BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian - Karsinah BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar Hb (hemoglobin) darah atau

  hitung eritrosit lebih rendah dari harga normal. Dikatakan sebagai anemia bila Hb < 14 g/dl dan Ht < 41% pada pria, Hb < 12 g/dl dan Ht < 37% pada wanita (Mansjoer, 2001).

  Anemia adalah kekurangan sel darah merah yang dapat disebabkan oleh kehilangan darah yang terlalu cepat atau karena terlalu lambatnya produksi sel darah merah (Guyton, 1997).

  Anemia adalah penurunan kuantitas sel-sel darah merah dalam sirkulasi, abnormalitas kandungan hemoglobin sel darah merah, atau keduanya (Corwin, 2009).

  Anemia secara fungsional dapat didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer (penurunan oxygen carrying capacity) (Sudoyo, 2006).

  Dari pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa anemia adalah suatu keadaan dimana kadar Hb dalam tubuh di bawah batas normal karena dipengaruhi oleh berbagai hal yang mengakibatkan penurunan kapasitas pengangkut oksigen darah.

  6

B. Anatomi dan Fisiologi

  1. Anatomi darah (dedepatologicklinik.jpg)

  (cancer.umn.edu)

Gambar 1.1 sel darah Bagian-bagian darah menurut Syaifuddin (1997) meliputi :

  a. Air : 91%

  b. Protein : 3% (albumin, globulin, protombin, dan fibrinogen) c. Mineral : 0,9% (natrium klorida, natrium bikarbonat, garam fosfat, magnesium, kalsium dan zat besi) d. Bahan organik : 0,1% (glukosa, lemak, asam urat, kreatinin, kolesterol, dan asam amino) Darah terdiri dari 2 bagian yaitu :

  a. Sel-sel darah ada 3 macam, yaitu : 1) Eritrosit (sel darah merah)

  Eritrosit berbentuk cakram bikonkav, tanpa inti sel, berdiameter 8 mikron, tebalnya 2 mikron dan ditengah tebalnya 1 mikron. Eritrosit mengandung hemoglobin, yang memberinya warna merah.

  2) Leukosit (sel darah putih) Leukosit dibagi menjadi 2, yaitu :

  a) Granulosit adalah leukosit yang didalam sitoplasmanya memiliki butir-butir kasar (granula). Jenisnya adalah eosinofil, basofil, dan netrofil.

  b) Agranulosit adalah leukosit yang sitoplasmanya tidak memiliki granula, jenisnya adalah limfosit (sel T dan sel B) dan monosit.

  c) Trombosit/platelet (sel pembeku darah) b. Plasma darah Terdiri dari air dan protein darah yaitu albumin, globulin, dan fibrinogen. Cairan yang tidak mengandung unsur fibrinogen disebut serum darah.

  2. Fisiologi darah Darah manusia adalah cairan jaringan tubuh. Fungsi utamanya adalah mengangkut oksigen yang diperlukan oleh sel-sel diseluruh tubuh.

  Darah juga menyuplai jaringan tubuh dengan nutrisi, mengangkut zat-zat sisa metabolisme dan mengandung berbagai bahan penyusun sistem imun yang bertujuan mempertahankan tubuh dari berbagai penyakit. Hormon- hormon dari sistem endokrin juga diedarkan melalui darah.

  Darah manusia berwarna merah, antara merah terang apabila kaya oksigen sampai merah tua apabila kekurangan oksigen. Warna merah pada darah disebabkan oleh hemoglobin, protein pernapasan (respiratory protein) yang mengandung besi dalam bentuk heme, yang merupakan tempat terikatnya molekul-molekul oksigen. Manusia memiliki sistem peredaran darah tertutup yang berarti darah mengalir dalam pembuluh darah dan disirkulasikan oleh jantung. Darah dipompa oleh jantung menuju paru-paru untuk melepaskan sisa metabolisme berupa karbondioksida dan menyerap oksigen melalui pembuluh darah aorta. Darah mengedarkan oksigen melalui pembuluh darah pulmonalis, lalu dibawa lagi ke jantung melalui vena pulmonalis. Darah juga mengangkut bahan-bahan sisa metabolisme obat-obatan dan bahan kimia asing ke hati untuk dibuang sebagai urine.

  Komponen darah manusia terdiri dari dua komponen :

  1. Korpuskular adalah unsur padat darah yaitu sel-sel darah eritrosit, leukosit, dan trombosit.

  a. Eritrosit (sel darah merah) Sel ini berbentuk cakram bikonkav, tanpa inti sel, berdiameter 7-8 mikrometer. Eritrosit mengandung hemoglobin, yang memberinya warna merah. Hemoglobin (Hb) adalah protein kompleks terdiri atas protein, globin, dan pigmen hem (besi). Jadi besi penting untuk Hb. Besi ditimbun di jaringan sebagai ferritin dan hemosiderin. Eritrosit dibentuk di sumsum tulang merah, dari proeritroblas, kemudian normoblas. Keduanya masih memiliki inti. Normoblas kehilangan intinya dan masuk peredaran darah sebagai eritrosit dewasa (Tambayong, 2001).

