PEMEROLEHAN BAHASA PENDERITA TUNAGRAHITA PADA SISWA SD KELAS 1 C DI SLB NEGERI BANJARNEGARA KECAMATAN MADUKARA KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 - repository perpustakaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penelitian Relevan Penelitian mengenai pemerolehan bahasa sudah pernah dilakukan, antara lain

  sebelumnya oleh Betty Utami (2013) mahasiswa Universitas Muhammadiyah Purwokerto dengan judul Pemerolehan Bahasa pada Anak Usia 3-5 Tahun di

  

PAUD Aisyiyah Ledug Kecamatan Kembaran Kabupaten Banyumas Tahun

Pelajaran 2012-2013. Dalam penelitian Betty Utami ini penelitian menggunakan

  metode deskriptif kualitatif. Sumber data adalah anak usia 3 -5 tahun di PAUD Aisyiyah Ledug Kecamatan Kembaran Kabupaten Banyumas, datanya berupa tuturan anak berusia 3 -5 tahun di PAUD Aisiyah Ledug Kecamatan Kembaran Kabupaten Banyumas yang mengandung komponen bahasa yaitu fonologi, morfologi, sintaksis, dan Semantik. Dari penelitian tersebut dapat diketahui bahwa pemerolehan fonologi meliputi pemerolehan vokal, konsonan, diftong, dan gejala bahasa. Pemerolehan morfologi meliputi afiks dan reduplikasi. Pemerolehan sintaksis meliputi pemerolehan ujaran satu kata, ujaran dua kata, bentuk deklaratif, bentuk imperatif, bentuk interogatif, deiksis, pronomina, dan kata -kata penyedap. Pemerolehan sintaksis meliputi terjadinya tahap generalisasi berlebihan serta pemerolehan semantik pada usia empat serta lima tahun yang terjadi pada tahap hipotesis generalisasi.

  Penelitian tentang pemerolehan bahasa juga dilakukan oleh Agustina Saraswati (2012) mahasiswa Universitas Muhammadiyah Purwokerto dengan judul

  

Pemerolehan Bahasa Pertama pada Anak Usia 1-3 Tahun di Kelurahan

Purwanegara Kecamatan Purwokerto Utara Kabupaten Banyumas Dengan

  10

  

Suatu Tinjauan Psikolinguistik. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode

  penelitian deskriptif kualitatif, dan prosedur pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian adalah metode simak. Dalam menganalisis peneliti menggunakan metode padan sedangkan tahap penyajian hasil analisis data menggunakan metode penyajian informal dan formal. Penelitian ini meliputi pemerolehan dalam bidang fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Dari hasil yang diperoleh yaitu pemerolehan fonologi meliputi pemerolehan vokal dan konsonan. Pemerolehan morfologi meliputi afiks dan reduplikasi. Pemerolehan sintaksis meliputi ujaran satu kata, ujaran dua kata, bentuk interogratif, deklaratif, bentuk imperatif, bentuk ekslamatif, bentuk negatif, deiksis pronomina, dan kata -kata penyedap. Pemerolehan sematik usia satu tahun, pemerolehan semantik usia 2 tahun dan pemerolehan semantik usia 3 tahun.

  Selain itu terdapat juga pada penelitian Ledy Rima Yoki, mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta dengan judul Peran Orang Tua Dalam Pemerolehan

  

Bahasa Lisan Pada Anak Tunarungu kelas 1 SD di SLB B Wiyata Dharma I

Tempel Sleman Yogyakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan

  seberapa besar peran yang dilakukan orang tua dalam pemerolehan bahasa lisan pada anak tunarungu kelas 1 SD di SLB B Wiyata Dharma I Tempel. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kuantitatif. Dalam penelitian ini peran orang tua sangatlah penting dalam pemerolehan bahasa lisan bagi anak tunarungu.

  Dari tiga penelitian yang relevan di atas terdapat beberapa perbedaan dengan penelitian ini adalah pertama, dari segi objek penelitian. Jika dari ketiga penelitian di atas menggunakan objek siswa normal pada umumnya tanpa adanya kecacatan non - fisik, sedangkan penelitian saya berobjek pada siswa kelas 1 SD berusia 9 tahun yang merupakan penderita tunagrahita, memiliki kemampuan intelektual dibawah rata -rata.

  Kedua, data di penelitian ini diperoleh dari hasil percakapan antara peneliti dengan siswa penderita tunagrahita, peneliti dengan guru, peneliti dengan orang tua dan percakapan objek secara alamiah saat bermain dan saat kegiatan pembelajaran berlangsung. Sedangkan pada penelitian relevan di atas data diperoleh dari metode simak. Ketiga, data yang diperoleh kemudian dianalisis dari kesalahan dalam penuturan kemudian diperbaiki.

B. Pengertian Bahasa

  Bahasa sebagai sistem tanda baik lisan maupun tulisan. Bahasa juga merupakan sistem komunikasi antar manusia. Selain itu, bahasa juga dapat dipelajari secara teratur tergantung pada kematangan serta kesempatan belajar yang dimiliki seseorang. Menurut Soenjono Dardjowidjojo (2012:16) bahasa adalah suatu sistem simbol lisan yang arbitrer dipakai oleh anggota suatu masyarakat bahasa untuk berkomunikasi dan berinteraksi antar sesamanya, berdasarkan pada budaya yang mereka miliki bersama. Arti arbitrer dalam uraian di atas yaitu bahwa bahasa selalu berubah -ubah, tidak tetap, mana suka, dan sewenang-wenang. Selain bersifat arbitrer, bahasa juga merupakan alat komunikasi pikiran manusia. Maksud dari pemikiran tersebut yaitu munculnya konsep dengan menggunakan kata -kata berbeda, mungkin dapat menimbulkan kekacauan dan salah pengertian sehingga hal tersebut dapat mengganggu lancarnya komunikasi. Poespoprodjo dan Gilarso (2006:49) berpendapat

  • -sungguh kita kuasai bahwa bahasa adalah laksana alat pemikiran yang kalau sungguh dan kita pergunakan dengan tepat, sangat membantu untuk memperoleh „kecepatan
  • berpikir dengan lurus‟. Berpikir dengan lurus menuntut pemakaian kata -kata yang

      

    tepat. Dalam hal ini bahasa merupakan sebuah sistem tanda atau lambang yang

      dipakai oleh pemakai bahasa sebagai alat komunikasi, saling bercakap -cakap, bertukar informasi, dan lain sebagainya. Sedangkan menurut pendapat Chaer, (2002:30) bahasa adalah alat verbal yang digunakan untuk berkomunikasi, sedangkan bahasa adalah proses penyampaian informasi dan berkomunikasi.

