DAKWAH PADA MASYARAKAT MUSLIM MINORITAS : STUDI TENTANG STRATEGI DAKWAH DI MASYARAKAT MUSLIM KARANGASEM BALI.

(1)

DAKWAH PADA MASYARAKAT MUSLIM MINORITAS

Studi tentang Strategi Dakwah di Masyarakat Muslim Karangasem Bali

TESIS

Diajukan untuk memenuhi syarat

Memperoleh gelar Magister dalam Program Studi Komunikasi Penyiaran Islam

Oleh Kautsar Wibawa NIM. F0.7213091

PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA


(2)

(3)

(4)

(5)

ABSTRAK

Tesis ini berjudul “Dakwah Pada Masyarakat Muslim Minoritas; Studi tentang Strategi Dakwah di Masyarakat Muslim Karangasem Bali” yang disusun oleh Kautsar Wibawa Nim F0.7213091

Kata Kunci: Dakwah, Strategi dakwah, Muslim Minoritas

Ada dua persoalan yang dikaji dalam tesis ini yaitu: (1) Bagaimana strategi dakwah di masyarakat muslim minoritas Karangasem, Bali, (2) Apa faktor pendukung dan penghambat serta solusi strategi dakwah di masyarakat muslim minoritas Karangasem, Bali.

Untuk mengungkap persoalan tersebut secara menyeluruh dan mendalam, penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif deskriptif yang berguna untuk memberikan fakta dan data mengenai strategi dakwah di masyarakat muslim Karangasem Bali. Kemudian data itu dianalisis dengan menggunakan teori interaksi simbolik. Data dalam penelitian ini diperoleh dengan wawancara, observasi dan dokumentasi.

Dari hasil penelitian ini ditemukan bahwa: (1) Strategi dakwah di Masyarakat muslim minoritas Karangasem, Bali menggunakan strategi, Tilawah, Tazkiyah dan Ta’lim. Dalam menjalankan strategi tesebut da’i, memberikan pengajian di masjid-masjid. Mengadakan pendidikan al-Qur’an dan pendidikan agama di pondok pesantren. Adapun metode dakwah yang pakai yaitu metode pidato, diskusi, dan kelembagaan. (2) Adapun faktor pendukung, penghambat dan solusi dalam menjalankan dakwah di masyarakat Muslim minoritas Karangasem Bali yaitu: (a) Faktor pendukung, adanya dukungan dari masyarakat muslim Karangasem Bali dan mendapat bantuan tenaga pengajar dari pondok-pondok di Jawa. Kedau faktor pendukung ini masih tergolong sedikit. (b) Faktor penghambat: Pertama, masih adanya fanatisme terhadap organisasi yang diikuti oleh umat muslim. Masih mengutamakan organisasinya masing-masing. Kedua,

masyarakat muslim di Karangasem, Bali memiliki tingkat ekonomi menengah kebawah. Sehingga mereka lebih mengutamakan bekerja daripada mengikuti kegiatan dakwah. Ketiga, keberadaan masyarakat muslim yang berada di lingkungan mayoritas Hindu, sehingga sedikit tidak, umat muslim mudah terpengaruh dengan keadaan sosial yang ada. Keempat, sulit mendapat dukungan dari pemerintah. Terutama dalam hal pengurusan izin kegiatan dakwah dan pembangunan tempat ibadah. (c) Adapun solusi dari hambatan tersebut adalah:

Pertama, menjalin komunikasi yang intens dengan tokoh-tokoh organisasi, menyamakan visi dan misi, agar saling mendukung dalam mensyiarkan agama Islam di Karangngasem Bali. Kedua, mengajak para pengusaha muslim untuk membangun ekonomi umat dengan membuat lembaga sosial atau Amil zakat, untuk dikelola dan dikembangkan untuk kesejahteraan umat. Ketiga, mengajak umat muslim agar tidak mudah terpengaruh dengan lingkungan sekitar dan tetap bersikap saling menghargai dan menghormati dengan umat Hindu. Keempat,

Tokoh-tokoh muslim harus bisa menciptakan komunikasi yang baik dengan pemerintah.


(6)

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ……….. i

HALAMAN JUDUL ……….. ii

HALAMAN PERSETUJUAN……… iii

HALAMAN PENGESAHAN ……… iv

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN………... v

MOTTO………... … vi

ABSTRAK……….. vii

TRANSELITERASI……… viii

KATA PENGANTAR……….……… ix

DAFTAR ISI……… x

DATAR TABEL………. xi

BAB I PENDAHULUAN……… 1

A. Latar Belakang ………. 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ……… 8

C. Rumusan Malah……… 8

D. Tujuan Penelitian ………. 9

E. Kegunaan Penelitian……….. 9

F. Landasan Teori……….. 10

G. Penejasan Istilah……… 13

H. Penelitian Terdahulu ……… ... 18

I. Metode Penelitian ………. 24

J. Sistematika Pembahasan ………. 28

BAB II KAJIAN TEORETIK ………... 29

A. Kajian Teori tentang Strategi Dakwah ……… 29

1. Pengertian Strategi Dakwah ………. 29

2. Pebedaan Strategi dan Metode ………. 36

3. Bentuk-Bentuk Strategi dakwah ………... 38


(7)

5. Metode Dakwah Rasulullah………... 59

B. Kajian Tentang Masyarakat Islam Minoritas ……… 65 1. Masyarakat Minoritas ………... 65 2. Muslim di Bali...……… 69

3. Permasalah Muslim Menoritas dan Solusinya ……….. 74

BAB III TEMUAN LAPANGAN DAN ANALISIS STRATEGI DAKWAH DI MASYARAKAT MUSLIM KARANGASEM BALI……..……….. 80

A. Gambaran Lokasi Penelitian………. 80

B. Sejarah Masuknya Islam di Kabupaten Karangasem………... 82 C. Masyarakat muslim di Kabupaten Karangasem ……… . 88 D. Masyarakat Muslim di Kecamatan Karangasem………... 90

