisipasinya. Akhirnya,
kepada Ibu dan Bapak Panitia Pelaksana Seminar, saya sampaikan terima kasih yang sebesarbesarnya untuk kerja kerasnya, sehingga Seminar tahun ini bisa terlaksana dengan sukses.
Sebagai penutup, saya mohon maaf untuk kekurangan dan kesalahan.
Terima kasih.

Gusti Ayu Made Suartika
Desember 2015
v

ISBN: 978-602-294-092-0


vi

ISBN: 978-602-294-092-0
Seminar Perencanaan dan Pelestarian Lingkungan Terbangun - Bali, 22 Desember 2015

RINGKASAN

Proseding Seminar ini merupakan kumpulan paper-paper yang dipresentasikan dan
dipublikasi dalam Seminar Perencanaan dan Pelestarian Lingkungan Terbangun yang
diselenggarakan oleh Program Magister Arsitektur: Program Keahlian Perencanaan dan
Manajemen Pembangunan Desa/Kota dan Program Keahlian Manajemen Konservasi, di Aula
Pascasarjana, Lt III Gedung Pascasarjana Universitas Udayana, Kampus Denpasar pada hari
Selasa, tanggal 22 Desember 2015.
Adapun sub tema yang diangkat dalam Seminar adalah:
1.
2.
3.
4.
5.
6.


Permukiman etnik
Permukiman informal
Tradisi, arsitektur, dan makna
Pelestarian arsitektur-tantangan dan potensi
Pusaka kota dan pembangunan kota berbudaya
Perencanaan kawasan strategis: ekowisata, pesisir, lindung, pendidikan, bersejarah,
rentan bencana, ramah anak, pedestrians kota, dll

Masing-masing paper telah dipresentasikan, baik dalam sesi presentasi untuk para pembicara
kunci maupun sesi pararel untuk para pemakalah. Partisipan dan presenter dalam Seminar ini
berasal dari para akademisi, mahasiswa program pascasarjana, para pemerhati keberlanjutan
lingkungan terbangun maupun bentang alamiah. Besar harapannya jika Seminar ini bisa
menjadi ajang diskusi dan berbagi pengetahuan, pengalaman, ide berkenaan pembagunan
lingkungan binaan serta pelestariannya. Ini termasuk pembangunan mekanisme terkait
perencanaan tatanan spasial kota/daerah serta pelestarian legasi, potensi, serta sumbersumber daya alamiah, dan non-alamiah yang ada di sekitar kita. Semoga aktivitas ini bisa
dijadikan bagian kegiatan rutin, yang penyelenggaraannya dijadwal secara berkelanjutan.
Terima kasih

vii


ISBN: 978-602-294-092-0

viii

ISBN: 978-602-294-092-0
Seminar Perencanaan dan Pelestarian Lingkungan Terbangun - Bali, 22 Desember 2015

DAFTAR ISI

Halaman muka ……………………………………………………………………………………………………..………….
Editor ……………………………………………………………………………………………………..……………………….

iii

i

Kata Pengantar ………………………………………………………………………………………………….…………….

v


Ringkasan ………………………………………………………………………………………………………………….……..

vii

Daftar Isi ………………………………………………………………………………………………………………………….

ix

Daftar Pemakalah

Sesi Paralel 1: Permukiman Etnik
Karakteristik Permukiman Tradisional Gampong Lubok Sukon ………………………………………
Ahmad Sidiq

1

Pelestarian Pola Permukiman Tradisional Suku Lio Dusun Nuaone, Kabupaten Ende …….
Alfons Mbuu


11

Struktur Organisasi dan Tata Zonasi Permukiman di Desa Adat Penglipuran,
Kabupaten Bangli …………………………………………………………………………………………………………….
I Gusti Ayu Canny Utami

25

Konsep Pola Desa dan Tata Hunian Desa Pinggan, Kecamatan Kintamani, Bali ………………
Nyoman Siska Dessy Krisanti

33

Perkembangan Fisik Bangunan pada Permukiman Tradisional Desa Bayung Gede …………
Ida Rayta Wira Pratami

39

Kenyamanan Thermal pada Rumah Tinggal Masyarakat Desa Pekraman Bugbug,
Kabupaten Karangasem …………………………………………………………………………………………………..

Ida Bagus Gde Primayatna, Ida Bagus Ngurah Bupala

47

Konsepsi Tri Hita Karana pada Pola Perumahan Utama
Desa Pekraman Gunung Sari ……………………………………………………………………………………………
Gusti Ayu Cantika Putri

59

Sesi Paralel 2: Permukiman Informal
Karakteristik dan Faktor Penyebab Kekumuhan pada Permukiman
Jalan Cok Agung Tresna I, Denpasar ………………………………………………………………………………..
Ni Putu Diah Agustin Permanasuri
Potensi Internalisasi Sektor Informal dalam Rencana Tata Ruang ………………………………….
Ida Bagus Gede Agung Prayudha

67
74


ix

ISBN: 978-602-294-092-0

Sesi Paralel 3: Tradisi, Arsitektur, dan Makna
Mandala Mamargi dalam Arsitektur Tradisional Bali
Pengalaman pada Peristiwa Nuntun Bhatara Hyang di Denpasar, Bali ……………………………
Anak Agung Ayu Oka Saraswati

83

Peran dan Makna Arsitektur Vernakular Indonesia sebagai Jatidiri
Menuju Arsitektur Nusantara …………………………………………………………………………………………
Anak Agung Gde Djaja Bharuna S.

90

Kajian Elemen Arsitektur Gereja Tua Sikka sebagai Bangunan Bersejarah
Peninggalan Belanda ………………………………………………………………………………………………………
Yohanes Pieter Pedor Parera


98

Konsep Bentuk Uma Pangembe Melalui Pendekatan Kearifan Lokal
dan Budaya Setempat ………………………………………………………………………………………………………
Ignatius Nugroho Adi

107

Fungsi dan Estetika dalam Arsitektur Tradisional Bali …………………………………………………….
I Wayan Gomudha

115

Tradisi Meruang Masyarakat Tradisional Sasak Sade di Lombok Tengah ………………………..
Ni Ketut Agusinta Dewi

127

Sesi Paralel 4: Pelestarian Arsitektur-Tantangan dan Potensi

Eksistensi Teba sebagai Ruang Penampung Sampah Organik di Kecamatan Ubud …………
I Gusti Ngurah Bagus Kusuma Putra

141

Pengembangan Desa Wisata di Desa Adat Pengotan Kabupaten Bangli …………………………...
Ishak Ferdiansyah

