BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI A. Penelitian Sejenis yang Relevan - KAJIAN KONVERSASI JENIS HUMOR DALAM ACARA INDONESIA LAWAK KLUB (ILK) EPISODE WARNA WARNI PERCINTAAN DAN GELAR PENDIDIKAN DI TRANS7 - repository perpustakaan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI A. Penelitian Sejenis yang Relevan Penelitian Kajian Konversasi Jenis Humor dalam Acara Indonesia Lawak Klub (ILK) Episode Warna Warni Percintaan dan Gelar Pendidikan di Trans7

  memiliki kesamaan dan perbedaan dengan penelitian sejenis yang relevan. Peneliti mengambil dua penelitian sejenis yang relevan. Penelitian sejenis yang relevan yaitu dari penelitian berjudul Bahasa Humor dalam Tuturan Serial Komedi Tawa Sutra di

  

ANTV (Kajian Pragmatik) oleh Ika Widyawati dan Bahasa Humor Stand Up Comedy

di MetroTV 1 Maret

  • – 26 April 2012 oleh Andrian Kristanto. Di bawah ini merupakan penjelasan dari kedua jenis penelitian yang relevan.

1. Penelitian berjudul Bahasa Humor dalam Tuturan Serial Komedi Tawa Sutra

  di ANTV (Kajian Pragmatik) oleh Ika Widyawati mahasiswa Fakultas Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Muhammadiyah Purwokerto, pada tahun 2010.

  Penelitian ini dilakukan untuk mendeskripsikan ciri-ciri bahasa humor yang digunakan dalam tuturan serial komedi Tawa Sutra di ANTV dan mendeskripsikan pelanggaran prinsip kerja sama dan prinsip kesopanan dalam tuturan serial komedi

  

Tawa Sutra sebagai pembangkit humor. Tinjauan teori yang digunakan untuk

  menganalisis penelitian ini adalah: wacana humor, pola humor, pengertian pragmatik, peristiwa tutur, prinsip kerja sama (maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim maksim relevansi dan maksim pelaksanaan) dan prinsip kesopanan (maksim kebijaksanaan, maksim kemurahan, maksim penerimaan atau pujian, maksim kerendahan hati, maksim kecocokan dan maksim kesimpatian).

  8 Jenis penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Data penelitian ini adalah tuturan asli para pelakon Tawa Sutra yang diambil pada tanggal 12,13, dan

  14 April 2010 yang terdiri dari sebelas judul yaitu (1) Tukang Daging, (2) Sejarah, (3)

  

Pembantu Pintar, (4) Pengemis Banyak Gaya, (5) Pintu Keluar, (6) Tukang Loak Lagi

Hoki, (7) Cari Sofa, (8) Toko Bangunan, (9) Shionya Budi Anduk, (10) Salah Resep,

dan (11) Standar Kelulusan . Sumber datanya adalah penutur (pemain) dalam serial

  komedi Tawa Sutra di ANTV yang tayang setiap Senin sampai Jumat pukul 20.30- 21.30 WIB.

  Metodelogi yang digunakan dalam penelitian ini untuk pengumpulan datanya menggunakan teknik simak, teknik rekam, dan teknik catat. Tahap analisis data penelitian ini berdasarkan pembentukan pola humor, komponen (SPEAKING), prinsip kerja sama (meliputi: maksim kualitas, maksim kuantitas, maksim relevansi dan maksim pelaksanaan) dan prinsip kesopanan (meliputi: maksim kebijaksanaan, maksim kemurahan, maksim kerendahan hati, maksim kecocokan, maksim kesimpatian dan maksim penerimaan). Penyajian hasil analisis data menggunakan model penyajian informal.

  2. Penelitian berjudul Bahasa Humor Stand Up Comedy di MetroTV 1 Maret –

  26 April 2012 oleh Andrian Kristanto mahasiswa Fakultas Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Muhammadiyah Purwokerto, pada tahun 2012.

  Penelitian ini dilakukan untuk mendeskripsikan jenis tindak tutur (meliputi: tindak tutur lokusi, tindak tutur ilokusi dan tindak tutur perlokusi), penyimpangan prinsip konversasi (prinsip kerja sama dan prinsip kesopanan) dan gaya humor yang digunakan dalam Stand Up Comedy di Metro TV. Tinjauan teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengertian bahasa, fungsi bahasa, wacana (meliputi: pengertian wacana dan ciri-ciri wacana), variasi bahasa, humor (meliputi: pengertian humor, fungsi humor, ciri-ciri humor, fungsi humor dan Stand Up Comedy) dan pragmatik yang terdiri atas: (1) pengertian pragmatik (meliputi: penutur dan lawan tutur, konteks tuturan, maksud tuturan, tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas dan tindakan sebagai produk tindak verbal), (2) beberapa pembahasan pragmatik (meliputi: tindak tutur dan prinsip konversasi). Tindak tutur dalam penelitian ini meliputi tindak lokusi, tindak ilokusi dan tindak perlokusi, sedangkan prinsip konversasi meliputi prinsip kerja sama (maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi dan maksim pelaksanaan) dan prinsip kesopanan (maksim kebijaksanaan, maksim penerimaan, maksim kemurahan hati, maksim kerendahan hati, maksim kecocokan dan maksim kesimpatian).

