Hilangnya Peran Perguruan Tinggi.

Pikirail

Rakyat
o
e

o Sen;n o Selasa0 Rabu0 Kam;s. Jumat
123
17

OJan

18

19
OPeb

4

20


5

21

6

7
22

8
23

9

24

OMa, OAp, o Me; OJun

10


12

25

OJul

0

13

27

26

0

Sabtu

o Sep OOkt


Ags.

KONTROVERSI status Badan Hukum Pendidikan (BHP) dan
Badan Hukum Milik Negara (BHMN) masih meJ1iadi wacana
dalam dunia pendidikan tinggi kita, termasuk kesan adanya rivalitas antara perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan .
tinggi swasta (PTS). Untuk membedah persoalan tersebut, laporan akhir tahun bidang pendidikan tinggi merangkumnya dalam beberapa tulisan. Di halaman satu dimuat tulisan pengamat
pendidikan Darmaningtyas (Hilangnya Peran PT), serta dua tulisan lain di halaman 26 (Rivalitas PT-PTS dan Label Bernama
"World Class University").

Redaksi

P

-

---

Kliping
--


Humas

program ekstensi dan diploma. Program ekstensi dan
diploma awalnya baru dijalankan oleh beberapa PTN saja.
Mulai pertengahan kedua
dekade 1990-an, hampir seluruh PTN di Indonesia mengembangkan program ekstensi dan politeknik (diploma) dalam berbag~i bidang.
Pembukaan kedua program
itu secara otomatis memperbesar daya tampung PTN dan
(Bersambung

Unpad

14

28

Hilangnya Peran
Perguruan Tinggi

ERGURUAN tinggi

swasta (PTS) Indonesia sebetulnya pernah
mengalami masa kejayaan,
yaitu pada dekade 198o-an
sampai paruh pertama dekade 1990-an. Kejayaan pada
waktu itu ditopang oleh dua
halo Pertama, ekonomi nasional sejak Pelita III mulai stabil, bahkan tumbuh secara
mengesankan sehingga melahirkan banyak orang kaya baru yang membutuhkan pendidikan tinggi lebih baik, di sisi
lain daya tampung perguruan
tinggi negeri (PTN) masih terbatas. Faktor kedua, PTN masib fokus pada pengembangan
program inti (pembelajaran,
penelitian, dan pengabdian
pada masyarakat) belum melakukan ekspansi pada program-program yang sifatnya
pragmatis seperti pembukaan

Mlnggu

ke halo 6 kol. 1)

2009
----


15
29

16
30

31

0 Nav . Des

Hilangnya Peran
(Sambungan dari halo1 kol. 7)
sekaligus memberikan alternatif pilihan lebih banyak kepada masyarakat untuk menyekolahkan anaknya di PTN.
Masyarakat merasa lebih
mantap masuk ke program
ekstensi maupun diploma
PTN daripada masuk ke PTS,
termasuk yang sudah ngetop
sekalipun. Apalagi birokrasi

pendidikan tinggi waktu itu
memang masih kurang mendukung pada kemandirian
PTS, terutama menyangkut
soal Ujian Negara.
Persoalan status PT tempat
kuliah itu jangan dianggap remeh, karena menyangkut soal
psikologi massa. Massa pada
saat itu (bahkan sampai sekarang) lebih bangga mengatakan kuliah di PTNjPerguruan
Tinggi Badan Hukum Milik
Negara (BHMN) daripada
mengatakan kuliah di PTS.
Psikologi massa seperti itulah
yang menyebabkan seluruh
program di PTN kebanjiran
peminat, sementara di sisi
lain PTS mengalami penurunan peminat dari tahun ke tahun secara sistematis dan terus-menerus.
Berbagai langkah atau strategi telah dilakukan oleh para
pengurus yayasan untuk menyelamatkan PTS-nya tersebut, di antaranya adalah proaktif dengan promosi ke sekolah-sekolah yang dipandang
potensial sebagai pemasok caIon mahasiswa baru, melakukan sistem ijon ke sekolah-sekolah dengan cara memberikan beasiswa murid SMTA
(SMAjSMK) yang pintar dengan kompensasi setelah luIus melanjutkan ke PTS yang

bersangkutan, serta mempercantik diri dengan bangunan
gedung yang mewah, dUoMeskipun demikian, semuanya
itu tidak mengubah keadaan,
minat masyarakat untuk masuk ke PTS tetap turun, termasuk ke PTS-PTS yang sudah mapanjngetop.
Dampak

reformasi
politik
Pascareformasi politik (21
Mei 1998) tantangan PTS makin berat lagi. Sebab, reformasi politik tersebut juga
membawa perubahan pada
tatanan pendidikan nasional.
Pada tingkat PTN, pemerintah memprivatisasi empat
PTN (UI, UGM, IPB, dan ITB)
menjadi Badan Hukum Milik
Negara (BHMN). Dengan
menjadikan besaran rupiah
yang mampu dibayarkan oleh
para calon mahasiswa
---" baru


