Peningkatan Komunikasi Ekspresif Melalui PECS (Picture Exchange Communication System) pada Anak dengan Autisme di SLB "X" Bandung.

(1)

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Marnatha ABSTRAK

Penelitian ini berjudul Peningkatan Komunikasi Ekspresif melalui PECS (Picture Exchange Communication System) pada Anak dengan Autisme di SLB “X” Bandung. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peningkatan komunikasi ekspresif pada anak dengan autisme di SLB “X” Bandung dalam cara yang dapat dipahami orang lain dengan menggunakan PECS.

Subyek penelitian ini adalah 3 orang anak autisme yang berusia antara 9 – 14 tahun, tidak dapat mengungkapkan keinginan / kebutuhannya secara verbal (autis nonverbal), dan memiliki keterampilan motorik halus yang cukup, yaitu dapat mengambil dan menggenggam dengan cukup baik. Alat ukur yang digunakan berupa observasi terhadap setiap fase PECS yang dilakukan kepada subyek penelitian untuk melihat apakah masing-masing anak autis mampu melakukan komunikasi ekspresif pada setiap fase. Validitas alat ukur menggunakan content validity.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa komunikasi ekspresif pada anak dengan autisme di SLB “X” Bandung dalam cara yang dapat dipahami oleh orang lain meningkat melalui pemberian PECS. Pemberian reinforcement berupa makanan atau mainan yang disukai anak autis selama pelaksanaan intervensi PECS turut berpengaruh terhadap kemudahan anak autisme dalam mempelajari PECS. Adanya pengulangan yang dilakukan dalam mempelajari PECS menyebabkan perilaku yang diajarkan selama treatment dapat tersimpan dalam long-term memory dan dilakukan kembali.

Saran teoretis untuk penelitian selanjutnya adalah mengontrol confounding variable pada responden, seperti tingkat kecerdasan, dan memastikan reinforcement yang digunakan efektif bagi subyek penelitian. Saran praktis untuk pihak SLB “X”, teknik PECS dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk diberikan kepada anak autisme guna memfasilitasi anak autisme dalam melakukan komunikasi agar dapat dipahami oleh orang lain dan dapat memberikan pelatihan mengenai PECS bagi orangtua yang memiliki anak autisme yang terhambat dalam berkomunikasi secara verbal agar orangtua dapat mengajarkan anak mereka menggunakan PECS sebagai media untuk berkomunikasi dengan orang lain.


(2)

ABSTRACT

This study entitled Improved Expressive Communication through PECS (Picture Exchange Communication System) in Children with Autism in SLB "X" Bandung. The purpose of this study is to determine the increase in expressive communication in children with autism in SLB "X" Bandung in a way that can be understood others by using PECS.

The subjects of this study are 3 children with autism aged between 9-14 years old, can not disclose the desire / need verbal (autistic nonverbal), and has a sufficient fine motor skills, which can pick up and grasp quite well. Measuring instruments used in the form of observation of each phase of PECS made the subject of a study to see whether each autistic child is able to expressive communicate in every phase. The validity of the measuring instrument using content validity.

The results showed that the expressive communication in children with autism in SLB "X" Bandung in a way that can be understood by others increased through the provision of PECS. The provision of reinforcement in the form of a preferred food or toys of autistic children throughout the intervention PECS helped influence on the ease of children with autism in learning PECS. Repetition is done in studying PECS causes the behavior taught during treatment can be stored in long-term memory and re-do.

Theoretical suggestions for future research is to control confounding variables on respondents, such as the level of intelligence, and ensuring the effectiveness of reinforcement used for the study subjects. Practical suggestions to SLB "X", PECS technique can be considered to be given to children with autism in order to facilitate children with autism in the communication that can be understood by others and can provide training on PECS for parents of children with autism who are hampered in communicating verbally that parents can teach their children use PECS as a medium to communicate with others.


(3)

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Marnatha

DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan ... ii

Lembar Pernyataan Orisinalitas Laporan Penelitian ... iii

Lembar Pernyataan Publikasi Laporan Penelitian ... iv

Abstrak ... iii

Abstract ... iv

Kata Pengantar ... v

Daftar Isi ... viii

Daftar Bagan ... xiii

Daftar Grafik ... xiv

Daftar Tabel ... xv

Daftar Lampiran ... xvii

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 10

1.3 Maksud, Tujuan, dan Kegunaan Penelitian ... 10

1.3.1 Maksud Penelitian ... 10

1.3.2 Tujuan Penelitian ... 10

1.3.3 Kegunaan Penelitian ... 10

1.3.3.1 Kegunaan Praktis ... 10


(4)

1.4 Metodologi Penelitian ... 11

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Augmentative and Alternative Communication (AAC) ... 12

2.2 Picture Exchange Communication System (PECS) ... 16

2.3 Autisme ... 30

2.3.1 Definisi Autisme ... 30

2.3.2 Kriteria Autism Spectrum Disorder ... 33

2.4 Komunikasi pada Anak Autis ... 35

2.5 Kerangka Pikir ... 41

2.6 Asumsi ... 51

2.7 Hipotesis ... 51

BAB III. METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian/ Rancangan Penelitian ... 52

3.2 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 53

3.2.1 Variabel dalam Penelitian ... 53

3.2.2 Definisi Konseptual ... 53

3.2.2.1 Definisi Konseptual Independent Variable ... 53

3.2.2.2 Definisi Konseptual Dependent Variable ... 54

3.2.3 Definisi Operasional ... 54

3.2.3.1 Definisi Operasional Independent Variable ... 54


(5)

