Tantangan dalam Melestarikan Sistem Subak sebagai Warisan Budaya Dunia di Bali.

TANTANGAN DALAM MELESTARIKAN SISTEM SUBAK SEBAGAI WARISAN
BUDAYA DUNIA DI BALI
I Nyoman Norken1, I Ketut Suputra2 dan I Gusti Ngurah Kerta Arsana3
1

Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Udayana
Email:inorken@yahoo.co.uk
2
Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Udayana
Email: suputra.rais@yahoo.com
3
Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Udayana
Email: kerta.arsana@yahoo.co.id

ABSTRAK
Subak, yang merupakan sistem irigasi tradisional di Bali, telah dianugerahi status Warisan Budaya
Dunia dari UNESCO. Keberadaan subak di Bali diperkirakan sebelum abad ke IX dan sejak saat itu
subak telah berhasil menjaga keberlangsungan tradisi pengelolaan sumber daya air untuk keperluan
irigasi dan UNESCO telah menetapkan subak sebagai Situs Warisan Dunia pada tahun 2012. Walaupun
subak sangat dikenal dalam hal pengeloaan sistem irigasi dan keindahan alamnya, namun ada indikasi
subak sangat mengkhawatirkan akan keberlanjutannya. Kondisi subak saat ini sebagian cukup

mempihatinkan antara lain: kondisi jaringan dan bangunan sebagian masih dalam keadaan rusak,
keterbatasan dalam pemeliharaan baik dari pemerintah maupun petani, organisasi subak masih berjalan
cukup baik, namun sejak tahun 2000an, Sedahan maupun Sedahan Agung sebagai aparat pemerintah
pembina subak tidak jelas keberadaanya. Ritual keagamaan tersebut hingga saat ini masih terus
dilaksanakan oleh para anggota dan prajuru/pengurus subak, walaupun rangkaian, jenis dan besarnya
ritual sangat berbeda atara satu subak dengan subak yang lain. Tantangan dalam pelestarian subak dimasa
yang datang meliputi: penyusutan area subak yang terjadi akibat alih fungsi lahan, para petani tidak
mampu hidup layak bila menggantungkan hidup dari pertanian karena kepemilikan lahan yang sempit,
menurunnya kuantitas dan kualitas sumber daya air akibat kerusakan hutan dan kawasan hulu serta
pencemaran, usia para petani anggota subak rata-rata di atas 40 tahun, beban finansial yang dipikul petani
sangat berat, tidak jelasnya regulasi ditingkat nasional sejak dicabutnya UU 7 tahun 2004 tentang Sumber
Daya Air berserta peraturan pelaksanaannya. Langkah strategis yang harus dilakukan dalam menjaga
keberlanjutan subak antara lain: nama dan fungsi sedahan dan dan sedahan agung sebagai wadah
koordinasi pengelola subak dari unsur pemerintah perlu dikembalikan melalui peraturan daerah,
dukungan pemerintah masih terus diperlukan dalam upaya meringankan beban finansial subak, fasilitasi
kemitraan antara subak dengan stakeholders lain, alternatif komuditas diluar padi yang mempunyai nilai
ekonomis yang tinggi, mencegah dan memperbaiki kerusakan kawasan hulu (kawasan hutan dan
kawasan budidaya) serta mengendalikan pencemaran sumber daya air, pembentukan wadah koordinasi
penelolaan sumber daya air baik ditingkat provinsi, kabupaten/kota maupun pada tingkat daerah aliran
sungai, membangun sistem informasi subak yang ada di seluruh Bali, menyediakan mekanisme

pembinaan lembaga subak dan mendorong para akademisi untuk menjadikan subak sebagai tempat untuk
melakukan aktivitas pelaksanaan tri dharma perguruan tinggi.
Kata kunci: subak, warisan dunia, pelestarian, tantangan, langkah strategis.

1.

PENDAHULUAN

Subak sebagai sistem irigari yang sudah berumur sangat lama dan masih dapat beradaptasi dan berfungsi
dengan baik hingga saat ini. Hal ini tidak lepas dari konsep subak yang berbasis konsep yang sangat erat dengan
tradisi dan budaya masyarakat Bali yang didasarkan dengan tradisi agama Hindu dan diwariskan scara turun
menurun. Subak merupakan organisasi petani yang mengelola air untuk para anggotanya. Keberadaan subak
sebagai lembaga irigasi tradisional bercorak sosio religius dengan dilandasi oleh jiwa dan semangat gotong
royong yang tinggi (Suputra, 2008). Subak, merupakan sistem irigasi tradisional di Bali, telah dianugerahi
status Warisan Budaya Dunia dari UNESCO. Keberadaan subak di Bali diperkirakan sebelum abad ke IX dan
sejak saat itu subak telah berhasil menjaga keberlangsungan tradisi pengelolaan sumber daya air untuk
keperluan irigasi. UNESCO telah menetapkan subak dalam daftar Situs Warisan Dunia pada 29 Juni 2012, hal
ini merupakan pencapaian Indonesia dan masyarakat Bali setelah mendaftarkan dan terus memperjuangkan
subak sebagai warisan tangible dan intagible di UNESCO selama 12 tahun (Ukirsari, 2012). Dalam pernyataan
The World Heritage Committee (2015) menguraikan tentang World Heritage Property Cultural Landscape of

Bali Province: the Subak System as a Manifestation of the Tri Hita Karana Philosophy (Situs Warisan Dunia

