Peranan ANA IF dan ANA-Profile Dalam Pendekatan Penderita Dengan Lupus Erytematosus Sistemik.

mmoEfficilhmffim

f'ilil ilil|il'

GNAD{D

II{I{A BALI BEACH ,6.7 NOVEMBER 2015

i**n*r

BAG/sMF rLMt
nALArvr
FK UNUN/RSUP SANGII\H NENPASAR

sed on Novel

Pendekatan penderita dengan perdarahan
rrrqrr
NiMade RennyAnggreniRena

"'


Update Rekomendasi lmunisasi
pada Dewasa
Tuti Parwati Merati

Froblems Regarding Herpes
Zoster in Lr'vrry
Elderly
RA. Tuty

Kuswardhani

,THtlffll]|1""""

vaksinasi Herpes Zoster pada
Usia Lanjur . .

rong Acting Nifedipine on
Treatnrent
! Flypertension

---.r:>'i'r of

Yenny

Kandarini

lrnunobiorogi dan !mu.noterap!
$-iepatitis
IDN Wibawa, putu prathiw! prl*"Ofrllrni B Kronis
ChronEc Hepatitis B Therapy
Nyoman purwadi

i:[::ll;]t3"'u

pada Hlperurisernia
dan Goury Artritis

Peranan ANA rF and
ANA-profire daram pendekatan penderita
Lupus Erytematosus

Sistemik
Gede Kambayana

ty:l

Peran Sistem Hemostasis
dalam Atherogensis
dan
Atherothrombosis
II Made
il^:^
n-,.

Bakta

I:fill}#ritrteuropatik

pada penderita

Diabetes usia Lanjut


VI

Denpasar,OS-OZN"ilil

KATALOG DALAM TERBITAN
LEADING INTERNAL MEDICINE TO BEST CARE
OF PATIENT
BASED ON NOVEL RESEARC
Denpasar, PT. percetakan Bali
xii + 22A hlm; 17 cm x 24,S cm
ISBN : 978-602-16 7240-2

LEADING INTERNAL MEDICINE TO BEST CARE
OF PATIENT:
BA$ED SN NOVEL RESEARC

Editor:
Prof. Dr. dr. tMade Bakta, SppD_KHOM, FINASIM
Prof. Dr. dr. IDIrJ Wibawa, SppD_KGEH,

Fll"JASlM
Dr. dr. Ketut Suega, SppD-KHOM, FlNASitrvtr
dr. I Nyoman Astika, SppD-KGer, FINASIM

Penerbit
PT. Percetakan Bali,
Jl. Gajah Mada t/1 Denpasar Bati g0112,
Telp. (0361 ) 2A4223, 2ss221

Dicetak di
PT. Percetakan Bali,
Jl. Gajah Mada t/1 Denpasar Bali 80112,

:

PKB XXIII

Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

Peranan ANA lF danANA-Profile Dalam Pendekatan Penderita

Dengan Lupus Erytematosus Sistemik
Gede Kambayana
Divisi Reu matologi dan Alergi-lmu notogi, Depaftemen llmu Penyakit Dalam,
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, RSUP Sanglah Denpasar

Abstrak

Kemajuan dalam pemeriksaan immunologi untuk penunjang
diagnosis penyakit reumatik autoimmun dalam sepuiuh tahun terakhir
sangat menggembirakan, dengan adanya pemeriksaan ANA lF sangat
membantu dalam menegakkan diagnosis penyakit reumatik autoimun,
sehingga diagnosis dapat ditegakkan lebih dini.

ldentifikasi keberadaan dan pola pengecatan ANA dengan IFM
rnenggunakan sel HEp2 merupakan langkah awal yang penting dalam
diagnosis Autoimun Reumatik Disease (ARD). Deteksi lanjutan dari
autoantibodi spesifik dan profilnya sangat membantu dalam menegakkan
diagnosis LES, khususnya antibodi anti-dsDNA dan/atau anti-sm, atau
menunjukkan ARD lain seperti ssc bila ACA atau anti-sd 70 ditemukan.
Pengukuran anti-dsDNA memiliki dua kegunaan dalam aplikasi

Hinis. Pertama, kadar yang tinggi memilikispesifisitas lebih dari 90%untuk
Fagnosis LES. Kedua, peningkatan kadar harus memperingatkan klinisi
ftan kemungkinan keparahan penyakit, dan tingginya kadar (khususnya
rkaitan dengan kadar komplemen serum yang rendah) menunjukkan
ingkatan risiko nefritis lupus atau vaskulitis. Antibodi yang lain tidak
kaitan dengan aktivitas penyakit

Autoantibodi relatif mudah ditemukan pada seseorang tanpa disertai
otoimun. Tentunya hal tersebut harus ditunjang oleh sensitivitas

labaoratorium yang tinggi. Apabila demikian maka

dapat ditemukan secara universal sebagai mekanisme normal di
badan terhadap produk sel. Dengan kata -lain otoantibodi dapat
05-07 November 2015

015
.

