PEMBANGUNAN PERTANIAN LAHAN KERING BERKELANJUTAN

This page was exported from - Karya Tulis Ilmiah
Export date: Sat Sep 2 19:44:41 2017 / +0000 GMT

PEMBANGUNAN PERTANIAN LAHAN KERING BERKELANJUTAN
Usahatani Lahan KeringIndonesia mempunyai asset nasional berupa pertanian lahan kering sekitar 111,4 juta ha atau 58,5% dari
luas seluruh daratan (Notohadiprawiro, 1989). Pertanian lahan kering mempunyai kondisi fisik dan potensi lahan sangat beragam
dengan kondisi sosial ekonomi petani umumnya kurang mampu dengan sumberdaya lahan pertanian terbatas. Selanjutnya Sudharto
et al. (1995 dalam Syam et al. 1996) mengemukakan bahwa lahan kering merupakan sumberdaya pertanian terbesar ditinjau dari
segi luasnya, namun profil usahatani pada agroekosistem ini sebahagian masih diwarnai oleh rendahnya produksi yang berkaitan erat
dengan rendahnya produktivitas lahan. Di beberapa daerah telah terjadi degradasi lahan karena kurang cermatnya pengelolaan
konvensional dan menyebabkan petani tidak mampu meningkatkan pendapatannya. Berdasarkan kendala-kendala tersebut, maka
untuk menjamin produksi pertanian yang cukup tinggi secara berkelanjutan diperlukan suatu konsep yang aktual dan perencanaan
yang tepat untuk memanfaatkan sumberdaya lahan khususnya lahan kering. Pengembangan pertanian lahan kering di daerah hulu
DAS, saat ini mendapat perhatian yang cukup serius. Besarnya perhatian ini tidak hanya menyangkut keberlanjutan usahatani di
daerah tersebut tetapi juga dampak hidrologisnya di daerah hilir, terutama pula adanya ketidak seimbangan pembangunan dan
invenstasi antara lahan kering di daerah hulu dan di daerah hilir.Usahatani lahan kering, dalam keadaan alamiah memiliki berbagai
kondisi yang menghambat pengembangannya antara lain; keterbatasan air, kesusburan tanah yang rendah, peka terhadap erosi,
topografi bergelombang sampai berbukit, produktivitas lahan rendah, dan ketersediaan sarana yang kurang memadai serta sulit
dalam memasarkan hasil (Haridjaja, 1990). Oleh karena itu, Sinukaban (1995) menegaskan bahwa di dalam pengelolaan lahan
tersebut hendaknya mencakup lima unsur yaitu : (1) perencanaan penggunaan lahan sesuai dengan kemampuannya, (2)
tindakan-tindakan khusus konservasi tanah dan air, (3) menyiapkan tanah dalam keadaan olah yang baik, dan (5) menyediakan unsur

hara yang cukup dan seimbang bagi tumbuhan.
Pertanian Berkelanjutan
Pertanian
berkelanjutan adalah pertanian yang dirancang secara sistematis menggunakan akal sehat dan usaha keras yang berkesinambungan
sehingga pertanian itu sangat poduktif secara terus menerus, merupakan habitat tenaga kerja yang baik untuk jumlah yang besar dan
meupakan suatu usaha yang menguntungkan. Dengan demikian, pertanian semacam ini akan menghasilkan produksi pertanian yang
cukup tinggi dan memberikan penghasilan yang layak bagi petani secara berkelanjutan, sehingga mereka dapat merancang masa
depannya sendiri. Disamping itu, juga harus menghasilkan spektrum produksi yang luas sehingga dapat menyediakan bahan baku
berbagai agroindustri dan produk-produk eksport secara lestari. Selanjutnya akan mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah
besar dengan pendapatan yang cukup tinggi, dengan demikian daerah pertanian ini akan menjadi penyerap hasil-hasil industri
(Sinukaban, 1995).
Produksi pertanian yang cukup tinggi dapat dipertahankan secara terus menerus apabila erosi lebih kecil
dari erosi yang dapat ditoleransikan. Hal ini dapat dicapai, jika petani menerapkan sistem pertanian dan pengelolaannya sesuai
dengan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air. Dengan demikian diperlukan penerapan teknologi berupa penerapan sistem
usahatani konservasi untuk membangun pertanian menjadi industri yang lestari berdasarkan pengembangan sistem pengelolaan
lahan dan tanaman yang ekonomis dalam jangka pendek dan dapat mempertahankan produktivitas lahan yang cukup tinggi dalam
waktu yang tidak terbatas. Untuk itu menurut Sinukaban (1995), dalam sistem usahatani konservasi akan diwujudkan ciri-ciri
sebagai berikut :·
Produksi usahatani cukup tinggi sehingga petani tetap bergairah melanjutkan usahanya·
Pendapatan