      Jadi, dalam hal ini bahasa dapat dibagi menjadi dua fungsi yang memiliki peran penting. Fungsi pertama bahasa sebagai alat komunikasi, kedua bahasa digunakan sebagai alat pemikiran. Komunikasi menggunakan bahasa, mampu mengeluarkan sebuah ekspresi pada wajah yaitu ekpresi sedih, senang, dan lain sebagainya. Dengan demikian penerima bahasa akan memahami arti dan maksud yang akan disampaikan dari orang yang sedang berbicara. Pada intinya bahasa merupakan proses penyampaian suatu informasi.

      Selain bahasa sebagai alat komunikasi, bahasa juga memiliki beberapa ciri dan sifat hakiki bahasa. Menurut Chaer (2012:33) mengatakan bahwa hakekat bahasa itu terdiri dari 13 butir adalah sebagai berikut; (1) bahasa adalah sebuah sistem, (2) bahasa adalah berwujud lambang, (3) bahasa adalah berwujud bunyi, (4) bahasa bersifat arbitrer, (5) bahasa bermakna, (6) bahasa bersifat konvensional, (7) bahasa bersifat unik, (8) bahasa bersifat universal, (9) bahasa bersifat produktif, (10) bahasa itu bervariasi, (11) bahasa bersifat dinamis, (12) bahasa itu berfungsi sebagai alat interaksi sosial, dan (13) bahasa itu merupakan identitas penuturnya. Dari tiga belas butir hakikat di atas dapat dikatakan bahwa bahasa merupakan hal yang paling penting dalam kehidupan manusia dan bahasa digunakan oleh manusia di segala bidang kehidupan yang berfungsi sebagai komunikasi antar manusia lainnya. Sedangkan fungsi bahasa dalam kehiduapan bermasyarakat sangatlah penting. Dikarenakan bahasa yang kita gunakan dalam masyarakat sebagai penilaian pribadi dari penutur bahasa tersebut. Bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi haruslah bahasa yang baik dan benar, sesuai dengan hakikatnya.

      Menurut Mar‟at (2011: 19) fungsi bahasa ada dua macam yaitu (a) fungsi bahasa yang bersifat intrapersonal (mathetik), penggunaaan bahasa untuk memecahkan persoalan, mengambil keputusan, berfikir, mengingat dan sebagainya. Ketika manusia memiliki masalah dalam hidupnya tidaklah mungkin masalah tersebut akan selesai hanya dengan sebuah tindakan saja. Disini bahasa digunakan untuk menentukan seberapa pandainya seseorang dalam memecahkan masalah dengan berfikir yang rasional. (b) fungsi bahasa bersifat interpersonal (progmatik), yaitu menunjukan adanya suatu pesan atau keinginan penutur, biasanya diungkapkan dalam bentuk kalimat perintah, kalimat tanya dan kalimat berita. Fungsi bahasa bersifat interpersonal diperlukan untuk memecahkan masalah, karena bahasa dapat menentukan karakter orang dalam pengucapannya seperti jujur, berbohong, tulus, dan ikhlas.

      Dapat disimpulkan bahwa bahasa sebagai alat berkomunikasi untuk bercakap dan menuangkan pikiran dengan orang lain. Bahasa juga digunakan untuk menentukan ekspresi manusia dengan menyesuaikan keadaan. Komunikasi tidak akan sempurna apabila ekspresi pembicara tidak diterima atau dipahami oleh lawan bicara.

      Bahasa selain berfungsi sebagai alat untuk berkomunikasi, juga memiliki fungsi untuk membudayakan manusia. Oleh sebab itu, fungsi dari bahasa sangatlah penting untuk kelangsungan hidup manusia, perkembangan IQ , dan kepribadian orang

    C. Psikolinguistik

      Psikolinguistik terbentuk dari kata psikologi dan kata linguistik, yakni dua bidang ilmu yang berbeda, yang masing -masing berdiri sendiri, dengan prosedur dan metode berlainan. Namun keduanya sama -sama meneliti bahasa sebagai objek formalnya dan hanya materinya yang berbeda yaitu linguistik mengkaji struktur bahasa sedangkan psikologi mengkaji prilaku bahasa atau proses berbahasa (Chaer, 2009:5). Sedangkan Menurut Dardjowidjojo (2012:7) secara rinci psikolinguistik mempelajari empat topik: (a) komprehensi, yaitu proses -proses mental yang dilalui oleh manusia sehingga mereka dapat menangkap apa yang dikatakan orang dan memahami apa yang dimaksud, (b) produksi, yakni proses -proses mental pada diri kita yang membuat kita dapat berujar seperti yang kita ujarkan, (c) landasan biologis serta neurologis yang membuat manusia bisa berbahasa, dan (d) pemerolehan bahasa, yaitu bagaimana anak memperoleh bahasa mereka.

