Pengukuran Intensitas Konflik Dalam Masyarakat Majemuk
PENGUKURAN INTENSITAS KONFLIK DALAM MASYARAKAT MAJEMUK
Usman Pelly Guru Besar Antropologi-Universitas Negeri Medan
Abstrak Masyarakat majemuk seperti Indonesia memiliki potensi konflik, baik karena faktor-faktor kemajemukan horizontal maupun faktor kemajemukan vertikal. Kondisi ke arah terjadinya konflik, potensial terjadi apabila faktor kemajemukan horizontal bersatu dengan faktor kemajemukan vertikal. Tulisan ini memberikan panduan bagaimana mengukur intensitas konflik, yang berguna bagi pengambil kebijakan dalam proses-proses penciptaan keserasian sosial dalam lingkungan masyarakat majemuk.
Kata kunci: masyarakat majemuk, intensitas konflik, faktor horizontal, faktor vertikal.
Pendahuluan
Ciri utama masyarakat majemuk (plural
society) menurut Furnivall (1940) adalah orang
yang hidup berdampingan secara fisik, tetapi
karena perbedaan sosial mereka terpisah-pisah
dan tidak bergabung dalam sebuah unit politik.
Sebagai seorang sarjana yang untuk pertama kali
menemukan istilah ini, Furnivall menunjuk
masyarakat Indonesia di zaman kolonial sebagai
contoh yang klasik. Masyarakat Hindia Belanda
waktu itu terpisah-pisah, tidak saja antara
kelompok yang memerintah dan yang diperintah
dipisahkan oleh ras yang berbeda, tetapi secara
fungsional masyarakatnya terbelah dalam unit-
unit ekonomi, antara pedagang Cina, Arab, dan
India (Foreign Asiatic) dengan kelompok petani
Bumi Putera. Menurut Furnivall masyarakat
dalam unit-unit ekonomi ini hidup menyendiri
(exclusive) pada lokasi-lokasi pemukiman
tertentu dengan sistem sosialnya masing-masing.
Pemisahan
kelompok-kelompok
masyarakat ini dapat juga disebabkan karena
perbedaan agama (seperti di Ireland), dan kasta
(di India). Sebab utama dari pemisahan ini, ialah
kepentingan untuk monopoli sumber-sumber
ekonomi (economic resources). Dengan kata
lain, kepentingan ekonomi dilanggengkan oleh
ras, agama, suku, bangsa, hukum, politik,
bahkan nasionalisme.
Kasus kajian Furnivall mengenai
masyarakat Indonesia 60 tahun yang lalu di
zaman kolonial yang melahirkan teori masyarakat majemuk ini, tentu saja akan berubah apabila ia kembali melihat bangsa Indonesia dewasa ini.
Sementara itu, kajian mengenai masyarakat majemuk mendapat perhatian yang luas di kalangan ahli-ahli ilmu sosial, dengan berbagai hasil penelitian yang menarik, umpamanya, oleh Lewis (Urbanization Without Breakdown, 1952), Glazer & Moynihan (Beyond The Melting Pot, 1963), Edward Bruner (The Symbolic of Urban Migration, 1966), Barth (Ethnic Group and Boundaries, 1969), Cohen (Custom and Conflict in Urban Africa, 1971), Evers (Ethnic and Social Conflict in Urban Southeast Asia, 1980).
Setidaknya, dewasa ini ada dua konsep masyarakat majemuk yang muncul dari berbagai hasil penelitian di atas: (1) konsep “kancah pembauran” (melting pot), dan (2) konsep “pluralisme kebudayaan” (cultural pluralism). Teori kancah pembauran pada dasarnya, mempunyai asumsi bahwa integrasi (kesatuan) akan terjadi dengan sendirinya pada suatu waktu apabila orang berkumpul pada suatu tempat yang berbaur, seperti di sebuah kota atau pemukimanindustri. Sebaliknya konsep pluralisme kebudayaan justru menentang konsep kancah pembauran di atas. Menurut Horace Kallen, salah seorang pelopor konsep pluralisme kebudayaan tersebut, menyatakan bahwa
v
Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI•Vol. 1•No.2•Oktober 2005
kelompok-kelompok etnis atau ras yang berbeda tersebut malah harus di dorong untuk mengembangkan sistem mereka sendiri dalam kebersamaan, memperkaya kehidupan masyarakat majemuk mereka. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa konsep kancah pembauran hanyalah suatu mitos. Mitos yang tidak pernah menjadi kenyataan, sedang pluralisme kebudayaan menurut berbagai ahli telah mengangkat Amerika Serikat, Cina, Rusia, Kanada, dan India menjadi negara yang kuat.
