Dakwah dalam Masyarakat Majemuk
Dakwah dalam Masyarakat Majemuk
Oleh : Abd. Rohim Ghazali
Kerukunan antar-umat merupakan agenda nasional yang tak kunjung usai. Ini bisa
dipahami karena masa depan bangsa kita sedikit banyak tergantung pada sejauh mana
keharmonisan hubungan antar umat beragama ini. Kegagalan dalam merealisasikan
agenda ini akan mengantarkan kita pada trauma terpeceh belahnya kita sebagai bangsa.
Maka sangat wajar kita Ketua PP Muhammadiyah, Ahmad Syafii Maarif, dalam banyak
kesempatan senantiasa menekankan pentingnya kearifan dalam berdakwah, terutama
karena kita berada dalam sebuah bangsa yang majemuk, terutama kemajemukan dalam
agama.
Tentu saja, kita tidak hanya sepakat dengan penegasan Buya Syafii, tapi juga harus
berusaha semaksimal mungkin, agar kearifan itu, terutama dalam perbedaan agama, bisa
dimanifestasikan dalam berbangsa ini. Satu hal yang harus disadari bahwa, untuk
kalangan cendikiawan atau masyarakat terpelajar yang open-minded, mungkin hal itu
mudah diwujudkan tanpa masalah yang cukup berarti. Tapi untuk komunitas yang masih
relatif tertutup, kearifan dalam menghadapi perbedaan agama bukan persoalan mudah.
Konflik sering kali timbul akibat benturan keyakinan. Dan benturan itu akan lebih
tampak di permukaan ketika keyakinan yang dimiliki suatu umat beragama tertentu
berusaha ditransformasikan (disiarkan, diserukan) kepada umat (pemeluk agama) lain.
Memang, secara formal sudah ada aturan main, yakni Keputusan Menteri Agama RI
No. 70 Tahun 1978 tentang Pedoman Penyiaran Agama. Namun, mengapa konflik
masih sering terjadi. Sebabnya, bukan semata karena umat beragama tidak menaati
peraturan tersebut, tapi lebih dari itu, karena mereka seringkali mengekspresikan
keyakinan agamanya secara eksklusif dan berusaha mentransformasikannya secara
monolitik.
Risalah Dakwah
Setiap agama memiliki agresivitas ajaran untuk disiarkan. Namun agresivitas ajaran
agama tidak harus ditafsirkan secara monolik, dengan serta merta atau bahkan semenamena menganggap umat agama lain keluar dari “jalan yang lurus”. Kiranya, tentang
agresivitas ajaran agama ini urgen untuk didiskusikan. Karena setiap agama
meniscayakan pemeluknya untuk menyiarkan kebenaran dan keimanannya kepada
orang lain, yang prakteknya sering melahirkan keretakan dan konflik antarumat
beragama.
Bagaimana menyiarkan kebenaran dan keimanan tersebut, dalam terminologi Islam
disebut ‘dakwah’. Dan, setiap pemeluk Islam memiliki tanggung jawab untuk
melaksanakan dakwah kapan pun dan di mana pun ia berada. Titahnya antara lain
ditegaskan dalam Al-Quran surah an-Nahl ayat 125 yang artinya : “Serulah (manusia)
ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan berargumentasilah
dengan mereka dengan yang baik (pula). Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang paling
mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui
orang-orang yang mendapat petunjuk”. Dan sabda Nabi SAW yang artinya :
“Sampaikanlah (kebenaran) dariku meskipun satu ayat”.
Risalah
Bagaimana tugas dakwah tersebut dimanifestasikan di negara kita? Mengingat
masyarakatnya yang majemuk, maka dakwah di Indonesia seyogyanya dilakukan
dengan beberapa mekanisme yang sesuai dengan kemajemukannya : Pertama dengan
penafian unsur-unsur kebencian. Ayat-ayat Tuhan dan Risalah Kenabian harus
didakwahkan sesuai dengan fungsinya, yakni untuk menasehati dan meluruskan yang
kurang atau tidak lurus, dan membenarkan yang kurang benar. Bukan untuk memaki
yang salah atau melegitimasi kebencian terhadap orang lain atau umat agama lain.