  Fungsi utama sel darah merah adalah untuk mentransfer hemoglobin, yang selanjutnya membawa oksigen dari paru-paru ke jaringan. Sel darah merah merupakan cakram biconkav yang mempunyai garis tengah rata-rata sekitar 8 mikron, tebalnya 2 mikron dan di tengahnya mempunyai tebal 1 mikron atau kurang, bentuk sel normal adalah suatu ”kantong” yang dapat berubah menjadi hampir semua bentuk karena sel normal mempunyai membran, dan akibatnya tidak merobek sel seperti yang akan terjadi pada sel-sel lainnya. Pada laki-laki normal, jumlah rata-rata sel darah merah permili liter kubik adalah 5.200.000 dan pada wanita normal 4.700.000. Jumlah hemoglobin dalam sel dan transforoksigen, bila hematokrit (prosentase darah yang berupa sel darah merah norma) darah mengandung rata-rata 15 gram hemoglobin. Tiap gram hemoglobin mampu mengikat kira-kira 1.39 ml oksigen. Oleh karena itu, pada orang normal lebih dari 20 ml oksigen dapat diangkut dalam ikatan dengan hemoglobin dalam tiap-tiap 100 ml darah. Faktor utama yang dapat merangsang produksi sel-sel darah merah adalah hormon di dalam sirkulasi yang disebut sebagai eritropoetin, yang merupakan suatu glikoprotein. Pada orang normal 90 sampai 95 persen dari seluruh eritropoietin di bentuk di dalam ginjal. Namun sampai sekarang belum pasti di bagian ginjal yang mana. Jumlah yang dapat diekstraksikan dari bagian korteks ginjal ternyata jauh lebih banyak dari pada yang bagian medula (Guyton, 1997).

  b. Leukosit (sel darah putih) Jumlah sel pada orang dewasa berkisar antara 6000 – 9000 sel/cc darah. Fungsi utama dari sel tersebut adalah untuk fagosit

  (pemakan) bibit penyakit/benda asing yang masuk tubuh. Peningkatan jumlah leukosit merupakan petunjuk adanya infeksi misalnya radang paru-paru. Leukopenia berkurangnya jumlah leukosit sampai dibawah 6000 sel/cc darah. Leukositosis bertambahnya jumlah leukosit melebihi normal (di atas 9000 sel/cc darah).

  Faktor fagosit sel darah tersebut terkadang harus mencapai benda asing atau kuman jauh di luar pembuluh darah. Kemampuan leukosit untuk menembus dinding pembuluh darah (kapiler) untuk mencapai daerah tertentu disebut diapedesis. Gerakan leukosit mirip dengan amoeba disebut gerak amuboid.

  Granulosit adalah leukosit yang didalam sitoplasmanya memiliki butir-butir kasar (granula). Jenisnya adalah eosinofil, basofil, dan netrofil.

  Agranulosit adalah leukosit yang sitoplasmanya tidak memiliki granula, jenisnya adalah limfosit dan monosit.

  • Eosinofil mengandung granula berwarna merah (warna eosin) disebut juga asidofil berfungsi pada reaksi alergi (terutama infeksi cacing).
  • Basofil mengandung granula berwarna biru (warna basa) berfungsi pada reaksi alergi.
  • Netrofil ada 2 jenis sel yaitu netrofil batang dan netrofil segmen disebut juga sebagai sel-sel PMN (Poly Morpho Nuclear) berfungsi sebagai fagosit.
  • Limfosit (ada dua jenis sel yaitu sel T dan sel B) keduanya berfungsi untuk menyelenggarakan imunitas (kekebalan tubuh). Sel T adalah imunitas seluler dan sel B adalah imunitas humoral.
  • Monosit merupakan leukosit dengan ukuran paling besar.
c. Trombosit (keping darah) Disebut juga sel darah pembeku, jumlah sel pada orang dewasa sekitar 200.000 – 500.000 sel/cc. Didalam trombosit terdapat banyak sekali faktor pembeku (hemostasis) antara lain adalah faktor VIII (anti haemophilic factor), jika seseorang secara genetis trombositnya tidak mengandung faktor tersebut, maka orang tersebut menderita hemofili.

  Proses pembekuan darah yaitu jika trombosit menyentuh permukaan yang kasar akan pecah dan mengeluarkan enzim trombokinase (tromboplastin).

  Pada masa embrio sel-sel darah dibuat di limpa dan hati (extra medullarry haemopoesis) setelah embrio sudah cukup usia , fungsi itu diambil alih oleh sumsung tulang.

  d. Plasma darah Terdiri dari air dan protein darah yaitu albumin, globulin, dan fibrinogen, cairan yang tidak mengandung unsur fibrinogen disebut serum darah. Protein dalam serum inilah yang berfungsi sebagai antibodi terhadap adanya benda asing (antigen).

  Zat antibodi adalah senyawa gama yang disebut globulin. Tiap antibodi bersifat spesifik terhadap antigen dan reaksimya bermacam-macam.

  • Antibodi yang dapat menggumpalkan antigen disebut presipitin.
  • Antibodi yang dapat menguraikan antigen adalah lisin.
  • Antibodi yang dapat menawarkan racun adalah antitoksin.

C. Etiologi

  1. Anemia mikrositik hipokrom

  a. Anemia defisiensi besi Adalah anemia yang disebabkan oleh kurangnya mineral Fe sebagai bahan yang diperlukan untuk pematangan eritrosit.