E. Dakwah di Masyarakat Muslim Kecamatan Karangasem Bali ...…… … 94

F. Analisis Strategi Dakwah di Masyarakat Muslim Karangasem Bali ... 104

1. Strategi Dakwah di Masyarakat Muslim Karangasem Bali ….….. 104 2. Faktor Pendukung dan Penghambat serta solusi ketika berdakwah di masyarakat muslim Karangasem Bali……….... 107

a. Faktor Pendukung………...………. 107

b. Faktor Penghambat ……...………. 108

c. Solusi………...……… 111

G. Analisis Berdasarkan Teori Interaksi Simbolik... 119

BAB IV PENUTUP ……….. 116

A. Kesimpulan ………... 116

B. Saran-saran ……….... 118 DAFTAR PUSTAKA


(8)

DAFTAR TABEL

1. Tabel 3.1 Data Penduduk Muslim Wilayah Kerja KUA kecamatan

Karangasem... 91

2. Tabel 3.2 Data Masjid Kecamatan Karangasem...………. 92

3. Tabel 3.3 Data Musholla Kecamatan Karangasem……… 93

4. Tabel 3.3 Data TPQ Kecamtan Karangasem……….……….... 93

5. Tabel 3.3 Data Madrasah Kecamtan Karangasem……….……… 94


(9)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Jika menyebut “Bali”, maka yang terlintas dalam pikiran orang adalah sebuah pulau dengan keindahan alamnya yang eksotis, budayanya yang unik, dan tentu saja umat Hindunya yang mayoritas. Seorang perempuan Amerika, yang menyebut dirinya sebagai Ketut Tantri menyatakan bahwa Bali adalah

The Last Paradise, sebuah pilihan kata untuk menggambarkan keelokan Bali dibanding berbagai tempat lain di Indonesia. Image tersebut sudah sangat mendunia dan dikenal di kalangan para pelancong Asing. Bahkan dengan segala keunikan dan keindahannya, banyak orang Asing mengira Bali sebagai Negara sendiri.1

Bali yang dikenal sebagai “Pulau Dewata” bisa menjadi objek

pelesiran yang digandrungi pelancong karena living monument nya, yaitu salah satu tempat yang kebudayaannya masih tetap hidup hingga saat ini. Bali memang mempunyai ciri khas dengan budaya kehinduannya. Kebudayaan Bali yang khas itu tetap ajeg hingga kini, dan itu menjadi pemikat tersendiri, sehingga orang-orang diseluruh dunia ingin berkunjung. Bali akhirnya menjadi aset terbesar Indonesia di bidang pariwisata, sebagai pemasok devisa Negara.

1

Dhuroruddin Mashad, Muslim Bali; Mencari KemBali Harmoni yang Hilang (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2014), Vii.


(10)

2

Adapun faktor yang membuat Bali menjadi istimewa di mata pelancong adalah praktek kehinduannya yang khas Bali. Prof. Ng. Poerbatjarakan mengatakan “Bali adalah penyimpanan warisan budaya agung yang berasal dari Majapahit”. Senada dengan itu, Hilde Geertz juga bilang bahwa apa yang di era lampau masih sebatas konsep-konsep filosofis di telatah Jawa, pada akhirnya kini menjadi praktek kultural di tanah Bali.2 Sehingga bila menyebut orang Bali maka yang tergambar adalah orang-orang yang menganut agama Hindu, karena mayoritas pendudukanya beragama Hindu.

Tapi tahukah anda, bahwa di provinsi yang terkenal dengan sebutan

“Pulau Seribu Pura” ini, ada juga umat Islamnya. Dan bahkan, umat Islam di

Bali sudah ada sejak dulu, berkembang dan berinterkasi dengan masyarakat Hindu. Mereka bukan muslim pendatang, tapi benar-benar penduduk asli yang sudah turun temurun hidup di Bali. Mereka disebut sebagai komunitas Muslim kuno yang hidup dan tinggal di Bali sejak lama.

Jejak sejarah Islam di Bali bisa ditelusuri dari komunitas Muslim lama yang telah eksis sejak abad 15 M, di zaman kerajaan Gelgel era kepemimpinan Dalem Ketut Ngelesir. Tapak historis mereka juga dapat ditelusuri dari prasasti, bahkan mungkin juga bangunan-bangunan penting kerajaan di Puri, termasuk cap kerajaan Klungkung yang menggunakan huruf Arab karena pada zaman Raja Ida Bagus Jambe kerajaan ini telah menjalin hubungan diplomatik dengan sebuah kerajaan Islam di Jambi (Sumatera

2

Yudis M. Burhanuddin, Bali Yang Hilang: Pendatang Islam dan Etnisitas di Bali (Yogyakarta: Kanisius, 2008), 52.


(11)

3

Selatan). Semua fakta historis tadi menjadi bukti bahwa Islam hakikatnya bukan fenomena baru di Bali, melainkan telah menjadi entitas dengan usia ratusan tahun, hampir sama tuanya dengan komunitas Muslim di daerah-daerah lain di Indonesia.3

Masayarakat Islam di Bali bersifat pluralistis karena berasal dari beberapa etnis, seperti Jawa, Madura Bugis, Keturunan Arab dan India. Ada beberapa kampung yang di tempati oleh masyarakat muslim di Bali, antara lain di daerah Negara: yaitu Loloan Barat, Loloan Timur, Kampung Pangembangan, Banyubiru. Buleleng: yaitu Kampung Bugis, Kampung Islam, Kampung Kejanan. Badung: yaitu Kampung Kepaon, Kampung Arab, Kampung Sanglah, Kampung Jawa. Kampung Islam lain di luar kampung Bugis berada di Kusamba (Klungkung), Kepaon (Badung), Pulukan (Jembrana), Pegayaman, Tegallinggah, Banjar Jawa (Buleleng).4

Buku yang berjudul Masyarakat Multikultural Bali: Tinjauan Sejarah, Migrasi dan Integrasi yang ditulis oleh I Ketut Ardhana, dkk., telah membuktikan bahwa adanya hubungan baik antara umat Islam dan umat Hindu yang ada di Bali. Daerah penelitian dilakukan di empat kabupaten, yaitu kabupaten Badung, kabupaten Klungkung, kabupaten Karangasem, kabupaten Jembrana. Selain menjelaskan tentang terbentuknya masyarakat multikultur di Bali juga terdapat banyak kehidupan beragama kaum migran dan penduduk setempat terjalin harmonis.