Urbanisasi dan industrialisasi Indonesia, seperti dibuktikan dalam sejarah, tidak dengan sendirinya mengikis unsur-unsur kemajemukan masyarakatnya, malah dalam berbagai studi menunjukkan kecenderungan penguatan aspekaspek primordialisme (suku, agama, dan sistem simbolik lainnya) dalam kehidupan masyarakat kota. Ironisnya, kemajemukan primordialisme ini berkembang bersama proses transformasi masyarakat kota itu sendiri dari masyarakat agraris ke masyarakat industri, sehingga kemajemukan dalam aspek kehidupan tersebut menjadi berganda.
Masyarakat majemuk Indonesia lebih sesuai didekati dari konsep pluralisme kebudayaan, sebab integrasi nasional yang hendak diciptakan tidak berkeinginan untuk melebur identitas ratusan kelompok etnis bangsa kita, bahkan di samping hal itu dijamin oleh UUD 45, tetapi juga memerlukan pluralisme itu dalam pembangunan nasional. Masalahnya ialah bagaimana mengelola pluralisme itu dan menjauhkan dampak negatifnya dalam “National Building”.
Kemajemukan masyarakat Indonesia dewasa ini, seperti juga pada masyarakat di belahan bumi lainnya tampak terutama di kotakota besar sebagai wujud daripada proses urbanisasi yang tidak dapat dibendung. Dalam lima tahun terakhir ini penduduk kota di Indonesia, menurut hasil Sensus Nasional (1990) bertambah 20%. Kota-kota besar di Indonesia merupakan contoh masyarakat majemuk yang utama, sedang kota-kota kecil yang mekar di sekitarnya seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, untuk Jakarta juga memperlihatkan ciri kemajemukan yang serupa.
Konflik dan Persesuaian Apabila faktor-faktor kemajemukan
masyarakat kota dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori, horizontal dan vertikal, maka
faktor-faktor tersebut dapat dijabarkan sebagai
berikut:
1. Faktor Horizontal
a. Etnis
b. Bahasa daerah
c. Adat-istiadat/perilaku
d. Agama, dan
e. Pakaian/makanan (budaya material)
2. Faktor Vertikal
a. Penghasilan (income)
b. Pendidikan
c. Pemukiman
d. Pekerjaan, dan
e. Kedudukan Politis
Faktor kemajemukan horizontal
merupakan faktor-faktor yang diterima
seseorang sebagai warisan (ascribed-factors),
sedang faktor-faktor kemajemukan vertikal lebih
banyak diperolehnya dari usahanya sendiri
(achievement-factors).
Kemajemukan akan menjurus ke arah
konflik yang sangat potensial apabila faktor
kemajemukan horizontal bersatu dengan faktor
kemajemukan vertikal. Dengan kata lain, apabila
suatu kelompok etnis tertentu tidak hanya
dibedakan dengan kelompok etnis lainnya
karena faktor-faktor “ascribed” lainnya seperti
bahasa daerah, agama, dan lain-lain, tetapi juga
karena perbedaan faktor “achievement” seperti
ekonomi, pemukiman dan kedudukan politis,
maka intensitas konflik akan dapat menjurus
kepada suasana permusuhan. Sebaliknya, apabila
kemajemukan faktor-faktor horizontal tidak
diperkuat oleh faktor-faktor vertikal, maka
intensitas konflik sangat kecil dan mudah untuk
dijuruskan kepada persesuaian atau harmoni.
Intensitas konflik antarkelompok dapat
digambarkan pada diagram berikut ini.
Lima faktor horizontal kemajemukan suatu
kelompok dapat ditempatkan secara
kumulatif pada sumbu y, sedangkan lima faktor
kemajemukan vertikal ditempatkan secara
kumulatif pada sumbu x.
Dengan cara ini kita dapat “mengukur”
tingkat intensitas potensi konflik, umpamanya
antara kelompok etnis A, B, dan C.
