BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Motivasi Berprestasi 1. Pengertian Motivasi Berprestasi - BAB II BOOKMARK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Motivasi Berprestasi 1. Pengertian Motivasi Berprestasi Koeswara ( dalam Hikmah, 2012) Teori yang membahas mengenai

  motivasi berprestasi yaitu teori nilai ekspektasi dari Murray dan Mc.Clelland di mana gagasan yang mendasari teori nilai ekspektasi adalah tingkah laku bermotivasi yang berasal dari kombinasi antara kebutuhan- kebutuhan yang ada pada diri individu dan nilai-nilai dari tujuan-tujuan yang hendak di capai. Hal ini sejalan dengan pengertian motivasi berprestasi itu sendiri, yang di jelaskan oleh Murray (dalam Heckhausen, 1991) bahwa motivasi berprestasi adalah suatu kebutuhan untuk mencapai sesuatu yang sulit, yaitu untuk menguasai, memanipulasi atau mengatur objek fisik, manusia, atau ide-ide, yang dilakukan secara cepat dan mandiri untuk mengatasi hambatan dan mencapai standar yang tinggi. Hal tersebut bertujuan untuk membuat diri sendiri lebih unggul dan dapat mengungguli orang lain, sehingga harga diri akan meningkat dengan pencapaian yang maksimal.

  McClelland (dalam Munandar, 2014) dengan teorinya yang lebih dikenal dengan teori kebutuhan, menjelaskan bahwa kebutuhan untuk berprestasi (need for achievement) adalah dorongan yang kuat untuk berhasil, dimana individu hanya akan terfokus untuk mengejar prestasi pribadi dari pada imbalan terhadap keberhasilan. Individu juga akan bergairah untuk melakukan sesuatu yang lebih baik dan lebih efisien dibandingkan dengan hasil sebelumnya. Dorongan yang seperti inilah disebut sebagai kebutuhan untuk berprestasi (the achievement need=

  nAch).

  Selain itu, Heckhausen (1991) lebih menekankan motivasi berprestasi tersebut berdasarkan standar keunggulan, bukan berdasarkan kebutuhan. Menurutnya motivasi berprestasi adalah sebagai suatu usaha untuk meningkatkan atau menjaga setinggi mungkin kemmapuan individu pada semua kegiatan berdasarkan standar keunggulan. Woolfolk (dalam Myres, 2014) juga menjelaskan motivasi berprestasi adalah suatu keinginan untuk berhasil, berusaha keras dan mengungguli berdasarkan suatu standard mutu tertentu.

  Berdasarkan dari beberapa definisi motivasi berprestasi di atas, maka dapat di simpulkan definisi motivasi berprestasi adalah sebuah dorongan yang ada di dalam diri individu untuk terus berhasil dalam menyelesaikan segala sesuatu, sehingga individu akan bergairah untuk melakukan sesuatu lebih baik dan lebih efisien dibandingkan dengan hasil sebelumnya.

2. Karakteristik Motivasi Berprestasi

  McClelland (1987) menyatakan bahwa individu yang menunjukan motivasi berprestasi tinggi memiliki karakteristik : a.

  Bertanggung jawab terhadap kinerja pribadinya.

  Secara teoritis individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi selalu memiliki tanggung jawab yang baik terhadap hasil dari tugas yang di kerjakannya, karena hanya dengan kondisi yang demikian individu bisa merasakan kepuasan dari mengerjakan sesuatu yang lebih baik. Smith (2015) mengatakan bahwa individu dengan motivasi berprestasi yang tinggi menyukai situasi di mana dirinya dapat menguji keberhasilan dan kegagalan dari tugas yang dilakukannya.

  b.

  Membutuhkan umpan balik dari kinerjanya.

  Secara teoritis individu yang memiliki kebutuhan berprestasi yang tinggi akan lebih suka untuk bekerja dalam situasi di mana dirinya bisa mendapatkan umpan balik tentang seberapa baik hal yang telah di lakukan olehnya. Jika tidak, individu tidak akan memiliki cara untuk mengetahui apakah dirinya telah melakukan hal yang lebih baik dari pada yang lain atau tidak. Menurut Smith (2015) individu mencari situasi yang menawarkan langsung umpan balik mengenai kemajuan atau kekurangan, dari hal yang dikerjakannya.

  c.

  Memiliki inovasi.

  Individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi selalu menemukan cara belajar yang baru dan unik yang dapat mempermudah dirinya dalam proses belajar. Individu akan lebih banyak untuk menemukan cara yang berbeda, singkat, atau lebih efisien untuk mencapai suatu tujuan tertentu.

  Sehingga individu dapat lebih mengerti dengan apa yang sedang dikerjakannya. Individu akan lebih banyak untuk menemukan cara yang berbeda, singkat, atau lebih efisien untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Singkatnya individu akan terfokus dengan “bagaimana cara mendapatkan hasil yang lebih maksimal dengan usaha yang minimalis ?” d.

  Memiliki ketekunan.

  Individu yang memiliki kebutuhan untuk berprestasi yang tinggi akan lebih bertahan lama dalam bekerja di jenis tugas apa pun. Individu tidak pernah mengerjakan tugasnya secara setengah-setengah dan mudah menyerah.

  e.