3

Dhuroruddin Mashad, Muslim Bali, 131. 4

I Ketut Ardhana dkk, Masyarakat Multikultural Bali: Tinjauan Sejarah, Migrasi dan Integrasi


(12)

4

Daerah Jembrana dapat terlihat jelas adanya hubungan baik dan rukun antara etnis Bali yang beragama Hindu dengan etnis beragama Islam, mereka bekerjasama menjadi anggota subak. Kehidupan harmonis tersebut sudah ada sejak lama dan turun-temurun sampai sekarang. Di tempat lain, desa Gelgel juga terjalin hubungan harmonis dalam masyarakat antara Muslim dan Hindu. Kedekatan dalam hubungan persaudaraan tersebut menumbuhkan rasa “menyama”. Bagi orang muslim biasanya disebut “nyama Selam” (saudara kita yang beragama Islam), dan “nyama Bali” untuk saudara kita yang beragama Hindu, sampai sekarang masih di kenal di Gelgel, Klungkung. Terjalin hubungan kekeluargaan antara warga Muslim dan warga Hindu yang berada di Tanjung Benoa yang biasa di kenal denga “Saling Seluk”, artinya apabila dari masing-masing warga baik muslim melakukan hajatan ataupun Hindu melakukan upacara kedua belah pihak tersebut saling mengunjungi bahkan ketika ada kematian warga Hindu ikut mengantar ke kuburan, begitu juga sebaliknya saat umat Hindu mengadakan upacara warga muslim ikut berpartisipasi.5

Penelitian lain yang terdahulu juga menunjukkan adanya hubungan yang terajalin baik antara umat Islam dan umat Hindu di Bali, seperti yang dilakukan oleh I Wayan Tegel Eddy. Tegel meneliti bagaimana masyarakat Islam yang ada di Nusa Penida, tepatnya di desa Toyapakeh. Masyarakat Islam yang ada disana bersedia mengadakan hubungan timbal balik dengan masyarakat Hindu. Hubungan diantara keduanya berjalan tanpa hambatan dan

5


(13)

5

damai. Semua itu dapat dilihat dengan adanya perkawinan diantara keduanya baik umat Islam dengan Hindu atau umat Hindu dengan umat Islam, dan sesuai dengan prinsip integrasi nasional yang dengan sendirinya sangat ditentukan oleh kepentingan-kepentingan nasional.6

Hanya saja, setelah peristiwa bom Bali pada tahun 2002 yang di lakukan oleh Amrozi dan kawan-kawan, hubungan yang harmonis antara Muslim-Hindu di Bali ternodai dan memunculkan problema sosial, terutama terkait dengan eksistensi umat Muslim di Bali.

Memang, di permukaan seolah tidak ada persoalan yang dialami umat Muslim Bali pasca tragedi bom Bali. Tetapi jika diselami secara lebih dalam niscaya akan ditemukan berbagai pesoalan terkait implikasi dari tragedi tersebut. Menurut Dhurorudin Mashad, tragedi bom Bali telah berimplikasi negatif secara akut pada mentalitas umat Hindu di Bali. Sekaligus menorehkan luka di hati mereka. Sebab, akibat ledakan bom tahun 2002 itu, Islam distreotipkan sebagai agama teroris mengingat pelaku mengatasnamakan jihad Islam.7

Lebih lanjut Mashad menjelaskan, salah satu imbas yang paling dirasakan Muslim Bali adalah timbulnya sentimen etnisitas-keagamaan yang termanifestasi dalam banyak wujud antara lain: Pertama, Sempat muncul semacam teror psikologis. Sehari setelah bom kedua, beredar isu muslimah yang ditabrak secara sengaja oleh sekelompok masa dan beberapa muslimah terpaksa menyembunyikan jilbabnya. Selain itu, bahkan sempat muncul pula

6

I Wayan Tegel Eddy, Masyarakat Islam di Toyapakeh tahun 1957-1978 (Denpasar: Fakultas Sastra Univesitas Udayana, 1982), 65-67.

7


(14)

6

berbagai macam provokasi di TV lokal Bali, selain beredarnya selebaran dengan tujuan untuk mengusir kaum pendatang yang disatulinikan dengan Jawa dan atau Muslim.

Kedua, Terjadi pengetatan status kependudukan di seluruh wilayah

Bali, untuk membatasi kemungkinan bertambahnya warga “Jawa-Muslim” ke Bali. Penertiban kependudukan yang dijalankan terkesan mendiskreditkan umat Islam, sebab petugas sangat serius dan tegas manakala pendatang yang tengah didata kebetulan beragama Islam. Bahkan karena streotip pasca bom Bali mengakibatkan warga Muslim harus: 1) Membayar uang jaminan kepada aparat, 2) Harus berusaha lebih keras meyakinkan orang sekitarnya bahwa dirinya tidak berbahaya, serta 3) Harus mendapatkan penjamin yang rela menanggung beban sosial dan moril selama berdiam di Bali, 4) bahkan, di wilayah tertentu diterapkan aturan bahwa: untuk mendapatkan KTP warga muslim harus punya tanah/rumah dengan bukti menunjukkan sertifikat. Tanpa persyaratan ini, meski warga muslim ini telah puluhan tahun tinggal di Bali, dia tidak akan diterima sebagai warga (dengan KTP) Bali.