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Marnatha

3.3 Pelaksanaan PECS ... 58

3.4 Alat Ukur ... 63

3.4.1 Alat Ukur Komunikasi ... 63

3.4.2 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 67

3.4.2.1Validitas Alat Ukur ... 67

3.4.2.2Reliabilitas Alat Ukur ... 68

3.5 Populasi Penelitian dan Karakteristik Populasi... 68

3.5.1 Populasi Penelitian ... 68

3.5.2 Karakteristik Populasi ... 68

3.6 Teknik Analisa Data ... 68

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Kasus ... 69

4.1.1 Kasus Subyek 1 ... 69

4.1.1.1Identitas ... 69

4.1.1.2 Keluhan ... 70

4.1.1.3Status Praesens ... 70

4.1.1.4Hasil Penelitian ... 72

4.1.1.4.1 Hasil Pretest ... 72

4.1.1.4.2 Hasil treatment PECS ... 73

4.1.1.4.3 Hasil Posttest 1 ... 79

4.1.1.4.4 Hasil Posttest 2 ... 80


(6)

4.1.2 Kasus Subyek 2 ... 82

4.1.2.1Identitas ... 82

4.1.2.2Keluhan ... 82

4.1.2.3Status Praesens ... 83

4.1.2.4Hasil Penelitian ... 84

4.1.2.4.1 Hasil Pretest ... 84

4.1.2.4.2 Hasil treatment PECS ... 85

4.1.2.4.3 Hasil Posttest 1 ... 92

4.1.2.4.4 Hasil Posttest 2 ... 93

4.1.2.4.5 Hasil Posttest 3 ... 94

4.1.3 Kasus Subyek 3 ... 95

4.1.3.1Identitas ... 95

4.1.3.2Keluhan ... 95

4.1.3.3Status Praesens ... 96

4.1.3.4Hasil Penelitian ... 97

4.1.3.4.1 Hasil Pretest ... 97

4.1.3.4.2 Hasil treatment PECS ... 98

4.1.3.4.3 Hasil Posttest 1 ... 109

4.1.3.4.4 Hasil Posttest 2 ... 110

4.1.3.4.5 Hasil Posttest 3 ... 111

4.2 Pembahasan Hasil Penelitian ... 116

4.2.1 Pembahasan Hasil Penelitian Subyek 1 ... 116


(7)

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Marnatha

4.2.3 Pembahasan Hasil Penelitian Subyek 3 ... 124

4.2.4 Perbandingan Hasil 3 Subyek ... 127

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 130

5.2 Saran ... 130

5.2.1 Saran Teoritis ... 130

5.2.2 Saran Praktis ... 131 Daftar Pustaka

Daftar Rujukan Lampiran


(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Rancangan pelaksanaan PECS ... 60

Tabel 3.2 Panduan observasi pre-test mengenai komunikasi ekspresif anak autis... 64

Tabel 3.3 Panduan observasi post-test mengenai komunikasi ekspresif anak autis... 65

Tabel 4.1 Hasil Pre-test Subyek 1 ... 72

Tabel 4.2 Hasil Treatment PECS fase 1 Subyek 1... 73

Tabel 4.3 Hasil Treatment PECS fase 2 Subyek 1 ... 74

Tabel 4.4 Hasil Treatment PECS fase 3 Subyek 1 ... 75

Tabel 4.5 Hasil Treatment PECS fase 4 Subyek 1 ... 76

Tabel 4.6 Hasil Treatment PECS fase 5 Subyek 1 ... 77

Tabel 4.7 Hasil Treatment PECS fase 6 Subyek 1 ... 78

Tabel 4.8 Hasil Post-test 1 Subyek 1 ... 79

Tabel 4.9 Hasil Post-test 2 Subyek 1 ... 80

Tabel 4.10 Hasil Post-test 3 Subyek 1 ... 81

Tabel 4.11 Hasil Pre-test Subyek 2 ... 84

Tabel 4.12 Hasil Treatment PECS fase 1 Subyek 2 ... 85

Tabel 4.13 Hasil Treatment PECS fase 2 Subyek 2 ... 86

Tabel 4.14 Hasil Treatment PECS fase 3 Subyek 2 ... 87

Tabel 4.15 Hasil Treatment PECS fase 4 Subyek 2 ... 88


(9)

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Marnatha

Tabel 4.17 Hasil Treatment PECS fase 6 Subyek 2 ... 90

Tabel 4.18 Hasil Post-test 1 Subyek 2 ... 92

Tabel 4.19 Hasil Post-test 2 Subyek 2 ... 93

Tabel 4.20 Hasil Post-test 3 Subyek 2 ... 94

Tabel 4.21 Hasil Pre-test Subyek 3 ... 97

Tabel 4.22 Hasil Treatment PECS fase 1 Subyek 3 ... 98

Tabel 4.23 Hasil Treatment PECS fase 2 Subyek 3 ... 102

Tabel 4.24 Hasil Treatment PECS fase 3 Subyek 3 ...102

Tabel 4.25 Hasil Treatment PECS fase 4 Subyek 3 ... 104

Tabel 4.26 Hasil Treatment PECS fase 5 Subyek 3 ... 106

Tabel 4.27 Hasil Treatment PECS fase 6 Subyek 3 ... 108

Tabel 4.28 Hasil Post-test 1 Subyek 3 ... 109

Tabel 4.29 Hasil Post-test 2 Subyek 3 ... 110


(10)

DAFTAR BAGAN

Bagan 2.1 Kerangka Pikir ... 50 Bagan 3.1 Rancangan Penelitian ... 53


(11)

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Marnatha

DAFTAR GRAFIK

Grafik 4.1 Hasil Pelaksanaan Setiap Fase PECS pada Ketiga Subyek ... 112 Grafik 4.2 Hasil Pre-test dan Post-test Ketiga Subyek ... 115


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A Hasil Heteroanamnesa terhadap Orangtua (Ibu) Lampiran A1 Hasil Heteroanamnesa terhadap Orangtua (Ibu) A Lampiran A2 Hasil Heteroanamnesa terhadap Orangtua (Ibu) S Lampiran A3 Hasil Heteroanamnesa terhadap Orangtua (Ibu) Z Lampiran B Hasil Heteroanamnesa terhadap Guru