  Pengambilan resiko yang moderat.

  Smith (2015) mengatakan individu dengan motivasi berprestasi tinggi cenderung mengambil resiko yang di perhitungkan dalam setiap tugas yang dilakukannya. Individu cenderung menetapkan tujuan yang menantang di bandingkan dengan tujuan yang terlalu sulit atau terlalu mudah/ringan. Dalam percobaan yang dilakukan oleh Atkinson (dalam McClelland, 1987) individu dengan n-ach yang tinggi harus memiliki kemampuan mengemudi lebih baik karena cenderung untuk menghindari resiko yang ekstrim. Namun pada kenyataannya, Atkinson menemukan hal yang sebaliknya, pengemudi dengan n-ach yang tinggi cenderung lebih senang melanggar peraturan lalu lintas, seperti mengemudi tanpa lisensi, pelanggaran parkir, dan kecepatan di atas maksimal, namun jarang terlibat dalam kecelakaan lalu lintas. Artinya pengemudi dengan n-ach yang tinggi lebih menyukai untuk mengambil sebuah resiko yang di perhitungkan.

  Selain itu, dalam percobaan yang dilakukan oleh O’Connor, Atkinson, dan Horner (dalam McClelland, 1987) yang menggunakan model pengambilan resiko untuk menjelaskan efek dari kemampuan pengemlompokan kinerja di dalam kelas di peroleh bahwa anak-anak yang memiliki n-ach yang tinggi lebih senang berada di dalam sebuah ruangan kelas yang berisi siswa dengan kemampuan yang sama, karena dirinya sadar bahwa prestasi tidak akan mudah di dapatkan, berbeda dengan di kelas normal, dirinya akan mudah mendapatkan prestasi atau nilai di atas rata-rata karena dapat dengan mudah mengalahkan anak-anak yang lain.

  f.

  

Memiliki perhatian yang kuat terhadap lingkungan sekitar (Researching

The Environment/RE).

  Smith (2015) mengatakan individu dengan motivasi berprestasi yang tinggi, cenderung lebih menyukai untuk melakukan pendekatan di lingkuan sekitarnya terlebih pada lingkungan baru. Semuanya dilakukan dengan hati-hati, memiliki rasa penasaran, dan di lakukan secara sukarela.

  Individu cenderung suka untuk mengeksplor apa saja yang ada di likungan sekitarnya, dengan tujuan akhir hal tersebut dapat membantunya mencapai kearah tujuan.

  Heckhausen (dalam Hikamh, 2012) mengungkapkan karakteristik individu yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi adalah sebagai berikut : a. Berorientasi sukses, hal ini berarti bahwa jika individu di hadapkan pada situasi berprestasi, dirinya akan merasa optimis jika sukses akan di raihnya dan dalam mengerjakan tugas individu akan lebih terdorong oleh harapan untuk sukses dari pada menghindari kegagalan.

  b.

  Berorientasi jauh ke depan, hal ini berarti bahwa individu cenderung membuat tujuan-tujuan yang hendak dicapainya di waktu yang akan datang dan sangat menghargai waktu serta individu lebih dapat menangguhkan pemuasan untuk mendapatkan penghargaan di waktu mendatang.

  c.

  Suka tantangan, hal ini bahwa individu menyukai situasi prestasi yang mengundang resiko yang cukup untuk gagal. Individu suka akan perbedaan dan kekhasan tersendiri sesuai dengan kompetensi profesional yang dimilikinya, maka secara tidak langsung akan mempengaruhi kualitas motivasi dan pencapaian prestasi belajar pada siswa.

  d.

  Tangguh, hal ini berarti bahwa individu dalam melakukan tugas-tugasnya menunjukan keuletan, tidak mudah putus asa dan berusaha terus sesuai dengan kemampuannya.

  Karakteristik di atas didasarkan pada tiga standar keunggulan motivasi berprestasi dalam setiap individu. Heckhausen (dalam Hawadi, 2001) juga menyebutkan tiga ukuran standar keunggulan bagi individu yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi, antara lain : a.

  Self related excellence yaitu suatu perbandingan dengan prestasi yang pernah tercapai pada masa lalu oleh individu. Individu membuat standar prestasi yang akan dicapai berdasarkan perbandingannya dengan prestasi yang pernah dicapainya pada masa lalu. b.

  Other-related of excellence yaitu perbandingan prestasi dengan orang lain.

  Individu menjadikan prestasi yang dicapai oleh orang lain sebagai patokan atau ukuran keberhasilan diri sendiri.

  c. Task related standard of excellence yaitu prestasi untuk menyelesaikan suatu tugas. Suatu ukuran keberhasilan yang dilihat dari kemampuan individu dalam menyelesaikan tugas dengan hasil yang memuaskan dan sempurna.

