BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Pencari Suaka - ENANGANAN TERHADAP ORANG ASING PENCARI SUAKA DI INDONESIA (Kajian terhadap Imigran Gelap Pencari Suaka yang Terdampar di Pantai Mekaran Kebumen) - repository perpustakaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Pencari Suaka 1. Pengertian Suaka Suaka adalah penganugrahan perlindungan dalam wilayah suatu

  negara kepada orang-orang dari negara lain yang datang ke negara yang bersangkutan karena menghindari pengejaran atau bahaya besar (Wagiman, 2012: 92). Kata suaka ini berasal dari Bahasa Yunani yaitu “Asylon” atau “Asylum” dalam bahasa Latin, yang artinya tempat yang tidak dapat dilanggar dimana seseorang yang dikejar-kejar mencari tempat berlindung. Suaka (Asylum) mulai timbul dan sering terjadi di negara- negara Amerika Latin. (Sulaiman Hamid, 2002: 42).

  Kwan Sik, mendefinisikan suaka sebagai perlindungan yang diberikan kepada individu oleh kekuasaan dari negara lain (negara yang memberikan suaka). Menurut Oppenheim Lauterpacth, suaka berkaitan dengan wewenang suatu negara yang mempunyai kedaulatan di atas territorialnya untuk memperbolehkan seorang asing memasuki dan tinggal di dalam wilayahnya (Sulaiman Hamid, 2002: 45).

  Perlindungan oleh suatu negara kepada orang asing yang berada di wilayahnya dalam hukum internasional, disebut sebagai memberikan suaka. Suaka adalah dimana seorang pengungsi/pelarian politik mencari gedung perwakilan diplomatik dari suatu negara. Jika perlindungan diberikan, pencari suaka itu dapat kebal dari proses hukum dari negara di mana ia berasal (Sumaryo Suryokusumo, 1995: 163).

  Sedangkan dalam definitive asylum, si pemohon suaka adalah yang diberikan perlindungan dan kepada dirinya diletakkan di luar jursdiksi negara asalnya. Pemberian diplomatic asylum sering didasarkan bahwa memang hal tersebut dapat diberikan karena kedutaan itu adalah imun/kebal terhadap jurisdiksi negara penerima, akan tetapi teori yang demikian ini banyak yang menentang. Dasarnya bahwa pemerintah asing dapat memberikan suaka jika didasarkan pada imunity/kekebalan diplomatik adalah kurang tepat, karena dalam hukum internasional hal ini tidak ada sanksi hukumnya, sehingga banyak negara-negara yang tidak mau mengakuinya (Sulaiman Hamid, 2002: 79).

  Menurut Pasal 1 ayat (1) Deklarasi PBB tahun 1967 tentang Asilum Teritorial, “asylum granted by a State, in the excercise of its sovereignty,

  

to persons entitled to invoke article 14 of the Universal Declaratioin of

Human Right, including persons struggling againts colonialism, shall be

respected by all other States.” Suaka adalah perlindungan yang diberikan

  oleh suatu negara kepada individu yang merasa terancam dirinya oleh negara asalnya karena alasan politik, agama dan ras (Sri Setianingsih Suwardi, 2004: 42).

2. Pengertian Pencari Suaka

  Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, suaka yaitu mengungsi (berlindung), menumpang, menumpang hidup. Istilah ‘pengungsi’ dan ‘pencari suaka’ memiliki definisi legal dalam hukum internasional, tepatnya di dalam hukum tentang Hubungan Internasional, dan juga di dalam Undang-Undang Dasar Indonesia. Seharusnya tidak ada alasan untuk menyamaratakan semua imigran tanpa dokumen sebagai ‘ilegal’.

  Pencari suaka adalah istilah yang biasanya digunakan untuk orang yang ingin didaftarkan diri sebagai pengungsi di Kantor UNHCR, dengan menyatakan bahwa mereka membutuhkan perlindungan internasional atas alasan yang sesuai dalam Pasal 1 A di Konvensi Pengungsi

  Pencari suaka adalah orang yang sedang mencari perlindungan untuk mendapatkan status sebagai pengungsi lintas batas (refugee).

  Mereka sedang menunggu proses pengakuan akan klaimnya (Jesuit (JRS), 2013: 6).

  Refugee Service

  Menurut Pasal 1 ayat (2) Draft Peraturan Presiden tentang Penanganan Orang Asing Pencari Suaka dan Pengungsi, pencari suaka adalah orang asing yang menyatakan dirinya sebagai pencari suaka atau memiliki Kartu Pencari Suaka yang dikeluarkan oleh perwakilan UNHCR di Indonesia. Pencari suaka yaitu seseorang yang telah mengajukan permohonan sebagai pengungsi, dan sedang menunggu permohonannya menyebut dirinya pengungsi, namun permintaan mereka akan perlindungan belum selesai dipertimbangkan.

  Pencari suaka adalah orang yang telah mengajukan permohonan untuk mendapatkan perlindungan namun permohonannya sedang dalam proses penentuan. Apabila permohonan seorang pencari suaka itu diterima, maka ia akan disebut sebagai pengungsi, dan ini memberinya hak serta kewajiban sesuai dengan undang-undang negara yang menerimanya. Penentuan praktis apakah seseorang disebut pengungsi atau tidak, diberikan oleh badan khusus pemerintah di negara yang ia singgahi atau badan PBB untuk pengungsi (UNHCR). Prosentase permohonan suaka yang diterima sangat beragam dari satu negara ke negara lain, bahkan untuk satu negara yang sama. Setelah menunggu proses selama bertahun- tahun, para pencari suaka yang mendapatkan jawaban negatif tidak dapat dipulangkan ke negara asalnya, yang membuat mereka terlantar. Para pencari suaka yang tidak meninggalkan negara yang disinggahinya biasanya dianggap sebagai imigran tanpa dokumen. Pencari suaka terutama mereka yang permohonannya tidak diterima, semakin banyak yang ditampung di rumah detensi imigrasi (www.unhcr.or.id).

