BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. LANSIA - Syaiful Fadhlan Abriansyah BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. LANSIA

  1. Pengertian Lansia Menurut World Health Organisasion (WHO) lanjut usia adalahseseorang yang telah memasuki usia 60 tahun keatas. Usia lanjut sebagaitahap akhir siklus kehidupan merupakan tahap perkembangan normalyang akan di alami oleh setiap individu yang mencapai usia lanjut dan merupakan kenyataan yang tidak dapat dihindari. Usia lanjut adalahkelompok orang yang sedang mengalami suatu proses perubahan yang bertahap dalam jangka waktu beberapa dekade (Notoatmodjo, 2007).

  2. Proses Penuaan Lanjut usia merupakan masa perkembangan terakhir dalam hidup manusia yang ditandai dengan perubahan fungsi fisik, psikologis, maupun sosial yang saling berinteraksi satu sama lain (Kuntjoro, 2002).Memasuki masa tua berarti terjadi kemunduran secara fisik maupun secara psikis.Kemunduran fisik ditandai dengan kulit mengendor, rambut putih, penurunan pendengaran, penurunan penglihatan, gerakan lambat, kelainan fungsi organ vital, sensitivitas emosional meningkat.Menurut Padila(2013) proses menua menjadi pengaruh dalam kehidupan lansia terjadi banyak perubahan dalam segala segi kehidupan lansia, dan setiap perubahan memerlukan penyesuaian diri, padahal dalam kenyataan semakin tua usia

  12 kita semakin kurang fleksibel dalam penyesuaian dalam berbagai perubahan.

  3. Perubahan pada Lansia

  a. Perubahan fisik Secara umum menjadi tua ditandai oleh kemunduran biologis yang terlihat dari gejala-gejala kemunduran fisik antara lain: kulit mulai mengendur, wajah mulai keriput serta garis-garis menetap, rambut kepala mulai memutih / beruban, gigi mulai lepas, penglihatan dan pendengaran berkurang, mudah lelah, mudah jatuh, mudah terserang penyakit, nafsu makan menurun, penciuman berkurang, gerakan menjadi lambat. Pada semua perubahan fisik lansia akan memicu terjadinya ancaman terhadap integritas fisik ini merupakan faktor presipitasi kecemasan(Padila, 2013).

  b. Perubahan psikososial Lansia akan mengalami perubahan dimana lansia memasuki masa pensiun, relokasi, relokasi sosial, kelemahan dan ketergantungan, kehilangan kendali, ketidak berdayaan, perubahan dalam peran sosial masyarakat. Dengan terjadinya begitu banyak perubahan pada psikososial menuntut lansia untuk beradaptasi dengan peran barunya dan akan memicu ancaman pada identitas, harga diri, fungsi sosial, lansia akan mengalami kesulitan dalam melakukan hubungan interpersonal di rumah. Dari segi eskternal lansia akan mengalami kehilangan pasangan, teman, bahkan ketakutan akan kematian. Hal ini termasuk dalam ancaman terhadap sistem tubuh yangmerupakan faktor pencetus kecemasan pada lansia.

  4. Tugas Perkembangan Lanjut Usia Setiap tahap perkembangan individu mempunyai tugas yang berbeda-beda. Sebagian besar tugas perkembangan lanjut usia lebih banyak berkaitan dengan kehidupan pribadi seseorang daripada kehidupan orang lain.Monks (2002) menyatakan tugas perkembangan merupakan tugas yang harus dilakukan seseorang di dalam masa hidup tertentu sesuai norma masyarakat dan kebudayaan tertentu. Lansia diharapkan untuk menyesuaikan diri dengan menurunnya kekuatan, dan menurunnya kesehatan secara bertahap, ini sering diartikan sebagai perbaikan dan perubahan peran yang pernah dilakukan di dalam maupun di luar rumah.

  Tugas-tugas perkembangan lanjut usia meliputi penyesuaian kondisi fisik, menyesuaikan diri dengan kematian teman hidup, menemukan relasi baru dengan kelompok sebaya, memenuhi kewajiban social dan warga negara, menyesuaikan dengan gaji yang berkurang dan keadaan pensiun serta melakukan aktivitas fisik yang sesuai.

B. KEHILANGAN (LOSS)

  1. Pengertian Kehilangan (Loss) Kehilangan adalah suatu keadaan individu berpisah dengan sesuatuyang sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan. Kehilangan merupakan pengalaman yang pernah dialami oleh setiap individu selama rentang kehidupan, sejak lahir individu sudah mengalami kehilangan dan cenderung akan mengalaminya kembali walaupun dalam bentuk yang berbeda (Yosep, 2011).

  Kehilangan adalah situasi aktual atau potensial ketika sesuatu (orang atau objek) yang dihargai telah berubah, tidak ada lagi, atau menghilang.Seseorang dapat kehilangan citra tubuh, orang terdekat, perasaan sejahtera, pekerjaan, barang milik pribadi, keyakinan, atau

  

sense of self baik sebagian ataupun keseluruhan.Peristiwa kehilangan

  dapat terjadi secara tiba-tiba atau bertahap sebagai sebuah pengalaman traumatik.Kehilangan sendiri dianggap sebagai kondisi krisis, baik krisis situasional ataupun krisis perkembangan (Mubarak & Chayatin, 2007).