  Berdasarkan penjabaran diatas maka dapat disimpulkan karakteristik individu dengan motivasi berprestasi yang tinggi adalah memiliki bertanggung jawab atas kinerja pribadinya, membutuhkan umpan balik dari kinerjanya, inovativ, memiliki ketekunan, menyukai untuk mengambil tugas dengan resiko yang moderat, dan memiliki perhatian yang kuat terhadap lingkungan sekitar (Researching The

  Environment/RE) , dan memiliki karakteristik berorientasi untuk sukses,

  berorientasi jauh kedepan, suka tantangan, dan tangguh. Selain itu, individu dengan motivasi berprestasi yang tinggi juga memiliki standar keunggulan tersendiri yaitu, self related excellence, other-related of excellence, task related standard of excellence.

  Dari beberapa uraian di atas, peneliti akan menggunakan karakteristik individu dengan motivasi berprestasi yang tinggi yang di dasarkan pada teori McClelland. Adapun karakteristik yang di sampaikan oleh McClelland yaitu 1) bertanggung jawab terhadap kinerja pribadinya; 2) membutuhkan umpan balik dari kinerjanya; 3) memiliki Inovasi; 4) memiliki ketekunan; 5) pengambilan resiko yang moderat; 6) memiliki perhatian yang kuat dengan lingkungan sekitarnya (Researching The

  Environment/RE) . Alasan peneliti menggunakan teori dari McClelland adalah karakteristik yang di sampaikan jauh lebih spesifik dan jelas.

  Karakteristik yang di jelaskan juga dapat diamati dengan observasi, sehingga lebih memudahkan peneliti untuk membuat item-item bagi penyusunan alat ukur untuk mengungkap perilaku motivasi berprestasi mahasiswa.

3. Faktor-Faktor Motivasi Berprestasi

  Fernald & Fernald (1999) menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi berprestasi individu adalah : a.

  Keluarga dan pengaruh budaya: untuk menuju sebuah prestasi yang stabil, baru-baru ini peran keluarga menjadi pengaruh yang sangat kuat. Anak- anak yang di dorong untuk menggunakan kemampuan konstruktifnya, sehingga mengetahui tentang hal-hal yang ada di dalam dirinya sendiri.

  Faktor lain yang berpengaruh adalah tingkat pekerjaan orang tua. Semakin tinggi tingkat pekerjaan orang tua maka semakin besar motivasi berprestasi yang ada pada diri anak.

  b.

  Peran konsep diri: ketika individu dapat membayangkan dan menafsirkan dunia dengan cara yang tampaknya tidak mungkin bagi organisme lain, dan faktor penting di sini adalah konsep diri, yang merupakan cara individu berpikir tentang dirinya sendiri dalam arti global. Ini termasuk

  “perasaan individu” seperti seorang laki-laki yang memiliki konsep diri yang tinggi melalui prestasi.

  c.

  Pengaruh peran sex: di Amerika Serikat dan negara lainnya. Prestasi tinggi, identik dengan maskulinitas, yang bertentangan dengan konsep dari wanita ideal. Namun stereotip tersebut memudar.

  d.

  Pengakuan dan prestasi: pengakuan dan prestasi ini mengacu kepada setiap peningkatan motivasi dan kinerja yang terjadi pada dasarnya karena individu menerima pengakuan. Jika individu menyadari bahwa ada orang lain yang peduli kepada nya, hal tersebut menjadi motivasi untuk bekerja keras.

  Lain halnya, Suryabrata (2002) menjelaskan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi motivasi berprestasi adalah : a.

  Faktor Eksternal 1)

  Faktor Sosial, faktor sosial adalah manusia yang sangat berperan dalam kegiatan belajar individu, seperti : a)

  Orang tua: Sunaryo (2002) menyatakan orang tua yang mampu mendidik dengan baik, mampu berkomunikasi dengan baik, penuh perhatian terhadap anak, tahu kebutuhan dan kesulitan yang di hadapi anak, dan mampu menciptakan hubungan baik dengan anak- anaknya, akan berpengaruh besar terhadap keberhasilan belajar anak tersebut dan sebaliknya. Hal ini di dukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Jeynes (2007) bahwa adanya hubungan yang positif dan signifikan antara keterlibatan orang tua dengan prestasi akademik anak.

  b) Guru: Salamah (2006) menyatakan guru sebagai pelaksana pendidikan merupakan faktor manusia yang di perkirakan paling besar pengaruhnya terhadap hasil pendidikan. Keberhasilan pendidikan tergantung pada perilaku guru dalam melaksanakan tugas-tugas pengajaran. Unsur-unsur meningkatkan kemampuan secara teknis guru sudah banyak dilakukan melalui berbagai penataran, lokakarya, seminar dan sebagainya, hal ini kaitannya agar guru-guru memiliki seni mengajar yang lebih baik lagi, sehingga dapat memotivasi peserta didik sehingga memiliki hasil belajar yang baik.

  c) Teman sebaya: Menurut Buhrmester (dalam Feldman Papalia, 2009) teman sebaya adalah sumber kasih sayang, simpati, pengertian, dan tuntutan moral, tempat untuk melakukan eksperimen, serta sarana untuk mencapai otonomi dan kemandirian dari orang tua bagi remaja.

  d) Lingkungan tempat proses pembelajaran berlangsung: Iklim belajar yang menyenangkan, tidak mengancam, memberi semangat dan sikap optimisme bagi peserta didik dalam belajar, cenderung akan mendorong individu untuk tertarik belajar, memiliki toleransi terhadap suasana kompetisi dan tidak khawatir akan kegagalan. Hal ini di buktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh Korir (2014) yang berjudul The Impact Of School Environment And Peer