Kedua, jika secara lisan, maka dakwah seyogyanya disampaikan dengan tutur kata
yang santun, tidak menyinggung perasaan, atau menyindir keyakinan umat lain, apalagi
mencaci-makinya. Kekerasan ucapan dalam aktivitas dakwah bukan saja akan merusak
keharmonisan hubungan antar-umat beragama, tapi hal itu juga sangat tidak
diperkenankan dalam Islam. Al Quran surat Ali Imran ayat 159 menegaskan :
“Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka akan lari dari
lingkungan kamu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka
dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam segala urusan”.
Ketiga, dakwah seyogyanya dilakukan secara persuasif, kerena sikap memaksa hanya
membuat orang enggan untuk mengikuti apa yang didakwahkan, “Tidak ada paksaan
dalam memeluk agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara yang
benar dan yang sesat”. Demikian firman Allah suratu al-Baqarah : 256. Dalam ayat lain
Allah juga menegaskan bahwa : “Dan katakanlah, kebenaran itu datangnya dari
Tuhanmu. Maka selahkan (secara sukarela) siapa yang hendak beriman atau ingkar”
(QS, 18 : 29). “Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku” (QS. 109 : 6).
Keempat, dakwah sekali-kali tidak boleh dilakukan dengan jalan menjelek-jelekkan
agama atau bahkan dengan menghina ‘Tuhan’ yang menjadi keyakinan umat agama
lain. Allah berfirman : “Dan jangan kamu memaki sesembahan yang mereka sembah,
karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan”
(QS. 6 : 108).
Dan masih banyak lagi mekanisme yang bisa diterapkan sesuai dengan kreativitas
umat dan kebutuhan situasionalnya. Yang penting bagaimana setiap umat beragama bisa
membangun kesamaan pandangan bahwa, meskipun beberapa mekanisme di atas,
(hanya) diambil dari (intisari) ajaran agama (Islam), tapi harus diyakini bahwa ada
keselarasan prinsip dari agama-agama yang ada di Indonesia.
Karena kebenaran agama pada hakikatnya berawal dari sumber yang satu (Shihab,
1994 : 448). Atau menurut Huston Smith (1973) bahwa landasan esoteris agama-agama
itu sama. Oleh karenanya, dalam hal penyiaran kebenaran dan keimanan, saya yakin,
prinsip agama lainpun tidak jauh berbeda dengan Islam. Untuk tidak dikatakan sama
persis. Saya juga yakin bahwa setiap agama yang diturunkan Tuhan Yang Maha Benar,
pasti melarang pertentangan dalam kebersamaan dan kemajemukan seperti relalitas
yang ada di Indonesia. Maka, untuk segenap umat beragama, terutama pada da’I dan
rohaniawan, kiranya tidak salah, bahkan sudah sepatutnya berpegang teguh pada
beberapa mekanisme di atas dalam berdakwah atau dalam penyiaran kebenaran dan
keimanannya pada orang lain.
Kesimpulan
Realisasi dakwah pada hakikatnya merupakan upaya perbaikan kondisi baik diri
sendiri, pribadi orang lain, lingkungan, atau bahkan segala fenomena kesemestaan ini
yang berjalan tidak sesuai dengan prinsip keselarasan hidup dan tujuan penciptaannya.
Di antara tujuan diciptakannya manusia di muka bumi ini adalah untuk menjalin
persaudaraan (ukuwwah), saling mengenal satus sama lain (ta’aruf) dan membawa
kedamaian (salam). Kesadaran akan tujuan penciptaan inilah yang harus senantiasa
menyertai manusia selama hidupnya, agar tetap menjaga kedamaian, keselarasan,
kebersamaan dan saling menghormati satu sama lain, bukan saja sesama manusia, tapi
juga dalam alam lingkungannya.
Kita harus yakin dan sadar bahwa dakwah sebagai seruan atau ajakan menuju
kebenaran harus dijalankan secara benar pula. Dan, kebenaran yang bersumber dari
kemurnian ajaran Tuhan harus senantiasa ditafsirkan secara inklusif, dan diartikulasikan
dalam kerangka kebersamaan yang harmonis, adil dan toleran. Jika kita konsisten dalam
hal ini, niscaya pentingnya kearifan berdakwah yang ditekankan Buya Syafii –seperti
tersebut di awal tulisan ini- akan menemukan relevansinya dalam realitas kemajemukan
umat beragama di negara tercinta ini.
Penulis, wakil sekretaris Lembaga Hikmah PP Muhammadiyah dan penulis di media
……… ibu kota.
