KAJIAN MARAWIS : Seni Bernuansa Islami di Tasikmalaya.

(1)

DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan ... i

Halaman Pernyataan ... ii

Halaman Persembahan ... iii

Abstrak ... ... iv

Kata Pengantar ... ... v

Daftar Isi ... ... ix

Daftar Tabel .. ... xvii

Daftar Bagan . ... xviii

Daftar Gambar ... xix

Daftar Lampiran ... xx

Daftar Istilah . ... xxi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Masalah Penelitian ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat Penelitian ... 6


(2)

F. Teknik Pengumpulan Data... 8

G. Lokasi dan Subjek Penelitian ... 8

H. Teknik Analisis Data... 9

BAB II SENI MARAWIS SEBAGAI SENI ISLAMI A. Pengaruh Islam Pada Seni-Seni di Jawa Barat ... 11

B. Seni Tari dalam Konsep Islam ... 15

C. Seni Marawis ... 31

BAB III PROSEDUR PENELITIAN A. Metode Penelitian ... 36

B. Teknik Pengumpulan Data ... 38

1. Observasi ... 38

2. Wawancara ... 39

3. Studi Dokumentasi ... 42

C. Sumber Data ... 44

D. Prosedur Analisis Data ... 45

1. Reduksi Data……… ... 45

2. Display Data atau Penyajian Data ………. ... 46

3. Pengambilan Kesimpulan dan Verifikasi Data ... 46

E. Pengujian Kredibilitas Data ... 46

1. Triangulasi ... 47


(3)

3. Mangadakan Member Check ... 48

4. Menggunakan Bahan Referensi ... 49

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Tasikmalaya ... 51

B. Pondok Pesantren di Tasikmalaya ... 56

1. Pengertian dan Ciri-ciri Pondok Pesantren ... 59

2. Proses Pendidikan di Pondok Pesantren ... 63

C. Sejarah Seni Marawis ... 65

D. Seni Marawis Nuurud Da’wah dan Pendidikan Islam ... 70

E. Seni Marawis Nuurud Da’wah 1. Lokasi dan Tempat Pertunjukan ... 79

2. Penonton dan Situasi Sosial Pertunjukan ... 81

3. Pengelolaan Seni Marawis Nuurud Da’wah ………… 83

a. Keadaan Anggota dan Pemain Seni Marawis Nuurud Da’wah ... 84

b. Sistem Pendanaan dan Honorarium di Grup Seni Marawis Nuurud Da’wah ... 86

c. Proses Kerjasama dan Promosi yang Dilakukan oleh Grup Seni Marawis Nuurud Da’wah ... 87


(4)

a. Seni Marawis Nuurud Da’wah sebagai Sarana Keagamaan ... 93 b. Seni Marawis Nuurud Da’wah sebagai Hiburan ... 95 c. Seni Marawis Nuurud Da’wah sebagai Media Da’wah Islamiah

... 96 d. Seni Marawis Nuurud Da’wah sebagai Mata Pencaharian Para

Senimannya ... 96 e. Seni Marawis Nuurud Da’wah Sebagai Media Pendidikan 97

... ... ... ... ... ... ... ... ...

F. Struktur Pertunjukkan Seni Marawis di Nuurud Da’wah kampung Ciseureuh Jati Desa Cigadog Kecamatan Leuwisari Kabupaten Tasikmalaya

1. Persiapan ... 98 2. Pelaksanaan ……… ... 99 3. Penutup……….. ... 101


(5)

G. Seni Marawis Nuurud Da’wah Kampung Ciseureuh Jati Desa Cigadog

Kecamatan Leuwisari Kabupaten Tasikmalaya. ... 102

1. Koreografi………… ... 102

a. Penjelasan Umum………... 102

b. Gerak Tari Marawis di Pondok Pesantren Nuurud Da’wah………... 103

1) Tari Zafin di Nuurud Da’wah…… ... 104

2) Tari Sarah di Nuurud Da’wah ... 113

3) Tari Zahefah di Nuurud Da’wah ... 121

2. Instrumentasi dan Pola Tabuhan a. Penjelasan Umum ... 130

... ... b. Bentuk Teks Lagu Marawis ... ... 130

... ... ... ... ... ... 130


(6)

d. Pengembangan Teks Lagu Marawis ... 138

e. Lagu-lagu Marawis ... 142

f. Alat Musik yang Digunakan pada Musik Marawis ... 148

g. Pola Tabuh Marawis ... 153

h. Analisis Musik Lagu-lagu dalam Marawis ... 158

i. Busana……… 159

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 166

B. Saran... 171

DAFTAR PUSTAKA ... 173

LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 175


(7)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Salah satu pentingnya menggali budaya tradisional adalah keterkaitan kita untuk membantu upaya pemerintah di dalam memperkuat ketahanan budaya nasional melalui budaya daerah. Kita menyadari bahwa dalam konteks ‘Bhineka Tunggal Ika’, budaya daerah merupakan penyokong utama kebudayaan nasional, karena kebudayaan nasional itu sendiri terdiri dari kebudayaan-kebudayaan daerah. Sejatinya, kebudayaan daerah inilah yang merupakan kebudayaan asli bangsa Indonesia, berurat dan berakar dari sari-sari pola-pola kehidupan masyarakat asli Indonesia. Kebudayaan dengan kearifan lokal tinggi dalam menghadapi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Bergejolaknya keadaan sosial budaya saat ini, terutama maraknya kekerasan di lapisan bawah masyarakat Indonesia, disinyalir, salah satu penyebabnya ialah hilangnya keseimbangan antara kehidupan jasmani dan rohani. Hal tersebut sebagai akibat terabaikannya nilai-nilai tradisi yang dahulunya integral dengan ritus-ritus kehidupan masyarakat dalam bentuk budaya-budaya tradisional-termasuk di dalamnya kesenian dan punya kedudukan penting sebagai penyangga keseimbangan kehidupan dan pembangunan.

Perubahan sosial budaya yang amat cepat, menghadapkan kita dengan kolonialisasi serta importir nilai-nilai budaya global, yang membuat kita terperangah, gagap dan tidak siap untuk mengantisipasinya. Tradisi dalam


(8)

kehidupan kita, kini tidak lagi menjadi sebuah ikatan batin yang menyejukan. Kehidupan seni tradisi tidak lagi dianggap sebagai penyangga kehidupan, malah dianggap sebagai sesuatu yang kuno dan harus ditinggalkan. Oleh sebab itu, tidaklah heran jika saat ini cara-cara yang berbau tradisi, baik menyangkut kehidupan sosial budaya maupun kesenian jadi semakin terpinggirkan. Banyak seni tradisi yang keberadaannya kini sudah tidak didukung lagi oleh masyarakatnya. Secara otomatis seni tradisi tersebut tidak lagi mendapat insentif dari hasil pementasan seni (manggung) di masyarakatnya. Hal ini merupakan sebuah pertanda kematian bagi seni tradisi, mengingat insentif dari masyarakat sebagai kompensasi kegiatan pementasan adalah nyawa yang akan terus melanggengkan eksistensi seni itu sendiri.

Persoalan yang tidak bisa dibendung dan sejak lama memberatkan kehidupan seni tradisi adalah munculnya jenis kesenian baru, baik baru dalam arti kesenian impor dari luar negeri maupun kesenian yang diciptakan berdasarkan selera kekinian, dengan keadaan demikian secara otomatis kesenian tradisi mendapat saingan dalam merebut pasar di masyarakat. Apabila seni tradisi tidak bisa mengimbangi persaingan sebagai akibat perubahan zaman itu, bukan tidak mungkin seni tradisi lambat laun akan terpinggirkan dan kemudian punah.

Menanggapi persoalan di atas, maka yakinlah bahwa seni tradisi yang kita punya perlu dipelihara dan dikembangkan. Selain itu, diperlukan pula aksi untuk memperkenalkannya kembali (revitalisasi), bahkan jika perlu


(9)

mengembangkannya. Seni tradisi harus berlanjut, baik sebagai tradisi itu sendiri maupun dalam jubahnya yang baru.

Dalam masyarakat tradisional Sunda khususnya di Kabupaten Tasikmalaya begitu banyak ditemukan seni-seni tradisional yang hingga saat ini masih tetap eksis meskipun dalam kondisi ‘mati segan hidup pun tak mau’. Pernyataan salah seorang guru SMPN 1 Karangnunggal sebagaimana dikutip Hermawan (2008:131) menyatakan bahwa seni musik (baca: Seni daerah setempat-pen) yang berkembang di wilayah Kabupaten Tasikmalaya antara lain Bangpret (terbang dan tarompet), Aseuk Hatong, Pencak Silat, Tutunggulan, Beluk, Rengkong, Cianjuran, Ciawian atau Pagerageungan, Angklung Sered, Rebana, Ludong, Karinding dan Calung Rantay.

Dari sekian banyak jenis kesenian yang berkembang di Kabupaten Tasikmalaya, Marawis merupakan salah satu bentuk seni yang masih tetap berkembang di tengah masyarakat Kabupaten Tasikmalaya, terutama di lingkungan pesantren-pesantren. Istilah Marawis untuk kesenian Islami yang kian populer ini berawal dari salah satu alat musiknya yang berbentuk seperti gendang namun ditabuhnya hanya pada satu sisi bidang. Sebenarnya, selain menggunakan Marawis, alat musik tetabuhan lainnya yang digunakan adalah hajir atau gendang besar (Amin, 2009).

