Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Empati dan Religiusitas sebagai Prediktor terhadap Pemaafan pada Mahasiswa Sekolah Tinggi Teologi Salatiga T1 832010006 BAB I

(1)

BAB I PENGANTAR

Forgiveness menjadi topik hangat bagi para peneliti dalam beberapa tahun terakhir ini. Para psikolog telah memberikan perhatian yang berkesinambungan di dalam melaksanakan forgiveness. Dalam bab ini akan diuraikan mengenai latar belakang penulis ingin melakukan penelitian mengenai forgiveness dan mengapa hal tersebut penting untuk diteliti.

1.1. LATAR BELAKANG

Lebih dari lima belas tahun terakhir ini, dunia psikologi memberikan perhatian pada perkembangan dalam kemampuan pemeliharaan hubungan interpersonal dan intrapersonal dengan adanya pelanggaran (transgression) (Exline & Zell, 2009). Dengan perkembangan yang menarik dalam psikologi positif, banyak penelitian yang terus dikembangkan berkenaan dengan mempertahankan kualitas hubungan dekat yang retak yang juga akan berdampak pada kesehatan mental dan kesehatan fisik. Forgiveness merupakan salah satu topik dalam psikologi positif yang meneliti dan melihat bagaimana komunitas hidup dapat mencapai kualitas yang lebih baik, bahagia, dapat terhubung kembali, dan menyenangkan.

Bagaimana manusia dapat menyelesaikan hubungan yang retak karena konflik yang berada dalam perasaan marah berkelanjutan, dendam, benci, menghindar, kesehatan terganggu dengan tekanan darah yang tinggi yang berpengaruh pada jantung? Manusia berusaha mempertahankan hubungan interpersonal yang baik dengan


(2)

perasaan kasih, kepedulian, tidak anarkis, berpikir baik sehingga dapat mencapai tujuan hidup bersama.

Hubungan dekat dengan orang lain seringkali merupakan suatu sumber penting bagi kebahagiaan dan kepuasan serta mendukung kesejahteraan (Karremans & van Lange, 2008). Hubungan dekat dapat juga menunjukkan situasi yang tidak terelakkan dimana setiap saat dan seterusnya setiap individu dapat merasa terluka dan tersinggung yang disebabkan pelanggaran (transgression). Bagaimana merespon transgression dan dapat memakluminya? Transgression (selanjutnya memakai kata transgresi) menyebabkan beberapa dampak, baik fisik maupun psikologis (McCullough, Root & Cohen, 2006). Individu cenderung menjadi depresif (Brown, 2003 dalam McCullough, Root & Cohen 2006), fobia, dan mengalami panic disorder (Kendler dkk., 2003, dalam McCullough, Root & Cohen, 2006), serta dapat mengganggu sistem saraf simpatis dan kardiovaskuler tubuh (Witvliet, Ludwig & Vander Laan, 2001). Setiap individu dalam menghadapi transgresi seharusnya meningkatkan kesehatan fisik dan psikologisnya.

Bagaimana orang memaafkan transgresi? Hampir semua orang tidak memaafkan dalam beberapa kali ketika merasakan akibat transgresi (Wade & Worthington, 2003). Pada saat yang sama mungkin individu ingin mengurangi gejala kegelisahan, depresi, serta ada yang ingin meningkatkan harga diri dan harapan hidup (Witvliet, 2008). Beberapa pertanyaan dan pernyataan tersebut di atas merupakan perasaan seseorang dan pemikirannya bahwa hidup ini memerlukan hubungan yang baik antar individu. Fenomena ini disebut forgiveness di mana individu secara


(3)

subyektif meyakini bahwa hidupnya akan menjadi lebih baik, menyenangkan, hubungan komunikasi yang dipulihkan, dan kesehatan mental dan kesehatan fisik yang membaik serta memiliki kesejahteraan psikologi.

Semua agama besar di dunia mempertimbangkan forgiveness (selanjutnya memakai kata pemaafan) sebagai kualitas positif dalam mempertahankan keharmonisan tiga sudut antara diri sendiri, orang lain dan Tuhan sebagai yang diyakini individu (Enright dan Fitzgibbons, dalam Hui, Watkins, Wong & Sun, 2006). Pemaafan juga dijelaskan sebagai proses psikologis yang rumit (Worthington, 2008) dan relasional tetapi penting dan berguna. Pemaafan, pada khususnya, dapat dimanfaatkan sebagai cara menguasai stress yang dapat mempunyai efek menguntungkan bagi kesehatan (Lawler-Row, Younger, Piferi & Jones, 2006).