Ketiga, Menyempitnya ruang-ruang ibadah, karena beberapa Masjid dan Musholla sempat ditutup massa atau aparat, dengan alasan lokasi atau bangunan tidak berizin dan lain sebagainya. Memang, masjid-masjid di Bali banyak yang tidak mempunyai ijin pendirian, karena hampir pasti selalu tidak diijinkan, tetapi, terutama setelah bom Bali keberadaan mereka menjadi sangat di persoalkan. Jika tempat-tempat ibadah yang sudah jadi saja akhirnya


(15)

7

mengalami problem akut, tentu upaya untuk membangun tempat ibadah baru menjadi kian sulit untuk diimpikan apalagi diwujudkan.

Keempat, Sempat muncul pembatasan kebebasan berusaha. Kala itu sempat berkembang rumor bahwa kaum Hindu akan dikenai sanksi manakala membeli bakso, tahu goreng, mie goreng atau makanan dan jasa lain yang ditawarkan warga muslim. Ada awig-awig (aturan adat) yang akan mendenda sampai Rp. 50.000 bagi orang Bali yang membeli bakso Jawa dan atau Muslim. Bahkan, isu itu disertai langkah koperasi Bali yang kala itu mendirikan Bakso Babi/Bakso Pakraman. Tujuan eksplisitnya adalah untuk memberdayakan ekonomi umat Hindu, tetapi pada sisi lain bagi komunitas Muslim langkah ini dinilai memiliki tujuan implisit untuk mematikan

perekonomian kaum pendatang, agar “pulang kampung”.

Melihat fenomena yang terjadi di atas, keberadaan umat Muslim di Bali pasca tragedi bom Bali menjadi dilematis dan selalu mendapatkan pengawasan. Maka dari itu penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut keberadaan umat Muslim di Bali. Fokus penelitian ini pada kegiatan dakwahnya, penulis ingin mengetahui bagaimana strategi dakwah yang dilakukan oleh para pendakwah (da’i) di Masyarakat muslim Bali, serta apa faktor pendukung dan penghambat serta solusi ketika dakwah di masyarakat muslim yang minoritas.


(16)

8

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka Penulis dapat mengidenfikasi masalah-masalah yang bisa di jadikan bahan penelitian yaitu:

1. Bagaimana strategi dakwah di Masyarakat Muslim Bali?

2. Apa faktor pendukung dan penghambat serta solusi ketika dakwah di masyarakat Muslim Bali?

3. Materi apa saja yang disampaikan oleh para da’i?

4. Bagaimana dinamika dakwah yang dialami oleh para da’i?

Dari sekian masalah tersebut, ada dua aspek yang ingin penulis teliti yaitu, Bagaimana strategi dakwah di Masyarakat Muslim minoritas dan apa saja faktor pendukung dan penghambat serta solusi ketika dakwah di masyarakat Muslim minoritas. Penelitian ini juga difokuskan di wilayah kecamatan Karangasem kabupaten Karangasem Bali. Pembatasan ini dilakukan agar penelitian ini lebih fokus dan mendalam sehingga hasil yang dicapai menjadi maksimal.

C. Rumusan Masalah

Secara lebih detail batasan masalah tersebut penulis tuangkan menjadi rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana strategi dakwah di Masyarakat Muslim Karangasem, Bali? 2. Apa faktor pendukung dan penghambat serta solusi ketika dakwah di


(17)

9

D. TujuanPenelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui strategi dakwah di Masyarakat Muslim Karangasem Bali. 2. Mengetahui faktor pendukung dan penghambat serta solusi ketika

dakwah di masyarakat Muslim Karangasem Bali.

E. Kegunaan Penelitian

Secara teoritis penelitian ini diharapkan mampu memberikan konstribusi keilmuan terhadap pelaku dakwah baik yang dilakukan oleh perorangan maupun oleh lembaga-lembaga dakwah seperti yayasan, organisasi masyarakat, pondok pesantren dan sebagainya, untuk dijadikan bahan acuan dalam merencanakan program-program dakwah di daerah Muslim minoritas.

Sedangkan secara praktis penelitian ini dapat berguna bagi para aktivis dakwah, khususnya para da’i yang ingin berdakwah ke daerah-daerah yang masih minoritas agama Islamnya dan dapat dijadikan pedoman sebelum melakukan dakwah sehingga dakwah yang dilakukan menjadi lebih baik dan terorganisir.

Sebagai tambahan kepustakaan bagi perguruan tinggi dan lembaga pemerintah yang terkait, sehingga bisa menjadi referensi untuk membuat program-program atau kebijakan yang berkaitan dengan masyarakat minoritas.


(18)

10

F. Landasan Teori

Adapun teori yang menjadi landasan dalam penelitian ini adalah teori interaksi simbolik. Teori ini merupakan teori yang berusaha menjelaskan bahwa interaksi antar individu melibatkan penggunaan simbol-simbol. Ketika kita berinteraksi dengan orang lain, kita berusaha mencari makna yang cocok dengan yang dimaksudkan oleh orang tersebut. Selain itu, kita juga menginterpretasikan apa yang dimaksud orang lain melalui simbolisasi yang ia bangun. Karena perspektif interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandang subjek. Persepektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka.8

Ide dasar teori interaksi simbolik menyatakan bahwa lambang atau simbol kebudayaan dipelajari melalui interaksi, orang memberi makna terhadap segala hal yang akan mengontrol sikap tindak mereka. Paham mengenai interaksi simbolik (symbolic interactionism) adalah suatu cara berpikir mengenai pikiran (mind), diri dan masyarakat. Dengan menggunakan sosiologi sebagai pondasi, paham ini mengajarkan bahwa ketika manusia berinteraksi satu sama lainnya, mereka saling membagi makna untuk jangka waktu tertentu dan untuk tindakan tertentu.9 Teori ini memfokuskan pada

8

Deddy Mulyana, Metode Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu

Sosial Lainnya (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), 70.