Faktor-faktor horizontal Angka
dan vertikal
Kumulatif
Kelompok A = 5
x
5 = 25
dan B
Kelompok A = 4
x
3 = 12
dan C
Kelompok B = 2
x
2 =4
dan C
54
Usman Pelly Majemuk
Pengukuran Intensitas Konflik dalam Masyarakat
Kelompok A dan B hampir berbeda dalam kelima faktor, baik horizontal maupun vertikal (5x5), A dan C berbeda 4 faktor horizontal dan 3 faktor vertikal (4x3), sedang B dan C berbeda hanya dalam faktor horizontal 2 dan faktor vertikal 2 (2x2). Dari perhitungan kasar ini kita mendapat gambaran bahwa intensitas potensi konflik yang lebih tinggi adalah antara kelompok A dan B, sedang yang paling rendah adalah antara B dan C. Perhitungan di atas hanyalah merupakan langkah pertama untuk memberikan kepada kita semacam “peringatan” (warning) bahwa beberapa kelompok etnis tertentu memiliki potensi konflik yang lebih tinggi dari yang lain. Apabila kita ingin mengelola keserasian sosial antarkelompokkelompok tersebut, maka perhitungan kasar tersebut, dapat diperhalus lagi sebagai berikut:
1. Apakah perbedaan setiap kategori horizontal mencapai angka mutlak 1 (satu) atau 100% atau kurang dari 100% seperti antara kelompok suku Madura dan Jawa dalam bahasa daerah keduanya tidak berbeda benar jika dibandingkan dengan antara Ambon dan Aceh.
2. Apakah perbedaan setiap faktor vertikal mencapai angka mutlak satu (100%), seperti antara pemukiman elit dan kumuh, atau pemukiman semi elit dan elit.
3. Bobot perbedaan setiap faktor horizontal
dan vertikal akan menghasilkan angka kumulatif tertentu pada sumbu x dan y. Dengan demikian perkalian setiap angka tersebut akan menunjukkan intensitas yang lebih ril antara individu kelompok yang satu dengan yang lain.
5x 5
10
15
20 A25
• •4 A-C 1 •3 9 •2 4 B-C
11
20 15 10 5
12
Fungsi Pengukuran Intensitas Potensi Konflik
Pengukuran di atas diperlukan bagi setiap pemimpin atau pengelola pembangunan yang ingin mengembangkan partisipasi masyarakat dalam menciptakan keserasian sosial dalam sebuah komunitas majemuk. Oleh karena itu suatu komunitas yang majemuk diperlukan suatu bentuk pengelolaan yang sering disebut sebagai “management of conflict and disagreement”.
Seperti diutarakan sebelumnya, pengukuran ini akan memberikan gambaran atau isyarat (warning) seberapa jauh perbedaan
y 34
kemajemukan horizontal dan vertikal komunitas yang dihadapi mengandung potensi konflik.
Secara praktis cara pengukuran ini setidaknya akan memudahkan kita dalam: (1) merekrut tokoh/kader lokal untuk memimpin berbagai kelompok, dan (2) membuat program dan perencanaan usaha-usaha pencegahan konflik dan pembinaan ke arah keserasian sosial.
Usaha ke arah perbaikan kehidupan fisik dan nonfisik seperti: perbaikan pemukiman, kesempatan untuk mendapatkan pendidikan, lapangan kerja, akan sangat bermanfaat untuk mengurangi intensitas konflik faktor-faktor vertikal. Dengan kata lain, pemerataan
55
Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI•Vol. 1•No.2•Oktober 2005
pembangunan akan memberikan kesempatan yang lebih luas untuk saling meningkatkan interaksi sosial dalam berbagai lembaga kehidupan ekonomi yang pada gilirannya tidak hanya akan menghilangkan sikap negatif/prasangka prejudice, tetapi juga akan memberi peluang yang lebih besar untuk saling memahami sistem makna dan simbolik budaya masing-masing kelompok dalam sebuah komunitas majemuk. Daftar Pustaka
Dengan demikian, pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya serta peningkatan kualitas kehidupan demokratisasi akan memperkecil intensitas potensi konflik dan masyarakat majemuk. Dalam keadaan itu pula usaha-usaha kerjasama akan lebih berfungsi ke arah keserasian sosial.
Barth, Frederick. 1969. Ethnic Group and Boundaries: Social Organization of Cultural Differences. Boston: Little Brown.
Bruner, Edwar M.1982. “The Symbolics of Urban Migration.” Dalam The Prospects for Plural Societies.
David Maybury-Lewis (ed). Cohen, Abner. 1971. Customs and Politics in Urban Africa. London: Routledge & Keegan.
Glazer, Nathaniel dan Daniel Patrick Mcynihan 1963. Beyond The Melting Pot: The Negroes, Puerto Ricans, Jews, Italians, and Irish of New York City. Boston: MIT Press.