150

Transformasi Pemanfaatan Ruang di Sekitar Pura Kahyangan Tiga,
Desa Pakraman Peliatan …………………………....................................................................................................
I Putu Hartawan
Puri Kanginan Singaraja: Konsep, Filosofi, dan Tipologi Bangunan …………………………………
Rohana Veramyta
Usaha Pelestarian Kearifan Lokal dalam Awig-Awig Penangkapan Ikan
(Studi Kasus Masyarakat Nelayan Desa Kedonganan) …………………………......................................
Anak Agung Ayu Dyah Rupini
Dasar Pertimbangan Pengelolaan Karang Bengang di Desa Tegallalang Gianyar ……………
Made Prarabda Karma
Pelestarian Hutan Bambu sebagai Bentuk Kearifan Lokal
di Desa Adat Penglipuran, Bangli …..................................................................................................................
Ni Luh Made Marini
Pelestarian Taman Nasional Bali Barat …………………………......................................................................
Bimo Firizki Diadi

x

158
167

176
184

191
197

ISBN: 978-602-294-092-0
Seminar Perencanaan dan Pelestarian Lingkungan Terbangun - Bali, 22 Desember 2015

Sesi Paralel 5: Pusaka Kota dan Pembangunan Kota Berbudaya
Pemanfaatan Ruang Pada Kawasan Catuspatha Desa Kesiman Melalui
Pemaknaan Lingkungan Sekitar ………………………………………………………………………………………
I Gede Artha Dana Jaya

205

Strategi Menumbuhkan Kesadaran Masyarakat sebagai Upaya Pelestarian Aset Pusaka
Kota Denpasar ………………………………………………………………………………………………………………..
Anak Agung Ayu Sri Ratih Yulianasari

215

Mewujudkan Kota Pusaka Yang Berkelanjutan ………………………………………………………………..
Nyoman Ary Yudya Prawira
Pengaruh Perkembangan Pariwisata terhadap Fungsi Karang Desa
di Banjar Nyuhkuning, Ubud …………………………………………………………………………………………..
Made Bayu Indra Yudha
Pembangunan Denpasar Kota Berbudaya: dari Kota Kerajaan hingga Kota Kolonial ………
Putu Ayu Hening Wagiswari
Identifikasi Stakeholder dan Peranannya dalam Menyelesaikan
Persoalan Pelestarian Kawasan ……………………………………………………………………………………….
Gede Windu Laskara
226 Tahun Kuatkan Posisi Denpasar sebagai Kota Pusaka ……………………………………………….
Putu Rumawan Salain

222

229
237

244
255

Sesi Paralel 6: Perencanaan Kawasan Strategis
Pengaruh Parkir terhadap Infrastruktur Transportasi Jalan di Kota Lama Singaraja ………
I Putu Edy Rapiana

263

Pengolahan Limbah Cair Rumah Tangga Menuju Pembangunan Berkelanjutan
di Kawasan Pariwisata Ubud ……………………………………………………………………………………………
Anak Agung Ayu Sara Kusumaningsih

271

Infrastruktur Manajemen Air sebagai Antisipasi Banjir di Tukad Buleleng,
Pusat Kota Lama Singaraja ………………………………………………………………………………………………
Anak Agung Ngurah Ardhyana

278

Kajian Implementasi Tata Ruang dan Bangunan pada Bangunan Hotel
di Kawasan Pesisir Sawangan, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung …………………
Putu Gede Wahyu Satya Nugraha

287

Optimalisasi Moda Transportasi sebagai Antisipasi Rencana Pembangunan
Bandar Udara Bali Utara dan dalam Upaya Pemerataan Pembangunan …………………………
Ni Ketut Ayu Intan Putri Mentari Indriani

292

Faktor dan Aspek Keberadaan Perumahan Gated Community di Kota Denpasar ………………
I Gede Hariwangsa Wijaya

301

xi

ISBN: 978-602-294-092-0

Peningkatan Akses Masyarakat terhadap Transportasi Umum di Kota Denpasar ……………
Wayan Daton Yudhyanggara

308

Implementasi Konsep Green Architecture pada Bangunan Four Season Tent Camp ……….
Kadek Bayu Dwi Laksana

315

Konsep Penyediaan Taman Kota sebagai Perwujudan Fungsi Sosial
Ruang Terbuka Hijau di Kota Mangupura ……………...................................................................................
Kadek Ary Wibawa Patra

323

Pengaruh Kebijakan Penataan Ruang Tukad Badung terhadap Perilaku Masyarakat
di Desa Pemogan …………….......................................................................................................................................
I Ketut Adi Widiadinata

332

Pengembangan Infrastruktur yang Terintegrasi dengan Kondisi Iklim
pada Lingkungan Pantai Boom Banyuwangi ……………………………..……………………………………..
Abu Sufyan

339

Hutan Kota ……………………………………………………………………………………………………………………….
Cokorda Gede Putra Danendra

349

Sistem Subak di Desa Jatiluwih, Tabanan dalam Konsep Lingkungan Berkelanjutan ………
L.G. Rara Bianca Sarasaty

356

Perubahan Fungsi Kawasan di Sekitar Kali Semarang Dari Era Kolonial hingga Modern
(Studi Kasus Kawasan Kali Semarang dari Gang Lombok hingga Kebon Dalem) ……………..
Yudistira Nugroho

362

Potensi Pengembangan Kawasan Pesisir Pantai Air Sanih Sebagai Objek Pariwisata
Perencanaan Berbasis Sustainable Development di Kabupaten Buleleng ………………………
Untung Bagiotomo

369

Konsepsi Pengembangan Wilayah Agropolitan di Kabupaten Karangasem ……………………
Putu Indra Yoga Sariasa

380

Kontroversi “Datu Swing” sebagai Salah Satu Objek Pariwisata di Gili Trawangan …………
Putu Bayu Aji Krisna

389

Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau (RTH) berdasarkan Fungsi Ekologis
di Kawasan Perkotaan Kabupaten Badung ………………………………………………………………………
Afriyanti Noorwahyuni

396

Potensi Kawasan Pesisir Pemuteran …………………………………………………………………………….….
Ayu Mega Silvia Lukitasari

404

Keragaman Budaya dalam Mewujudkan Sustainabilitas Pembangunan Ekonomi ……………
Gede Surya Pramana

410

Kawasan Wisata Seni dan Budaya Berbasis Ekonomi Kreatif di Kecamatan Sukawati ……
Kadek Wira Wibawa

420

Integrasi Kebijakan Perencanaan dan Prioritas Pembangunan yang Berbasis Masyarakat
di Kawasan Pesisir Pantai Amed ………………………………………………………………………………………
Kurnia Dwi Prawesti

428

Ekonomi Hijau sebagai Solusi untuk Mengatasi Dampak Negatif
Pengembangan Sarana Akomodasi Wisata di Ubud …………………………………………………………
Agung Angga Wira Raditya

436

xii

ISBN: 978-602-294-092-0
Seminar Perencanaan dan Pelestarian Lingkungan Terbangun - Bali, 22 Desember 2015

Perencanaan Kawasan Pesisir Pantai Soka: Identifikasi Potensi
dan Permasalahan Makro Kawasan Pantai Soka ……………………………………………………………..
Mutiara Nandya Putri Narendra Anom

