Pergeseran Paradigma Pembangunan Pemberdayaan Perempuan Menuju Pengarusutamaan Gender ISMI

DAFTAR ISI
BAGIAN I
GENDER DALAM DIMENSI SOSIAL, BUDAYA DAN AGAMA
Makna Diam dalam Petuturan …………………………………………...
M. Sri Samiati Tarjana
Berbagi Suami ..............................................................................................
Prahastiwi Utari
Potensi wanita Jawa dalam serat Babat Nitik Mangkunegaran.............
Hartini
Citizenship Cultural Mobility And Female Identity in the Post New Order
Era…………………………………………………………………...
Sri Kusumo Habsari
Keadilan dan Kesetaraan Gender dalam Islam .......................................
Moh. Fauzi
Self Concept dan Preferensi Resolusi Konflik Perempuan –Istri
Keluarga Poligami
Mudaris Muslim dan T.A. Gutomo
BAGIAN II
GENDER DALAM DIMENSI PENDIDIKAN
Gender Mainstreaming in Education: An Indonesian Experience ……
Ign. Agung Satyawan

Analisis Gender terhadap Persepsi Jenis Pekerjaan dan Pemilihan
Program Studi pada Mahasiswa di IPB …………………………………
Herien Puspitawati
Kebijakan Etis dan Perluasan Pendidikan bagi Wanita bumi Putera
pada awal abad XX ……………………………………………………….
Warto
Dampak Pengarusutamaan Gender terhadap Inovasi Pendidikan
D. Priyo Sudibyo dan Ismi Dwi Astuti Nurhaeni

BAGIAN III

GENDER DALAM DIMENSI POLITIK DAN KEBIJAKAN PUBLIK
Pemetaan isu Gender di Bidang Politik di Sumatra Selatan ..................
Eva Lidya
Negara dan Tubuh Perempuan …………………………………………..
Sri Yuliani
Alternatif subsistensi: resistensi Perempuan terhadap Neo Liberalisme
Mahendra Wijaya
Dampak Pemberlakuan Kuota 30 % Keterwakilan Perempuan Dalam
Pencalonan Anggota Legislatif terhadap kebijakan partai Politik di

Kota Surakarta pada Pemilu 2009
Rosita Novi Andari
Evaluasi Anggaran Responsif Gender Studi Alokasi Anggaran
Responsif Gender Dalam Anggaran Kesehatan
Kota Surakarta Tahun 2008-2010
Dwi Hastuti

BAGIAN IV
GENDER DALAM DIMENSI EKONOMI, TENAGA KERJA DAN TEKNOLOGI
Keterlibatan tenaga Kerja Wanita di Pedesaan pada Industri
Kerajinan Seni Kriya di Kecamatan pajangan Bantul Yogyakarta ......
Retno Kusumawiranti
Pemberdayaan tenaga Kerja Wanita dalam pertanian sawah surjan di
Kabupaten Kulonprogo ..............................................................................
Tiwuk Kusuma Hastuti
Perempuan Pedesaan dan Teknologi Tepat Guna ……………………...
Iwan Sudradjat
Pengembangan Budidaya dan Pengolahan Hasil Kacang-kacangan
sebagai Usaha Produktif Wanita di Lahan Kering di Daerah
Tangkapan Hujan Kedungombo ...............................................................

Sri Handajani dkk
Peran Strategis Perempuan Dalam Pengelolaan Limbah Padat
Bernilai Ekonomi .........................................................................................
Al. Sentot Sudarwanto
Analisis Gender Dalam Pengembangan Agroekosistem
Trisni Utami

BAB V
PENANGGULANGAN KEMISKINAN DARI PERSPEKTIF GENDER
Perempuan dan Kemiskinan: Profil dan Upaya Pengentasan
Keppi Sukesi
Marjinalisasi Buruh Migran Perempuan
Arianti Ina R.Hunga dan Purwanti Asih Analivi
Model Pemberdayaan Perempuan Miskin Melalui Pengembangan
Kewirausahaan Keluarga Menuju Ekonomi Kreatif Di Kabupaten
Karanganyar
Ismi Dwi Astuti Nurhaeni dan Sri Marwanti
Kesehatan reproduksi pada remaja putri di keluarga miskin
kecamatan Jebres
Sumardiyono,dkk


BAGIAN I

GENDER DALAM DIMENSI SOSIAL, BUDAYA DAN
AGAMA

Makna Diam dalam Petuturan
M. Sri Samiati Tarjana

Alkisah terdapat cerita dalam pewayangan, seorang begawan bernama Resi Gotama
marah sekali kepada isterinya, Dewi Indradi yang diam seribu basa. Perempuan itu adalah
seorang bidadari, yang takut menjawab pertanyaan suaminya. tentang asal cupu manik Astagina
yang diberikan oleh Batara Surya kepadanya ketika ia menikah dengan sang resi. Ia tidak mau
mengatakan dari mana ia memperoleh cupu tersebut karena khawatir suaminya mempunyai
prasangka buruk terhadapnya. Namun justru sang resi menjadi sangat marah. Perempuan itu
kemudian dikutuknya menjadi sebuah tugu, karena ia membisu. Maka seketika itu jadilah ia
sebuah tugu, yang kemudian dilempar jauh-jauh oleh sang resi. Menurut ceritanya tugu tersebut
di kemudian hari dipergunakan cucunya untuk berperang, dan pada saat itu pula ia memperoleh
kembali wujud asalnya, (Sudibyoprono, 1991: 45-46). Kisah tersebut menunjukkan berbagai
aspek budaya dalam masyarakat yang empunya cerita itu. Pertama, bahwa perempuan, meskipun

ia berasal dari kelas yang lebih tinggi, tampaknya berada pada suatu keadaan subordinasi
pasangannya, dan cenderung menyerah pada keadaan yang ditentukan suaminya. Kedua,
perempuan itu terkendala secara psikologis dalam menjawab pertanyaan suaminya, sehingga ia
memilih untuk berdiam diri. Ketiga, tampaknya komunikasi di antara pasangan suami isteri
tersebut tidak selalu berhasil mencari alternatif penyelesaian masalah yang memuaskan kedua
belah pihak. Meskipun kisah tersebut hanya merupakan cerita pewayangan, keadaan tersebut
dapat dijadikan refleksi dalam dunia kehidupan manusia, yang tentunya tidak lepas dari pola
sikap hidup dan budaya masyarakatnya.
Permasalahan yang hendak diutarakan disini adalah bahwa pada komunikasi antara
penutur dan mitra tutur, adakalanya terdapat pihak yang memilih untuk berdiam diri. Diam disini
mempunyai maksud tertentu. Dewi Indradi berdiam diri karena ia bermaksud untuk menutup diri
dan tidak menginginkan suaminya mengetahui bahwa ia pernah menjalin tali kasih dengan
Batara Surya sebelum ia menikah dengan Resi Gutama. Ia kemungkinan berdiam diri untuk
menyelamatkan mukanya, atau untuk mencegah terjadinya ganjalan yang bisa diakibatkan oleh
perbuatan yang telah dilakukan sebelum pernikahannya, yang mungkin dapat merusak hubungan
di antara anggota keluarganya. Apabila diam dalam kisah tersebut menutup kelanjutan
komunikasi berikutnya, acapkali diam memiliki makna yang lebih intens.