  Disebabkan karena :

  • Diet yang tidak mencukupi
  • Absorbsi yang menurun
  • Kebutuhan yang meningkat pada kehamilan/lantasi
  • Perdarahan pada saluran cerna, menstruasi, dan donor darah
  • Hemoglobinuaria - Penyimpanan besi yang kurang seperti pada hemosiderosis paru

  b. Anemia penyakit kronik Adalah anemia yang disebabkan oleh berbagai panyakit infeksi-infeksi kronik (seperti abses, empisema dan lain-lain) dan neoplasma (seperti limfoma, nekrosis jaringan)

  2. Anemia makrositik

  a. Defisiensi vitamin B

  12 /pernisiosa

  • Absorbsi vit B

  12 menurun

  b. Defisiensi asam folat

  • Gangguan metabolisme asam folat

  3. Anemia karena perdarahan Karena adanya pengeluaran darah yang sedikit-sedikit/cukup banyak yang baik diketahui/tidak.

  4. Anemia hemolitik

  a. Intrinsik

  • Kelainan membran seperti sferositosis hereditis, hemoglobinuria makturnal pamosimal.
  • Kelainan glikolisis
  • Kelainan enzim, seperti defisiensi glukosa -6 fosfat dehidrogenase

  (GEDP)

  b. Ektrinsik

  • Gangguan sistem imun
  • Infeksi - Luka bakar

  5. Animia aplastik Penyebabnya bisa kongenital (jarang), idiopatik (kemungkinan autoimun) LES, kemoterapi, radioterapi, toksin seperti berzen, foluen, insektisid. Obat-obatan seperti kloramfenikol, sulfenomid analgesik, anti epileptik (hidantoin), pasca hepatisis (Masjoer, 2001).

  Pembagian anemia menurut Mansjoer (2001), antara lain :

  1. Anemia mikrositik

  a. Anemia defisiensi besi Anemia yang disebabkan oleh kekurangan intake zat besi/absorbsi zat besi yang menurun yang dibutuhkan untuk diproduksi hemoglobin dalam sel darah merah.

  b. Anemia penyakit kronik Anemia yang disebabkan karena penyakit kronik/penyakit infeksi. Anemia ini dikenal dengan nama sidereponik anemia endothelial siderosis.

  2. Anemia makrositik/megaloblastik Anemia ini adalah sekelompok anemia yang ditandai oleh adanya eritroblas yang besar terjadi akibat gangguan maturasi inti sel tersebut, sel tersebut dinamakan megaloblas (Sarwono, 2001).

  Anemia ini dibagi menjadi 2, yaitu :

  a. Defisiensi vitamin B

  12 /pernisiosa

  Adalah kekurangan vitamin B

  12 yang bisa disebabkan oleh faktor intrinsik.

  b. Defisiensi asam folat Adalah anemia kekurangan asam folat terutama terdapat dalam daging, susu dan daun-daunan yang hijau.

  3. Anemia karena perdarahan, terbagi atas :

  a. Perdarahan akut Timbul renjatan bila pengeluaran darah cukup banyak, terjadinya penurunan kadar HB baru terjadi beberapa hari kemudian.

  b. Perdarahan kronik Perdarahan yang timbul sedikit-sedikit sehingga tidak diketahui pasien.

  4. Anemia Hemolitik Terjadi karena penurunan sel darah merah (normal 120 hari) baik sementera atau terus menerus. Salah satu jenis anemia ini adalah anemia hemolitik autoimun (Auto Imun Hemolitik Anemia/ALHA) dimana auto antibodi IgG dibentuk terkait pada membran sel darah merah (SDM).

  5. Anemia Aplastik Terjadi karena ketidakseimbangan sumsum tulang untuk membentuk sel-sel darah.

D. Patofisiologi

  Sel darah merah (eritrosit) tidak memiliki inti sel, mitokondria, atau ribosom. Sel darah merah tidak dapat bereproduksi atau melakukan fosforilasi oksidatif sel atau sintesis protein. Sel darah merah mengandung protein hemoglobin, yang mengangkut sebagian besar oksigen dari paru ke sel-sel diseluruh tubuh. Hemoglobin menempati sebagian besar ruang intrasel eritrosit. Sel darah merah diproduksi di dalam sumsum tulang yang berespon terhadap faktor pertumbuhan hemopoietik, terutama eritropoietin, dan memerlukan zat besi, asam folat serta vitamin B 12 untuk melakukan sintesis. Pada saat sel darah merah hampir matang, sel akan dilepas keluar dari sumsung tulang, dan mencapai fase matang di dalam aliran darah, dengan masa hidup sekitar 120 hari. Selanjutnya, sel ini akan mengalami disintegrasi dan mati. Sel-sel darah merah yang mati diganti sel-sel yang baru yang dihasilkan dari sumsum tulang. Jika sel darah merah yang mati dalam jumlah berlebih, sel darah merah yang belum matang akan dilepas dalam jumlah yang lebih banyak dari normal, akibatnya meningkatkan kadar retikulosit yang bersirkulasi yang dikenali sebagai salah satu jenis anemia. Anemia akibat gangguan pembentukan sel darah merah terjadi jika jumlah besi tidak adekuat atau tidak dapat diakses, atau kekurangan asam folat, vitamin B , atau

  12

  globulin. Produksi sel darah merah juga dapat tidak mencukupi jika mengalami penyakit sumsum tulang lainya. Defisiensi eritropoetin, yang dapat terjadi pada gagal ginjal, juga dapat menyebabkan penurunan produksi sel darah merah. Anemia akibat gangguan pembentukan sel darah merah berukuran terlalu kecil (mikrositik) atau terlalu besar (makrositik), dan kandungan hemoglobin yang secara abnormal rendah (hipokromik) (Corwin, 2009).