444

Perkembangan Ruas Pesisir Pantai Geger-Nusa Kecil sebagai Kawasan Wisata
di Kabupaten Badung ………………………………………………………………………………………………………
Ida Ayu Catur Maharani

450

Kajian Alih Fungsi Lahan Pertanian pada Kawasan Jalur Hijau di Subak Kedampang ………
I Putu Anom Widiarsa

459

Perilaku Teritorialitas Pengunjung Monumen Bom Bali di Legian, Kuta …………………………
I Wayan Yogik Adnyana Putra

467

Teritorialitas Pedagang di Selasar Pertokoan Tekstil Jalan Sulawesi Denpasar …………….....
Ida Ayu Kade Paramita Pradnyadewi

475

Pemanfaatan Ruang Greenfield di Kecamatan Ubud, Gianyar ………………………………………….
Anak Agung Ayu Kasmarina

483

Telaah Kritis terhadap Diagram Model Penelitian pada Thesis
di Program Pascasarjana Unud: Suatu Usulan Pemikiran ……………..…………………………………
Syamsul Alam Paturusi
Menjaga Eksistensi Wilayah Pesisir Bali: Antara Teori dan Tradisi …………………………………
I Ketut Mudra
Pemberdayaan Petani Lokal dalam Pengembangan Restoran Organik di Ubud
sebagai Contoh Penerapan Green Development ……………………………………………………………….
Made Agastya Kertanugraha
Pendidikan Melalui Pendekatan Perilaku: Menanamkan Sikap Ramah Lingkungan
Dari Anak-Anak Sekolah Dasar Di Desa Bedulu (Gianyar), dalam
Menanggulangi Permasalahan Sampah ……………………………………………………………………………
Gusti Ayu Made Suartika
Susunan Panitia Pelaksana Seminar ……………………….………………………………………………………..

491
498

508

514

xiv

xiii

ISBN: 978-602-294-092-0

SUSUNAN PANITIA PELAKSANA SEMINAR

Ketua Panitia Pelaksana

:

Gusti Ayu Made Suartika, ST., MEngSc., PhD.

Wakil Ketua Panitia Pelaksana

:

Ni Ketut Agusintadewi, ST., MT., PhD.

Sekretaris

:

Ni Made Swanendri, ST., MT.

Seksi Acara

:

Dr. Ir. Ni Ketut Ayu Siwalatri, MT.

Seksi Seminar Kit

:

Dr. Ir. Widiastuti, MT.

Seksi Sertifikat

:

Dr. I Nyoman Widya Paramadhyaksa, ST., MT.

Seksi Proseding

:

I Wayan Yuda Manik, ST., MT.

Seksi Perlengkapan

:

Dr. Eng. I Wayan Kastawan, ST., MA.

Seksi Transportasi

:

Ir. I Gusti Bagus Budjana, MT.

Seksi Publikasi dan Kepesertaan

:

I Kadek Prana, ST., MT, IAI
I Gde Suryawinata, ST., IAI

Seksi Konsumsi

:

I G.A. Dewi Indira Sari, SE.

Seksi Dokumentasi

:

I Gusti Ngurah Putu Eka Putra

Desain Cover

:

I Putu Sutama Mandala

xiv

Seminar Perencanaan dan Pelestarian Lingkungan Terbangun - Bali, 22 Desember 2015

FUNGSI DAN ESTETIKA DALAM ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI
I Wayan Gomudha
Staf Pengajar Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Udayana
Abstract
Traditional Balinese architecture (ATB) as one of the cultural work, its existence is rounded with
elements of Balinese culture that is based on Hinduism. Explicitly there is no theory that can be studied
architecture, but architecture has established guidelines that very instant and easy to implement. ATB
functionality in developed as form follows function and meaning, every form that appears on the basic
function always contains the meaning derived from the philosophy of harmony between man (Bhuana
Alit) with the architectural equivalent of the universe (Bhuana Agung). Aesthetics as applied art in its
implementation refers to the strategies and methods of ornaments and decorations as decorative
architecture to support the creation of harmonization. Symbolic value and identity at the same
instructions, decorative architecture has always been open to stylization, hybrid, or blending in
harmony with new elements that can generate local genius of the work culture itself.
Keywords: Architecture, Function and Aesthetics

Abstrak
Arsitektur Tradisional Bali (ATB) sebagai salah satu karya budaya, keberadaannya sangat
membulat dengan unsur-unsur budaya Bali yang dilandasi oleh Agama Hindu. Secara explisit belum
ada teori arsitektur yang dapat dipelajari, namun telah memiliki pedoman berarsitektur yang
sangat instant dan mudah dilaksanakan. Fungsionalitas dalam ATB dikembangkan sebagai form
follows function and meaning, setiap bentuk yang muncul atas dasar fungsi selalu mengandung
makna yang diturunkan dari filosofi keharmonisan antara manusia (bhuana alit) dengan arsitektur
yang setara alam semesta (bhuana agung). Estetika sebagai seni terapan dalam implementasinya
merujuk kepada strategi dan metode ornamen dan dekorasi sebagai ragam hias arsitektur untuk
mendukung terciptanya harmonisasi. Nilai simbolik dan sekaligus petunjuk jati diri, ragam hias
arsitektur selalu menjadi terbuka bagi stilisasi, hibrida, maupun pencampuran yang serasi dengan
unsur-unsur baru yang dapat membangkitkan local genius dari karya budaya itu sendiri.
Kata kunci: Arsitektur, Fungsi dan Estetika

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bali sebagai terminal akhir perjalanan kultur budaya Hindu Indonesia, telah berkembang di
Indonesia semenjak abad ke empat di Kutai. Perjalanan panjang selama berabad-abad melalui
Pajajaran di Jawa Barat, berlanjut ke Jawa Tengah, melalui Jawa Timur untuk menuju Bali.
Pulau Bali sebagai bagian wilayah Nusantara sebagaimana peradaban bangsa-bangsa di dunia
juga mengalami masa peradaban budaya. Peradaban budaya Bali lebih nyata dicetuskan dalam
bisama Samuan Tiga (pertemuansegitiga) di Bata Anyar (Bedahulu saat ini) satu millennium
yang lalu. Selanjutnya tatanan kehidupan budaya Hindu inilah yang diwarisi dan menjadi
tradisi masyarakat Hindu di Bali sampaisaatini.
Arsitektur Tradisional Bali (ATB) merupakansalah satu karya budaya, keberadaannya
tercermin dari filosofi, konsepsi, kemampuan teknologis, dan pola pembangunannya yang
disesuaikan dengan perkembangan pola pikir masyarakat pada jamannyasecaramentradisi.
Dalam ATB belum ditemukan teori-teori arsitektur secara eksplisit, walaupun pedoman instan
115