Komunikasi pada umumnya diekspresikan dalam bentuk verbal atau non-verbal, ada pula
yang dinyatakan secara eksplisit (tersurat) atau implisit (tersirat). Maksud yang diungkapkan

dalam bertindaktutur kemungkinan terbatas, tetapi tuturan tersebut ternyata memiliki cakupan
makna yang lebih besar. Hal ini menunjukkan adanya suatu daya pragmatik yang muncul pada
saat orang bertindaktutur dengan menggunakan tuturan terbatas itu. Seperti dinyatakan dalam
kisah tersebut di atas, keadaan diam tidak hanya bersifat kosong tanpa makna, melainkan dapat
juga mengandung maksud tertentu Fungsi dan makna dalam kediaman akan dibahas lebih lanjut
pada bagian-bagian berikut.
Ikhwal Diam dalam Bahasa dan Budaya
Pada dasarnya sebagai makhluk sosial, manusia perlu berkomunikasi dengan sesamanya.
Seorang anak kecil belajar bahasa ibunya dengan cara alami, di mana ia langsung menggunakan
bahasa itu untuk berkomunikasi. Di sini ia perlu mendapat dukungan positif dari lingkungan di
sekitarnya: dari ayah, ibu, saudara dan teman bermainnya. Dalam waktu relatif singkat, yakni
sekitar usia 24 bulan, dan sesuai dengan perkembangan kemampuan kognitifnya, anak tersebut
biasanya telah mengembangkan bahasa ibunya, dan ia mampu menggunakan bahasa tersebut
dalam komunikasi. Ayah dan ibunya akan risau kalau pada usia tersebut ia belum dapat
berbicara. Semakin banyak anak mendapat asupan kebahasaan, semakin subur kemampuan
bahasanya berkembang (Soenjono Dardjowidjojo, 2003: 198-200)
Anak tumbuh dalam budaya masyarakatnya. Dia ditampilkan dengan norma-norma
tentang hal-hal yang boleh atau yang tidak boleh dilakukannya. Ia perlu menerapkan mana yang
baik dan menghindari mana yang kurang baik, dan menunjukkan cara-cara menghormati orang
lain dalam bersosialisasi. Sikap dan norma-norma kesantunan tersebut lambat laun tertanam pula

pada dirinya. Termasuk di dalamnya adalah saat-saat ia harus memberi peluang kepada orang
lain untuk mengekspresikan diri, sementara ia lebih baik diam. Berikut ini adalah beberapa
pepatah yang menganjurkan orang untuk diam daripada berbicara. Dalam bahasa Inggris terdapat
ungkapan: ”Speaking is silver, silent is golden.”; yang mirip dengan pepatah dalam bahasa
Belanda: “Spreken is zilver, zwijgen is goud.”. Maknanya, “berbicara itu mungkin baik, tetapi
diam sering lebih baik.” Dalam bahasa Indonesia terdapat ungkapan dengan preferensi yang
sama, namun diutarakan dari arah berbeda, yakni: “Tong kosong berbunyi nyaring.” dan “Air
beriak tanda tak dalam.” yang mempunyai arti “Orang yang bodoh banyak bualnya.”
Perumpamaan tersebut cenderung menyatakan sikap negatif terhadap orang yang banyak
berbicara.

1

Berbagi Suami: Representasi Multikultural Perempuan Indonesia terhadap

Poligami
Prahastiwi Utari

Pendahuluan
Film adalah salah satu media yang merepresentasikan realitas kehidupan sosial dari

khalayaknya. Terlepas dari apakah realitas yang disodorkan adalah ‘second-hand reality’ dalam
artian dibuat dengan sengaja, dipilih, serta diarahkan, film mampu mengagendakan satu
ide/pesan yang menurut mereka -para kreatornya- penting disampaikan dan menjadi penting pula
bagi khalayaknya (agenda setting). Berarti suatu film sarat akan nuansa pesan kepentingan
tertentu yang ingin disampaikan kepada khalayaknya. Dengan demikian berbicara tentang film
tertentu berarti berbicara tentang ‘apa, bagaimana dan mengapa’ suatu ide atau pesan disusun,
diolah dan kemudian dimunculkan oleh sorang kreator dalam serangkaian panjang pita seluloid.
Keterlibatan individu-individu yang ada dalam produksi film, disebut sebagai pekerja
film, akan menentukan arah, tujuan serta keberhasilan suatu film. Dengan bahasa manajemen,
visi dan misi mereka inilah yang akan berperan. Dalam sejarah panjang perkembangan perfilman
Indonesia para pekerja film umumnya adalah laki-laki. Jadilah dunia film identik sebagai ‘dunia
laki-laki’. Aparatus sinema adalah laki-laki, mulai dari produser, sutradara, skenario, sampai
pada petugas lapangan. Jika ada yang perempuan, selain jumlah mereka kecil juga tersegregasi
dalam bidang-bidang kerja yang dianggap khusus cocok untuk perempuan. Pekerjaan make up,
wardrobe, properti adalah pekerjaan-pekerjaan dalam industri perfilman yang biasanya dipegang
oleh perempuan. Konsekuensi yang muncul kemudian adalah bahwa cara pandang dalam film
menjadi cara pandang laki-laki. Menurut Mulyev (dalam Sita Aripurnami 1999: 295) hal ini
berkaitan dengan proses sosial yang terjadi dalam masyarakat yang mengekspresikan
ketimpangan dalam kekuasaan sosial.
Permasalahan

Jika kondisi perfilman di Indonesia hanya muncul dengan model semacam ini, maka
gambaran realitas sosial tentang perempuan menjadi gambaran realitas menurut kacamata lakilaki. Efeknya yang nampak kemudian adalah depolitisasi isu yang terkait dengan perempuan,
peremehan produksi berkaitan dengan perempuan, serta penguasaan isu atas selera laki-laki.
Jadilah menurut Sita Aripurnami (1998: 287) kondisi semacam ini memunculkan citra