  2. Tipe Kehilangan Potter dan Perry (2005) menyatakan kehilangan dapat dikelompokkan dalam 5 kategori, yaitu: kehilangan objek eksternal, kehilangan lingkungan yang telah dikenal, kehilangan orang terdekat, kehilangan aspek diri dan kehilangan hidup.

  Kehilangan hidup adalah seseorang yang menghadapi kematian menjalani hidup, merasakan, berpikir, dan merespon terhadap kejadian dan orang sekitarnya sampai terjadinya kematian.Perhatian utama sering bukan pada kematian itu sendiri tetapi mengenai nyeri dan kehilangan kontrol. Meskipun sebagian besar orang takut tentang kematian dan gelisah mengenai kematian, masalah yang sama tidak akan pentingnya bagi setiap orang. Setiap orang berespon secara berbeda-beda terhadap kematian.orang yang telah hidup sendiri dan menderita penyakit kronis lama dapat mengalami kematian sebagai suatu perbedaan. Sebagian menganggap kematian sebagai jalan masuk ke dalam kehidupan setelah kematian yang akan mempersatukannya dengan orang yang kita cintai di surga. Sedangkan orang lain takut perpisahan, dilalaikan, kesepian, atau cedera. Ketakutan terhadap kematian sering menjadikan individu lebih bergantung.

  3. Dampak Kehilangan Uliyah dan Hidayat (2011) mengatakan bahwa kehilangan pada seseorang dapat memiliki berbagai dampak, diantaranya pada masa anak-anak, kehilangan dapat mengancam kemampuan untuk berkembang, kadang-kadang akan timbul regresi serta merasa takut untuk ditinggalkan atau dibiarkan kesepian. Pada masa remaja atau dewasa muda, kehilangan dapat terjadi disintegrasi dalam keluarga, dan pada masa dewasa tua, kehilangankhususnya kematian pasangan hidup dapat menjadi pukulan yang sangat berat dan menghilangkan semangat hidup orang yang ditinggalkan.

C. BERDUKA (GRIEF)

  1. Pengertian Berduka(Grief) Berduka merupakan reaksi terhadap kehilangan yang merupakan respon emosional yang normal (Suliswati, 2005). Definisi lain menyebutkan bahwa berduka, dalam hal ini dukacita adalah proses kompleks yang normal yang mencakup respon dan perilaku emosi, fisik, spiritual, sosial, dan intelektual ketika individu, keluarga, dan komunitas menghadapi kehilangan aktual, kehilangan yang diantisipasi, atau persepsi kehilangan ke dalam kehidupan pasien sehari-hari (NANDA, 2011).

  2. Faktor Penyebab Berduka Banyak situasi yang dapat menimbulkan kehilangan dan dapat menimbulkan respon berduka pada diri seseorang (Carpenito, 2006).

  Situasi yang paling sering ditemui diantaranya adalah: berduka patofisiologis, berduka terkait pengobatan, dan berduka situasional (Personal, lingkungan). Berduka situasional berhubungan dengan efek negatif serta peristiwa kehilangan sekunder akibat nyeri kronis, penyakit terminal, dan kematian, berhubungan dengan kehilangan gaya hidup akibat melahirkan, perkawinan, perpisahan, anak meninggalkan rumah, dan perceraian

  3. Dampak Berduka Setiap orang merespon peristiwa kehilangan dengan cara yang sangat berbeda. Tanpa melihat tingkat keparahannya, tidak ada respon yang bisa dikatakan maladaptif pada saat menghadapi peristiwa kehilangan akut. Apabila proses berduka yang dialami individu bersifat maladaptif, maka akan menimbulkan respon detrimental (cenderung merusak) yang berkelanjutan danberlangsung lama (Carpenito, 2006).

  Proses berduka yang maladaptif tersebut akan menyebabkan berbagai masalah sebagai akibat munculnya emosi negatif dalam diri individu.Dampak yang muncul diantaranya perasaan ketidakberdayaan, harga diri rendah, hingga isolasi sosial.

  4. Respon Berduka Terdapat beberapa teori mengenai respon berduka terhadap kehilangan. Teori yang dikemukan Elizabeth Kubler-Ross (1998:48) mengenai tahapan berduka akibat kehilangan berorientasi pada perilaku dan menyangkut lima tahap, yaitu sebagai berikut: a. Fase Penyangkalan (Denial)

  Reaksi pertama individu yang mengalami kehilangan adalah syok, tidak percaya, atau mengingkari kenyataan bahwa kehilangan benar-benar terjadi. Sebagai contoh, orang atau keluarga dari orang yang menerima diagnosis terminal akan terus berupaya mencari informasi tambahan.

  Reaksi fisik yang terjadi pada tahap ini adalah letih, lemah, pucat, mual, diare, gangguan pernapasan, detak jantung cepat, menangis, gelisah, dan sering kali individu tidak tahu harus berbuat apa. Reaksi ini dapat berlangsung beberapa menit hingga beberapa tahun.

  b. Fase marah (Anger) Pada fase ini individu menolak kehilangan. Kemarahan yang timbul sering diproyeksikan kepada orang lain atau dirinya sendiri.