9

Morissan, Teori Komunikasi Massa: Media, Budaya dan Masyarakat (Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2010), 126.


(19)

11

cara-cara yang digunakan manusia untuk membentuk makna dan struktur masyarakat.10

George Herbert Mead11 mengajarkan bahwa makna muncul sebagai hasil interaksi di antara manusia, baik secara verbal maupun non verbal. Melalui aksi dan respon yang terjadi, kita memberikan makna ke dalam kata-kata atau tindakan, dan karenanya kita dapat memahami suatu peristiwa dengan cara-cara tertentu. Blumer juga menegaskan bahwa dalam pandangan interaksi simbolik, proses sosial dalam kehidupan kelompoklah yang menciptakan dan menegakkan aturan, bukan aturan yang menciptakan dan menegakkan kehidupan kelompok.12

Meurut George Herbert Mead, setiap isyarat non verbal dan pesan verbal yang dimaknai berdasarkan kesepakatan bersama oleh semua pihak yang terlibat dalam suatu interaksi merupakan satu bentuk simbol yang mempunyai arti yang sangat penting. Perilaku seseorang dipengaruhi oleh simbol yang diberikan oleh orang lain, demikian pula perilaku orang tersebut. Melalui pemberian isyarat berupa simbol, maka kita dapat mengutarakan perasaan, pikiran, maksud, dan sebaliknya dengan cara membaca simbol yang ditampilkan oleh orang lain.13 Sedangkan Menurut Don Faules dan Dennis

10

Morissan, Teori Komunikasi: Individu Hingga Massa (Jakarta: Kencana, 2014), 224. 11

Sejarah Teori Interaksionisme Simbolik tidak bisa dilepaskan dari pemikiran George Herbert Mead (1863-1931). Mead membuat pemikiran orisinal yaitu “The Theoretical Perspective” yang

merupakan cikal bakal “Teori Interaksi Simbolik”. Dikarenakan Mead tinggal di Chicago selama lebih kurang 37 tahun, maka perspektifnya seringkali disebut sebagai Mahzab Chicago. (lihat Susetiawan, Melacak Pemikiran George Herbert Mead; Pendekatan Filsafat, (Yogyakarta: LkiS, 2002), 2).

12

Deddy Mulyana, Metode Penelitian Kualitatif, 70. 13

Ryadi Soeprapto, Interaksionisme Simbolik, Perspektiof Sosiologi Modern. (Malang: Averroes Press dan Pustaka Pelajar, 2000), 5.


(20)

12

Alexander interaksi simbolik adalah cara yang sangat bagus untuk menjelaskan bagaimana komunikasi massa membentuk tingkah laku masyarakat.14

Teori interaksi simbolik mendasarkan gagasannya pada tiga tema penting yaitu: Pentingnya makna dalam perilaku manusia, pentingnya konsep diri, dan hubungan antar individu dengan masyarakat. Ketiga tema penting tersebut menghasilkan tujuh asumsi berikut:

1. Manusia berperilaku berdasarkan makna yang diberikan orang lain kepada dirinya

2. Makna diciptakan melalui interaksi antar manusia

3. Makna mengalami modifikasi melalui proses interpretasi

4. Manusia mengembangkan konsep diri melalui interaksinya dengan orang lain

5. Konsep diri menjadi motif penting bagi perilaku 6. Manusia dipengaruhi oleh proses budaya dan sosial 7. Struktur sosial terbentuk melalui interaksi sosial15

Menurut Ritzer, substansi teori interaksionisme simbolik adalah sebagai berikut:

1. Kehidupan bermasyarakat itu terbentuk melalui proses interaksi dan komunikasi antar individu dan antar kelompok dengan menggunakan simbol-simbol yang dipahami maknanya melalui proses belajar.

14

Morissan, Teori komunikasi Massa: Media, Budaya dan Masyarakat, 126 15


(21)

13

2. Tindakan seseorang dalam proses interaksi itu bukan semata-mata merupakan suatu tanggapan yang bersifat langsung terhadap stimulus yang datang dari lingkungannya atau dari luar dirinya, melainkan merupakan hasil dari proses interpretasi terhadap stimulus.16

Dengan begitu jelas bahwa hal ini merupakan hasil proses belajar dalam memahammi simbol dan saling menyesuaikan makna dari simbol-simbol tersebut.

Dalam penelitian ini peneliti akan melihat simbol-simbol yang diberikan oleh para pelaku dakwah (Da’i) di masyarakat Muslim Karangasem Bali dan bagaimana respon masyarakat Muslim Karangasem Bali terhadap siombol-simbol tersebut sehingga terjadi interaksi antara pelaku dakwah dan masyarakat Muslim Karangasem. Dan bagaimana pengaruh dari simbol yang diberikan oleh para pelaku dakwah tersebut.

Penelitian ini akan melihat struktur-struktur sosial yang ada di masyarakat Muslim Karangasem, bentuk-bentuk kongkret dari perilaku individual atau sifat-sifat batin yang bersifat dugaan. Penelitian ini difokuskan pada hakekat interaksi, pada pola-pola dinamis dari tindakan sosial dan hubungan sosial di masyarakat Musim Karangasem Bali.

G. Penjelasan Istilah

Agar penelitian ini lebih fokus dan mengenai sasaran, perlu penulis jelaskan makna-makna dari istilah yang ada dalam judul penelitian ini.

16

Shonhadji Sholeh, Sosiologi Dakwah Perspektif Teoretik (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2011), 23.