2
perempuan dalam film selalu tergambarkan sebagai pribadi ‘cengeng; cerewet; judes; kurang
akal; dan buka-bukaan.
Untuk itulah perlu digali film-film yang memiliki cara pandang tertentu terhadap
perempuan. Film yang memiliki ‘keberpihakan’ terhadap perempuan atau yang dapat
diistilahkan ‘dari’ perempuan dan ‘untuk perempuan’. Film yang dalam perspektif feminis
disebut sebagai Film Perempuan.
Sebuah film yang disutradarai oleh seorang perempuan dan bertutur tentang
permasalahan perempuan, menurut Krisna Sen (1998) biasanya dikategorikan sebagai ‘film
perempuan’. Film-film dalam kategori ini biasanya mendefinisikan sifat perempuan. Sifat yang

berarti nasib dan watak perempuan serta unsur utama dimana mereka menjalankan fungsi
sebagai ibu yang terkunci di dalam lingkungan keluarga. Molly Haskel (1999:23) melihat film
perempuan adalah film yang banyak memberi aspirasi untuk perempuan. Perempuan yang
tadinya digambarkan ‘biasa’ menjadi ‘luar biasa’. Pengertian luar biasa bukan berarti perempuan

laksana superwoman, tetapi pada bagaimana mereka yang awalnya merupakan korban
lingkungan yang diskriminatif kemudian mulai bangkit melalui rasa sakit, obsesi atau
penyimpangan, untuk menjadi penentu nasibnya sendiri. Aquarini P.B (2006:337) menandaskan
bahwa film yang berjenis ‘film perempuan’ memiliki karakteristik yang kuat dalam
menampilkan citra perempuan yang berangkat sebagai korban dari struktur masyarakat sendiri
tetapi kemudian bangkit dan menjadi luar biasa dalam artian memperoleh kekuasaan dan kendali
tertentu atas hidupnya.
Berbagi Suami

Pemilihan film Berbagi Suami (BS) sebagai bahan kajian paper ini dilakukan terutama
dalam rangka melepaskan kerangka film Indonesia yang sarat bermuatan imajinasi laki-laki
terhadap perempuan. Film yang diproduksi oleh Kalyana Shira Film (2006) ditulis dan sekaligus
disutradarai oleh seorang sineas muda perempuan Nia Dinata. Keberadaanya menjadi penting
mengingat jumlah perempuan sebagai subyek perfilam Indonesia sangatlah marjinal. Di era
kebangkitan film Indonesia tahun 2000-an, setelah cukup lama mati suri, tidak banyak dari
kelompok sineas (muda) yang berjenis kelamin perempuan. Kalaupun ada, jumlah mereka tidak
lebih dengan hitungan sebelah jari tangan saja. Di antaranya yang menonjol adalah Nia Dinata
dan Mira Lesmana.

Potensi Wanita Jawa dalam Serat Babad Nitik Mangkunegaran

Hartini

Pendahuluan
Serat Babad Nitik Mangkunegaran merupakan hasil pemikiran Pangeran

Mangkunegara I atas keprihatinannya terhadap kedudukan wanita Jawa pada masa
abad XVIII dalam tradisi budaya pemerintahan kerajaan Jawa. Dalam naskah itu,
terdapat gambaran bahwa Mangkunegara I menilai kedudukan wanita Jawa pada
waktu itu berada pada kehidupan sosial yang kurang menguntungkan. Berdasarkan
pada keadaan yang demikian, Pangeran Mangkunegara I melakukan destruksi
budaya yang berhubungan dengan pandangan dan perlakuan masyarakat pada
waktu itu terhadap kaum wanita. Dalam hal ini pemikiran Pangeran Mangkunegara
I, perubahan wanita pada zamannya tertuang pada pemikirannya tentang eksistensi
wanita (Fanani, 1993: 391). Di sini peran wanita berbeda dengan tokoh-tokoh yang
lain. Hal ini sangat menarik untuk diteliti. Di samping itu, Mangkunegara I juga
mengadakan reformasi terhadap eksistensi wanita yang justru datangnya dari
lingkungan kerajaan. Pangeran Mangkunegara I menganggap bahwa hal ini
merupakan ketimpangan sehingga ia mencoba mengubah tatanan sosial tentang
keberadaan

wanita

Jawa

yang

sesungguhnya

sangat

berpotensi

untuk

dikembangkan. Apabila dikaitkan dengan pembangunan sekarang, faktor penduduk
adalah modal dasar yang potensial. Sudah selayaknya jika pembicaraan tentang
potensi dan eksistensi wanita diberi kesempatan yang sebaik-baiknya. Selanjutnya,
diharapkan bahwa dengan potensi yang dimiliki, wanita dapat ikut berpartisipasi

1

2

aktif dalam pembangunan. Semua itu dapat dilihat pada Babad Nitik yang
tersimpan di perpustakaan Pura Mangkunegaran dengan nomor B29a.
Serat Babad Nitik adalah warisan tulisan yang berupa naskah Jawa produk

masa lampau yang berasal dari kurun waktu beberapa ratus tahun yang lalu. Serat
ini menyimpan berbagai informasi tentang kehidupan, tentang berbagai buah
pikiran, paham, pandangan hidup yang pernah ada pada naskah tersebut diciptakan
(Chamamah Soeratno, 2002: 3). Serat Babad Nitik ini bentuknya berlainan dengan
babad-babad pada umumnya. Serat Babad Nitik ini berupa buku harian ditulis oleh
abdi dalem wanita yang kemudian dikemas sedemikian rupa sehingga menyerupai

babad perjalanan hidup Pangeran Mangkunegara I atau dikenal dengan Pangeran
Sambernyawa. Adanya keistimewaan isi Serat Babad Nitik, maka makalah ini
membahas masalah potensi wanita Jawa yang terkandung di dalamnya.
Potensi wanita Jawa yang dimaksudkan di sini adalah potensi substantif
prestatif. Adapun yang dimaksud dengan substantif dan prestatif adalah sebagai
berikut: pertama, potensi substantif adalah di samping mengerjakan tugas utama
yaitu mengurus keluarga, wanita juga mengikuti kegiatan sosial yang lain, misalnya
PKK, Dawis, Posyandu dan sebagainya, dengan demikian wanita dapat mandiri.
Kedua potensi prestatif adalah hasil yang diperoleh dari sesuatu yang dilakukan
misalnya prestasi dalam memegang ekonomi keluarga, prestasi dalam mengelola
administrasi organisasi dan sebagainya (Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer
Tahun 1901). Berdasarkan arti dalam kamus tersebut maka dapat diinterpretasikan

bahwa di samping seorang wanita mengurus keluarga, ia pun dapat mengikuti
kegiatan

sosial. Maka

dengan demikian,

wanita dapat

berprestasi

mengembangkan karier, ia dapat melakukan kegiatan yang sejajar dengan pria.

dan

Citizenship, Cultural Mobility and Female Identity in the Post-New Order
Era: Reading the Sinetron ‘Mystery of Mount Merapi’
Sri Kusumo Habsari