Sumber lain menjelaskan bahwa Marawis adalah salah satu jenis band tepuk dengan perkusi sebagai alat musik utamanya. Kesenian Marawis berasal dari negara Timur Tengah terutama dari Yaman dan memiliki unsur keagamaan yang kental (Republika, 2008; Wikipedia, 2009). Itu tercermin dari


(10)

berbagai lirik lagu yang dibawakan berupa pujian dan kecintaan kepada Sang Pencipta (Wikipedia, 2009).

Musik Marawis dimainkan oleh minimal tujuh orang. Setiap orang menabuh satu alat musik yang sesekali sambil bernyanyi. Ada yang menabuh Marawis (masing-masing menabuh Marawis 1, Marawis 2, dan Marawis 3), menabuh hajir, tamtam, tamborin dan dumbuk. Seni Marawis ini ternyata tidak selalu diisi dengan tarian (Amin, 2009). Terkadang, untuk membangkitkan semangat, beberapa orang dari kelompok tersebut bergerak sesuai dengan irama lagu. Pada awalnya, seni Marawis hanya dimainkan oleh kaum pria, dengan busana gamis dan celana panjang, serta ber-peci. Uniknya, pemain Marawis biasanya bersifat turun temurun. Sebagian besar masih dalam hubungan darah kakek, cucu, dan keponakan.

Bagi sebagian orang, seni menjadi pengisi kekosongan jiwa atau hiburan semata. Namun lain halnya bagi para pemain seni Marawis, mereka berasumsi, berkesenian dijadikan sebagai ladang ibadah. Dengan bermain Marawis para seniman bisa bershalawat juga berkesenian, mendendangkan shalawat serta puji-pujian bagi Allah dan Rasul-Nya melalui ekspresi seni.

Seni Marawis juga dapat dikembangkan menjadi ikon pesantren, mengingat bahwa seni ini merupakan seni yang tumbuh dan berkembang di lingkungan masyarakat kalangan pesantren. Sehingga memiliki keterikatan spiritual dan emosional dengan para santri sebagai salah satu unsur masyarakat pendukungnya. Kemudian, dilihat dari sisi sosial budaya, seni Marawis lekat dengan kehidupan agamais masyarakat pada umumnya, yang


(11)

disebabkan oleh kehadiran seni Marawis sendiri sebagai seni bernuansa Islami. Seni Marawis tumbuh dan berkembang pada lingkungan pesantren sebagai media da’wah Islamiah.

Berdasarkan realitas tersebut, maka peneliti menganggap perlu upaya untuk mengkaji seni Marawis baik teks maupun konteksnya. Usaha ini perlu dilakukan guna melestarikan dan lebih jauhnya mengembangkan seni Marawis sebagai seni tradisional yang merupakan aset budaya yang dimiliki bangsa Indonesia supaya keberadaannya tidak tersingkirkan oleh perkembangan zaman yang begitu cepat.

B. Masalah Penelitian

Berdasarkan fenomena-fenomena realitas sebagaimana dijelaskan di atas, maka peneliti merumuskan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini, yaitu “Bagaimana Teks dan Konteks seni Marawis di Kabupaten Tasikmalaya”. Secara spesifik, pertanyaan di atas dapat dibagi menjadi dua pertanyaan penelitian, yaitu:

1. Bagaimana sejarah dan fungsi seni Marawis di Kabupaten Tasikmalaya? 2. Bagaimana koreografi, busana, dan iringan seni Marawis di Kabupaten

Tasikmalaya?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:


(12)

2. Memahami koreografi, busana, dan iringan seni Marawis di Kabupaten Tasikmalaya;

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan harapan akan memberikan manfaat bagi berbagai pihak. Secara spesifik, baik langsung atau pun tidak, penelitian ini akan lebih memberikan manfaat bagi pihak-pihak tertentu di antaranya: 1. Bagi peneliti, penelitian ini merupakan suatu upaya untuk lebih memahami

seni Marawis dan pengembangan lebih jauhnya menjadi alternatif bahan ajar untuk mengajarkan seni tari di sekolah;

2. Bagi grup seni Marawis, hasil penelitian ini akan menjadi dokumen berharga dalam upaya untuk terus mensosialisasikan eksistensinya di masyarakat;

3. Bagi guru-guru di Kabupaten Tasikmalaya, hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai pengayaan materi guna mengajarkan seni tari daerah setempat di sekolah umum SD, SMP, SMU, dan lebih spesifik lagi sekolah berbasis Islam. Selain itu, bagi guru-guru dari daerah lain hasil penelitian ini juga bermanfaat sebagai bahan rujukan materi seni tari daerah Nusantara;

4. Bagi pemerintah daerah, penelitian ini dapat menjadi masukan dalam rangka pengembangan dan pemeliharaan aset daerah sekaligus pelestarian seni daerah yang nantinya akan menambah kekayaan khasanah kebudayaan daerah;


(13)

5. Institusi LPTK. Bagi UPI sendiri sebagai lembaga pendidikan tenaga kependidikan, penelitian ini akan memberikan sumbangsih kekayaan temuan akademis yang nantinya diharapkan dapat dikembangkan dan dikaji lebih lanjut.

E. Metode Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah guna memahami teks dan konteks seni Marawis sebagai salah satu seni tradisi daerah pada masyarakat di Kabupaten Tasikmalaya. Oleh sebab itu, penelitian ini difokuskan pada seni Marawis baik dilihat dari sisi teks seninya mapun konteksnya dalam kehidupan masyarakat.

Berdasarkan kegiatan tersebut, maka penelitian ini menggunakan metode etnochoreology. Etnochoreology sendiri masih merupakan bidang baru dalam disiplin ilmu, yang secara etimologis kemungkinan berasal dari kata ethnic (Inggris) dengan makna kesukuan, choros (Yunani) dengan arti tari kelompok, dan logos (Yunani) dengan pengertian ilmu pengetahuan. Metode penelitian etnochoreology sebenarnya merupakan satu bentuk metode penelitian yang menerapkan konsep multidisiplin dalam kajian seni. Di dalamnya, meliputi berbagai aspek kajian antara lain sejarah, ritual, sastra, dan estetika (Masunah & Narawati, 2003:53).

Peneliti menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Peneliti mencari, mengumpulkan dan mengolah data-data mengenai seni Marawis secara tekstual dan kontekstual apa adanya sebagaimana yang berlaku di


(14)

masyarakat baik dilihat dari sejarah perkembangannya, fungsi sosial budaya, ritual, sastra, maupun estetikanya.

F. Teknik Pengumpulan Data

Data-data dikumpulkan melalui teknik wawancara, observasi, dan studi dokumentasi. Oleh sebab itu, data-data yang telah diperoleh dianalisis secara kualitatif dengan strategi pengolahan data bersifat general strategy yakni dilandaskan pada proposisi-proposisi teoritis yang mendukung pada fokus data tertentu, melalui dua pintu saringan yakni analytic induction dan constant comparison (Alwasilah: 2006).

Sebagaimana disebutkan di atas bahwa teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik observasi, wawancara, dan studi dokumen, oleh karena itu akan dikembangkan pedoman pengumpulan data yang dapat mengungkap data tentang masalah yang sedang dikaji. Pedoman pengambilan data dimaksud, berupa pedoman observasi dan pedoman wawancara yang tentunya tidak dirinci karena sifatnya lebih terbuka (open ended).

G. Lokasi dan Subjek Penelitian

Sesuai dengan judul penelitian ini yaitu “Kajian Marawis: Seni Bernuansa Islam di Tasikmalaya”, maka penelitian dilakukan di Kabupaten Tasikmalaya khususnya di Kampung Ciseureuh Jati Desa Cigadog Kecamatan Leuwisari. Pada lokasi ini dilakukan pengamatan mengenai teks dan konteks


(15)

seni Marawis dalam masyarakatnya, sehingga diketahui peran dan fungsi seni ini di masyarakat. Sumber data utama (primer) dalam penelitian ini diperoleh melalui sumber pertama, yaitu tokoh pengembang seni Marawis yang ada di pondok pesantren Nuurud Da’wah Kampung Ciseureuh Jati Desa Cigadog Kecamatan Leuwisari dan masyarakat sekitar.

H. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis data secara kualitatif, di mana analisis dan interpretasi atas data dilakukan kontinyu dari awal hingga akhir penelitian dengan merujuk pada fenomena dan teori-teori yang berhubungan dengan masalah penelitian. Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman (dalam Rohidi, 1992:18) mengungkapkan bahwa, “analisis data kualitatif merupakan upaya berlanjut, berulang dan terus menerus. Menurut mereka ada tiga tahap analisis data, yaitu: pertama, reduksi data yang merupakan kegiatan pembuatan rangkuman terhadap aspek-aspek permasalahan yang diteliti agar mudah untuk melakukan analisis data yang lebih lanjut guna memudahkan seorang peneliti dalam memahami data yang terkumpul dari lapangan. Kedua, display data atau penyajian data. Display data merupakan analisis terhadap penyajian data yang dilakukan secara jelas dan singkat, dibuat berdasarkan poin-poin masalah yang dikaji. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah peneliti dalam memahami data dan kemudian mengambil suatu kesimpulan. Dan ketiga, pengambilan kesimpulan dan verifikasi data. Pengambilan kesimpulan merupakan intisari dari hasil


(16)

penelitian. Namun, setiap kesimpulan yang diajukan senantiasa harus dilakukan verifikasi sebagai suatu upaya untuk mempelajari kembali data-data dan meminta pertimbangan dari berbagai pihak yang relevan dengan penelitian ini.