Lanskap Budaya Provinsi Bali: Sistem Subak sebagai sebuah manifestasi filosofi Tri Hita Karana). Subak
mencerminkan konsep filosofis Tri Hita Karana, yang menjaga keharmonisan hubungan antara manusia dengan
Tuhan, manusia dengan manusia lainnya serta manusia dengan alam sekitarnya. Filosofi ini lahir dari
pertukaran budaya antara Bali dan India selama 2.000 tahun dan telah membentuk lanskap Bali. Pengelolaan air
yang telah berjalan secara demokratis untuk irigasi (sawah) dalam waktu yang sangat lama telah menjadikan
Pulau Bali sebagai salah satu pulau penghasil beras di Indonesia, walaupun dalam kenyataannya bahwa Pulau
Bali mempunyai penduduk yang sangat padat. Walaupun subak sangat dikenal di Indonesia bahkan di dunia
dalam hal pengeloaan sistem irigasi dan keindahan alamnya yang sangat baik, namun beberapa pengamat dan
peneliti tentang subak sangat mengkhawatirkan akan keberlanjutan dan keberadaan subak yang ada saat ini,
diantaranya Finlayson dan Paramita (2013) yang mengutif pernyataan Stave Lansing yang merupakan peneliti
subak sejak tahun 1974 yang menyatakan bahwa akibat berkurangnya luas lahan subak yang cukup besar dari
tahun ketahun akibat alih fungsi, maka akan memberikan tekanan bagi sistem subak yang telah dikelola secara
terpadu dan akan memberikan beban bagi sistem subak yang ada. Apabila tidak ada langkah yang dilakukan,
sementara laju alih fungsi lahan subak berlangsung secara terus menerus maka akan dikhawatirkan subak akan
mengalami kehancuran. Sementara Sukita (2014) yang mengutif pernyataan Prof. Dr. I Wayan Windia yang
merupakan Kepala Pusat Studi Subak Universitas Udayana, yang tidak jauh berbeda dengan pendapat Stave
Lansing, menguraikan bahwa menyusutnya lahan pada wilayah subak akibat tingginya penjualan oleh para
pemiliknya, hal ini merupakan konsekuensi dari pengaruh globalisasi yang dicirikan oleh komersialisme,

materialisme serta kapitalisme. Akibat dari penyusutan lahan sawah secara terus menerus Prof Windia
mengkhawatirkan apakah "Subak dan sistem pertanian yang merupakan landasan dan bagian integral dari
kebudayaan Bali, jika subak, pertanian, dan sawah sudah hancur (tidak ada), apakah kebudayaan Bali masih
akan tersisa? Dengan begitu cepatnya perubahan yang terjadi dalam sistem subak dalam beberapa dekade
belakangan ini, makalah ini mencoba untuk menelaah tantangan dan beberapa langkah yang perlu dilakukan saat
ini dan dimasa yang akan datang agar subak sebagai situs warisan dunia sedapat mungkin dapat dipertahankan
keberlanjutannya.

2.

KONSISI SUBAK SAAT INI

Sebagai satu sistem irigasi, walaupun subak merupakan sistem irigasi tradisional yang pengelolaannya telah ada
secara turun temurun, hingga saat ini subak sebagai pengelola irigasi di Bali secara umum masih berjalan
dengan baik, termasuk di wilayah perkotaan seperti Kota Denpasar, walaupun kenyataannya luas lahan
perwasahan yang merupakan wilayah subak terus terjadi penyusutan. Beberapa hal berkaitan dengan kondisi
subak saat secara umum dapat diuraikan sebagai berikut:
1) Jaringan dan Bangunan Air.
Walaupun subak merupakan sistem irigasi tradisional, namun jaringan dan bangunan air pada sistem subak
tidak jauh berbeda dengan sistem irigasi teknis yang ada saat ini, menurut Sumarta, 1992, dalam Suputra

(2008), jaringan pada sistem subak meliputi:
Empelan atau sering juga disebut dam merupakan bangunan peninggi muka air (bendung), bungas
(intake/bangunan pengambilan). Telabah (saluran) yang terdiri atas: telabah gede (saluran primer), telabah
pemaron (saluran sekunder), telabah cerik (saluran tersier), talikunda (saluran kuarter/cacing), pengutangan
(saluran pembuangan), telabah dapat berupa aungan (terowongan) apabila saluran menembus perbukitan.
Tembuku (bangunan bagi) terdiri dari: tembuku aya (bangunan bagi primer), tembuku pemaron (bangunan
bagi sekunder) dan tembuku cerik (bangunan bagi tersier). Bangunan pelengkap terdiri dari: abangan
(talang), pekiuh (bangunan pelimpah samping), petaku (bangunan terjun), jengkuwung (gorong-gorong),
keluwung (urung-urung), titi (jembatan) dan telepus (syphon). Subak juga diengkapi dengan parahyangan
(tempat ibadah) antara lain: pura bedugul/pura subak umumnya pada setiap subak, pura ulun empelan pada
bangunan bendung (empelan).
a. Kondisi Jaringan dan Bangunan Air.
Kondisi jaringan subak umumnya sebagian dalam kondisi ruska dan sebagian dalam kondisi baik,
seperti diuraikan oleh Yuswari (2010), menyatakan bahwa banyaknya jaringan yang rusak dan tidak
berfungsi pada subak-subak di wilayah Daerah Irigasi Mambal menuntut perhatian pemerintah daerah
yang lebih serius terhadap penyediaan pendanaan dalam kegiatan Operasi dan Pemeliharaan (OP)
jaringan irigasi serta pembiayaan kegiatan ritual subak. Hal ini dipandang penting mengingat
keberlanjutan sistim irigasi sangat didukung oleh kesiapan fungsi prasarana irigasinya. Sementara
Norken dkk (2012) menyatakan bahwa tingkat kerusakan jaringan irigasi umumnya masih dalam
katagori ringan, walaupun jaringan yang mempunyai kondidsi baik juga sebagian masih ada kerusakan

dengan kategori ringan yang memerlukan perbaikan. Jaringan yang mempunyai tingkat kerusakan yang
tergolong berat hanya terdapat pada saluran pembuang karena seluruhnya dalam kondisi rusak, selain
itu Norken dkk (2015) menambahkan kondisi jaringan irigasi sebagian berupa saluran tanah/alam dan
sebagian saluran terbuat pasangan batu kali. Sebagian jaringan masih dalam kondisi rusak diakibatkan
keterbatasan kemampuan pemerintah dan masyarakat petani dalam melakukan pemeliharaan.