  Timbulnya anemia mencerminkan adanya kegagalan sumsum atau kehilangan sel darah merah berlebihan atau keduanya. Kegagalan sumsum (misal berkurangnya eritropoesis) dapat terjadi akibat kekurangan nutrisi, pajanan toksik, invasi tumor, atau kebanyakan akibat penyebab yang tidak diketahui. Sel darah merah dapat hilang melalui perdarahan atau hemolisis (destruksi). Pada kasus yang disebut terakhir, masalahnya dapat akibat defek sel darah merah yang tidak sesuai dengan ketahanan sel darah merah normal atau akibat beberapa faktor di luar sel darah merah yang menyebabkan destruksi sel darah merah. Lisis sel darah merah (disolusi) terjadi terutama dalam sel fagositik atau dalam sistem retikuloendotelial, terutama dalam hati dan limpa. Sebagai hasil samping proses ini, bilirubin yang terbentuk dalam fagosit, akan memasuki aliran darah. Setiap kenaikan destruksi sel darah merah (hemolisis) segera direflesikan dengan peningkatan bilirubin plasma (konsentrasi normalnya 1 mg/dl atau kurang, kadar di atas 1,5 mg/dl mengakibatkan ikterik pada sklera). Apabila sel darah merah mengalami penghancuran dalam sirkulasi, seperti yang terjadi pada berbagai kelainan hemolitik, maka hemoglobin akan muncul pada plasma (hemoglobinemia).

  Apabila konsentrasi plasmanya melebihi kapasitas haptoglobin plasma (protein pengikat untuk hemoglobin bebas) untuk mengikat semuanya (misal apabila jumlahnya lebih dari sekitar 100mg/dl), hemoglobin akan berdifusi dalam glomerulus ginjal dan kedalam urine (hemoglobinuria). Jadi ada atau tidak adanya hemoglobinemia dan hemoglobinuria dapat memberikan informasi mengenai lokasi penghancuran sel darah merah abnormal pada pasien dengan hemolisis dan dapat merupakan petunjuk untuk mengetahui sifat proses hemolitik tersebut. Kesimpulan mengenai apakah suatu anemia pada pasien tertentu disebabkan oleh penghancuran sel darah merah atau produksi sel darah merah yang tidak mencukupi, biasanya dapat diperoleh dengan dasar hitung retikulosit dalam sirkulasi darah, derajat proliferasi sel darah merah muda dalam sumsum tulang dan cara pematanganya, seperti terlihat pada biopsi, dan ada atau tidaknya hiperbilirubinemia dan hemoglobinemia (Smeltzer, 2002).

  Anemia yang terkait dengan kehilangan darah dapat menjadi akut dan kronis, anemia akut adalah mempunyai peredaran RBC dalam jumlah besar.

  Pada orang dewasa dapat kehilangan darah sebanyak 500 ml (di luar jumlah yang 6000 ml) tanpa berakibat yang seluas, tetapi bila kehilangan sebanyak 1000 ml atau lebih maka dapat menyebabkan konsentrasi akut. Macam gejalanya tergantung pada hilangnya darah dan pada tingkat akibat hypoxiannya (kurangnya oksigen pada jaringan), bila jumlah RBC-nya menurun maka sedikit oksigen yang bisa dikirim ke jaringan. Kehilangan volume darah sebanyak 30% atau lebih akan menimbulkan gejala seperti diaphoresis, gelisah, tacycardia, tersengal-sengal dan shock.

  Respon kompensasi tubuh terhadap hypoxia antara lain :

  1. Tingkat out cardial dan pernafasan akan memperbanyak jumlah oksigen yang dikirim ke jaringan.

  2. Tingkatkan pelepasan oksigen oleh hemaglobin

  3. Tambahkan volum plasma dengan cara pengeluarkan cairan dari jaringan

  4. Distribusi ulang darah ke organ-organ vital Vasokontriksi pengganti darah pada organ-organ vital adalah bergantung yang bertanggung jawab terhadap beberapa tanda gejala anemia, misalnya kepulatan/kedinginan, atau lembab berlebihan. Cerebral hypoxia menimbulkan gejala gangguan mental mengantuk, sakit kepala, pusing, dan finitus (telinga berdengung). Penyebab paling umum anemia kekurangan zat besi terhadap kehilangan darah adalah merupakan anemia kronis ke dua, tubuh memiliki daya adaptasi yang luar biasa dan dapat mengatur dengan sangat baik terhadap pengurangan RBC dan Hb, dengan membentuk kondisi secara perlahan. Seseorang bisa saja tidak menampakan gejala walaupun jumlah total RBC-nya telah turun. Hampir separuh dari tingkat normal atau tingkat Hb-nya di bawah 7 gram/ml, bila jumlah kehilangannya darah berlanjut secara perlahan maka sumsum kurang tidak dapat mengimbangi dengan cara meningkatkan produksi RBC-nya. Bila penyebab kehilangan darah kronis tidak diketahui dan tidak segera ditanggulangi, maka lambat laun sumsum tulang tidak dapat mengimbangi kehilangan tersebut, dan gejala anemia pun akan segera muncul, akibat dari hipoksia chronis dapat juga terjadi gejala gastrointestinal (anorexia, nausea, contipasi, atau diarhea, dan stomatitis) (Long, 1996).