Guna mengukur ketepatan hasil penelitian, perlu dilakukan uji kredibilitas melalui teknik triangulasi, expert opinion, member check, dan studi pustaka. Triangulasi dilakukan untuk mengecek kebenaran data dengan cara membandingkan antara data dari satu sumber dengan sumber lainnya. Expert opinion merupakan upaya untuk memperoleh kritik, pertanyaan-pertanyaan tajam yang menentang tingkat kepercayaan hasil penelitian dari pihak-pihak yang objektif dan netral guna mendeteksi kelemahan, bias, dan penafsiran kurang jelas atas data penelitian. Member check adalah cara untuk mengkonfirmasi ulang atas data yang telah diperoleh sebelumnya untuk menghindari kekeliruan pencatatan atau interpretasi peneliti atas informasi dari responden. Sementara studi pustaka berfungsi untuk menunjang dan meningkatkan kepercayaan akan kebenaran data.


(17)

36 BAB III

PROSEDUR PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Penelitian ini mengambil judul Kajian Marawis Seni Bernuansa Islam di Tasikmalaya. Fenomena yang ingin dideskripsikan dalam penelitian ini adalah perkembangan seni Marawis sebagai salah satu genre seni Islami yang terdapat di wilayah Kabupaten Tasikmalaya. Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan seni Marawis secara tekstual dan kontekstual melalui pemahaman terhadap unsur koreografi, busana, iringan, sejarah, dan fungsinya pada masyarakat di Kabupaten Tasikmalaya.

Jika melihat permasalahan yang diuraikan di atas, maka data yang diperlukan untuk menjawabnya bersifat fakta-fakta aktual dari berbagai informasi tentang teks dan konteks seni Marawis di lapangan. Data dimaksud merupakan data-data yang bersifat natural baik teks maupun konteks seni Marawis dalam masyarakat. Sehingga dengan penelitian ini, peneliti ingin melihat bagaimana perubahan-perubahan yang terjadi pada perkembangan teks dan konteks seni Marawis tersebut, melalui pengamatan dan pemahaman atas unsur koreografi, busana, iringan, sejarah, dan fungsinya.

Berdasarkan karakteristik data yang diperlukan dalam penelitian ini, maka pendekatan penelitian yang dianggap paling tepat untuk dapat menggali seluruh data yang diperlukan oleh peneliti adalah pendekatan kualitatif dengan


(18)

menggunakan metode ethnochoreology. Penggunaan pendekatan kualitatif dengan metode ethnochoreology ini ternyata cukup mampu mendeskripsikan fenomena-fenomena yang terdapat dalam seni Marawis secara historis, antropologis, sosiologis, dan estetis sesuai taraf-taraf perkembangannya dalam masyarakat di Kabupaten Tasikmalaya.

Pada penelitian ini, sebagaimana umumnya dilakukan oleh peneliti-peneliti dalam peneliti-penelitian kualitatif, peneliti-peneliti melakukan tiga tahap, yaitu tahap orientasi, tahap eksplorasi atau pengambilan data dan tahap analisis data. Tahap orientasi merupakan tahap persiapan pengumpulan data sehubungan masalah seni Marawis sebagai seni yang bernuansa Islam dari kalangan pesantren. Langkah-langkah yang ditempuh pada tahap orientasi sebagai berikut:

a) Melakukan pendekatan terhadap lembaga dan instansi terkait seperti Pesantren, Desa, Kecamatan, Dinas Pariwisata, dan pihak lainnya di sekitar lokasi penelitian untuk memperoleh informasi dan gambaran yang jelas mengenai situasi dan kondisi sosial budaya masyarakat kampung Ciseureuh Jati Desa Cigadog Kecamatan Leuwisari Kabupaten Tasikmalaya serta eksistensi seni Marawis dalam masyarakatnya.

b)Menyiapkan pedoman wawancara dan observasi untuk responden yang tentu saja telah dikonsultasikan dengan pembimbing terlebih dahulu. c) Menghubungi setiap subyek penelitian yang terkait dengan masalah yang

dikaji seperti pimpinan pondok pesantren, pimpinan grup seni Marawis, tokoh masyarakat dan aparat setempat, untuk mengadakan negosiasi dan


(19)

mendapatkan persetujuan mengenai jadwal pelaksanaan observasi dan wawancara dalam rangka pengumpulan data lainnya. Di samping itu, juga tahapan digunakan untuk menentukan sumber data awal sesuai dengan karakteristik yang telah ditentukan.

B. TeknikPengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan teknik observasi, wawancara, dan studi dokumen. Peneliti mengembangkan pedoman pengumpulan data sebagai instrumen dalam mengimplementasikan masing-masing teknik tersebut.

1. Observasi

Seperti telah peneliti pahami bahwa salah satu teknik yang digunakan untuk mengamati secara langsung perilaku responden di lapangan adalah teknik observasi. Teknik ini digunakan untuk mengamati secara langsung kehidupan para pelaku seni Marawis pada masyarakatnya.

Pada saat melakukan observasi, peneliti berpartisipasi langsung dalam kegiatan Marawis, tidak berperan sebagai observer dalam empat tingkatan partisipasi, peneliti sebagai pengamat. Stainback dalam Sugiyono (2005:64),menjelaskan:

“… (1) Partisipasi Pasif (passive participation): means the research is present at the scene of action but does not interact or participate, (2) Partisipasi moderat (moderate participation): means that the researcher maintains a balance between being insider and being outsider, (3) Partisipasi aktif (Active participation): means that the researcher generally does what others in the setting do, (4) Pertisipasi lengkap (Complete participation): means the researcher is a natural participant. This is the highest level of involvement”.


(20)

Pada penelitian ini peneliti tidak terlibat langsung dalam peristiwa-peristiwa atau kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh grup seni Marawis Nuurud Da’wah maupun aktivitas masyarakat pendukungnya di Kampung Ciseureuh Jati Desa Cigadog Kecamatan Leuwisari. Peneliti hanya melakukan pemotretan dari berbagai sisi sesuai dengan data yang diperlukan dan mengamati saat mereka melakukan pertunjukan. Hal ini terjadi disebabkan oleh minimnya kesempatan peneliti untuk melakukan observasi dalam tingkatan partisipasi lengkap sehubungan dengan pekerjaan peneliti sebagai pengajar, serta waktu yang terbatas, sehingga menyebabkan peneliti mengalami kesulitan dalam membagi waktu antara penelitian dan tugas mengajar di sekolah.

Observasi yang dilakukan meliputi pengamatan terhadap koreografi, busana, iringan seni Marawis secara tekstualnya dan pola kehidupan pesantren serta masyarakat di sekitarnya guna memaknai fungsi seni Marawis dalam situasi dan kondisi masyarakat pendukungnya. Tetapi, dalam pelaksanaan observasi, tidak semua data diperoleh, sehingga untuk mencari informasi lebih banyak mengenai sejarah, peran, dan fungsi seni, dilakukan melalui wawancara.

2. Wawancara

Sebagaimana diutarakan di atas, data-data tentang teks dan konteks seni Marawis, tidak mungkin diperoleh hanya melalui pengamatan saja, tetapi peneliti memerlukan teknik lain yang dapat melengkapi kekurangan


(21)

dari penggalian data dengan menggunakan observasi. Teknik pengumpulan data lain yang digunakan peneliti pada penelitian ini adalah teknik wawancara atau interviu.

Peneliti menganggap, teknik wawancara dalam penelitian kualitatif merupakan teknik pengumpulan data yang terpenting. Wawancara sebagai bentuk komunikasi vertikal dan proses interaksi antar peneliti dengan sumber data berfungsi sangat epektif dalam proses pengumpulan data dalam penelitian kualitatif. Selain itu wawancara juga dapat difungsikan sebagai alat pembantu utama teknik observasi Alwasilah (2004:154) mengemukakan: “Interviu dapat digunakan untuk mengumpulkan informasi yang tidak mungkin diperoleh lewat observasi”.

Dalam penelitian naturalistik ini, peneliti ingin mengetahui bagaimana pendapat responden tentang seni Marawis yang ada di masyarakatnya. Dokumentasi dan observasi saja tidak memadai dalam melakukan penelitian. Mengamati kegiatan dan kelakuan orang saja tidak dapat mengungkapkan apa yang diamati atau dirasakan orang lain, persoalan itu yang pada gilirannya meminta studi observasi tersebut harus dilengkapi oleh studi wawancara.

Tujuan wawancara dalam penelitian ini untuk mengetahui apa yang terkandung dalam pikiran dan hati responden. Bagaimana pandangan tentang dunia yaitu hal-hal yang tidak dapat diketahui melalui observasi. Nasution (1996:71) mengemukakan bahwa: “penelitian naturalistik berusaha mengetahui bagaimana responden memandang dunia dari segi


(22)

perspektifnya, menurut pikiran dan perasaannya yaitu informasi “emic”. Atas dasar pertimbangan tersebut, maka dalam penelitian ini digunakan wawancara tak berstruktur dan selanjutnya beralih menjadi lebih berstruktur.