  Pencari suaka biasanya dilatarbelakangi oleh alasan yang telah ditentukan hukum internasional, mencakup sebab-sebab yang bersifat rasial, agama, kebangsaaan, keanggotaannya dalam suatu kelompok sosial atau kelompok politik. Disamping itu yang bersangkutan tidak mendapat

  Pasal 13 ayat (2) Deklarasi HAM Universal 1948 menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk meninggalkan negara, termasuk negaranya sendiri, ataupun untuk kembali ke negaranya. Hak kebebasan mencari suaka tersebut diakomodir pula dalam oleh Declaration of

  

Territorial Asylum 1967 yang menyebutkan bahwa setiap orang memiliki

  hak untuk mencari dan menikmati suaka di negara lain karena kekhawatiran mengalami penyiksaan. Namun pada ayat selanjutnya ditegaskan bahwa hak tersebut tidak dapat dimohonkan dalam kasus-kasus yang sifatnya non politis atau karena tindakan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dalam Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa. Permohonan suaka dibatasi hanya untuk ketakutan yang timbul dari suatu kejahatan politik atau yang bernuansa suku, agama, ras dan antar golongan (Wagiman, 2012: 115).

  Pemberian suaka berkaitan dengan pemberian izin masuk bagi orang-orang asing ke suatu negara. Prinsip-prinsip yang berkenaan dengan izin masuk (admission) orang-orang asing ke negara-negara lain, yaitu: a.

  Suatu negara berkewajiban memberi izin kepada semua orang asing.

  b.

  Suatu negara berkewajiban untuk memberi izin kepada semua orang asing, dengan syarat bahwa negara tersebut berhak menolak golongan- golongan tertentu, misalnya pecandu-pecandu obat bius, orang-orang berpenyakit tertentu, dan orang-orang yang tidak dikehendaki lainnya. c.

  Suatu negara terikat untuk mengizinkan orang-orang asing untuk masuk ke wilayahnya tetapi dapat mengenakan syarat-syarat yang berkenaan dengan izin masuk mereka.

  d.

  Suatu negara sepenuhnya berhak melarang semua orang asing menurut kehendaknya (J. G. Starke, Edisi Kesepuluh: 465).

  Hak untuk mendapat perlindungan atau suaka di negara lain tercantum pada Pasal 14 ayat (1) Deklarasi PBB yang berbunyi Everyone

  has the right to seek and enjoy in other country asylum from perscecution

  (Setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan tempat perlindungan/suaka di negara-negara lain sebagai akibat adanya tekanan) di negara asalnya. Istilah persecution dalam bahsa Indonesia dapat berarti juga ‘penyiksaan’ atau ‘penganiayaan’, namun demikian karena tidak semua orang yang meminta suaka itu disebabkan akibat kekerasan fisik yang mereka terima (Wagiman, 2012: 94).

  Kasus-kasus permohonan suaka oleh para pencari suaka yang telah terjadi di dunia dan dianggap layak oleh hukum internasional antara lain berasal dari pengungsi Vietnam pasca konflik dengan Amerika Serikat tahun 1960, Pengungsi Afganistan era Taliban, pengungsi Irak era Saddam Husein, pengungsi Kamboja era Pol Pot serta pengungsi asal Haiti. Seringkali mereka mengungsi sekaligus mencari suaka. Hal tersebut terjadi karena mereka tidak punya pilihan hidup lain selain keluar dari negaranya. Namun demikian, ada juga pencari suaka yang tidak mendapat status pengungsi (Wagiman, 2012: 93).

3. Ketentuan Pencari Suaka

  Seorang pencari suaka akan dievaluasi melalui prosedur penentuan status pengungsi, yang dimulai sejak tahap pendaftaran pencari suaka.

  Setelah registrasi, UNHCR dibantu dengan penerjemah yang kompeten melakukan interview terhadap pencari suaka tersebut. Proses interview tersebut akan melahirkan alasan-alasan yang melatarbelakangi keputusan apakah status pengungsi dapat diberikan atau ditolak. Pencari suaka selanjutnya diberikan satu buah kesempatan untuk meminta banding atas permintaannya akan perlindungan internasional yang sebelumnya ditolak

  Berdasarkan keterangan-keterangan tersebut dibawah ini, Pemerintah Indonesia mengakui hak setiap orang untuk mencari suaka di negara lain, yaitu: a.

  Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Bab

  XA, Pasal 28G, butir 2: “Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain”.

  b.

  Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia,

  pasal 24: “Setiap orang berhak mencari suaka untuk memperoleh perlindungan politik dari negara lain.” c.

  Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,

  pasal 28: “Setiap orang berhak mencari suaka untuk memperoleh d.

  Undang-Undang No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, Bab VI, pasal 25, 26, 27 (JRS, 2013: 11).

  Secara definitif belum ditemui adanya ketentuan-ketentuan Hukum Internasional yang bersifat universal yang menentukan status “pesuaka” (asylee) (Sulaiman Hamid, 2002 : 44).

  Namun demikian, masyarakat dapat berpegang kepada “Pasal 1

  Paragraf 3 Deklarasi tentang Suaka Territorial 1967 yang menyatakan secara tegas menyertakan bahwa penilaian alasan-alasan bagi pemberi suaka diserahkan kepada negara pemberi suaka (“It shall est with the State

  

granting asylum to evaluate the grounds for the grant of asylum”)

(Sulaiman Hamid, 2002 : 44).

  Penanganan terhadap orang asing pencari suaka dan pengungsi didasarkan pada prinsip-prinsip hukum Internasional yang berlaku universal dan hukum nasional Republik Indonesia, Pasal 18 Draft Peraturan Presiden tentang Penanganan Orang Asing Pencari Suaka dan Pengungsi menurut keterangan-keterangan sebagai berikut: a.

  Tidak mendeportasi Orang Asing Pencari Suaka dan Pengungsi ke tempat dimana hidup atau kebebasannya terancam.

  b.

  Tidak melakukan tindakan hukum keimigrasian kepada Orang Asing Pencari Suaka dan Pengungsi karena semata-mata masuk atau berada di wilayah Indonesia secara tidak sah.

  c.