56
Usman Pelly Guru Besar Antropologi-Universitas Negeri Medan
Abstrak Masyarakat majemuk seperti Indonesia memiliki potensi konflik, baik karena faktor-faktor kemajemukan horizontal maupun faktor kemajemukan vertikal. Kondisi ke arah terjadinya konflik, potensial terjadi apabila faktor kemajemukan horizontal bersatu dengan faktor kemajemukan vertikal. Tulisan ini memberikan panduan bagaimana mengukur intensitas konflik, yang berguna bagi pengambil kebijakan dalam proses-proses penciptaan keserasian sosial dalam lingkungan masyarakat majemuk.
Kata kunci: masyarakat majemuk, intensitas konflik, faktor horizontal, faktor vertikal.
Pendahuluan
Ciri utama masyarakat majemuk (plural
society) menurut Furnivall (1940) adalah orang
yang hidup berdampingan secara fisik, tetapi
karena perbedaan sosial mereka terpisah-pisah
dan tidak bergabung dalam sebuah unit politik.
Sebagai seorang sarjana yang untuk pertama kali
menemukan istilah ini, Furnivall menunjuk
masyarakat Indonesia di zaman kolonial sebagai
contoh yang klasik. Masyarakat Hindia Belanda
waktu itu terpisah-pisah, tidak saja antara
kelompok yang memerintah dan yang diperintah
dipisahkan oleh ras yang berbeda, tetapi secara
fungsional masyarakatnya terbelah dalam unit-
unit ekonomi, antara pedagang Cina, Arab, dan
India (Foreign Asiatic) dengan kelompok petani
Bumi Putera. Menurut Furnivall masyarakat
dalam unit-unit ekonomi ini hidup menyendiri
(exclusive) pada lokasi-lokasi pemukiman
tertentu dengan sistem sosialnya masing-masing.
Pemisahan
kelompok-kelompok
masyarakat ini dapat juga disebabkan karena
perbedaan agama (seperti di Ireland), dan kasta
(di India). Sebab utama dari pemisahan ini, ialah
kepentingan untuk monopoli sumber-sumber
ekonomi (economic resources). Dengan kata
lain, kepentingan ekonomi dilanggengkan oleh
ras, agama, suku, bangsa, hukum, politik,
bahkan nasionalisme.
Kasus kajian Furnivall mengenai
masyarakat Indonesia 60 tahun yang lalu di
zaman kolonial yang melahirkan teori masyarakat majemuk ini, tentu saja akan berubah apabila ia kembali melihat bangsa Indonesia dewasa ini.
Sementara itu, kajian mengenai masyarakat majemuk mendapat perhatian yang luas di kalangan ahli-ahli ilmu sosial, dengan berbagai hasil penelitian yang menarik, umpamanya, oleh Lewis (Urbanization Without Breakdown, 1952), Glazer & Moynihan (Beyond The Melting Pot, 1963), Edward Bruner (The Symbolic of Urban Migration, 1966), Barth (Ethnic Group and Boundaries, 1969), Cohen (Custom and Conflict in Urban Africa, 1971), Evers (Ethnic and Social Conflict in Urban Southeast Asia, 1980).
Setidaknya, dewasa ini ada dua konsep masyarakat majemuk yang muncul dari berbagai hasil penelitian di atas: (1) konsep “kancah pembauran” (melting pot), dan (2) konsep “pluralisme kebudayaan” (cultural pluralism). Teori kancah pembauran pada dasarnya, mempunyai asumsi bahwa integrasi (kesatuan) akan terjadi dengan sendirinya pada suatu waktu apabila orang berkumpul pada suatu tempat yang berbaur, seperti di sebuah kota atau pemukimanindustri. Sebaliknya konsep pluralisme kebudayaan justru menentang konsep kancah pembauran di atas. Menurut Horace Kallen, salah seorang pelopor konsep pluralisme kebudayaan tersebut, menyatakan bahwa
v
Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI•Vol. 1•No.2•Oktober 2005
kelompok-kelompok etnis atau ras yang berbeda tersebut malah harus di dorong untuk mengembangkan sistem mereka sendiri dalam kebersamaan, memperkaya kehidupan masyarakat majemuk mereka. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa konsep kancah pembauran hanyalah suatu mitos. Mitos yang tidak pernah menjadi kenyataan, sedang pluralisme kebudayaan menurut berbagai ahli telah mengangkat Amerika Serikat, Cina, Rusia, Kanada, dan India menjadi negara yang kuat.