Konsep pemaafan memiliki sejarah dalam filsafat (Downie, 1965 dalam McCullough, Worthington & Rachal, 1997), dan dalam teologi Yahudi dan Kristen (Dorf, 1992 dalam McCullough, Worthington & Rachal, 1997). Penduduk Amerika pada umumnya memiliki sikap positif terhadap pemaafan (Gorsuch & Hao, 1993), 65% orang Amerika melaporkan bahwa pemaafan penting bagi mereka yang religius (Poloma & Gallup, 1990 dalam Bedell, 2002). Beberapa bukti menunjukkan bahwa pemaafan dapat meningkatkan penyesuaian perkawinan (Nelson, 1992 dalam McCullough, Worthington & Rachal, 1997), dapat mengurangi depresi dan kecemasan (Strasser, 1984 dalam McCullough, Worthington & Rachal, 1997). Pemaafan merupakan kemampuan individu dengan komponen berkurangnya perasaan untuk menghindar dan membalas dendam serta bertumbuhnya niat baik terhadap transgresor


(4)

Individu dengan level pemaafan yang rendah memiliki resiko yang besar dalam mengembangkan masalah-masalah psikologi seperti depresi, juga kesehatan terganggu. Sebaliknya, mereka yang memiliki level pemaafan tinggi, akan mampu menjalin hubungan yang baik dengan individu lain. Hill, Hasty dan Moore (2011) menyatakan bahwa setiap individu menghadapi kebutuhan dimaafkan dan memaafkan. Pemaafan dapat menjadi alat penting untuk pemeliharaan hubungan interpersonal dan intrapersonal (Exline & Zell, 2009).

Pemaafan menjadi inti pengembangan manusia yang sehat dan mungkin salah satu hal yang paling penting dalam proses pemulihan hubungan interpersonal setelah konflik (Hill dalam Toussaint & Webb, 2005). Selama satu dekade (McCullough, Root & Cohen, 2006 serta McCullough, Worthington & Rachal, 1997) telah mengkonseptualisasikan pemaafan sebagai proses mengurangi motivasi yang negatif yakni menghindar (avoidance) dan balas dendam (revenge) menuju motivasi positif. Dalam beberapa hasil penelitian, para ahli menyatakan bahwa pemaafan dapat memulihkan hubungan interpersonal, dapat meningkatkan ketahanan hubungan pada pasangan suami istri, hubungan antar anggota keluarga, pasangan kencan / berpacaran, persahabatan, dan yang paling signifikan dapat untuk memperbaiki dan membentuk kembali hubungan yang efektif dengan anggota keluarga dan dengan teman sekerja (Harvey & Brenner, 1997, dalam Jose & Alvon, 2007).

Dalam penelitian yang akan dilakukan saat ini lebih memfokuskan pemaafan khususnya pada mahasiswa Sekolah Tinggi Teologi Salatiga (selanjutnya dipakai dengan singkatan STTS). STT Salatiga merupakan sarana


(5)

pendidikan bagi calon pendeta yang datang dari berbagai pulau di Indonesia di antaranya Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua, Kepulauan Indonesia Timur yaitu kepulauan Maluku dan kepulauan Nusa Tenggara Timur, Bali dan kepulauan lainnya atau dapat dikatakan dari Sabang sampai Merauke.

Mahasiswa di Indonesia rata-rata berada pada rentang usia 18 sampai 24 tahun. STTS yang bernaung pada organisasi Gereja Pantekosta di Indonesia mempunyai kekhasan tersendiri dalam mengikuti pendidikan menjadi pendeta. Batas usia tidak menjadi syarat dalam belajar dan untuk mewujudkan tugas dan panggilan dalam misioner. Tugas akademik ini mewujudkan para calon pendeta yang terpanggil bukan berada pada batasan usia tertentu tetapi untuk belajar sepanjang hayat (long life learning). Sesuai dengan data pendaftaran mahasiswa STTS umumnya berada pada usia 16 sampai 60 tahun. Bagi yang telah mempunyai gereja lokal dan berkeluarga, intensitas kehadiran mengikuti kegiatan belajar per-tahun akademik tidak berada pada kewajiban menyelesaikan pendidikan seperti selayaknya STT lain atau sekolah sekuler lainnya. Ini merupakan pilihan utama dalam tugas dan tanggung jawab dalam sidang jemaat sebagai gereja lokal.