      Selanjutnya, Levelt (dalam Mar‟at, 2011:1) membagi psikolinguistik ke dalam tiga bidang utama sebagai berikut; pertama, psikolinguistik umum adalah sebuah studi pengamatan tentang bahasa dan bagaimana memproduksi bahasa serta mempelajari proses kognitif yang mendasarinya pada waktu seseorang menggunakan bahasa. Kedua, psikolinguistik perkembangan yaitu berbicara tentang pemerolehan bahasa atau menceritakan tentang pemerolehan bahasa pertama atau disebut dengan bahasa ibu, bahasa kedua, dan lain sebagainya. Misalnya bayi baru lahir sekitar enam minggu mulai mengeluarkan bunyi dalam bentuk teriakan atau rengekan. Setelah itu pada usia enam bulan mulai dapat berceloteh hingga sampai usia 10 bulan bayi mulai dapat mengucapkan “papa” atau “mama” dan hingga bertambah usia mulai meniru kata apa yang didengar. Pertama diperoleh saat yaitu ketika bayi baru lahir belum dapat berbicara. Dari tahap berceloteh kemudian mulai menguasai beberapa suku kata dari dua suku kata dan seterusnya sampai anak tersebut berusia dewasa dan mulai memperoleh bahasa kedua. Ketiga, psikolinguistik terapan yaitu berbicara penerapan temuan -temuan dari sub disiplin psikolinguistik dengan bidang tertentu seperti psikologi, linguistik dan lainnya. Maksudnya bahwa psikolinguistik dapat dihubungan ke dalam bidang yang lainnya yaitu seperti pendidikan, linguistik, komunikasi, sesusastraan dan lainnya. Psikolinguistik terapan dibedakan menjadi dua bagian yaitu (a) Applied General Psycholinguistics, juga dibagi mennjadi dua bagian dalam penerapannya yaitu bidang Normal Applied General Psycholinguistics yang membahas pengaruh perubahan ejaan terhadap persepsi kita mengenai ciri visual dari kata -kata. Abnormal Applied General Psycholinguistics mempelajari kesukaran pengucapan karena memiliki gangguan bahasa seperti penderita afasia, gagap, dan lain sebagainya karena penderita seperti itu dapat mengerti bahasa tetapi tidak dapat mengucapkannya disebabkan mereka mengalami kerusakan dalam mengucapkan bunyi -bunyi tertentu pada waktu berbicara. (b) Applied Develobmental

      

    Psycholinguistics juga terbagi dalam penerapan bidang psikollinguistik yaitu Normal

    Applied Developmental Psycholinguistics membicarakan antara lain bagaimana

      membuat program (kurikulum) belajar membaca dan menulis, apakah lebih baik menggunakan metode global atau metode sinensis atau mungkin ada metode yang lain. Abnormal Applied Developmental Psycholinguistics membahas bagaimana cara membatu anak -anak yang mengalami keterlambatan perkembangan bahasanya yang disebabkan oleh adanya kelainan yang bersifat bawaan pada artikulasinya atau yang disebabkan oleh faktor lain.

      Tabel 1 Ruang lingkup Ilmu Psikolinguistik

      Bagian Sub Bagian Contoh

      Persepsi Auditif Mendengarkan Visual Menulis

      Membaca Psikolinguistik Kognitif Ingatan Verbal Memory

      Umum Berpikir Verbal Thinking Intuisi

      Produksi Auditif Berbicara Visual Menulis

      Bahasa Pertama Struktur kalimat dua kata (bahasa ibu) Belajar membaca interferensi

      Psikolinguistik Bahasa Kedua arau kemudahan (facilitation) Perkembangan yang disebabkan oleh bahasa pertama atau bahasa ibu.

      Normal Studi tentang ejaan Umum

      Menyimpang Aphasia Normal Kurikulum untuk belajar

      Psikolinguistik membaca Terapan

      Perkembangan Menyimpang Gagap Buta warna Dyslexia

      (sumber: Mar‟at, 2009:4) D.

       Pemerolehan Bahasa

      Istilah pemerolehan bahasa dipakai untuk padanan istilah dalam bahasa Inggris

      

    acquisition, yakni proses penguasaan bahasa yang dilakukan oleh anak secara natural

      pada waktu dia belajar bahasa ibunya (native language). Istilah ini dibedakan dari pembelajaran yang merupakan padanan dari istilah dalam bahasa inggris learning.

      Dalam pengertian ini proses itu dilakukan dalam tatanan yang formal, yakni belajar di kelas dan diajar oleh guru. Dengan demikian proses dari anak yang belajar menguasai bahasa ibunya adalah pemerolehan, sedangkan proses dari orang (umumnya dewasa) yang belajar dikelas adalah pembelajaran.

      Pemerolehan bahasa dialami oleh setiap manusia yang diperoleh secara individu, dengan memperoleh bahasa atau kosakata baru, periode dari pemerolehan bahasa terjadi sepanjang masa. Pemerolehan bahasa sangat banyak ditentukan oleh aspek kematangan biologis, kognitif, dan modern. Pada dasarnya, manusia sejak lahir sudah dikaruniai oleh tuhan dengan apa yang disebut sebagai bakat bahasa. Setiap anak yang lahir dan berkembang secara normal fisik, mental, dan sosial akan mampu menguasai sedikitnya satu bahasa. Jika anak tersebut menguasai lebih dari satu bahasa, bahasa pertama dikuasainya itu disebut B1 atau bahasa ibu.

      Menurut Achmad HP dan Alek Abdullah (2012: 107) bahwa hakikat pemerolehan bahasa ada dua yaitu pertama, bahasa pertama berciri urutan pemerolehannya. Istilah pertama mengacu pada perkembangan pada setiap individu. Maka bahasa pertama yang dikuasai sebelum mereka menguasai bahasa lain disebut dengan B1. Misalnya, Rani lahir di Jawa, ayah dan ibunya berbicara menggunakan bahasa Jawa kepada Rani dari kecil hingga dewasa, maka dapat dipastikan bahwa B1 yang diperolehnya adalah bahasa Jawa. Jika setelah dewasa Rani belajar bahasa Indonesia, maka bahasa Indonesia disebut B2. Kedua, bahasa pertama berciri kesempurnaan penguasaan. Misalnya, Doni lahir di Banjarnegara dan dibesarkan di kota tersebut, sedangkan ayahnya berasal dari Yogyakarta dan Ibunya berasal dari Surabaya. Doni merupakan anak kedua dari pasangan ini, untuk bahasa di rumah kedua orang tuanya lebih banyak menggunakan bahasa Jawa, sehingga dari kecil Doni sudah memperoleh bahasa Jawa. Jika kondisi Doni seperti itu, kita sebagai pendengar harus menggunakan teori mendengarkan secara selektif agar terus dapat mengikuti pembicara.