  Orang yang mengalami kehilangan juga tidak jarang menunjukkan perilakuagresif, berbicara kasar, menyerang orang lain, menolak pengobatan, bahkan menuduh dokter atau perawat tidak kompeten. Respon fisik yang sering terjadi, antara lain muka merah, denyut nadi cepat, gelisah, susah tidur, tangan mengepal, dan seterusnya.

  c. Fase Tawar Menawar (Bergaining) Pada fase ini terjadi penundaan kesadaran atas kenyataan terjadinya kehilangan dan dapat mencoba untuk membuat kesepakatan secara halus atau terang-terangan seolah kehilangan tersebut dapat dicegah.Individu mungkin berupaya untuk melakukan tawar-menawar dengan memohon kemurahan Tuhan.

  d. Fase Depresi (Depression) Pada fase ini pasien sering menunjukkan sikap menarik diri, kadang-kadang bersikap sangat penurut, tidak mau berbicara menyatakan keputusasaan, rasa tidak berharga, bahkan bisa muncul keinginan bunuh diri. Gejala fisik yang ditunjukkan, antara lain, menolak makan, susah tidur, letih, turunnya dorongan libido, dan lain-lain. e. Fase Penerimaan (Acceptance) Pada fase ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan, pikiran yang selalu berpusat pada objek yang hilang mulai berkurang atau hilang.Individu telah menerima kenyataan kehilangan yang dialaminya dan mulai memandang kedepan.

  Gambaran tentang objek yang hilang akan mulai dilepaskan secara bertahap. Perhatiannya akan beralih pada objek yang baru. Apabila individu dapat memulai tahap tersebut dan menerima dengan perasaan damai, maka dia dapat mengakhiri proses berduka serta dapat mengatasi perasaan kehilangan secara tuntas. Kegagalan untuk masuk ke tahap penerimaan akan mempengaruhi kemampuan individu tersebut dalam mengatasi perasaan kehilangan selanjutnya.

D. Penyesuaian Diri 1. Aspek-aspek yang mempengaruhi penyesuaian diri

  Menurut (Desmita, 2009;195) ada 4 aspek dalam penyesuaian diri yang sehat antara lain: a. Kematangan emosional

  Kehidupan masa remaja memang diliputi oleh keadaan-keadaan yang memungkinkan timbulnya ketegangan atau gangguan emosional dan gangguan ini dapat mengakibatkan emosi remaja menjadi tidak stabil.Puncak dari perkembangan emosi adalah kematangan emosional yang merupakan nila-nilai dasar pribadi. Menurut (Sarwono, 2002), apabila remaja tidak berhasil mengatasi situasi kritis dan terlalu mengikuti gejolak emosi, maka besar kemungkinan akan terperangkap ke jalan yang salah, seperti penyalahgunaan narkoba, sex bebas, atau kenakalan remaja lainnya yang seringkali disebabkan oleh kurang adanya kemampuan dalam mengarahkan emosinya secara positif. Kematangan emosi dan konsep diri sebagai konstruksi psikologi positif yang berkembang dengan baik akan menurunkan potensi remaja terlibat kenakalan.

  Kematangan emosi merupakan kemampuan untuk dapat bersikap toleran, merasa nyaman, mempunyai kontrol diri, perasaan untuk menerima diri sendiri dan orang lain, serta mampu menyatakan emosinya secara konstruktif dan kreatif (Yusuf, 2011).Kematangan emosional adalah kemampuan seseorang dalam mengontrol dan mengendalikan emosinya, dalam hal ini orang emosinya sudah matang tidak mudah terpengaruh oleh rangsangan atau stimulus baik dari dalam maupun dari luar pribadinya (Dariyo, 2007), (Riyawati, 2006) menambahkan kematangan emosional adalah suatu keadaan atau kondisi untuk mencapai tingkat kedewasaan.

  Menurut (Anderson dalamRiyawati, 2006) ciri-ciri kematangan emosi adalah:

  1.Berorientasi pada tugas bukan pada diri atau ego.

  2.Tujuan-tujuan yang jelas dan kebiasaan-kebiasaan yang efisien.

  3.Mengendalikan perasaan pribadi.

  4.Keobjektifan.

  5.Menerima kritik dan saran.

  6.Pertanggung jawaban terhadap usaha-usaha pribadi.

  7.Penyesuaian yang realistik terhadap situasi-situasi yang baru. Adapun aspek-aspek kematangan emosional antara lain kemantapan suasana kehidupan emosional, kemantapan suasana kehidupan kebersamaan dengan orang lain, kemampuan untuk santai, gembira dan menyatakan kejengkelan, sikap dan perasaan terhadap kemampuan dan kenyataan diri sendiri(Desmita, 2009).

  b. Kematangan intelektual Kematangan intelektual adalah kemampuan untuk memperoleh berbagai informasi berpikir abstrak, menalar, serta bertindak secara efektif dan efisien (Mudjiran, 2007), adapun aspek-aspek kematangan intelektual antara lain, kemampuan mencapai wawasan diri sendiri, kemampuan memahami orang lain dan keragamannya, kemampuan mengambil keputusan, dan keterbukaan dalam mengenal lingkungan (Desmita, 2009).