(22)

14

1. Dakwah

Secara etimologis, kata “dakwah” berasal dari bahasa arab da’ā

-yad’ū-da’wah yang artinya menyeru, memanggil, mengajak, dan mengundang.17 Da’wah mempunyai tiga huruf asal, yaitu dal, „ain, dan

wawu. Dari ketiga huruf asal ini, terbentuk beberapa kata dengan ragam makna. Makna-makna tersebut adalah memanggil, mengundang, minta tolong, meminta, memohon, menamakan, menyuruh datang, mendorong,

menyebabkan, mendatangkan, mendo’akan, menangisi, dan meratapi.18

Kalau dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “dakwah” diartikan 1) Penyiaran, propaganda, 2) penyiaran agama dan pengembangannya di kalangan masyarakat, seruan untuk memeluk, mempelajari dan mengamalkan ajaran agama.19 Arti secara etimologis ini biasanya digunakan dalam arti untuk menyeru atau mengajak kepada kebaikan.20

Sedangkan secara terminologis sudah banyak kita temukan tentang definisi dakwah. Moh Ali Aziz dalam bukunya Ilmu Dakwah, mengumpulkan 38 definisi dakwah.21 Ia menyimpulkan bahwa, secara umum, definisi dakwah yang dikemukakan para ahli tersebut menunjuk pada kegiatan yang bertujuan perubahan positif dalam diri manusia. Perubahan positif ini diwujudkan dengan peningkatan iman, mengingat sasaran dakwah adalah iman. Karena tujuannya baik, maka kegiatannya

17

Ahmad Warson Munawir, Kamus Arab Indonesia (Yogyakarta: al-Munawwir, 1984), 439. 18

Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah Edisi Revisi (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), 6. 19

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), 232.

20 Aris Saefulloh, “Cyberdakwah Sebagai Media Alternatife Dakwah”,

Islamica, Vol. 7, No. 1

(September, 2012), 142. 21


(23)

15

juga harus baik. Ukuran baik dan buruk adalah syariat Islam yang termaktub dalam Al-Qur’an dan Hadis. Dengan ukuran ini, metode, media, pesan, teknik, harus sesuai dengan maksud syariah Islam

(maqāsid al-Syar’iah). Karenanya, pedakwah pun harus seorang muslim. Berdasar pada rumusan definisi di atas, maka secara singkat, dakwah adalah kegiatan peningkatan iman menurut syariat Islam.22

Lebih lanjut Ali Aziz menjelaskan bahwa dakwah merupakan proses peningkatan iman dalam diri manusia sesuai syariat Islam.

“proses” menunjukkan kegiatan yang terus-menerus, berkesinambungan, dan bertahap. Peningkatan adalah perubahan kualitas yang positif; dari buruk menjadi baik, atau dari baik menjadi lebih baik. Peningkatan iman termanifestasi dalam peningkatan pemahaman, kesadran, dan perbuatan. Untuk membedakan dengan pengertian dakwah secara umum, syariat Islam sebagai pijakan, hal-hal yang terkait dengan dakwah tidak boleh bertentangan dengan dengan Al-Qur’an dan Hadis.23

2. Strategi Dakwah

Strategi dakwah artinya metode, siasat, taktik, atau maneuver yang dipergunakan dalam aktivitas (kegiatan) dakwah.24 Menurut Ali Aziz, strategi dakwah adalah perencanaan yang berisi rangkaian kegiatan yang didesain untuk mencapai tujuan dakwah tertentu. 25 Sedangkan Menurut

22

Ibid., 19. 23

Ibid., 19-20. 24

Samsul Munir Amin, Rekonstruksi Pemikiran Dakwah Islam ( Jakarta: Amzah, 2008), 176. 25


(24)

16

al-Bayanuni strategi dakwah adalah ketentuan-ketentuan dakwah dan rencana-rencana yang dirumuskan untuk kegiatan dakwah.26

Dalam kegiatan komunikasi, Effendi mengartikan strategi sebagai perencanaan (planning) dan manajemen (management) untuk mencapai suatu tujuan. Ia tidak hanya berfungsi sebagai peta jalan yang harus ditempuh, tapi juga berisi taktik operasionalnya. Ia harus didukung teori karena teori merupakan pengetahuan berdasarkan pengalaman yang sudah diuji kebenarannya.27

Jadi yang dimaksud dengan strategi dakwah disini adalah perencanaan yang berisi rangkaian kegiatan yang didesain untuk mencapai tujuan dakwah secara efektif dan efisien. Atau Mengajak kepada kebaikan dengan menggunakan perencanaan yang baik serta terukur sehingga tepat sasran dan tujuannya bisa tercapai.

3. Masyarakat Minoritas

Dari sudut bahasa, minoritas biasanya didefinisikan sebagai golongan sosial yang jumlah warganya jauh lebih kecil jika dibanding golongan lain dalam suatu masyarakat, dan karena itu didiskriminasikan golongan lain.28 Secara sosiologis, mereka yang disebut minoritas setidaknya memenuhi tiga gambaran. Pertama, anggotanya sangat tidak diuntungkan sebagai akibat dari tindakan diskriminasi orang lain terhadap mereka. Kedua, anggotanya memiliki solidaritas kelompok

dengan “rasa kepemilikan bersama”, dan mereka memandang dirinya

26

Ibid., 351. 27

Ibid,. 28


(25)

17

sebagai “yang lain” sama sekali dari kelompok mayoritas. Ketiga, biasanya secara fisik dan sosial terisolasi dari komunitas yang lebih besar.29

Sejauh ini memang tidak ada definisi tunggal tentang minoritas. Namun demikian, umumnya istilah ini lebih menekankan pada keberadaan minoritas sebagai persoalan fakta dan definisinya harus memasukan faktor-faktor objektif seperti fakta pluralitas bahasa, etnis atau agama, dan faktor-faktor subjektif, termasuk bahwa individu itu harus mengidentifikasi dirinya sebagai anggota kelompok minoritas tertentu.