  Orang Asing Pencari Suaka dan Pengungsi yang melakukan tindak pidana selain yang dimaksud pada huruf b dikenakan ketentuan pidana d.

  Perlakuan nondiskriminatif kepada Orang Asing Pencari Suaka dan Pengungsi berdasarkan ras, kebangsaan, agama atau keyakinan.

  e.

  Menghormati Hak Asasi Manusia Orang Asing Pencari Suaka dan Pengungsi yang berada di wilayah Indonesia.

  f.

  Perlakuan terhadap anak pencari suaka dan pengungsi yang tidak didampingi orang tua/walinya didasarkan pada asas kepentingan terbaik untuk anak (principle of the best interest of the child) yang dilakukan oleh UNHCR untuk penanganan pencari suaka atau pengungsi anak dalam situasi tertentu.

  g.

  Orang Asing Pencari Suaka yang kasusnya sudah ditutup dan dinyatakan tidak memenuhi syarat untuk memperoleh status pengungsi, kepadanya diterapkan peraturan keimigrasian yang berlaku.

  h.

  Orang Asing Pencari Suaka dan Pengungsi yang secara sukarela menerima perlindungan dari perwakilan negara asalnya, kepadanya diterapkan peraturan keimigrasian yang berlaku.

B. Tinjauan Umum tentang Pengungsi 1.

  Pengertian Pengungsi Akar kata dari istilah pengungsi adalah ungsi dan kata kerjanya adalah mengungsi, yaitu pergi mengungsi (menyingkirkan) diri dari bahaya atau menyelamatkan diri (ke tempat yang memberikan rasa aman). Sedangkan pengungsi adalah kata benda yang berarti orang yang mengungsi (Kamus Besar Bahasa Indonesia).

  Pengungsi terjadi karena adanya bahaya misalnya, bencana alam (natural disaster) seperti banjir, gempa, gunung meletus, kekeringan.

  Mengungsi jaadi dapat terjadi bukan disebabkan karena bencana alam (non natural disaster), tetapi karena konflik bersenjata, pergantian rezim politik, penindasan fundamental, pelecehan hak asasi manusia, dan sebagainya. Mengungsi dapat dilakukan baik dilingkup satu wilayah negara ataupun negara lain karena adanya perbedaan haluan politik (Achmad Romsan, dkk, 2003: 35).

  Perbedaan antara refugee (pengungsi lintas batas) dan IDP (Internally Displaced Person)/ pengungsi internal menurut Hukum Internasional, yaitu:

  a) Refugee (pengungsi lintas batas)

  Pengungsi lintas batas adalah seseorang yang “oleh karena rasa takut yang wajar akan kemungkinan dianiaya berdasarkan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada suatu kelompok sosial tertentu, atau pandangan politik, berada di luar negeri kebangsaannya, dan tidak bisa atau, karena rasa takut itu, tidak berkehendak berada di dalam perlindungan negeri tersebut.” b)

  Internally Displaced Person (Pengungsi Internal) Pengungsi internal ialah orang-orang atau kelompok-kelompok orang yang telah dipaksa atau terpaksa melarikan diri atau meninggalkan rumah mereka atau tempat mereka dahulu biasa tinggal, terutama dampak-dampak konflik bersenjata, situasisituasi rawan yang ditandai oleh maraknya tindak kekerasan secara umum, pelanggaran- pelanggaran hak-hak asasi manusia, bencana-bencana alam, atau bencana-bencana akibat ulah manusia, dan yang tidak melintasi perbatasan negara yang diakui secara internasional (OCHA, 2001: iv).

  Menurut Konvensi 1951 Pasal 1 A yang dimaksud dengan pengungsi yaitu :

  The term “refugee”, shall apply to any person who: 1)

Has been considered a refugee under the Arrengements of 12 May

1926 aand June 1928 or under Convention of 28 October 1933 and 10

  February 1938, the protocol of 1 September 1939 or the Constitution of the International Refugee Organization. Decision of non-eligibility taken by the International Refugee Orgnization duringg the period of its activities shall not prevent the status of refugee being accorded to persons who fulfil the conditions of paragraph 2 of this section. 2)

As a result of events occuring before 1 January 1951 and owing to

well founded fear of being prosecuted for reasons of race, religion, nationality, membership of a particular social group or political opinion, is outside the country of this nationality and is unable, or owing to such fear, is unwilling to avail himself of the potection of that country: or who, not having nationality and being outside the country of his former habitual residence as a result of such events, is unable or, owing to such fear, is unwilling to return to it.

  Berdasarkan rumusan tersebut di atas maka istilah pengungsi menurut Konvensi tahun 1951, meliputi orang-orang yang: a.

  Orang yang berada di luar wilayah negara di mana dia menjadi warga negaranya atau di luar wilayah tempat tinggalnya semula (former ).

  habitual residence b.

  Orang tersebut dalam kategori di atas, disebabkan karena kejadian batas waktu yang disebabkan, karena pertama, akan menjadi sukar bagi negara untuk melaksanakan kewajibannya terhadap pengungsi masa depan, asal dan jumlah yang mungkin tidak diketahui. Kedua, karena 1 Januari 1951 adalah saat berdirinya UNHCR (Sri Setianingsih Suwardi, 2004: 33).

2. Penetapan Status sebagai Pengungsi

  Menetapkan seseorang/kelompok orang berstatus sebagai pengungsi sehingga dapat menikmati hak-hak yang ditentukan dalam Konvensi 1951 dan Protokol 1967 harus melalui proses penetapan yang dikenal dengan istilah “eligibility” (determination of eligibility). Berdasarkan proses penetapan tersebut, kemudian dikenal 2 macam pengungsi, yaitu : 1)

  Pengungsi Konvensi Konvensi 1951 menentukan siapa yang diakui sebagai pengungsi tetapi tidak menentukan prosedurnya karena penetapan status sebagai pengungsi diserahkan kepada negara anggota Konvensi 1951. Di dalam prakteknya, maka prosedur tersebut ditetapkan oleh panitia khusus (special authority) atau panitia ad hoc. Karena dalam Konvensi tidak ada ketentuan tentang prosedur yang harus ditetapkan dalam menentukan status pengungsi maka negara peserta dapat menentukan prosedurnya sendiri sesuai dengan maksud Pasal 31 ayat (2) Konvensi.