berarsitektur sudah adaberupapustakasuciberwujudlontar. Untuk membedah, memilah dan
memilih nilai-nilai/makna arsitektur yang terkandung dalam ATB diperlukan ancangan teori
arsitektur relevan dalam ranah ilmiah sesuai dengantemakajian.
Selama lebih dari 2000 tahun yang lalu Marcus Vitruvius Pollio menulis buku De Architectura,
buku tertua dalamarsitektur. Dalam buku Vitruvius menyatakan pemikiran kuno untuk
pengembangan kualitas arsitektur, yang dikenal dengan ‘Triade Vitruvian’ terdiri atas
Utilitas/fungsi arsitektural, Firmitas/daya tahan arsitektural, dan Venustas/keindahan
arsitektural. Deskripsi kualitas arsitektur berasal dari interaksi yang erat antara Firmitas (daya
tahan), Utilitas (kenyamanan) dan Venustas (keindahan), (Morgan, 1960).
Kualitas fungsi dan estetika sejak lama merupakan isu yang selalu menjadi perdebatan dan
dipertentangkan antara arsitektur tradisionaldengan arsitektur modernselaku oposisi-biner
(rwa bhinneda). Posisi ini sangat dipengaruhi oleh sikap tradisional konservatif sebagai ‘agen
pelestari’ dengan sikap modern revolusioner selaku ‘agen pengubah’tatanan yang sudah ada
ibarat minyak dengan air.Perdebatan dan pertentangan tersebut sangat menarik dikaji untuk
menemukan suatu bentuk dan formasi arsitektur Bali, yang beridentitas lokal dalam pergaulan
global.
Tinjauan Filosofis, Teoritis-Empiris Fungsionalisme dan Estetika dalam Arsitektur
Arsitektur adalah suatu bentuk hasil karya seni yang diterapkan ke dalam wujud bangunan,
tidak semua bangunan disebut arsitektur. Dalam diagram Triade Vitruvian disebutkan bahwa
persyaratan minimal suatu spasial dan bangunan sebagai karya arsitektur, apabila telah
memenuhi tiga syarat utama sebagai berikut:

Venustas

Kualitas Ars

Firmitas

Utilitas

Diagram-01. Triade Vitruvian menjelaskan kualitas arsitektur sebagai keutuhan yang terdiri
dari interaksi antara Utilitas (kenyamanan/fungsional),firmitas (daya tahan), dan Venustas
(keindahan). i). Utilitas adalah isu-isu penting dalam fungsi arsitektural. Sebuah pemahaman
konsep bangunan yang memiliki kemampuan untuk menanggapi kebutuhan dari pengguna
dan masyarakat sekitarnya. Pada prinsipnya arsitek harus merancang atas dasar kegunaan
dari suatu bangunan, sehingga terjadi keharmonisan hubungan antara manusia dengan
bangunan dan lingkungannya. ii). Firmitas adalah daya tahan bangunan, dalam penggunaan
konsep Vitruvius ini dikembangkan untuk mengatasi semua masalah penting terkait dengan
daya tahan fisik arsitektur, yang mencakup kekokohan/keamanan strktur dan bahan. iii).
Venustas adalah tentang keindahan arsitektur, Vitruvius percaya bahwa alam adalah
ekspresi dari tatanan kosmis berdasarkan hukum universal, dan ia percaya, bahwa kualitas
arsitektur dicapai ketika desain arsitektur berdasarkan hokum-hukum ini dan ketika
arsitektur demikian 'meniru' tatanan kosmis alam.

116

Seminar Perencanaan dan Pelestarian Lingkungan Terbangun - Bali, 22 Desember 2015

Dalam arsitektur terdapat berbagai aliran arsitektur, satu diantaranya aliran yang memiliki
pengaruh dalam perkembangan arsitektur dunia, yakni Aliran Arsitektur Modern. Cikal bakal
aliran architecture as art and craft and technology pada awalnya dipelopori oleh John Ruskin
dan William Moris dari Inggris awal abad 19. Aliran tersebut menjadi embrio dari Arsitektur
Modern. Aliran tersebut terbagi beberapa fase, salah satu adalah aliran Arsitektur Modern
Fungsionalisme atau Rasioanlisme yang berasaskan rasio dan pemikiran yang logis.
Perkembangan Arsitektur Modern Fungsionalisme diwarnai dengan anti pada pengulangan
bentuk-bentuk lama (tradisional) dengan teknologi baru (beton bertulang, baja) sejalan
dengan perkembangan revolusi industri. Pada awal abad 20 terjadi perubahan besar, radikal,
cepat, dan revolusioner dalam pola pikir serta gaya hidup. (Sumalyo, 1997).
Pada waktu bersamaan, Louis Henry Sullivan mempopulerkan ungkapan “bentuk bangunan
yang mengikuti fungsi” (forms follows function). Tujuannya untuk menangkap suatu ukuran,
ruang dan karakteristik dalam bangunan harus terlebih dahulu ditujukan semata-mata kepada
fungsi dari bangunan tersebut. Implikasinya bahwa jika aspek fungsional dicukupi, maka
keindahan arsitektur akan secara alami mengikuti. Idealisme dari suatu arsitektur merupakan
perpaduan antara bentuk dan fungsi. Setiap bangunan harus menemukan bentuk sesuai
dengan fungsinya. Lebih lanjut dalam perkembangan arsitektur Modern terungkap bahwa
makna fungsi terkait bentuk dipahami sebagai ‘multifungsionalisme’ yang dikristalisasikan
dari tujuan dan keinginan/cita-cita hidup manusia antara lain: esthetic function, symbolic
function, social milieu, asas manfaat/nilai guna, dsb. (Ragon, dalam Sumalyo,1997).
Pemasyarakatan fungsionalisme adalah meninggalkan hiasan atau ornamen bentuk lama dan
menonjolkan kenyataan kemajuan teknologi, konstruksi dan struktur bangunan semakin
meluas. Ornamen mulai diyakini sebagai wujud ‘kejahatan arsitektur’, karena tempelan dari
ukiran dianggap kebenaran palsu. Arsitek proto-rasionalis Austria Adolf Loos yang
mengetengahkan model dasar arsitektur modern melalui esainya berjudul ‘Ornament and
Crime’.Arsitektur berkembang sejalan dengan perkembangan budaya, pola pikir dan gaya
hidup suatu masyarakat pada umumnya, khususnya dalam seni, keindahan dan teknologi.
Positioning ATB dalam Budaya Bali
Sebelum melihat fokus perlu dikemukakan posisi ATB dalam hubungan antara agama Hindu,
Adat dan Tradisi di Bali.Agama Hindu yang dianut oleh masyarakat Bali telah disesuaikan dan
dikembangkan menurut tempat, kondisi dan kehidupan masyarakat di Bali.Penyesuaian ini
telah membentuk nilai-nilai, norma-norma, pandangan-pandangan serta hukum-hukum yang
dikembangkan tetap berlandaskan pada agama semula,yang disebut ‘adat agama’. Di samping
berkaitan dengan adat dan agama masih ada faktor yang mempengaruhi ATB yaitu ‘tradisi’
dari masyarakat di mana dia tumbuh. Tradisi dimaksud adalah unsur-unsur asli yang dimiliki
masyarakat dan diwariskan secara turun temurun. Posisi ATB di antara ketiganya berada
ditengah-tengah dipengaruhi dan dibentuk oleh Agama, Adat Agama dan Tradisi.
Akibat hubungan antara unsur-unsur kebudayaan yang dilandasi agama Hindu telah
melahirkan ‘nilai-nilai’ yang melandasi kehidupan masyarakat Bali dengan nuansa religius.
Hubungan antara wujud ide dengan wujud aktivitas melahirkan adat-istiadat/awig-awig yang
mengatur dan menata aktivitas itu berjalan sejalan dengan norma-norma agama Hindu.
Hubungan wujud ide dengan wujud fisik/artefak melahirkankonsep-konsep lingkungan
bina/buatan yang akan ditrans-formasikan menjadi hasil karya budaya termasuk ATB di