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 08 2002
Oleh : Abd. Rohim Ghazali
Kerukunan antar-umat merupakan agenda nasional yang tak kunjung usai. Ini bisa
dipahami karena masa depan bangsa kita sedikit banyak tergantung pada sejauh mana
keharmonisan hubungan antar umat beragama ini. Kegagalan dalam merealisasikan
agenda ini akan mengantarkan kita pada trauma terpeceh belahnya kita sebagai bangsa.
Maka sangat wajar kita Ketua PP Muhammadiyah, Ahmad Syafii Maarif, dalam banyak
kesempatan senantiasa menekankan pentingnya kearifan dalam berdakwah, terutama
karena kita berada dalam sebuah bangsa yang majemuk, terutama kemajemukan dalam
agama.
Tentu saja, kita tidak hanya sepakat dengan penegasan Buya Syafii, tapi juga harus
berusaha semaksimal mungkin, agar kearifan itu, terutama dalam perbedaan agama, bisa
dimanifestasikan dalam berbangsa ini. Satu hal yang harus disadari bahwa, untuk
kalangan cendikiawan atau masyarakat terpelajar yang open-minded, mungkin hal itu
mudah diwujudkan tanpa masalah yang cukup berarti. Tapi untuk komunitas yang masih
relatif tertutup, kearifan dalam menghadapi perbedaan agama bukan persoalan mudah.
Konflik sering kali timbul akibat benturan keyakinan. Dan benturan itu akan lebih
tampak di permukaan ketika keyakinan yang dimiliki suatu umat beragama tertentu
berusaha ditransformasikan (disiarkan, diserukan) kepada umat (pemeluk agama) lain.
Memang, secara formal sudah ada aturan main, yakni Keputusan Menteri Agama RI
No. 70 Tahun 1978 tentang Pedoman Penyiaran Agama. Namun, mengapa konflik
masih sering terjadi. Sebabnya, bukan semata karena umat beragama tidak menaati
peraturan tersebut, tapi lebih dari itu, karena mereka seringkali mengekspresikan
keyakinan agamanya secara eksklusif dan berusaha mentransformasikannya secara
monolitik.
Risalah Dakwah
Setiap agama memiliki agresivitas ajaran untuk disiarkan. Namun agresivitas ajaran
agama tidak harus ditafsirkan secara monolik, dengan serta merta atau bahkan semenamena menganggap umat agama lain keluar dari “jalan yang lurus”. Kiranya, tentang
agresivitas ajaran agama ini urgen untuk didiskusikan. Karena setiap agama
meniscayakan pemeluknya untuk menyiarkan kebenaran dan keimanannya kepada
orang lain, yang prakteknya sering melahirkan keretakan dan konflik antarumat
beragama.
Bagaimana menyiarkan kebenaran dan keimanan tersebut, dalam terminologi Islam
disebut ‘dakwah’. Dan, setiap pemeluk Islam memiliki tanggung jawab untuk
melaksanakan dakwah kapan pun dan di mana pun ia berada. Titahnya antara lain
ditegaskan dalam Al-Quran surah an-Nahl ayat 125 yang artinya : “Serulah (manusia)
ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan berargumentasilah
dengan mereka dengan yang baik (pula). Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang paling
mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui
orang-orang yang mendapat petunjuk”. Dan sabda Nabi SAW yang artinya :
“Sampaikanlah (kebenaran) dariku meskipun satu ayat”.
Risalah
Bagaimana tugas dakwah tersebut dimanifestasikan di negara kita? Mengingat
masyarakatnya yang majemuk, maka dakwah di Indonesia seyogyanya dilakukan
dengan beberapa mekanisme yang sesuai dengan kemajemukannya : Pertama dengan
penafian unsur-unsur kebencian. Ayat-ayat Tuhan dan Risalah Kenabian harus
didakwahkan sesuai dengan fungsinya, yakni untuk menasehati dan meluruskan yang
kurang atau tidak lurus, dan membenarkan yang kurang benar. Bukan untuk memaki
yang salah atau melegitimasi kebencian terhadap orang lain atau umat agama lain.