PKB XXIII


Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

merupakan hal fisiologik. Dari sudut pemeriksaan laboratorium, .adanya
anggapan demikian menimbulkan dua halyang dapat menjadi hannbatan dalam
terapah imunglogik klinik. Dasarnya adalah, pertama, otoantibodi dapat
ditemukan dalam serum orang norm'al tanpa manifestasi penyakit. Umumnya
autoantibodi itu sendiri tidak.segera menyebabkan penyakit. Oleh karenanya,
lebih baik autoantibodi dipandang sebagai petanda (mark-ers) proses patologik
daripada sebagai agen patologik. Kadarnya yang dapat naik atau turun dapat

berkaitan dengan aktivitas penyakit atau sebagai hasil intervensi terapi.
Kompleks (oto)antigen dan otoantibodilah yang akan memulairangkaian penyakit
autoimun. Hingga saat ini hipotesis yang dianut adalah autoantibodi baru
dikatakan memiliki peran dalam pekembangan suatu penyakit reumatik
autoimun ayrabiia ia berperan dalam proses'patologiknya'
Autoantibodi yang terbentuk terhadap suatu antigen dapat dimiliki oleh
sejum!,th per"ryakit yang berbeda dan yang dernikian itu dik*a:a! sebagai
antrb*di yang tidak speslfik. Salah satunya yang dapat dikelonlpokkan pada


autcantibodi ini adalah anti nu*iear antibady iAi{A). Diternukannya satu jenis
antibodi terhadap satu .ienis penyakii reurnatik otoimun saja merupakan
harapan dari banyak ahli. Namun hal ini masih jauh dari kenyataan karena
adanya tumpang tindih berbagai penyakit yang rnendasarinya, serta besarnya
kemaknaan klinis suatu otoantibodi. Say*ngriya disinilah letak kebanyakan
keterbatasan pemeriksaan otoantibodi.
Antinuklear Antibodi (ANA)

Antinuklear antibodi merupakan suatu kelompok autoantibodi yang
spesifik terhadap asam nukleat dan nukleoprotein, ditemukan pada connective
fi.ssue drsease seperti SLE, sklerosis sistemik, mixed connective fssue
diasease (MCTD) dan sindrom Sjogren's primer. ANA pertama kaliditemukan
oleh Hargraves pada tahun 1948 pada sumsum tulang pasien SLE. Dengan
perkembangan pemeriksaan imunodifusi dapat ditemukan spesifisitas ANA
yang baru seperti Sm, nuclear ribocleoprofetn (nRNP), Ro/SS-A dan La/SSB.ANA dapat diperiksa dengan menggunakan metode irnunofluoresensi. AM
digunakan sebagai pemeriksaan r penyaring pada connective ftssue
disease.Dengan pemeriksaan yang baik, 99% pasien SLE menunjukkan
pemeriksaan yang positif, 68% pada pasien sindrom Sjogrens dan 407o pada
pasien skleroderma.ANA juga pada 10% populasi normal yang berusia > 70


L92

Denpasar, 05-07 November 2015

Leq4lng Internal Medicine to Best care of patient: Based on

Nou"tPff#H

tahun.

selama lebih dari 40 tahun identifikasi ANA dilakukan dengan
menggunqkan mikroskop fluoresen (lFM) dengan memakai berbagai jenis
substrat. Awalnya digunakan jaringan tikus, seperti ginjal dan liver, namun
saat initelah dipakai lapisan sel manusia, khususnya selepitel (HEp-2) yang
berasal dari karsinoma laring. sel HEp-2 memiliki keuntungan dimana
nukleus dan nukleolusnya terlihat cukup jelas dan saat sel membelah akan
mempresentasikan antigen yang hanya diekspresikan selama stadium

tertentu dari siklus sel sehingga dikenali sebagai pola khas dengan
penggunaan lFM. Sel Hep2 mudah dikultur di laboratorium dan telah tersedia

dalam bentuk slide yang dipasarkan oleh perusahaan komersial. Meskipun
sampai saat ini pemeriksaan ANA dengan metoda IFM dianggap sebagai
baku emas.

