Pembangunan Manusia | Karya Tulis Ilmiah

Pembangunan Manusia
Oleh: Marnia Nes
Manusia Sejati
Apa dan siapa yang disebut dengan manusia?. Apa perbedaan yang paling hakiki antara
manusia dengan hewan?. Tidak seperti hewan manusia mempunyai akal sehat, hati
nurani dan pilihan bebas. Manusia bukan semata – mata makhluk intelektual yang hanya
menggunakan akalnya saja, bukan juga hanya sekedar jasmaniah semata, bukan hanya
memiliki hati nurani atau jiwa saja. Manusia merupakan perpaduan yang harmonis antara
akal sehat, hati nurani, jasmani dan jiwa sehingga dalam menjalankan dan menemukan
kemanusiaannya bisa bersikap, berbuat, berperilaku berdasarkan pilihannya yang
berpangkal pada hati nurani dan akal sehat. Berbeda dengan binatang yang tidak punya
pilihan bebas dan hati nurani , sehingga apa yang dia lakukan digerakan hanya oleh
insting. Manusia bukan hanya sebagai makhluk biologis, tetapi juga makhluk yang bisa
berfikir, merasa dan mengerti akan makna hidup.
Nurani pada dasarnya adalah seperangkat nilai yang merupakan hukum moral di dalam
diri manusia mengenai benar dan salah, mengenai apa yang baik dan buruk, apa yang
mendukung dan mengganggu, yang bermanfaat dan merusak, kejujuran dan keadilan
dimana perangkat nilai ini merupakan nilai – nilai yang universal bagi semua manusia di
seluruh penjuru dunia. Kebenaran itu melekat dalam pemikiran, perkataan dan
perbuatan.
Orang yang menggunakan nuraninya, adalah orang – orang yang mengerti maknanya

berkorban, keikhlasan, persahabatan, kesetiaan, kepedulian, kejujuran, keadilan, tidak
sewenang – wenang terhadap orang lain dan nilai – nilai positif lainnya. Golongan
manusia seperti ini sanggup menantang maut demi kepentingan manusia lain dan
memelihara lingkungan sehingga hidupnya bermanfaat bagi keberlangsungan umat
manusia. Nilai – nilai kebenaranlah yang menjadi kontrol perilaku mereka bukan
pendapat lingkungan yang kadang – kadang memanipulasi kebenaran yang
sesungguhnya. Manusia seperti inilah yang sudah bisa menemukan ”makna hidup” ( the
meaning of life) sebagai manusia sejati.
Jika manusia mengunakan nurani – nilai nilai kebenaran - sebagai kontrol perilakunya,
maka akan memberi ruang – ruang kepada manusia lainnya untuk mempunyai akses
yang setara terhadap berbagai sumberdaya bagi kehidupan yang lebih sejahtera;
memberi ruang kepada pihak lain untuk ikut mengambil keputusan bagi kehidupannya;
membantu pihak lain untuk keluar dari kesulitan hidup; bertindak adil apabila dia
menjadi pemimpin, tidak melakukan manipulasi dan korupsi dan sebagainya.Apabila ini
terjadi dalam proses – proses pembangunan iklim yang kondusif untuk partisipasi,
demokrasi, transparansi akan terjadi dan tidak akan ada kelompok minoritas yang
menindas dan kelompok mayoritas yang tertindas, sehingga tidak akan terjadi
dehumanisasi.

Dehumanisasi; Sistem dan Struktur Sosial

Pada kenyataannya sekarang, proses – proses dehumanisasi (pengingkaran terhadap jati
diri manusia) masih terus berlangsung baik pada komunitas yang paling kecil sampai
kepada komunitas yang lebih besar seperti dominasi dari negara – negara adikuasa
terhadap negara – negara dunia ketiga. Hal ini terjadi karena manusia berada dalam
sistem dan struktur sosial yang saat ini masih menguntungkan pihak – pihak tertentu
yang mempunyai kepentingan bagi dirinya dan golongannya sehingga terjadi
eksploitasi kelas, dominasi gender maupun karena hegemoni dan dominasi budaya
lainnya. Sistem dan struktur yang ada memunculkan dan melanggengkan ketidakadilan
bagi golongan – golongan yang tidak mempunyai kekuasaan dan akses terhadap
pengambilan keputusan.