      Pada umumnya seorang anak memperoleh bahasa ibunya dengan memakai strategi yang sama, dimanapun anak itu berada. Menurut Dardjowidjojo (2012:243) mengatakan bahwa kesamaan dalam proses pemerolehan bahasa dilandasi oleh biologi dan neurologi manusia yang sama tetapi juga oleh pandangan mentalistik yang menyatakan bahwa anak telah dibekali dengan bekal kodrati pada saat dilahirkan.

      Dalam pemerolehan bahasa terdapat konsep universal sehingga anak secara mental telah mengetahui kodrat -kodrat yang universal. Selain itu bahasa memiliki tiga komponen yakni fonologi, sintaksis, dan semantik. Namun, dari ketiga komponen bahasa tersebut diterapkan pada penderita tunagrahita hanya memiliki dua komponen fonologi, dan semantik. Dalam penelitian di SLB Negeri Banjarnegra pada penderita tunagrahita, peneliti mewawancarai salah satu anak dan menemukan kelemahan dalam bahasa yaitu pada komponen fonologi, morfologi, dan semantik. Dari kesalahan berbahasa tersebut peneliti menganalisis dan memperbaiki kesalahan dalam ujaran penderita tunagrahita yaitu: 1.

       Pemerolehan Fonem

      Bidang linguistik yang mempelajari, menganalisis, membicarakan runtutan bunyi -bunyi bahasa ini disebut fonologi yang secara etimologi terbentuk dari kata fon yaitu bunyi dan logi yaitu ilmu (Chaer, 2003:102). Dapat kita pahami bahwa kajian yang mempelajari bunyi -bunyi ujar secara mendalam disebut dengan fonologi.

      Fonologi dibedakan menjadi dua yaitu fonetik dan fonemik. Dalam tuturan penderita tunagrahita, terdapat kesalahan bunyi ujar dari sudut pandang fonetik. Fonetik adalah bidang linguistik yang mempelajari bunyi bahasa tanpa memperhatikan apakah bunyi tersebut mempunyai fungsi sebagai pembeda makna pendapat Chaer (2003: 103).

      Sedangkan menurut Kridalaksana (2008:63) fonetik adalah ilmu yang menyelidiki penghasilan, penyampaian, dan penerimaan bunyi bahasa; ilmu interdisipliner linguistik dengan fisika, anatomi dan psikologi; sistem bunyi suatu bahasa. Fonetik -alat ucap, proses fonansi, tulisan fonetik, memiliki beberapa cabang yaitu alat klasifikasi bunyi, unsur suprasegmental, dan silabel. Pada penderita tunagrahita banyak sekali kesalahan bunyi -bunyi ujaran, salah satunya cabang klasifikasi bunyi.

      Kesalahan bunyi ujar dalam klasifikasi bunyi terdiri dari: a.

       Fonem Vokal

      Vokal dalam bahasa Inggris vowel, menurut Kridalaksana (2008:257) menyatakan vokal (vowel) merupakan bunyi bahasa yang dihasilkan dengan getaran pita suara, dan tanpa penyepitan dalam saluran suara diatas glotis. Bunyi vokal yaitu [a, I, u, e, o, ə] dihasilkan dengan pita suara terbuka sedikit menjadi bergetar ketika dilalui arus udara yang dipompa dari paru -paru melalui pita suara dan penyempitan pada saluran udara diatas glotis tidak mendapat hambatan apa -apa. Bunyi vokal semuanya bersuara, sebab dihasilkan dengan pita suara terbuka sedikit. Sehingga bunyi yang diucapkan begitu cukup jelas jika diucapkan. Untuk memudahkan mengenali jenis vokal, dengan menggunakan denah bagan vokal dibawah ini:

      Tabel 2 Bagan Vokal

      

    Posisi lidah Depan Tengah Belakang Striktur

    TBD TBD BD N

      Tinggi Atas

      I U Tertutup bawah L U Semi tertutup Sedang Atas E O

      ə Bawah ɛ ɔ Semi terbuka

      Rendah A Α terbuka (sumber: Achmad HP - Alek abdullah, 2012: 31) b.

       Fonem Diftong

      Diftong atau vokal rangkap menurut pendapat Chaer (2003:115) disebabkan karena lidah ketika memproduksi bunyi pada bagian awalnya dan bagian akhirnya tidak sama. Ketidaksamaan tersebut menyangkut tinggi rendahnya lidah, bagian lidah yang bergerak, serta strukturnya. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa sebuah bunyi yang diucapkan atau diproduksi memiliki dua bunyi vokal.

      Ketidaksamaan sonoritasnya dikarenakan posisi lidah ketika memproduksi bunyi bagian awal atau akhir tidak sama. Misalya, bunyi [ai] dan [au]terdapat pada kata cukai dan kerbau.

      Berdasarkan letak atau posisi unsurnya menurut Muslich (2009:69) bunyi diftong dibagi menjadi dua macam yaitu (a) diftong menurun (falling diphtong) karena posisi bunyi pertama lebih tinggi dari posisis bunyi kedua, dan (b) diftong menaik (rising diphtong) karena bunyi pertama posisinya lebih rendah dari posisi bunyi yang kedua. Jadi diftong adalah sebuah vokal rangkap yang terdiri dari dua huruf vokal seperti (ai, au, dan oi) yang terdapat dalam sebuah kata dalam satu suku kata. Dengan contoh harimau ditandai dengan pengucapan bunyi yang tidak sama serta adanya pengucapan dua bunyi vokal yang diucapkan dalam satu suku kata.

      Bunyi diftong tersebut sesuai dengan bunyi ujaran yang diucapkan. Bunyi vokal terdiri dari dua bunyi vokal yang diucapkan bersamaan.