Urbanisasi dan industrialisasi Indonesia, seperti dibuktikan dalam sejarah, tidak dengan sendirinya mengikis unsur-unsur kemajemukan masyarakatnya, malah dalam berbagai studi menunjukkan kecenderungan penguatan aspekaspek primordialisme (suku, agama, dan sistem simbolik lainnya) dalam kehidupan masyarakat kota. Ironisnya, kemajemukan primordialisme ini berkembang bersama proses transformasi masyarakat kota itu sendiri dari masyarakat agraris ke masyarakat industri, sehingga kemajemukan dalam aspek kehidupan tersebut menjadi berganda.
Masyarakat majemuk Indonesia lebih sesuai didekati dari konsep pluralisme kebudayaan, sebab integrasi nasional yang hendak diciptakan tidak berkeinginan untuk melebur identitas ratusan kelompok etnis bangsa kita, bahkan di samping hal itu dijamin oleh UUD 45, tetapi juga memerlukan pluralisme itu dalam pembangunan nasional. Masalahnya ialah bagaimana mengelola pluralisme itu dan menjauhkan dampak negatifnya dalam “National Building”.
Kemajemukan masyarakat Indonesia dewasa ini, seperti juga pada masyarakat di belahan bumi lainnya tampak terutama di kotakota besar sebagai wujud daripada proses urbanisasi yang tidak dapat dibendung. Dalam lima tahun terakhir ini penduduk kota di Indonesia, menurut hasil Sensus Nasional (1990) bertambah 20%. Kota-kota besar di Indonesia merupakan contoh masyarakat majemuk yang utama, sedang kota-kota kecil yang mekar di sekitarnya seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, untuk Jakarta juga memperlihatkan ciri kemajemukan yang serupa.
Konflik dan Persesuaian Apabila faktor-faktor kemajemukan
masyarakat kota dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori, horizontal dan vertikal, maka
faktor-faktor tersebut dapat dijabarkan sebagai
berikut:
1. Faktor Horizontal
a. Etnis
b. Bahasa daerah
c. Adat-istiadat/perilaku
d. Agama, dan
e. Pakaian/makanan (budaya material)
2. Faktor Vertikal
a. Penghasilan (income)
b. Pendidikan
c. Pemukiman
d. Pekerjaan, dan
e. Kedudukan Politis
Faktor kemajemukan horizontal
merupakan faktor-faktor yang diterima
seseorang sebagai warisan (ascribed-factors),
sedang faktor-faktor kemajemukan vertikal lebih
banyak diperolehnya dari usahanya sendiri
(achievement-factors).
Kemajemukan akan menjurus ke arah
konflik yang sangat potensial apabila faktor
kemajemukan horizontal bersatu dengan faktor
kemajemukan vertikal. Dengan kata lain, apabila
suatu kelompok etnis tertentu tidak hanya
dibedakan dengan kelompok etnis lainnya
karena faktor-faktor “ascribed” lainnya seperti
bahasa daerah, agama, dan lain-lain, tetapi juga
karena perbedaan faktor “achievement” seperti
ekonomi, pemukiman dan kedudukan politis,
maka intensitas konflik akan dapat menjurus
kepada suasana permusuhan. Sebaliknya, apabila
kemajemukan faktor-faktor horizontal tidak
diperkuat oleh faktor-faktor vertikal, maka
intensitas konflik sangat kecil dan mudah untuk
dijuruskan kepada persesuaian atau harmoni.
Intensitas konflik antarkelompok dapat
digambarkan pada diagram berikut ini.
Lima faktor horizontal kemajemukan suatu
kelompok dapat ditempatkan secara
kumulatif pada sumbu y, sedangkan lima faktor
kemajemukan vertikal ditempatkan secara
kumulatif pada sumbu x.
Dengan cara ini kita dapat “mengukur”
tingkat intensitas potensi konflik, umpamanya
antara kelompok etnis A, B, dan C.