petani yang cukup tinggi sehingga petani dapat mendisain masa depan keluarganya dari pendapatan usahataninya.·
Teknologi
yang diterapkan baik teknologi produksi maupun teknologi konservasi dapat diterima dengan senang hati dan diterapkan sesuai
kemampuan petani sendiri sehingga sistem usahatani tersebut dapat diteruskan tanpa intervensi dari luar.·
Komoditi yang
diusahakan cukup beragam, sesuai kondisi biofisik, sosial dan ekonomi ·
Erosi lebih kecil dari erosi yang dapat ditoleransikan
sehingga produksi yang tinggi tetap dapat dipertahankan atau ditingkatkan dengan fungsi hidrologis tetap terpelihara dengan baik.·
Sistem penguasaan/pemilikan lahan dapat menjamin keamanan investasi jangka panjang dan menggairahkan petani untuk tetap
berusahatani.
Perencanaan penggunaan lahan pada dasarnya adalah inventarisasi dan penilaian keadaan, potensi sumberdaya
dan faktor-faktor pembatas dari suatu daerah. Dengan permasalahan yang lebih kompleks di dalam sistem usahatani lahan kering
maka teknologi yang diperlukan tidak dapat diperlakukan sama pada semua tempat, melainkan dibutuhkan pendekatan yang lebih
terencana sesuai kondisi biofisik dan sosial ekonomi setempat. Aspek teknologi yang perlu dipertimbangkan adalah teknologi
konservasi tanah dan air (ketersediaan teknologi dan tingkat adopsi) serta teknologi pemantauan kegiatan pengelolaan lahan
termasuk pengawasan terhadap perubahan penggunaan lahan. Mengingat fungsi lahan yang demikian penting, maka berbagai upaya
dilakukan agar penggunaan lahan sesuai dengan kemampuannya. Kemampuan lahan untuk mendukung pertumbuhan tanaman atau
menghasilkan barang/jasa dapat menurun akibat kerusakan tanah oleh berbagai proses antara lain : kehilangan unsur hara dan bahan
organik dari daerah perakaran, proses salinisasi, terakumulasi unsur atau senyawa yang beracun bagi tanaman, penjenuhan tanah
oleh air, dan erosi. Oleh karena itu dalam pengelolaan pertanian lahan kering agar diperoleh produksi yang tinggi dan berkelanjutan


Output as PDF file has been powered by [ Universal Post Manager ] plugin from www.ProfProjects.com

| Page 1/3 |

This page was exported from - Karya Tulis Ilmiah
Export date: Sat Sep 2 19:44:42 2017 / +0000 GMT