Introduction
In this paper I analyse the relationship between cultural mobility and the construction
of women’s identities as represented in Indonesian “sinetron (V.S. Wardhana, 1997: 29, 8598).” television series, “Misteri Gunung Merapi” (Mystery of Mount Merapi). This article
considers how Indonesian women’s identities are being transformed, focusing in particular on
an increased awareness by Indonesian women of their membership as citizens of the polity
and and increased desire to participate in it. I argue that traditional female identities and
gendered citizenship, established by the New Order era as the dominant ideology, has begun
to be fragmented in the Post New Order era with the spread of global flows of media and
culture from Western countries.
Bignell has stated that “the ways in which television connects with the character of
the society where it is watched raise the issue of the social significance of what television
represents” (Bignell, 2004 : 4). Similarly, Connel argues that the best way to study gender
images is through media representations such as magazines, films, and television dramas,
although gender representations in such media are often “simplified, stylised and
exaggerated” (Clark, 2004: 114). In case of Indonesia, Blackburn said that Indonesian media
often represented images that were “far from the reality of most women’s lives”. This
happened in large part because the purpose of media in Indonesia was to propagate the
dominant ideology of New Order government (Blackburn, 1994: 567). Similarly, “even if the
state did not go so far as to dictate how women could be portrayed in the media, its messages
linking good citizenship for women to good domestic qualities were omnipresent” (Brenner,
1999: 15). I argue that although popular culture is often reluctant to deal with progressive
ideas, this does not mean that it glorifies the old traditional values. Since socio-cultural
phenomena change from time over time, the values that popular culture responds to are
different also. I demonstrate this process in the course of an examination of the popular
sinetron Misteri Gunung Merapi (Mystery of Mount Merapi).
Considerable attention has been paid to representations of the New Order state’s
gender ideologies and policies for women through Indonesian television series, or sinetron.

1

Saraswati Sunindyo argues that such representations in Indonesian sinetron in TVRI
(Television of Republic Indonesia, government television) promoted patriarchy and
reinforced the idea that a woman’s primary role is to be a mother and wife (Sunindyo, 1993:
134). Similarly, Purnami asserts that stereotypes of women as dependent, irrational,
emotional, passive, and obedient were dominant in most sinetrons in TVRI. Such repeated
portrayals of women in the sinetron provided role models, informing people about what
women were and who they should be (Aripurnami, 1996: 254).
In 1994, based on her study of state policy documents and advertising images of the
1990s, Sen wrote that Indonesian women’s identity had been transformed in the late New
Order not only as “daughters, wives and mothers” but also as active members of capitalist
markets (Sen, 1994: 37). However, in her later article, which was based on political cartoons,
she said despite the fact that the capitalist market does treat women as consumers and
acknowledges their needs, “the position of women in the formal political structures declined
rather than improved after the collapse of the New Order”. Implicitly, she said, women have
been still experiencing ongoing inequality rather than developing a new identity (Sen, 2002:
61-62). In other words, despite the social and cultural mobility of recent years, women’s
political status as citizens is still a problem.

Sinetron as Social Construction of Reality
Since the fall of Indonesian cinema around 1990, television film series known with as
“sinetron” have become very popular. One of the most popular sinetron, which has been
broadcasted since 1998 up to present day and has attained the highest ratings in Indonesia, is
Mystery of Mount Merapi.
Television has connections with the real world of culture and society. Television
programs also present us with constantly up-dated versions of social relations and cultural
perceptions. However, television images are representation of realities rather than realities
themselves and these representations are ideological. In Indonesia, television is a powerful
sign of modernity, reinterpreted from its Western origins and refashioned to accommodate
local needs (Sutton, 1998: 1). Television is also important in the life of Indonesians as they
spend a lot of time watching television (Nilan, 2001: 1). Television drama, especially, is
considered the most prestigious and expensive program type, which is why it is often
prominently scheduled and advertised. In Indonesia especially, with the fall of film, sinetron
became the most popular entertainment program.

2

Keadilan dan Kesetaraan Gender dalam Islam
Moh. Fauzi

Banyak “tuduhan” yang ditujukan kepada Islam dengan label agama yang bias
gender . Sementara hanya sedikit sekali pandangan yang menyatakan bahwa Islam

adalah agama yang mengajarkan keadilan dan kesetaraan gender.1 Tuduhan Islam
sebagai agama yang bias gender seringkali dikuatkan dengan argumentasi dalil-dalil
agama (baca: ayat-ayat al-Qur’an dan al-Sunnah/Hadis) yang berisi ketentuan-ketentuan
yang lebih memihak kepada kaum laki-laki dan mendeskriditkan kaum perempuan.
Islam sebagai sebuah tatanan norma dibedakan menjadi 2 (dua) macam; Islam
normatif dan Islam historis. Islam normatif merupakan Islam yang masih berada dalam
teks suci al-Qur’an dan al-Hadis. Pada tataran ini, seluruh ajaran Islam mengandung
nilai keadilan dan kesetaraan gender. Sementara Islam historis adalah Islam yang sudah
tersentuh pemahaman umat Islam sehingga sangat dipengaruhi sosio-kultur setempat.
Pada tataran ini ajaran Islam bisa dipahami sebagai adil gender dan juga bisa dikatakan
bias gender. Bidang yang sering menjadi obyek kajian adalah bidang hukum Islam
(Fikih).
Munculnya anggapan bahwa agama Islam itu bias gender dengan lebih membela
kaum laki-laki, disebabkan 2 (dua) kemungkinan. Pertama, dasar hukumnya tidak valid
1

Gender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan
laki-laki dan perempuan dilihat dari aspek sosial-budaya. Jadi, gender merupakan
konstruksi sosial-budaya (social-cultural construction) yang bersifat non-biologis dan
non-kodrati sehingga bisa dipertukarkan. Dengan pengertian tersebut, gender berbeda
dengan seks yang berarti perbedaan laki-laki dan perempuan dari aspek biologis (given)
sehingga tidak dapat dipertukarkan. Jadi, seks lebih berkonsentrasi pada biologi
seseorang, yang meliputi perbedaan komposisi kimia hormon dalam tubuh, anatomi
fisik, reproduksi dan karakteristik biologis lainnya. Sedangkan gender lebih banyak
berkonsentrasi pada aspek sosial, budaya, psikologis dan aspek-aspek non-biologis
lainnya. Jika perbedaan kedua jenis kelamin tersebut berada pada hubungan yang linier
dan seimbang itulah yang dinamakan adil dan setara gender. Sedangkan bila lebih
memihak kepada salah satu jenis kelamin (dalam hal ini lebih sering membela laki-laki
daripada perempuan), maka disebut bias gender .

(jika Hadis berkualitas lemah/dlo’if).2 Jika hal ini yang terjadi, hadis tersebut harus
dibuang (tidak boleh dijadikan dasar hukum). Kedua, pemahaman terhadap sumber
Islam tidak melihat konteks turunnya al-Qur’an (asbabun nuzul) atau terjadinya sebuah
Hadis (asbabul wurud), sehingga terjadi “kesalahan pemahaman” terhadap ajaran Islam.
Di sinilah perlunya kontekstualisasi pemahaman terhadap ajaran Islam yang terkandung
dalam nash (Al-Qur'an dan as-Sunnah) sehingga hasilnya sejalan dengan ruh asysyari'ah yang mengajarkan keadilan dan kesetaraan. Di bawah ini dikemukakan

beberapa kasus dalam hukum Islam yang sering dipahami secara "salah" sehingga
makna yang diperoleh seolah-olah Islam itu bias gender, padahal jika dipahami secara
"benar" akan melahirkan makna Islam itu adil gender . Sebelum menguraikan kasuskasu tersebut, terlebih dahulu diuraikan kajian tentang posisi perempuan sebelum Islam
datang di Jazirah Arab dan revolusi yang dilakukan Islam terhadap posisi perempuan.