117

dalamnya. Hubungan wujud aktivitas dengan wujud fisik/artefak melahirkan pola hunian/pola
menghuni yaitu bagaimana masyarakat Bali menjaga keharmonisan hidup dan
penghidupannya dalam suatu bentuk hunian/permukiman liaht Diagram-02, Diagram-03,
Diagram-04,(Gomudha, 1999:278).

AGAMA

ADAT

ADAT AGAMA

Diagram 02.
HUBUNGAN

Diagram-03.
HUBUNGAN ATB AGAMA - ADAT -

Diagram. 04. HUBUNGAN
ATB – AGAMA -

Filosofi Kosmos dan Filosofi ATB
Masyarakat Bali dalam hidup dan kehidupannya yakin dan percaya bahwa segala isi alam
semesta ini ada melalui suatu proses Tapa dalam wujud Tri Kona : Utpeti (kelahiran), Sthiti
(kehidupan) dan Pralina (kematian). Keberadaan makluk hidup manusia (tri pramana) dan
alam semesta terdiri atas ‘unsur yang sama’ yakni Tri Hita Karana.Tri: tiga; Hita: baik, senang,
gembira, dan Karana: sebab-musabab atau sumbernya, berarti ‘tiga jenis unsur yang
merupakan sumbernya sebab yang memungkinkan timbul kebaikan atau kehidupan’.
Unsur unsur tersebut dalam manusia selaku Bhuana Alitterdiri atas: Atma/jiwa manusia yang
menyebabkan hidup; Prana atau tenaga, yakni kekuatan (bayu, sabda, idep) atau daya yang
timbul akibat menunggalnya atma dengan angga/sarira; Sarira atau badan wadag manusia.
Dalam alam semesta selaku buana agung terdiri atas:Paramaatma adalah sinar suci Hyang
Widhi selaku jiwa alam semesta; Prana adalah segenap tenaga alam; dan Angga /Sarira/fisik
alam semesta.
Sejalan dengan Ganapati Tattwa diyakini bahwa unsur sariramanusia dan alam semesta
terbentuk dari unsur-unsur yang sama Panca mahabhutayakni: zat cair (apah), zat padat
(pertiwi), angin (bayu), panas (teja), dan ether (akasa). Pada alam-semesta/tubuh besar
(makro kosmos) membentuk susunan struktur ‘Tri Loka’ (bagian dari Sapta-loka).Struktur
alam dikuasai oleh zat padat dan zat cair disebut Bhur-loka, alam yang dikuasai oleh zat padat
dan teja disebut Bhuah-loka, alam yang dikuasai oleh sinar dan bayu disebut Swahloka/Swarga-loka/Dewa-loka).Sedangkan pada tubuh manusia (jagat kecil/mikro kosmos)
terbentuk susunan struktur ‘Tri Angga’ terdiri atas: kepala (utama angga),badan (madya
angga) dan, kaki (nista angga).
Moksartham Jagadhita ya ca iti Dharma, artinya bahwa agama (dharma) bertujuan untuk
mencapai kebahagiaan rohani dan kesejahteraan hidup jasmani atau kebahagiaan secara lahir
dan bathin (moksa) adalah sebagai tujuan agama Hindu. Untuk mencapai tujuan ini manusis
didalam kehidupannya harus menjalin hubungan yang “harmonis” dengan alam semesta.
Implementasi harmonisasi ini diwujudkan dalam skala ruang yang lebih terbatas dan dapat
dirasakan keberadaannya.Terwujud dalam ruang skala teritorial Bali, Desa Pekraman/Adat,
118

Seminar Perencanaan dan Pelestarian Lingkungan Terbangun - Bali, 22 Desember 2015

Paumahandan Bale sampai pada komponen arsitektural/Bale lihat Tabel-01 dan Tabel-02
berikut:
Tabel-01. Nilai-nilai substansi konsep tata-ruang pada tingkat gama adalah: Nilainilai/kerangka dasar agama Hindu (tattwa, susila/etika dan upacara). Tri Hita Karanasebagai
unsur bhuana alit dan bhuana agung dalam kesetaraan:
Bhuana Agung

Bhuana Alit

Regional Bali

Palemahan Desa

Palemahan Umah

Paramatma
Nilai Utama

Atma

Sunia/Swah
Loka

Parhyangan

Sangah/Mrajan

Prana/segenap
Tenaga Alam
Nilai Madya

Prana
(bayu,sabda,idep)

Penduduk Bali

Pawongan/Kerama
Desa

Penghuni Umah

Panca Mahabhuta
Nilai Nista

Angga Sarira

Pulau Bali

Palemahan

Palemahan

Tabel-02. Nilai-nilai konsep tata-ruang pada tingkat gama adalah : nilai hulu - (tengah)- teben
baik arah horizontal maupun vertikal yaitu, kesetaraan Tri Loka dan Tri Angga sebagai
susunan struktur unsur Angga Sarira dalam kesetaraan:

TATA NILAI

ALAM
SEMESTA
(BHUANA
AGUNG)

MANUSIA
(BHUANA
ALIT)

1. UTAMA
/ HULU

Kepala

2. MADYA
/ TENGAH

Badan

3. NISTA/
TEBEN

Kaki

Swah Loka/
Gunung/Kaja
/ Kangin
Buah Loka/
Dataran/
Tengah
Bhur Loka/
Laut/Klod/
Kauh

PALEMAHAN
DESA – TRI
MANDALA

PALEMAHAN
PURA -TRI
MANDALA

PALEMAHAN
UMAH TRI MANDALA

Parhyangan

Jeroan

Sanggah/
Parhyangan

Atap

Paumahan

Jaba Tengah

Tegak Umah/
Pawongan

Pengawak/
Badan

Setra

Jaba Pisan

Teba/Sesa

Batur

DIAGRAM BUANA ALIT - BUANA AGUNG
[ MIKRO KOSMOS - MAKRO KOSMOS ]

BANGUNAN
TRI ANGGA

     



[ SUBSTANCE OF CONTENT ]






 