Studi mengenai pemaafan menjadi penting karena pada periode waktu ini, peristiwa-peristiwa dan transisi yang berbeda mungkin memengaruhi perkembangan serta pemaafan mereka. Tiap-tiap batasan usia memiliki kekhasan sebagai individu yang berkembang dengan potensi besar yang lebih menarik dan layak untuk dieksplorasi. Selain itu, individu mengalami penyesuaian diri dengan lingkungan sekitarnya (STTS), dan mulai memilih dan


(6)

mencoba menanamkan nilai-nilai yang sesuai dan yang dapat diterima oleh masyarakat sekitarnya yang juga berbeda dengan budaya daerahnya. Sebagai generasi yang masih berkembang, merupakan suatu hal yang tepat apabila dilakukan penelitian mengenai bagaimana kemampuan individu dalam pemaafan. Sesuai penelusuran peneliti, kemungkinan penelitian sejenis ini terhadap mahasiswa teologi masih minim.

STT Salatiga tidak menjadikan pemaafan sebagai kompetensi yang harus dicapai untuk dinyatakan lulus dari pendidikan tersebut. Pemaafan pada lembaga pendidikan ini dari waktu ke waktu tetap berlangsung seiring dengan berlangsungnya sistem belajar mengajar serta hubungan komunikasi. Terlibatnya siswa dalam segala aspek kegiatan formal maupun non formal dapat memungkinkan terbukanya kondisi konflik. Situasi keterlibatan kebersamaan antar mahasiswa dari waktu ke waktu dapat memunculkan perasaan enak ataupun tidak, yang bisa juga menjadi pemicu konflik (Taylor, 2009). Pada saat interaksi lebih sering terjadi dan mencakup lebih banyak aktivitas dan isu, maka ada lebih banyak peluang terjadinya perbedaan pendapat.

Hill (dalam Toussaint & Webb, 2005) menyatakan adanya keterbatasan kemampuan manusia untuk berhubungan satu dengan yang lainnya yang menimbulkan pelanggaran. Disamping itu, adanya perasaan negatif yang berdampak pada perilaku, tanggapan kognitif yang juga menyebabkan gangguan fungsi sosial, munculnya sikap menghindar saat perasaan tersakiti, tidak sedikit juga menyimpan perasaan dendam, tetapi ada juga yang termotivasi untuk memperbaiki hubungan.


(7)

Pentingnya memperbaiki kerenggangan hubungan diantara individu dapat terwujud dalam proses psikologis dan relasional. Hargrave dan Sells (1997, dalam Hill, 2010) serta McCullough, Pargament, dan Thoresen (2000, dalam Hill, 2010) menemukan bukti keterkaitan antara pemaafan dengan rasa marah, gelisah, depresi, pelecehan, masalah keluarga, gangguan kepribadian, rasa bersalah, tekanan seksual, penyalahgunaan narkoba, hubungan pernikahan yang retak, dan kesehatan mental. Penulis mengadakan penelusuran bahwa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya diantaranya kepada sukarelawan partisipan (Wade & Worthington, Jr., 2003), mahasiswa psikologi (Rangganadhan & Todorov, 2010), psikolog dan ilmuwan agama (Frise & McMinn, 2010), mahasiswa (Konstam, Holmes & Levine, 2003; Lawler, Younger, Piferi, Billington, Jobe, Edmondson & Jones, 2003), pasangan dan keluarga (Hill, 2010), dan pasien rawat jalan (Toussaint & Friedman, 2008). Semua penelitian-penelitian ini dilakukan dengan asumsi bahwa orang dewasa atau orang dengan kondisi tertentu memiliki alasan bisa melakukan pemaafan. Jika individu memiliki level pemaafan yang tinggi, maka mereka dapat memproduksi efek yang menguntungkan secara langsung dan secara tidak langsung serta mengembalikan kedekatan hubungan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang dapat melakukan pemaafan bisa disimpulkan antara lain, faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi kepribadian, sedangkan faktor eksternal meliputi agama, jender, hubungan sosial dengan orang lain. Beberapa faktor yang dapat memengaruhi terjadinya pemaafan, antara lain empati (Rangganadhan & Todorov, 2010; Hill, 2010;


(8)

Konstam, Holmes & Levine, 2003; McCullough, Worthington & Rachal, 1997), religiusitas (Hui, Watkins, Wong & Sun, 2006; McCullough & Worthington 1999; Jose & Alfons, 2007; Fox & Thomas, 2008), peran gaya kasih sayang (Lawler-Row, Younger, Piferi & Jones, 2006). Dari faktor-faktor tersebut, penulis memilih empati dan religiusitas sebagai dua variabel yang akan menjadi prediktor bagi pemaafan mahasiswa teologi, karena sejauh penelusuran penulis, empati dan religiusitas merupakan dua variabel yang masih sedikit diteliti dalam konteks pemaafan mahasiswa teologi Indonesia, dan mahasiswa teologi Salatiga khususnya.