  Kematangan intelektual adalah orang yang mampu menghadapi segala persoalan dengan mempergunakan Nalar Logika, melakukan pertimbangan-pertimbangan yang logis, sistimatis dan efisien berdasrkan ilmu pengetahuan seluas-luasnya.Intelegensi bukanlah suatu yang bersifat kebendaan, melainkan suatu fiksi ilmiah untuk mendiskripsikan perilaku individu yang berkaitan dengan kemampuan intelektual. Kesiapan belajar secara umum adalah kemampuan seseorang untuk mendapatkan keuntungan dari pengalaman yang ia temukan. Sementara itu kesiapan kognisi berlainan dengan pengeyahuan, piliran, dan kemampuan berfikir seseorang dalam menghadapi situasi belajar yang baru.Kemampuan-kemampuan itu bergantung pada tingkat kematanganintelektual.Latarbelakang pengalaman, dan cara-cara pengetahuan sebelumnya (Mudjiran, 2007).

  c. Kematangan sosial Kematangan sosial adalah kemampuan untuk mengerti orang lain dan bagaimana bereaksi terhadap situasi sosial yang berbeda

  (Goleman, 2007), adapun aspek-aspek kematangan sosial antara lain, keterlibatan dalam partisipasi sosial, kesediaan kerjasama, kemampuan kepemimpinan dan sikap toleransi (Desmita, 2009). Menurut (Chapin, 2003) mendefinisikan kematangan sosial merupakan perkembangan keterampilan dan kebiasaan-kebiasaan individu yang menjadi ciri khas kelompoknya, dengan demikian ciri-ciri kematangan sosial itu ditentukan oleh kelompok sosial di lingkungan tersebut.Kematangan sosial seseorang tampak dalam perilakunya.Perilaku tersebut menunjukkan kemampuan individu dalam aktifitas-aktifitas yang mengarah pada kemandirian sebagaimana layaknya orang dewasa. d. Tanggung jawab Tanggung jawab secara harfiah dapat diartikan sebagai keadaan wajib menanggung segala sesuatunya jika terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan atau juga berarti hak yang berfungsi menerima pembebanan sebagai akibat sikapnya oleh pihak lain, (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2006). Menurut (Barbara, 2004) tanggung jawab adalah sikap yang dapat diandalkan, ketekunan, terorganisasi, tepat waktu, menghormati komitmen, perencanaan. Adapun aspek-aspek tanggung jawab menurut (Desmita, 2009), antara lain: Sikap produktif dalam mengembangkan diri. Melakukan perencaan dan melaksanakan secara fleksibel, sikap empati, bersahabat dalam hubungan interpersonal, dan kesadaran akan etika dan hidup jujur.

  Tanggung jawab itu bersifat kodrati, artinya sudah menjadi bagian kehidupan mannusia, bahwa setiap manusia pasti dibebani dengan tanggung jawab. Apabila ia tidak mau bertanggung jawab, maka ada pihak lain yang memaksakan tanggung jawab itu. Dengan demikian tanggung jawab itu dapat dilihat dari dua sisi, yaitu dari sisi pihak yang berbuat dan dari sisi kepentingan pihak lain. Tanggung jawab adalah ciri manusia beradab (berbudaya). Manusia merasa bertanggung jawab karena dia menyadari akibat baik atau buruk perbuatan itu, dan menyadari pula bahwa pihak lain memerlukan pengabdian atau pengorbanannya. Untuk memperoleh atau meningkatkan kesadaran bertanggung jawab perlu ditempuh usaha melalui pendidikan, penyuluhan, keteladanan, dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

  2.Karakteristik Penyesuaian Diri Penyesuaian diri yang normal well adjustmen menurut Schneiders

  (2008) memiliki karakteristik sebagai berikut:

  a. Absence of excessive emotionally (terhindar dari ekspresi emosi yang berlebihan, merugikan atau kurang mampu mengontrol diri).

  b. Absence of phychloical mechanism (terhindar dari mekanisme- mekanisme psikologis).

  c. Absence of the sense of personal frustration (terhindar dari perasaan frustasi, kecewa karena suatu kegagalan).

  d. Rational deliberation and self

  • – direction (memiliki pertimbangan dan pengarahan diri yang rasional).

  e. Ability to learn (mampu beajar, mampu mengembangkan kualitas dirinya).

  f. Utilization of past experience (mampu memanfaatkan pengalaman masa lalu).

  g. Realistic, objective attitude (bersikap objektif, dan realistic mampu menerima kenyataan hidup yang dihadapi secara wajar).

  Dalam melakukan penyesuaian diri secara positif menurut (Hatono & Sunarto, 2006), individu akan melakukan berbagai bentuk antara lain: a. Penyesuaian dengan menghadapi permasalahan secara langsung.

  Situasi ini akan membuat individu secara langsung menghadapi masalahnya dengan segala akibat-akibatnya. Ia melakukan segala tindakan sesuai dengan masalah yang dihadapinya. Misalnya seorang mahasiswa yang terlambat masuk kelas maka ia akan menghadapinya secara langsung, dan menjelaskan alasan keterlambatannya kepada dosen.

  b. Penyesuaian dengan melakukan eksplorasi (penjajahan).

  Situasi ini akan membuat individu mencari berbagai bahan pengalaman untuk dapat menghadapi dan memecahkan masalahnya. Misalnya seorang mahasiswa yang kurang mampu dalam mengerjakan tugas, dia akan mencari bahan dalam upaya menyelesaikan tugas tersebut, dengan membaca buku, konsultasi, diskusi, dan sebagainya.

  c. Penyesuaian dengan trial and error atau coba-coba.