Lampiran B1 Hasil Heteroanamnesa terhadap Guru A Lampiran B2 Hasil Heteroanamnesa terhadap Guru S Lampiran B3 Hasil Heteroanamnesa terhadap Guru Z Lampiran C Hasil Observasi

Lampiran C1 Hasil Observasi A Lampiran C2 Hasil Observasi S Lampiran C3 Hasil Observasi Z Lampiran D Informed Consent


(13)

1

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Saat ini, jumlah kasus autisme mengalami peningkatan yang signifikan di seluruh dunia. Pada awal tahun 1990-an, jumlah penyandang autisme diperkirakan sekitar 4-6 per 10.000 kelahiran. Mendekati tahun 2000 angka ini mencapai 15-20 per 10.000 kelahiran. Data pada tahun 2000, angka ini meningkat drastis yaitu sekitar 60 per 10.000 kelahiran atau 1 : 250 anak. Jumlah penduduk di Indonesia lebih dari 237,5 juta (BPS, 2010) dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,14% sehingga diperkirakan jumlah penyandang autisme di Indonesia sekitar 2,4 juta orang, dan bertambah sekitar 500 orang penyandang baru tiap tahunnya. Jumlah penyandang autisme dengan jenis kelamin laki-laki lebih banyak dibanding perempuan, dengan perbandingan 4:1 (Dr. Rudy Sutadi, Sp.A, MARS, S.Pd.I. dalam Kompasiana, 2011).

Autism Spectrum Disorder (ASD) atau autisme adalah salah satu gangguan perkembangan pervasif (PDD – Pervasive Development Disorder) yang ditandai oleh kelainan dalam perkembangan keterampilan sosial dan komunikasi timbal balik, perkembangan bahasa yang abnormal, serta tingkah laku dan minat yang terbatas. Menurut DSM V, kriteria autisme adalah hambatan dalam komunikasi dan interaksi sosial, misalnya kurang dapat memulai atau merespon interaksi sosial, kurangnya ekspresi wajah dan komunikasi nonverbal, serta kurangnya


(14)

2

minat terhadap teman sebaya, dan adanya pola tingkah laku, minat, atau aktivitas yang berulang-ulang.

Anak autis biasanya bergantung pada bentuk komunikasi yang primitif, seperti menarik tangan ibu untuk mengarahkan pada hal yang diinginkan. Kesulitan utama anak dengan autisme untuk mengembangkan bahasa bukanlah suara, kata-kata, dan tata bahasa atau arti suatu kata-kata, melainkan dalam penggunaan bahasa dalam konteks sosial dan komunikatif yang tepat. Kurangnya kemampuan ini menyebabkan anak autis memiliki kesulitan untuk menyesuaikan bahasa mereka dengan situasi (Mash & Wolfe, 2005). Anak dengan autisme cenderung mengandalkan sebuah kata untuk menentukan arti sebuah kalimat (Mash & Barkley, 2003).

Apabila anak autis kurang memiliki kemampuan untuk berkomunikasi, mereka akan mengalami kesulitan dalam perolehan bahasa, membangun relasi sosial, dan mencapai target dalam pendidikan (Light, Collier, & Parnes, 1985 dalam Mirenda & Iacono, 2009). Selain itu, tanpa komunikasi anak autis seringkali mengalami masalah perilaku, seperti menyakiti diri sendiri, sebagai respon terhadap frustrasi akibat ketidakmampuannya untuk berkomunikasi (National Research Council, 2001 dalam Mirenda & Iacono, 2009).

Berdasarkan hasil wawancara dengan seorang praktisi yang bekerja di salah satu rumah sakit ibu dan anak yang bernama Kang Ga Liedia Ayu, M.Psi., Psikolog, anak autis mengalami hambatan dalam kemampuan pragmatiknya, yaitu hambatan menggunakan bahasa untuk berkomunikasi dalam konteks yang tepat. Sebagai contoh, sebagian anak autis yang terhambat dalam bahasa ekspresifnya


(15)

3

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

sulit untuk mengungkapkan keinginannya pada orang lain sehingga biasanya mereka menunjuk pada hal yang diinginkan. Jika mereka tidak dapat mengutarakan keinginannya atau orang lain tidak memahami keinginannya, mereka menjadi marah, kesal, atau bahkan tantrum sebagai ungkapan kefrustrasiannya.

Tidak semua anak autis dapat berbahasa verbal bahkan ada yang hanya dapat berbahasa nonverbal hingga dewasa. Sebagian anak autis tidak berbicara (nonverbal) atau sedikit bicara sampai usia dewasa. Oleh karenanya tidak mengherankan jika sebagian besar anak autis mengalami kesulitan dalam menggunakan bahasa dan berbicara sehingga mereka sulit untuk melakukan komunikasi dengan orang lain. Sedangkan anak autis nonverbal adalah anak autis yang tidak bisa berkomunikasi dengan bahasa atau berbicara (Lenawaty, 2010). Menurut Sattler (2002), anak autis jarang dapat memperoleh bahasa jika ia belum melakukannya pada usia 6 tahun.

Berdasarkan hasil wawancara dengan seorang expert di bidang Psikologi Klinis Anak, Dr. Yuspendi, M.Pd., M.Psi., Psikolog, anak autis terbagi 2 jenis, yaitu non-verbal dan verbal. Anak autis memiliki hambatan dalam komunikasinya, antara lain echolalia dan bahasa yang rigid. Mereka kurang dapat melakukan interaksi dua arah dengan orang lain. Ketika orang lain bertanya pada anak autis, seringkali mereka tidak menjawab yang disebabkan oleh 2 kemungkinan, yaitu kurang memiliki motivasi untuk berbicara dan mereka tidak paham yang dikatakan orang lain karena mungkin perkataan tersebut berbeda dari yang mereka pelajari. Mereka kurang memiliki motivasi untuk berbicara, mereka


(16)

4

lebih sering menggunakan gesture atau menarik tangan orang dewasa ke arah yang diinginkan. Hal ini diperkuat juga oleh perlakuan lingkungan yang seringkali selalu menyediakan keperluan anak tanpa ada inisiatif dari anak untuk mengungkapkan keinginannya.