Kegiatan wawancara dilakukan secara intensif dengan berbagai pihak seperti sesepuh pesantren, pimpinan pesantren, pimpinan grup seni Marawis Nuurud Da’wah, aparat pemerintahan, dan masyarakat sebagai nara sumber yang dianggap memiliki informasi-informasi mengenai seni Marawis. Sehubungan dengan hal tersebut, maka nara sumber yang diwawancara antara lain; KH. Dede Miftahudin (45 Tahun) sesepuh Pondok Pesantren Nuurud Da’wah sekaligus tokoh Seni Marawis di Kampung Ciseureuh Jati Desa Cigadog Kecamatan Leuwisari Kabupaten Tasikmalaya (sekarang berdomisili di Pondok Pesantren Nuurul Wasilah Cicalengka Kabupaten Bandung); Hj. Imas Solihah (40 Tahun) tokoh seni Marawis di Kampung Ciseureuh Jati Desa Cigadog Kecamatan Leuwisari Kabupaten Tasikmalaya (sekarang berdomisili di Pondok Pesantren Nuurul Wasilah Cicalengka Kabupaten Bandung); Ust. Kusnadi (33 Tahun) yang dalam kaitannya dengan seni Marawis beliau berperan sebagai vokalis dan sebagai pimpinan pondok pesantren Nuurud Da’wah di Kampung Ciseureuh Jati Desa Cigadog Kecamatan Leuwisari Kabupaten Tasikmalaya, di mana seni Marawis ini berkembang; Ust. Abdul Wahid (27 Tahun) selaku pimpinan grup seni Marawis pondok pesantren Nuurud Da’wah, Jejen (15 Tahun) selaku


(23)

pemusik/penari/vokalis dalam grup seni Marawis Nuurud Da’wah sekaligus generasi muda; Imas (43 Tahun) salah seorang pedagang pada pertunjukan seni Marawis dalam acara memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW, di pondok pesantren Nuurud Da’wah; Hj. Mimi sebagai penanggap grup seni Marawis Nuurud Da’wah pada acara pernikahan (pada saat itu seni Marawis berperan sebagai penyambut tamu calon mempelai pria), Drs. Teddy Sutardy, M.Pd. Kepala SMP Negeri 1 Singaparna (48 tahun) sebagai penanggap Grup Seni Marawis Nuurud Da’wah dalam rangka menyambut tamu undangan dalam acara kenaikan kelas satu dan dua dan perpisahan siswa-siswi kelas tiga SMP Negeri 1 Singaparna, serta responden-responden lainnya.

3. Studi Dokumentasi

Studi dokumentasi pada penelitian ini untuk membantu melengkapi data dan pengecekan kebenaran data atau informasi yang diperoleh peneliti melalui observasi dan wawancara. Teknik pengumpulan data dengan studi dokumentasi ini, berintikan pada kegiatan pengamatan terhadap dokumen-dokumen tertulis yang ada hubungannya dengan fokus atau permasalahan penelitian.

Studi dokumentasi yang dimaksudkan dalam penelitian kualitatif ini, pada umumnya adalah teknik yang dilakukan melalui penelaahan dan analisis serta interpretasi terhadap dokumen yang berupa sumber data non-manusia, misalnya: catatan pribadi, laporan, ketetapan dan dokumen


(24)

peraturan-peraturan pemerintah, korespondensi, agenda, ataupun catatan lain menyangkut bukti pelaksanaan suatu proses atau kegiatan yang pernah terjadi.

Untuk melengkapi data penelitian, peneliti melakukan studi dokumen, yaitu dengan mengumpulkan data dari berbagai dokumentasi tertulis maupun dokumentasi dalam bentuk rekaman audio-visual. Dokumen tertulis peneliti gali antara lain dari Dinas Pariwisata Kabupaten Tasikmalaya. Di sini peneliti menemukan data-data seni yang tumbuh dan berkembang di Kabupaten Tasikmalaya yang bermanfaat sebagai data untuk melacak eksistensi seni-seni daerah pada masyarakat Kabupaten Tasikmalaya. Selain itu, data-data tertulis lainnya adalah monografi masyarakat Cigadog dari tingkat Desa hingga Kecamatan. Data ini berfungsi sebagai alat untuk mencari hubungan atau keterkaitan antara seni Marawis dengan fenomena-fenomena kependudukan pada masyarakatnya.

Data rekaman audio dan visual peneliti peroleh dari masyarakat, guru, dan pihak lainnya. Dokumentasi audio-visual ini peneliti perlakukan sebagai data pembanding dari hasil rekaman seni Marawis saat penelitian berlangsung. Langkah ini dilakukan sebagai upaya meningkatkan validitas data penelitian. Peneliti menyadari bahwa secara tekstual hasil rekaman pada saat penelitian tentu memiliki perbedaan dengan hasil rekaman di mana seni Marawis ini ditanggap oleh masyarakat. Selain itu, dalam pertunjukkan seni marawis di masyarakat memungkinkan munculnya


(25)

fenomena-fenomena baru sehubungan dengan konteks seni ini pada masyarakatnya.

C. Sumber Data

Penentuan sumber data atau objek penelitian ini dilakukan melalui teknik purposive sampling atau disebut juga teoretis sampling yaitu sampel yang dipilih berdasarkan kriteria-kriteria tertentu atas dasar kebutuhan penelitian. Menurut Nasution (2003:96) sampel ini termasuk sampel non-probability yaitu sampel yang dianggap tidak mewakili keseluruhan populasi sehingga tidak diterima sebagai generalisasi atas semua populasi. Hal ini tidak menjadi masalah karena memang tujuan dari penelitian ini untuk mendapatkan berbagai temuan yang mungkin tidak terpikirkan sebelumnya (Alwasilah: 2006), bukan sebagai pencarian atau pembuktian teori yang dapat dikatakan berlaku umum.

Sumber data utama (primer) dalam penelitian ini peneliti peroleh melalui sumber pertama, yaitu tokoh pengembang seni Marawis yang ada di Kampung Ciseureuh Jati Desa Cigadog Kecamatan Leuwisari, dan masyarakat sekitar. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi dan wawancara secara mendalam dengan pihak-pihak tersebut berkenaan dengan sejarah seni Marawis di Ciseureuh Jati Desa Cigadog Kecamatan Leuwisari Kabupaten Tasikmalaya, peran dan fungsi seni Marawis dalam masyarakat, latar belakang, sikap dan pandangannya mengenai seni Marawis.


(26)

D. Prosedur Analisis Data

Untuk memberikan makna terhadap data dan informasi yang telah dikumpulkan, peneliti melakukan analisis dan interpretasi. Kegiatan ini dilakukan secara terus menerus semenjak awal data dikumpulkan sampai akhir penelitian. Analisis dan interpretasi ini dilakukan dengan merujuk kepada landasan teoretis yang berhubungan dengan masalah penelitian

Dalam penelitian kualitatif, pelaksanaan analisis data dilakukan sepanjang penelitian itu dan secara terus menerus mulai dari tahap pengumpulan data sampai akhir penelitian. Data yang diperoleh dalam penelitian ini tidak akan memberikan makna yang berarti apabila tidak dianalisis lebih lanjut. Dengan demikian perlu adanya upaya penganalisisan data dengan teknik analisis kualitatif secara induktif, yaitu dengan cara membandingkan antara data yang terkumpul dari lapangan dengan teori yang ada.

Dalam kaitan ini Miles dan Huberman (dalam Rohidi, 1992:18) mengungkapkan bahwa, “analisis data kualitatif merupakan upaya berlanjut, berulang dan terus menerus”. Menurut mereka ada tiga tahap analisis data, yaitu:

1. Reduksi Data

Kegiatan reduksi data dalam penelitian ini merupakan langkah awal dalam menganalisis data suatu penelitian. Kegiatan reduksi data ini bertujuan untuk memudahkan peneliti dalam memahami data yang


(27)

terkumpul dari lapangan. Kegiatan reduksi data ini peneliti lakukan dengan pembuatan rangkuman terhadap aspek-aspek permasalahan yang diteliti agar mudah untuk melakukan analisis data yang lebih lanjut. Adapun aspek-aspek permasalahan yang peneliti reduksi dalam penelitian ini, sehubungan dengan masalah pokok pengembangan seni Marawis meliputi teks dan konteks seni Marawis dalam masyarakat.

2. Display Data atau Penyajian Data

Display data dilakukan melalui analisis terhadap penyajian data secara jelas dan singkat. Display data dibuat berdasarkan poin-poin masalah yang dikaji. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah peneliti dalam memahami data dan kemudian mengambil suatu kesimpulan.

3. Pengambilan Kesimpulan dan Verifikasi Data

Menganalisis data dalam penelitin ini sebagai upaya mengambil suatu kesimpulan yang merupakan intisari dari hasil penelitian. Selanjutnya verifikasi sebagai upaya untuk mempelajari kembali data-data yang sudah penulis kumpulkan dengan meminta pertimbangan dari berbagai pihak yang relevan dengan penelitian ini.