E. Manifestasi Klinis

  Menurut Mansjoer (2001) manifestasi klinis anemia sebagai berikut :

  1. Anemia mikrositik hipokrom

  a. Anemia defisiensi besi

  • Perubahan kulit
  • Mukosa yang progresif
  • Lidah yang halus
b. Anemia penyakit kronik

  • Penurunan hematokrit
  • Penurunan kadar besi

  2. Anemia makrositik

  a. Defisiensi vit B

  12 /penisiosa

  • Anoreksia, diare, dispepsia, lidah yang licin, pucat dan agak ikterik

  b. Defisiensi asam folat

  • Neurologi - Hilangnya daya ingat
  • Gangguan kepribadian

  3. Anemia karena perdarahan

  a. Perdarahan akut

  • Timbul renjatan bila pengeluaran darah cukup banyak
  • Penurunan kadar Hb baru terjadi beberapa hari kemudian

  b. Perdarahan kronik

  • Kadar Hb menurun

  4. Anemia aplastik

  • Tampak pucat
  • Lemah - Demam - Purpura - Perdarahan

  5. Anemia hemolitik

  • Hemolisis - Ikterus - Splenomegali Berdasarkan manifestasi klinis di atas dapat ditarik kesimpulan tanda dan gejala anemia secara umum.

  a). Tanda-tanda

  • Pucat - Takikardia - Tekanan nadi yang melebar dengan pulsasi kapiler
  • Murhoemik, tanda-tanda jantung kongestif
  • Perdarahan - Penonjolan retina
  • Demam ringan
  • Gangguan fungsi ginjal ringan

  b). Gejala

  • Lesu, mudah lelah, dispnea
  • Palpitasi, angina
  • Sakit kepala, vertigo, kepala terasa ringan
  • Gangguan penglihatan, perasaan mengantuk
  • Anoreksia nausea, gangguan pencernaan
  • Hilangnya lipidos

  Menurut Sudoyo (2006) tanda dan gejala umum anemia, yaitu :

  a. Gejala umum anemia adalah rasa lemah, lesu, cepat lelah, telinga mendenging (tinitus), mata berkunang-kunang, kaki terasa dingin, sesak nafas dan dispepsia, serta konjungtiva anemis.

  b. Gejala khas masing-masing anemia, meliputi :

  1. Anemia defisiensi besi : disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis, dan kuku sendok (koilonychia).

  2. Anemia megaloblastik : glositis, gangguan neurologik pada defisiensi vitamin B

  12 .

  3. Anemia hemolitik : ikterus, splenomegali, dan hepatomegali.

  4. Anemia aplastik : perdarahan dan tanda-tanda infeksi.

  Menurut Mansjoer (2001) masing-masing jenis anemia memiliki manifestasi klinik yang berbeda, yaitu sebagai berikut : a. Anemia defisiensi besi

  Perubahan kulit dan mukosa yang progresif, seperti lidah yang halus, keilesis dan didapatkan tanda-tanda malnutrisi.

  b. Anemia pada penyakit kronik Yang sangat karakteristik adalah berkurangnya sideroblas dalam sumsum tulang, sedangkan deposit besi dalam sistem retikulo endotelial (Res) normal/bertambah, berat ringannya anemia berbanding lurus dengan aktifitas penyakitnya.

  c. Anemia pernisiosa dan anemia asam folat Di dapatkan adanya anoreksia, diare, dispnea, lidah licin, pucat, dan agak ikterik. Terjadi gangguan neurologis, biasanya dimulai dengan parastesia, lalu gangguan keseimbangan dan pada kasus yang berat terjadi perubahan fungsi cerebral, dimensia dan perubahan neuropsikatrik lainnya.

  d. Anemis hemolitik Tanda-tanda hemolisis antara lain ikterus dan spenomegali.

  e. Anemia aplastik Paster tampak pucat, lemah, mungkin timbul demam, purpura dan perdarahan.

F. Pemeriksaan Penunjang/Diagnostik

  Menurut Doengoes (2000) pemeriksaan diagnostik untuk diagnosa anemia antara lain :

  1. Jumlah darah lengkap (JDL) : Hemoglobin dan hematokrit menurun

  2. Jumlah eritrosit : Menurun (A /aplastik), menurun berat MCV (mean corpuskuler volum) dan MCH (mean corpuskuler hemoglobin) menurun dan mikrositik dengan eritrosit hipokromik (DB/ defisiensi besi), peningkatan (AP) pansitopenia (aplastik).

  3. Jumlah retikulosit : Bervariasi misal menurun (AP) meningkat (respon sumsum tulang terkadang kehilangan darah (hemolisis).

  4. Pewarnaan SDM : Mendeteksi perubahan warna dan bentuk (dapat mengidentifikasi tipe khusus anemia).

  5. LED : Peningkatan kerusakan SDM atau penyakit malignasi.

  6. Masa hidup SDM : Berguna dalam membedakan diagnosa anemia, misal : pada tipe anemia tertentu, SDM mempunyai waktu hidup lebih pendek,

  7. Tes perapuhan eritrosit : Menurun (DB).

  8. SDP : Jumlah sel total sama dengan SDM (diferensial) mungkin meningkat (hemolitik) atau menurun (aplastik).

  9. Jumlah trombosit : Menurun (aplastik), meningkat (DB) normal atau tinggi (hemolitik) 10. Hemoglobin elektroforesis : Mengidentifikasi tipe struktur Hb.

  11. Bilirubin serum (tak terkonjugasi) : Meningkat (AP Hemolitik)

  12. Folat serum dan vitamin B

  12 : Membantu mendiagnosa anemia sehubungan dengan diferensi masukan/absorbsi.