  Biasanya pemerintah negara bersangkutan membentuk suatu hubungannya dengan masalah pengungsi, misalnya instansi imigrasi, polisi, pemerintah daerah, departemen sosial, dan sebagainya. Jika dalam negara tersebut terdapat perwakilan UNHCR, maka dapat dimintai pendapatnya dalam penentuan status pengungsi tersebut.

  2) Pengungsi Mandat

  Negara-negara yang tidak menjadi anggota Konvensi 1951 dan/atau Protokol 1967, penetapan status sebagai pengungsi ditetapkan oleh wakil-wakil UNHCR yang ada di negaranya. Berdasarkan Konvensi 1951, pengungsi tersebut berada di bawah perlindungan UNHCR dan disebut sebagai pengungsi didasarkan pada Statuta UNHCR (Sri Setianingsih Suwardi, 2004: 49).

3. Instrumen Hukum Pengungsi a.

  Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi atau

  The Convention relating to the Status of Refugees

  Konvensi Jenewa 1951 tentang status pengungsi merupakan fondasi bagi hukum pengungsi internasional. Konvensi Jenewa 1951 memberikan batasan tentang apa yang dimaksud dengan pengungsi dan menegaskan standar minimum yang harus diberlakukan terhadap orang-orang yang memenuhi syarat sebagai pengungsi.

  Konvensi Jenewa 1951 tentang Status Pengungsi dirancang pada akhir Perang Dunia II, sehingga definisi tentang pengungsi yang dirumuskan di dalamnya difokuskan kepada orang-orang yang berada dari peristiwa yang terjadi di Eropa sebelum 1 Januari 1951. Karena persoalan pengungsi makin meningkatkan pada akhir tahun 1950an dan awal 1960, diperluas cakupan waktu dan geografis dari Konvensi tentang status pengungsi. Oleh karena itu, perkembangan berikutnya telah dirancang dan disepakati suatu protokol tambahan terhadap Konvensi tentang status Pengungsi tersebut yakni: 1967 Protocol atau Protokol New Yok 1967 tentang

  Relating to the status of refugees status pengungsi (Sigit Riyanto, 2004: 71).

  b.

  Protokol New York 1967 mengenai Status Pengungsi

  1967 Protocol relating to the status of refugees atau Protokol

  New York 1967 tentang Status Pengungsi, meskipun berkaitan dan mengandung substansi yang menyatu dengan Konvensi Jenewa 1951 merupakan instrumen yang berdiri sendiri. Protokol New York 1967 ini meniadakan batas waktu dan batas geografis definisi pengungsi yang terdapat dalam Konvensi Jenewa 1951.

  Secara bersamaan Konvensi Jenewa 1951 tentang Status Pengungsi dan Protokol New York 1967 tentang status pengungsi mencakup tiga masalah pokok sebagai berikut: 1)

  Definisi pengungsi yang mendasar, serta rumusan yang berkaitan dengan ketentuan-ketentuan yang mengenai penghentian dan pengecualian dari status pengungsi. 2)

  Status hukum pengungsi di negara suaka, hak dan kewajiban paksa (refoulment), ke wilayah di mana hidup atau kebebasan mereka akan terancam.

  3) Kewajiban negara, termasuk untuk bekerjasama dengan UNHCR dalam melaksanakan fungsinya serta memfasilitasi tugas UNHCR dalam mengawasi pelaksanaan Konvensi Jenewa 1951 tentang Status Pengungsi.

  Melakukan tindakan aksesi Protokol New York 1967, berarti negara yang bersangkutan sepakat untuk menerapkan sebagian terbesar Pasal Konvensi Jenewa 1951 tentang Status Pengungsi (Pasal 2 sampai dengan Pasal 34) pada semua orang yang tercakup oleh definisi pengungsi yang ditetapkan di dalam Protokol 1967. Meskipun demikian, sebagian besar negara lebih suka mengaksesi baik Konvensi Jenewa 1951 tentang Status Pengungsi maupun Protokol New York 1967. Melakukan tindakan demikian, negara–negara menegaskan bahwa kedua perjanjian tersebut merupakan sentra sistem perlindungan pengungsi internasional (Sigit Riyanto, 2004: 72).

C. Tinjauan Umum tentang Imigrasi 1.

  Pengertian Imigrasi Istilah imigrasi berasal dari Bahasa Latin yaitu migratio yang artinya perpindahan orang dari suatu tempat atau negara menuju ke tempat atau negara lain (Herlin Wijayanti, 2011: 129).

  Secara etimologi istilah emigrasi, imigrasi, dan transmigrasi ketiganya berasal dari bahsa Latin migration, yang berarti perpindahan penduduk. Perpindahan manusia dari suatu tempat ke tempat lain, dekat, atau jauh. Jadi dengan demikian, pengertian migran adalah perpindahan penduduk secara besar-besaran dari suatu tempat ke tempat lain. Imigrasi merupakan salah satu hak asasi manusia, yaitu memasuki negara lain.

  Sedangkan emigrasi adalah perpindahan penduduk keluar dari suatu negara (Jazim Hamidi & Charles Christian, 2015: 1).

  Immigration is the movement of people from one place to another.

In the modern world day, immigration is always associated with the

migratioin of people from one country to another and in the new country

which he has permanent residence. Tourist and people who visit other

countries for a short term can not be reffered to as immigrants. Parties

that can be reffered to as immigrants are people who move to another

country for along time and in the new country he has had a permanent

  (Melda Kamil Ariando, 2012: 245).

  residence

  Istilah imigrasi menurut Sihar Sihombing (Jazim Hamidi & Charles Christian, 2015: 7) berasal dari Bahasa Belanda, yaitu immigratie, sedangkan Bahasa Latin, yaitu immigratie dengan kata kerjanya

  

immigreren , yang dalam Bahasa Latinnya disebut menjadi immigratie.