E. Pengujian Kredibilitas Data

Kredibilitas dilakukan dalam penelitian ini untuk mengukur ketepatan hasil penelitian yang dilakukan agar dapat dipercaya. Kredibilitas dilakukan untuk menggambarkan kesesuaian konsep peneliti dengan konsep pada


(28)

responden. Untuk mempertinggi tingkat kredibilitas penelitian ini, peneliti lakukan hal-hal sebagai berikut:

1. Triangulasi

Triangulasi dilakukan peneliti untuk mengecek kebenaran data dengan cara membandingkan antara data dari satu sumber dengan sumber lainnya, yaitu tokoh pengembang seni Marawis, dan masyarakat sekitar desa Cigadog. Selain pengecekan kebenaran data dari sumber berbeda, juga peneliti lakukan dengan menggunakan teknik yang berbeda terhadap responden yang sama, misalnya di samping peneliti melakukan wawancara terhadap tokoh masyarakat, juga peneliti melakukan observasi pada waktu tokoh tersebut mengajarkan seni Marawis, dan studi dokumentasi tentang perkembangan seni Marawis di masyarakat. Proses triangulasi ini tidak hanya sekedar menilai kebenaran data, tetapi juga menyelidiki validitas tafsiran mengenai data itu serta melengkapi kekurangan dalam informasi pertama.

Data-data yang diolah serta teknik triangulasi yang digunakan oleh peneliti untuk masing-masing data tersebut dapat dilihat pada tabel-tabel di bawah ini.

Data Wawancara Observasi Dokumen

Teks Seni Marawis √ √ √

Konteks Seni Marawis

√ √ √


(29)

Data Wawancara Pimpinan

Seni Marawis

Pemain Seni Marawis

Masyarakat

Teks dan Konteks Seni Marawis

√ √ √

Tabel 3.2. Triangulasi Sumber

2. Membicarakan dengan Rekan Sejawat/Expert Opinion

Data yang telah terkumpul melalui catatan lapangan dibahas bersama dengan rekan sejawat di Program Studi Seni Sekolah Pasca Sarjana Universitas Pendidikan Indonesia, dengan para pakar seni, dengan teman-teman di sekolah. Mereka tidak terlibat dalam penelitian ini, sehingga diharapkan dapat memberikan pandangan atau pendapat secara obyektif dan netral. Pembicaraan ini bertujuan untuk memperoleh kritik, pertanyaan-pertanyaan tajam yang menentang tingkat kepercayaan hasil penelitian. Mereka berperan sebagai pendeteksi kelemahan, bias dan penafsiran yang kurang jelas.

3. Mengadakan Member Check

Tahap ini merupakan kegiatan pengecekan kebenaran dari data dan informasi yang dikumpulkan peneliti, agar hasil penelitian lebih dapat dipercaya. Kegiatan ini peneliti lakukan pada setiap akhir wawancara dan atau setelah wawancara berselang, untuk mengkonfirmasikan data yang dikumpulkan dengan responden. Kegiatan konfirmasi ini, merupakan


(30)

upaya meminimalisir setiap kekeliruan pencatatan agar dengan segera dapat diperbaiki, ditambah atau dikurangi, sehingga data yang diperoleh sesuai dengan ucapan dan maksud responden. Kegiatan ini meliputi: a) Melakukan analisis terhadap data dan informasi yang berhasil penulis

kumpulkan. Kemudian hasilnya dibagikan atau dilaporkan kepada masing-masing informan untuk mengkonfirmasikan kesesuaian data dan informasi yang telah mereka berikan.

b) Meminta penjelasan lebih lanjut kepada informan bila dianggap perlu untuk melengkapi data dan informasi yang masih diperlukan.

c) Mengecek kembali kebenaran data dan informasi yang diberikan oleh tokoh setiap responden.

4. Menggunakan Bahan Referensi

Untuk menunjang dan meningkatkan kepercayaan akan kebenaran data, peneliti menggunakan bahan-bahan referensi seperti hasil rekaman, foto dan bahan dokumentasi. Cara ini dilakukan untuk memperoleh gambaran yang lengkap tentang informasi yang diperoleh dari responden.

Itulah langkah-langkah yang ditempuh dalam proses penelitian ini sesuai dengan ketentuan suatu penelitian kualitatif. Atas alasan bahwa

ethnochoreology masih merupakan metode baru dengan berbagai

kelemahan dan kekurangannya, maka kebermaknaan penelitian ini bersifat relatif dan tidak dapat digeneralisasi pada penelitian lain. Akan tetapi bila ada peneliti lain yang melihat adanya kesesuaian konteks dan situasi yang akan dihadapinya dalam suatu penelitian dengan konteks dan situasi


(31)

penelitian ini, maka mudah-mudahan diharapkan di sinilah munculnya kebermaknaan penelitian ini.


(32)

166 BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Seni Marawis yang merupakan hasil difusi dan akulturasi budaya, tatkala nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sesuai dengan nilai yang berkembang pada masyarakat, secara bertahap dia akan diterima oleh masyarakat dan akan tetap hidup serta mendapat tempat pada masyarakatnya.

Seni Marawis yang ada di pesantren Nu’urud Da’wah kampung Ciseureuh Jati Desa Cigadog Kecamatan Leuwisari Kabupaten Tasikmalaya merupakan salah satu bentuk seni yang dibawa oleh para misionaris Islam sebagai salah satu media dalam menyebarkan syiar Islam. Atas dasar temuan pada penelitian, diduga bahwa kemungkinan seni Marawis Nuurud Da’wah Kampung Ciseureuh Jati Desa Cigadog Kecamatan Leuwisari berasal dari Demak Jawa Timur kemudian berkembang ke wilayah lain di pulau Jawa oleh para Waliyullah yang menyebarkan agama Islam di Jawa yang lebih dikenal dengan Wali Songo.

Nilai-nilai Islam yang terkandung dalam seni marawis banyak yang relevan dengan nilai-nilai yang ada pada masyarakat Ciseureuh Jati Desa Cigadog Kecamatan Leuwisari Kabupaten Tasikmalaya yang menganut agama Islam. Hal itulah yang menyebabkan seni marawis dapat berkembang pada masyarakat Tasikmalaya.


(33)

Kehadirannya merupakan realisasi dari sistem pendidikan tradisional di Pesantren dalam rangka mengembangkan agama Islam oleh para ulama pada masa lalu. Seiring dengan perkembangan sosial budaya masyarakat pendukungnya, seni pertunjukan ini mengalami perkembangan menjadi seni pertunjukan rakyat yang tidak saja dipertunjukan di Pesantren, tetapi di luar Pesantren, seperti di tempat-tempat terbuka, rumah-rumah penduduk, panggung pertunjukan, dan sebagainya. Selain itu, terjadi juga perkembangan secara teks, bentuk penyajian, dan system pengelolaannya.

Seni Marawis dalam konteks budaya Pesantren mengandung tiga dimensi seni, yaitu Sya’ir, musik, dan tari. Pemain seni Marawis terdiri dari; vokalis untuk melantunkan sya’ir; pemain musik dengan memukul alat bernama marawis, hajir, dumbuk, tamtam, symbal, dan kecrek; dan penari. Sya’ir-sya’ir ini berisi puji-pujian kepada Allah dan Rosul, teks yang diambil dari ayat-ayat Alqur’an, kitab Al-Barjanji, riwayat Nabi, kajian sifat Allah, dan tuntunan kebaikan. Pemain dan vokalis duduk berderet (bersyaf) dengan jumlah 7 orang sampai 15 orang yang kesemuanya laki-laki, sedangkan penari berada dipermukaan depan pentas dengan gerak langkah kaki disesuaikan dengan irama lagu zafin, Sarah, atau Zahefah.

Walaupun seni Marawis dipengaruhi oleh kebudayaan Islam, tetap saja kesenian ini memiliki tempat di hati masyarakat pada umumnya. Malahan kesenian ini akan mewarnai identitas masyarakat dan telah menjadi milik masyarakat yang dipengaruhinya. Kayam pun menegaskan bahwasannya susunan pemerintahan lokal, bahasa lokal, berbagai nilai dan kaidah


(34)

kemasyarakatan, berbagai bentuk ekspresi kebudayaan dan kesenian, semua ini adalah bagian dari apa yang disebut warisan yang diterimakan oleh sejarah.

Seni yang tumbuh dan berkembang di lingkungan pesantren sebagai kebiasaan masyarakat pesantren dan lingkungannya, mempunyai keunikan sehingga merupakan kultur tersendiri yang berbeda dengan seni tradisional ataupun seni klasik. Sehingga karena keunikannya, seni yang berkembang di pesantren sebagai subkultur pesantren.

Hingga sekarang, genre seni pertunjukan seni Marawis masih tetap hidup dan eksis di tengah-tengah masyarakat pendukungnya. Kondisi perkembangannya bervariasi, ada yang masih setia dengan nilai-nilai tradisi yang sudah turun temurun, dan ada pula yang menyesuaikan dengan perkembangan selera masyarakat masa kini. Kondisi tersebut sudah barang tentu berhubungan dengan masalah pengelolaan atau manajemen seni pertunjukan. Pasang surut atau kurang berkembangnya seni Marawis dewasa ini, salah satu penyebabnya adalah karena kurang perhatian seniman dan pencinta seni terhadap metode dan teknik pengeloaan seni pertunjukan tradisi bersangkutan. Oleh karena itu seni tradisi harus dikelola secara piawai, walaupun gerak perkembangannya lamban dalam kurun waktu yang panjang.