  Influences On Students Academic Performance In Vihiga Country, Kenya bahwa lingkungan sekolah selaku institusi di mana tempat

  belajar yang dianggap juga sebagai rumah kedua bagi peserta didik memiliki hubungan yang kuat dengan hasil akademik dari peserta didik. 2)

  Faktor Non Sosial: adalah segala sesuatu di sekitar individu dalam wujud benda konkrit atau abstrak.

  a) Sarana yang dipakai untuk belajar: Sunaryo (2004) menyatakan alat bantu belajar mengajar (ABBM) yang lengkap akan membantu proses belajar atau sebaliknya. Ketersediaan fasilitas informasi elektronik seperti internet dan notebook merupakan hal yang penting untuk menunjang keberhasilan proses pembelajaran.

  b) Kondisi cuaca, suhu, dan udara: ruang kelas yang terlalu sempit akan mempengaruhi kenyamanan peserta didik dalam belajar. Begitu juga dengan penataan ruang kelas, kelas yang tidak ditata dengan rapi, tidak ada ventilasi yang memadai akan membuat suasana menjadi tidak nyaman, dan membuat peserta didik merasa bosan, dan tidak bergairah selama proses belajar. Sunaryo (2004) faktor udara, cuaca, waktu, tempat dapat mempengaruhi proses belajar bagi individu.

  b.

  Faktor Internal 1)

  Faktor fisiologis a) Kesehatan individu: Sunaryo (2004) menyatakan kondisi badan yang tidak sehat seperti sakit-sakitan, kurang vitamin dan sebagainya akan mempengaruhi proses belajar individu yang nantinya juga akan berimbas kepada motivasi berprestasinya.

  b) Cacat tubuh: individu dengan gangguan cacat tubuh seperti memiliki kelemahan atau gangguan berbicara, membaca, atau gangguan dengan alat indranya rentan untuk memiliki motivasi berprestasi yang tinggi. meskipun tidak semua individu dengan cacat tubuh memiliki motivasi berprestasi yang rendah (Sunaryo, 2004).

  2) Faktor psikologis

  a) Motivasi: Hamzah (2006) menyatakan motivasi berasal dari kata motif yang dapat diartikan sebagai kekuatan yang terdapat di dalam individu, yang menyebakan individu tersebut berbuat atau bertindak. Begitu pula dalam hal berprestasi, Winkel (1996) motif adalah daya penggerak dalam diri seseorang untuk melakukan aktivitas tertentu, demi mencapai tujuan tertentu (dalam Hamzah, 2006).

  b) Ingatan: Walgito (2002) ingatan memiliki fungsi untuk memasukan menyimpan (retention), dan fungsi untuk menimbulkan

  (learning),

  kembali (remembering). Kaitannya dengan motivasi berprestasi, individu yang telah memperhatikan sebuah stimulus yang menurutnya menarik, dan memberikan perhatian pada stimulus tersebut, secara singkat individu akan mempersepsinya, lalu menyimpan nya dalam memori otak. Seperti individu yang telah menyadari tujuan nya untuk melanjutkan pendidikannya ke pendidikan tinggi, maka akan secara sadar dan terencana mengetahui hal-hal dan perilaku seperti apa yang harus di lakukan.

  c) Pengalaman: pada penelitian yang dilakukan oleh Haryani (2014) yang berjudul Motivasi Berprestasi Pada Mahasiswa Berprestasi

  Dari Keluarga Tidak Mampu Secara Ekonomi, diperoleh kesimpulan bahwa motivasi untuk berprestasi juga di pengaruhi oleh faktor ekstrinsik yaitu, reward, orang yang lebih dahulu sukses/berprestasi dan fenomena di sekitar individu.

  Faktor-faktor lain motivasi berprestasi dijelaskan oleh Speece dan Helmerich (dalam) motivasi berprestasi terdiri dari beberapa faktor, yaitu : a.

  Mastery of needs, yaitu seseorang lebih menyukai pekerjaan yang menantang dan menuntut pada intelektual.

  b.

  Work orientation, yaitu individu mengambil sikap proaktif dan menunjukan bahwa dirinya menyukai pekerjaan itu. Individu akan mendapat kepuasan dari pekerjaan yang dilakukan dan berupaya mengembangkan dirinya.

  c.

  Competition, seorang individu berharap memperoleh kemenangan dan mempunyai hasrat untuk dapat unggul di bandingkan dengan yang lain.