b. Pemeliharaan Jaringan dan Bangunan.
Pemeliharaan jaringan dan bangunan irigasi dilakukan oleh pemerintah dan partisipasi masyarakat
petani para naggota subak. Semasa berlakunya Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor
20 tahun 2006 yang merupakan turunan dari Undang Undang 7 tahun 2004 tetntang Sumber Daya Air
yang telah dicabut pada Februari 2015, menjelaskan tentang wewenangan dan tanggung jawab
Pemerintah dan Pemerintah Daerah dengan ketentuan : Daerah Irigasi dengan luas diatas 3000 ha
menjadi wewenang dan tanggung jawab Pemerintah, Daerah Irigasi antara 1000 ha – 3000 ha
kewenangan Pemerintah Provinsi dan Daerah Irigasi lebih kecil dari 1000 ha sepenuhnya menjadi
kewenangan dan tanggung jawab Pemerintah Kabupaten, sedangkan jika berada pada lintas kabupaten
maka menjadi tanggung jawab Pemerintah Provinsi. Jaringan tersier sepenuhnya merupakan tanggung
jawab organisasi petani (P3A) dalam hal ini adalah masyarakat petani (Wahyudi, dkk, 2015). Pada
masa berlakunya PP tersebut operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi subak, terutama yang
mempunyai tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota cukup berat, karena luas irigasi subak sebagian
besar kurang dari 1000 hektar, sementara kemampuan pemerintah untuk menyediakan biaya

pemeliharaan sangat kecil. Selanjutnya Wahyudi dkk (2015) menguraikan berdasarkan Peraturan
Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 32/PRT/M/2007 tentang Pedoman Pengoperasian dan pemeliharaan
Jaringan Irigasi, partisipasi Pemerintah meliputi: pemeliharaan rutin dengan merawat seluruh bangunan
irigasi guna mempertahankan kondisi sarana dan prasarana Jaringan Irigasi yang dilaksanakan secara
terus berkelanjutan tanpa ada bagian konstruksi yang diubah atau diganti, serta pemeliharaan berkala
adalah kegiatan merawat dan memperbaiki sarana dan prasarana jaringan irigasi yang dilaksanakan
secara berkala dan telah direncanakan oleh dinas yang membidangi Irigasi dan dapat bekerja sama
dengan Subak secara swakelola berdasarkan kemampuan masing – masing dan dapat pula dilaksanakan
secara kontraktual. Pada kenyataannya pemerintah telah melakukan tanggungjawab sesuai dengan
kewenangannya namun karena keterbatasan dana maka sebagian jaringan dan bangunan irigasi belum
sepenuhnya mampu dipelihara denga baik. Yuswari (2010) menguraikan pemerintah daerah harus
mengupayakan penyediaan dana pengelolaan irigasi di tingkat Kabupaten /Kota (DPIK), bahwa
pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban memberi dukungan dan bantuan DPIK kepada
lembaga pengelola irigasi (subak) dalam rangka mendukung kebijakan ketahanan pangan nasional.
Sejauh ini pemerintah provinsi Bali memang telah memberikan bantuan pendanaan kepada subak di
Bali secara rutin setiap tahunnya, namun pemanfaatan dana bantuan tersebut perlu diawasi sesuai
dengan peruntukannya. Oleh karena itu perlu ada kebijakan yang mengatur masalah besarnya bantuan
pendanaan, penetapan subak penerima bantuan, mekanisme distrbusi, alokasi peruntukan dan
sebagainya sehingga bantuan pendanaan ini dapat bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan bagi
para petani secara adil, merata dan berkelanjutan. Sementara para anggota subak melakukan

pemeliharaan jaringan irigasi subak melalui gotong royong, mengeluarkan iuran serta usaha lain
serperti pembutkan koperasi, pungutan pemelihara itik untuk bisa melakukan kegiatan pemeliharaan
seperlunya (Norken dkk, 2012 dan Norken dkk, 2015).
2) Organisasi.
Subak pada umumnya juga mempunyai struktur organisasi, walaupun sederhana tetapi cukup efektif dalam
mengatur kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh para petani anggota subak atau disebut kerama subak dan
pengurus disebut prajuru. Pitana (1993) menguraikan, untuk subak yang kecil cukup hanya dipimpin oleh
seorang ketua yang disebut kelihan subak atau pekaseh. Sedangkan untuk subak lebih besar maka prajuru
terdiri dari: Pekaseh (ketua). Petajuh (wakil ketua), tidak semua subak dilengkapi dengan wakil ketua.
Penyarikan atau juru tulis (sekretaris). Patengen atau juru raksa (bendahara). Kasinoman atau juru arah
(penyalur informasi) dan Saya (pembantu khusus), biasanya dipilih berkitan dengan kegiatan keagamaan.
Untuk subak yang sangat besar disebut subak gede, biasanya dilengkapi pekaseh gede dan wakil pekaseh
gede. Sementara organisasi subak yang mencakup seluruh dalam satu daerah aliras sungai (DAS) disebut
Subak Agung dan dipimpin oleh Pekaseh Subak Agung. Subak juga dapat dibagi-bagi lagi dengan bagianbagian yang lebih kecil yang disebut tempek dan dipimpin oleh kelihan tempek, kelihan tempek berada
dibawah pekaseh. Dimasa lalu pembinaan subak dilakukan oleh yang disebut Sedahan Yeh pada tingkat
kecamatan yang juga merupakan petugas pemungut pajak (dulu dinamakan IPEDA), sedangkan ditingkat
kabupaten pembinaan dilakukan oleh Sedahan Agung dan merupakan pembina teringgi dari subak, biasanya
langsung dijabat oleh Kepala Dinas Pendapatan Kabupaten. Salah satu peran yang paling menonjol dari
Sedahan dan Sedahan Agung adalah dalam mengatur pendistribusian air antar subak maupun antar
bangunan pengambilan air/bendung, umumnya para anggota subak sangat mematuhi keputusan Sedahan

dan Sedahan Agung dalam pengaturan air dan mereka sangat berwibawa dan disegani oleh para anggota
subak. Hingga saat ini organisasi subak masih berjalan cukup baik, namun sejak dicanangkannya
Pemerintahan Otonomi Daerah di tingkat Kabupaten pada tahun 2000an, Sedahan maupun Sedahan Agung
sebagai aparat pemerintah pembina subak tidak jelas keberadaanya (Norken, dkk, 2010).