  Dalam Bahasa Inggris disebut immigration, yang terdiri dari dua kata, yaitu in artinya dalam dan imigrasi artinya pindah, datang masuk, atau

  Pengertian di atas, tersirat bahwa imigrasi dilakukan untuk memberikan pembatasan dan perbedaan kewarganegaraan dan perbuatan

  hukum

  yang dilakukan baik yang dilakukan antara warga negara asing dengan negara tujuan termasuk warga negaranya, maupun warga negara asing dengan warga negara asing yang berada di negara tujuan bertempat tinggal. Pengertian tersebut disikapi oleh Indonesia dengan membuat produk hukum berupa Undang-undang Keimigrasian tepatnya Undang- undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Sesuai ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 6 Tahun 2011 tersebut, yang dimaksud keimigrasian adalah hal ikhwal lalu lintas orang yang masuk atau keluar wilayah Negara Republik Indonesia serta pengawasannya dalam rangka menjaga tegaknya kedaulatan negara (Jazim Hamidi & Charles Christian, 2015: 7).

  Pengaturan keimigrasian yang meliputi lalu lintas orang masuk atau keluar wilayah Indonesia merupakan hak dan wewenang Negara Republik Indonesia serta merupakan salah satu perwujudan dari kedaulatannya sebagai negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

  Dasar 1945. (Jazim Hamidi& Charles Christian, 2015: 8).

  Fungsi dan kewenangan keimigrasian di Indonesia dilaksanakan

  a

  oleh Kementeri n Hukum dan Hak Asasi Manusia, yang secara khusus dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Imigrasi. Penjabaran dari sistim hukum keimigrasian yang dijalankan oleh pemerintah secara operasional dituangkan ke dalam trifungsi imigrasi yaitu fungsi pelayanan masyarakat, penegakan hukum, fungsi keamanan (Bagir Manan, 2000: 22).

  Berdasarkan pengertian tersebut di atas maka dapat dikatakan telah terjadi perluasan makna dari istilah imigasi yang selama ini hanya terkait dengan lalu lintas orang saja, melainkan juga terkait dengan segala sesuatu tentang pengawasan orang asing di Indonesia dan dalam rangka menjaga kedaulatan negara. Kedaulatan negara yang dimaksud adalah kekuasaan tertinggi, sifat dan ciri hakiki suatu negara atas wilayah teritorial tertentu, yaitu wilayah Negara Indonesia (Jazim Hamidi & Charles Christian, 2015: 8).

2. Imigran dan Imigran Gelap/Ilegal

  Dahulu istilah imigran tidak terbatas pada manusia sebagai pelakunya, namun juga dapat digunakan pada hewan dan benda-benda yang dibawa pindah melintasi perbatasan suatu negara. Awalnya perpindahan penduduk ini terjadi dikarenakan peperangan dan bencana alam, sehingga penduduk mencari wilayah lain yang lebih aman.

  Kemudian istilah imigran dipersempit terbatas pada manusia saja, setelah negara-negara mengalami perkembangan yang secara otomatis juga menciptakan undang-undang dan peraturan. Seseorang yang datang dari suatu negara, ke negara lain namun tidak menetap, tidak disebut imigran, melainkan hanya sebagai turis atau pelancong (www.yahoo.com).

  Imigran adalah seseorang yang melakukan perpindahan dari negara disinggahi dengan dilengkapi dokumen perjalanan yang sah. Setiap orang yang masuk atau ke luar wilayah Negara Republik Indonesia harus melalui pemeriksaan keimigrasian di tempat pemerikasaan imigrasi oleh petugas imigrasi.

  Pemeriksaan keimigrasian terhadap warga negara asing yang akan masuk ke wilayah Negara Republik Indonesia meliputi: a.

  Memeriksa surat perjalanannya dan mencocokkan dengan pemegangnya.

  b.

  Memeriksa visa bagi orang asing yang diwajibkan memiliki visa.

  c.

  Memeriksa pengisian lembar E/D.

  d.

  Memeriksa nama yang bersangkutan dalam daftar penangkalan (Sihar Sihombing, 2009: 18).

  Kementrian Luar Negeri melakukan perencanaan pencegahan imigran ilegal dengan memperketat pemberian visa kepada warga negara yang berasal dari negara-negara yang diindikasi akan menjadi imigran ilegal. Selanjutnya Ditjen imigrasi, Mabes Polri, dan Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota agar melakukan pengawasan terhadap orang asing khususnya terhadap mereka yang datang dengan dokumen melalui fasilitas visa saat kedatangan (visa on arrival). Apabila mereka terbukti melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku, agar diambil langkah penegak hukum (Asep Kurnia, 2011: 47).

  Jumlah imigran yang bisa dikatakan sebagian besar ilegal sangat politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan, serta menjadi kelemahan bangsa Indonesia tidak dapat menangani, mencegah, dan menyelesaikan permasalahan imigran ilegal ini, maka akan menyebabkan lemahnya Ketahanan Nasional. Imigran gelap/ilegal menurut Direktorat Jenderal Imigrasi adalah orang asing yang masuk dan/atau berada di wilayah Indonesia tidak sesuai ketentuan perundang-undangan.

  Illegal immigration itself is a movement of one person who crossed

the line of the territory of a state where the movement has violated the

immigration laws of the country of destination. People who perform illegal

migration is reffered to as illegal immigrant. Illegal immigrants made up

of two types namely :

  a)

Foreigners who enter the boundaries of a country illegal (without a

valid visa or travel documents), whether by land, sea, or air.

  b)

Foreigners who legally entered a country but their immigration

permits run out in force and yet still remained within the country and abusing or perform activities that are inconsistent with the purpose of

  (Melda Kamil Ariando, 2012: 245).

  their immigration permit

  Pengendalian Kementrian Luar Negeri dalam pencegahan imigran ilegal dengan memerintahkan perwakilan di luar negeri khususnya terhadap perwakilan di negara-negara yang diindikasikan sebagai tempat awal dan tempat transit imigran ilegal untuk memperketat pemberian visa dengan memeriksa secara teliti terhadap aplikasi pemohon visa. Petugas teliti keabsahan dokumen orang asing yang berasal dari negara-negara yang diindikasi akan menjadi imigran ilegal. Selanjutnya Ditjen Imigrasi, Mabes Polri, dan Kejaksaan Agung melakukan pengungkapan, penangkapan serta memproses secara hukum terhadap personel sindikat penyelundupan manusia yang ada di dalam negeri dengan menerapkan pasal-pasal dalam Undang-undang Keimigrasian yang ancaman hukumannya paling berat (Asep Kurnia, 2011: 48).