  Jenis penelitian ini merupakan penelitian kualitatif melalui deskripsi analitis. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah tuturan para comic dalam acara

  

Stand Up Comedy di Metro TV pada 1 Maret sampai 26 April 2012. Sedangkan untuk

sumber datanya adalah para comic dalam acara Stand Up Comedy di Metro TV.

  Sedangkan untuk metodelogi penelitian ini pengumpulan datanya menggunakan metode simak dengan teknik sadap, teknik lanjutan I menggunakan teknik simak bebas libat cakap (SBLC), teknik lanjut II menggunakan teknik rekam dan teknik lanjut III menggunakan teknik catat. Untuk menganalisis data penelitian ini menggunakan metode agih dan padan. Tahap penyajiannya menggunakan metode penyajian informal.

  Berdasarkan kedua jenis penelitian relevan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kedua penelitian tersebut memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian

  

Kajian Konversasi Jenis Humor dalam Acara Indonesia Lawak Klub (ILK) Episode

  

Warna Warni Percintaan dan Gelar Pendidikan di Trans7 . Persamaannya pada jenis

  penelitian yaitu penelitian deskriptif kualitatif dan tahap pengumpulan data yaitu menggunakan teknik simak dan teknik catat, serta penyajian data yang menggunakan metode penyajian informal. Sedangkan perbedaannya terdapat pada landasan teori, data, sumber data, dan tahap analisis data. Metode yang digunakan pada analisis data penelitian yang relevan menggunakan dua metode yaitu metode agih (teknik perluas dan teknik ulang) dan metode padan (teknik dasar pilah unsur penentu dan teknik hubung banding menyamakan). Sedangkan pada penelitian ini hanya menggunakan satu metode yaitu metode agih (teknik lesap dan teknik ganti). Landasan penelitian yang digunakan pada penelitian ini yaitu humor (pengertian humor, fungsi humor dan jenis humor), serta untuk kajiannya peneliti menggunakan kajian prinsip konversasi (prinsip kerja sama dan prinsip kesopanan). Selanjutnya, untuk data yang digunakan adalah kata atau kalimat dari tuturan para peserta ILK. Sedangkan sumber datanya adalah dari para peserta ILK.

B. Landasan Teori 1. Konversasi a. Pengertian Konversasi

  Konversasi atau percakapan adalah suatu ativitas yang biasanya dilakukan oleh setiap orang. Tanpa adanya percakapan suatu bahasa orang akan sulit dalam berkativitas di lingkungan sosial. Percakapan merupakan suatu aktivitas yang diatur oleh aturan (Richards dalam Rustanto 1999). Selain itu, percakapan merupakan suatu interaksi yang tertib dan percakapan adalah sebagai wahana pembicara dan pendengar mengkoordinasi produksi bersama tentang makna dan aksi dalam suatu konteks sesaat interaksi sosial secara sinambung (Schiffrin dalam Rustanto 1999). Jadi, suatu percakapan seharusnya memiliki suatu kesinambungan antara makna dan aksi dalam suatu konteks atau situasi tertentu dengan berdasarkan pada aturan-aturan percakapan yang sudah ada. Sehingga dalam melakukan kegiatan percakapan seharusnya tidak menyimpang dari adanya prinsip percakapan.

  Prinsip percakapan adalah suatu prinsip yang mengatur mekanisme percakapan antar pesertanya agar dapat bercakap-cakap secara kooperatif dan santun (Rustanto, 1999:55). Jadi, dalam pengertian tersebut bahwa percakapan yang baik akan terlaksana dengan adanya dua unsur yaitu prinsip kooperatif dan prinsip santu.

  Sehingga dalam prinsip percakapan seseorang juga harus memperhatikan adanya kedua prinsip tersebut. Keuda prinsip tersebut sering dibicarakan sebagai prinsip kerja sama dan prinsip kesopanan atau prinsip sopan santun. Sedangkan dalam suatu teori pragmatik, prinsip kerja sama dan prinsip kesopanan terbagi lagi menjadi beberapa maksim yang mengatur sebuah percakapan.

b. Prinsip Konversasi

  Menurut Allan dalam Wijana (1996:45) di dalam berbicara, penutur dan lawan tutur harus menyadari kaidah-kaidah yang mengatur tindakannya, penggunaan bahasanya, dan interpretasi-interpretasinya terhadap tindakan dan ucapan lawan tuturnya. Setiap peserta tindak tutur bertanggung jawab terhadap tindakan dan penyimpangan terhadap kaidah kebahasaan di dalam interaksi lingual itu. Sehingga, menurut Tarigan (2009:36) bahwa keberhasilan suatu percakapan atau konversasi ditentukan oleh terlaksanaannya prinsip-prinsip kerja sama dan kesopanan/prinsip sopan santun, yaitu dengan penggunaan sepuluh jenis maksim atau ungkapan secara tepat dan serasi.