maka perlu dilakukan langkah-langkah perencanaan sebagai berikut : (1) Mengkaji kemampuan lahan di wilayah DAS melalui
studi klasifikasi kemampuan lahan; (2) Melakukan prediksi erosi, (3) Melakukan analisis kelembagaan sosial ekonomi dan (4)
Melakukan evaluasi penggunaan lahan.Klasifikasi Kemampuan Lahan
Klasifikasi kemampuan lahan adalah suatu cara
penilaian lahan (komponen-komponen lahan) secara sistematik dan mengelompokkan ke dalam beberapa kategori berdasarkan
sifat-sifat potensi dan penghambat dalam penggunaannya secara lestari (Arsyad, 1989).
Sistem klasifikasi kemampuan lahan
(land capability) yang dikembangkan oleh USDA (Klingebiel & Montgomery, 1973) sampai saat ini masih digunakan di banyak
negara. Dalam sistem ini dikenal tiga kategori klasifikasi yaitu: kelas, subkelas, dan unit pengelolaan. Penggolongan ke dalam tiga
kategori tersebut berdasarkan atas kemampuan lahan untuk produksi pertanian secara umum tanpa menimbulkan kerusakan dalam
jangka panjang. Pada tingkat kelas kemampuan lahan menunjukkan kesamaan besarnya faktor-faktor penghambat. Tanah
dikelompokkan ke dalam kelas I - VIII, dimana semakin tinggi kelasnya berarti resiko kerusakan dan besarnya faktor penghambat

bertambah besar. Tanah kelas I - IV merupakan lahan yang sesuai untuk usaha pertanian, dan kelas V ? VIII tidak sesuai untuk
usaha pertanian atau diperlukan biaya yang sangat tinggi untuk pengelolaannya. Faktor-faktor yang digunakan dalam kriteria
klasifikasi meliputi : tekstur (t), lereng permukaan (l), drainase (d), kedalaman efektif (k), keadaan erosi (e), kerikil/batuan dan
bahaya banjir (b). Kriteria intensitas faktor-faktor tersebut disajikan pada tabel berikut : Tabel 1. Kriteria Klasifikasi Kemampuan
Lahan

Sumber : Arsyad (1989)Keterangan : (*)= Dapat mempunyai sebarang sifat faktor penghambat(**) = Tidak berlaku(***) =
Umumnya terdapat di daerah miring beriklim panasPrediksi Erosi
Di daerah beriklim basah seperti Indonesia, kerusakan lahan
oleh erosi terutama disebabkan oleh hanyutnya tanah terbawa oleh air hujan. Erosi oleh air sangat membahayakan tanah-tanah
pertanian, terutama di daerah yang berkemiringan terjal. Selain iklim dan kemiringan lahan (topografi), besarnya erosi dipengaruhi
pula oleh faktor-faktor vegetasi, pengolahan tanah dan manusia. Faktor-faktor yang mempengaruhi erosi tersebut dapat dinyatakan
suatu persamaan deskriptif (Arsyad, 1989) sebagai berikut :
E = f (C, T, V, S, H)Dimana C = climate, T =
topografi, V = vegetation, S = soil, H = human
Di antara kelima faktor di atas, faktor manusia paling menentukan apakah
tanah yang diusahakan akan rusak dan tidak produktif atau menjadi baik dan produktif secara lestari. Dalam kaitannya dengan
kegiatan pertanian yang berkelanjutan, maka erosi yang terjadi perlu dikendalikan sampai suatu tingkat yang lebih rendah dari pada
erosi yang dapat ditoleransikan (tolerable erosion). Dengan demikian akan tercipta suatu keadaan tanah yang mampu memelihara
pertumbuhan tanaman dengan produktivitas yang tinggi secaa lestari (Wischmeier dan Smith, 1978). Secara umum ada 3 cara yang

dapat digunakan untuk menetapkan nilai tolerable erosion suatu lahan, yaitu : (1) Metode Hammer (1981), yang menggunakan
konsep kedalaman ekivalen (equivalent depth) dan umur guna tanah (resources life); (2) Metode Thompson (1957, dalam Arsyad,
1989) yang menggunakan nilai dari pengkajian berbagai sifat dan stratum tanah; (3) Pedoman nilai tolerable erosion yang dibuat
oleh Arsyad khusus tanah-tanah di Indonesia yang didasarkan pada kriteria sifat dan stratum tanah. Kelembagaan Sosial Ekonomi