3) Regulasi.
Regulasi atau peraturan yang mengatur subak secara internal disebut awig awig. Awig-awig adalah
peraturan yang mengatur berbagai kegiatan, organisasi, hak dan kewajiban anggota para subak tersebut.
Awig awig dapat diperluas dan ditambahkan dengan aturan tambahan , disebut pasuara (aturan tambahan.
Pasuara biasanya dilakukan untuk beradaptasi dengan perubahan yang mungkin terjadi untuk memenuhi
tuntutan para petani sebagai anggota subak. Sebagai aturan, awig awig terdiri dari Bab disebut Sarga dan
Bagian disebut Palet, dan Pasal disebut Pawos. Cakupan Awig Awig dari Subak meliputi: nama dan tempat,
prinsip-prinsip dasar, aturan keanggotaan, aturan aspek keagamaan, aturan aspek irigasi (persubakan),
pengaturan denda,perubahan awig awig dan bab penutup. Awig awig biasanya dijelaskan dan ditulis dalam
bahasa dan huruf Bali , meskipun belakangan ada evolusi awig awig ditulis dalam huruf Bali dan huruf
Latin dan disahkan oleh Unsur Pemerintah sebagai Pembina Subak di tingkat Pemerintah kabupaten/Kota.
Awig awig dapat ditambah dengan aturan tambahan yang disebut pasuara, sebagai tambahan aturan dalam
menyesuaikan dengan kondisi dan situasi yang berkembang. Tidak semua awig awig subak dibuat secara
tertulis dan disahkan oleh pihak berwenang, sebagian subak mencatat awig-awig secara sederhana atau
bahkan tidak tertulis, namun demikian awig-awig subak sesalu dihormati dan diikuti oleh para anggota

subak (Norken dkk, 2015). Selain awig-awig yang mengatur secara internal, pemerintah juga mengeluarkan
peraturan berkaitan dengan subak berupa Peraturan Daerah (Perda), seperti: Peraturan Daerah Provinsi Bali
No.02/PD/DPRD/1972 tentang Irigasi Daerah Provinsi Bali yang kemudian diperbaharui melalui Peraturan
Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2012 tentang Subak. Ditingkat nasional lembaga subak juga
mendapat pengakuan melalui Peraturan Pemerintah (PP) 20 tahun 2006 tentang Irigasi yang saat ini sudah
tidak berlaku dan belum mempunyai pengganti. Sementara di tingkat internasional, UNESCO mengakui
subak sebagai salah satu Situs Warisan dunia pada 29 Juni tahun 2012. Dengan demikian subak sudah
bukan saja milik masyarakat Bali, namun juga mendapat pengakuan luas baik secara nasional maupun
internasional.
4) Pembagian dan Pengelolaan Air.
Sumber air untuk irigasi subak umumnya bersumber dari aliran sungai atau mata air, dialirkan melalui
pengambilan ke saluran (telabah) atau terowongan (aungan). Sebagai sistem irigasi tradisional yang
dibangun jauh sebelum sistem irigasi teknis dikenal, cara pembagian dan pendistribusian air digunakan
cara-cara tradisional. Saat ini cara pembagian air sudah ditingkatkan dengan teknik konstruksi yang lebih
modern dan dapat berfungsi lebih baik. Untuk pendistribusian air pada bagunan bagi (tembuku), sistem
subak menggunakan perbandingan luas sawah yang diairi, dengan satuan yang dipakai disebut ayahan,
yaitu satuan yang didasarkan atas jumlah pemakaian benih (wit). Satuan ayahan artinya satu satuan tenaga
kerja (orang) yang harus dikeluarkan bila para petani anggota subak mengadakan aktivitas, misalnya
memperbaiki telabah, bangunan bagi atau aktivitas lain. Ayahan setara dengan satu ukuran benih (wit
tenah), yang kira-kira sama dengan luas sawah yang memerlukan benih lebih kurang sebanyak 25 kg (0,30,5 Ha). Satu ayahan berhak atas air sebesar satu tektek atau satu kecoran. Tektek atau kecoran adalah air