  Berbicara tidak selamanya berkaitan dengan masalah yang bersifat tekstual, tetapi juga berhubungan dengan persoalan yang bersifat interpersonal. Sebagai retorika tekstual pragmatik membutuhkan prinsip kerja sama (cooperative principle), sedangkan sebagai retorika interpersonal pragmatik membutuhkan prinsip lain, yakni prinsip kesopanan (politeness principle) (Wijana, 1996:55). Interaksi antara kedua prinsip tersebut yaitu prinsip kerjasama dan prinsip kesopanan/prinsip sopan santun disingkat PK dan PS yang menjadi bahan pembicaraan penting dalam pragmatik, khususnya dalam tindak-ujar (Tarigan, 2009:35).

1) Prinsip Kerja Sama

  Menurut Grice dalam Rahardi (2005:52) agar pesan dapat disampaikan dengan baik pada peserta tutur, komunikasi yang terjadi itu perlu mempertimbangkan perinsip kerja sama. Prinsip kerja sama Grice itu seluruhnya meliputi empat maksim yakni: maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim pelaksanaan.

  Begitu juga dengan Grice dalam Wijana (1996:46) mengemukakan bahwa di dalam rangka melaksanakan prinsip kerja sama, setiap penutur harus mematuhi empat maksim percakapan (conversational maxim), yakni maksim kuantitas (maxim of

  

quantity ), maksim kualitas (maxim of quality), maksim relevansi (maxim relevance),

  dan maksim pelaksanaan (maxim of manner). Sejalan dengan kedua ahli tersebut Rohmadi (2004:115) mengatakan bahwa kelancaran komunikasi dalam kegiatan berbahasa tidak hanya ditentukan oleh unsur-unsur kebahasaan secara struktural.akan tetapi harus diperhatikan pada prinsip-prinsip penggunaan bahsa oleh penulis dan pembaca. Dengan memperhatikan prinsip kerja sama dan kesopanan dalam penggunaan bahasa, maka maksud atau pesan yang diinginkan akan mudah di terima oleh lawan tuturnya. Sehingga tujuan di dalam kegiatan bertutur juga akan mudah dicapai.

  a) Maksim Kuantitas

  Menurut Grice dalam Rahardi (2005:53) menyatakan bahwa di dalam maksim kuantitas, seorang penutur diharapkan dapat memberikan informasi yang cukup, relatif memadai, dan seinformatif mungkin. Informasi demikian itu tidak boleh melebihi informasi yang sebenarnya dibutuhkan si mitra tutur. Senada dengan Grice, Wijana (1996:46) menyatakan bahwa maksim kuantitas menghendaki setiap peserta pertuturan memberikan kontribusi yang secukupnya atau sebanyak yang dibutuhkan oleh lawan bicaranya. Sehingga, informasi yang tidak dibutuhkan oleh lawan bicaranya tidak harus dibicarakan. Begitu juga dengan Grice dalam Tarigan (2009:35) bahwa pada maksim kuantitas penutur memberikan jumlah informasi yang tepat, yakni: (1) buatlah sumbangan anda seinformatif mungkin dan (2) jangan membuat sumbangan anda lebih informatif daripada yang diinginkan. Jadi, pada maksim kuantitas bahwa seorang penutur harus memberikan informasi dengan seperlunya saja dan memberikan konstribusi yang secukupnya atau sebanyak yang dibutuhnya oleh lawan tuturnya.

  b) Maksim Kualitas

  Menurut Grice dalam Rahardi (2005:55) bahwa dengan maksim kuantitas, seorang peserta tutur diharapkan dapat menyampaikan sesuatu yang nyata dan sesuai fakta sebenarnya di dalam bertutur. Pendapat tersebut sejalan dengan Wijana (1996: 48) bahwa maksim kualitas mewajibkan setiap peserta percakapan mengatakan hal yang sebenarnya. Kontribusi peserta percakapan hendaknya didasarkan pada bukti- bukti yang memadai. Sama halnya dengan Grice dalam Tarigan (2009:35) pada maksim kualitas penutur membuat sumbangan atau kontribusi anda merupakan suatu yang benar, yakni: (1) jangan katakana apa yang anda yakni salah dan (2) jangan yakini apa yang anda tidak tahu persis. Simpulan dari ketiga pendapat tersebut bahwa dalam maksim kualitas hendaknya penutur menyampaikan kalimat yang sebenar- benarnya, nyata dan sesuai fakta berdasarkan bukti-bukti yang ada sehingga tidak menyatakan kalimat yang salah kepada mitra tutur.