    1) Konsonan

      Bunyi konsonan merupakan bunyi yang dihasilkan dengan artikulasi. Dalam bidang studi fonemik, bunyi konsonan juga disebut. Menurut Ahmad dan Alek Abdullah (2012:30) konsonan adalah bunyi bahasa yang dihasilkan oleh aliran udara yang menemui berbagai hambatan atau penyempitan. Sedangkan Kridalaksana (2008:132) berpendapat bahwa konsonan yaitu (1) bunyi bahasa yang dihasilkan dengan hambatan aliran udara pada salah satu tempat disaluran suara diatas glotis, (2) bunyi bahasa yang berada pada tepi suku kata dan tidak sebagai inti suku kata. Dari pengertian konsonan tersebut Ahmad dan Alek Abdullah (2012:30) menurutnya ada ciri bunyi konsonan yaitu bunyi konsonan lebih banyak ditentukan oleh sifat tempat hambatan atau penyempitan aliran udara. Terdapat beberapa ukuran untuk memerikan konsonan, yaitu titik artikulasi, posisi glotis, dan cara hambatan. Dapat disimpulkan bahwa bunyi konsonan merupakan bunyi bahasa yang diucapkan oleh alat suara dengan bunyi yang dihasilkan hambatan -hambatan udara yang dihasilkan. Termasuk bunyi konsonan yaitu [b], [c], [d], [f], [g], [h], [j], [k], [l], [m], [n], [p], [q], [r], [s], [t], [v], [w], [x], [y], [z], [θ], dan []. Untuk memudahkan mengenali jenis konsonan, dengan menggunakan denah bagan konsonan dibawah ini :

      Tabel 3 Bagan Konsonan Titik artikulasi

      l ar ta al r al la eol nt la nt pa av l de ve

    • - de - al o- - o- ino al bi ko ino

      Cara

      bi m ringa la pi m ors lot

      Berartikulasi

      bi La A La A D Fa G

      Letupan p b t d k g Geseran f v s z f 3 X h

      θƏ Paduan c j

      Sengauan M N Ň ɲ

      Getaran R Sampingan

      1 Hampiran W Y (sumber: Achmad HP - Alek abdullah, 2012: 31) 2.

       Komponen Morfologi

      Secara etimologi morfologi berasal dari kata morf yang berarti „bentuk‟ dan kata logi berarti „ilmu‟. Jadi secara harfiah kata morfologi berarti „ilmu mengenai bentuk -bentuk dan pembentukan kata‟. Dari semua proses morfologi adalah terbentuknya kata dalam bentuk dan makna sesuai dengan keperluan dalam suatu tindak pertuturan. Kajian morfologi mempunyai kaitan baik dengan fonologi maupun sintaksis. Berkaitanya dengan fonologi jelas dengan kajian yang disebut morfonologi atau morfofonemik yaitu ilmu yang mengkaji terjadinya perubahan fonem akibat adanya proses morfologi, seperti munculnya fonem /y/ pada dasar hari bila diberi sufiks -an yaitu hari + an = harian. Sebelum masuk ke morfofonemik menurut Chaer (2003:177) gabungan dari dua bidang studi yaitu morfologi dan fonologi, atau morfologi dan fonemik, bidang kajian morfonologi atau morfofonemik, biasanya dibahas dalam tataran morfologi, tetapi sebenarnya lebih banyak menyangkut masalah fonologi. Kajian ini tidak dibicarakan dalam tataran fonologi karena masalah baru muncul dalam kajian morfologi, terutama dalam proses afiksasi, reduplikasi, dan komposisi. Kemudian masalah morfofonemik ini terdapat hampir pada semua bahasa yang mengenal proses -proses morfologi. Dalam proses morfemis menurut Chaer (2003:177) terdapat empat proses yaitu: a.

       Afiksasi Afiksasi adalah proses pembubuhan afiks pada sebuah dasar atau bentuk dasar.

      Dalam proses afiksasi terlibat unsur -unsur dasar atau bentuk dasar, afiks, dan makna gramatikal yang dihasilkan. Afiks adalah sebuah bentuk biasanya berupa morfem terikat yang diimbuhkan pada sebuah dasar dalam proses pembentukan kata. Dalam bahasa indonesia dikenal sebagai jenis afiks yang secara tradisional diklasifikasikan atas: (1) Prefiks merupakan afiks yang diimbuhkan dimuka bentuk dasar yaitu dalam bahasa indonesia misalnya mem -, di-, ber-, ke-, ter-, se-, pem-, dan pe- / ter-, Contohnya yaitu prefiks ber - pada kata berjalan dengan kata dasar jalan, (2) Infiks adalah afiks yang diimbuhkan di tengah bentuk dasar dalam bahasa indonesia ada tiga macam infiks yaitu -el-, -em-, dan –er-. Contohnya kata seruling dengan kata dasar suling dan infiksnya –er - menjadi s-er-uling, (3) Sufiks adalah afiks yang diimbuhkan pada posisi akhir bentuk dasar dalam bahasa indonesia misalnya –kan, -i, -nya, -wati, -

      

    wan, -man, -isme, -is, -an, -da, -w,. Contohnya kata bagian kata dasarnya bagi +

      an,dan (4) Konfiks adalah afiks yang berupa morfem terbagi, yang bagian pertama berposisi pada awal bentuk dasar, dan bagian bentuk ke dua berposisi pada akhir bentuk dasar. Contohnya kata keterangan yaitu kata dasarnya terang menjadi ke - terang -an. Sehingga proses afiksasi saat penting dalam pembentukan kalimat dalam bercakap.

      b. Reduplikasi

      Reduplikasi adalah proses morfemis yang mengulang bentuk dasar, baik secara keseluruhan, secara bagian (parsial), maupun dengan perubahan bunyi. Dalam hal ini, reduplikasi dibedakan menjadi tiga yaitu reduplikasi penuh, seperti buku -buku (dari dasar buku), reduplikasi sebagian seperti lelaki (dari dasar laki), dan reduplikasi dari perubahan bunyi, seperti bolak -balik (dari dasar balik). Jadi reduplikasi merupakan bunyi yang diucapkan secara mengulang bunyi tersebut. Pada kenyataannya bunyi reduplikasi jarang sekali diucapkan jika tidak diperlukan sekali. Pada umumnya bunyi reduplikasi yang sering digunakan adalah bunyi reduplikasi perubahan bunyi.