Usaha untuk memperbaiki standardisasi tes ANA telah dilakukan
dengan memperkenalkan metoda enzyme-tinked immunoabsohenf assays
(ELlsA) yang dikembangkan secara komersial. Beberapa metoda menggunakan
antigen ekstrak nukleus utuh (whole nuclear extract) yang dilekatkan pada
Grwan ELlsA, sedang beberapa yang lain menggunakan antigen sintetis yang
spesifik. Metoda ELISA memiliki sensitivitas yang tinggi untuk deteksi ANA.
Kerugiannya adalah beberapa metoda ELISA yang menggunakan antigen

spesifik tidak dapat mendeteksi antigen seluler yang belum diketahui,
sedangkan ELISA yang menggunakan ekstrak nukleus utuh adalah sulit
untuk memonitor pengikatan antigen yang berbeda pada cawan ELlsA.
oleh karena itu IFM tetap menjaditespilihan yang menggunakan sel HEp2
untuk beberapa waktu (Jearn et al, 2009).
Hasil tes ANA dengan titer tinggi, misalnya melebihi 1:320, pada
keadaan klinis yang sesuai, seperti wanita muda yang datang dengan
tandatanda rambut rontok, ruam malar, poliartralgia, dan leukopenia, maka
interpretasinya menjadi mudah. Namun hasil tes ANA positif selain
dijumpai pada pasien LES dapat ditimbulkan karena pengaruh terapi obat,
pada usia tua, infeksi kronis, penyakit liver kronis dan bahkan pada
orang
sehat dan keluarga tingkat pertama dari pasien lupus asimptomatik. Lebih
jauh, hasil tes ANA sangat bervariasi tergantung pada
substrat dan metode
yang digunakan untuk deteksi serta kehandalan pemeriksanya.
saat ini,
Denpasar, 05-07 Noyeoober 2015

193

"

PKB XXIII
Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

metoda yang peling banyak digunakan adalah IFM dengan substrat sel
HEp-2.
'Tes ANA positif telah ditemukan pada kebanyakan pasien dengan
ARD sistemk, namun frekuensi dan titer tertinggi dijumpai pada pasien
LES. Titer itu sendiri tidak memberi kepentingan prognosis, namun
dilaporkan titer yang lebih ting,qi lebih signifikan dalam membuat diagnosis
penyakit. Pada beberapa kasus, ANA dapat positif bahkan sebelum
diagnosis LES dibuat. Evaluasi pada sekumpulan sampel beku yang
diambil pada lebih dari 5 juta anggota militer USA ditemukan ANA positif
(titer>1:120) pada 101 dari 130 pasien yang terdiagnosis LES hingga 9,2
tahun setelahnya. Lebih jauh, studi ini melaporkan adanya beberapa
autoantibodi spesifik lainnya sebelurn onset LES yakni antibodi anti-DNA,
antifosfol!pid, anti-Ro/SSA, den anti-La/SSB yanq muncul lebih awal
dariparln anti-Sm dan anti-nuclear RNP. Oleh karena itu keberadaan dan
poia pcr-lgecatan AN,A pcsitif sa.ga tidak cukup untuk menentukan adanya
!upr.r* etau ARD ialn.

identifikasi Frofi!e AmtE nuelearAntibodi
Deteksi autoantibodi spesifik dibutuhkan dengan tes yang lebih
spesifik. Adanya antibodi terhadap dsDhtA dan/atau Sm sangat
bergunauntuk mengkonfirmasi diagnosisLES, meskipun hasil negatif tidak
berarti menyingkirkan LES. Karena autoantibodi inijarang ditemukan pada
ARD lain, anti-dsDNA dan anti-Sm sangat berguna untuk membedakan
pasien dengan LES dengan ARD lain, seperti SS (berkaitan dengan antiRo dan/atau anti-La) atau SSc (ACA dan/atau anti-Sci 70). Pasien lupus
dengan antibodi terhadap dsDNA dan/atau Sm memiliki peningkatan yang
signifikan terjadinya ruam malar, hipokomplenemia, keterlibatan renal dan
kelainan hematologi. Sedangkan pasie dengan anti-Ro dan/atau anti-La
memiliki ruam lupus dan fotosensitivitas yang lebih berat.
Antibodi spesifik yang memiliki kekuatan diagnostik paling tinggi
yang ditemukan pada pasien LFS adalah antibodi terhadap dsDNA.
Keberadaan anti-dsDNA, khususnya isotip lgG telah digunakan sebagai
marker serologis untuk diagnosis LES selama lebih dari 45 tahun,
Sebanyak 60%-83% pasien lupus ditemukan memiliki antibodi anti-dsDNA
dan pada beberapa pasien ditunjukkan bahwa titer antibodi ini secara