Faktor-faktor horizontal Angka
dan vertikal
Kumulatif
Kelompok A = 5
x
5 = 25
dan B
Kelompok A = 4
x
3 = 12
dan C
Kelompok B = 2
x
2 =4
dan C
54
Usman Pelly Majemuk
Pengukuran Intensitas Konflik dalam Masyarakat
Kelompok A dan B hampir berbeda dalam kelima faktor, baik horizontal maupun vertikal (5x5), A dan C berbeda 4 faktor horizontal dan 3 faktor vertikal (4x3), sedang B dan C berbeda hanya dalam faktor horizontal 2 dan faktor vertikal 2 (2x2). Dari perhitungan kasar ini kita mendapat gambaran bahwa intensitas potensi konflik yang lebih tinggi adalah antara kelompok A dan B, sedang yang paling rendah adalah antara B dan C. Perhitungan di atas hanyalah merupakan langkah pertama untuk memberikan kepada kita semacam “peringatan” (warning) bahwa beberapa kelompok etnis tertentu memiliki potensi konflik yang lebih tinggi dari yang lain. Apabila kita ingin mengelola keserasian sosial antarkelompokkelompok tersebut, maka perhitungan kasar tersebut, dapat diperhalus lagi sebagai berikut:
1. Apakah perbedaan setiap kategori horizontal mencapai angka mutlak 1 (satu) atau 100% atau kurang dari 100% seperti antara kelompok suku Madura dan Jawa dalam bahasa daerah keduanya tidak berbeda benar jika dibandingkan dengan antara Ambon dan Aceh.
2. Apakah perbedaan setiap faktor vertikal mencapai angka mutlak satu (100%), seperti antara pemukiman elit dan kumuh, atau pemukiman semi elit dan elit.
3. Bobot perbedaan setiap faktor horizontal
dan vertikal akan menghasilkan angka kumulatif tertentu pada sumbu x dan y. Dengan demikian perkalian setiap angka tersebut akan menunjukkan intensitas yang lebih ril antara individu kelompok yang satu dengan yang lain.
5x 5
10
15
20 A25
• •4 A-C 1 •3 9 •2 4 B-C
11
20 15 10 5
12
Fungsi Pengukuran Intensitas Potensi Konflik
Pengukuran di atas diperlukan bagi setiap pemimpin atau pengelola pembangunan yang ingin mengembangkan partisipasi masyarakat dalam menciptakan keserasian sosial dalam sebuah komunitas majemuk. Oleh karena itu suatu komunitas yang majemuk diperlukan suatu bentuk pengelolaan yang sering disebut sebagai “management of conflict and disagreement”.
Seperti diutarakan sebelumnya, pengukuran ini akan memberikan gambaran atau isyarat (warning) seberapa jauh perbedaan
y 34
kemajemukan horizontal dan vertikal komunitas yang dihadapi mengandung potensi konflik.
Secara praktis cara pengukuran ini setidaknya akan memudahkan kita dalam: (1) merekrut tokoh/kader lokal untuk memimpin berbagai kelompok, dan (2) membuat program dan perencanaan usaha-usaha pencegahan konflik dan pembinaan ke arah keserasian sosial.
Usaha ke arah perbaikan kehidupan fisik dan nonfisik seperti: perbaikan pemukiman, kesempatan untuk mendapatkan pendidikan, lapangan kerja, akan sangat bermanfaat untuk mengurangi intensitas konflik faktor-faktor vertikal. Dengan kata lain, pemerataan
55
Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI•Vol. 1•No.2•Oktober 2005
pembangunan akan memberikan kesempatan yang lebih luas untuk saling meningkatkan interaksi sosial dalam berbagai lembaga kehidupan ekonomi yang pada gilirannya tidak hanya akan menghilangkan sikap negatif/prasangka prejudice, tetapi juga akan memberi peluang yang lebih besar untuk saling memahami sistem makna dan simbolik budaya masing-masing kelompok dalam sebuah komunitas majemuk. Daftar Pustaka
Dengan demikian, pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya serta peningkatan kualitas kehidupan demokratisasi akan memperkecil intensitas potensi konflik dan masyarakat majemuk. Dalam keadaan itu pula usaha-usaha kerjasama akan lebih berfungsi ke arah keserasian sosial.
Barth, Frederick. 1969. Ethnic Group and Boundaries: Social Organization of Cultural Differences. Boston: Little Brown.
Bruner, Edwar M.1982. “The Symbolics of Urban Migration.” Dalam The Prospects for Plural Societies.
David Maybury-Lewis (ed). Cohen, Abner. 1971. Customs and Politics in Urban Africa. London: Routledge & Keegan.
Glazer, Nathaniel dan Daniel Patrick Mcynihan 1963. Beyond The Melting Pot: The Negroes, Puerto Ricans, Jews, Italians, and Irish of New York City. Boston: MIT Press.
56