      c. Komposisi

      Komposisi adalah hasil dan proses penggabungan morfem dasar dengan morfem dasar, baik yang bebas maupun yang terikat, sehingga bentuk di sebuah kontruksi yang memiliki identitas leksikal yang beda atau yang baru. Komposisi terdapat dalam banyak bahasa, misalnya lalu lintas dan daya juang. Contoh: sapi kecil atau sapi yang belum dewasa disebut anak sapi, yakni hasil penggabungan kata anak dan kata sapi. Pada bunyi komposisi sering diucapakan atau dilafalkan untuk nama hewan dan sebagainya. Dalam bentuk kalimat bunyi komposisi ini juga jarang diucapkan.

    3. Komponen Semantik

      Kata semantik dalam bahasa Indonesia (Inggris: semantics) berasal dari bahasa Yunani sema (kata benda) yang berarti "tanda" atau "lambang" . Kata kerjanya adalah

      

    semaino yang berarti "menandai" atau "melambangkan". Yang dimaksud dengan tanda

      atau lambang disini sebagai padanan kata sema itu adalah tanda listik (prancis : signé linguistique) seperti yang dikemukakan oleh Ferdinan Desausure (dalam chaer, 2002:2) yang terdiri dari (1) komponen mengartikan, yang berwujud bentuk -bentuk bunyi bahasa dan (2) kompoen yang diartikan atau makna dari komponen yang pertama itu. Kedua komponen ini merupakan tanda atau lambang; sedangkan yang ditandai atau dilambanginya adalah suatu yang berada diluar bahasa yang lazim disebut dengan referen atau hal yang ditunjuk. Jadi dalam tindak tutur bentuk bunyi yang diucapkan merupakan sebuah tanda, dari bunyi yang diucapkan tersebut dan diartikan merupakan lambang dari penuturnya. Namun menurut Chaer (2002:2) juga mengatakan kata semantik telah disepakati sebagai istilah yang mempelajari hubungan antara tanda -tanda linguistik dengan hal-hal lain yang ditandai atau bidang studi dalam linguistik yang mempelajari makna atau arti dalam bahasa. Oleh karena itu semantik dapat diartikan sebagi ilmu tentang makna tau tentang arti, yaitu salah satu dari tiga tataran analisis bahasa: fonologi, gramatika, dan semantik. Menurut

      Aminudin (2008:15) semantik yang berasal dari bahasa Yunani, mengandung makna

      

    to signify atau yang memakai. Sebagai istilah teknis, semantik mengandung pengertian

    “studi tentang makna” semantik merupakan bagian dari linguistik.

    E. Gangguan Berbahasa

      Menurut Chaer (2009:148 -163) gangguan berbahasa dibagi menjadi 4 macam yaitu gangguan berbicara, gangguan berbahasa, gangguan berfikir, dan gangguan lingkungan sosial. Gangguan kata dasarnya‟ ganggu‟ yang berarti halangan, rintangan, dan godaan. Sedangkan berbahasa adalah menggunakan bahasa sebagai alat untuk berkomunikasi. Jadi gangguan berbahasa adalah sebuah permasalahan atau halangan untuk melakukan komunikasi akibat faktor tertentu. Penderita gangguan berbahasa yaitu di antaranya tunagrahita, tunadaksa, tunarungu, autis, stroke, dan lain sebagainya. Pada penelitian ini subyek yang digunakan untuk penelitian dalam gangguan bahasa yang diambil oleh peneliti yaitu pada gangguan bahasa penderita tunagrahita.

      Tunagrahita merupakan orang yang memiliki cacat pikiran, lemah daya tangkap, dan idiot. Istilah untuk anak yang berkelainan mental subnormal dalam beberapa referensi disebut pula dengan keterbelakangan mental (mental retardation,

      

    MR), lemah ingatan, febleminded, mental subnormal, tnagrahita. Seseorang

      dikategorikan berkelainan mental subnormal atau tunagrahita, jika ia memiliki tingkat kecerdasan yang sedemikian rendahnya (di bawah normal), sehingga untuk meneliti tugas perkembanganya memerlukan bantuan atau layanan secara spesifik, termasuk dalam program pendidikannya menurut Bratanata ( dalam Efendi, 2009: 88).

      Anak penderita tunagrahita dalam kemampuan berbahasa dan berbicara sangatlah kurang. Karena pembelajaran dan berbahasa yang dilakukan atau diikuti oleh anak normal sulit dilakukan, selain itu hal yang nampak sederhana terkadang tidak mampu dicerna dengan baik dan benar, sehingga peristiwa kebahasaan yang biasa terjadi disekitarnya menimbulkan keanehan bagi dirinya. Dalam berbahasa anak tunagrahita kegagalan melakukan apresiasi terhadap suatu peristiwa bahasa, kerap kali diikuti gangguan artikulasi berbicara. Berkomunikasi yang dilakukan penderita menggunakan struktur kalimat yang disampaikan cenderung tidak teratur (aphasia

      

    conceptual), dari segi pengucapan sering kali terjadi omisi (pengurangan kata)

    maupun distorsi (kekacauan dalam ucapan).

      Kemampuan bahasa anak tunagrahita menurut Efendi (2009:99) agak berat (mampu latih), adanya kegagalan melakukan apersepsi terhadap suatu peristiwa bahasa, kerap kali diikuti gangguan artikulasi berbicara. Apa yang dilakukan oleh anak normal sulit dilakukan oleh anak tunagrahita, bahkan, dalam hal yang terlihat sederhana terkadang tidak mampu dicerna dengan baik, akibatnya peristiwa kebahasaan yang lazim terjadi di sekitarnya menimbuklan keanehan bagi dirinya. Pada anak tunagrahita sulit dalam hal sederhana yang dikakukan oleh anak normal sulit dilakukan. Menurut Somantri (2007:106 -108) kemampuan unteligensi anak tunagrahita kebanyakan diukur dengan tes Stanford Binet dan Skala weschler

      (WISC) yang tiga klasifikasi anak tunagrahita yaitu: 1.