Definisi yang cukup membantu mengenai minoritas, salah satunya dirumuskan Francesco Capotorti, Special Rapporteur PBB untuk subkomisi Pencegahan Diskrminasi dan Perlindungan Minoritas, tahun 1977. Minoritas, menurut Francesco, adalah sebuah kelompok yang dari sisi jumlah lebih rendah dari sisa populasi penduduk suatu negara, berada dalam posisi tidak dominan, yang anggotanya memiliki karakteristik etnis, agama, bahasa, yang ber beda dari sisi penduduk dan menunjukan, meski hanya secara implisit, rasa solidaritas yang diarahkan untuk melestarikan budaya, tradisi, agama, dan bahasa mereka.30

Definisi itu merangkum dua kategori sekaligus. Kategori objektif berupa fakta kuantitas yang lebih rendah dari sisa populasi penduduk, sementara kategori subjektif rasa solidaritas sebagai komunitas minoritas.

29

Ahmad Suaedy, dkk., Islam Dan Kaum Minoritas: Tantangan Kontemporer (Jakarta: The Wahid Institute, 2012), 7.

30


(26)

18

Di Bali, Islam menjadi agama minoritas, secara jumlah penganutnya. Minoritas muslim di Bali saat ini mencapai 13% dari jumlah seluruh penduduk pulau dewata ini. Dan mereka berada di bebagai daerah yang ada di Bali, dan membentuk komunias-komunitas. Mereka merupakan wargsa asli Bali yang tidak menganut agama mayoritas (Hindu) tetapi menganut agama Islam, dimana agama dan kepercayaan ini sudah dianut secara turun temurun semenjak mereka lahir.

H. Penelitian Terdahulu

Ada beberapa penelitian terdahulu yang akan menjadi bahan acuan dan perbandingan dari penelitian ini diantaraya adalah penelitian yang dilakukan Abdul Wahib,31 dengan judul penelitian “Pergulatan Pendidikan

Agama Islam di Kawasan Minoritas Muslim”. Dalam penelitiannya Abdul

Wahib menjelaskan dinamika para guru Pendidikan Agama Islam di sekolah yang ada di Bali, penelitian ini dilakukan pasca bom Bali yang dilakukan oleh Amrozi dan kawan-kawan. Dari hasil penelitian itu disimpulkan bahwa: 1) hubungan antara masyarakat minoritas muslim di sekolah sebelum terjadinya bom Bali tergolong baik dan tentram, namun pasca bom Bali hubungan itu menjadi rusak. 2) Guru-guru Pendidikan Agama Islam di Bali menghadapi masalah yang rentangnya sangat beragam terkait dengan wilayah kehidupan: sekolah, ruang kelas, dan kehidupan sosial. 3) dalam kurikulum lokal, perlu

31 Abdul Wahib, “Pergulatan Pendidikan Agama Islam Di Kawasan Minoritas Muslim”,


(27)

19

dimasukkannya materi tentang penghormatan terhadap penganut keyakinan yang berbeda. Penelitian ini memberikan gambaran kepada peneliti tentang pendidikan agama Islam yang diberikan terhadap masayarakat muslim di lembaga pendidikan di Bali.

Kunawi Basyir, dengan judul penelitian Pola Kerukunan Antarumat Islam dan Hindu di Denpasar Bali.32 Penelitian ini mencoba untuk meninjau kehidupan beragama masyarakat multikultural dari Islam-Hindu di Denpasar Bali. Temuan di lapangan mengungkapkan bahwa dalam rangkan meneguhkan kembali kerukunan antar umat beragama (Islam-Hindu) masyarakat Denpasar Bali sepakat untuk menghidupkan tradisi yang pernah dikembangkan oleh nenek moyang mereka yaitu tradisi menyama braya. Tradisi ini dikembangkan melalui jalur politik, budaya, dan sosial.

Dari temuan itu Kunawi Basyir menyimpulkan bahwa kokohnya kerukunan antar umat beragama Islam-Hindu di Denpasar Bali adalah berkat adanya peran masyarakat serta beberapa institusi yang ada seperti institusi pemerintah, lembaga sosial, lembaga politik, lembaga-lembaga keagamaan, lembaga-lembaga-lembaga-lembaga adat dan juga masyarakat setempat. Mereka menjalin komunikasi yang intensif, sehingga budaya menyama braya selalu melekat pada masyarakat Denpasar pada umumnya. Penelitian ini tidak sampai membahas kegiatan dakwah di Bali namun memberikan gambaran pada peneliti bagaimana peran komunitas-komunitas Islam dan hindu dalam menjaga kerukunan antarumat beragama.

32Kunawi Basyir, “Pola Kerukunan Antarumat Islam dan Hindu di Denpasar Bali”, Islamica, Vol. 8, No. 1 (September, 2013), 1.


(28)

20

Susi Ariyani dengan judul Studi korelasi pelaksanaan pendidikan non formal bagi masyarakat minoritas muslim dalam mempertahankan eksistensinya di tengah masyarakat mayoritas Hindu (di Kecicang Islam, Bungaya Kangin, Bebandem, Karangasem Bali).33 Penelitian ini bertujuan untuk 1) Mengetahui bagaimana pelaksanan pendidikan Islam Non formal bagi masyarakat minoritas muslim di tengah masyarakat mayoritas Hindu di Kecicang Islam, Bungaya Kangin, Bebandem, Karangasem Bali, 2) Bagaimana eksistensi masyarakat minoritas muslim di tengah masyarakat mayoritas Hindu di Kecicang Islam, Bungaya Kangin, Bebandem, Karangasem Bali, 3) Adakah kolerasi antara pelaksanaan pendidikan Islam Non formal dengan ke eksistensinya masyarakat muslim di Kecicang Islam, Bungaya Kangin, Bebandem, Karangasem Bali dan seperti apa korelasi pelaksanaan pendidikan Islam Non formal dalam mempertahankan eksistensinya di tengah masyarakat mayoritas Hindu di Kecicang Islam, Bungaya Kangin, Bebandem, Karangasem Bali.