Posisi Perempuan Sebelum Islam
Untuk bisa memahami pandangan Islam terhadap perempuan secara tepat, perlu
diketahui terlebih dahulu posisi perempuan sebelum Islam. Perempuan pada masa praIslam tidak mempunyai nilai sama sekali. Mereka tak ubahnya bagaikan barang yang
dapat diperjualbelikan, dan bahkan dapat diwarisi. Praktek ini dilarang oleh Islam,
sebagaimana diabadikan dalam Surat al-Nisa’ ayat 19:
‫ﻛﺮھﺎ ﺗﺮﺛﻮااﻟﻨّﺴﺎء أن ﻟﻜﻢ ﻻﯾﺤﻞ أﻣﻨﻮا اﻟﺬﯾﻦ ﯾﺎأﯾّﮭﺎ‬....
Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kalian mewarisi perempuan
secara paksa…".
Pada masa itu, kaum laki-laki-lah yang memiliki hak dominasi atas kaum
perempuan. Perempuan tidak memiliki hak pribadi, mereka menjadi milik ayahnya atau
milik suaminya jika sudah menikah. Bahkan janda dari seorang laki-laki seringkali
diwaris oleh anak laki-laki dari suaminya yang meninggal dunia (anak tiri). Setelah

2

Dalam ilmu Hadis, suatu Hadis dilihat dari segi kualitasnya diklasifikasikan
menjadi 3 (tiga) macam; Hadis Shohih, Hadis Hasan, dan Hadis Dlo’if. Hadis yang
dapat dijadikan sandaran hukum (hujjah) hanya Hadis Sohih dan Hadis Hasan.
Sedangkan Hadis Dlo’if sama sekali tidak boleh dijadikan hujjah.

Self-concept dan Preferensi Resolusi Konflik Perempuan-Istri Keluarga

Poligami
Mudaris Muslim
Thomas Aquinas Gutomo

Pendahuluan
Self-concept atau konsep-diri adalah pandangan dan perasaan kita tentang diri kita

sendiri. Persepsi tentang diri ini dapat bersifat fisik, sosial, dan psikologis. Persepsi tentang
diri ini diperoleh dari pengalaman-pengalaman dan hubungan dengan orang lain. Konsep-diri
bukan hanya sekedar gambaran deskriptif, tetapi juga penilaian kita tentang diri kita sendiri.
Ada berbagai pandangan tentang perkembangan konsep-diri. Namun pada dasarnya
para ahli sependapat bahwa konsep-diri bukanlah faktor bawaan sejak lahir. Kualitas konsepdiri pada seseorang dapat berupa konsep-diri yang positif atau konsep-diri yang negatif.
Konsep-diri yang positif dapat diperoleh jika seseorang memandang dirinya sebagai seorang
yang mampu. Konsep-diri yang positif memungkinkan seseorang untuk menatap hidup
dengan penuh antusiasme, berkemauan untuk menjelajahi minat-minat baru, mencari
tantangan baru bagi diri dan hidupnya serta sebagai individu yang bahagia. Sebaliknya
seorang yang memiliki konsep-diri yang negatif, merasa tidak mampu, tidak berdaya,
menolak untuk mencoba tugas atau hal-hal baru dan mudah menyerah sebelum mencoba
sesuatu karena selalu merasa dirinya akan mengalami kegagalan.
Penilaian terhadap konsep diri seseorang dapat didasarkan pada empat indikator atau
skor, yaitu (1) skor Identitas diri (Self-identity), yaitu merupakan Internal self-concept yang
menggambarkan identitas dasar individu, yaitu bagaimana seseorang melihat dirinya sendiri,
(2) skor Kepuasan Diri (Self-satisfaction), yaitu yang menggambarkan perasaan individu
mengenai dirinya sendiri, merefleksikan tingkat kepuasan diri dan penerimaan individu, (3)
skor Family Self, yaitu yang merefleksikan persepsi diri individu dalam kaitannya dengan
kelompok primer individu, dalam hal ini adalah keluarga dan teman-teman dekatnya, dan (4)
skor Social Self, yaitu menampilkan persepsi diri individu dalam hubungannya dengan
interaksi sosialnya dengan orang lain.
Konsep-diri dibangun berdasarkan interaksi dengan orang lain, dan dalam interaksi itu
sering muncul konflik. Konflik adalah hal yang biasa terjadi, namun bukan berarti konflik
dapat dibiarkan begitu saja. Konflik harus dapat diselesaikan, tetapi menyelesaikan konflik
1

bukanlah sesuatu yang mudah karena salah satu kemungkinan yang terjadi adalah pihakpihak yang terlibat dalam konflik memiliki preferensi prosedur penyelesaian atau resolusi
konflik yang berbeda satu sama lain.
Faktor-faktor yang mempengaruhi konsep-diri antara lain (a) orang lain, (b) kelompok
rujukan, (c) jenis kelamin, (d) harapan-harapan, (e) suku bangsa, dan (f) atribut nama.
Menurut Pruitt (1986), “konflik berarti persepsi mengenai perbedaan kepentingan
(perceived divergence of interest)”, atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang
berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan.
Ada berbagai macam strategi yang umumnya digunakan oleh pihak-pihak yang
mengalami konflik (Pruit, 1986), antara lain: (1) contending yaitu mencoba menerapkan
solusi yang lebih disukai oleh salah satu pihak atas pihak lain, (2) yielding yaitu menurunkan
aspirasi sendiri dan bersedia menerima kurang dari yang sebetulnya diinginkan, (3) problem
solving yaitu mencari alternatif yang memuaskan aspirasi kedua belah pihak, (4) withdrawing

yaitu memilih meninggalkan situasi konflik, baik secara fisik maupun psikologis, dan (5)
inaction yaitu tidak melakukan apapun.