  Individu akan melakukan suatu tindakan coba-coba, dalam arti jika menguntungkan diteruskan jika gagal tidak diteruskan. Taraf pemikiran kurang begitu berperan dibandingkan dengan cara eksplorasi.

  d. Penyesuaian dengan subtitusi (mencari pengganti).

  Jika individu gagal dalam menghadapi masalah, maka dia dapat memperoleh penyesuaian dengan cara mencari pengganti. Misalnya jika seorang gagal menonton film di gedung bioskop, dia pindah menonton TV. e. Penyesuaian dengan menggali kemampuan diri.

  Individu akan mencoba menggali kemampuan-kemampuan khusus dirinya, dan kemudian dikembangkan sehingga dapat membantu penyesuaian diri. Misalnya seorang mahasiswa yang mempunyai kesulian keuangan, melakukan kerja sambilan, dari uang hasil kerjanya dia dapat mengatasi kesulitan dalam keuangan.

  f. Penyesuaian dalam belajar Pembelajaran akan membuat individu banyak memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang dapat membantu menyesuaikan diri. Misalnya seorang mahasiswa akan lebih dapat menyesuaikan diri terhadap pelajaran yang sulit, jika dia banyak belajar tentang pelajaran tersebut.

  g. Penyesuaian dengan inhibisi dan pengendalian diri.

  Penyesuaian diri akan lebih berhasil jika disertai dengan kemampuan memilih tindakan yang tepat dan mengendalikan diri secara tepat pula.

  Dalam situasi seperi individu memilih tindakan mana yang harus dilakukan, serta tindakan mana yang tidak perlu dilakukan.Cara ini yang disebut inhibisi.Disamping itu, individu harus mampu mengendalikan dirinya dalam melakukan tindakannya.

  Penyesuaian yang menyimpang (mal adjustment) merupakan proses pemenuhan kebutuhan atau upaya pemecahan masalah dengan cara-cara yang tidak wajar atau bertentangan dengan norma yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Penyesuaian diri yang salah atau menyimpang ditandai dengan berbagai bentuk perilaku yang serba salah, tidak terarah, emosional, sikap yang tidak rasional, agresif, dan sebagainya. Menurut Schneider (Desmita, 2009), respon penyesuaian diri yang abnormal adalah sebagai berikut: a. Reaksi bertahan (deference reaction = flight from self)

  Individu dikepung oleh tuntutan-tuntutan dari dalam diri sendiri (needs) dan dari luar (pressure dari lingkungan) yang kadang-kadang mengancam rasa aman egonya. Untuk meindungi rasa aman egonya itu, individu mereaksi dengan mekanisme pertahanan diri (defence mechanism ).

  b. Reaksi menyerang (aggressive reaction) dan delinquency.

  Agresi adalah bentuk respon unuk mereduksi ketegangan dan frustasi melalui media tingkah laku yang merusak, berkuasa, atau mendominasi.

  c. Reaksi melarikan diri dari kenyataan (escape with drawl reaction atau

  flight from reality )Reaksi escape dan with drawal merupakan

  pertahanan diri terhadap tuntutan, desakan, atau ancaman dari lingkungan. Escape merefleksikan perasaan kejenuhan, atau putus asa; sementara with drawl mengindikasikan kecemasan, atau ketakuan. d.Penyesuaian yang patologis (flight into illness)

  Penyesuaian yang patologis berarti individu yang mengalaminya perlu mendapat perawatan khusus, dan bersifat klinis, bahkan perlu perawatan di rumah sakit yang termasuk penyesuaian yang patologis adalah “neurosis” dan “psikotis”.

  e. Tingkah laku anti social (antisocial behavior) Tingkah laku anti social merupakan tingkah laku yang bertentangan dengan norma masyarakat (baik secara formal = hukum / perundang- undangan, maupun informal = adat istiadat), dan norma agama.

  f. Kecanduan dan ketergantungan alkohol, dan obat terlarang.

  Kecanduan alkohol (minuman keras) dan penyalahgunaan narkoba merupakan perilaku menyimpang (baik secara hokum maupun secara psikologis).Dampaknya sangat buruk terhadap kesehatan fisik (seperti gangguan fungsi otak dan pandangan lambung dan usus) dan psikis (seperti menjadi pemalas, pembohong, penipu, pencuri, dan perasa).

  g. Penyimpangan seksual dan AIDS.

  Beberapa perilaku yang menyimpang yang harus mendapat perhatian semua pihak, diantaranya perilaku seksual dan free sex yang dapat mengakibatkan AIDS.

  Penyesuaian diri adalah mengubah sesuai dengan keadaan lingkungan, tetapi juga merubah lingkungan sesuai dengan keadaan (keinginan) diri. Penyesuaian diri yang pertama disebut penyesuaian diri yang autopastis (auto = sendiri, plastis = dibentuk), sedangkan penyesuaian diri yang kedua disebut penyesuaian diri yang aloplastis (alo=yang lain). Penyesuaian diri ada yang “pasif”, dimana kegiatan kita ditentukan oleh lingkungan, dan ada yang berarti “aktif”, dimana kita mempengaruhi lingkungan. Penyesuaian diri merupakan interaksi yang dilakukan individu secara terus menerus terhadap keadaan dirinya, dengan orang lain maupun dengan keadaan sekitarnya dimana individu tersebut berada (Sobur, 2003).