  13. Besi serum : Tak ada (DB), tinggi (hemolitik).

  14. TIBC serum : Meningkat (DB).

  15. Feritin serum : Menurun (DB).

  16. Masa perdarahan : Memanjang (aplastik).

  17. LDH serum : Mungkin meningkat (AP).

  18. Tes schilling : Penurunan ekskresi vitamin B 12 urine (AP).

  19. Gualak : Mungkin positif untuk darah pada urine, feses, dan isi gaster, menunjukan perdarahan akut/kronis (DB).

  20. Analisa gaster : Penurunan sekresi dengan peningkatan pH dan tak adanya asam hidroklorik bebas (AP)

  21. Aspirasi sumsum tulang/pemeriksaan biopsi : Sel mungkin tampak berubah dalam jumlah ukuran dan bentuk membentuk membedakan tipe anemia, misalnya : peningkatan megaloblas (AP) lemak sumsum dengan penurunan sel darah (Aplastik).

  22. Pemeriksaan endoskopik dan radiografik : Memeriksa sisi perdarahan (perdarahan GI).

  Sedangkan pemeriksaan penunjang menurut Soeparman (2001) di dasarkan pada jenis anemia, yaitu : a. Anemia aplastik

  Pemeriksaan laboratorium : 1) Sel darah merah

  2) Laju endapan darah 3) Sumsum tulang

  b. Anemia hemolitik Pemeriksaan laboratorium 1) Peningkatan jumlah retikulasi 2) Peningkatan kerapuhan sel darah merah 3) Pemendekan masa hidup eritrosit 4) Peningkatan bilirubin

  c. Anemia megaloblastik 1) Anemia absorbsi vitamin B

  12

  2) Endoscopi

  d. Anemia defisiensi zat besi 1) Morfologi sel darah merah 2) Jumlah besi dalam serum dan ferritin dalam serum berkurang

G. Penatalaksanaan

1. Penatalaksanaan medis

  a. Anemia Mikrositik Hipokrom 1). Anemia Defisiensi Besi

  Mengatasi penyebab pendarahan kronik, misalnya pada ankilostomiasis diberikan antelmintik yang sesuai.

  Pemberian preparat Fe :

  a) Fero sulfat 3 x 3,25 mg secara oral dalam keadaan perut kosong, dapat dimulai dengan dosis yang rendah dan dinaikkan bertahap pada pasien yang tidak kuat dapat diberikan bersama makanan.

  b) Fero Glukonat 3 x 200 mg secara oral sehabis makan. Bila terdapat intoleransi terhadap pemberian preparat Fe oral atau gangguan pencernaan sehingga tidak dapat diberikan oral, dapat diberikan secara parenteral dengan dosis 250 mg Fe (3 mg/kg BB). Untuk tiap gram % penurun kadar Hb di bawah normal.

  c) Iron Dextran mengandung Fe 50 mg/l, diberikan secara intra muskular mula-mula 50 mg, kemudian 100-250 mg tiap 1-2 hari sampai dosis total sesuai perhitungan dapat pula diberikan intravena, mula-mula 0,5 ml sebagai dosis percobaan. Bila dalam 3-5 menit menimbulkan reaksi boleh diberikan 250-500 mg.

  2) Anemia Penyakit Kronik Terapi terutama ditunjukkan pada penyakit dasarnya. Pada anemia yang mengancam nyawa, dapat diberikan transfusi darah merah seperlunya. Pengobatan dengan suplementasi besi tidak diindikasikan kecuali untuk mengatasi anemia pada artritis rheumatoid. Pemberian kobalt dan eritropoetin dikatakan dapat memperbaiki anemia pada penyakit kronik.

  b. Anemia Makrositik 1) Defisiensi Vitamin B

  12 /Pernisiosa

  Pemberian Vitamin B 12 1000 mg/hari IM selama 5-7 hari 1 x/bulan. 2) Defisiensi asam folat

  Meliputi pengobatan terhadap penyebabnya dan dapat dilakukan pula dengan pemberian/suplementasi asam folat oral 1 mg/hari.

  c. Anemia karena Perdarahan 1) Perdarahan Akut

  a) Mengatasi perdarahan

  b) Mengatasi renjatan dengan transfusi darah atau pemberian cairan perinfus 2) Perdarahan Kronik

  a) Mengobati sebab perdarahan

  b) Pemberian preparat Fe d. Anemia Hemolitik Penatalaksanaan anemia hemolitik disesuaikan dengan penyebabnya. Bila karena reaksi toksik imunologik yang dapat diberikan adalah kortikosteroid (prednison, prednisolon), kalau perlu dilakukan splenektomi apabila keduanya tidak berhasil dapat diberikan obat-obat glostatik, seperti klorobusil dan siklophosfamit.

  e. Anemia Aplastik Tujuan utama terapi adalah pengobatan yang disesuaikan dengan etiologi dari anemianya.

  Berbagai teknik pengobatan dapat dilakukanm seperti : 1) Transfusi darah, sebaiknya diberikan packed red cell. Bila diperlukan trombosit, berikan darah segar/platelet concencrate.

  2) Atasi komplikasi (infeksi) dengan antibiotik, dan higiene yang baik perlu untuk mencegah timbulnya infeksi. 3) Kortikosteroid dosis rendah mungkin bermanfaat pada perdarahan akibat trombositopenia berat.

  4) Androgen, seperti pluokrimesteron, testosteron, metandrostenolon dan nondrolon. Efek samping yang mungkin terjadi virilisasi, retensi air dan garam, perubahan hati dan amenore. 5) Imunosupresif, seperti siklosporin, globulin antitimosit. Champlin dkk menyarankan penggunaannya pada pasien lebih dari 40 tahun yang tidak dapat menjalani transplantasi sumsum tulang dan pada pasien yang telah mendapat transfusi berulang. 6) Transplantasi sumsum tulang.

  31 Asuhan Keperawatan pada..., Karsinah, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2010

  b. Fokus intervensi keperawatan

  1. Perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan sel darah merah yang diperlukan untuk pengiriman oksigen/nutrien ke sel.