  c) Maksim Relevansi

  Menurut Grice dalam Rahardi (2005:56) menyatakan bahwa di dalam maksim relevansi bahwa agar terjalin kerja sama yang baik antara penutur dan mitra tutur, masing-masing hendaknya dapat memberikan kontribusi yang relevan tentang sesuatu yang sedang dipertuturkan itu. Sama halnya dengan Wijana (1996:49) bahwa dalam maksim relevansi mengharuskan setiap peserta percakapan memberikan kontribusi yang relevan dengan masalah pembicaraan. Adapun maksim relevansi menurut Grice dalam Tarigan (2009:35) yaitu penutur seharusnya menjaga kerelevansiannya. Sehingga, dari ketiga pendapat para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa di dalam maksim relevansi seharusnya penutur dan mitra tutur saling bekerja sama untuk memberikan sebuah kalimat yang relevan dengan masalah yang sedang dibicarakan.

  d) Maksim Pelaksanaan Ada beberapa pendapat para ahli linguis mengenai maksim pelaksanaan.

  

Pertama , menurut Grice dalam Rahardi (2005:57) bahwa maksim pelaksanaan ini mengharuskan peserta pertuturan bertutur secara langsung, jelas, dan tidak kabur.

  

Kedua , Wijana (1996:50) menyatakan bahwa maksim pelaksanaan mengharuskan

  setiap peserta percakapan berbicara secara langsung, tidak kabur, tidak taksa, dan tidak berlebih-lebihan, serta runtut. Ketiga, menurut Grice dalam Tarigan (2009:35) bahwa dalam maksim pelaksanaan penutur hendaknya menajamkan pemikirannya, yakni: (1) hindarilah ketidak jelasan ekspresi, (2) hindarilah ketaksaan (ambiguitas), (3) berilah laporan singkat, dan (4) tertib dan rapilah selalu. Sehingga simpulan dari ketiga ahli tersebut bahwa dalam maksim pelaksanaan penutur seharusnya bertutur secara jelas, yaitu dalam tuturannya runtut, menghindari ketaksaan serta kekaburan, dan secara singkat yaitu tidak berlebih-lebihan dengan kalimatnya. Kalimat-kalimat yang berlebihakn dan ambiguitas akan sulit untuk dipahami oleh lawan bicaranya.

2) Prinsip Kesopanan

  Selain adanya prinsip kerja sama, dalam prinsip konversasi juga terdapat prinsip kesopanan. Menurut Leech dalam Rahardi (2005:59) merumuskan bahwa prinsip kerja sama Grace tidak lagi banyak digunakan, alih-alih digunakan prinsip kesantunan atau prinsip kesopanan. Prinsip kesopanan yang sampai saat ini dianggap paling lengkap, paling mapan, dan relatif paling komperhensif. Selain itu, menurut Wijana (1996:55) bahwa prinsip kesopanan ini berhubungan dengan dua peserta percakapan, yakni diri sendiri (penutur) dan orang lain (lawan tutur) serta orang ketiga yang dibicarakan penutur dan lawan tutur. Adapun enam maksim menurut Leech dalam Tarigan (2009:36) yang terkandung dalam prinsip kesopanan atau prinsip sopan santun (PS), yaitu: maksim kebijaksanaan, maksim kedermawanan, maksim penghargaan , maksim kesederhanaan, maksim permufakatan, dan maksim simpati.

  a) Maksim Kebijaksanaan

  Maksim kebijaksanaan menurut Rahardi (2005:60) adalah bahwa para peserta pertuturan hendaknya berpegang pada prinsip untuk selalu mengurangi keuntungan dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan pihak lain dalam kegiatan bertutur. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Wijana (1996:56) bahwa maksim ini diungkapkan dengan tuturan impositif dan komisif. Maksim ini menggariskan setiap peserta pertuturan untuk meminimalkan kerugian orang lain, atau memaksimalkan keuntungan bagi orang lain. Adapun menurut Tarigan (2009:36) yaitu kurangi atau perkecil kerugian kepada orang lain dan tambahi atau perbesarlah keuntungan kepada orang lain. Sehingga dari penjelasan ketiga ahli tersebut pada intinya bahwa maksim kebijaksanaan adalah dimana dalam kegiatan bertutur pesertanya saling meminimalkan kerugian pihak lain dan mengurangi keuntungan bagi dirinya sendiri.