Empati merupakan emosi positif pada kecerdasan emosi, secara signifikan memengaruhi kualitas kehidupan pribadi dan profesionalisme manusia, terutama aktivitas-aktivitas yang terkait dengan hubungan sosial. Empati memfasilitasi komunikasi, kerjasama, sikap menghormati, dan sifat kasih sayang (Masturi, 2010). Lingkungan keluarga merupakan salah satu lingkungan utama sebagai tempat mahasiswa menerima pertumbuhan empati dan religiusitas. Apabila tempat asal dan lingkungan keluarga mereka menjadi salah satu lingkungan yang memberikan efek positif, maka mereka sendiri akan memiliki pemahaman yang positif. Empati pada tiap individu belum tentu memiliki kesamaan pada kapasitas kemampuan dan ketidakmampuan di dalam mengenali dan menerima individu yang lain. Pengalaman individu yang positif dalam hubungan sosial akan membuatnya sanggup untuk bersosialisasi serta sanggup berperan dalam menghadapi dampak negatif. Empati pada mahasiswa merupakan hal yang penting bagi keberhasilan dalam pekerjaan dan


(9)

kepentingan lain (Goleman dalam Papalia, Olds & Feldman, 2009). Dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya (misalnya, McCullough, Worthington & Rachal, 1997; Macaskill, Maltby & Day, 2002; Toussaint & Webb 2005), empati menjadi salah satu variabel yang terbukti meningkatkan kemungkinan melakukan pemaafan. Penelitian lain menyatakan bahwa empati memfasilitasi proses pengampunan (Enright & Human Development Study Group, 1996, dalam Konstam, Holmes & Levine, 2003; McCullough, Worthington & Rachal, 1997), empati biasanya menjadi topik dalam konseling yang didisain untuk meningkatkan pemaafan (Lawler-Row, Younger, Piferi & Jones, 2006). Namun dari beberapa penelitian yang dilakukan mengenai empati, sangat sedikit studi yang menggambarkan mahasiswa teologi, sehingga penelitian yang dilakukan sebelumnya belum tentu bisa digeneralisasi kepada mahasiswa teologi Salatiga.

Selain itu, ada penelitian yang menemukan bahwa religiusitas memiliki peran dalam melakukan pemaafan, misalnya (Hui, Watkins, Wong & Sun, 2006; Jose & Alfons, 2003), memiliki hubungan positif dengan pemaafan (McCullough & Worthington, 1999) dimana dalam segala kegiatan hidup sehari-hari selalu disesuaikan dengan nilai-nilai religius. Bronk, dkk., (2003 dalam van Dyke & Elias, 2007) mencatat bahwa banyak orang sedang menemukan jalan mereka ke suatu tujuan hidup melalui beberapa pengalaman religius. Koping religius sering diprediksi berkaitan dengan kesehatan psikologis, tampaknya agama menempati peran yang unik dalam menghadapi kehidupan (van Dyke & Elias, 2007). Hal ini juga tidak berbeda jauh dengan mahasiswa teologi Salatiga dalam kondisi kampus


(10)

dan asrama berada dalam satu area. Mahasiswa mempergunakan waktu belajar dan banyak berlatih mempraktekkan nilai-nilai agama secara individual maupun berkelompok termasuk dalam kelompok kerja. Kegiatan pada lima hari belajar dipenuhi dengan jadwal kegiatan seperti: kegiatan dari pagi subuh diwajibkan mengikuti doa pagi bersama di gedung aula. Sementara itu, jam belajar dari jam 07.00-12.40, bila perlu ditambah dengan kegiatan belajar sore. Setelah makan siang bersama, kegiatan doa bersama dilaksanakan sampai jam 14.00. Malam hari, jam 20.00-21.00 doa bersama, sementara disisa jam lainnya mahasiswa bebas mempergunakan waktu untuk belajar pribadi atau persiapan tugas kelompok untuk diutus ke gereja-gereja. Ini menunjukkan sekelumit kegiatan mahasiswa yang dipadati dengan jadual yang didalamnya juga mereka berusaha memunculkan sikap kerohanian yang baik (religiusitas).