-

sebagai dasar penerimaan,
memungkinkan orang-orang
kaya tapi bodoh yang sebelumnya tidak tembus kuliah
di keempat PTN tersebut, sekarang terbukajalan lebar
untuk masuk k~ sana. Sebelumnya, mereka 1tu masuk ke
PTS-PTS papan atas. Perpindahan mereka dari PTS papan atas ke PT BHMN dengan
sendirinya membawa dua
dampak sekaligus kepada
PTS, yaitu berkurangnya caIon mahasiswa itu sendiri dan
pendapatan dari calon mahasiswa kaya.
Setelah reformasi, pemerintahjuga mengizinkan pengembangan program keIja
sarna PT negeri dengan PT luar negeri dalam bentuk program gelar ganda (dual degree). KeIja sarna tersebut tidak hanya untuk PT BHMN,
tetapi semua PTN dan PTS
yang mampu didorong untuk
mengambillangkah yang sarna. Hanya, karena PT BHMN
lebih menang infrastruktur
maupun suprastruktur, maka

program dual degree di PT
BHMN tentu lebih banyak diminati oleh masyarakat daripada PTN lain apalagi PTS.
Dengan demikian, meskipun
beberapa PTS mencoba mengembangkan dual degree,
tidak secara otomatis mampu
mengangkat pamor mereka
untuk bangkit. Jelaslah di sini
bahwa kebijakan-kebijakan
dalam bidang pendidikan
tinggi pascareformasi itu pada akhimya justru semakin
melemahkan posisi PTS, baik
secara kuantitatif maupun
kualitatif.
Solusi yang sering ditawarkan oleh pemerintah, dalam
hal ini Departemen Pendidikan Nasional melalui Kopertis
setempat adalah agar PTSPTS yang terancan mati itu
digabung (merger) dengan
sesama PTS yang mengalami
nasib sarna atau lebih baik.
Tawaran ini mudah diucapkan tetapi sulit dilaksanakan,

mengingat merger itu memiliki implikasi ekonomi, sosial,
politik, dan budaya, terutama
menyangkut hak-hak kedua
belah pihak. Selalu ada ketidakrelaan dari masing-masing pihak untuk saling menyerahkan harta kekayaan
PTS yang bersangkutan bagi
kepentingan bersama. Ketidakrelaan itujuga menyangkut soaljabatan yang melekat
dalam dirinya. Tidak sedikit
orang yang merasa bangga
menjadi- raja di~"",--negeri yang

-

akan roboh daripada menjadi
menteri di negeri yang kuat.
Artinya, kadang orang lebih
bangga dikenal sebagai rektor
di PTS yang mau bangkrut
Ifaripadajadi dekan, apalagi
dosen biasa di PTS yang digabung tersebut. Mental block
inilah yang sering menjadi
kendala untuk merger antarsesama PTS.
Solusi lain yang sering datang dari para pengelola PTS

adalah minta dinegerikan.

.

Fenomena penegerian PTS
menjadi PTN itu diawali dengan penegerian Universitas
Trunojoyo (Madura) dan Universitas Tirtayasa (Banten),
kemudian diikuti oleh beberapa PTS lain yang belakangan cukup marak, termasuk
penegerian Universitas Siliwangi dan Unswagati Cirebon.
Bagaimana nasib perkembangan PT ke depan setelah
diberlakukannya UndangUndang Badan Hukum Pendidikan (UD BHP)? PTN, terutama PT BHMN tentu saja
tetap akan lebih eksis daripada PTN non-BHMN. Sedangkan PTS yang akan mampu
bertahan tinggal PTN papan
atas saja yang sekarang secara manajemen sudah stabil.
PTS- PTS gurem akan gulung
tikar. Dengan kebijakan bantuan pemerintah yang sifatnya hibah (mengikat), baik
untuk PTN maupun PTS,
akan membuat manajemen
PT di Indonesia akan lebih sibuk mengurusi persoalanpersoalan manajerial dan kurang perhatian terhadap misi
utama mendidik calon-calon
saIjana yang memiliki pro fesionalitas, komifmen, integritas, dan tanggungjawab yang
besar untuk kemanusiaan.
Melihat praksis pendidikan
di PT BHMN sekarang ini, sejujurnya, saya merasa cemas
bahwa ke depan, kesibukan
PT kita, baik negeri maupun
swasta adalah kesibukan manajerial untuk survive semata. Bukan kesibukan untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan, dan peradaban bangsa.
Padahal, itulah sebetulnya
tugas utama perguruan tinggi, terlebih bila berbentuk
universitas yang mempunyai
tugas mencari kebenaran.
Ketika PT telah teIjebak pada
kesibukan untuk survive itulah, maka tamat sudah riwayat perguruan tinggi nasional, kecuali hanya untuk mereproduksi para saIjana baru
yang siap melayani kepentingan kapitalisme global.
(Darmaningtyas:
pengamat pendidikan)***