Secara primer, teks Seni Marawis di Kabupaten Tasikmalaya berfungsi sebagai presentasi estetis atau sebagai seni pertunjukan, karena seni Marawis biasa dipertunjukan kepada umum baik dilingkungan pesantren maupun ditempat lain, dalam mengisi berbagai kegiatan. Seni Marawis dipertunjukan dilingkungan pesantren dalam memperingati/maulid Nabi, ulang tahun/milad


(35)

berdirinya pesantren, pertemuan-pertemuan, istigotsah/dzikir bersama, acara samenan/imtihan anak-anak madrasah, dan sebagainya. Dalam mengisi acara ini seni Marawis dipertunjukan kepada penonton, di atas panggung di dalam ruangan atau di halaman pesantren yang cukup luas. Mereka memakai busana seragam, tetapi modelnya seperti yang biasa mereka pakai sehari-hari di lingkungan pesantren.

Fenomena baru yang mulai menggejala dalam perkembangan seni Marawis adalah adanya berbagai perbedaan bentuk dan gaya penyajiannya dibandingkan dengan seni Marawis dalam konteks pertunjukan santri di Pesantren. Hal ini merupakan akibat dari terjadinya akulturasi antara budaya yang datang dan budaya setempat.

Pada dimensi kualitas materi sajian, seni Marawis mengalami perkembangan yaitu semakin kayanya lagu-lagu, gerak, dan variasi tepak, penambahan alat musik dari Barat. Semua itu untuk menyesuaikan dengan selera masyarakat penikmat. Secara kuantitas seni Marawis ini mampu menembus wilayah yang lebih luas. Kesenian ini tidak hanya dipentaskan di lingkungan pesantren saja tetapi ditampilkan di daerah-daerah lain. Kesenian ini tidak hanya untuk kebutuhan pertunjukan dalam rangka kegiatan keagamaan saja, akan tetapi juga dapat dipertunjukan di luar konteks tersebut.

Dalam konteks seni pesantren dan kehidupan masyarakat sekitarnya, seni Marawis berfungsi sebagai sarana da’wah Islamiah, hiburan, media pendidikan, dan mata pencaharian bagi aktor-aktor pelaksananya. Pertunjukkan seni Marawis mejandi ajang ’pasar kaget’ yang sedikit banyak


(36)

mempengaruhi perekonomian masyarakat bukan hanya pelaku aktif –pemain– melainkan juga pelaku pasif dalam arti penonton.

Secara keseluruhan koreografi gerak dalam pertunjukan seni Marawis, lebih menampilkan gerak-gerak langkah kaki, sedangkan gerak torso (gerakan badan), tangan, dan kepala tidak terlalu mendapatkan pengolahan yang berarti.

Tenaga yang digunakan ringan, agak berat waktu hentakan mengangkat kaki, dan agak melayang. Ekspresi menggambarkan kegembiraan, saling merespon antara penari satu dengan yang lainnya.

Desain lantai secara kelompok yang digunakan pada tari Zafin, tari Sarah, dan tari Zahefah, adalah unison (serempak) dan bergantian. Ruang yang digunakan pada tari Zafin adalah sedang dengan level sedang. Pola lantai garis lengkung memberi kesan halus dan lembut, lingkaran yang diulang-ulang, garis lurus ke samping atau maju mundur memberikan kesan tegas. Pola lantai yang membentuk pola angka delapan/spiral yang terdapat pada tari zahefah memberi kesan rumit penuh perasaan. Desain atas secara kelompok yang digunakan pada tari Zafin, Sarah dan Zahefah adalah serempak dan bergantian. Penggunaan gerak yang serempak pada pola lantai berhadapan memberi kesan kontras untuk mengimbangi gerakan yang bergantian. Dari ragam gerak yang telah diidentifikasi, maka gerak pada tari Zafin, Sarah, dan Zahefah termasuk pada kategori gerak locomotion movement.

Zafin merupakan identitas untuk kelompok lagu atau tabuhan yang mempunyai tempo sedang dalam Marawis. Tempo Zafin relatif lebih lambat dibandingkan dengan Sarah dan Zahefah. Tari Zafin yang ada di Nuurud


(37)

Da’wah biasanya dilakukan oleh dua orang laki-laki. Koreografi gerak yang digunakan pada tari Zafin sederhana. Keunikannya terletak pada gerak langkah maju-mundur bergandengan, jalan bolak-balik ganti arah bergandengan. Esensi dasar pada tari Zafin adalah jalan bergandengan, gerak kaki, hentakan waktu mengangkat kaki, dan tepuk tangan seolah-olah memberi salam, dengan tempo sedang.

Sarah merupakan identitas untuk kelompok lagu atau tabuhan yang mempunyai tempo cepat dalam marawis. Tempo Sarah relatif lebih lambat dibandingkan dengan Zahefah tetapi lebih cepat dari Zafin. Tari Sarah ditarikan oleh dua orang penari laki-laki. Dalam tari Sarah terdapat gerak jalan maju balik ganti arah, maju angkat kaki, jalan langkah tiga melingkar dan gerak maju mundur jingjit, penari satu dengan yang lainnya berlawanan arah hadap dan arah gerak. Koreografi gerak pada tari Sarah agak bervariasi, tingkat kesulitan geraknya sedang tidak terlalu rumit. Titik berat pada tari Sarah terletak pada gerak kaki. pola bergantian, berpindah tempat, saling merespon, menggunakan level sedang dan rendah. Ciri khas tarian ini adalah gerak maju mundur jingjit, jalan langkah tiga melingkar diakhiri level bawah jongkok, dengan tempo cepat. Penggunaan tenaga sedang, agak kuat waktu hentakan kaki, melayang.

Zahefah merupakan identitas untuk kelompok lagu atau tabuhan yang mempunyai tempo cepat dalam marawis. Tempo Zahefah relatif lebih cepat dibandingkan dengan Sarah dan Zafin. Tari zahefah dibawakan oleh dua orang penari atau empat orang penari laki-laki. Dalam tari Zahefah terdapat


(38)

gerak jalan pincang ganti arah bulak balik, jalan spiral, maju mundur berlawanan arah, maju bulak balik jalan pincang tangan melayang, dan gerak langkah maju mundur. Koreografi yang digunakan pada tari Zahefah tingkat kesulitan geraknya agak rumit dibandingkan dengan tari Zafin dan tari Sarah, karena gerak langkah kaki dan pola lantainya lebih bervariasi. Keunikan geraknya terletak pada jalan pincang dengan pola bergantian dengan lawannya dengan tempo cepat, dan menggunakan irama melayuan atau dangdutan.

Teks sajian seni Marawis termasuk salah satu sastra berbahasa Arab. Salah satunya diambil dari kitab Al Barjanji, yang digunakan sebagai sarana komunikasi dan ekspresi estetis lewat pupujian (puji-pujian kepada Allah dan Rosul) yang dinyanyikan. Sudah barang tentu akan berbeda dengan struktur bahasa yang digunakan pada kitab Alqur’an atau pada bahasa sehari-hari.

Teks seni Marawis terdiri dari bait-bait dan baris-baris. Setiap bait bisa terdiri dari dua baris, empat baris, enam baris, atau delapan baris. Jumlah suku kata untuk setiap baris berkisar antara 8 sampai dengan 12 suku kata. Pemakaian suku kata itu berhubungan dengan kebutuhan musikal (melodi) sebuah lagu.

Ansambel seni Marawis yang terdapat di pondok pesantren Nuurud Da’wah Kampung Ciseureuh Jati Desa Cigadog Kecamatan Leuwisari Kabupaten Tasikmalaya masih menggunakan alat yang standar, terdiri dari hajir, dumbuk, tam-tam, simbal/tamborin, dan 3 buah marawis, yang dimainkan dengan cara ditepuk dan dipukul. Bagian awal sajian lagu-lagu marawis dibuka dengan solo vokal. Solo vokal atau dikatakan mukodimah


(39)

atau pembuka tersebut menandakan pertunjukan sebuah lagu dimulai. Syair pembuka yang dibawakan diantaranya adalah Allahuma sholi wasalim wabarik alaih.

Setelah solo vokal/mukodimah selesai sampai bagian tertentu, barulah seluruh instrumen musik mengiringi lagu yang dibawakan. Hajir berfungsi sebagai anggeran wiletan (dalam karawitan sunda), pola tabuhnya diulang-ulang sampai lagu selesai. Selanjutnya instrumen dumbuk selain berfungsi untuk membuat ornamen, juga berfungsi sebagai tanda perubahan motif atau Ropel (Istilah dalam teknik Drum). Tam-tam juga berfungsi untuk melengkapi motif- motif yang sudah dibangun oleh hajir dan dumbuk. Selanjutnya tamborin dan simbal berfungsi sebagai penghias untuk menambah kesan semarak dalam sajian marawis, simbal dibunyikan setiap kali mengakhiri motif yang dibangun. Marawis berfungsi sebagai ornamentasi tabuhan. Marawis dibagi tiga kelompok, masing-masing kelompok memainkan motif masing-masing, namun apabila ketiga motif marawis tersebut digabungkan, maka akan membentuk suatu motif tabuhan yang utuh, dengan kata lain dinamakan pola tepuk dengan teknik interlocking.