Saat ini walaupun standar kehidupan, dalam artian materi yang dimiliki telah meningkat.
Tetapi kualitas kehidupan dalam arti hakikat manusia masih dipetanyakan.Asset dan
akses terhadap sumberdaya hanya dimiliki oleh kelompok tertentu saja sehingga
memunculkan ketimpangan dan ketidakadilan.
Menurut Paulo Freire, seorang aktivis dari Barzil,
sistem kehidupan sosial, politik,
ekonomi dan budaya membuat masyarakat mengalami proses ”dehumanisasi”. Freire
bertolak dari kehidupan nyata, bahwa di dunia ini sebagian besar manusia menderita
sedemikian rupa – sementara sebagian lainnya menikmati jerih payah orang lain dengan

cara – cara yang tidak adil. Dari segi jumlah kelompok yang menikmati ini merupakan
minoritas. Keadaan tersebut memperlihatkan kondisi yang tidak berimbang, tidak adil.
Persoalan itu yang disebut Freire sebagai ”penindasan”.
Bagi Freire kondisi ini apapun alasannya adalah tidak manusiawi , sesuatu yang
menafikan harkat kemanusiaan (dehumanisasi). Dehumanisasi bersifat mendua, dalam
pengertian terjadi atas diri mayoritas kaum tertindas dan juga atas diri minoritas kaum
penindas. Keduanya menyalahi kodrat manusia sejati. Mayoritas kaum tertindas menjadi
tidak manusiawi karena hak – hak asasi mereka dinistakan, karena mereka dibuat tidak
berdaya dan dibenamkan dalam ”kebudayaan bisu”. Minoritas kaum penindas menjadi
tidak manusiawi karena telah mendustai hakekat keberdaan dan hati nurani sendiri
dengan memaksakan penindasan bagi manusia sesamanya.
Manusia: Memberdayakan Manusia Sejati
Beberapa dekade ke belakang pembangunan berorientasi pada pembangunan ekonomi.
Perencanaan ekonomi ditujukan untuk menciptakan pertumbuhan dan meningkatan
standar kehidupan, dalam konteks ketersediaan barang dan jasa untuk keperluan
konsumsi. Hal ini merupakan karakter dominan dalam sistem negara kesejahteraan.
Pertanyaan penting untuk diajukan adalah : bagaimana dengan kesejahteraan manusia
dan masyarakat pada umumnya apabila dikaitkan dengan aspek non ekonomis?.
Apakah sudah terjadi pemberdayaan untuk meningkatkan kualitas hidup – baik untuk
individu maupun masyarakat secara keseluruhan – dalam konteks kebenaran, keadilan,

kasih sayang, dan kepedulian kepada sesama, toleransi, kerja sama, profesional dan
tanggung jawab sosial, semangat demokrasi serta nilai – nilai kemanusiaan lainnya?.
Barangkali,melalui refleksi sederhana akan tampak bahwa dibandingkan dengan
kemajuan hebat yang telah diraih manusia untuk mencapai kemakmuran materialnya,
ternyata tidak ada kemajuan yang berarti bagi martabat kualitas kehidupan manusia,
padahal kemajuan aspek tersebut sangat esensial bagi kebahagiaan dan kepuasan
manusia.
Mahatma Gandhi,pejuang keadilan dari India, berpendapat bahwa dalam kehidupan
manusia, pertumbuhan dan perkembangan aspek material dan non material harus
berjalan seimbang dan harmonis. Hanya pertumbuhan yang mencakup aspek spiritual
dan material inilah yang benar – benar bernilai bagi manusia. Kecenderungan atas
kemajuan material yang tidak terbatas dapat menjadi rintangan bagi pencapaian
kemajuan kemanusiaan. Pemenuhan kebutuhan material tanpa dibarengi dengan
peningkatan kualitas akal budi akan menimbulkan keserakahan, persaingan yang tidak
sehat, kesewenang – wenangan dari pihak – pihak yang dominan, ketidakadilan dan
sebagainya.
Pembangunan yang memberdayakan seharusnya pembangunan yang bisa memproduksi
kesadaran kritis agar setiap orang berdaya untuk menjadi manusia yang sejati, artinya
manusia yang merdeka yang membebaskan manusia dari proses – proses dehumanisasi.
Pemberdayaan dalam hal ini haruslah menumbuhkan kesadaran manusia untuk