  Dari beberapa penjelasan mengenai faktor-faktor yang dapat mempengaruhi motivasi berprestasi, dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat motivasi berprestasi individu adalah keluarga dan pengaruh budaya, peran konsep diri, pengaruh peran sex, serta pengakuan dan prestasi. Selain itu ada pula faktor lain yang dapat mempengaruhi motivasi berprestasi seperti, 1) faktor eksternal yang terdiri dari faktor sosial yaitu orang tua, guru, serta teman sebaya, dan faktor non sosial yaitu sarana yang di gunakan untuk belajar serta cuaca, suhu dan udara. Dan 2) faktor internal yang terdiri dari faktor fisologis yaitu kesehatan individu, serta cacat tubuh dan faktor psikologis yaitu motivasi, ingatan serta pengalaman disekitar individu, serta faktor Mastery of needs, Work orientation, dan Competition. Dalam penelitian ini peneliti lebih sejalan dengan faktor-faktor yang di sampikan oleh Suryabrata, yaitu 1) faktor eksternal yang terdiri dari faktor sosial yaitu orang tua, guru, serta teman sebaya, dan faktor non sosial yaitu sarana yang di gunakan untuk belajar serta cuaca, suhu dan udara. Dan 2) faktor internal yang terdiri dari faktor fisologis yaitu kesehatan individu, serta cacat tubuh dan faktor psikologis yaitu motivasi, ingatan serta pengalaman disekitar individu, dimana ada faktor eksternal yaitu teman sebaya yang sesuai dengan teori kondisi psikososial remaja yang dijelaskan sebelumya.

B. Dukungan Sosial Teman Sebaya

1. Pengertian Dukungan Sosial Teman Sebaya

  Cohen & Hoberman (dalam Isnawati, 2013) menjelaskan dukungan sosial adalah berbagai sumber daya yang disediakan oleh hubungan antar pribadi seseorang yang dapat mempengaruhi kesejahteraan individu yang bersangkutan. Menurutnya dukungan sosial timbul oleh adanya persepsi bahwa terdapat orang-orang yang akan membantu apabila terjadi suatu keadaan atau peristiwa yang dipandang akan menimbulkan masalah dan bantuan tersebut dirasakan dapat menaikan perasaan positif serta mengangkat harga diri.

  Sarafino (2014) menjelaskan dukungan sosial adalah tindakan yang dilakukan oleh orang lain, yang tindakan tersebut dapat memberikan sensasi atau persepsi kepada individu penerima, bahwa kenyamanan, kepedulian, dan bantuan adalah ada bagi dirinya. Rook (dalam Nursalam, 2007) menjelaskan dukungan sosial adalah sebuah fungsi pertalian/ikatan sosial yang segi fungsionalnya mencakup dukungan emosional, mendorong adanya ungkapan perasaan, memberi nasehat atau informasi, pemberian bantuan material. Depanfillis (1996) Dukungan sosial adalah suatu pemikiran terbaik sebagai suatu konstruk multidimensional yang terdiri dari komponen fungsional dan struktural (dalam Roberts, 2009).

  Dukungan sosial merujuk kepada tindakan yang orang lain lakukan ketika dirinya menyampaikan bantuan.

  Scot & Carrington, (2011) juga menjelaskan relasi positif kelompok teman sebaya ternyata juga memiliki arti penting bagi terbentuknya dukungan sosial terhadap sesama teman sebaya. Santrock

  (2003) menyatakan bahwa terdapat beberapa sumber dukungan sosial yang di terima individu, salah satunya adalah teman sebaya. Cober dan koleganya (dalam Scot & Carrington, 2011), mendefinisikan dukungan sosial sebagai semua proses relasi sosial yang bisa meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan individu. Berdasarkan uraian tersebut maka dapat di simpulkan bahwa dukungan sosial teman sebaya adalah sumber daya berupa bantuan yang dirasakan oleh individu dari orang lain yang memiliki tingkat usia yang sama dan memiliki sebuah relasi antar pribadi, yang dapat mempengaruhi kesejahteraan dari individu penerima.

2. Bentuk Dukungan Sosial

  Cohen & Hoberman (dalam Isnawati, 2013) mengklarifikasikan dukungan sosial kedalam empat bentuk, yaitu :

  a.

   Appraisal support yaitu adanya bantuan berupa nasihat yang berkaitan

  dengan pemecahan suatu masalah untuk membantu mengurangi stressor, atau suatu bentuk bantuan yang membantu individu dalam memahami kejadian yang menekan dengan lebih baik serta memberikan pilihan strategi coping yang harus dilakukan guna menghadapi suatu masalah (Sari, 2010).

  b.

  Tangible support yaitu bantuan yang nyata yang berupa tindakan atau bantuan fisik dalam menyelesaikan tugas atau bantuan bantuan yang bersifat pelayanan, juga bantuan secara finansial.

  c.

  Self-Esteem support yaitu dukungan yang di berikan oleh orang lain terhadap perasaaan kompeten atau harga diri individu/perasaan seseorang sebagai bagian dari sebuah kelompok di mana para anggotanya memiliki dukungan yang berkaitan dengan self-esteem seseorang. Singkatnya individu penerima akan merasakan adanya perasaan positif akan dirinya, bila di bandingkan keadaan yang di miliki oleh orang lain, yang membuat individu merasa sejajar dengan orang lain seusianya.

  d.

  Belonging Support yaitu menunjukan perasaan di terima menjadi bagian dari suatu kelompok dan rasa kebersamaan, atau suatu bentuk bantuan di mana individu tahu bahwa ada orang lain yang dapat diandalkan ketika dirinya ingin melakukan suatu kegiatan bersama.

  House (dalam Smet, 1994) menjelaskan ada empat bentuk dukungan sosial, antara lain : a.