Lokasi kampus dan asrama mahasiswa serta materi pelajaran telah mendukung para mahasiswa memiliki tingkat religiusitas. Tetapi terkadang tanpa disadari terjadi pergesekan hubungan sehingga ada yang perasaannya terluka, menghindar atau juga marah dan dipengaruhi oleh pengalaman sebelum para siswa berada di Salatiga serta pengalaman lain sebelum berada di kampus. Inilah alasan mengapa kedua variabel ini penting dan sesuai untuk diteliti dalam melakukan pemaafan pada mahasiswa teologi Salatiga. Selain itu, variabel religiusitas yang menjadi variabel kedua untuk penelitian ini dipilih karena pada masa kuliah para mahasiswa telah mencapai prinsip yang kuat dalam agamanya dengan perilaku yang religius (Cremers, 1995). Hasil penelitian yang dilakukan Enright,


(11)

Santos, dan Al-Mabuk (dalam Hui, Watkins, Wong & Sun, 2006), menyatakan bahwa orang yang religius ditemukan lebih berkemungkinan dapat melakukan pemaafan. Hasil penelitian Worthington, Hunter, Sharp, Hook, van Tongeren, Davis, Miller, Gingrich, Sandage, Lao, Bubod & Monforte-Milton, (2010) kepada mahasiswa yang berjuang untuk melakukan pemaafan di Filipina, dilaporkan bahwa pemaafan dapat diberikan kepada transgresor. Disamping itu, ditemukan hubungan sedikit positif (lemah) antara religiusitas dan kebahagiaan pada tiga kelompok umur: remaja, dewasa muda, dan dewasa (Bergan & McConatha, 2000 dalam Holdcroft, 2006).

Jadi dalam penelitian ini empati dan religiusitas dikaitkan dengan forgiveness karena penelitian terdahulu masih bersifat parsial. Selain itu penelitian empati dengan pemaafan dan religiusitas dengan pemaafan menunjuk pada pembahasan yang nonindigenous (tidak pribumi atau di luar Indonesia), yaitu di Eropa dan negara Barat (Paz, Neto & Mullet, 2008; Toussaint & Webb, 2005); Toussaint & Friedman, 2009; Hill, Hasty & Moore, 2011). Peneliti merasa penting untuk meninjau kembali tentang korelasi antar variabel tersebut secara simultan di wilayah Indonesia. Meskipun variabel yang akan diteliti dalam penelitian ini mungkin memiliki sejumlah kesamaan dengan penelitian-penelitian sebelumnya, tetapi yang membedakannya adalah subjek penelitian yang diteliti dalam penelitian ini menjalankan aktivitas pendidikan dan kehidupan sehari-hari dalam ruang lingkup asrama dan ruang perkuliahan pada satu area. Di samping itu, ada juga aktivitas kebersamaan dalam kelompok-kelompok kerja maupun extrakurikuler serta kondisi etnis yang beragam. Hal inilah


(12)

yang membuat penelitian ini berbeda dari penelitian sebelumnya di mana subjek dalam penelitian-penelitian sebelumnya pada umumnya adalah siswa/mahasiswa yang bersekolah di sekolah umum (seperti SD, SMP, SMA, Universitas) yang tidak tinggal dalam lingkungan asrama. Dalam hal ini, lembaga pendidikan diharapkan untuk lebih menyiapkan anak didik dapat menyelesaikan konflik dengan tepat dan benar dengan pemaafan guna menghadapi tugas di gereja lokal, juga dikalangan organisasi gereja dan masyarakat. Hasil penelitian Worthington, dkk., (2010) menyatakan bahwa pemaafan dapat diajarkan dengan lebih efektif kepada orang dewasa dibandingkan kepada remaja. Dengan dasar inilah maka masih dibutuhkan penelitian pada pengembangan forgiveness (pemaafan).

1.2. PERUMUSAN MASALAH

Adakah empati dan religiusitas secara simultan merupakan prediktor terhadap pemaafan pada mahasiswa Sekolah Tinggi Teologi Salatiga ?

1.3. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui derajat masing-masing variabel dan bagaimana empati dan religiusitas berfungsi sebagai prediktor bagi pemaafan pada mahasiswa Sekolah Tinggi Teologi Salatiga.