Berdasarkan wawancara dengan seorang praktisi yang bekerja pada klinik tumbuh kembang anak yang bernama Stefanie P., M. Psi., Psikolog, diketahui bahwa seorang anak autis dikatakan nonverbal jika pada usia 7 tahun anak autis tersebut belum dapat berbicara. Anak autis tersebut dapat bersuara, namun tidak dapat mengucapkan kata apapun. Hal ini beliau ketahui dari informasi yang diperolehnya dari seorang dokter yang bekerja sama dengannya di klinik tumbuh kembang anak.

Anak autis nonverbal memiliki hambatan untuk berkomunikasi secara verbal sehingga anak autis seringkali mengalami frustrasi karena kebutuhan-kebutuhannya tidak dapat terpenuhi. Anak autis tidak dapat mengutarakan apa yang diinginkan dan tidak diinginkan, mereka tidak dapat mengekspresikan diri sehingga bertindak atau berperilaku negatif untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Perilaku negatif yang muncul misalnya marah-marah tanpa sebab yang jelas, temper tantrum, menyerang atau merusak, bahkan menyakiti dirinya sendiri (Lenawaty, 2010). Oleh karena itu, anak autis nonverbal memerlukan intervensi yang dapat membantunya untuk berkomunikasi dengan orang lain. Peneliti melakukan wawancara awal kepada 3 orangtua yang memiliki anak autis nonverbal yang bersekolah di SLB “X” dan wali kelas yang mengajar masing-masing anak serta mengobservasi anak di dalam kelas. Peneliti


(17)

5

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

mendapatkan keterangan bahwa Z (laki-laki, 10 tahun) didiagnosa autis ketika berusia 3 tahun. Z sempat mengikuti terapi wicara tak lama setelah didiagnosa autis. Namun karena Z belum dapat memfokuskan perhatiannya, terapi wicara pun dihentikan. Z termasuk anak autis nonverbal karena hingga kini ia belum dapat berbicara. Ia hanya dapat mengatakan “aaaa....” Z dapat memahami instruksi yang sangat sederhana, seperti memberi salam dan mengambil benda yang spesifik. Z jarang mengungkapkan keinginannya kepada orang lain, baik di rumah maupun di sekolah. Ketika Z menginginkan sesuatu di rumah, biasanya ia mendekati orang lain tanpa menunjuk ke arah sesuatu yang diinginkan sehingga orang lain seringkali menebak-nebak maksud Z. Saat terjadi sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan Z, maka ia akan merengek dan memukul wajahnya. Jika sudah demikian, orangtua baru menyadari ada sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan Z. Orangtua Z merasa kesulitan untuk memahami keinginan anaknya karena Z tidak mengutarakan keinginannya secara jelas.

S (perempuan, 13 tahun) didiagnosa autis saat berusia 3 tahun. S termasuk anak autis nonverbal karena sejak kecil ia tidak dapat berbicara dan mengucapkan kata. S sering menggumam. S cukup dapat memahami instruksi sederhana, seperti mengambil barang, mencuci tangan, mematikan/menyalakan lampu. Di sekolah ketika S tidak dapat mengerjakan sesuatu, ia menarik tangan gurunya ke arah yang ia maksud. Ketika ada sesuatu yang tidak S suka, biasanya S akan menarik baju atau mencakar orang lain yang ada di dekatnya. Ketika S menginginkan sesuatu di rumah, ia mencolek ibunya kemudian berjalan ke arah yang diinginkan tersebut. Lalu ibu menebak yang diinginkan oleh S. Jika ibu tidak mengerti yang


(18)

6

S inginkan, S akan menghentak-hentakkan kakinya ke lantai sambil sesekali memukul kepalanya. Terkadang S pun memunculkan perilaku demikian secara tiba-tiba, kemudian ibu menebak yang diinginkan oleh S.

A (laki-laki, 9 tahun) didiagnosa autis saat berusia 2 tahun. Di sekolah A mengikuti bina bicara dimana dalam bina bicara daerah sekitar mulut A dipijat dan A dilatih untuk mengeluarkan lidahnya. A termasuk anak autis nonverbal karena ia tidak dapat berbicara. A sering mengatakan “bii....” tanpa ada maksud yang jelas. A dapat memahami instruksi yang sangat sederhana, seperti memberi salam dan mengambil barang yang familiar baginya. Ketika A menginginkan sesuatu di sekolah, ia mendekati gurunya dan menunjuk ke arah yang ia inginkan. Sedangkan di rumah ketika A ingin orang lain melakukan sesuatu untuknya, ia memberikan benda/makanan tersebut kepada orang lain. Misalnya ketika ia meminta orang lain untuk membukakan minuman kemasan untuknya. Terkadang A tiba-tiba menangis ketika ia menginginkan sesuatu. Ibunya menebak-nebak apa yang diinginkan A. Jika yang diberikan ibu tidak sesuai dengan keinginan A, A akan memukul kepalanya, menangis, atau berguling-guling di lantai.

Dari hasil survei awal terhadap orangtua dan observasi perilaku anak di dalam kelas, dapat disimpulkan bahwa ketiga anak autis tersebut termasuk anak autis nonverbal dimana mereka tidak dapat berbicara. Mereka cukup dapat memahami dan melakukan instruksi yang sangat sederhana. Namun, mereka memiliki hambatan dalam melakukan komunikasi secara verbal. Mereka mengungkapkan keinginannya dengan cara menunjuk, menarik tangan orang dewasa ke arah yang diinginkan, atau menangis secara tiba-tiba. Orang dewasa tidak selalu memahami


(19)

7

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

maksud yang disampaikan mereka sehingga cenderung menebak-nebak keinginan anak. Jika orang dewasa tidak melakukan yang diinginkan anak autis, mereka akan memunculkan perilaku yang mengganggu seperti menangis atau memukul kepalanya sendiri. Oleh karena itu anak autis yang mengalami hambatan dalam melakukan komunikasi perlu diberikan penanganan yang tepat.

Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengajarkan komunikasi pada anak autis adalah dengan memberikan AAC (Augmentative and Alternative Communication). AAC meliputi semua bentuk komunikasi (selain komunikasi lisan) yang digunakan untuk mengekspresikan pemikiran, kebutuhan, keinginan, dan ide (American Speech-Language-Hearing Association, 2014). Teknik AAC dapat berupa unaided, yaitu teknik yang tidak memerlukan peralatan di luar tubuh, dan aided, yaitu teknik yang menggunakan perangkat eksternal (seperti buku komunikasi) dan melibatkan penggunaan benda nyata atau simbol grafis seperti foto, garis, huruf, dan kata-kata tertulis. Teknik aided dapat menggunakan low-tech berupa gambar tunggal atau simbol pada kartu atau serangkaian gambar yang dicetak maupun high-tech berupa perangkat canggih, meliputi perangkat komputerisasi yang ditujukan untuk tujuan komunikasi, seperti komputer tablet dan aplikasi komunikasi pada smart phone (Light et al, 1998). Menurut beberapa peneliti, AAC (terutama simbol grafik) sangat cocok bagi individu dengan autisme karena AAC memungkinkan bahasa ditampilkan dalam bentuk visual yang statis dan dapat diprediksi, serta meminimalkan kebutuhan gerakan motorik yang kompleks dan perencanaan motorik (National Research Council dalam Mirenda & Iacono, 2009). Salah satu bentuk AAC yang sering digunakan untuk


(20)

8

mengajarkan anak autis berkomunikasi adalah PECS (Picture Exchange Communication System).

PECS termasuk salah satu AAC aided dengan menggunakan low-tech. PECS berupa gambar atau simbol yang digunakan oleh anak autis untuk berkomunikasi. Dalam PECS, anak autis memberikan gambar kepada communicative partner untuk meminta, mengomentari, menjawab pertanyaan, atau terlibat dalam percakapan. PECS didasarkan atas applied behavior analysis (ABA) dan dirancang secara khusus untuk mengatasi kesulitan dalam berkomunikasi pada anak dengan autisme dengan mendorong anak untuk menjadi pemrakarsa komunikasi (Malhotra, et at., 2010). PECS menggunakan prinsip dasar behavioral seperti shaping dan reinforcement untuk mengajarkan komunikasi fungsional dengan menggunakan gambar (Charlop-Christy, et al., 2002).

PECS merupakan salah satu pendekatan yang populer untuk mengajarkan anak autisme berkomunikasi dengan menggunakan simbol grafis visual (Mirenda & Iacono, 2009:7). Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan, PECS dapat meningkatkan komunikasi pada anak dengan autisme. Charlop-Christy, et al melakukan penelitian mengenai PECS pada 3 orang anak autis yang berusia 3 – 12 tahun yang tidak berbicara atau jarang berbicara. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa PECS dapat meningkatkan kemampuan untuk berbicara secara spontan dan menirukan kata (Charlop-Christy, et al, 2002). Selain itu, penelitian lain dilakukan oleh Rahmaya Nova Handayani dan Murniati (2014) di sebuah SD di Purbalingga. Kedua peneliti tersebut memberikan intervensi berupa PECS kepada anak dengan autisme untuk meningkatkan kemampuan bahasa


(21)

9

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

reseptif dan ekspresifnya. Penelitian menggunakan quasi eksperimen dengan pretest-posttest control group design. Intervensi dilakukan tiga kali dalam satu minggu dengan waktu 20 - 30 menit selama 2 bulan. Hasil yang diperoleh adalah adanya perbedaan yang signifikan terhadap kemampuan bahasa reseptif dan ekspresif pada anak dengan autisme yang diberikan dan tidak diberikan intervensi PECS. Selain itu, kemampuan bahasa reseptif dan ekspresifnya juga mengalami peningkatan apabila dibandingkan dengan sebelum diberikan intervensi. Namun, pada penelitian ini tidak disebutkan sampel yang digunakan apakah anak autis verbal atau nonverbal dan kemampuan bahasa ekspresif yang dimaksud, apakah melalui gambar atau verbal. Selain kedua penelitian tersebut, yang membuat peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai peningkatan komunikasi ekspresif melalui pemberian PECS pada anak dengan autisme di SLB “X” Bandung adalah SLB “X” belum pernah menerapkan PECS sehingga peneliti ingin mengetahui apakah penggunaan PECS juga akan meningkatkan komunikasi ekspresif pada anak dengan autisme di SLB “X” Bandung.

Berdasarkan fakta dari lapangan yaitu adanya keterbatasan anak autis untuk berkomunikasi secara verbal serta adanya harapan dari orangtua yang menginginkan anaknya dapat berkomunikasi, khususnya dapat mengutarakan keinginannya kepada orang lain, hal ini mendorong peneliti untuk melakukan penelitian mengenai apakah terdapat peningkatan komunikasi ekspresif melalui PECS pada anak dengan autisme di SLB “X” Bandung.


(22)

10

1.2. Rumusan Masalah

Apakah terdapat peningkatan komunikasi ekspresif melalui PECS pada anak dengan autisme di SLB “X” Bandung dalam cara yang dapat dipahami orang lain.

1.3. Maksud, Tujuan, dan Kegunaan Penelitian 1.3.1. Maksud Penelitian

Untuk mengetahui peningkatan komunikasi ekspresif pada anak dengan autisme di SLB “X” Bandung dalam cara yang dapat dipahami oleh orang lain. 1.3.2. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui peningkatan komunikasi ekspresif pada anak dengan autisme di SLB “X” Bandung dalam cara yang dapat dipahami orang lain dengan menggunakan PECS.

1.3.3. Kegunaan Penelitian 1) Kegunaan Praktis

 Memberikan masukan bagi SLB “X” berkaitan dengan penggunaan PECS yang diberikan pada anak dengan autisme untuk meningkatkan komunikasi ekspresif, khususnya pengungkapan keinginan yang dapat dipahami orang lain.