 
☯


  




   

  


☯



 


 
 ☯
   

☯

NISTA


 ☺

 






☺

 

 

MOKSA

 

  
  



 

   
 
   
  
☯   


   


  


☺  


 


  

   



  
 




 ☺



  

☯   


  

  
 


☺  



 
  
   

MADYA

UTAMA

UTAMA

GUNUNG

U.N

U.M

U.U

MADYA

DATARAN

M.N

M.M

M.U

N.N

N.M

N.U

NISTA

LAUT
MATI

HIDUP

LAHIR

POLA TIGA TINGKATAN ZONE

POLA TIGA TINGKATAN ZONE

ATAS DASAR SUMBU KEMANUSIAAN
GUNUNG - LAUT [ KAJA-KLOD ]

ATAS DASAR SUMBU RELIGI
KANGIN - KAUH

[ TRI LOKA ]

[ TRI MANDALA ]



 




 





   


 
  



  ☯ 






☯


NATAH

POLA
SWASTIKA-SANA

 


POLA DASAR
KOMPOSISI MASSA
HUNIAN TRADISIONAL

KOMBINASI
POLA SANGA MANDALA

9 NILAI ZONING

NATAH

PENGEMBANGAN
POLA KOMPOSISI
MASSA HUNIAN

[ GO-CAD ]

Diagram-05. Filosofi

Diagram-06. Konsep Tata-Ruang &
Bangunan vertikal-horizontal

119

FUNGSI DAN ESTETIKA DALAM ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI (ATB)
Jalinan yang harmonis antara manusia selaku bhuana alit dengan arsitektur yang disetarakan
alam semesta selaku bhuana agung, secara filosofis berimplikasi kepada seluruh tatanan hidup
dan penghidupan masyarakat Bali. Implementasinya dalam arsitektur dengan fokus fungsi dan
estetika akan menjadi bahasan berikut:
Fungsi dalam Arsitektur Tradisional Bali
Masyarakat Bali pada masa lalu sangat taat dengan norma-norma adat dan etika yang berlaku
dalam suatu lingkungan kerajaan. Relevansi fungsi atau nilai guna dalam ATB sangat
dipengaruhi olehCatur warna sebagai strata profesi dalam masyarakat Bali. Hal ini akan
menentukan klasifikasi tipologi bangunan yang dapat dipakai oleh masyarakat, baik berupa
Paumahan maupun Bale. Bagi warna Brahmanaadalah berupa Griya; Kesatrya berupa Jero;
Waysia berupa Jeroan; dan Sudra/Jaba diluar ketiga warna tadi disebut Umah; sedang Puri
bagi Raja yang memegang pemerintahan sesuai tingkat kekuasaannya.
Klasifikasi tipologi ini akan tercermin dari wujud Peyengker dan Paduraksa dan terpadu
dengan Kori/Angkul-angkulsebagai keluar-masuk penghuni.Penyengker berasal dari kata
‘sengker’ yang artinya kurung (‘kurung’), kurung itu sendiri memiliki pengertian dan
fungsi:pertama sebagai tanda untuk mengumpulkan beberapa unsur menjadi satu kelompok
yang membentuk satu unit hunian; kedua mengkonotasikan suatu keberadaan di dalam rumah,
kamar/bilik/sangkar; dan ketiga melindungi dan mewadahi segala sesuatu yang ada di dalam
kurungan.
Sebagai petanda, pertamapenyengkerberfungsi sebagai batas properti dari sebidang tanah,
pada tempat mana terkumpul unsur-unsur fisik pembentuk hunian beserta penghuninya. Pada
pengertian kedua, penyengker yang dilengkapi ‘Angkul-angkul’ dan ‘Paduraksa’ menandakan
suatu unit ‘umah’ dan sekaligus berfungsi sebagai petunjuk status penghuninya, apakah
sebagai Griha untuk profesi Brahmana, Puri untuk profesi Ksatria, Jero bagi Ksatria yang tidak
memegang jabatan, Jeroan bagi profesi Waisya, serta Umah atau Kubu bagi golongan
masyarakat kebanyakan. Pengertian ini menandakan bahwa penyengker, Paduraksa dan Kori
dapat dipandang sebagai satu unit bangunan rumah.
Gugus-gugus massa di dalam penyengker yang disebut ‘Bale’, akhirnya setara peruntukannya
sebagai bilik-bilik rumah sebagaimana pengertian rumah non tradisional pada umumnya.
Sedang pengertian melindungi dan mewadahi, di samping berfungsi sebagai pelindung dari
pengelihatan (privacy); juga sebagai pelindung bagi segenap isi dari marabahaya
(keselamatan/keamanan) baik secara nyata maupun magis, dengan adanya Paduraksa pada
keempat sudut pertemuannya (Sri Raksa, Aji Raksa, Rudra Raksa dan Kala Raksa). Sebagai
wadah hunian, penyengker akan memberikan suatu keleluasaan dan kenyamanan bagi isinya
untuk beraktivitas didalamnya, [lihat : Gbr-02.].
Sejalan dengan profesi penghuni, maka luas pekarangan ditetapkan dengan ukuran utama:
depa agung, depa alit dan ahasta, amusti, anyari adalahpengurip (pelebih), dengan klasifikasi:
Singa untuk Satria, Lembu Agung bagi Prabali, dan Gajah untuk Brahmana, masing-masing
klasifikasi ini dibagi lagi dengan klasifikasi: utama (besar), madya (sedang) dan nista (kecil).
Pembagian ini dapat dibagi lagi menjadi sembilan klas: utamaning utama, utamaning madya,
dan utamaning nista; madyaning utama, madyaning madya, dan madyaning nista; nistaning
120

Seminar Perencanaan dan Pelestarian Lingkungan Terbangun - Bali, 22 Desember 2015

utama, nistaning madya, dan nistaning nista. Bila dipandang perlu yang sembilan klas ini dapat
digandakan dengan cara yang sama, sehingga didapat dua puluh tujuh klas atau variasi ukuran
pekarangan, demikian seterusnya.
Sebidang tanah yang sudah ter-sengker diibaratkan sebagai sebidang kertas kosong berbentuk
segi empat panjang diletakkan di tanah dengan orientasi Kaja-Klod dan Kangin-Kauh (gununglaut dan matahari terbit-matahari terbenam). Kemudian gugus-gugus massa berupa bale ditata
dengan satuan ukuran tapak kaki untuk kegiatan manusia (Pawongan dan Palemahan), dan
tapak tangan untuk tempat suci (Parahyangan). Penggunaan unsur-unsur antropometri
sebagai satuan dasar ukuran, merupakan upaya kesesuaian dan keharmonisan antara
penghuni selaku isi (buana alit) dengan bale selaku wadahnya (disetarakan buana agung).
Kelipatan ukuran ini didasarkan atas kelipatan perhitungan asta dewa (delapan personifikasi
dewa) dari perhitungan ini akan menentukan watak bale. Setiap satuan ukuran dan pengurip
yang dipilih, masing-masing membawa perwatakan yang diyakini berpengaruh terhadap
keberuntungan penghuni. [Gbr-01].
Bale dalam ATB sesungguhnya setara dengan bilik (room), karena Penyengker,Paduraksa dan
Kori sebagai penanda Umah atau Rumah.