1.4. MANFAAT PENELITIAN

Merujuk pada tujuan penelitian di atas, maka penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut:


(13)

1. Manfaat bagi disiplin psikologi.

Memberikan tambahan wacana dalam pengembangan ilmu pengetahuan khususnya tentang pemaafan, sehingga dapat dijadikan konsep teoritis dalam menelaah permasalahan yang berkaitan dengan empati dan religiusitas sebagai prediktor pemaafan. Dan bagi penelitian yang berikutnya dapat memberikan wacana untuk penelitian sejenis.

2. Manfaat Praktis.

a. Bagi lembaga pendidikan sejenis: memberikan kontribusi positif bagi lembaga-lembaga pendidikan teologi di manapun, secara khusus lembaga pendidikan STT Salatiga, terkait para mahasiswa mengenai empati dan religiusitas terhadap pemaafan baik sekarang maupun yang akan datang.

b. Bagi STTS: memberikan kontribusi mengenai pengaruh empati dan religiusitas terhadap pemaafan mahasiswa. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi berguna untuk pemulihan hubungan retak berkonflik.

c. Kepada para mahasiswa: memberikan informasi bahwa dalam pribadi mahasiswa terdapat pengaruh empati dan religiusitas terhadap pemaafan, sehingga dapat dipergunakan dalam melaksanakan tugas kependetaan sebagai misioner.

d. Bagi gereja dalam mewujudkan upaya pastoral care yang memberdayakan mahasiswa teologi dalam membentuk relasi di dalam dan di luar umat juga dengan masyarakat.

e. Bagi peneliti: menambah wawasan mengenai ilmu psikologi mahasiswa STTS dan faktor yang dapat dijadikan prediktor pemaafan mahasiswa sehingga dapat menambah pengetahuan yang berkaitan dengan pengembangan pemaafan.

1) Diharapkan penelitian ini memberikan pemahaman bahwa empati yang tinggi dan


(14)

tingkat religiusitas yang tinggi akan memberikan dukungan terhadap pemaafan. Kesadaran memiliki empati dan religiusitas mahasiswa akan mengarahkan individu pada pemaafan.

2) Sebagai informasi baru dan masukan bahwa jika mahasiswa memiliki empati dan religiusitas tinggi maka diharapkan terjadi pemaafan yang tinggi pula. Jika terdapat empati dan religiusitas yang rendah maka mahasiswa perlu diberi bimbingan sehingga mencapai tingkat yang lebih baik.


(1)

kepentingan lain (Goleman dalam Papalia, Olds & Feldman, 2009). Dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya (misalnya, McCullough, Worthington & Rachal, 1997; Macaskill, Maltby & Day, 2002; Toussaint & Webb 2005), empati menjadi salah satu variabel yang terbukti meningkatkan kemungkinan melakukan pemaafan. Penelitian lain menyatakan bahwa empati memfasilitasi proses pengampunan (Enright & Human Development Study Group, 1996, dalam Konstam, Holmes & Levine, 2003; McCullough, Worthington & Rachal, 1997), empati biasanya menjadi topik dalam konseling yang didisain untuk meningkatkan pemaafan (Lawler-Row, Younger, Piferi & Jones, 2006). Namun dari beberapa penelitian yang dilakukan mengenai empati, sangat sedikit studi yang menggambarkan mahasiswa teologi, sehingga penelitian yang dilakukan sebelumnya belum tentu bisa digeneralisasi kepada mahasiswa teologi Salatiga.

Selain itu, ada penelitian yang menemukan bahwa religiusitas memiliki peran dalam melakukan pemaafan, misalnya (Hui, Watkins, Wong & Sun, 2006; Jose & Alfons, 2003), memiliki hubungan positif dengan pemaafan (McCullough & Worthington, 1999) dimana dalam segala kegiatan hidup sehari-hari selalu disesuaikan dengan nilai-nilai religius. Bronk, dkk., (2003 dalam van Dyke & Elias, 2007) mencatat bahwa banyak orang sedang menemukan jalan mereka ke suatu tujuan hidup melalui beberapa pengalaman religius. Koping religius sering diprediksi berkaitan dengan kesehatan psikologis, tampaknya agama menempati peran yang unik dalam menghadapi kehidupan (van Dyke & Elias, 2007). Hal ini juga tidak berbeda jauh dengan mahasiswa teologi Salatiga dalam kondisi kampus