  3.Faktor-faktor yang mempengaruhi proses penyesuaian diri Secara keseluruhan kepribadian memiliki fungsi sebagai penentu utama terhada penyesuaian diri. Maksud dari penentu adalah faktor yang mendukung mempengaruhi, serta menimbulkan dampak dalam proses penyesuaian. Secara utama berarti proses penyesuaian ditentukan oleh faktor-faktor yang menentukan kepribadian tersebut baik internal maupun eksternal. Faktor-faktor yang menentukan penyesuaian diri menurut (Hartono & Sunarto, 2006) dapat dikelompokan sebagai berikkut:

  a. Kondisi fisik Kondisi fisik yang ada meliputi; bentuk tubuh, kesehatan, penyakit, dan sebagainya.Strukur jasmaniyah merupakan kondisi primer bagi tingkah laku maka dapat diperkirakan bahwa sistem saraf, kelenjar, dan otot merupakan faktor yang sangat penting dalam penyesuaian diri.

  b. Perkembangan dan kematangan, kematangan emosional, inelektual, social, dan moal.

  Tingkat kematangan yang dicapai antara individu yang satu dan yang lainnya, sehingga pencapaian pola-pola penyesuaian diri juga berbeda secara individual atau bervariasi sesuai dengan tingkat perkembangan dan kematangan, kondisi perkembangan mempengaruhi setiap aspek kehidupan.

  c. Penentu psikologis, termasuk didalamnya pengalaman, belajarnya, determenistik diri, konflik dan penyesuaian.Cara seseorang mengatasi masalah seperti, dalam mengatasi frustasi berbeda-beda tergantung dari pengalaman yang dialami setiap individu. Namun pada intinya berupaya untuk meningkatkan pencapaian tujuan yang diinginkan secara sosial.

  d. Kondisi lingkungan, khususnya keluarga,dan masyarakat.

  Lingkungan dimana individu berada memberi andil yang sangat berarti dalam meakukan penyesuaian diri.Hasil pendidikan yang diperoleh individu dapat mempengaruhi perilaku dalam hal penyesuaian diri.

  e. Kultur dan agama sebagai penentu penyesuaian diri.

  Kultur dan agama memiliki peran yang penting, secara psikologis agama sebagai penuntun adanya tuntunan hidup yang mutlak.

  Penyesuian diri secara terus menerus diupayakan oleh setiap individu untuk mencapai keseimbangan hidup setelah mengalami perubahan, salah satunya adalah penyesuaian diri terhadap hilangnya pasangan hidup. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri terhadap hilangnya pasangan hidup antara laian sebagai berikut:

  a. Kondisi ekonomi Individu yang menjanda (duda ataupun janda) akan mengalami berkurangnya pendapatan. Berkurangnya pendapatandapat mempengaruhi kelangsungan pemenuhan kebutuhan individu tersebut terlebih bagi individu yang sebelumnya bergantung pada penghasilan pasangan hidup (Ekowati 2008).

  b. Lamanya ditinggalkan pasangan hidup Lamanya ditinggalkan pasangan hidup merupakan faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri terhadap hilangnya pasangan hidup terlebih yang sangat dicintai karena akan meninggalkan duka cita. Fase duka cita menurut Ekowati (2008) adalah terkejut, putus asa, dan pulih kembali. Fase pertama, terkejut, orang yang ditinggalkan akan merasa terkejut, tidak percaya, dan lumpuh emosi, serta menolak, sehingga akan membuatnya sering menangis, atau bahkan mudah marah dan tersinggung. Fase ini biasanya terjadi 1-3 hari setelah kematian orang yang disayangi.

  Fase kedua, umumnya pada fase ini ditandai dengan putus asa, perasaan sakit yang berkepanjangan atas kematian, memori yang indah, kesedihan, kegelisahan, susah tidur dan mudah tersinggung. Fase putuas asa ini dapat terjadi beberapa minggu saja, tetapi ada yang mengalami 1-2 tahun setelah kematian.

  Fase ketiga, pulih kembali, biasanya terjadi 1 tahun setelah kematian.Fase pulih kembali diiringi dengan penerimaan dan meningkatnya aktivitas kembali sehingga semakin waktu berjalan, diharapkan seseorang yang kehilangan pasangan dapat menyesuaikan kembali. c. Tempat tinggal atau lingkungan Lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri karena lingkugan memberikan batasan-batasan terhadap individu yang ada didalmnya.Individu menyesuaikan diri dengan cara-cara yang dapat diterima oleh lingkungannya, sehingga dukungan dan penerimaan sosial turut membantu lansia dalam menyesuaikan diri terhadap hilangnya pasangan hidup.