Gbr-02.TIPOLOGI BALE DALAM HUNIAN ATB
Sumber : Sulistyawati

Gbr-01. SATUAN JARAK ANTROPOMETRI

Bale berfungsi serba guna, pada malam hari sebagai tempat tidur/kamar tidur (bed room) dan
pada siang hari sebagai tempat melakukan kegiatan rumah tangga lainnya seperti menerima
tamu, bekerja, upacara, memasak/pawon, makan, menyimpan dan sebagainya, jadi
peruntukannya dapat berlapis-lapis (layering).Pada hunian standar setiap umahmemiliki
beberapa baleyang ditata menganut suatu pola yang tersirat dan tersurat dalam lontar-lontar:
Asta-bumi, Sikuting Umah, Asta-kosali, Asta-kosala, Swakarma, dll.[Gbr-04]

KAJA-

KANGINUTAMA

121

Tipologi Bale dan Fungsinya dalam Hunian Tradisional Bali
1.

Bale Daja (kaja) atau Meten berasal dari kata Mati + an, dimaksudkan bukan mati
kehilangan nyawa, tetapi mati dari aktivitas atau tidur. Meten difungsikan sebagai tempat
tidur anak gadis/wanita, disebut Gedong bila difungsikan sebagai tempat penyimpanan
benda-benda pusaka/sakral atau benda-benda berharga lainnya. Disebut Bale Bandung
kalau dipadukan dengan serambi/amben meten. Disebut Gunung Rata apabila serambi
depan memiliki dua teras/andê, ini merupakan tipe terbesar yang biasanya digunakan di
Puri, Geria, dan Jero.

2.

Bale Dauh yang terletak di bagian barat tapak sebagai tempat tidur orang tua di malam
hari, sedang pada siang hari dipakai sebagai tempat kerja dan ruang terima tamu pada
umumnya, letaknya berdekatan dengan Pawon/Dapur agar ibu dan ayah mudah kedapur..

3.

Bale Dangin, dari letaknya di Purwa/Dangin/Timur/mata hari terbit, fungsinya sebagai
tempat tidur Nenek dan Kakek yang telah memasuki fase kehidupan wanaprasta yang
dekat dengan Marajan sebagai stana para leluhur dan Ida sang Hyang Widi, agar mudah
bersembahyang dalam rangka mendekatkan diri pada penciptanya.

4.

Tempat suci keluarga disebut ‘Marajan’ atau ‘Sanggah’, berasal dari bahasa Sansekertha,
yaitu ‘Raja’ juga disebut ‘Rajan’. Raja adalah sebutan/gelar bagi Kepala Pemerintahan dari
suatu sistem peme-rintahan Kerajaan, dan merupakan jabatan yang mulia atau
dimuliakan. Kata Rajan dalam bahasa Sansekertha kemudian memperoleh awalan ‘ma’
lalu menjadi ‘marajan’ atau ‘mrajan’ yang bermakna tempat memuliakan dan memuja,
terutama untuk para leluhur. Sedang kata ‘Sanggah’ berasal dari ‘Sanggar’ yang secara
harfiah berarti ‘kuil’ atau ‘Sangga’ dalam kaitannya dengan kata ‘Anangga’ yang berarti
memegang tinggi-tinggi, juga dapat bermakna menjunjung atau memuja [Soebandi, Ktut,
1992].

5.

Su(e)manggen, asal kata Sema + anggen artinya dipakai kuburan sementara. Bale
sumanggen merupakan tempat melaksanakan upacara manusia-yadnya dan pitrayadnya/upacara ngaben, sehingga memiliki kedudukan paling sakral dibanding bale
Pawongan lainnya. Fungsi profannya sebagai tempat tidur anak laki-laki, tempat belajar
dan menerima tamu yang dihormati.

122

Seminar Perencanaan dan Pelestarian Lingkungan Terbangun - Bali, 22 Desember 2015

6.

Pawon berasal dari kata pa + awu + an, awu = abu, yang berfungsi sebagai tempat masak
dan kegiatan ibu rumah tangga lainnya. Di belakang dapur ada Lumbung/Jineng sebagai
tempat menyimpan/gudang padi dan hasil bumi lainnya.

7.

Lumbung/Jineng, berfungsi sebagai tempat menyimpan padi dalam ruang atas, dan balebale dibagian bawah sebagai tempat kerja anggota keluarga wanita dan peria serta
menyimpan hasil bumi lainnya di bawah bale-bale.

8.

Kandang, berfungsi sebgai tempat memelihara ternak terutama babi, berfungsi sebagai
penampungan limbah atau sisa makanan dan sebagai Celengan.

9.

Angkul-ngkul, berfungsi sebagai tempat keluar/pemesuan/exitbukan tempat masuk
(entrance) penghuni rumah.Pemesuan/pintu keluar bermakna orientasi keluar, sebagai
penanda jati-diri atau identitas penghuninya.

Estetika dalam Arsitektur Tradisional Bali
Ornamen dan dekorasi sebagai bagian dari seni/estetika terapan,bagi masyarakat Bali adalah
sesuatu yang sangat berharga, karena alam dan penciptanya telah memberikan keindahan bagi
tanah Bali. Seni dan keindahan merupakan salah satu sarana/media komunikasi dengan alam
dan penciptanya; diwujudkan dalam bentuk simbol-simbol akibat keterbatasan manusia. Tiada
hari tanpa seni dan keindahan, diwujudkan dalam setiap bentuk sesaji maupun persembahan
lainnya sebagai umat Hindu di Bali. Profesi masyarakat sebagai petani pada masa lalu, cukup
luang untuk mengisi waktu membuat berbagai karya seni.
Harmonisasi dengan alam, lingkungan dan penciptanya diupayakan dengan berbagai strategi
dan metoda dalam ATB. Penyetaraan sosok dan bentuk buana alit selaku isi dengan bangunan
selaku wadah yang dipersonifikasikan sebagai buana agung ditempuh melalui pembagian tiga
atas unsur Angga/Sariramenjadi Tri Angga. Pembagian tiga ini berlaku dari makro sampai ke
mikro: Regional Bali, Desa Pekraman, Pekarangan, Bale dan komponen Bale. Implementasi
dalam tata-ruang dengan pembagian mandala/loka, pada tata-bangunan dilaksanakan dengan
‘bentukan ornamen’; sedang dekorasi lebih menekankan pada penciptaan atau perubahan
suasana yang diinginkan, lihat Gbr-06 di atas.