(2)

dan asrama berada dalam satu area. Mahasiswa mempergunakan waktu belajar dan banyak berlatih mempraktekkan nilai-nilai agama secara individual maupun berkelompok termasuk dalam kelompok kerja. Kegiatan pada lima hari belajar dipenuhi dengan jadwal kegiatan seperti: kegiatan dari pagi subuh diwajibkan mengikuti doa pagi bersama di gedung aula. Sementara itu, jam belajar dari jam 07.00-12.40, bila perlu ditambah dengan kegiatan belajar sore. Setelah makan siang bersama, kegiatan doa bersama dilaksanakan sampai jam 14.00. Malam hari, jam 20.00-21.00 doa bersama, sementara disisa jam lainnya mahasiswa bebas mempergunakan waktu untuk belajar pribadi atau persiapan tugas kelompok untuk diutus ke gereja-gereja. Ini menunjukkan sekelumit kegiatan mahasiswa yang dipadati dengan jadual yang didalamnya juga mereka berusaha memunculkan sikap kerohanian yang baik (religiusitas).

Lokasi kampus dan asrama mahasiswa serta materi pelajaran telah mendukung para mahasiswa memiliki tingkat religiusitas. Tetapi terkadang tanpa disadari terjadi pergesekan hubungan sehingga ada yang perasaannya terluka, menghindar atau juga marah dan dipengaruhi oleh pengalaman sebelum para siswa berada di Salatiga serta pengalaman lain sebelum berada di kampus. Inilah alasan mengapa kedua variabel ini penting dan sesuai untuk diteliti dalam melakukan pemaafan pada mahasiswa teologi Salatiga. Selain itu, variabel religiusitas yang menjadi variabel kedua untuk penelitian ini dipilih karena pada masa kuliah para mahasiswa telah mencapai prinsip yang kuat dalam agamanya dengan perilaku yang religius (Cremers, 1995). Hasil penelitian yang dilakukan Enright,


(3)

Santos, dan Al-Mabuk (dalam Hui, Watkins, Wong & Sun, 2006), menyatakan bahwa orang yang religius ditemukan lebih berkemungkinan dapat melakukan pemaafan. Hasil penelitian Worthington, Hunter, Sharp, Hook, van Tongeren, Davis, Miller, Gingrich, Sandage, Lao, Bubod & Monforte-Milton, (2010) kepada mahasiswa yang berjuang untuk melakukan pemaafan di Filipina, dilaporkan bahwa pemaafan dapat diberikan kepada transgresor. Disamping itu, ditemukan hubungan sedikit positif (lemah) antara religiusitas dan kebahagiaan pada tiga kelompok umur: remaja, dewasa muda, dan dewasa (Bergan & McConatha, 2000 dalam Holdcroft, 2006).

Jadi dalam penelitian ini empati dan religiusitas dikaitkan dengan forgiveness karena penelitian terdahulu masih bersifat parsial. Selain itu penelitian empati dengan pemaafan dan religiusitas dengan pemaafan menunjuk pada pembahasan yang nonindigenous (tidak pribumi atau di luar Indonesia), yaitu di Eropa dan negara Barat (Paz, Neto & Mullet, 2008; Toussaint & Webb, 2005); Toussaint & Friedman, 2009; Hill, Hasty & Moore, 2011). Peneliti merasa penting untuk meninjau kembali tentang korelasi antar variabel tersebut secara simultan di wilayah Indonesia. Meskipun variabel yang akan diteliti dalam penelitian ini mungkin memiliki sejumlah kesamaan dengan penelitian-penelitian sebelumnya, tetapi yang membedakannya adalah subjek penelitian yang diteliti dalam penelitian ini menjalankan aktivitas pendidikan dan kehidupan sehari-hari dalam ruang lingkup asrama dan ruang perkuliahan pada satu area. Di samping itu, ada juga aktivitas kebersamaan dalam kelompok-kelompok kerja maupun extrakurikuler serta kondisi etnis yang beragam. Hal inilah


(4)

yang membuat penelitian ini berbeda dari penelitian sebelumnya di mana subjek dalam penelitian-penelitian sebelumnya pada umumnya adalah siswa/mahasiswa yang bersekolah di sekolah umum (seperti SD, SMP, SMA, Universitas) yang tidak tinggal dalam lingkungan asrama. Dalam hal ini, lembaga pendidikan diharapkan untuk lebih menyiapkan anak didik dapat menyelesaikan konflik dengan tepat dan benar dengan pemaafan guna menghadapi tugas di gereja lokal, juga dikalangan organisasi gereja dan masyarakat. Hasil penelitian Worthington, dkk., (2010) menyatakan bahwa pemaafan dapat diajarkan dengan lebih efektif kepada orang dewasa dibandingkan kepada remaja. Dengan dasar inilah maka masih dibutuhkan penelitian pada pengembangan forgiveness (pemaafan).