  Dukungan emosional: mencakup ungkapan empati, kepedulian, dan perhatian terhadap individu yang bersangkutan serta memberikan rasa aman, rasa saling memiliki dan di cintai.

  b.

  Dukungan penghargaan: terjadi melalui ungkapan hormat atau penghargaan yang positif bagi individu, dorongan untuk maju atau gagasan perasaan individu dan perbandingan individu tersebut dengan individu yang lain yang kurang mampu atau lebih buruk keadaannya atau menambah penghargaan diri.

  c.

  Dukungan instrumental: mencakup bantuan langsung sesuai dengan yang di butuhkan oleh seseorang. Seperti memberi pinjaman uang kepada individu yang sedang memerlukan atau membantu individu dalam mengerjakan tugas/pekerjaan saat sedang mengalami stress. d.

  Dukungan informatif : mencakup memberi nasehat, petunjuk, saran- saran, dan umpan balik.

  Sarafino (2014) mengkalrifikasikan dukungan sosial kedalam lima bentuk, yaitu: a.

  Dukungan emosional: dukungan yang melibatkan ekspresi dan empati, kepedulian, dan perhatian kepada orang lain. Seperti memberikan bahu ketika individu sedang menangis atau berkeluh kesah, dan persahabatan. Dukungan ini dapat memberikan rasa, aman, dan nyaman perasaan dimiliki dan dicintai yang dirasakan individu.

  b.

  Dukungan penghargaan: dukungan yang terjadi, melalui ungkapan penghargaan positif kepada orang lain. Dorongan untuk maju atau persetujuan dengan pendapat dan perasaan individu, serta adanya pembanding positif dari individu dengan orang lain.

  c.

  Dukungan instrumental: dukungan yang berupa pemberian bantuan secara langsung seperti bantuan uang atau materi lainnya.

  d.

  Dukungan informasi: dukungan yang terdiri dari pemberian nasihat, arahan, saran atau umpan balik mengenai apa yang dilakukan orang lain.

  e.

  Dukungan dari jaingan sosial: dukungan yang menimbulkan perasaan memiliki pada individu, karena dirinya menjadi anggota di dalam kelompok. Dalam hal ini individu dapat membagi minat serta aktifitas sosialnya, sehingga individu merasa dirinya dapat di terima oleh kelompok tersebut.

  Tracy (dalam Roberts, 2009) menjelaskan ada beberapa jenis dari dukungan sosial, seperti : a.

  Dukungan emosional: adanya seseorang mendengarkan perasaan anda, atau memberikan dorongan b.

  Dukungan informasional: adanya seseorang mengajarkan anda sesuatu, memberikan informasi atau nasehat, atau membantu dalam membuat suatu keputusan utama.

  c.

  Dukungan konkret: adanya seseorang membantu anda dengan cara yang kasat mata, seperti meminjamkan sesuatu, memberikan informasi, membantu mengerjakan tugas, atau mengambilkan suatu pesanan anda.

  Nursalam (2007) hampir setiap individu tidak mampu menyelesaikan masalah sendiri, tetapi lebih cenderung memerlukan bantuan orang lain. Berdasarkan hasil penelitian bahwa dukungan sosial merupakan mediator yang penting dalam menyelesaikan masalah individu. Hal ini karena individu merupakan bagian dari keluarga, teman sekolah, relasi kerja, kegiatan agama ataupun bagian dari kelompok lainnya.

  Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat ditarik kesimpulan, jenis dukungan sosial adalah Appraisal Support, Tanggible Support, Self-

  

Esteem Support, dan Beloging Support , sementara bentuk-bentuk dukungan

  sosial juga dapat berupa, dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental, dan dukungan informatif. Adapun bentuk-bentuk dukungan sosial lain juga dapat berupa, dukungan informasional, dukungan konkret, serta dukungan dari jaringan sosial. Sementara dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan jenis-jenis dukungan sosial yang disampaikan oleh Cohen & Hoberman yaitu (1) Appraisal support, berupa bantuan dalam bentuk nasehat, atau saran (2) Tangiable Support, berupa bantuan secara langsung baik secara fisik seperti membantu mengerjakan tugas, atau bantuan secara finansial (3) Self-Esteem, berupa rasa dukungan untuk maju atau dukungan positif untuk individu, dan (4) Belonging Support berupa rasa simpati dan empati.

  

C. Hubungan Antara Dukungan Sosial Teman Sebaya Terhadap Motivasi

Berprestasi Mahasiswa

  Menurut Gunarsa (2004) mahasiswa yang berada pada masa remaja lanjut memang menghadapi berbagai kesulitan penyesuaian dan tidak semua mampu mengatasinya secara seorang diri. Bahkan banyak mahasiswa membutuhkan bantuan baik dalam menyesuaikan diri karena status barunya sebagai mahasiswa dengan berbagai persoalan dalam pergaulan maupun dalam studi.