Strategi resolusi konflik tersebut dapat digunakan dalam mengatasi berbagai macam
konflik yang mungkin timbul ketika berinteraksi dengan orang lain, mulai dari ruang lingkup
yang kecil seperti keluarga, sampai lingkup yang besar seperti masyarakat. Keluarga perlu
dilihat sebagai wadah sosialisasi nilai-nilai dominan dalam masyarakat. Pada keluarga
poligami, konflik disinyalir akan lebih sering terjadi. Pada 1974 parlemen Indonesia
menerima undang-undang perkawinan yang baru. Dikatakan bahwa laki-laki boleh
melakukan poligami apabila agamanya mengizinkan, istrinya menyetujuinya, dan ia dapat
membuktikan bahwa ia dapat menafkahi lebih dari satu keluarga. Undang-undang ini
dimaksudkan untuk mengatur hubungan perkawinan, memperkuat posisi perempuan, serta
melindungi hak anak-anak mereka. Undang-undang ini membatasi praktek poligami, namun
tidak melarangnya selama prasyarat-prasyarat tersebut dapat dipenuhi. Poligami sudah lama
menjadi sumber perdebatan di kalangan perempuan Indonesia. Dalam surat-suratnya, Kartini
pun (1879-1904) telah mengungkapkan keresahannya terhadap praktek-praktek perkawinan
yang feudal dan bersifat poligami, yang membatasi perempuan di dalam rumah, menghalangi
akses mereka ke pendidikan, dan mendefinisikan mereka terutama sebagai ibu dan istri.
Poligami dalam Islam mengasumsikan bahwa laki-laki mempunyai dorongan seksual yang
besar yang harus disalurkan untuk menghilangkan ketegangan-ketegangan jasmani dan
rohani yang bisa muncul. Seorang laki-laki diperbolehkan kawin dengan lebih dari satu,
tetapi juga dianjurkan menjaga keseimbangan di antara mereka agar tidak timbul konflik2

BAGIAN II
GENDER DALAM DIMENSI PENDIDIKAN

Gender Mainstreaming in Education: An Indonesian Experience*
Ignatius Agung Satyawan

Introduction
Indonesian’s commitment to achieve gender equality and equity is reflected in the 1945
Constitution. Article 27 of the 1945 Indonesian Constitution states that “…. without any
exception, all citizens shall have equal status in law and government, and shall be
obliged to uphold that law and government”. Together with Pancasila as the state
philosophy and the nation’s way of life, the Constitution has placed women in the
highest esteem and dignity.
As a member of international community, Indonesia has ratified various
international conventions. United Nations Convention on the Elimination of all forms of
Discrimination against Women (CEDAW) endorsed in 1979, for example has been
ratified into Act No. 7/1984. Furthermore, it also signed the Optional Protocol of
CEDAW on 26 February 2000. In the Convention, member countries had condemned
all forms of discrimination against women and agreed on implementing the convention
in every appropriate ways without delay.
In general, progress has been achieved in the last two decades of women’s
empowerment. Through poverty alleviation approaches using Women in Development
(WID) strategy, women’s condition in various sectors of life have been improved.
However, development aimed only at women’s issues does not minimize the gaps
between men and women as shown by the following indicators for women:
-

*

Lower quality of education, health and skills;

Adaptation from my paper presented at International Conference of Gender and Human Rights
in Southeast Asia, Bangkok: June 21-22, 2006.

-

Lower access to economic resources such as technology, market, capital and
credit;

-

Limited access to power and decision making;

-

Vulnerability to exploitation and violence;

-

Unfair distributions of work in which women are burdened with multiple roles
of productive and reproductive functions.

Shortly, in all sector (including education), achievement of women is behind the men
despite the fact that policy and development program have been designed with respect
to anti-gender discrimination principles. Such condition is also depicted in Gender
Development Index (GDI). Indonesia’s GDI as one macro indicator of gender equity
and equality is still very low compare with those of other countries. It has not yet shown
significant improvement in the last 5 years. In 2001 for example, Indonesian GDI was
92nd of 152 countries. It was 91st of 146 countries in 2002 –2003 and 108th of 177
countries in 2004 (UNDP, 2006). This condition has brought reduction in gender
equality, more subordinated and resulted in less significant contribution of the women
in a number of development programs. The implication of this condition is slower
national production. United Nations indicated in 2008 that gender gap in Indonesia
could reduce national development’s achievements. This country lost US$ 2.4 million
annually (Langitperempuan, 2009). In relation to this gender issue, there is a need for
redefining the priority and strategy to achieve gender equality and equity.
To improve gender relation problems, the Government of Indonesia has initiated
a new strategy for development. Field experiences have revealed that incorporating
experiences, needs, aspiration, and perspectives of both women and men into
development process can enhance productivity and efficiency in the use of resources.
To implement gender-responsive development, which incorporates aspirations,
experience and issues of women and men, gender mainstreaming strategy has been
adopted. Hence, women who have been marginalized are now brought into the
mainstream of development together with men as their equal partners.

2

Analisis Gender terhadap Persepsi Jenis Pekerjaan dan Pemilihan
Program Studi pada Mahasiswa Institut Pertanian Bogor
Herien Puspitawati

Pendahuluan
Latar Belakang
Indonesia

sebagai

salah

satu

negara

anggota

UNESCO

telah

menandatangani Kesepakatan Dakar mengenai Kebijakan Pendidikan Untuk
Semua atau PUS (Education for All) yang di dalamnya mencanangkan beberapa
hal penting berkenaan kesetaraan gender dalam pendidikan, diantaranya
menghapus disparitas gender di Pendidikan Dasar dan Menengah menjelang
Tahun 2005, dan mencapai persamaan pendidikan menjelang Tahun 2015 dengan
suatu fokus jaminan bagi perempuan atas akses penuh dan prestasi yang sama
dalam Pendidikan Dasar yang berkualitas baik. Komitmen untuk mewujudkan
kesetaraan dan keadilan gender dalam pendidikan tersebut diperkuat dengan
ditetapkannya INPRES No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender
(PUG) dalam Pembangunan Nasional, yang menginstruksikan kepada semua
pejabat negara, termasuk Gubernur dan Bupati/Walikota untuk melaksanakan
PUG guna terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan
dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional yang
berperspektif gender sesuai dengan bidang tugas dan fungsi, serta kewenangan
masing-masing (Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, 2001).
Diperkuat lagi dengan adanya tujuan ketiga Pembangunan Milenium Indonesia
(MDGs) adalah mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan,
maka salah satu hal yang ingin dicapai Pembangunan Milenium Indonesia adalah
menghapus kesenjangan gender. Untuk mencapai target tersebut, salah satunya
dengan meningkatkan kemampuan kelembagaan pendidikan dalam mengelola dan
mempromosikan pendidikan berwawasan gender sehingga dapat meningkatkan
pemahaman masyarakat tentang kesetaraan gender (Bappenas, 2007).
Seiring dengan komitmen Internasional di atas, telah diakui secara
terbuka bahwa masih banyak kendala yang ditemui di Indonesia untuk

1

mewujudkan komitmen tersebut terutama dari mind set sebagian masyarakat
Indonesia yang masih belum berperspektif gender. Seiring dengan VISI
Departemen Pendidikan Nasional sampai dengan Tahun 2025 adalah “
Menciptakan Insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif” dengan memberikan
pelayanan prima kepada masyarakat, maka perlu dilakukan kajian sederhana
tentang persepsi mahasiswa baik laki-laki maupun perempuan tentang jenis
pekerjaan dan pemilihan program studi yang pantas dilakukan baik oleh kaum
laki-laki maupun perempuan. Kajian ini ingin mengetahui sejauh mana mahasiswa
Institut Pertanian Bogor mempunyai persepsi gender terhadap pemilihan jenis
pekerjaan dan program studi strata sarjana.