Gbr-05. KONSTRUKSI, ORNAMEN DAN

Gbr-06. SOSOK DAN BENTUK DG
ORNAMEN, UKIRAN DG DEKORASI

DEKORASI MENYATUDG TEKTONIKA

Dalam ATB ada beberapa kaidah/pakem tata-cara ber-ragam-hias dalam arsitektur,
sebagaimana yang telah dilakukan oleh Undagi bekerjasama dengan para Sanggingantara
lain:i) Berdasarkan atas tata-nilai sakral dan profan. Ragam hias berupa orneman dan dekorasi

123

‘sakral’(wujud obyek personifikasi Ida Sang Hyang Widi Wasa, benda-benda disakralkan,
orang-orang yang disucikan) dipergunakan untuk keperluan upacara/perlengkapan/
bangunan keagamaan (parhyangan) dan kepercayaan, sedang yang bersifat ‘profan’ (diluar
obyek sakral) untuk keperluan perlengkapan/bangunan permukiman (pawongan, palemahan)
atau tempat-tempat kegiatan kemanusiaan. ii) Berdasarkan jenis/tema: ragam-hias flora,
fauna, unsur-unsur alam, agama dan kepercayaan, ragam-hias lainnya seperti pepalihan,
pepatran, kekupakan, reruitan, simbol-simbol atau lambang keagamaan. iii) Berdasarkan atas
tata-letak vertikal dan horizontal. Ke arah vertikal dari yang berkarakter berat di bawah
seperti karang gajah, karang batu; tengah yang berwujud kala/manusia seperti karang tapel,
karang bentulu dan bagian atas yang berkarakter ringan: karang guak, karang sae, karang
boma, karang singa, simbar. Ke arah horizontal: bercorak kasar di daerah teben/profan makin
halus ke arah hulu/sakral. Demikian pula dalam penataan material/bahan dari yang karakter
berat di bawah, makin keatas makin ringan.
Ditinjau dari tata-cara/teknik tata-hias pada umumnya ada dua cara yang dapat ditempuh,
yakni pemahatan dan pembubuhan [Josef Prijotomo, 1996]: 1) Teknik pemahatan merujuk
pada penggarapan komponen arsitektural dikatakan telah rampung, bila unsur tata-hias juga
telah rampung. Dalam teknik ini jelas ada penghapusan atau pembuangan terhadap bagian
permukaan komponen arsitektur. Dengan demikian antara bagian yang dipakai komponen
arsitektural dengan bahan untuk unsur tata-hias tidak terlihat adanya perbedaan, bahkan
hanya satu bahan yang menerus. Dapat disimpulkan bahwa teknik ini ditempuh dalam rangka
pembuatan ‘ornamen’. 2) Teknik pembubuhan merujuk pada pemberian unsur-unsur tatahias pada bidang-bidang komponen arsitektur yang dalam perwujudan akhirnya masih
terkesan bahwa unsur-unsur tadi dihadirkan setelah komponen arsitektural terampungkan.
Sebagai hasil pembubuhan unsur-unsur tata-hias ini setiap saat bisa saja dicopot atau
dipasanglagi. Jadi teknik ini ditempuh dalam rangka men-‘dekorasi’ arsitektur/bangunan.
Penggunaan ornamen dan dekorasi yang tepat dan serasi dipasang dengan teknik tektonika
(senidalamkonstruksi), sehingga konstruksi berfungsi ganda.
Dalam perwujudannya dapat dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu: 1) konsepsual obyek,
adalah ornamen dan dekorasi yang ditampilkan berupa bagan dan berwujud abstrak dalam
bentuk pepalihan atau tata-hias abstrak lainnya; dan 2) visual obyek, adalah ornamen dan
dekorasi yang ditampilkan secara tuntas/terselesaikan/real dalam bentuk ukiran atau tatahias lainnya.
Dalam ATB secara substansial ornamen dan dekorasi berfungsi sebagai salah satu
sarana/media komunikasi antara pengamat dengan bangunan, di samping dapat memberikan
suatu karakter kewibawaan, magis, kemegahan dan menunjukkan jatidiri Bali. Bangunan tanpa
ornamen dan dekorasi di ibaratkan manusia telanjang tanpa busana dan tata-rias sangat sulit
dikenali jati dirinya. Bagi masyarakat Bali identitas dianggap sesuatu yang sangat penting,
apalagi dihubungkan dengan klan atau leluhur.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pola/gaya hidup yang serba praktis saat ini
penggarapan ornamen dan dekorasi telah berubah. Perubahan dari yang berkarakter
handicraft menjadi berkarakter machine/mass prodction, sehingga identitas/style
lokal/daerah hilang dan menjadi seragam; sebagai contoh pemakaian bahan Batu Tabas dari
Karangasem.

124

Seminar Perencanaan dan Pelestarian Lingkungan Terbangun - Bali, 22 Desember 2015

KESIMPULAN
Fungsionalitas dalam ATB dikebangkan sebagai paham form follows function and meaning,
bahwa bentuk dalam ATB sebagai salah satu unsur utama rancangan tidak saja ditentukan
oleh nilai guna tetapi juga memiliki hirarkhi nilai aktifitas dan penanda simbolik. Bale sebagai
bagian dari Umah memiliki fleksibilitas fungsi yang sangat tinggi dalam penggunaansecara
berlapis (layering), didukung oleh konsep shelter/umbrella.
Nilai simbolik (melambang) dan sekaligus pembentuk jatidiri. Meskipun nilai simboliknya
sama atau serupa untuk beberapa daerah, namun setiap daerah akan menggoreskannya
dengan corak dan gaya daerah itu sendiri.Sekaligus merupakan bagian dari ensiklopedia
tentang masyarakat pemilik dan penggunanya.
Oleh karena ikatan dengan nilai lambang dan jatidiri itu, maka dalam berornamen dan
berdekorasi masyarakat tidak menolak proses peniruan (dalam arti mimesis). Dengan tidak
ditolaknya peniruan itu tidak sedikit ornamen dan dekorasi menjadi terbuka bagi stilisasi,
hibrida, maupun pencampuran yang serasi dengan unsur-unsur baru.Berbekal desa, kala dan
patra serta catur dresta akan dapat membangkitkan local genius dari karya budaya itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Broadbent, Geoffrey; Bunt, Richard; Jencks ,Charles. [1980]. Sign, Symbol and Architecture. John
Willey & Son, Chichester, New York, Brisbane, Toronto.
Dharmayuda, Suasthawa. D, I Made. [1990]. Hubungan Adat dengan Agama dan Kebudayaan ,
CV. Kayumas, Denpasar.
Gelebet. I Nyoman, dkk. [1982]. Arsitektur Tradisional Daerah Bali. Departemen Pendidikan
Dan Kebudayaan, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi.
Gomudha, I Wayan. [1999]. Pernik Manik Spasial Hunian Tradisional Bali, dalam Ngawangun Ki
Nusantara - Wacana Teori Arsitektur. Laboratorium Sejarah, Teori dan Falsafah
Arsitektur Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Uniiversitas Katolik Para