  b) Maksim Kedermawanan

  Maksim kedermawanan menurut Rahardi (2005:61) bahwa pada maksim ini diharapkan peserta pertuturan dapat menghormati orang lain. Selain itu, menurut Wijana (1996:57) bahwa pada setiap peserta pertuturan dituntut untuk saling memaksimalkan rasa hormat kepada orang lain, dan meminimalkan rasa tidak hormat kepada orang lain. Begitu juga pada pendapat Tarigan (2009:36) yaitu kurangi keuntungan bagi diri sendiri dan tambahi pengorbanan bagi diri sendiri. Sehingga simpulannya adalah bahwa setiap peserta pertuturan harus saling membina rasa hormat kepada pihak lain dengan cara meminimalkan rasa tidak hormat kepada pihak lain.

  c) Maksim Penghargaan

  Maksim penghargaan menurut Rahardi (2005:62-63) bahwa orang akan dapat dianggap santun apabila dalam bertutur selalu berusaha memberikan penghargaan kepada pihak lain. Dengan maksim ini, diharapkan agar para peserta pertuturan tidak saling mengejek, saling mencaci, atau saling merendahkan pihak yang lain. Senada dengannya bahwa menurut Wijana (1996:57) bahwa maksim penghargaan dituturkan dengan kalimat komisif dan impositif. Maksim ini mewajibkan setiap peserta tindak tutur untuk memaksimalkan kerugian bagi diri sendiri dan meminimalkan keuntungan diri sendiri. Begitupun dengan Tarigan (2009:36) bahwa peserta pertuturan harus mengurangi cacian pada orang lain dan tambahi pujian pada orang lain. Sehingga simpulannya adalah bahwa pada maksim penghargaan peserta pertuturan saling memberikan pujian dan berusaha untuk memaksimalkan kerugian bagi dirinya sendiri.

  d) Maksim Kesederhanaan

  Menurut Rahardi (2005:64) maksim kesederhanaan yaitu peserta tutur diharapkan dapat bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri dan tidak berlaku sombong. Begitupun dengan Wijana (1996:58) bahwa maksim kesederhanaan atau maksim kerendahan hati yaitu berpusat pada diri sendiri, yaitu menuntut setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri, dan meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri.

  Sedangkan menurut Tarigan (2009:36) yaitu kurangi pujian pada diri sendiri dan tambahi cacian pada diri sendiri. Jadi, pada maksim kesederhanaan seorang penutur hendaknya meminimalkan rasa hormat kepada diri sendiri dan tambahi pujian kepada orang lain. Sehingga dalam kegiatan bertutur tidak akan dikatakan sombong oleh pihak lain.

  e) Maksim Permufakatan

  Menurut Rahardi (2005:64) bahwa maksim permufakatan yaitu maksim yang menekankan agar para peserta tutur dapat saling membina kecocokan atau kemufakatan di dalam kegiatan bertutur. Begitupun dengan Wijana (1996:59) bahwa maksim permufakatan/maksim kecocokan menggariskan setiap penutur dan lawan tutur untuk memaksimalkan kecocokan di antara mereka, dan meminimalkan ketidakcocokan di antara mereka. Ada juga menurut Tarigan (2009:36) bahwa dalam maksim ini peserta pertuturan mengurangi ketidaksesuaian antara diri sendiri dan orang lain serta tingkatkanlah persesuaian antara diri sendiri dan orang lain. Jadi, dalam maksim ini peserta pertuturan dituntut untuk saling menyesuaikan satu sama lain dalam membina kecocokan dengan masalah yang sedang diperbincangkannya.

  f) Maksim Simpati

  Maksim simpati atau maksim kesimpatisan menurut Rahardi (2005:65) yaitu diharapkan agar para peserta tutur dapat memaksimalkan sikap simpati antara pihak yang satu dengan pihak yang lainnya. Adapula menurut Wijana (1996:60) yang sejalan dengannya bahwa maksim simpati yaitu maksim yang mengharuskan setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan rasa simpati, dan meminimalkan rasa antipati kepada lawan tuturnya. Keduanya sejalan dengan Tarigan (2009:36) bahwa maksim ini seharusnya peserta pertuturan mengurangi antipati antara diri sendiri dan orang lain serta memperbesar simpati antara diri sendiri dan orang. Sehingga, pada maksim ini peserta pertuturan saling mengurangi rasa anti pati terhadap pihak lain dengan memaksimalkan rasa simpatinya.

2. Humor a. Pengertian Humor

  Humor adalah salah satu wujud aktivitas dan kreativitas yang menimbulkan kejenakaan, kelucuan, dan menggelitik hati. Humor dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007:412) adalah sesuatu yang lucu; keadaan yang menggelikan hati; kejenakaan; kelucuan.Humor dapat menimbulkan rasa gembira, geli, atau lucu oleh para pembaca (wacana humor berupa tulis) maupun pendengar (wacana humor berupa lisan) baik dalam rangsangan verbal maupun nonverbal. Begitupun menurut Wijana dalam Chaer (2011:viii) bahwa humor adalah rangsangan verbal atau visual yang secara spontan dimaksudkan dapat memancing senyum dan tawa pendengar atau orang yang melihatnya. Jadi, humor adalah suatu rangsangan yang dibangkitkan oleh ujaran yang bisa didengar atau gerak-gerik yang bisa dilihat yang secara sengaja diujarkan (dalam bentuk bahasa lisan atau tertulis), atau gerak-gerik yang dilakukan untuk membuat orang menjadi tersenyum atau tertawa bila membacanya (bahasa tertulis), mendengarnya (bahasa lisan), atau melihatnya (Chaer, 2011:viii-ix).