mengamalkan nilai – nilai universal berupa sikap dan perilaku dalam mengatasi berbagai
persoalan manusia dalam segala aspeknya baik ekonomi, sosial maupun politik. Keadilan
harus menjadi pijakan bagi manusia yang berdaya, dan mendorong jauh – jauh keinginan
untuk kemanfaatan dunia yang hanya menguntungkan bagi dirinya sendiri.
Sebagai manusia yang merdeka, setiap manusia haruslah otonom artinya dia adalah
subjek bukan objek. Sebagai subjek setiap manusia berhak dan mempunyai kewenangan

untuk menentukan pemecahan masalah yang dihadapinya, mengelola program bagi
dirinya. Tidak ada satu pihakpun yang bisa mendominasi dan berhak untuk menentukan
nasib orang lain, sedangkan objeknya adalah realitas kehidupan yang harus dipecahkan
bersama. Akan tetapi pemenuhan hak harus seimbang dengan kemampuan untuk
menjalankan kewajiban sebagai manusia dalam menjalankan peran – peran dalam
hidupnya. Hak–hak setiap orang akan terpenuhi apabila orang – orang di sekitarnya
menjalankan kewajibannya. Kewajiban manusia yang paling mendasar adalah melayani
kelompok lainnya; pemerintah harus melayani rakyatnya; orangtua melayani anaknya
dan sebaliknya; guru melayani muridnya; dokter malayani pasiennya dan seterusnya.
Ekonomi harus diperuntukkan bagi kesejahteraan manusia, dan kesejahteraan manusia
mustahil terwujud tanpa kepedulian yang mendalam terhadap kesejahteraan moralitas
manusia. Lebret seorang tokoh cendekiawan Perancis terkemuka mengatakan bahwa
Kita tidak mempercayai dan tidak bisa menerima pemisahan eknomi dari kemanusiaan

maupun pembangunan, karena hanya melalui perpaduan antara ekonomi dan
kemanusian lah peradaban itu bisa eksis. Apa yang paling penting bagi kita adalah
manusia, setiap manusia, setiap manusia beserta kelompoknya, dan mencakup
keseluruhan aspek kemanusiaannya. Lebih jauh Gandhi berpendapat bahwa dalam
tatanan masyarakat harus tercipta perpaduan yang harmonis antara kemajuan moral
dan material. Hanya dengan cara inilah masyarakat bisa mencapai kesejahteraan yang
sesungguhnya bagi setiap warganya dalam masyarakat sendiri secara keseluruhan.
Inilah yang dimaksud Gandhi dengan kesejahteraan integral.
Oleh karena itu dalam mengatasi berbagai persoalan politik, ekonomi dan sosial agar
tercapainya kesejahteraan diperlukan kepedulian dan semangat melayani dari semua
pihak. Melayani sebagai perwujudan dari penggunaan hati nurani untuk tercapainya
kebenaran. Dalam hal ini seringkali dibutuhkan kerelaan dan pengorbanan untuk
melawan kezaliman dan ketidakadilan. Kesediaan untuk menderita dan berkorban
sesungguhnya merupakan bagian dari perlawanan aktif dari kejahatan. Semangat
pengorbanan juga menjadi dasar bagi perjuangan demi melindungi harkat dan martabat
kemanusiaan.
Untuk itu pandangan hidup masyarakat terhadap diri mereka sendiri harus berubah agar
mempunyai kesadaran kritis dalam menjalankan peran–perannya sebagai manusia.
Freire menggolongkan kesadaran manusia menjadi tiga yaitu: (1) kesadaran magis
(magical consciousness), (2) kesadaran naif (naival consciousness) dan (3) kesadaran

kritis (critical consciousness).