3. Pengelompokan Masalah Imigrasi a.

  Perdagangan Manusia Upaya untuk mendefinisikan perdagangan manusia sudah dilakukan sejak akhir abad 18. Namun sampai sekarang belum ada kesepakatan lembaga pemerintah maupun lembaga non pemerintah menggenai definisi Perdagangan manusia (HumanTrafikking).

  Menurut Aliansi Global Anti Perdagangan Perempuan (Global Aliance

  Againts the Trafficking of Women/ GAATW) mendefinisikan

  perdagangan orang sebagai “ All acts involved in the recrutment and/or

  transportation of a person within and across national borders for work or services by means of violence or threat of violence, abuse of authority or dominant position, debt bondage, deception or other

forms of coercion” (Mahrus Ali dan Bayu Aji Pramono, 2011: 1).

  (IOM)

  

The International Organization for Migration

  mengidentifikasi empat elemen yang harus ada dalam perdagangan

  1) an International border is cossed. 2) an facilitator-the trafficker-is involved. 3) money or another form of payment changes hands, and 4) entry and/orstay in the country of destination is illegal.

  Definisi ini menegaskan bahwasannya perdagangan orang tersebut pada kenyataannya bisa terjadi di suatu negara dan bisa juga dalam konteks lintas negara (B. Rahmanto, 2005: 19).

  Perdagangan orang (trafficking) menurut definisi dari Pasal 3 Protokol PBB berarti perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan, atau penerimaan seseorang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk lain dari pemaksaan, penculikan, penipuan, kebohongan atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau memberi atau menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan agar dapat memperoleh persetujuan dari seseorang yang berkuasa atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi termasuk paling tidak eksploitasi untuk melacurkan orang lain atau bentuk-bentuk lain dari eksploitasi seksual, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik-praktik serupa perbudakan, penghambaan atau pengambilan organ tubuh. Pasal 3 Protokol PBB

  untuk Mencegah, Menekan dan Menghukum Trafficking Manusia,

  kekuasaan atau posisi rentan atau memberi atau menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan agar dapat memperoleh persetujuan dari

  Eksploitasi termasuk paling tidak eksploitasi untuk melacurkan orang lain atau bentuk-bentuk lain dari eksploitasi seksual, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek serupa perbudakan, penghambaan atau pengambilan organ tubuh. (Pasal 3 Protokol PBB

  untuk Mencegah, Menekan dan Menghukum Trafficking Manusia,

Khususnya Wanita dan Anak-Anak, ditandatangani pada bulan

Desember 2000 di Palermo, Sisilia, Italia) (www.unair.ac.id).

  Sedangkan pengertian perdagangan manusia dalam pasal 1 angka 1 Undang-undang No.21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang ialah sebagai berikut: " Tindakan perekrutan, penampungan, pengangkutan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penculikan, penggunaan kekerasan, penyekapan, penipuan, pemalsuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, memberi bayaran atau penjeratan utang atau manfaat, sehingga dapat memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan antarnegara maupun di dalam negara, demi untuk tujuan mengeksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi".

  Dalam Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Manusia, Pengertian eksploitasi dalam tindak pidana perdagangan manusia dijelaskan dalam Pasal 1 angka 7 yang menyebutkan bahwa: " Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi, tetapi tidak terbatas pada perbudakan, pelacuran, atau praktik serupa perbudakan, kerja atau pelayanan paksa, pemanfaatan fisik, penindasan, pemerasan, organ reproduksi, seksual, atau secara melawan hukum. Mentransplantasi atau memindahkan organ dan/atau jaringan tubuh, atau kemampuan seseorang atau tenaga b.

  Penyelundupan Manusia Penyelundupan Manusia (People Smuggling), menurut definisi

  Pasal 3 Protokol PBB Tahun 2000 tentang Penyelundupan Manusia, berarti mencari untuk mendapat, langsung maupun tidak langsung, keuntungan finansial atau materi lainnya, dari masuknya seseorang secara illegal ke suatu bagian negara dimana orang tersebut bukanlah warga atau memiliki izin tinggal. Masuk secara illegal berarti melintasi batas negara tanpa mematuhi peraturan/perijinan yang diperlukan untuk memasuki wilayah suatu negara secara legal.

  Tindak pidana penyelundupan imigran yang diatur dalam Pasal

  6 Protokol Menentang Penyelundupan Migran bahwa negara peserta harus membuat peraturan perundang-undangan tentang jenis kejahatan ini yang dilakukan secara sengaja dan untuk mendapatkan uang atau keuntungan materi lainnya. Indonesia merupakan salah satu negara yang turut meratifikasi protokol ini yang diwujudkan dalam UU No. 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian, yaitu ketentuan mengenai penyelundupan imigran diatur dalam Pasal 120 UU No. 6 Tahun 2011.

  Pasal 120 ayat (1) tidak menggunakan istilah imigran melainkan istilah penyelundupan tindakan yang memberi peluang atau bantuan terjadinya penyelundupan imigran berupa: 1)

  Mengeluarkan dokumen identitas atau perjalanan yang diperoleh secara curang.

  2) Mendapatkan, menyediakan, atau memiliki dokumen. Ketetuan ini diwujudkan dalam Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 126,

  Pasal 127, Pasal 128, Pasal 129, dan Pasal 130 UU No. 6 Tahun 2011.

  3) Membantu orang asing untuk tinggal di suatu negara tanpa mematuhi ketentuan hukum nasionalnya untuk tinggal secara sah atau secara illegal, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 124, dan Pasal 125 UU No. 6 Tahun 2011 mengatur sebagaimana yang dijelaskan dalam protokol tersebut.