Kedua, jika secara lisan, maka dakwah seyogyanya disampaikan dengan tutur kata
yang santun, tidak menyinggung perasaan, atau menyindir keyakinan umat lain, apalagi
mencaci-makinya. Kekerasan ucapan dalam aktivitas dakwah bukan saja akan merusak
keharmonisan hubungan antar-umat beragama, tapi hal itu juga sangat tidak
diperkenankan dalam Islam. Al Quran surat Ali Imran ayat 159 menegaskan :
“Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka akan lari dari
lingkungan kamu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka
dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam segala urusan”.
Ketiga, dakwah seyogyanya dilakukan secara persuasif, kerena sikap memaksa hanya
membuat orang enggan untuk mengikuti apa yang didakwahkan, “Tidak ada paksaan
dalam memeluk agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara yang
benar dan yang sesat”. Demikian firman Allah suratu al-Baqarah : 256. Dalam ayat lain
Allah juga menegaskan bahwa : “Dan katakanlah, kebenaran itu datangnya dari
Tuhanmu. Maka selahkan (secara sukarela) siapa yang hendak beriman atau ingkar”
(QS, 18 : 29). “Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku” (QS. 109 : 6).
Keempat, dakwah sekali-kali tidak boleh dilakukan dengan jalan menjelek-jelekkan
agama atau bahkan dengan menghina ‘Tuhan’ yang menjadi keyakinan umat agama
lain. Allah berfirman : “Dan jangan kamu memaki sesembahan yang mereka sembah,
karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan”
(QS. 6 : 108).
Dan masih banyak lagi mekanisme yang bisa diterapkan sesuai dengan kreativitas
umat dan kebutuhan situasionalnya. Yang penting bagaimana setiap umat beragama bisa
membangun kesamaan pandangan bahwa, meskipun beberapa mekanisme di atas,
(hanya) diambil dari (intisari) ajaran agama (Islam), tapi harus diyakini bahwa ada
keselarasan prinsip dari agama-agama yang ada di Indonesia.
Karena kebenaran agama pada hakikatnya berawal dari sumber yang satu (Shihab,
1994 : 448). Atau menurut Huston Smith (1973) bahwa landasan esoteris agama-agama
itu sama. Oleh karenanya, dalam hal penyiaran kebenaran dan keimanan, saya yakin,
prinsip agama lainpun tidak jauh berbeda dengan Islam. Untuk tidak dikatakan sama
persis. Saya juga yakin bahwa setiap agama yang diturunkan Tuhan Yang Maha Benar,
pasti melarang pertentangan dalam kebersamaan dan kemajemukan seperti relalitas
yang ada di Indonesia. Maka, untuk segenap umat beragama, terutama pada da’I dan
rohaniawan, kiranya tidak salah, bahkan sudah sepatutnya berpegang teguh pada
beberapa mekanisme di atas dalam berdakwah atau dalam penyiaran kebenaran dan
keimanannya pada orang lain.
Kesimpulan
Realisasi dakwah pada hakikatnya merupakan upaya perbaikan kondisi baik diri
sendiri, pribadi orang lain, lingkungan, atau bahkan segala fenomena kesemestaan ini
yang berjalan tidak sesuai dengan prinsip keselarasan hidup dan tujuan penciptaannya.
Di antara tujuan diciptakannya manusia di muka bumi ini adalah untuk menjalin
persaudaraan (ukuwwah), saling mengenal satus sama lain (ta’aruf) dan membawa
kedamaian (salam). Kesadaran akan tujuan penciptaan inilah yang harus senantiasa
menyertai manusia selama hidupnya, agar tetap menjaga kedamaian, keselarasan,
kebersamaan dan saling menghormati satu sama lain, bukan saja sesama manusia, tapi
juga dalam alam lingkungannya.
Kita harus yakin dan sadar bahwa dakwah sebagai seruan atau ajakan menuju
kebenaran harus dijalankan secara benar pula. Dan, kebenaran yang bersumber dari
kemurnian ajaran Tuhan harus senantiasa ditafsirkan secara inklusif, dan diartikulasikan
dalam kerangka kebersamaan yang harmonis, adil dan toleran. Jika kita konsisten dalam
hal ini, niscaya pentingnya kearifan berdakwah yang ditekankan Buya Syafii –seperti
tersebut di awal tulisan ini- akan menemukan relevansinya dalam realitas kemajemukan
umat beragama di negara tercinta ini.
Penulis, wakil sekretaris Lembaga Hikmah PP Muhammadiyah dan penulis di media
……… ibu kota.
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 08 2002