Kesadaran Magis ( magical consciousness) , yaitu kesadaran masyarakat yang tidak
mampu mengetahui kaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya. Kesadaran lebih
melihat faktor di luar manusia (natural maupun supranatural) sebagai penyebab ketidak
berdayaan. Kelompok yang mempunyai kesadaran ini menganggap persoalan yang
terjadi dalam hidup termasuk kemiskinan terjadi secara alamiah karena nasib atau
dikarenakan faktor–faktor supranatural.
Kesadaran naif , keadaan yang diketegorikan dalam kesadaran ini adalah lebih melihat
”aspek manusia” menjadi akar penyebab masalah masyarakat. Dalam kesadaran ini
’masalah etika, kreativitas, dianggap sebagai penentu perubahan sosial. Jadi dalam
menganalisa mengapa suatu masyarakat miskin, bagi mereka disebabkan karena ’salah’
masyarakat sendiri, yakni mereka malas, tidak memiliki kewiraswastaan, atau tidak
memiliki budaya membangun.
Kesadaran kritis, kesadaran ini lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai
sumber masalah. Pendekatan struktural lebih menghindari ”menyalahkan korban” (orang
miskin) dan lebih menganalisa untuk secara kritis menyadari struktur dan sistem sosial,
politik, ekonomi dan budaya serta akibatnya pada keadaan masyarakat. Sedangkan
struktur dan sistem politik diciptakan oleh kelompok yang mempunyai kekuasaan dan
akses terhadap pengambilan keputusan.

Masyarakan harus bisa menganalisa secara kritis faktor–faktor yang menjadi penyebab
permasalahan yang terjadi pada dirinya serta menjalankan kewajiban dan haknya
sebagai manusia yang merdeka untuk menghilangkan ketidakadilan dan kesewenang wenangan. Oleh karena itu pembangunan kini beorientasi bukan hanya kepada

perkembangan ekonomi akan tetapi berkembang paradigma baru yang disebut dengan
'pembangunan yang berorientasi pada manusia' ( human centered development).
Manusia dilihat sebagai tujuan utama pembangunan. Pada awalnya paradigma ini
berangkat dengan menggunakan Indeks Kualitas Hidup (physical quality life index).
Indeks itu ditentukan melalui tiga parameter yaitu angka kematian bayi, angka harapan
hidup waktu lahir, dan angka melek huruf. Selanjutnya indikator itu berkembang hingga
muncul istilah baru yakni Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Paradigma baru itu
mempunyai fokus utama pada pengembangan manusia ( human growth), kemakmuran,
keadilan dan keberlanjutan (sustainability).
Dasar pemikiran paradigma ini mengacu kepada keseimbangan ekologi manusia dan
tujuan utamanya adalah aktualisasi optimal potensi manusia. Setiap manusia mesti
dikembangkan menjadi manusia yang berakhlak mulia dan berkualitas. Cita-cita
selanjutnya adalah mendorong setiap individu untuk membangun kesalehan pribadi
maupun sosial dan bercita-cita untuk menciptakan masyarakat madani yang mandiri,
beradab, maju dan bermartabat
Daftar Pustaka:



Francis Alapatti; Welfare ”In The Gandhian Economics and The Welfare State” ;
Pontificiam Universitatem, Roma 1983



Mansour Fakih, dkk; Pendidikan Popular Membangun Kesadaran Kritis; INSIST dan
Pact; 2001



Paulo Freire; Pedagogy of the Oppressed; CONTINUUM New York; 1990

Stephen R. Covey; 7 Kebiasaan Manusia Yang Sangat Effektif; Binarupa
Aksara