yang mengalir lewat penampang berlebar kurang lebih empat jari tangan atau 8-10 cm, dengan kedalaman
kurang lebih 1 cm. Satu tektek tidak selalu sama untuk subak satu dengan subak lainnya. Kadang-kadang
satu tektek dipakai panjang rentang ujung ibu jari dengan ujung jari manis atau (kilan) (Norken, 1993).
Pembagian air pada sistem subak, yang ditekankan adalah keadilan dalam memperoleh air. Oleh karena itu
satuan tetek ini masih ditambah dengan kesepakatan para petani para anggota subak melalui musyawarah,
dengan mempertimbangkan jauh dekatnya sawah yang diairi serta porositas tanah. Apabila air yang
mengalir tidak cukup untuk mengairi seluruh areal sawah dalam satu subak, maka pemberian air dilakukan
dengan cara pergiliran atau rotasi, yaitu subak dibagi-bagi menjadi bagian-bagian yang lebih kecil yang
disebut tempek (subak dibagi menjadi 2 atau 3 bagian), selanjutnya diadakan pergiliran (rotasi) pemberian
air pada masing-masing tempek. Pola rotasi biasanya diawasi oleh patelik atau pangliman (petugas yang
ditunjuk untuk mengawasi pergiliran air). Selain dengan cara rotasi, pada sistem subak juga dikenal
pengaturan pemberian air dengan sistem nyorog atau juga disebut nugel bungbung, yaitu dengan mengatur
waktu tanam tidak bersamaan. Subak yang luas, atau beberapa subak yang sumber airnya berasal dari satu
bendung (empelan) dibagi menjadi 3 blok/bagian (hulu, tengah dan hilir). Subak yang berada di bagian hulu
mendapat air paling dahulu (disebut ngulu), subak yang berada dibagian tengah memperoleh air setelah
bagian hulu selesai mengolah
tanah (disebut maongin), selanjutnya subak yang paling hilir
memperoleh air setelah subak bagian tengah selesai mengolah tanah (disebut ngasep). Perbedaan
pemberian air masing-masing bagian berkisar antara 2 sampai 4 minggu. Apabila subak hanya
memanfaatkan air tirisan/air buangan sisa dari subak-subak yang ada dibagian hulunya, maka subak
semacam ini dinamakan subak natak tiyis. Air tirisan yang sudah dipakai oleh subak kemudian ditampung
atau disalurkan melalui saluran pembuangan (pengutangan). Saluran pembuangan subak ini oleh subak
dibagian hilirnya dimanfaatkan sebagai saluran pembawa (telabah), kemudian dibangun bangunan bagi
(tembuku) untuk mengalirkan pada subak natak tiyis tersebut. Dalam hal pengaturan pola tanam, umumnya
sangat bergantung pada ketersediaan air yang tergantung dari musim, pada musim hujan dilakukan

penanaman padi secara serempak pada saat musim hujan (kerta masa), sedangkan pada musim kemarau
saat air berkurang dilakukan dengan mengatur jadwal penanaman (nyorog atau nugel bumbung) atau
dengan sistem bergilir (gadon). Organisasi subak mengatur jadwal dan pola tanam secara rinci, melalui
limit waktu mulai menyemai benih padi (ngurit), limit waktu mulai menanam padi (nandur) sampai batas
akhirnya, termasuk jenis padi yang boleh ditatam, padi berumur panjang/padi Bali (tebak/tebek taun) atau
padi dengan umur pendek (tebak/tebek cicih). Pengaturan pola tanam ini dituangkan dalam awig-awig atau
dengan kesepakatan (perarem) setelah dilakukan melalui rapat anggota (paruman) yang dilakukan sebelum
penanaman padi dilakukan, apabila ini dilanggar maka petani bersangkutan akan dikenai sangsi berupa
denda sesuai dengan yang diatur dalam awig-awig atau dalam perarem (Norken dkk, 2015). Dalam hal
pengelolaan sumber daya air pada subak, pengaturan air dilakukan oleh para pengurus subak dalam
wilayah subak atau antar wilayah subak melalui kesepakatan. Apabila terjadi ketidak sepakatan diantara
pengurus subak atau antar wilayah subak, maka Sedahan dan Sedahan Agung sebagai pembina subak
mempunyai peranan yang sangat penting dalam koordinasi pengaturan dan pemanfaatan air antar subak
(Norken dkk, 2010).
5) Ritual Tradisi Religius.
Rangkaian ritual dalam subak merupakan upacara keagamaan yang dilandasi dengan agama Hindu di Bali
yang tujuannya adalah memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa yang dipresentasikan sebagai Dewa Wisnu
(Pemelihara Kehidupan dalam wujud air) dan Dewi Sri sebagai manifestasi Tuhan Yang Maha Esa sebagai
Dewi Kesuburan), agar diberikan karunia dan hasil panen yang melimpah, serta rasa syukur selama dalam
masa tanam yang dilaksanakan, dan merupakan perwujudan dari pelaksanaan unsur Parahyangan dari Tri
Hita Karana (Pitana, 1993). jenis dan rangkaian upacara/ritual yang dilakukan oleh subak meliputi:
a. Upacara bersama, yang meliputi:
Mapag/mendak toya adalah upacara yang dilakukaan saat mulai mengalirkan air dari sumber air
kesaluran irigasi. Magurupiduka adalah upacara yang hanya dilakukan apabila terjadi adanya orang
meninggal disawah atau saluran irigasi. Pangwiwit adalah upacara bersama saat mulai menanam padi.
Mebalik Sumpah (manca sanak) adalah upacara yang dilakukan apabila terjadi atau ada pelanggaran
besar. Merebu adalah upacara membersihkan atau mensucikan alam sementa dan manusia secara nyata
(sekala) maupun tidak nyata (niskala). Marekang toya atau nabdab toya adalah upacara membagi air
sesuai dengan kesepakatan bersama. Ngerestiti adalah upacara yang dilakukan saat padi berumur 1
bulan dan berumur 2 bulan. Ngusaba adalah upacara menjelang dilakukannya panen padi, upacara
ngusaba bisa besar ataupun kecil tergantung masa tanam. Nangluk Merana adalah upacara ini sebagai
ritual untuk mengusir hama. Pakelem adalah upacara yang dilakukan secara bersama-sama dengan
seluruh pekaseh yang dilakukan di Pura Ulun Danu. Odalan adalah upacara yang dilakukan kadangkadang saja yang juga dilakukan saat ngusaba nini atau ngusaba bersama sama dengan subak lain di
pura Ulun Danu.
b. Upacara individu, meliputi:
Ngendagin adalah upacara saat air pertama kali mengalirkan dari saluran irigasi ke petak sawah.
Ngerasakin adalah upacara saat selesai membajak sawah sebelum menyemai bibit padi (ngurit).
Mewinih adalah upacara saat membuat petak penyemaian atau tempat penebaran benih padi. Ngurit
adalah upacara saat penyemaian atau penebaran benih padi. Pengwiwit adalah upacara individu
(pemilik sawah) yang ditunjuk menjelang mulai menanam padi. Nuansen adalah upacara individu
(pemilik sawah) yang ditunjuk mulai menanam padi pada hari yang baik (dewasa). Ngeroras adalah
upacara dilakukan setelah padi berumur 12 hari. Mebalik sumpah adalah upacara dilakukan setelah
padi berumur dua minggu. Mubuhin adalah upacara yang diselenggarakan pada saat padi berumur 15
hari. Ngulapin adalah upacara yang dilakukan setelah membersihkan hama tumbuhan yang menggangu
padi. Neduh adalah upacara pada saat padi berumur satu bulan (35 hari). Ngekambuhin, yaitu upacara
meminta keselamatan anak padi yang baru tumbuh yang dilakukan pada saat padi berumur 38 hari.
Pamungkah, yaitu upacara memohon keselamatan agar tanaman padi dapat tumbuh dengan baik.
Nyiwa seraya adalah upacara yang diselenggarakan pada saat padi mulai berbunga. Ngiseh/ biukukung
adalah upacara saat padi mulai berbuah. Nyaeb/mecaru adalah upacara dilakukan agar padi tidak
diserang hama penyakit. Nyungsung adalah upacara untuk mengusir hama/penyakit padi (mirip dengan
nangluk merana). Nyangket/mebanten manyi/nuduk dewa/merebu adalah upacara sebelum/menjelang
panen dengan membuat Nini (seikat kecil bulir padi yang disucikan dan melambangkan Dewi
Sri/Dewi Padi/manifestasi Tuhan sebagai Dewi Kesuburan) yang akan disimpan di lumbung. Mantenin
adalah upacara setelah padi disimpan di lumbung. Rsi Gana adalah upacara apabila terjadi malapetaka
atau berbagai masalah pada sawah seseorang.
Untuk pelaksanaan rangkaian upacara/keagamaan dalam subak, setiap subak mempunyai pura Setiap
individu dalam anggota subak mempunyai pura ulun carik atau sanggah catu atau sanggah pengalapan,
yang letaknya dibagian hulu sawah dan didekat pintu pengambilan air dari saluran irigasi. Untuk keperluan
pelaksanaan ritual secara bersama oleh para anggota subak ada Pura Subak (Pura Bedugul) pada masing-