 Memberikan informasi, pemahaman, dan keterampilan mengenai penggunaan PECS kepada orangtua dengan harapan dapat membantu mereka mendidik anak-anak mereka yang memiliki kebutuhan khusus dalam proses belajar.


(23)

11

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

 Memberikan informasi bagi para praktisi dan terapis dalam bidang Psikologi Klinis Anak mengenai kelebihan dan kekurangan PECS untuk meningkatkan komunikasi ekspresif, khususnya pengungkapan keinginan pada anak autis.

2) Kegunaan Teoretis

 Memberikan sumbangan bagi pengembangan Psikologi Klinis Anak dalam meningkatkan komunikasi ekspresif pada anak berkebutuhan khusus, terutama bagi anak autis.

1.4. Metodologi

Penelitian ini berupa studi kasus dengan time-series design, dimana treatment PECS diberikan pada waktu yang ditentukan pada anak autis yang berusia 9 – 13 tahun. Pada penelitian ini akan dilakukan pretest, pemberian treatment PECS, dan posttest sebanyak 3 kali. Posttest 1 akan dilakukan setelah treatment PECS diberikan. Sedangkan posttest 2 dan 3 akan dilakukan setiap 1 minggu setelah posttest 1 dilakukan. Kemudian hasil pretest dan posttest 1, 2, dan 3 akan dibandingkan untuk melihat apakah terdapat peningkatan komunikasi ekspresif pada anak dengan autisme melalui pemberian PECS.


(24)

130

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil yang diperoleh melalui pengolahan data Peningkatan Komunikasi Ekspresif melalui PECS pada Anak dengan Autisme di SLB “X” Bandung, diperoleh hasil sebagai berikut:

1. Komunikasi ekspresif pada anak dengan autisme di SLB “X” Bandung dalam cara yang dapat dipahami oleh orang lain meningkat melalui pemberian PECS.

2. Reinforcement berupa makanan atau mainan yang disukai anak autis turut berpengaruh terhadap kemudahan anak autisme dalam mempelajari PECS. 3. Pengulangan yang dilakukan dalam mempelajari PECS menyebabkan

perilaku yang diajarkan selama treatment dapat tersimpan dalam long-term memory dan dilakukan kembali.

5.2 Saran

Berdasarkan pembahasan hasil yang telah dijabarkan pada bab sebelumnya, dapat diajukan beberapa saran, yaitu:

5.2.1 Saran Teoritis

Untuk peneliti yang berminat melakukan penelitian lebih lanjut disarankan: 1. Untuk mengontrol confounding variable pada responden, seperti tingkat


(25)

131

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

2. Untuk memastikan reinforcement yang digunakan efektif bagi subyek penelitian.

5.2.2 Saran Praktis

1. Untuk SLB “X”, teknik PECS dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk

diberikan kepada anak autisme guna memfasilitasi anak autisme dalam melakukan komunikasi agar dapat dipahami oleh orang lain. Selain itu, pihak SLB “X” juga dapat memberikan pelatihan mengenai PECS bagi orangtua yang memiliki anak autisme yang terhambat dalam berkomunikasi secara verbal agar orangtua dapat mengajarkan anak mereka menggunakan PECS sebagai media untuk berkomunikasi dengan orang lain.

2. Untuk terapis atau praktisi yang menangani anak dengan autisme, teknik PECS dapat digunakan sebagai salah satu alternatif untuk memfasilitasi anak autisme, khususnya anak autisme non verbal, dalam melakukan komunikasi dengan orang lain sehingga maksud yang hendak disampaikan anak autis dapat dipahami.


(26)

DAFTAR PUSTAKA

American Psychiatric Association. 2013. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder. USA: APA.

Charlop-Christy, Marjorie H., Carpenter, Michael and Le, Loc., Leblanc, Linda A., and Kellet, Kristen, 2002. Using The Picture Exchange Communication System (PECS) with Children With Autism: Assessment of PECS Acquisition, Speech, Social-communicative Behavior, and Problem Behavior. Journal of Applied Behavior Analysis. [7 November 2014]

Cherry, K. A. 2005. Operant conditioning. [12 Januari 2015]

Collet-Klingenberg, L. (2008). PECS: Steps for implementation. Madison, WI: The National Professional Development Center on Autism Spectrum Disorders, The Waisman Center, The University of Wisconsin.

Coyne, David. 2014. Augmentative and Alternative Communication (AAC): Guidelines for Speech Pathologists who Support People with a Disability. [14 Desember 2014]

Duffy, 2011. Spontaneous communication in autism spectrum disorder: A review of topographies and interventions. Research in Autism Spectrum Disorders 5. [14 Desember 2014]

Ganz, Jennifer B. Simpson, Richard L. Effects on Communicative Requesting and Speech Development of the Picture Exchange Communication System in Children With Characteristics of Autism. Journal of Autism and Developmental Disorders, Vol. 34, No. 4, August 2004. [28 Oktober 2015]


(27)

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

Graziano, Anthony M. Raulin, Michael L. 2000. Research Methods: A Process of Inquiry. USA: Allyn & Bacon A Pearson Education Company.

Kai-Chien Tien, 2008. Effectiveness of the Picture Exchange Communication System as a Functional Communication Intervention for Individuals with Autism Spectrum Disorders: A Practice-Based Research Synthesis. Education and Training in Developmental Disabilities. [23 Oktober 2014]

Lenawaty, Veva. 2010. Efek Penerapan Compic terhadap Kemampuan Komunikasi Anak Autis nonverbal. Jakarta: Universitas Tarumanegara.