Busana dan rias dalam pertunjukan seni Marawis, konsepnya realis. Busana menggunakan baju gamis, kain sarung, celana panjang, dan peci. Baju gamis, celana panjang, peci biasanya berwarna putih, melambangkan kesucian, kesederhanaan, dan kebersamaan (karena warna tersebut mudah dicari), dan kain sarung bisa warna apa saja, karena dianggap itu sebagai pariasi. Bahan pakaian biasanya dari katun, tetoron, bahkan balacu, sehingga


(40)

harganya terjangkau oleh semua kalangan. Busana pertunjukan seni Marawis juga bisa dengan menggunakan baju kampret (sekarang baju koko) berwarna putih, celana panjang hitam, dan peci. Bahkan ada yang menggunakan baju kampret berwarna putih, kain sarung, dan peci. Semua menunjukan kesederhanaan, kemudahan, kebersamaan, dan merupakan pakaian sehari-hari para santriwan di pondok pesantren. Sedangkan rias wajah nyaris tidak disentuh oleh bahan rias, seperti bedak, potlot alis, dan sebagainya. Akan tetapi para pamain tampil seperti sehari-hari, walaupun pertunjukannya pada malam hari. Busana tersebut digunakan oleh seluruh pemain seni Marawis, baik pemusik, vokalis, maupun penari.

B. Saran

Penelitian yang berjudul Kajian Marawis: Seni Bernuansa Islami di Kabupaten Tasikmalaya, merupakan satu dari sekian banyak penelitian mengenai seni tradisi. Dengan segala kekurangannya, peneliti berharap hasil penelitian ini dapat berkontribusi positif bagi perkembangan seni tradisi di Indonesia terutama di Kabupaten Tasikmalaya. Saran dari hasil temuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Bagi para pemegang kebijakan di daerah dapat segera mengambil kebijakan terkait pengembangan dan pemeliharaan seni marawis khususnya yang ada di Kampung Ciseureuh Jati Desa Cigadog Kecamatan Leuwisari Kabupaten Tasikmalaya. Peneliti berharap penelitian ini dapat menjadi masukan bagi pemerintah daerah dalam rangka pengembangan dan


(41)

pemeliharaan aset daerah sekaligus pelestarian seni daerah yang nantinya akan menambah kekayaan khasanah kebudayaan daerah.

Bagi para pemerhati dan peneliti seni, kajian ini bisa dijadikan bahan referensi dalam melakukan studi tingkat lanjut dari penelitian seni marawis yang akan datang.

Bagi guru-guru yang mengajar di jenjang Sekolah Menengah Pertama di Kabupaten Tasikmalaya, hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai pengayaan materi untuk lebih memahami seni Marawis dan pengembangan lebih jauhnya menjadi alternatif bahan ajar untuk mengajarkan seni Tari di sekolah khususnya seni Tari daerah setempat. Selain itu, bagi guru-guru dari daerah lain hasil penelitian ini juga bermanfaat sebagai bahan rujukan materi seni Tari daerah Nusantara.

Bagi Institusi LPTK. sebagai lembaga pendidikan tenaga kependidikan, penelitian ini diharapkan dapat dikembangkan dan dikaji lebih lanjut, karena hasil penelitian ini sedikit banyak memberikan sumbangsih kekayaan temuan akademis berkenaan dengan seni tradisi sebagai altnative bahan ajar di sekolah.


(42)

Daftar Pustaka

Abdulhak, I. (1995) Media Pendidikan. Bandung: Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan.

Al-Baghdādī, A. (2009). Seni Dalam Pandangan Islam: Seni Vocal, Musik dan Tari Tersedia: http://www.musikdebu.com/seni/ [8 Juni 2009]

Alif Magazine.(2008). Seni Dalam Islam. Tersedia : http:/www.musikdebu.com/seni/ [8 Juni 2009]

Alwasilah, A. C. (2006). Pokoknya Kualitatif: Dasar-dasar Merancang dan Melakukan Penelitian Kualitatif. Jakarta: Pustaka Jaya.

Amin, B. (2009). Dari Bondowoso hingga Betawi. Tersedia: http://baitulamin.org/khazanah/dari-bondowoso-hingga-betawi.html [24 April 2009]

AngkasaYasmadi, (2005), Modernisasi Pesantren, Kritik Nurcholish Madjid terhadap Pendidikan Islam Tradisional. Jakarta, Quantum Teaching.

Bungin, M. B. (2006). Metodologi Penelitian Kuantitatif: Komunikasi, Ekonomi, dan Kebijakan Publik Serta Ilmu-ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.

Departemen Agama RI (2003), Pola Pembelajaran di Pesantren, Jakarta.

Dim, H. (1995). Jawinul: Jalan-jalan Di Rimba Kebudayaan. Bandung: Rekamedia Multiprakarsa.

Dhofier. Zamakhsyari, (1982). Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta.

Hartati, D. (tt). Masuknya Pengaruh Islam Di Indonesia. Tersedia: http://elcom.umy.ac.id/elschool/muallimin_muhammadiyah/file.php/1materi/Sejarah/ MASUKNYA%20PENGARUH%20ISLAM%20DI%20INDONESIA.pdf [8 Juni 2009]

Hermawan, D. (2008). Kesiapan Guru Mata Pelajaran Seni Musik Tingkat SMP Dalam Mengimplementasikan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Di Kabupaten Tasikmalaya. Tesis Pada Program Studi Pendidikan Seni UPI: Tidak diterbitkan. Khaerussalam, A.A. (2005). Sejarah Perjuangan Syekh Haji Abdul Muhyi: Waliyullah

Pamijahan. Tasikmalaya: Lingkungan Kekeramatan Pamijahan.

Madjid, Nurcholish (1997), Bilik-bilik Pesantren, sebuah Potret Perjalanan, Jakarta.


(43)

Masunah, J. & Narawati, T. (2003). Seni dan Pendidikan Seni: Sebuah Bunga Rampai. Bandung: P4ST UPI.

Nasution, S. (2003). Metode Research (Penelitian Ilmiah): Usul Tesis, Desain Penelitian, Hipotesis, Validitas, Sampling, Populasi, Observasi, Wawancara, Angket. Jakarta: Bumi Aksara.

Purwadi dan Maharsi. (2005). Babad Demak: Sejarah Perkembangan Islam Di Tanah Jawa. Jogjakarta: Tunas Harapan.

Raihani, (2001). Curriculum Construction in The Indonesian Pesantren, Tesis, University of Melbourne, (diakses, 10 Mei 2006).

Republika Newsroom (2008). Marawis; Berkesenian dan Ibadah. Tersedia: www.republika.co.id/berita/4061/Marawis_Berkesenian_dan_Ibadah. [24 April 2009]

Sedyawati, E. (Penyusun) (2002). Indonesia Heritage: Seni Pertunjukan. Jakarta: Buku Antar Bangsa.

Soedarsono, R.M. (2002) Seni Pertunjukan Indonesia Di Era Globalisasi. Jogjakarta: Universitas Gajah Mada Press.

Steenbrigh, Karel A. (1986) Pesantren, Madrasah, Sekolah. Pendidikan Islam dalam kurun modern. Jakarta. LP3ES

Tafsir, Ahmad. (2006). Filsafat Pendidikan Islam, Bandung, Remaja Rosdakarya. Wikipedia (2009). Marawis. Tersedia: http://wikipedia.org/marawis.html

[24 April 2009]

Zubair, A. C. (1995). Kebudayaan Dan Kesenian Dalam Perspektif Islam http://filsafat.ugm.ac.id/downloads/artikel/kebudayaan.pdf


(1)

gerak jalan pincang ganti arah bulak balik, jalan spiral, maju mundur berlawanan arah, maju bulak balik jalan pincang tangan melayang, dan gerak langkah maju mundur. Koreografi yang digunakan pada tari Zahefah tingkat kesulitan geraknya agak rumit dibandingkan dengan tari Zafin dan tari Sarah, karena gerak langkah kaki dan pola lantainya lebih bervariasi. Keunikan geraknya terletak pada jalan pincang dengan pola bergantian dengan lawannya dengan tempo cepat, dan menggunakan irama melayuan atau dangdutan.

Teks sajian seni Marawis termasuk salah satu sastra berbahasa Arab. Salah satunya diambil dari kitab Al Barjanji, yang digunakan sebagai sarana komunikasi dan ekspresi estetis lewat pupujian (puji-pujian kepada Allah dan Rosul) yang dinyanyikan. Sudah barang tentu akan berbeda dengan struktur bahasa yang digunakan pada kitab Alqur’an atau pada bahasa sehari-hari.

Teks seni Marawis terdiri dari bait-bait dan baris-baris. Setiap bait bisa terdiri dari dua baris, empat baris, enam baris, atau delapan baris. Jumlah suku kata untuk setiap baris berkisar antara 8 sampai dengan 12 suku kata. Pemakaian suku kata itu berhubungan dengan kebutuhan musikal (melodi) sebuah lagu.