masing areal subak, Pura Ulun Empelan di dekat bangunan pengambilan air atau sumber air, Pura
Ulunsuwi atau Pura Masceti untuk subak besar (subak gede) atau beberapa subak yang sumber airnya dari
sumber yang sama dan terletak dibagian hulu dari subak-subak yang dinaungi. Selain itu ada pura yang
terkait dengan subak seperti: Pura Ulun Danu Batur, Pura Ulun Danu Beratan, Ulun Danu Tamblingan,
Pura Pekendungan, Pura Tanah Lot dan sebagainya yang merupakan pura tempat melakukan upacara
ngerestiti bagi pengurus subak untuk mohon kepada Dewa Wisnu representasi Tuhan Yang Maha Esa
sebagai pemelihara dunia yang wujud pisiknya adalah air yang bersumber dari danau, sehingga danau yang
ada dianggap sebagai tempat suci yang harus dilestarikan karena merupakan sumber kehidupan (Pitana,
1993, dan Sushila, 1987). Rangkaian upacara ritual keagamaan tersebut hingga saat ini masih terus
dilaksanakan oleh para anggota dan prajuru/pengurus subak, walaupun rangkaian, jenis dan besarnya ritual
sangat berbeda atara satu subak dengan subak yang lain (Norken, 2015).

3.

TANTANGAN PELESTRAIAN SUBAK.

Tantangan dalam pelestarian subak yang ada saat ini dan akan lebih berat dimasa yang datang meliputi:
1) Penyusutan area subak yang terjadi akibat alih fungsi lahan untuk peruntukan bukan sawah. Alih fungsi
lahan sawah belakangan ini hampir mencapai 1000 haktar setiap tahun, dan peluang terjadinya akan terus
berlanjut, terutama di daerah perkotaan akibat semakin terdesaknya lahan persawahan oleh pemanfaatan
lain, seperti: perumahan, komersial, pariwisata dan lain sebagainya.
2) Kondisi jaringan irigasi dan banguan air pada irigasi subak sebagian dalam kondisi rusak.
3) Kepemilikan lahan petani rata-rata 0.5 hektar atau kurang, sehingga sangat sulit bagi para petani untuk
mampu mencapai hidup yang layak bila menggantungkan hidup semata-mata dari pertanian.
4) Menurunnya kuantitas dan kualitas sumber daya air akibat kerusakan hutan dan kawasan hulu serta
pencemaran limbah, sehingga menyebabkan kegagalan panen serta konflik pemanfaatan sumber air dengan
dengan sektor lain.
5) Usia para petani anggota subak rata-rata di atas 40 tahun, akibat minat menjadi petani bagi pemuda sangat
rendah karena dianggap kurang menjanjikan, sehingga kesulitan untuk melakukan inovasi dan
meningkatkan produktifitas dalam bertani.
6) Besar beban finansial yang dipikul petani sangat berat mulai dari pajak lahan, biaya penyiapan lahan, biaya
pupuk dan sarana produksi lain, iuran perbaikan jaringan irigasi, biaya aktivitas keagamaan dan lain lain,
sementara penghasilan dari bertani relatif rendah dan dengan risiko gagal panen cukup tinggi akibat
ketersediaan air terbatas, hama dan lain lain.
7) Lemahnya koordinasi dan supervisi dari unsur pemerintah sejak tidak jelasnya keberadaan sedahan dan
sedahan agung yang sangat berperan dalam mengkoordinasikan pengelolaan air, tempat konsultasi bagi
para pengurus subak, bahkan sebagai mediator dalam menyelesaikan konflik.
8) Tidak jelasnya regulasi ditingkat nasional sejak dicabutnya UU 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
berserta peraturan pelaksanaannya, termasuk PP 20 tahun 2006 tentang Irigasi yang memberikan legalitas
tentang keberadaan subak.