  4) Melakukan percobaan, berperan serta, mengorganisasi atau memberi petunjuk kepada orang lain untuk melakukan kejahatan penyelundupan imigran dan dalam UU No. 6 Tahun 2011, hal percobaan penyelundupan manusia diatur dalam Pasal 120 (2).

  Tidak diatur mengenai tindak pidana penyelundupan manusia yang dilakukan oleh kejahatan terorganisasi. Tindak pidana yang diatur adalah jika tindak pidana penyelundupan manusia dilakukan oleh korporasi sebagaimana diatur dalam Pasal 136 ayat (1) dan (2). Terhadap pejabat imigrasi yang membiarkan tindak pidana penyelundupan manusia diatur dalam Pasal 133 ayat (1).

  5) Tindakan yang membahayakan kehidupan atau keselamatan para imigran atau adanya perlakuan tidak manusiawi termasuk eksploitasi terhadap para imigran. Ketentuan terakhir ini tidak penyelundupan manusia dalam UUNo. 6 Tahun 2011 tidak diatur tersendiri dalam suatu Bab melainkan masuk dalam Bab XI yang mengatur mengenai ketentuan pidana keimigrasian. Hal yang secara langsung berkaitan dengan tindak pidana penyelundupan manusia diatur dalam Pasal 120, Pasal 133 huruf a dan Pasal 136 ayat (1) dan (2) (Eranovita Kalalo Paembonan, 2014: 143).

  Terkait dua pengertian tersebut, terdapat minimal tiga aspek yang membedakan antara kejahatan perdagangan orang dan kejahatan penyelundupan manusia, yakni aspek persetujuan (agreement), aspek

  (purpose) , dan aspek lokus atau wilayah (territory). Selain itu, masih

  ada satu aspek lagi yan terkait erat dengan praktik penyelundupan manusia yaitu proses terbentuknya kesepakatan antara orang dan/atau pihak yang terlibat di dalamnya (IOM, 2009: 4). Empat aspek terkait penyelundupan manusia sekaligus membedakannya dengan perdagangan manusia, yaitu: a.

  Aspek persetujuan (agreement), dalam kejahatan perdagangan orang, korban tidak menyadari kesuluruhan proses yang terjadi atau apabila korban menyadarinya, maka seringkali kaena penipuan atau ancaman kekerasan. Sedangkan dalam kejahatan penyelundupan manusia, orang yang diselundupkan sepenuhnya menyadari keseluruhan proses, walaupun ini mengakibatkan kondisi sangat memprihatinkan dan membahayakan bagi dirinya b.

  Aspek tujuan (purpose), dalam konteks perdagangan orang, eksploitasi dapat berlangsung sejak orang yang diperdagangkan (korban) berada di penampungan dan terus berlangsung hingga korban sampai di tempat tujuan. Sedangkan dalam penyelundupan manusia, aspek tujuan mengacu pada situasi kedatangan seseorang di tempat tujuan sesuai dengan keingininan dan pilihan secara bebas orang yang diselundupkan tersebut.

  c.

  Aspek wilayah (territory), kegiatan perdagangan orang bisa terjadi di luar wilayah negara atau bisa juga terjadi dalam suatu wilayah negara (antar daerah/antar pulau). Sementara itu, wilayah kegiatan penyelundupan manusia adalah antar negara dan menyangkut lintas batas satu negara dengan negara lain.

  d.

  Aspek hubungan antar pihak yang terlibat. Kejahatan perdagangan orang bisa saja tidak pernah ada kesepakatan antar pelaku perdagangan orang yang diperdagangkan. Andai terjadi kesepakatan terdapat ketidaksesuaian antara kesepakatan itu dengan kenyataan yang terjadi. Penyelundupan manusia, kesepakatan antara orang yang akan diselundupkan dan pelaku penyelundupan sudah terbentuk sejak awal dan berakhir di negara tujuan (IOM, 2009: 5).

  D.

  

Tinjauan Umum tentang IOM (International Organization for Migration)

1.

  Eksistensi IOM (International Organization for Migration) Didirikan tahun 1951 atas inisiatif Belgia dan Amerika. IOM terbentuk sebagai manifestasi hasil Konferensi International tentang imigrasi yang diadakan di Brusels. Badan ini semula diberi nama

  Provisional Integovermental Committee for the Movements of Migrant

  (PICMME), kemudian berubah nama menjadi

  from Europ Intergovernmental Committee for European Migrantion (ICEM). Tahun

  1989 ICEM’s Council berubah nama lagi menjadi Intergovernmental

  Comittee for Migration (ICM) dengan skala kerja yang lebih luas, tidak

  hanya mencangkup Eropa saja. Baru pada tahun 1989 ICM berubah menjadi International Organization for Migration (Wagiman, 2012: 191).

  Berdasarkan sejarahnya sejak tahun 1951 hingga tahun 2001 IOM telah berganti nama sebanyak empat kali, yaitu PICMME (mulai tahun 1951), kemudian berubah menjadi ICEM, kemudian berubah lagi menjadi

  ICM (mulai tahun 1980 sampai 1989), dan terakhir IOM (mulai tahun 1989 sampai sekarang). Struktur organisasi IOM meliputi Office of the

  Director General yang memebawahi Director Genenral, Deputy Director

  dan Working Group on Gender Issues. Office of the Director

  General, General dipilih oleh suatu dewan masa kerja lima tahun. Badan ini

  meliputi Excecutif Officer yang memiliki otoritas untuk mengelola organisasi dan mengadakan kegiatan sesuai mandat untuk memformulasi sesuai dengan prioritas serta strategi organisasi. Dibawah Office of the adalah seluruh tenaga administrasi dan staf petugas

  Director General

  lapangan yang melaksanakan kegiatan-kegiatan IOM di markas-markas (Wagiman, 2012: 191). Organisasi Internasional untuk Migrasi (International Organization for Migration) berupa untuk menjamin penanganan imigrasi secara tertib dan manusiawi, untuk mencapai kerjasama yang menyangkut permasalahan imigrasi, untuk memberikan pencarian solusi praktis terhadap permasalahan imigrasi dan memberikan bantuan kemanusiaan kepada para imigran yang membutuhkan, termasuk para pengungsi dan pengungsi internal (IOM, 2009: 247).