  Bahasa humor tidak harus baku melainkan bahasa yang bebas, akan tetapi kebebasannya dapat dipertanggung jawabkan, sopan, tidak menyakiti pihak lain dan memiliki nilai-nilai positif yang dapat diambil oleh pendengar (wacana humor berupa lisan) maupun pembaca (wacana humor berupa tulis). Seperti yang dikatakan Emil Salim dalam Darmansyah (2010:74) bahwa humor adalah situasi dan kondisi yang bebas dari nilai baku dan memiliki daya rangsang untuk tertawa, namun tertawa bukan tujuan akhir humor. Tertawa bukanlah tujuan akhir humor, karena selain merangsang untuk tertawa humor juga harus mengandung amanat yang dapat disampaikan oleh pendengar maupun pembacanya.

  Banyak sekali pengertian humor yang dikemukakan oleh para ahli foklor. Akibatnya pengertian humor yang berkembang di lingkungan masyarakat juga semakin banyak. Menurut Sheinowizt dalam Darmansyah (2010:66) menyatakan bahwa:

  “humor adalah kualitas yang bersifat lucu dari seseorang yang menggelikan dan menghibur”. Sejalan Sheinowizt, ahli foklor James Dananjaya dalam Darmansyah (2010:68) menyatakan bahwa humor adalah sesuatu yang bersifat dapat menimbulkan atau menyebabkan pendengarannya merasa tergelitik perasaan lucunya, sehingga terdorong untuk tertawa. Hal ini dapat terjadi karena sesuatu yang bersifat menggelitik perasaan disebabkan kejutannya, keanehannya, ketidakmasukakalannya, kebodohannya, sifat pengecohnya, kejanggalannya, kekontradiksiannya dan kenakalannya.Humor dapat juga diartikan suatu kemampuan untuk menerima, menikmati dan menampilkan sesuatu yang lucu, ganjil/aneh yang bersifat menghibur (Darmansyah, 2010:66).

  Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa humor adalah wacana yang kualitasnya bersifat lucu dari penuturnya yang disebabkan oleh kebodohannya, keanehannya, keganjilannya dan lain sebagainya, sehingga dapat menimbulkan rasa menggelitik hati kepada mitra tutur untuk menimbulkan gelak tawanya baik melalui rangsangan verbal maupun visual.

b. Fungsi Humor

  Humor selain sebagai sarana hiburan semata menurut Jaya Suprana dalam Darmansyah (2010:74) menyatakan bahwa humor berfungsi sebagai alat untuk memberi kenikmatan, kesenangan dan kebahagiaan bagi umat manusia. Begitu juga dengan Dananjaya dalam Chaer (2011:xv) menyatakan bahwa di dalam masyarakat, humor baik yang bersifat protes sosial, maupun yang sekadar gurauan, berfungsi sebagai pelipur lara. Sehingga, humor merupakan hal yang penting juga di dalam kehidupan baik sebagai alat memberi kesenangan juga dapat menyalurkan protes sosial. Salah satu humor yang dapat menyenangkan hati dan juga sebagai sarana protes sosial yaitu seperti pada acara Indonesia Lawak Klub (ILK), karena selain berhumor acara tersebut juga dapat memberikan humor kritikan terhadap kehidupan sosial.

  Di dalam peliknya kehidupan humor menjadi salah satu kebutuhan bagi manusia untuk membangkitkan gelak tawa sehingga manusia akan mendapatkan keseimbangan jiwa. Sehingga menurut Dananjaya dalam Chaer (2011:xv) humor dapat dijadikan alat psikoterapi; terutama bagi masyarakat yang sedang berada dalam proses perubahan. Humor juga merupakan alat pengobat stres dan ketegangan- ketegangan yang dialami manusia. Sebagai alat pengobat stres penutur humor tidak hanya menyampaikan hal positifnya saja untuk menimbulkan kegelian dan kelucuannya kepada mitra tutur, tetapi penutur juga menyampaikan hal yang negatif sebagai kelucuannya. Seperti yang dikatakan Sapiro dalam Darmansyah (2010:75) bahwa humor dapat mengkomunikasikan rasa suka atau tidak suka dan dapat menggunakan humor untuk meng-ekspresikan perasaan positif atau negatif tentang orang lain.