4.

LANGKAH YANG PERLU DILAKUKAN.

Oleh karena tantangan dan pemasalahan yang dihadapi oleh sistem subak secara keseluruhan sedemikian berat,
terutama dimasa yang kan datang, maka mau tidak mau diperlukan langkah langkah yang bersifat strategis yang
harus diambil baik oleh pemerintah maupum stakeholders yang lain agar subak yang sudah dikagumi diseluruh
dunia dan diakui sebagai warisan budaya dunia dapat dipertahankan dan dilestarikan di masa yang akan datang.
Seperti yang diuraikan oleh Norken dkk ( 2010), Norken dkk, (2012) serta dalam berbagai forum diskusi
maupun seminar berkaitan dengan subak dan sumber daya air di Bali, langkah langkah yang perlu dilakukan
antara lain:
1) Perlu ditingkatkan dan dikembalikan nama dan fungsi sedahan dan dan sedahan agung sebagai wadah
koordinasi pengelola subak dari unsur pemerintah melalui peraturan daerah tingkat kabupaten/kota serta
tingkat provinsi, serta didukung oleh peraturan dan perundangan di tingkat nasional. Peranan sedahan dan
sedahan agung di atur dalam Perda 02/PD/DPRD/1972 tentang Irigasi Daerah Provinsi Bali, yang
merupakan pengatur dan pengawas serta penasehat dalam bidang irigasi/subak di Wilayah Kabupaten,
namun dalam Perda 9 tahun 2012 tentang Subak istilah sedahan maupun sedahan agung tidak muncul, yang
muncul adalah lembaga yang bernama Majelis Subak. Hal ini sangat tidak sesuai dengan makna serta
semangat pelestarian subak, karena sedahan dan sedahan agung mempunya nilai historis yang sangat lama
dan telah diakui oleh subak dalam pengelolaan irigasi termasuk dalam penyelesaian konflik.
2) Dukungan pemerintah masih terus diperlukan dalam upaya meringankan beban finansial subak berupa
subsidi sarana produksi, perbaikan jaringan dan bangunan irigasi, serta pendampingan dalam usaha
meningkatkan hasil panen. Hal ini disebabkan bahwa biaya untuk perbaikan jaringan saat ini masih
didominasi bantuan pemerintah, namun tidak kontinyu setiap tahun, sedangkan iuran dari petani masih
sangat kecil tetapi dapat disediakan secara rutin setiap tahun.

3) Pemberian insentif bagi subak dalam upaya menekan alih fungsi lahan seperti keringanan pajak, serta
dukungan dan bantuan lain yang berkaitan dengan pelaksanaan ritual keagamaan berkala yang cukup
besar, seperti: upacara pakelem, nangluk merana dan lain lain.
4) Perlu fasilitasi kemitraan antara subak dengan stakeholders lain (koperasi, pariwisata, pengusaha lain) untuk
bersama-sama bekerjasama yang saling menguntungkan dalam upaya memsejahterakan para petani,
misalnya dengan meningkatkan harga jual komoditas hasil pane para petani.
5) Perlu alternatif komuditas diluar padi yang mempunyai nilai ekonomis yang tinggi agar dapat mendorong
gairah para petani untuk lebih menekuni sektor pertanian serta lebih menjanjikan.
6) Mencegah dan memperbaiki kerusakan kawasan hulu (kawasan hutan dan kawasan budidaya) serta
mengendalikan pencemaran sumber daya air dengan melibatkan berbagai stakeholers lain serta masyarakat
untuk memperbaiki tata air (air permukaan dan air tanah) sebagai sumber air untuk irigasi dan untuk
keperluan lain.
7) Pemerintah agar mendorong pembentukan wadah koordinasi penelolaan sumber daya air baik ditingkat
provinsi, kabupaten/kota maupun pada tingkat daerah aliran sungai yang melibatkan pemerintah,
masyarakat, swasta serta stakeholders lainnya untuk bersama-sama meningkatkan pengelolaan sumber daya
air serta mencegah konflik dan potensi dalam pemanfaatan sumber daya air.
8) Pemerintah melakukan pendataan dan monitoring terhadap keberadaan dan aktivitas lembaga subak apabila
diperlukan dapat dilakukan dengan membangun sistem informasi subak yang ada di seluruh Bali.
9) Pemerintah menyediakan mekanisme pembinaan lembaga subak dan lembaga adat yang lain secara terus
menerus dalam upaya melestarikannya, sebagai potensi dan kearifan lokal yang menjadi unggulan
masyarakat Bali.
10) Perguruan tinggi agar mendorong para akademisi untuk menjadikan subak sebagai tempat untuk melakukan
aktivitas pelaksanaan tri dharma perguruan tinggi, agar subak sebagai sistem irigasi tradisional mampu terus
berkembang dan bersaing diera globalisasi ini.

5.

KESMPULAN.