1.2. PERUMUSAN MASALAH

Adakah empati dan religiusitas secara simultan merupakan prediktor terhadap pemaafan pada mahasiswa Sekolah Tinggi Teologi Salatiga ?

1.3. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui derajat masing-masing variabel dan bagaimana empati dan religiusitas berfungsi sebagai prediktor bagi pemaafan pada mahasiswa Sekolah Tinggi Teologi Salatiga.

1.4. MANFAAT PENELITIAN

Merujuk pada tujuan penelitian di atas, maka penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut:


(5)

1. Manfaat bagi disiplin psikologi.

Memberikan tambahan wacana dalam pengembangan ilmu pengetahuan khususnya tentang pemaafan, sehingga dapat dijadikan konsep teoritis dalam menelaah permasalahan yang berkaitan dengan empati dan religiusitas sebagai prediktor pemaafan. Dan bagi penelitian yang berikutnya dapat memberikan wacana untuk penelitian sejenis.

2. Manfaat Praktis.

a. Bagi lembaga pendidikan sejenis: memberikan kontribusi positif bagi lembaga-lembaga pendidikan teologi di manapun, secara khusus lembaga pendidikan STT Salatiga, terkait para mahasiswa mengenai empati dan religiusitas terhadap pemaafan baik sekarang maupun yang akan datang.

b. Bagi STTS: memberikan kontribusi mengenai pengaruh empati dan religiusitas terhadap pemaafan mahasiswa. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi berguna untuk pemulihan hubungan retak berkonflik.

c. Kepada para mahasiswa: memberikan informasi bahwa dalam pribadi mahasiswa terdapat pengaruh empati dan religiusitas terhadap pemaafan, sehingga dapat dipergunakan dalam melaksanakan tugas kependetaan sebagai misioner.

d. Bagi gereja dalam mewujudkan upaya pastoral care yang memberdayakan mahasiswa teologi dalam membentuk relasi di dalam dan di luar umat juga dengan masyarakat.

e. Bagi peneliti: menambah wawasan mengenai ilmu psikologi mahasiswa STTS dan faktor yang dapat dijadikan prediktor pemaafan mahasiswa sehingga dapat menambah pengetahuan yang berkaitan dengan pengembangan pemaafan.

1) Diharapkan penelitian ini memberikan pemahaman bahwa empati yang tinggi dan


(6)

tingkat religiusitas yang tinggi akan memberikan dukungan terhadap pemaafan. Kesadaran memiliki empati dan religiusitas mahasiswa akan mengarahkan individu pada pemaafan.

2) Sebagai informasi baru dan masukan bahwa jika mahasiswa memiliki empati dan religiusitas tinggi maka diharapkan terjadi pemaafan yang tinggi pula. Jika terdapat empati dan religiusitas yang rendah maka mahasiswa perlu diberi bimbingan sehingga mencapai tingkat yang lebih baik.


Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Empati dan Religiusitas sebagai Prediktor terhadap Pemaafan pada Mahasiswa Sekolah Tinggi Teologi Salatiga

0 0 32

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Empati dan Religiusitas sebagai Prediktor terhadap Pemaafan pada Mahasiswa Sekolah Tinggi Teologi Salatiga T1 832010006 BAB II

4 7 42

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Empati dan Religiusitas sebagai Prediktor terhadap Pemaafan pada Mahasiswa Sekolah Tinggi Teologi Salatiga T1 832010006 BAB IV

0 0 29

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Empati dan Religiusitas sebagai Prediktor terhadap Pemaafan pada Mahasiswa Sekolah Tinggi Teologi Salatiga T1 832010006 BAB V

0 0 3

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Empati dan Religiusitas sebagai Prediktor terhadap Pemaafan pada Mahasiswa Sekolah Tinggi Teologi Salatiga

0 0 20

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Lingkungan kerja fisik sebagai prediktor terhadap produktivitas kerja karyawan Le Bringin Hotel Salatiga T1 802011709 BAB I

0 0 10

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Persepsi Politik Organisasi di Sekolah Tinggi Teologi Sangkakala Salatiga

0 0 5

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Persepsi Politik Organisasi di Sekolah Tinggi Teologi Sangkakala Salatiga

0 0 2

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Persepsi Politik Organisasi di Sekolah Tinggi Teologi Sangkakala Salatiga

0 0 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Kepuasan Kerja dan Etos Kerja terhadap Kinerja Guru SMA Kristen di Salatiga

0 0 15