  Adapun fungsi humor yang selanjutnya yaitu dapat menjadi sarana pendidikan di lingkungan masyarakat sekitar. Salah satunya yaitu Rabbi Meir, guru Talmudic lainnya yang ahli dalam dongeng menjalankan pembelajaran dengan banyak perumpamaan, menggunakan humor sebagai selingan dalam pembelajaran (Darmansyah, 2010:64). Selanjutnya, humor sebagai sarana kritik sosial. Seperti yang dikatakan Wijana dalam Chaer (2011:xv) bahwa wacana humor cenderung menjadi wacana hiburan, tetapi disamping hal tersebut wacana humor dapat dijadikan sebagai wacana kritik sosial terhadap segala bentuk ketimpangan yang terjadi di dalam masyarakat.

c. Jenis Humor

  Ada banyak jenis humor yang disebutkan oleh para ahli. Tetapi dalam penelitian ini peneliti hanya menggunakan jenis humor menurut Darminto M.

  Sudarmo sebagai landasan teorinya. Darminto M. Sudarmo (2004:2-4) mengemukakan adanya delapan jenis humor. kedelapan jenis humor tersebut antara lain: (1) jenis humor guyon parikena, (2) jenis humor satire, (3) jenis humor sinisme,

  

(4) jenis humor plesetan, (5) jenis humor slapstick, (6) jenis humor olah logika, (7)

jenis humor analogi, dan (8) jenis humor unggul pecundang . Pengertian dari

  kedelapan jenis humor tersebut ada dalam penjelasan di bawah ini.

1) Jenis Humor Guyon parikena

  Menurut Darminto M. Sudarmo (2004:2-3) bahwa jenis humor guyon parikena yaitu lelucon yang bersifat nakal, agak menyindir. Tetapi sindirannya tidak terlalu tajam, bahkan cenderung sopan. Biasanya dilakukan oleh bawahan kepada atasan atau orang yang lebih tua atau yang lebih dihormati. Selain itu, humor ini juga digunakan kepada pihak lain yang belum akrab benar. Ada juga yang menjuluki lelucon model ini sebagai lelucon persuasife dan berbau feodalisme. Humor ini bermaksud bukan mendominasi secara psikologis (http://enthusiast-blogger.blogspot.co.id/2014/01/ mengetahui-jenis-jenis-humor-yang-ada.html?m+1).

  2) Jenis Humor Satire

  Menurut Darminto M. Sudarmo (2004:3) bahwa jenis humor satire yaitu seperti halnya humor guyon parikena. Jenis humor satire adalah humor yang menyindir atau mengkritik. Tetapi untuk jenis humor satire muatan ejekannya lebih dominan dibandingkan dengan humor guyon parikena. Apabila dalam berhumor menggunakan humor jenis satire jika tidak pandai dalam memainkannya maka akan sangat membebani dan sangat tidak mengenakan kepada pihak lain. Kata-kata sindiran mulai dibumbui predikat-predikat menyinggung secara psikologis

  3) Jenis Humor Sinisme

  Jenis humor sinisme menurut Darminto M. Sudarmo (2004:3) bahwa kecenderungan lelucon ini adalah memandang rendah pihak lain. Memandang rendah pihak lain dikarenakan menganggap bahwa tidak ada yang benar atau kebaikan apapun dari pihak lain dan selalu meragukan sifat-sifat baik yang ada pada manusia.

  Lelucon ini lebih banyak digunakan pada situasi konfrontatif. Targetnya yaitu untuk membuat lawan atau pihak lain mati kutu bahkan tercemar namanya. Sehingga jenis humor ini juga dapat memberikan pengaruh terhadap psikologi seseorang.

  4) Jenis Humor Plesetan

  Jenis humor plesetan menurut Darminto M. Sudarmo (2004:4) bahwa isi di dalam jenis humor plesetan yaitu memelesetkan segala sesuatu yang telah mapan atau populer. Biasanya humor ini juga disebut sebagai humor parodi. Segala sesuatu yang sudah mapan biasanya diplesetkan dengan adanya ketidak wajarannya. Hal tersebut juga terdapat pada acara Indonesia Lawak Klub (ILK) yang sering kali tokoh/pesertanya memlesetkan kata-kata yang sudah mapan menjadi bahan kelucuannya. Seperti pada nama Alika (penyanyi Indonesia) yang diplesetkan menjadi akronim nama kelompok yaitu Agak Lugu Ingin Kawin Aja.

  5) Jenis Humor Slapstick

  Menurut Darminto M. Sudarmo (2004:3) bahwa jenis humor slapstick yaitu humor yang leluconnya bersifat kasar seperti orang terjengkang, kepala dipukul dengan tongkat, pantat dislomot setrika panas. Lelucon ini sangat efektif untuk memancing tawa masyarakat dari latar belakang pendidikan, sosial, dan ekonomi.

