HIBAH HARTA PENINGGALAN ISTRI PERTAMA OLEH SUAMI KEPADA ISTRI KEDUA DIHUBUNGKAN DENGAN KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN.
HIBAH HARTA PENINGGALAN ISTERI PERTAMA OLEH SUAMI KEPADA
ISTERI KEDUA DIHUBUNGKAN DENGAN KOMPILASI HUKUM ISLAM
DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG
PERKAWINAN
Perbuatan hukum hibah mempunyai arti dan peristiwa yang berbeda
dan sekilas tampaknya begitu tidak penting apabila dilihat dari perbuatan
hukum dan peristiwanya sendiri. Meskipun tampaknya tidak penting tetapi
apabila pelaksanaanya tidak dilakukan dengan cara-cara yang benar dan
menguatkan sebagai bukti tentang peristiwa hukum tersebut maka akan
dapat menimbulkan hal-hal yang tidak diharapkan. Dalam masyarakat kerap
terjadi penghibahan yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku. Salah
satunya ialah penghibahan harta peninggalan isteri pertama oleh suami
kepada isteri kedua. Penghibahan tersebut merugikan pihak-pihak yang
sebenarnya berhak atas harta yang dihibahkan tersebut. Tujuan dari
penelitian ini ialah untuk mengetahui keabsahan dari penghibahan tersebt
dan memberikan kepastian hukum.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian pendekatan yuridis
normatif dengan spesifikasi penelitian bersifat deskriptif analitis. Teknik
pengumpulan data yang digunakan pada skripsi ini ialah studi kepustakaan
(library research) guna mendapatkan data sekunder yang berupa bahan
hukum primer maupun sekunder dan wawancara yang dianalisis secara
yuridis kualitatif guna menjawab rumusan masalah.
Hibah harta peninggalan isteri pertama oleh suami kepada isteri kedua
menurut Kompilasi Hukum Islam adalah tidak sah Hal ini didasarkan pada
Pasal 87 ayat (2) KHI dan Pasal 210 ayat (2) KHI. Dari kedua pasal tersebut
diketahui bahwa dalam sebuah perkawinan, untuk harta bawaan menjadi hal
masing-masing suami maupun isteri, serta dalam melakukan suatu hibah,
harta yang dihibahkan harus milik dari penghibah dengan kata lain bukan hak
orang lain. Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan tidak diatur secara jelas mengenai hibah. Berdasarkan Pasal 66
Undang-Undang Perkawinan maka memakai Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, penghibahan ini
tidak sah karena tidak memenuhi syarat-syarat hibah. Akibat hukum dari
harta peninggalan isteri pertama yang dihibahkan kepada isteri kedua oleh
suami adalah penghibahan tersebut batal. Ahli waris yang dirugikan dapat
mengajukan pembatalan hibah dan juga penarikan harta yang telah
dihibahkan tersebut. Pada Pasal 20 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam
dinyatakan bahwa harta benda yang dihibahkan harus merupakan hak dari
penghibah.
ISTERI KEDUA DIHUBUNGKAN DENGAN KOMPILASI HUKUM ISLAM
DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG
PERKAWINAN
Perbuatan hukum hibah mempunyai arti dan peristiwa yang berbeda
dan sekilas tampaknya begitu tidak penting apabila dilihat dari perbuatan
hukum dan peristiwanya sendiri. Meskipun tampaknya tidak penting tetapi
apabila pelaksanaanya tidak dilakukan dengan cara-cara yang benar dan
menguatkan sebagai bukti tentang peristiwa hukum tersebut maka akan
dapat menimbulkan hal-hal yang tidak diharapkan. Dalam masyarakat kerap
terjadi penghibahan yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku. Salah
satunya ialah penghibahan harta peninggalan isteri pertama oleh suami
kepada isteri kedua. Penghibahan tersebut merugikan pihak-pihak yang
sebenarnya berhak atas harta yang dihibahkan tersebut. Tujuan dari
penelitian ini ialah untuk mengetahui keabsahan dari penghibahan tersebt
dan memberikan kepastian hukum.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian pendekatan yuridis
normatif dengan spesifikasi penelitian bersifat deskriptif analitis. Teknik
pengumpulan data yang digunakan pada skripsi ini ialah studi kepustakaan
(library research) guna mendapatkan data sekunder yang berupa bahan
hukum primer maupun sekunder dan wawancara yang dianalisis secara
yuridis kualitatif guna menjawab rumusan masalah.
Hibah harta peninggalan isteri pertama oleh suami kepada isteri kedua
menurut Kompilasi Hukum Islam adalah tidak sah Hal ini didasarkan pada
Pasal 87 ayat (2) KHI dan Pasal 210 ayat (2) KHI. Dari kedua pasal tersebut
diketahui bahwa dalam sebuah perkawinan, untuk harta bawaan menjadi hal
masing-masing suami maupun isteri, serta dalam melakukan suatu hibah,
harta yang dihibahkan harus milik dari penghibah dengan kata lain bukan hak
orang lain. Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan tidak diatur secara jelas mengenai hibah. Berdasarkan Pasal 66
Undang-Undang Perkawinan maka memakai Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, penghibahan ini
tidak sah karena tidak memenuhi syarat-syarat hibah. Akibat hukum dari
harta peninggalan isteri pertama yang dihibahkan kepada isteri kedua oleh
suami adalah penghibahan tersebut batal. Ahli waris yang dirugikan dapat
mengajukan pembatalan hibah dan juga penarikan harta yang telah
dihibahkan tersebut. Pada Pasal 20 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam
dinyatakan bahwa harta benda yang dihibahkan harus merupakan hak dari
penghibah.