Maddeppungeng, Martira. Soedjatmiko. 2007. Penilaian Early Language Milestone Scale 2 (Elm Scale 2) Pada Anak dengan Keterlambatan Bicara. Sari Pediatri, Volume 9, No. 2. [14 Januari 2015]

Malhotra, Shahzadi. Rajender, Gaurav. Bhatia, Manjeet S. Singh, Tej B., 2010. Effects of Picture Exchange Communication System on Communication and Behavioral Anomalies in Autism. Indian Journal Psychological Medicine. [17 November 2014]

Mash, Eric J. 1996. Child Psychopatology. New York: The Guilford Press.

Mash, Eric J. Barkley, Russell A. 2003. Child Psychopathology. 2nd edition. New York: The Guilford Press.

Mash, Eric J. Wolfe, David A. 2005. Abnormal Child Psychlogy. 3rd edition.USA: Wadsworth.

Mirenda, Pat. Iacono, Teresa. 2009. Autism Spectrum Disorder and AAC. USA: Paul H. Brookes Publishing Co.


(28)

Paul, Rhea , Ph.D., Prof. Yale Child Study Center. 2008. Interventions to Improve Communication. Child Adolesc Psychiatr Clin N Am. [31 November 2014] Rafika, Pungky. 2012. Pemanfaatan Lambang dalam Kegiatan Belajar Anak

Autistik. Jurnal Communicare. Vol. 5 No. 1. [1 Desember 2014]

Ringdahl, Joel E. Kopelman, Todd. Falcomata, Terry S. 2009. Applied Behavior Analysis and Its Application to Autism. Applied Behavior Analysis for Children with Autism Spectrum Disorders and Autism Related Disorders. (Diakses pada tanggal 1 Desember 2014)

Sattler, Jerome M. 2002. Assessment of Children. 4th edition. California: Jerome M. Sattler, Publisher, Inc.

Sibarani, RMH. 2014. Perbandingan Akurasi Diagnostik antara Cognitive Performance Scale dan Mini Mental State Examination terhadap General Practioner Assessment of Cognition untuk Menilai Fungsi Kognitif pada Usia Lanjut. Medan: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / RSUP H. Adam Malik.

Soetjiningsih. 1995. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta : EGC.

Wenar, Charles. Kerig, Patricia. 2011. Developmental Psychopathology: From Infancy Through Adolescence. 5th edition. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc.

Woolfolk, Anita. 2004. Educational Psychology. 9th edition. USA: Pearson Education,Inc.


(29)

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR RUJUKAN

http://kesehatan.kompasiana.com/ibu-dan-anak/2011/08/16/epidemiologi-autisme-388566.html [25 Agustus 2014]

Handayani, R.N. Murniati. 2014. Pengaruh Terapi Visual Teknik Picture Exchange Communicatioin (PECS) terhadap Kemampuan Bahasa Reseptif dan Ekspresif pada Anak Autisme di SD Purba Adhi Suta Purbalingga. Semarang: Universitas Muhammadiyah.


(1)

130

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil yang diperoleh melalui pengolahan data Peningkatan Komunikasi Ekspresif melalui PECS pada Anak dengan Autisme di SLB “X” Bandung, diperoleh hasil sebagai berikut:

1. Komunikasi ekspresif pada anak dengan autisme di SLB “X” Bandung dalam cara yang dapat dipahami oleh orang lain meningkat melalui pemberian PECS.

2. Reinforcement berupa makanan atau mainan yang disukai anak autis turut

berpengaruh terhadap kemudahan anak autisme dalam mempelajari PECS. 3. Pengulangan yang dilakukan dalam mempelajari PECS menyebabkan

perilaku yang diajarkan selama treatment dapat tersimpan dalam long-term memory dan dilakukan kembali.

5.2 Saran

Berdasarkan pembahasan hasil yang telah dijabarkan pada bab sebelumnya, dapat diajukan beberapa saran, yaitu:

5.2.1 Saran Teoritis

Untuk peneliti yang berminat melakukan penelitian lebih lanjut disarankan: 1. Untuk mengontrol confounding variable pada responden, seperti tingkat


(2)

131

2. Untuk memastikan reinforcement yang digunakan efektif bagi subyek penelitian.

5.2.2 Saran Praktis

1. Untuk SLB “X”, teknik PECS dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk diberikan kepada anak autisme guna memfasilitasi anak autisme dalam melakukan komunikasi agar dapat dipahami oleh orang lain. Selain itu, pihak SLB “X” juga dapat memberikan pelatihan mengenai PECS bagi orangtua yang memiliki anak autisme yang terhambat dalam berkomunikasi secara verbal agar orangtua dapat mengajarkan anak mereka menggunakan PECS sebagai media untuk berkomunikasi dengan orang lain.

2. Untuk terapis atau praktisi yang menangani anak dengan autisme, teknik PECS dapat digunakan sebagai salah satu alternatif untuk memfasilitasi anak autisme, khususnya anak autisme non verbal, dalam melakukan komunikasi dengan orang lain sehingga maksud yang hendak disampaikan anak autis dapat dipahami.


(3)

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha DAFTAR PUSTAKA

American Psychiatric Association. 2013. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder. USA: APA.

Charlop-Christy, Marjorie H., Carpenter, Michael and Le, Loc., Leblanc, Linda A., and Kellet, Kristen, 2002. Using The Picture Exchange Communication System (PECS) with Children With Autism: Assessment of PECS Acquisition, Speech, Social-communicative Behavior, and Problem Behavior. Journal of Applied Behavior Analysis. [7 November 2014]

Cherry, K. A. 2005. Operant conditioning. [12 Januari 2015]

Collet-Klingenberg, L. (2008). PECS: Steps for implementation. Madison, WI: The National Professional Development Center on Autism Spectrum Disorders, The Waisman Center, The University of Wisconsin.

Coyne, David. 2014. Augmentative and Alternative Communication (AAC): Guidelines for Speech Pathologists who Support People with a Disability. [14 Desember 2014]

Duffy, 2011. Spontaneous communication in autism spectrum disorder: A review of topographies and interventions. Research in Autism Spectrum Disorders 5. [14 Desember 2014]

Ganz, Jennifer B. Simpson, Richard L. Effects on Communicative Requesting and Speech Development of the Picture Exchange Communication System in Children With Characteristics of Autism. Journal of Autism and Developmental Disorders, Vol. 34, No. 4, August 2004. [28 Oktober 2015]


(4)

Graziano, Anthony M. Raulin, Michael L. 2000. Research Methods: A Process of Inquiry. USA: Allyn & Bacon A Pearson Education Company.