  Kesulitan yang di hadapi oleh mahasiswa yang berada pada masa remaja lanjut salah satunya adalah kurikulum yang berbeda dengan masa sekolah menegah atas. Di bidang pengetahuan eksakta cenderung lebih ketat daripada non-eksakta. Jika individu kebetulan menyukai dengan bidang/jurusan yang di pilih, maka kelanjutan studi dan kegairahan belajar terjamin lebih lancar. Namun sebaliknya apabaila jurusan yang di pilih tidak sesuai dapat mengakibatkan kegairahan belajar akan menurun dan studinya menjadi tidak lancar (dalam Gunarsa, 2004)

  Oleh karenanya mahasiswa yang masih berada di tahap remaja lanjut memerlukan orang lain untuk membantunya menyelesaikan masalah tersebut. Desmita (2013) remaja menghabiskan sebagaian besar waktunya untuk berhubungan dan bergaul dengan teman sebayanya. Santrock (2007) menjelaskan para remaja dan teman sebayanya kemudian membentuk suatu relasi yang baik yang bersifat positif maupun bersifat negatif.

  Scot & Carrington (2011) relasi yang positif kelompok teman sebaya ternyata juga memiliki arti penting bagi terbentuknya dukungan sosial terhadap sesama teman sebaya. Meningkatnya intensitas pertemuan di antara para remaja mengakibatkan dukungan sosial dari teman sebaya memiliki peran penting bagi kehidupan remaja. Dukungan sosial yang di berikan teman sebaya dapat membuat remaja termotivasi untuk menggapai prestasi atau cita-cita. Berprestasi merupakan salah satu kebutuhan manusia. Dengan meraih suatu prestasi, maka akan tumbuh suatu semangat baru untuk menjalani aktifitas (Muray, dalam Hikmah 2012).

  Bagitu pula dengan motivasi berprestasi mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan Tinggi di Universitas Mercu Buana Yogyakarta, dengan dukungan sosial yang di berikan oleh teman sebaya seperti dukungan apraisal support yaitu berupa nasehat atau pemberian saran serta arahan yang diberikan melalui teman sebaya. Hal ini dapat membuat motivasi berprestasi individu menjadi baik, karena individu tau bagaimana seharusnya dirinya bertindak, melalui saran, nasehat dan informasi yang diberikan dari teman sebayanya, selain itu melalui saran atau nasehat yang di berikan oleh teman sebayanya akan meningkatkan kebutuhan individu akan umpan balik dari orang lain. Diketahui bahwa beberapa fungsi teman sebaya bagi remaja adalah saling memberikan dukungan sosial dan memberikan informasi penting yang dapat di jadikan refrensi dalam membandingkan keyakinan, nilai, sikap, dan kemampuannya dengan remaja yang lain. Hal tersebut berarti bahwa teman sebaya memberikan informasi berupa memberikan ajaran, memberikan informasi, memberi nasehat, memberi saran, memberi pengetahuan, memberi petunjuk, dan memberikan bimbingan (Zastrow dan Ashman dalam Hikmah, 2012).

  Selain itu, individu juga akan mengembangkan inovasi khusus dalam mengerjakan berbagai tugas dan tanggung jawabnya, dari berbagai saran dan informasi yang di berikan oleh teman sebaya. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan Haque (2014) yang berjudul

  

“Implication Of College Peer Culture on Achievement Motivation” yang

  menekankan bahwa 50% dari jumlah subjek 13 dari 26 subjek sebagian besar mahasiswa bergantung pada pendapat dan nilai dari rekan rekan nya.

  Oleh karena itu, untuk meningkat motivasi berprestasi individu di buthkan informasi yang hanya bisa di peroleh dari sesama teman sebayanya yang ternyata dukungan informasi dari teman sebaya ini sangat mempengaruhi pengatahuan individu. Sebaliknya jika individu tidak mendapatkan dukungan apraisal support maka individu tersebut terindikasi akan memiliki tingkat motivasi berprestasi yang rendah, karena individu tidak mendapatkan masukan atau respon dari orang lain berupa nasehat, saran, atau arahan agar dirinya menjadi lebih baik lagi dalam pencapaian prestasinya.

  Selain itu tangiable support, yang berupa bantuan secara langsung baik secara fisik seperti membantu mengerjakan tugas, atau bantuan secara finansial, dirasa dapat mendongkrak semangat untuk memiliki motivasi berprestasi pada setiap mahasiwa UMBY, karena bantuan inilah yang merupakan bantuan yang dapat dirasakan secara nyata manfaatnya. House, Collins, Dunkel-Schetter, Lobel, dan Schrimshaw (dalam Hikmah, 2012) mengemukakan bahwa bantuan nyata dapat membantu individu dalam melakukan kegiatan sehari-hari melalui pemberian bantuan langsung atau materi yang nyata dalam menyelesaikan tugas-tugas.

  Oleh karena itu, seorang mahasiswa yang sedang kesulitan dirasa akan bersemangat lagi setelah mendapatkan uluran bantuan dari orang lain, seperti mendapatkan pinjaman uang, buku, alat-alat penunjang kuliah, dan materi lainnya yang termasuk dalam dukungan insrumental, sehingga motivasi berprestasinya juga akan kembali meningkat. Dukungan tersebut akan mempengaruhi individu dalam mengerjakan tugas-tugas pribadinya selama masa perkuliahan. Sepfitri (2011) menjelaskan bahwa kehadiran orang lain dalam kehidupan individu sangat di perlukan, karena pada dasarnya setiap individu saling membutuhkan untuk memberikan dukungan dalam menghadapi masalah yang timbul. Begitu pula sebaliknya apabila individu tidak mendapatkan uluran bantuan dari teman sebayanya, individu tidak akan bisa survive atau melewati masa-masa sulitnya selama masa studi sehingga tingkat motivasi untuk berprestasinya akan semakin menurun.