Dari uraian di atas ada beberapa kesimpulan yang dapat disampaikan, antara lain:
1) Subak merupakan sistem irigasi tradisional di Bali, telah dianugerahi status Warisan Budaya Dunia dari
UNESCO, namun keberadaannya dan keberlanjutannya sangat mengkhawatirkan.
2) Kondisi subak saat ini sebagian cukup mempihatinkan diantaranya: jaringan dan bangunan sebagian masih
dalam keadaan rusak, keterbatasan dalam pemeliharaan baik dari pemerintah maupun petani, organisasi
subak masih berjalan cukup baik, namun sejak tahun 2000an, Sedahan maupun Sedahan Agung sebagai
aparat pemerintah pembina subak tidak jelas keberadaanya.
3) Tantangan pelestarian subak saat ini dan dimasa yang datang termasuk penyusutan area subak yang terjadi
akibat alih fungsi lahan, para petani untuk mampu mencapai hidup yang layak karena kepemilikan lahan
yang sempit, menurunnya kuantitas dan kualitas sumber daya air serta pencemaran, usia para petani
anggota subak rata-rata di atas 40 tahun, beban finansial yang dipikul petani sangat berat, tidak jelasnya
regulasi ditingkat nasional dalam mengatur irigasi.
4) Langkah strategis dalam menjaga keberlanjutan subak antara lain: sedahan dan dan sedahan agung sebagai
wadah koordinasi pengelola subak perlu dikembalikan, dukungan pemerintah masih terus diperlukan
dalam meringankan beban finansial, kemitraan antara subak dengan stakeholders lain, alternatif komuditas
diluar padi, mencegah dan memperbaiki kerusakan kawasan hulu serta mengendalikan pencemaran,
pembentukan wadah koordinasi penelolaan sumber daya air, membangun sistem informasi subak,
menyediakan mekanisme pembinaan lembaga subak dan mendorong para akademisi untuk menjadikan
subak sebagai tempat untuk melakukan aktivitas pelaksanaan tri dharma perguruan tinggi.

UCAPAN TERIMAKASIH
Pada kesempatan ini kami mengucapkan terimakasih yang setulus-tulusnya kepada rekan rekan Anggota Grup
Riset Pengembangan dan Pengelolaan Sumber Daya Air pada Program Studi Teknik Sipil Fakultas Teknik,
Universitas Udayana, yang telah memberikan masukan dan dorongan sehingga makalah ini dapat diselesaikan
sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim, (1972) PerdaProvinsi Bali 02/PD/DPRD/1972 tentang Irigasi Daerah Provinsi Bali.
Anonim, (2012) PerdaProvinsi Bali 9 tahun 2012 tentang Subak.
Anonim, (2015). World Heritage Property Cultural Landscape of Bali Province: the Subak System as a
Manifestation of the Tri Hita Karana Philosophy, State Of Conservation Status, The World Heritage
Committee, UNESCO.

Finlayson, R., dan Enggar Paramita (2013). Subak, Sistem Irigasi Khas Bali, Berada di Ambang Kehancuran
(http://worldagroforestry.org/newsroom/press-releases/subak-sistem-irigasi-khas-bali-berada-di-ambangkehancuran).
Norken I.N., I.K.Suputra, and I.G.N.Kerta Arsana , (2010), The History and Development of Sedahanas A
Coordinator Of Water Management for Subak in Bali, Paper pada International Conference, ICID,
Yogyakarta, Indonesia.
Norken I.N., I.K.Suputra, dan I.G.N.Kerta Arsana (2012). Partisipasi Anggota Subak Dalam Pemeliharaan
Jaringan Irigasi (Studi Kasus Pada Subak Pecelengan Pedukuan Di Kecamatan Mendoyo Kabupaten
Jembrana), , Laporan Penelitian, Program Magister Teknik Sipil, Program Pascasarjana Universitas
Udayana Denpasar.
Norken I.N., I.K.Suputra, dan I.G.N.Kerta Arsana (2015). Aktivitas Aspek Tradisional Religius Pada Irigasi
Subak:Studi Kasus Pada Subak Piling, Desa Biaung, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, Laporan
Penelitian, Program Magister Teknik Sipil, Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar.
Norken I.N., I.K.Suputra, and I.G.N.Kerta Arsana, (2015), Water Resources Management of Subak Irrigation
System in Bali, Jurnal Applied Mechanics and Materials Vol 776 pp 139-144, Trans Tech Publications,
Switzerland.
Pitana, I Gde., (1993). Subak, Sistem Irigasi Tradisional Bali (Sebuah Deskripsi Umum), dalam: I Gde Pitana
(Editor), Subak Sistem Irigasi Tradisional Bali, Penerbit, Upada Sastra, Denpasar.
Suputra, I Ketut (2008). Efektivitas Pengelolaan Sumber Air Untuk Kebutuhan Air Irigasi Subak di Kota
Denpasar, (Tesis), Program Pascasarjana Universitas Udayana.Denpasar.
Sushila, Jelantik., (1987). Ciri-Ciri Khas Dari Subak Sistem Irigasi di Bali, Sub Dinas Pengairan, Dinas
Pekerjaan Umum Provinsi Daerah Tingkat I Bali, Denpasar.
Sutika,
I
Ketut
(2014).
Kekhawatiran
Lenyapnya
Sistem
Subak
Di
Bali
(http://www.antarabali.com/berita/49575/kekhawatiran-lenyapnya-sistem-subak-di-bali).
Ukirsari, Manggalani (2012). Plakat UNESCO, Pengakuan Subak sebagai Warisan Dunia 2012
(http://nationalgeographic.co.id/berita/2012/09/plakat-unesco-pengakuan-subak-sebagai-warisan-dunia2012).
Wahyudhi, I Made Ari, I N. Norken, dan I Ketut Suputra. (2015). Partisipasi Stakeholders Dalam Operasi Dan
Pemeliharaan Jaringan Irigasi Pada Daerah Irigasi Unda Di Kabupaten Klungkung , Jurnal Spektran
Vol. 3, No. 2, Juli 2015 (pp. 37-46).
Yuswari, Made Nunuk (2010). Partisipasi Masyarakat Petani (Subak) Terhadap Operasi Dan Pemeliharaan
Jaringan Irigasi Pada Daerah Irigasi Mambal Di Kabupaten Badung, (Tesis), Program Pascasarjana
Universitas Udayana, Denpasar.