Kai-Chien Tien, 2008. Effectiveness of the Picture Exchange Communication System as a Functional Communication Intervention for Individuals with Autism Spectrum Disorders: A Practice-Based Research Synthesis. Education and Training in Developmental Disabilities. [23 Oktober 2014]

Lenawaty, Veva. 2010. Efek Penerapan Compic terhadap Kemampuan Komunikasi Anak Autis nonverbal. Jakarta: Universitas Tarumanegara.

Maddeppungeng, Martira. Soedjatmiko. 2007. Penilaian Early Language Milestone Scale 2 (Elm Scale 2) Pada Anak dengan Keterlambatan Bicara. Sari Pediatri, Volume 9, No. 2. [14 Januari 2015]

Malhotra, Shahzadi. Rajender, Gaurav. Bhatia, Manjeet S. Singh, Tej B., 2010. Effects of Picture Exchange Communication System on Communication and Behavioral Anomalies in Autism. Indian Journal Psychological Medicine. [17 November 2014]

Mash, Eric J. 1996. Child Psychopatology. New York: The Guilford Press.

Mash, Eric J. Barkley, Russell A. 2003. Child Psychopathology. 2nd edition. New York: The Guilford Press.

Mash, Eric J. Wolfe, David A. 2005. Abnormal Child Psychlogy. 3rd edition.USA: Wadsworth.

Mirenda, Pat. Iacono, Teresa. 2009. Autism Spectrum Disorder and AAC. USA: Paul H. Brookes Publishing Co.


(5)

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

Paul, Rhea , Ph.D., Prof. Yale Child Study Center. 2008. Interventions to Improve Communication. Child Adolesc Psychiatr Clin N Am. [31 November 2014] Rafika, Pungky. 2012. Pemanfaatan Lambang dalam Kegiatan Belajar Anak

Autistik. Jurnal Communicare. Vol. 5 No. 1. [1 Desember 2014]

Ringdahl, Joel E. Kopelman, Todd. Falcomata, Terry S. 2009. Applied Behavior Analysis and Its Application to Autism. Applied Behavior Analysis for Children with Autism Spectrum Disorders and Autism Related Disorders. (Diakses pada tanggal 1 Desember 2014)

Sattler, Jerome M. 2002. Assessment of Children. 4th edition. California: Jerome M. Sattler, Publisher, Inc.

Sibarani, RMH. 2014. Perbandingan Akurasi Diagnostik antara Cognitive Performance Scale dan Mini Mental State Examination terhadap General Practioner Assessment of Cognition untuk Menilai Fungsi Kognitif pada Usia Lanjut. Medan: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / RSUP H. Adam Malik.

Soetjiningsih. 1995. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta : EGC.

Wenar, Charles. Kerig, Patricia. 2011. Developmental Psychopathology: From Infancy Through Adolescence. 5th edition. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc.

Woolfolk, Anita. 2004. Educational Psychology. 9th edition. USA: Pearson Education,Inc.


(6)

DAFTAR RUJUKAN

http://kesehatan.kompasiana.com/ibu-dan-anak/2011/08/16/epidemiologi-autisme-388566.html [25 Agustus 2014]

Handayani, R.N. Murniati. 2014. Pengaruh Terapi Visual Teknik Picture Exchange Communicatioin (PECS) terhadap Kemampuan Bahasa Reseptif dan Ekspresif pada Anak Autisme di SD Purba Adhi Suta Purbalingga. Semarang: Universitas Muhammadiyah.


Dokumen yang terkait

MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MEMINTA PADA ANAK AUTIS Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Meminta Pada Anak Autis Melalui Media PECS (Picture Exchange Communication System).

0 1 19

PENDAHULUAN Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Meminta Pada Anak Autis Melalui Media PECS (Picture Exchange Communication System).

0 2 13

DAFTAR PUSTAKA Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Meminta Pada Anak Autis Melalui Media PECS (Picture Exchange Communication System).

0 3 4

MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MEMINTA PADA ANAK AUTIS MELALUI MEDIA PECS Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Meminta Pada Anak Autis Melalui Media PECS (Picture Exchange Communication System).

1 5 24

APLIKASI MULTIMEDIA METODE PECS (PICTURE EXCHANGE COMMUNICATION SYSTEM) UNTUK MENGEMBANGKAN KECAKAPAN KOMUNIKASI ANAK ASD (AUTISME SPECTRUM DISORDER).

2 17 78

EFEKTIFITAS METODE PICTURE EXCHANGE COMMUNICATION SYSTEM (PECS) TERHADAP PENINGKATAN PENGUASAAN KOSAKATA ANAK TUNARUNGU KELAS 1 DI SLB-B YRTRW SURAKARTA TAHUN PELAJARAN 2014/2015.

1 5 18

EFEKTIVITAS METODE PECS (PICTURE EXCHANGE COMMUNICATION SYSTEM) FASE I-IV TERHADAP KEMAMPUAN KOMUNIKASI EKSPRESIF PADA ANAK AUTIS KELAS 1 SDLB DI SEKOLAH LUAR BIASA NEGERI 1 BANTUL.

6 35 180

metode PECS (Picture Exchange Communication System) untuk meningkatkan kecakapan komunikasi anak autis

0 0 15

Aplikasi Multimedia Pembelajaran Metode PECS (Picture Exchange Communication System) untuk Membantu Perkembangan Komunikasi dan Interaksi Anak Autis

0 0 10

PENGARUH PECS (PICTURE EXCHANGE COMMUWCA TZON SYSTEM) TERHADAP KOMUNIKASI ANAK AUTISTLK

0 0 91