  Dari beberapa uraian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa penyesuaian diri dipengaruhi oleh faktor internal berupa faktor fisik, psikis, dan kognitif serta faktor eksternal berupa kondisi lingkungan sekitar individu, rumah, keluarga, lingkungan pergaulan, dan kebudayaan yang berlaku didalamnya.Penyesuaian diri terhadap hilangnya pasangan hidup, dan lingkungan tempat tinggal.

  diri

  4. Bentuk-bentuk pnyesuaian Fatimah (2006), menyatakan bahwa terdapat pembagian pada penyesuaian diri, yaitu: a. Penyesuain diri yang positif

  Individu yang mempunyai penyesuaian diri yang positif adalah mampu mengarahkan dan mengatur dorongan-dorongan dalam pikiran, kebiasaan, emosi, sikap dan perilaku individu dalam menghadapi tuntutan dirinya dan masyarakat, mampu menemukan manfaat dari situasi baru dan memenuhi segala kebutuhan secara sempurna dan wajar.

  b. Penyesuaian diri yang negatif Individu dengan penyesuaian diri yang negatif adalah tidak mampu mengarahkan dan mengatur dorongan-dorongan dalam pikiran, kebiasaan, emosi, sikap dan perilaku individu dalam menghadapi tuntutan dirinya dan masyarakat, serta tidak mampu menemukan manfaat dari situasi baru dalam memenuhi segala kebutuhan secara sempurna dan wajar.

  5. Ciri

  • – ciri penyesuaian diri yang baik Penyesuaian diri yang efektif dapat memberikan pengaruh yang positif, seperti tercapainya kepuasan hidup dan tujuan hidup.Individu dapat mencapai kesejahteraan psikologis yang diinginkan. Penyesuaian diri yang efektif menjadi tanda adanya kemampuan individu dalam menyesuaikan diri terhadap apayang sedang dihadapinya. Ekowati (2008) menyebutkan ciri-ciri individu yang dapat menyesuaikan diri dengan baik yaitu: a. Memperlakukan orang lain sebagai individu.

  b. Bekerja dengan kemampuan penuh.

  c. Produktif dalam masyarakat.

  d. Mampu menikmati banyak hal.

  e. Mampu memecahkan masalah internal dan eksternal.

  f. Mengenal dengan baik, memahami dan menerima orang lain. g. Melakukan aktivitas yang sesuai minatnya.

  h. Emosi yang dimiliki stabil. i. Rasa ingin tahu terhadap banyak hal cukup besar.

  Uraian mengenai ciri-ciri individu yang dapat menyesuaikan diri dengan baik diatas dapat disimpulkan bahwa individu yang mempunyai kemampuan yang baik dalam meneysuaiakan diri adalah individu yang dapat mengatasi diri dan masalah yang sedang dihadapi dengan cara yang tepat tanpa mengganggu aktivitas ataupun hubungannya dengan orang lain.

  Berdasarkan pendapat diatas, yang dimaksud dengan penyesuian diri merupakan proses tercapainya keseimbangan antara apa yang diinginkan individu dan harapannya dengan apa yang dilihat dan dialami individu. Penyesuaian diri merupakan proses yang berkelanjutan antara diri sendiri, orang lain, dan dunia sekitar. Penyesuaian diri dilakukan untuk menghadapi perubahan dalam perkembangan lingkungan.Penyesuaian diri yang dilakukan untuk mengahadapi perubahan dalam perkembangan lingkungan.

  E. Penyesuaian Diri Terhadap Hilangnya Pasangan Hidup Pada Lansia Penyesuaian diri merupakan proses tercapainya keseimbangan antara apa yang diinginkan individu dan harapannya dengan apa yang dilihat dan dialami individu serta merupakan proses yang berkelanjutan antara diri sendiri, orang lain, dan dunia sekitar. Penyesuaian diri dipengaruhi oleh faktor internal berupa faktor fisik, psikis, dan kognitif serta faktor eksternal berupa kondisi lingkungan sekitar individu, rumah, keluarga, lingkungan pergaulan, beserta kebudayaan yang berlaku didalamnya. Ciri-ciri individu yang dapt menyesuaikan diri dengan baik adalah individu yang dapat mengatasi diri dan masalah yang sedang dihadapi dengan cara yang tepat tanpa mengganggu aktivitas ataupun hubungannya dengan orang lain.

  Individu dalam kehidupannya akan mencapai tahap dimana individu menikah atau berpasangan dengan orang lain. Pada waktu tertentu, individu juga akan mencapai tahap kehilangan pasangannya. Peristiwa hilangnya pasangan hidup dapat terjadi kapan saja, dapat terjadi ketika seseorang masih dalam tahap usia dewasa mauapun lansia.

  Hilangnya pasangan dapat dikarenakan oleh peristiwa perceraian maupun peristiwa kematian, akan tetapi pada lansia, kehilangan pasnagan hidup lebih banyak dikarenakan oleh peristiwa kematian (Ekowati, 2008).

  Lansia melakukan penyesuaian diri terhadap perubahan yang ia alami salah satunya penyesuaian diri terhadap hilangnya pasangan hidup.

  Upaya penyesuaian diri pada lansia meliputi penerimaan secara sadar dari individu terhadap lingkungannya, baik secara fisik, psikis, maupun social sesuai dengan kondisi yang dimiliki dan membutuhkan perhatian dan pengertian dari lingkungannya karena hal-hal negatif dapat terjadi pada lansia, antara lain: menjadi sangat perasa dan banyak menuntut pada orang-orang disekitarnya (Ekowati 2008).