       Tunagrahita Ringan

      Tunagrahita ringan dapat disebut moon atau debil. Kelompok ini memiliki IQ -52 menurut Binet, sedangkan Skala Weschler (WISC) memiliki IQ 69 -55. diantara 68 Tunagrahita Ringan disebabkan karena perkembangan mentalnya lambat, tetapi masih mempunyai kemampuan untuk berkembang. Penderita tunagrahita masih dapat belajar membaca, menulis dan berhitung sederhana. Pada penelitian ini subyek yang masuk kedalam tunagrahita ringan adalah Naajwa Saahira Zahra.

      2. Tunagrahita sedang

      Anak tunagrahita sedang disebut juga imbesil. Kelompok ini memiliki IQ 51 - 36 pada skala Binet dan 54 -40 menurut skala weschler (WISC). Anak yang terbelakang mental sedang bisa mencapai perkembangan MA (Mental Age) sampai kurang lebih tujuh tahun. Anak tunagrahita sedang sangat sulit bahkan tidak dapat belajar secara akademik seperti belajar menulis, membaca dan berhitung walaupun mereka masih dapat menulis secara sosial, seperti menulis namanya sendiri, alamat rumahnya, dan lain -lain. Dalam kehidupannya tunagrahita sedang membutuhkan pengawasan yang terus -menerus.

      3. Tunagrahita berat

      Kelompok tunagrahita berat sering disebut dengan idiot. Kelompok ini masih dapat dibedakan lagi antara anak tunagrahita berat dan sangat berat. Tunagrahita berat (severe) memiliki IQ antara 32 -20 menurut skala Binet dan antara 39-25 menurut Skala Wechler (WISC). Tunagrahita sangat berat (profound) memiliki IQ dibawah 19 menurut Skala Binet dan IQ dibawah 24 menurut Skala Weschler (WISC). Pada penelitian ini yang merupakan tunagrahita berat yaitu salwa Najla Azahra dan Nazif Julio Akmal. Namun untuk Nazif Julio Akmal termasuk dalam tunagrahita sangat berat. Penderita tunagrahita berat sangat membutuhkan orang lain disampingnya, mereka harus selalu dudampingi. Tabel 4. Klasifikasi anak tunagrahita berdasarkan derajat keterbelakangaannya

      Level

      IQ Keterbelakangan Standford Binet SkalaWescheler

      Ringan 68 – 52 69 – 55 Sedang 51– 36 54 – 40

      Berat 32 – 20 39– 25 Sangat Berat > 19 >24

      (sumber: Soemantri, 2007:108) Sesuai dengan klasifikasi anak tunagrahita berdasarkan derajat keterbelakangan subyek penelitian yang akan diteliti masuk dalam golongan IQ level keterbelakangan ringan, sedang, dan berat. Pertama, Naajwa Saahira Zahra merupakan tunagrahita sedang, dia seperti anak normal pada umumnya namun tingkat

      IQnya dibawah anak normal, mampu bercakap dengan lumayan lancar, aktif dalam belajar, vokal belum jelas, dan baru mampu menjawab pertannyaan singkat walaupun jawaban yang diucapkan belum sesuai apa yang ditannyakan. Kedua, Abdul Hafidz Arrafi termasuk dalam tunagrahita ringan, termasuk anak yang pendiam, sedikit berbicara, lebih menonjol ke aktifan, dalam hal artikulasi cukup lancar. Ketiga, Asmia Dewisri Wulandari (Asmia) tergolong dalam cacat tunagrahita ringan, termasuk anak yang aktif bicara, dalam pengucapan masih kurang jelas dan sedikit pemalu. Keempat, Aisyah Nur Hidayah (Aisyah) tergolong dalam cacat tunagrahita ringan, termasuk anak yang aktif berbicara, namun karena memiliki gangguan dalam pita sehingga suarannya agak serak dan tidak begitu jelas. Kelima, Salwa Najla Azahra (Salwa) tergolong dalam tunagrahita berat, dia memiliki ganguan pada pita suara berat, sehingga dalam berbicara cukup kesusahan, dan tidak begitu mengeluarkan bunyi ujaran saat berbicara. Keenam, Naziw Julio Akmal (Naziw) tergolong tunagrahita berat, karena dia hanya mampu mengucapkan sedikit kata seperti „mmm” ataupun hanya menunjuk apa yang diinginkannya.

    F. Perkembangan Bahasa Anak Tunagrahita

      Bahasa dalam perkembangan anak tunagrahita sangatlah penting, karena fungsi bahasa yaitu sebagai alat komunikasi. Sebeb itu di sekolah Luar biasa terdapat pelajaran khusus untuk berbahasa, biasa disebut dengan pembelajaran tematik dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan masing -masing ketentuan disekolah. Namun di SLB N Banjarnegara pembelajaran bahasa dilakukan pada hari jumat berfungsi untuk melatih vokal dan kelancaran berbicara bagi penderita tunagrahita khususnya. Secara umum perkembangan bahasa digambarkan oleh Myklebust (dalam soemantri, 2007:113) meliputi lima tahap perkembangan seperti terlihat pada gamabar berikut:

      

    Visual receptive language reading

    Auditory expressive language speaking

    Auditory receptive language comprehending spoken word

    Inner language auditory symbol and experience

      

    Experience

      Hierarki perkembangan bahasa (sumber Soemantri, 2007:113)

      1. Inner Language

      Merupakan aspek bahasa pertama yang berkembang. Muncul kira -kira usia enam bulan. Karakteristik periaku yang muncul pada tahap ini adalah pembentukan konsep sederhana yaitu misal anak memegang apel kemudian mesdeskripsikan bentuk apel hingga warna apel tersebut. Tahap lanjutannya pekembangan inner language yaitu anak dapat memahami hubungan -hubungan yang lebih kompleks dan dapat bermain dengan mainan dalam situasi yang bermakna. Contohnya menyusun prabot didalam rumah. Bentuk paling komplek dalam perkembangan linnier language adalah mentransformasikan pengalaman dalam simbol bahasa.