  (Doengoes, 2000). Tujuan : Menunjukan perfusi jaringan perifer adekuat Kriteria hasil : - Tanda vital stabil

  • Membran mukosa warna merah muda
  • Pengisian kapiler baik
  • Haluran urine baik Intervensi :

  a) Awasi tanda-tanda vital, kaji pengisian kapiler, warna kulit, membran mukosa dan dasar kuku.

  Rasional : Memberikan informasi tentang derajat/keadekuatan perfusi jaringan dan membantu menentukan kebutuhan intervensi.

  b) Tinggikan kepala tempat tidur sesuai toleransi.

  Rasional : Meningkatkan ekspansi paru dan memaksimalkan oksigenasi untuk kebutuhan seluler.

  c) Awasi upaya pernafasan dengan auskultasi bunyi nafas dan selidiki keluhan nyeri dada, palpitasi.

  Rasional : Dispnea, gemericik menunjukan GJK karena regangan jantung lama/peningkatan kompensasi curah jantung. d) Kaji untuk respon melambat, mudah terangsang, agitasi, bingung gangguan memori.

  Rasional : Dapat mengidentifikasi gangguan fungsi serebral karena hipoksia atau defisiensi vitamina B12.

  e) Catat keluhan rasa dingin, pertahankan suhu lingkungan dan tubuh hangat sesuai indikasi.

  Rasional : vasokontriksi (ke organ vital) menurunkan sirkulasi perifer.

  f) Kolaborasi : 1) Awasi pemeriksaan laboratorium, misal Hb/Ht.

  Rasional : Mengidentifikasi defisiensi dan kebutuhan pengobatan/respons terhadap nyeri.

  2) Berikan SDM darah lengkap/packed, produk darah sesuai indikasi, awasi ketat untuk komplikasi tranfusi.

  Rasional : Meningkatkan sel pembawa oksigen, memperbaiki defisiensi untuk menurunkan risiko perdarahan.

  3) Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi.

  Rasional : Memaksimalkan transpor oksigen ke jaringan.

  2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen (pengirim) dan kebutuhan (Doengoes, 2000).

  Tujuan gangguan intoleransi aktifitas dapat berkurang/hilang KH : - Melaporkan peningkatan toleransi aktifitas

  • Pemahaman tentang pembatasan terapeutik yang diperlukan
  • Menunjukkan penurunan tanda fisiologis intoleransi : misal TTV dalam batas normal.

  Intervensi :

  a. Kaji kemampuan pasien untuk melakukan tugas/aktifitas (catat laporan kelelahan/gangguan keseimbangan gaya berjalan kelemahan otot).

  Rasional : Mempengaruhi pilihan intervensi/bantuan.

  b. Kaji kehilangan/gangguan keseimbangan gaya jalan, kelemahan otot.

  Rasional : Menunjukan perubahan neurologi karena defisiensi vitamin B

  12 .

  c. Awasi TTV selama dan sesudah aktifitas.

  Rasional : Manifestasi kardiopulmonal dari upaya jantung dan paru untuk membawa jumlah oksigen adekuat ke jaringan.

  d. Ubah posisi pasien dengan perlahan dan pantau terhadap pusing.

  Rasional : Hipotensi postural atau hipoksia serebral dapat menyebabkan pusing, berdenyut, dan peningkatan resiko cedera.

  e. Berikan lingkungan tenang, pertahankan tirah baring bila diindikasikan, batasi pengunjung.

  Rasional : Meningkatkan istirahat untuk menurunkan kebutuhan oksigen tubuh dan menurunkan regangan jantung dan paru. f. Anjurkan pasien untuk menghentikan aktivitas bila nyeri dada, nafas pendek, kelemahan, atau pusing terjadi.

  Rasional : Regangan atau stres kardiopulmonal berlebihan/stres dapat menimbulkan dekompensasi/kegagalan.

  3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kegagalan untuk mencerna/absorbsi nutrien yang diperlukan untuk pembentukan SDM normal (Doengoes, 2000). Tujuan : Gangguan nutrisi dapat berkurang/hilang KH : - Tidak mengalami tanda malnutisi

  • Menunjukan perilaku perubahan pola hidup untuk meningkatkan dan atau mempertahankan berat badan yang sesuai berat badan ideal.
  • BB meningkat. Intervensi : a) Kaji riwayat nutrisi termasuk makanan yang disukai.

  Rasional : Mengidentifikasi defisiensi, menduga kemungkinan intervensi.

  b) Timbang berat badan tiap hari.

  Rasional : Mengawasi penurunan berat badan atau efektivitas intervensi sendiri.

  c) Berikan makanan sedikit dan frekuensi sering/makan di antara waktu makan.

  Rasional : Makan sedikit dapat menurunkan kelemahan dan meningkatkan pemasukan juga mencegah distensi gaster.

  d) Observasi dan catat kejadian mual/muntah dan gejala lain yang berhubungan.

  Rasional : gejala GI dapat menunjukan efek anemia (hipoksia) pada organ e) Berikan dan bantu higiene mulut sesudah dan sebelum makan.

  Rasional : Meningkatkan nafsu makan dan pemasukan oral, menurunkan pertumbuhan bakteri.

  f) Pantau pemeriksaan laboratorium Hb/Ht , BUN, albumin, protein, transferin, besi serum.

  Rasional : Meningkatkan efektifitas program pengobatan termasuk sumber diet nutrisi yang dibutuhkan.