t94

Denpasar, 05 -07 November 2015

Internal Medicine to Best care of patient: Based on rvou"rPnT?#:il

bermakna

berkaitan dengan aktivitas penyakit. Meskipun beberapa
masalah timbul sehubungan dengan variasi metoda yang
digunakan untuk
mendeteksi antibodi ini, anti-dsDNA tetap digunakan sebagai
kriteria untuk
diagnosiq lupus yang dapat dipertanggung jawabkan. Lebih
ranjut,
penggunaannya sebagai biomarker potensial telah
direncanakan untuk
mempelajari efek terapi baru LES.
Terdapat beberapb metode yang tersedia untuk deteksi
anti_
dsDNA. Fan assay (RlA) merupakan metode pemeriksaan
anti-dsDNA
yang paling nyata berkaitan dengan diagnosis LES
dan merupakan metoda

yang paling konsisten dalam memprediksi terjadinya

komplikasi
glomerulonephritis. Metoda lain adalah Crithidia assay,
mendeteksi antibodi
anti-dsDNA dengan kemampuannya mengikat kinetoplast
dari crithidia
luciliae, organisme protozoa dengan struktur dsDNA
sirkular. Assay ini
membutuhkan teknisi yang terlatih dan teliti untuk menidentifikasi
secara

tepat kinetoplast dari nukleus atau badan polar dengan

lFM.

Keuntungannya adalah spesifisitasnya lebih baik dalam
mendeteksi antidsDNA dibandingkan dengan Farr dan ELISA yang
dapat memberikan
hasil positif palsu dengan ssDNA. Namun, metoda
ELISA banyak tersedia
di pasaran dan relatif mudah dalam deteksi anti-dsDNA afinitas
tinggi
maupun rendah. Diantara berbagai metoda ELISA yang
terseaia teroapat
perbedaan yang nyata dalam hal sensitivitas,
spesiffuit.! orn nilai prediktif
dalam mendiagnosis LES dan menentukan aktivitas penyakit.
Assay
crithidia lebih cocok digunakan untuk diagnosis sedangkan
metoda ELrsA
untuk monitor aktivitas penyakit.
Peneritian akhir-akhir ini meraporkan bahwa nukleosom
merupakan
target anti-dsDNA secara in vivo pada pasien LES.
Anarisis aktivitas
antibcdi terhadap nukreosom dan dsDNA didapatkan
bahwa reaktivitas

anti-dsDNA serum hampir selalu berkaitan dengan
aktivitas anti_
nukleosom. Pada Bao/o-g}o/o pasien LES adanya
antilnukreosom menjadi
petanda yang rebih sensitif daripada autoantibodi
rain dan titer antinukleosom berfruktuasi sesuai aktivitas penyakit.
Meskipun demikian
temuan ini masih berum diraporkan secara konsisten. perbedaan
inimungkin timbur karena metode yang berbeda,
cara pemurnian

nukleosom. variasi jumrah samper, dan variasi
daram pengukuran aktivitas
penyakit yang digunakan. Di masa mendatang
deteksi anti-nukleosom
Denpasr,

05

-07

\ovenber 20U

195

PKB XXIII

Leading lnternal fufuai.if,.'o

n"tt

g.."t" of Pati

tambahan untuk diagnosis
ELISA sangat niungkin menjadi tes imunologis
belum dipastikan
LES namun-'hingga saat ini nilai prognosisnya
sepenuhnYa.

Daftar Pustaka
Wadell'. G''
C, Kokkonen, H', Johansson' M'' Hallmans' G''
onset of
the
predate
Rantapa-Danrqri.i, s.,' zcjrt. nuioaniioodies
&
Research
Arthritis
systemic lupus erythematosus in nothern sweden'

1. Eriksson,

ifi"itpv,rg,ngo.

r r, .!-:--^
L'
Meheus, L' Huizing",..YJ'' Cebecauer'.
2. Hoffman, lEA., Peene, l','specific
antinuclear antibodies are associated
iooq
lsenberg, D., et
^1, in systernic lurpu6 erythematosus. Ann Rheum Dis :
with clinicart""irri,
4 ;63:1 'l 55 -1 1 58
Antibody
3. Jearn, LH., Klm, D', Kirn, T., ?il09. Limitations of Antinuclear
Teststl.iEp-Z)n,*o*u'"onrewiththeAutoimmuneTargetTest(1T.1)in
gystemiclupusErythemeissus'J,Rheumatol;36;1833-1'834'
a
4. Malleson, pft",-rulaet