  Bentuk dukungan sosial yang lain yaitu dukungan self-esteem, yang berupa dorongan untuk maju atau dukungan positif untuk individu dirasa dapat meningkatkan motivasi berprestasi individu. Hikmah (2012) menyatakan bahwa kebutuhan akan penghargaan ini dapat membuat individu mngenal dirinya sendiri dan menghargai diri, sehingga menimbulkan rasa percaya diri pada dirinya sendiri. Dengan ungkapan penghargaan yang positif, serta persetujuan yang postif tentang hal yang dilakukan oleh individu, akan membuat individu merasa dihargai, karena mendapatan respon atau feed back dari individu lain. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Sarafino (1994) yang menyatakan bahwa, dukungan penghargaan memberikan perasaan berharga bagi remaja di mana dirinya menganggap memiliki kemampuan yang berbeda dengan orang lain sehingga menimbulkan rasa percaya diri pada individu.

  Oleh karena hal tersebut, bentuk dukungan self-esteem ini akan memicu sebuah sifat tekun dalam diri individu, karena timbul persepsi bahwa ada orang lain yang memiliki rasa bangga terhadap dirinya. Sepfitri (2011) menytakan hal tersebut akan membuat individu mengarahkan motivasi berprestasinya kearah yang lebih baik, dan sikap belajarnya pun menjadi positif, selain itu indvidu akan mengembangkan cara belajar yang efektif dan adaptif dalam menyikapi tantangan sebagai mahasiswa yang sedang berada di dalam semester kruisial. McClelland (1987) Karena pada dasarnya setiap individu membutuhkan sebuah feed back atau umpan balik dari setiap tindakan yang dilakukannya. Begitu pula sebaliknya individu yang tidak mendapatkan dukungan berupa dukungan positif ini akan memiliki motivasi berprestasi yang rendah karena tidak adanya unsur pendorong atau penyemangat dalam diri individu, sehingga individu tidak memiliki arah belajar yang positif.

  Sedangkan, bentuk dukungan belonging support yang berupa rasa simpati, empati, dan kebersamaan dapat mendongkrak semangat individu untuk terus berjuang selama masa studi karena merasa dirinya berharga, dicintai, dan bagian dari jaringan sosial sehingga muncul sebuah persepsi untuk tidak mengecewakan orang lain (Sarafino, 2014). Hal ini juga dapat menumbuhkan pandangan kepada individu bahwa kebutuhan untuk “bersosialisasi” dengan lingkungannya, juga dapat membantu mewujudkan tujuannya.

  Penelitian-penelitian yang berkaitan dengan hal di atas telah dilakukan oleh Toding (2015) dengan judul Hubungan dukungan sosial dengan Motivasi Beprestasi Pada Mahasiswa Angkatan 2013 Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi, dalam penelitiannya partisipan yang digunakan adalah sebanyak 91.1% mendapat dukungan sosial yang rendah, sedangkan sisanya 8.9% mendapatkan dukungan sosial yang tinggi. kesimpulan dari penelitian tersebut adalah terdapat hubungan positif yang signifikan antara dukungan sosial dengan motivasi berprestasi mahasiswa. Penelitian lain juga menyatakan bahwa jenis-jenis dukungan sosial yang di berikan oleh teman sebaya dapat mempengaruhi aspek- aspek dari motivasi berprestasi.

  Hal tersebut juga di dukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Sepfitri (2011) berjudul Pengaruh Dukungan Sosial Terhadap Motivasi Berprestasi Siswa MAN 6 Jakarta bahwa ada pengaruh yang signifikan dimensi dukungan penghargaan terhadap motivasi berprestasi pada siswa MAN 6 Jakarta, begitu pula juga dengan dukungan instrumental, dukungan informasi, serta dukungan jaringan. Dukungan sosial teman sebaya yang di berikan diharapkan mampu memberikan dukungan positif terhadap mahasiswa. Ketika mahasiswa mendapatkan dukungan sosial dari teman-teman yang sejatinya sedang mengalami hal yang sama yaitu masa belajar di pendidikan tinggi, maka akan menimbulkan motivasi untuk sama-sama berjuang sehingga individu akan akan memiliki penghargaan yang positif terhadap diri sendiri, yang membuat semakin positifnya motivasi untuk berprestasi.

D. Hipotesis

  Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan yang positif antara dukungan sosial teman sebaya dengan motivasi berprestasi Mahasiswa Universitas Mercu Buana Yogyakarta. Semakin tinggi dukungan sosial teman sebaya yang diperoleh maka semakin baik pula tingkat motivasi berprestasinya, dan begitu pula sebaliknya semakin rendah dukungan sosial teman sebaya yang diperoleh maka semakin buruk pula tingkat motivasi berprestasinya.