      2. Receptive language

      Anak -anak mulai mengerti sedikit-sedikit tentang apa yang dikatakan dengannya. Anak mulai merespon apabila namanya dipanggil dan mulai mengerti perintah. Menjelang kira -kira umur 4 tahun, anak lebih menguasai kemahiran mendengar dan setelah itu proses penerimaan (receptive proses) memberikan perluasan kepada sistem bahasa verbal. Terdapat hubungan timbal balik antara inner

      

    language dengan receptive language. Perkembangan inner language melewati fase

      pembentukan konsep -konsep sederhana menjadi tergantung kepada pemahaman dan recetive language.

      3. Expresive language

      Aspek terakhir dari perkembangan bahasa adalah bahasa ekspresive -kira satu tahun. (ekspresive language). Bahasa ekspresi anak muncul pada usia kira Perkembangan bahasa erat kaitannya dengan perkembangan kognisi, keduanya memiliki hubungan timbal balik. Perkembangan kognisi anak tunagrahita mengalami hambatan, karenanya perkembangan bahasanya juga akan terhambat. Anak tunagrahita pada umumnya tidak bisa menggunakan kalimat majemuk, dalam percakapan sehari -hari banyak menggunakan kalimat tunggal. Ketika anak tunagrahita dibandingkan dengan anak normal pada CA (Cronology Age) yang sama, anak tunagrahita mengalami gangguan artikulasi, kualitas suara, dan ritme. Selain itu anak tunagrahita mengalami kelambanan dalam perkembangan bicara (expresive auditory language).

      Dalam perkembangan morfologi anak tunagrahita dan anak normal memiliki MA (Mental Age) yang sama memperlihatkan level sama dalam perkembangan morfologi. Akan tetapi dalam CA (cronologi Age) anak tunagrahita lebih rendah dalam perkembangan morfologinya. Dalam perkembangn sintaksis dan pembendaharaan kata, MA berkolerasi dengan kemampuan tata bahasa, sedangkan CA berkolerasi dengan pembendaharaan kata. Ini berarti menunjukan bahwa sintaksis memerlukan kemampuan kecerdasan yang baik. Dalam kemampuan perkembangan bahasa berkaitan dengan kemampuan berbahasa yang disebut semantik. Anak -anak memperlihatkan perkembangan semantik sama dengan seperti komponen lainnya.

      Perkembangan vacabulary anak tunagrahita telah diteliti secara luas. Hasilnya menunjukan bahwa anak tunagrahita lebih lamban dari pada anak normal (kata per menit), lebih banyak menggunakan kata -kata positif, lebihsering menggunakan kata- kata yang lebih umum, hampir tidak pernah menggunakan kata -kata yang bersifat khusus, tidak pernah menggunakan kata ganti, lebih sering menggunakan kata -kata -kata yang bervariasi. bentuk tunggal, dan anak tunagrahita lebih menggunakan kata

Dokumen yang terkait

HUBUNGAN MINAT BACA DENGAN HASIL BELAJAR BAHASA INDONESIA SISWA KELAS V SDN GUGUS DIPAYUDA KECAMATAN BANJARNEGARA KABUPATEN BANJARNEGARA

12 48 154

INDIKATOR OUTPUT KELAS IBU HAMIL DI PUSKESMAS PONED KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016

0 0 14

HUBUNGAN KARAKTERISTIK ANAK USIA PRASEKOLAH DENGAN KECERDASAN EMOSI DI PAUD KECAMATAN SIGALUH KABUPATEN BANJARNEGARA - repository perpustakaan

0 0 14

HUBUNGAN KARAKTERISTIK ANAK USIA PRASEKOLAH DENGAN KECERDASAN EMOSI DI PAUD KECAMATAN SIGALUH KABUPATEN BANJARNEGARA - repository perpustakaan

0 0 16

HALAMAN PERSETUJUAN HUBUNGAN KETAHANAN FISIK TERHADAP PENGETAHUAN IBU TENTANG ISPA PADA BALITA DI WILAYAH PUSKESMAS 1 MADUKARA KABUPATEN BANJARNEGARA

0 0 14

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - HUBUNGAN KETAHANAN FISIK TERHADAP PENGETAHUAN IBU TENTANG ISPA PADA BALITA DI WILAYAH PUSKESMAS 1 MADUKARA KABUPATEN BANJARNEGARA - repository perpustakaan

0 0 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ketahanan Fisik - HUBUNGAN KETAHANAN FISIK TERHADAP PENGETAHUAN IBU TENTANG ISPA PADA BALITA DI WILAYAH PUSKESMAS 1 MADUKARA KABUPATEN BANJARNEGARA - repository perpustakaan

0 0 31

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN SISWA DENGAN PERILAKU MENJAGA KESEHATAN GIGI DAN MULUT PADA ANAK USIA SEKOLAH DI SEKOLAH DASAR NEGERI GUMELEM WETAN 1 KECAMATAN SUSUKAN KABUPATEN BANJARNEGARA - repository perpustakaan

1 3 16

HUBUNGAN KINERJA PENGAWASAN MINUM OBAT (PMO) DENGAN KETERATURAN BEROBAT DAN KEPATUHAN MINUM OBAT PASIEN TB PARU STRATEGI DOTS DI PUSKESMAS MADUKARA KABUPATEN BANJARNEGARA - repository perpustakaan

1 1 16

HUBUNGAN KEBERSYUKURAN DAN KEBERMAKNAAN HIDUP PADA PENDERITA JANTUNG KORONER DI POLIKLINIK PENYAKIT DALAM RSUD HJ. ANNA LASMANAH BANJARNEGARA - repository perpustakaan

0 1 16