Permasalahan dan Kerangka Pemikiran
Kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berbegara adalah suatu
kondisi dimana porsi dan siklus sosial perempuan dan laki-laki setara, serasi,
seimbang dan harmonis. Kondisi ini dapat terwujud apabila terdapat perlakuan
adil antara perempuan dan laki-laki dengan memperhatikan kontekstual dan
situsional (KPP, 2001, 2004, 2005).
Suryadi dan Idris (2004) menyatakan bahwa kesetaraan gender dalam
Bidang Pendidikan sangat penting karena sektor pendidikan merupakan sektor
yang paling strategis untuk memperjuangkan kesetaraan gender, dengan asumsi
bahwa tidak ada bias gender dalam kebijakan-kebijakan pemerintah khususnya
dalam Bidang Pendidikan. Hal ini berarti bahwa kesempatan untuk meningkatkan
potensi Sumberdaya Manusia (SDM) dalam Bidang pendidikan baik laki-laki
maupun perempuan sangat terbuka seluas-luasnya dengan peluang yang sama.
Permasalahan kesenjangan gender di Indonesia dibuktikan dengan adanya
angka Gender Development Index (GDI) Indonesia pada tahun 1999 adalah 0,691,
menempati peringkat 87 dari 140 negara di dunia. Sepanjang tahun 1999-2004
angka GDI Indonesia mengalami peningkatan dari 0,670 (1999) menjadi 0,685
(2001) dan 0,690 (2003) dan akhirnya mencapai 0,704 (2004). Namun demikian
peringkat GDI Indonesia (81) masih lebih rendah dari Vietnam (80), Filipina (66),
Cina (64), Thailand (58) dan Malaysia (51) (UNDP - Human Development Report
1995 – 2006). Masalah kesenjangan gender di bidang pendidikan terbukti dengan

2

Kebijakan ’Etis’ dan Perluasan Pendidikan bagi Wanita
Bumiputera pada Awal Abad ke 20
Warto

Pendahuluan
Kebijakan politik ‘etis’ dan perluasan pendidikan bagi kaum Bumiputera
pada awal abad ke-20 mempunyai hubungan yang cukup erat. Pendidikan ala
Barat merupakan fenomena yang relatif baru di tanah jajahan karena pada periode
sebelumnya hampir tidak dikenal oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.
Pendidikan modern baru diperkenalkan secara luas setelah pemerintah kolonial
Belanda mencanangkan kebijakan ‘etis’ yang di dalamnya meliputi aspek-aspek
ekonomi (irigasi), demografi (transmigrasi), dan edukasi. Gagasan ‘etis’
merupakan bagian dari pemikiran humanisme yang mulai berkembang sejak akhir
abad ke19 di Eropa Barat yang kemudian diperluas di daerah jajahan. Humanisme
mendorong lahirnya pemikiran ”balas budi” (een eereschuld) negara penjajah
terhadap daerah jajahan yang selama ini telah memberikan banyak keuntungan
ekonomi dan sosial. Untuk menunjukkan bahwa negara penjajah (Barat, Belanda)
merupakan masyarakat yang beradab dan menjunjung nilai-nilai kemanusiaan,
maka perlu membuat kebijakan yang memihak rakyat jajahan. Mereka
mempunyai tugas suci (mission-sacree) memberadabkan kaum terjajah yang
primitif dan terbelakang. Mereka menyadari perlunya ”mengajari” anak-anak
jajahan agar terbuka pemikiran dan wawasannya dalam menyongsong era baru
yang lebih maju dan beradab.
Gerakan humanisme yang kemudian dikemas dalam politik ‘etis’ itulah
yang menjadi dasar dibukanya sekolah-sekolah Barat untuk kaum pribumi.
Muncullah berbagai jenis sekolah dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, baik
yang diusahakan/disubsidi pemerintah maupun oleh swasta, baik yang didirikan di
kota-kota besar maupun di pelosok pedesaan. Namun demikian, semuanya itu
terjadi dalam konteks masyarakat jajahan yang hegemonik dan diskriminatif.
Sekolah-sekolah itu tidak sepenuhnya mencerminkan institusi yang bebas dan

1

demokratis untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan, melainkan
tetap terikat dalam relasi kolonialisme yang eksploitatif. Sekolah-sekolah itu
sesungguhnya mencerminkan realitas sosial politik yang diskriminatif di bawah
hegemoni kekuasaan kolonial. Diskriminasi tidak hanya didasarkan oleh
perbedaan kuasa, warna kulit, ras, dan kelas, melainkan juga oleh perbedaan jenis
kelamin. Dengan kata lain, konstruksi sosial gender turut mewarnai kebijakan
politis ‘etis’ di bidang pendidikan. Konstruksi sosial gender yang bias
kepentingan laki-laki diproduksi dan reproduksi melalui relasi sosial yang terus
mengalami perubahan. Ia juga berakar pada nilai-nilai patriarki yang dianut oleh
masyarakat yang bersangkutan. Singkatnya, kebijakan politik penjajahan Belanda
terutama kebijakan ‘etis’ bertumpu pada budaya patriarki yang memberi tempat
lebih tinggi kepada laki-laki. Implikasinya, seluruh sepak terjang dan tindakan
yang dilakukan dalam rangka menguasai daerah jajahan selalu bias laki-laki.
Pandangan politik seperti itu kompatibel dengan realitas sosial budaya daerah
jajahan khususnya di Indonesia. Struktur patriarki mewarnai sebagian besar corak
sosial budaya masyarakat Indonesia, sehingga wanita kurang mendapatkan
kesempatan dalam mengakses pendidikan. Tulisan singkat ini berusaha melihat
implementasi politik ‘etis’ dalam bidang pendidikan dan seberapa juah wanita
Bumiputera memperoleh kesempatan berpartisipasi dalam pendidikan modern.
Wilayah Surakarta diajadikan contoh kasus untuk mengetahui secara riil sejauh
mana perempuan terlibat dalam pendidikan modern yang diperkenalkan
pemerintah kolonial Belanda.