Output as PDF file has been powered by [ Universal Post Manager ] plugin from www.ProfProjects.com

| Page 2/3 |

This page was exported from - Karya Tulis Ilmiah
Export date: Sat Sep 2 19:44:42 2017 / +0000 GMT

Secara ringkas permasalahan utama dalam pengelolaan DAS dan konservasi tanah berkaitan dengan masalah kelembagaan
berupa : (1) perbedaan sistem nilai (value) masyarakat berkenaan dengan kelangkaan sumberdaya, sehingga penanganan persoalan
di Jawa berbeda dengan di luar Jawa, (2) orientasi ekonomi yang kuat tidak diimbangi komitmen terhadap perlindungan fungsi
lingkungan yang berimplikasi pada munculnya persoalan dalam implementasi tata ruang, (3) persoalan laten berkaitan dengan
masalah agraria dan (4) kekosongan lembaga/instansi pengontrol pelaksanaan program. Menurut Asdak, (1999), dalam keterkaitan
biofisik wilayah hulu-hilir suatu DAS, hal-hal tersebut di bawah ini perlu menjadi perhatian : - Kelembagaan yang efektif
seharusnya mampu merefleksikan keterkaitan lingkungan biofisik dan sosek dimana lembaga tersebut beroperasi. Apabila aktivitas
pengelolaan di bagian hulu DAS akan menimbulkan dampak yang nyata pada lingkungan biofisik dan/atau sosek di bagian hilir dari

DAS yang sama, maka perlu adanya desentralisasi pengelolaan DAS yang melibatkan bagian hulu dan hilir sebagai satu kesatuan
perencanaan dan pengelolaan.- Externalities, adalah dampak (positif/negatif) suatu aktivitas/program dan/atau kebijakan yang
dialami/dirasakan di luar daerah dimana program/kebijakan dilaksanakan. Dampak tersebut seringkali tidak terinternalisir dalam
perencanaan kegiatan. Dapat dikemukakan bahwa negative externalities dapat mengganggu tercapainya keberlanjutan pengelolaan
DAS bagi : (1) mayarakat di luar wilayah kegiatan (spatial externalities), (2) masyarakat yang tinggal pada periode waktu tertentu
setelah kegiatan berakhir (temporal externalities ), dan (3) kepentingan berbagai sektor ekonomi yang berada di luar lokasi kegiatan
(sectoral externalities). - Menyadari adanya hal yang bersifat ?externalities? tersebut maka pengelolaan sumberdaya alam dapat
dikatakan baik apabila keseluruhan biaya dan keuntungan yang timbul oleh adanya kegiatan pengelolaan tersebut dapat ditanggung
secara proporsional oleh para aktor (organisasi pemerintah, kelompok masyarakat atau perorangan) yang melaksanakan kegiatan
pengelolaan sumberdaya alam (DAS) dan para aktor yang akan mendapatkan keuntungan dari adanya kegiatan tersebut.
Peran strategis DAS sebagai unit perencanaan dan pengelolaan sumberdaya semakin nyata pada saat DAS tidak dapat berfungsi
optimal sebagai media pengatur tata air dan penjamin kualitas air yang dicerminkan dengan terjadinya banjir, kekeringan dan tingkat
sedimentasi yang tinggi. Dalam prosesnya, maka kejadian-kejaadian tersebut merupakan fenomena yang timbul sebagai akibat dari
terganggunya fungsi DAS sebagai satu kesatuan sistem hidrologi yang melibatkan kompleksitas proses yang berlaku pada DAS.
Salah satu indikator dominan yang menyebabkan terganggunya fungsi hidrologi DAS adalah terbentuknya lahan kritis. Dari hasil
inventarisasi lahan kritis menunjukkan bahwa terdapat + 14,4 juta Ha di luar kawasan hutan dan + 8,3 juta Ha di dalam kawasan
hutan (Pasaribu, 1999).

Output as PDF file has been powered by [ Universal Post Manager ] plugin from www.ProfProjects.com


| Page 3/3 |