  4. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan gangguan mobilitas, perubahan sirkulasi dan neurologis, devisit nutrisi (Doengoes, 2000).

  Tujuan : Gangguan integritas kulit teratasi KH : - Dapat mempertahankan integritas kulit

  • Mengidentifikasikan faktor resiko/perilaku untuk mencegah udara edema

  Intervensi :

  a) Kaji integral kulit, catat pada perubahan turgor gangguan warna kulit, hangat, lokal eritema, ekskorlasi, dan imobilisasi jaringan dapat menjadi rapuh dan cenderung untuk infeksi.

  Rasional : Kondisi kulit dipengaruhi oleh sirkulasi nutrisi dan imobilisasi.

  b) Ubah posisi secara periodik dan pijat permukaan tulang bila pasien tidak bergerak atau ditempat tidur.

  Rasional : Meningkatkan sirkulasi kesemua aliran kulit, membatasi iskemia jaringan/mempengaruhi hipoksia seluler.

  c) Anjurkan permukaan kulit kering dan batasi penggunaan sabun Rasional : Untuk mencegah iritasi d) Bantu untuk latihan rentang gerak pasif/aktif.

  Rasional : Meningkarkan sirkulasi jaringan, mencegah stasis.

  5. Konstipasi berhubungan dengan penurunan masukan diit, perubahan proses pencernaan, efek samping terapi obat (Doengoes, 2000).

  Tujuan : Konstipasi dapat teratasi Kriteria hasil : - Menunjukkan pola BAB normal

  • Menunjukkan pola hidup yang berubah yang diperlukan sebagai penyebab/faktor pemberat.

  Intervensi : a) Observasi warna feses, konsistensi, frekuensi dan jumlah.

  Rasional : Membantu mengidentifikasi penyebaran/faktor pemberat danintervensi yang tepat.

  b) Auskultasi bunyi usus Rasional : Bunyi usus secara umum meningkat pada diare dan menurun pada konstipasi. c) Awasi masukan dan haluran dengan perhatian khusus pada makanan/cairan.

  Rasional : Dapat mengidentifikasi dehidrasi.

  d) Hindarkan makanan yang mengandung gas.

  Rasional : Menurunkan distres gastrik dan distensi abdomen.

  e) Anjurkan makanan-makanan yang berserat.

  Rasional : Memperlancar proses pencernaan.

  f) Berikan pelembek feses, stimulan ringan, atau enema sesuai indikasi, pantau keefektifan.

  Rasional : Mempermudah defekasi bila konstipasi terjadi.

  g) Berikan obat antidiare.

  Rasional : Menurunkan motilitas usus bila diare terjadi.

  6. Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan pertahanan skunder tifak adekuat, misal : penurunan hemoglobin leukopenia, atau penurunan granulosit (respon inflamasi tertekan) (Doengoes, 2000). Tujuan : Tidak terjadi infeksi Kriteria hasil : - Dapat mengidentifikasi prilaku untuk mencegah

  • Menurunkan resiko infeksi
  • Meningkatkan penyembuhan luka, bebas drainase purulent atau eritema dan demam.

  Intervensi :

  a) Tingkatkan cuci tangan yang baik oleh pemberian perawatan dan pasien.

  Rasional : Mencegah kontaminasi silang/kolonisasi bakterial. b) Pertahankan teknik aseptik ketat pada prosedur/perawatan luka.

  Rasional : Menurunkan risiko kolonosasi/infeksi bakteri.

  c) Dorong perubahan posisi/ambulasi yang sering, latihan batuk dan nafas dalam.

  Rasional : Meningkatkan ventilasi semua segmen paru dan membantu memobilisasi sekresi untuk mencegah pneumonia.

  d) Tingkatkan masukan cairan adekuat.

  Rasional : Membantu dalam pengenceran sekret pernapasan unruk mempermudah pengeluaran dan mencegah stasis cairan tubuh.

  e) Pantau/batasi pengunjung.

  Rasional : Membatasi pemajanan pada bakteri/infeksi.

  f) Pantau suhu, catat adanya menggigil dan takikardi dengan atau tanpa demam.

  Rasional : Adanya proses inflamasi/infeksi membutuhkan evaluasi/pengobatan.

  g) Berikan antibiotik sesuai indikasi.

  Rasional : Digunakan secara propilaktik untuk menurunkan kolonisasi atau untuk pengobatan proses infeksi lokal.

  7. Kurang pengetahuan tentang kondisi prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan tidak mengenal sumber informasi (Doengoes, 2000).

  Tujuan : Kurang pengetahuan dapat teratasi Kritesia hasil : - Menyatakan pemahaman terhadap proses penyakit

  • Tampak mengerti Intervensi : a) Beri informasi tentang anemia spesifik.

  Rasional : Memberikan dasar pengetahuan sehingga pasien dapat membuat pilihan yang tepat.

  b) Tinjau tujuan dan persiapan untuk pemeriksaan diagnostik.

  Rasional : Ansietas/takut tentang ketidaktahuan meningkatkan tingkat stres.

  c) Jelaskan bahwa darah diambil untuk pemeriksaan laboratorium tidak akan memperburuk anemia.

  Rasional : Ini sering merupakan kekhawatiran yang tidak diungkapkan yang dapat memperkuat ansietas pasien.

  d) Dorong untuk menghentikan merokok (jika merokok).

  Rasional : Menurunkan ketersediaan oksigen dan menyebabkan vasokontriksi.

  e) Instruksikan dan peragaan pemberian mandiri preparat besi oral.

  Rasional : Penggantiaan besi biasanya waktu.