Politik ‘Etis’
Masa-masa setelah penghapusan Sistem Tanam Paksa dikenal dengan
periode Liberal yang menunjukkan bahwa pemerintah dengan sengaja mengambil
langkah mundur dari kegiatan perekonomian, kecuali beberapa hal seperti
perusahaan-perusahaan pemerintah, membatasi diri pada pemeliharaan hukum dan
ketertiban serta menyediakan pelayanan-pelayanan infrastruktur. Pada sekitar
awal abad ke-20 pemerintah kolonial Belanda sangat ingin menghentikan
keterlibatannya di dalam ekonomi lokal. Namun, pemerintah secara perlahan-

2

DAMPAK PENGARUSUTAMAAN GENDER TERHADAP INOVASI
PENDIDIKAN ADIL GENDER DI SEKOLAH
((Studi Kasus di Empat Kabupaten di Provinsi Jawa Tengah)
D. Priyo Sudibyo dan Ismi Dwi Astuti Nurhaeni
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebijakan publik pemerintah untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender dalam
berbagai bidang pembangunan telah dinyatakan secara tegas dalam berbagai dokumen kebijakan,
antara lain: Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang “Pengarusutamaan Gender dalam
Pembangunan Nasional”, Undang-undang No. 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
15 Tahun 2008 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender serta Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 84 Tahun 2008 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengarusutamaan
Gender Bidang Pendidikan. Meskipun sudah ada regulasi untuk mewujudkan keadilan dan
kesetaraan gender, namun kesenjangan gender dalam berbagai bidang pembangunan masih
terjadi, salah satunya di bidang pendidikan.
Di Provinsi Jawa Tengah, kesenjangan gender di bidang pendidikan dapat dilihat dari
indikator angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah sbagai indikator komposit Genderrelated Development Index (GDI). Angka melek huruf penduduk usia 15 tahun ke atas di Jawa

Tengah sejak tahun 2004 hingga 2007 mengalami peningkatan, baik pada laki-laki maupun
perempuan. Pada tahun 2004, angka melek huruf penduduk laki-laki sebesar 92,1% dan pada
tahun 2007 meningkat menjadi 93,4%. Sedangkan angka melek huruf perempuan pada tahun
2004 sebesar 81,5 dan pada tahun 2007 meningkat menjadi 84% (KPP dan BPS, 2007). Bila
dibandingkan antara penduduk perempuan dan laki-laki, maka angka melek huruf penduduk
perempuan senantiasa berada dibawah angka melek huruf laki-laki.
Rendahnya kinerja pembangunan terhadap perempuan dibandingkan laki-laki juga terjadi
pada indikator rata-rata lama sekolah dimana rata-rata lama sekolah penduduk perempuan berada
dibawah rata-rata lama sekolah penduduk laki-laki. Rata-rata lama sekolah penduduk laki-laki
pada tahun 2004 adalah 7,1 tahun dan pada tahun 2007 meningkat menjadi 7,3 tahun, sedangkan
perempuan 6 tahun pada 2004 dan meningkat menjadi 6,2 tahun pada 2007. Meski demikian,
1

rata-rata lama sekolah perempuan juga lebih rendah dibandingkan laki-laki 9KPP dan BPS,
2007).
Berbagai bentuk ketidakadilan gender di bidang pendidikan masih terjadi, antara lain
berupa:
1. kesenjangan dalam perbedaan status sosial ekonomi, latar belakang budaya dan geografis;
sehingga mengakibatkan semakin tinggi jenjang pendidikan semakin besar kesenjangannya;
2. Dalam hal mutu pendidikan proses pembelajaran masih netral atau bias gender, hal ini karena
pemahaman guru, kepala sekolah dan pengelola pendidikan belum responsif gender;
3. Dalam hasil belajar, angka kelulusan anak perempuan lebih tinggi dbanding anak laki-laki
sejak tahun 2005;
4. Kualifikasi guru perempuan jauh dibawah laki-laki, hal ini berdampak terhadap hasil
sertifikasi dimana guru perempuan jauh tertinggal dibanding guru laki-laki (25%;75%)
5. Rendahnya partisipasi perempuan dalam perumusan kebijakan dan pegambilan keputusan
bidang pendidikan.
Menyadari masih adanya berbagai bentuk ketidakadilan gender di bidang pendidikan,
Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Tengah telah memfasilitasi capacity building Pengarusutamaan
Gender (PUG) sejak tahun 2003 dengan melibatkan sebagian besar stakeholders pendidikan di
Provinsi Jawa Tengah maupun di kabupaten/kota. Selanjutnya capacity building tersebut
ditindaklanjuti dengan pemberian dana block grand sebagai stimulan untuk mengaplikasikan
pengarusutamaan gender bidang pendidikan di Kabupaten/Kota Jawa Tengah. Penelitian ini
dimaksudkan untuk mengkaji apakah Pengarusutamaan Gender Pendidikan memberikan dampak
terhadap inovasi pendidikan adil gender di sekolah. Adapun permasalahan penelitian dirumuskan
sebagai berikut: (1) Bagaimana strategi mengintegrasikan perspektif keadilan dan kesetaraan
gender di bidang pendidikan?; (2) Apakah pengarusutamaan gender memberi dampak berupa
inovasi pendidikan adil gender di sekolah?

B. Tinjauan Pustaka
Pengarusutamaan Gender Bidang Pendidikan yang selanjutnya disebut PUG Pendidikan
adalah strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari
perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan, program, dan
kegiatan pembangunan bidang pendidikan (Permendiknas 84 tahun 2008). Gender adalah konsep

2

BAGIAN III
GENDER DALAM DIMENSI POLITIK DAN KEBIJAKAN
PUBLIK

Pemetaan Isu Gender di Bidang Politik di Provinsi Sumatera Selatan
Eva Lidya

Pendahuluan
Keikutsertaan kaum perempuan dalam aktivitas politik sebagaimana tercatat dalam
sejarah baru dimulai ketika mereka menuntut memiliki hak untuk memilih dan dipilih dalam
pemilihan umum yang terjadi di abad 19. Tuntutan untuk berpartisipasi di bidang politik ini
memberikan suatu pengalaman baru bagi kaum perempuan dan bagi laki-laki ini berarti
menghentikan dominasi di ranah tersebut. Dunia politik cenderung tidak mengenal jam kerja
dan ini merupakan salah satu tantangan bagi perempuan. Di samping itu, sering terjadi
perbedaan pendapat yang sangat tajam sehingga memerlukan waktu lama untuk mencapai
kompromi-kompromi politik. Persoalannya, kaum perempuan tidak terbiasa menghadapi
situasi dan kondisi yang cenderung selalu berada dalam suasana konflik sehingga tidak
mengherankan bila akhirnya adaptasi perempuan dalam dunia politik menjadi rendah.
Sebuah kebijakan seringkali mengabaikan kepentingan/kebutuhan perempuan. Salah satu
penyebabnya karena politikus laki-laki banyak yang belum memiliki sensitivitas gender,
kurang peka pada kepentingan/kebutuhan masyarakat berdasarkan jenis kelamin. Walaupun
laki-laki mendominasi bidang politik tetapi bila mereka peka gender maka tentunya tidak
akan timbul masalah gender. Umumnya, laki-laki menganggap bila perempuan mau
berpolitik maka mereka harus berjuang dan berani menghadapi tantangan. Sementara pihak
beranggapan bahwa perempuan harus berjuang untuk masuk ke dalam dunia politik ini dan
tidak perlu ada affirmative action dengan kuota 30% perempuan di badan legislatif. Dengan
adaptasi perempuan terhadap dunia politik yang rendah dan adanya anggapan bahwa dunia
politik sangat keras dan banyak intrik maka sebagian besar kaum perempuan tidak berminat
terhadap aktivitas politik. Akibatnya, kesenjangan antar je