  Seperti pada acara Indonesia Lawak Klub (ILK) yaitu pada saat Komeng memegang gulungan kertas yang sudah dibakar ujungnya, lalu dia ingin melemparkannya kepada Cak Lontong. Mereka menganggap hal tersebut adalah humor. Tetapi dalam hal tersebut selain berhumor juga memiliki unsur yang negatife karena dapat membahayakan orang lain.

  6) Jenis Humor Olah Logika

  Jenis humor olah logika menurut Darminto M. Sudarmo (2004:4) yaitu bahwa model lelucon ini bergaya analisis. Jenis humor olah logika bergaya analisis karena dalam berhumor seseorang menggunakan kata-kata ataupun kalimat yang biasanya dipakai oleh kalangan terdidik. Meskipun kata-kata tersebut adalah kata-kata yang digunakan oleh seseorang yang berpendidikan tetapi pada kata yang digunakan biasanya diplesetkan baik pada maknanya maupun tulisannya. Sehingga dalam hal tersebut humor yang dibangkitkan akan berhasil.

  7) Jenis Humor Analogi

  Menurut Darminto M. Sudarmo (2004:4) bahwa jenis humor analogi biasanya model lelucon yang menyasarkan ke dunia antah-brantah. Hal tersebut yaitu untuk mencapai persamaan-persamaan dengan kondisi atau situasi yang ingin dibidik. Bahwa humor yang dibangkitkan adalah humor-humor yang berhubungan dengan keadaanya baik yang nyata maupun tidak nyata. Keadaan tersebut bisa saja dihubungkan dengan dunia goib maupun dunia imajinasi/khayalan seeorang yang tidak pernah terjadi. Sehingga, apa yang dihumorkan belum tentu suatu hal yang nyata dalam kondisi sebenarnya.

  8) Jenis Humor Unggul pecundang

  Jenis humor unggul pecundang menurut Darminto M. Sudarmo (2004:4) bahwa lelucon ini muncul karena adanya perasaan diri unggul dengan melihat cacat, kesalahan, kebodohan, kemalangan pihak lain. Jenis humor unggul pecundang biasanya disebut juga teori superioritas-inferioritas. Superioritas yang berarti keunggulan atau kelebihan, sedangkan inferioritas berarti kerendahan mutu. Sehingga jenis humor ini memang melihat bahwa dirinya memiliki keunggulan dan kelebihan dibandingkan orang lain dan cenderung merendahkan pihak lain. Biasanya penggemar kelompok jenis humor ini tega tertawa terpingkal-pingkal melihat orang cacat atau orang yang sedang dalam kemalangan.

3. Indonesia Lawak Klub (ILK) a. Pengertian Indonesia Lawak Klub (ILK)

  Indonesia Lawak Klub (ILK) adalah sebuah program lawak yang disiarkan

  oleh Trans7. Acara ini mulai ditayangkan pada 27 Oktober 2013. Sekarang acara ini hadir 5 kali dalam seminggu, yaitu Senin-Jumat pada pukul 21.50 WIB dengan durasi waktu 60 menit. Awal kemunculannya, ILK hadir setiap hari Minggu malam pada pukul 19.00 WIB. Per 8 Desember 2013, tetap setiap hari Minggu, acara ini hadir 1 jam lebih awal dari jam tayang semula, yaitu pada pukul 18.00 WIB. Empat minggu kemudian, per 4 Januari 2014, acara ini hadir 2 kali dalam seminggu yaitu Sabtu dan Minggu, tetap di jam yang sama. Mulai tanggal 3 Februari 2014 hari tayang acara ini ditambah yaitu setiap Senin-Jumat pukul 21.15 WIB. Pada tanggal 8 April 2014, jam tayangnya menjadi 20.45 WIB dengan durasi acara yang ditambah dari 1 jam menjadi 1,5 jam. Baru berjalan seminggu dengan durasi 1,5 jam, mulai Senin 14 April 2014 jam tayang ILK dimajukkan menjadi 20.45 WIB dengan durasi yang ditambah lagi menjadi 2 jam

b. Karakteristik Indonesia Lawak Klub (ILK)

  Indonesia Lawak Klub (ILK) merupakan parodi dari Indonesia Lawyers Club

  yang disiarkan di tvOne. Konsep acara ini adalah mempertemukan para pelawak di Indonesia dan bergabung dalam satu forum diskusi dan membahas sebuah topik yang tengah menjadi isu terkini. Topik dalam acara ini biasanya digunakan untuk judul atau episode sekali tayang. Acara ini memiliki slogan tersendiri, yaitu mengatasi masalah

  

tanpa solusi . Orang-orang yang biasanya melawak itu berkolaborasi membicarakan suatu masalah dan berusaha untuk memberikan solusi dengan versi yang menghibur. Denny Chandra yang menjadi moderator akan mengundang 8-10 orang pelawak di Indonesia untuk menjadi panelis. Lalu diakhir acara disampaikan melalui rangkuman kesimpulan oleh seorang notulen dari hasil pembahasan dari para tamu