Ansambel seni Marawis yang terdapat di pondok pesantren Nuurud Da’wah Kampung Ciseureuh Jati Desa Cigadog Kecamatan Leuwisari Kabupaten Tasikmalaya masih menggunakan alat yang standar, terdiri dari hajir, dumbuk, tam-tam, simbal/tamborin, dan 3 buah marawis, yang dimainkan dengan cara ditepuk dan dipukul. Bagian awal sajian lagu-lagu marawis dibuka dengan solo vokal. Solo vokal atau dikatakan mukodimah


(2)

atau pembuka tersebut menandakan pertunjukan sebuah lagu dimulai. Syair pembuka yang dibawakan diantaranya adalah Allahuma sholi wasalim wabarik alaih.

Setelah solo vokal/mukodimah selesai sampai bagian tertentu, barulah seluruh instrumen musik mengiringi lagu yang dibawakan. Hajir berfungsi sebagai anggeran wiletan (dalam karawitan sunda), pola tabuhnya diulang-ulang sampai lagu selesai. Selanjutnya instrumen dumbuk selain berfungsi untuk membuat ornamen, juga berfungsi sebagai tanda perubahan motif atau Ropel (Istilah dalam teknik Drum). Tam-tam juga berfungsi untuk melengkapi motif- motif yang sudah dibangun oleh hajir dan dumbuk. Selanjutnya tamborin dan simbal berfungsi sebagai penghias untuk menambah kesan semarak dalam sajian marawis, simbal dibunyikan setiap kali mengakhiri motif yang dibangun. Marawis berfungsi sebagai ornamentasi tabuhan. Marawis dibagi tiga kelompok, masing-masing kelompok memainkan motif masing-masing, namun apabila ketiga motif marawis tersebut digabungkan, maka akan membentuk suatu motif tabuhan yang utuh, dengan kata lain dinamakan pola tepuk dengan teknik interlocking.

Busana dan rias dalam pertunjukan seni Marawis, konsepnya realis. Busana menggunakan baju gamis, kain sarung, celana panjang, dan peci. Baju gamis, celana panjang, peci biasanya berwarna putih, melambangkan kesucian, kesederhanaan, dan kebersamaan (karena warna tersebut mudah dicari), dan kain sarung bisa warna apa saja, karena dianggap itu sebagai pariasi. Bahan pakaian biasanya dari katun, tetoron, bahkan balacu, sehingga


(3)

harganya terjangkau oleh semua kalangan. Busana pertunjukan seni Marawis juga bisa dengan menggunakan baju kampret (sekarang baju koko) berwarna putih, celana panjang hitam, dan peci. Bahkan ada yang menggunakan baju kampret berwarna putih, kain sarung, dan peci. Semua menunjukan kesederhanaan, kemudahan, kebersamaan, dan merupakan pakaian sehari-hari para santriwan di pondok pesantren. Sedangkan rias wajah nyaris tidak disentuh oleh bahan rias, seperti bedak, potlot alis, dan sebagainya. Akan tetapi para pamain tampil seperti sehari-hari, walaupun pertunjukannya pada malam hari. Busana tersebut digunakan oleh seluruh pemain seni Marawis, baik pemusik, vokalis, maupun penari.

B. Saran

Penelitian yang berjudul Kajian Marawis: Seni Bernuansa Islami di Kabupaten Tasikmalaya, merupakan satu dari sekian banyak penelitian mengenai seni tradisi. Dengan segala kekurangannya, peneliti berharap hasil penelitian ini dapat berkontribusi positif bagi perkembangan seni tradisi di Indonesia terutama di Kabupaten Tasikmalaya. Saran dari hasil temuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Bagi para pemegang kebijakan di daerah dapat segera mengambil kebijakan terkait pengembangan dan pemeliharaan seni marawis khususnya yang ada di Kampung Ciseureuh Jati Desa Cigadog Kecamatan Leuwisari Kabupaten Tasikmalaya. Peneliti berharap penelitian ini dapat menjadi masukan bagi pemerintah daerah dalam rangka pengembangan dan


(4)

pemeliharaan aset daerah sekaligus pelestarian seni daerah yang nantinya akan menambah kekayaan khasanah kebudayaan daerah.

Bagi para pemerhati dan peneliti seni, kajian ini bisa dijadikan bahan referensi dalam melakukan studi tingkat lanjut dari penelitian seni marawis yang akan datang.

Bagi guru-guru yang mengajar di jenjang Sekolah Menengah Pertama di Kabupaten Tasikmalaya, hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai pengayaan materi untuk lebih memahami seni Marawis dan pengembangan lebih jauhnya menjadi alternatif bahan ajar untuk mengajarkan seni Tari di sekolah khususnya seni Tari daerah setempat. Selain itu, bagi guru-guru dari daerah lain hasil penelitian ini juga bermanfaat sebagai bahan rujukan materi seni Tari daerah Nusantara.

Bagi Institusi LPTK. sebagai lembaga pendidikan tenaga kependidikan, penelitian ini diharapkan dapat dikembangkan dan dikaji lebih lanjut, karena hasil penelitian ini sedikit banyak memberikan sumbangsih kekayaan temuan akademis berkenaan dengan seni tradisi sebagai altnative bahan ajar di sekolah.


(5)

Daftar Pustaka

Abdulhak, I. (1995) Media Pendidikan. Bandung: Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan.

Al-Baghdādī, A. (2009). Seni Dalam Pandangan Islam: Seni Vocal, Musik dan Tari Tersedia: http://www.musikdebu.com/seni/ [8 Juni 2009]

Alif Magazine.(2008). Seni Dalam Islam. Tersedia : http:/www.musikdebu.com/seni/ [8 Juni 2009]

Alwasilah, A. C. (2006). Pokoknya Kualitatif: Dasar-dasar Merancang dan Melakukan Penelitian Kualitatif. Jakarta: Pustaka Jaya.

Amin, B. (2009). Dari Bondowoso hingga Betawi. Tersedia: http://baitulamin.org/khazanah/dari-bondowoso-hingga-betawi.html [24 April 2009]

AngkasaYasmadi, (2005), Modernisasi Pesantren, Kritik Nurcholish Madjid terhadap Pendidikan Islam Tradisional. Jakarta, Quantum Teaching.

Bungin, M. B. (2006). Metodologi Penelitian Kuantitatif: Komunikasi, Ekonomi, dan Kebijakan Publik Serta Ilmu-ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.

Departemen Agama RI (2003), Pola Pembelajaran di Pesantren, Jakarta.

Dim, H. (1995). Jawinul: Jalan-jalan Di Rimba Kebudayaan. Bandung: Rekamedia Multiprakarsa.

Dhofier. Zamakhsyari, (1982). Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta.

Hartati, D. (tt). Masuknya Pengaruh Islam Di Indonesia. Tersedia: http://elcom.umy.ac.id/elschool/muallimin_muhammadiyah/file.php/1materi/Sejarah/ MASUKNYA%20PENGARUH%20ISLAM%20DI%20INDONESIA.pdf [8 Juni 2009]

Hermawan, D. (2008). Kesiapan Guru Mata Pelajaran Seni Musik Tingkat SMP Dalam Mengimplementasikan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Di Kabupaten Tasikmalaya. Tesis Pada Program Studi Pendidikan Seni UPI: Tidak diterbitkan. Khaerussalam, A.A. (2005). Sejarah Perjuangan Syekh Haji Abdul Muhyi: Waliyullah

Pamijahan. Tasikmalaya: Lingkungan Kekeramatan Pamijahan.

Madjid, Nurcholish (1997), Bilik-bilik Pesantren, sebuah Potret Perjalanan, Jakarta.


(6)

Masunah, J. & Narawati, T. (2003). Seni dan Pendidikan Seni: Sebuah Bunga Rampai. Bandung: P4ST UPI.

Nasution, S. (2003). Metode Research (Penelitian Ilmiah): Usul Tesis, Desain Penelitian, Hipotesis, Validitas, Sampling, Populasi, Observasi, Wawancara, Angket. Jakarta: Bumi Aksara.

Purwadi dan Maharsi. (2005). Babad Demak: Sejarah Perkembangan Islam Di Tanah Jawa. Jogjakarta: Tunas Harapan.

Raihani, (2001). Curriculum Construction in The Indonesian Pesantren, Tesis, University of Melbourne, (diakses, 10 Mei 2006).

Republika Newsroom (2008). Marawis; Berkesenian dan Ibadah. Tersedia: www.republika.co.id/berita/4061/Marawis_Berkesenian_dan_Ibadah. [24 April 2009]

Sedyawati, E. (Penyusun) (2002). Indonesia Heritage: Seni Pertunjukan. Jakarta: Buku Antar Bangsa.

Soedarsono, R.M. (2002) Seni Pertunjukan Indonesia Di Era Globalisasi. Jogjakarta: Universitas Gajah Mada Press.

Steenbrigh, Karel A. (1986) Pesantren, Madrasah, Sekolah. Pendidikan Islam dalam kurun modern. Jakarta. LP3ES

Tafsir, Ahmad. (2006). Filsafat Pendidikan Islam, Bandung, Remaja Rosdakarya. Wikipedia (2009). Marawis. Tersedia: http://wikipedia.org/marawis.html

[24 April 2009]

Zubair, A. C. (1995). Kebudayaan Dan Kesenian Dalam Perspektif Islam http://filsafat.ugm.ac.id/downloads/artikel/kebudayaan.pdf