  IOM beroperasi di Indonesia sejak 1979 dengan diprosesnya orang- orang perahu yang berasal dari Vietnam di Tanjung Pinang, Riau. Sejak saat itu, aktifitas IOM di Indonesia telah berkembang secara signifikan baik dalam hal jangkauan geografis maupun sasaran populasinya. Saat ini

  IOM pendiri 20 kantor wilayah yang terletak di seluruh Indonesia, termasuk ibukota Jakarta, serta Banda Aceh di daerah paling barat dari propinsi Aceh dan Jayapura sebagai wilayah paling timur dari propinsi Papua. IOM Indonesia telah memiliki lebih dari 300 staf yang mengerjakan berbagai macam aktifitas, dalam kemitraannya dengan Pemerintah Indonesia, masyarakat madani dan komunitas donor. Nilai total dari proyek aktif dan portfolio program IOM Indonesia pada tahun 2013 mencapai lebih dari USD 70 juta (http://indonesia.iom.int/id/iom-

2. Mandat dan Peran IOM secara Internasional

  Organisasi Internasional untuk Migrasi (International Organization

  for Migration) berupaya untuk menjamin penanganan imigrasi secara

  tertib dan manusiawi, untuk memajukan kerjasama menyangkut permasalahan imigrasi, dan memberikan bantuan kemanusiaan kepada para imigran yang membutuhkan, termasuk para pengungsi dan pengungsi internal. Langkah-langkah untuk memerangi imigrasi ilegal secara efekrif menggabungkan penegakan hukum dengan pencegahan dan pendidikan, baik di dalam maupun secara internasional. Kerjasama internasional perlu mencakup tindakan-tindakan pengendalian, pelatihan, riset, informasi dan serangkaian tindakan-tindakan preventif (IOM, 2009: 247).

  Mandat utama IOM secara internasional yaitu membantu pemerintah di berbagai negara dalam mengembangkan dan menerapkan kebijakan, perundang-undangan dan mekanisme administratif imigrasi. Bantuan tersebut diberikan baik melalui pemberian bantuan teknis dan pelatihan bagi pejabat pemerintah juga pemberian bantuan teknis dan pelatihan bagi pejabat pemerintah dan juga pemberian bantuan bagi para imigran. Fokus lembaga tersebut saat ini dirasakan menjadi masalah utama dalam penanganan imigrasi di berbagai negara (Wagiman, 2002: 193).

  Sebagai sebuah organisasi antar-pemerintah utama dalam bidang migrasi, IOM kerap diminta oleh negara untuk membantu menangani tantangan-tantangan yang kompleks dalam manajemen perbatasan. Secara umum, program penanganan imigrasi dan manajemen perbatasan IOM meliputi 7 area: 1) Pengkajian manajemen migrasi dan perbatasan. 2) Pengembangan kapasitas manajemen perbatasan dan migrasi. 3) Manajemen perbatasan. 4) Manajemen identitas. 5) Pemberantasan penyelundupan manusia. 6) Manajemen data migrasi, dan analisa risiko dan intelejen. 7) Bantuan imigrasi dan visa.

  3. IOM (International Organization for Migration) Indonesia Direktorat Jenderal Imigrasi Republik Indonesia telah lama hanya memiliki kapasitas yang terbatas dalam menyelenggarakan pengawasan perbatasan secara memadai dan telah berupaya untuk mengkoordinasikan usaha-usahanya dengan Kepolisian Republik Indonesia dalam memproses para imigran ilegal. Kantor IOM bekerjasama secara erat dengan Pemerintah RI untuk mengembangkan koordinasi yang lebih baik dalam upaya-upaya untuk memerangi penyelundupan manusia serta penanganan imigran ilegal (IOM, 2009: 247).

  IOM di Indonesia mulai beroperasi tahun 1979 kiprah pertama yaitu dengan memberikan bantuan terhadap manusia perahu Vietnam di Tanjung Pinang, Riau. Tahun 1991 Indonesia mendapatkan status sebagai Negara Pengawas IOM. Pada tahun 1999 Nota Kesepahaman antara mengotorisasi IOM untuk menangani isu masyarakat pengungsi dari konflik di Timor Timur. IOM mendirikan kantor pusat Kupang dan Atambia, untuk menfasilitasi pemulangan pengungsi Timor Timur.

  Tahun 2000, IOM dan Pemerintah Indonesia menandatangani Persetujuan Kerjasama dalam Penanganan Migrasi Iregular, pengungsi internal, manajemen perbatasan dan imigrasi. Persetujuan ini menjadi basis hukum operasi IOM di Indonesia. IOM memindahkan kantor cabang pada tahun 2001 di Bali ke Mataram, Lombok, dalam rangka menangani meningkatnya jumlah kasus migran iregular. Bali Process terjadi pada tahun 2002, yaitu IOM menfasilitasi Konferensi Tingkat Menteri Regional tentang penyelundupan manusia, perdagangan manusia dan kejahatan trans-nasional lainnya di Bali. Konferensi Bali Process ini bertujuan untuk mengembangkan kapasitas nasional dan regional dalam rangka menangani isu-isu perdagangan dan penyelundupan manusia. Sebagai kelanjutan dari Bali Process, IOM meluncurkan sebuah pilot programme untuk mendukung upaya penegakan hukum dalam rangka memerangi perdagangan manusia. Program anti-perdagangan manusia yang lebih luas kemudian diluncurkan bekerjasama dengan pemerintah.

  Kemudian, IOM membuka dua kantor baru yaitu di Situbondo, Jawa Timur, untuk membantu penanganan migran iregular, dan di Pontianak, Kalimantan Barat, untuk implementasi proyek rehabilitasi lahan dan pengembangan kapasitas, dengan kelompok target pengungsi dan HAM untuk meningkatkan perlindungan bagi pengungsi internal melalui kegiatan pengembangan kapasitas. IOM juga mendukung teciptanya garis perbatasan yang stabil antara Timor Barat dan Timur.