  6. Pengertian penyesuaian diri Penyesuaian diri merupakan faktor yang sangat penting dalam kehidupan manusia sejak lahir hingga meninggal, tidak lain adalah melakukan proses penyesuaian diri, sehingga dapat dikatakan bahwa penyesuaian diri dialakukan oleh manusia sepanjang hidup. Manusia memerlukan penyesuaian diri terhadapa diri dan lingkunganya dalam menghadapi berbagai permasalahan.Penyesuaian diri yang dilakukan oleh manusia sepanjang hidupnya, karena pada dasarnya setiap manusia ingin mempertahankan eksistensinya.Manusia berusaha untuk memenuhi kebutuhan baik fisik, psikis, maupun sosialnya sejak lahir hingga meninggal. Seseorang bisa mampu melakukan penyesuaian diri dengan normal manakala dia mampu secara sempurna memenuhi kebutuhannya, tanpa melebihkan yang satu dan mengurangi yang lain, serta bertanggung jawab terhadap masyarakat tempat dia hidup (Ali Muhammad, 2008)

  Menurut (Hartono & Sunarto 2006) penyesuaian diri dapat diartikan sebagai berikut: a.Penyesuaian berarti adaptasi: dapat mempertahankan eksistensinya, atau bisa survive dan memperoleh kesejahteraan jasmaniah dan rohaniah, dan dapat mengadakan yang memuaskan dengan tuntutan sosial. b.Penyesuaian sebagai konformitas, yang berarti menyesuaikan sesuatu dengan standar atau prinsip. c.Penyesuaian sebagai penugasan, yaitu memiliki kemampuan untuk membuat rencana dan respon-respon sedemikian rupa, sehingga mengatasi segala macam konflik, kesulitan, dan frustasi-frustasi secara efisien. Individumemiliki kemampuan menghadapi realitas hidup dengan cara yang adekuat atau memenuhi syarat. d.Penyesuaian sebagai penugasan dan kematangan emosional.

  Kematangan emosional artinya individu secara positif memiliki respon emosional yang tepat pada setiap situasi.

  Penyesuaian diri digolongkan menjadi 3 kelompok, menurut (Yusuf, 2008) yaitu: (a) gejala masalah yang meliputi neurotic, psikotik, psikopatik, epileptik; (b) jenis kualitas respon, meliputi: penyesuaian yang normal dan penyesuaian yang tidak normal atau menyimpang, seperti deference reaction, escape and with drawing,

  

illnes dan agreession dan (c) jenis masalah,meliputi: personal, sosial,

  keluarga, akademik, vokasional dan marital (pernikahan)Penyesuaian diri merupakan proses dinamika yang bertujuan untuk mengubah tingkah laku agar terjadi hubungan yang selaras antara dirinya dan lingkungannya.

  Penyesuaian diri mempunyai dua aspek,yaitu: penyesuaian diri pribadi dan penyesuaian diri sosial. Penyesuaian diri pribadi adalah penyesuaian individu terhadap dirinya sendiri dan percaya pada diri sendiri. Sedangkan penyesuaian individu sosial merupakan suatu proses yang terjadi dalam lingkungan sosial tempat individu hidup dan berinteraksi dengannya (Hartono & Sunarto, 2006

  E.Kerangka tori

  

1. Kondisi fisik

  3. Kematangan sosial

  2. Kematangan intelektual

  1. Kematangan emosional

  Sunarto (2007)

Kematian

pasangan hidup Penyesuaian diri lansia di Desa WanakarsaKabupat en Banjarnegara Penyesuaian diri lansia:

  5. Kultur dan agama sebagai penentu penyesuian diri.

  4. Kondisi lingkungan khususnya keluarga dan masyarakat

  3. Penentu psikologis, termasuk didalamnya pengalaman belajar deterministik diri, konflik dan penyelesaian

  2. Perkembangan dan kematangan, kematangan emosional, intelektual, sosial dan moral

  Monks (2002) Faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri:

Bagan 2.1 Kerangka teori

  6. Melakukan akifitas fisik yang sesuai.

  5. Menyesuaikan dengan pendapatan yang berkurang dan keadaan pension

  4. Memenuhi kewajiban sosial dan warga negara

  3. Menemukan relasi baru dengan kelompok sebaya

  2. Menyesuaikan diri dengan kematian teman hidup

  1. Penyesuaian kondisi fisik

  lansia Tugas perkembangan lansia:

  Modifikasi: Desmita (2009;195), Monks (2002), Sunarto (2007)

  4. Tanggung jawab (Desmita,2009;195) Penyesuaian Diri Lansia..., Syaiful Fadhlan Abriansyah, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2018

  F .Kerangka konsep Penyesuaian diri lansia:

  Kematian pasangan

  1. Kematangan emosional

  2. Kematangan intelektual

  hidup

  3. Kematangan sosial Tanggung jawab

  4.

  ( Desmita, 2009;195

  Faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri:

  1.Kondisi fisik

  2.Perkembangan dan kematangan, kematangan emosional,intelektual, sosial dan moral

  3.Penentupsikologis, termasuk didalamnya pengalamanbelajar deterministic diri, konflik dan penyelesaian

  4.Kondisi lingkungan khususnya keluarga dan masyarakat 5.Kultur dan agama sebagai penentu penyesuaian diri. Sunarto (2007)