Penelitian ini menggunakan metode diskriptif kuantitatif. Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat muslim yang ikut dalam pendidikan Islam non formal, yang berjumlah 263 orang masyarakat muslim, sedangkan sampel yang di ambil yaitu sebanyak 50 orang masyarakat muslim.

Hasil dari penelitiannya yaitu pelaksanaan pendidikan Islam non formal di Kecicang Islam, Bungaya Kangin, Bebandem, Karangasem Bali

33

Susi Ariyani, Study Korelasi Pelaksanaan Pendidikan Islam Non Formal bagi Masyarakat Minoritas Muslim dalam Mempertahankan Eksistensinya di tengah Mayoritas Masyarakat Hindu: Di Kecicang Islam, Bungaya Kangin, Bebandem, Karangasem Bali” (Skripsi-- IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2011).


(29)

21

tergolong Cukup Baik ini dilihat dari hasil jawaban angket yang dengan prosentase 58,2%, sedang ke eksistensian masyarakat minoritas muslim di daerah Kecicang Islam, Bungaya Kangin, Bebandem, Karangasem Bali yaitu terglong Cukup Baik dengan prosentase 53%,. Dari hasil analisa diketahui adanya hubungan antara pelaksanaan pendidikan Islam non formal bagi masyarakat minoritas muslim adalah sangat Kuat atau Tinggi.

Dhurorudin Mashad seorang peneliti senior LIPI dengan judul

“Muslim Bali: Mencari Kembali Harmoni yang Hilang”34. Dalam penelitiannya ia mengungkap tentang keberadaam muslim di Bali. Setelah melakukan penelitian selama berbulan-bulan di Bali, ia menyimpulkan bahwa sejarah kedatangan Islam di Pulau Bali, hampir sama tuanya dengan keberadaan agama Hindu di Pulau Dewata. Hal ini diawali dengan memudarnya pengaruh kerajan Hindu Majapahit di Pulau Jawa, yang kemudian sisa-sisa laskar Hindu menyebrang ke Pulau Bali, ternyata komunitas Islam juga ada yang bersamaan mendiami pulau dewata tersebut.

Bahkan hubungan kekerabatan Hindu-Muslim di Pulau Bali sudah ratusan tahun berjalan. Kemudian pasca tahun 70-an, ketika pulau Bali menjadi primadona wisata Indonesia, muncul gelombang migrasi penduduk pulau Jawa ke Pulau Bali yang mau tidak mau mayoritas penduduk Muslim. Hal ini semakin mewarnai kehidupan Islam di Pulau Bali.

Penelitiannya berhasil merekam kehidupan kaum muslim asli Bali yang berada di berbagai kabupaten di Pulau Bali lengkap dengan tempat

34

Dhurorudin Mashad, Muslim Bali; Mencari KemBali Harmoni Yang Hilang (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2014 ).


(30)

22

ibadahya, yang berjalan hidup harmonis dengan mayoritas umat Hindu.

Sayangnya semenjak kasus “Bom Bali” tahun 2002, hubungan kekerabatan

yang sudah berjalan cukup bagus menjadi ternoda. Dan ia menyarankan akan adanya keseriusan bersama bahwa ikatan persaudaraan Hindu-Islam di Pulau Bali harus terus dijaga demi terwujudnya keharmonisan yang akan dinikmati bersama.

Ahmad Amir Aziz dan Nurul Hidayat35, dengan judul penelitian Konversi Agama dan Interaksi Komunitas Muallaf di Denpasar Bali. Studi ini bermaksud memotret latar belakang dan proses konversi ke agama Islam di kalangan warga Hindu Bali di Kota Denpasar. Selain itu penelitian ini juga mengkaji pola interaksi komunitas muallaf Bali dengan keluarga dan kelompok asalnya maupun dengan komunitas muslim. Penelitian kualitatif ini menggunakan metode deskriptif-analitis, dengan pendekatan fenomenologis. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi ke pusat-pusat pembinaan muallaf, wawancara kepada sejumlah muallaf, dan dokumentasi.

Studi ini menemukan bahwa latar belakang kaum muallaf masuk ke Islam sangat variatif. Masing-masing orang memiliki konteks pribadi dan sosial yang beragam. Motif utama muallaf adalah afeksional, menyusul intelektual, dan transendental. Sedangkan pola hubungan antara muallaf dan keluarganya yang Hindu tidak selamanya berwajah buram. Bagi masyarakat yang adat kastanya masih kuat, sang muallaf mengalami sejumlah tekanan. Meskipun demikian, studi ini menemukan bahwa semakin kuat kontribusi

35 Ahmad Amir Aziz dan Nurul Hidayat, “Konversi Agama dan Interaksi Komunitas Muallaf di


(31)

23

seorang muallaf pada masyarakatnya, maka semakin memperkuat akseptabilitasnya di komunitas asal maupun lingkungan barunya. Selain itu penelitian ini juga mengungkap tentang bagaimana proses pembinaan para muallaf yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pembianaan muallaf yang ada di kota Denpasar Bali. Penelitian ini membantu peneliti untuk mengetahui proses dakwah yang dilakukan terhadap para muallaf yang ada di Bali.

Lima penelitian terdahulu di atas memiliki kesamaan yakni melaksanakan penelitian di Bali, yang membedakan adalah sudut pandang dan objek penelitian. Abdul Wahib, membahas tetang pergulatan pendidikan Agama Islam di kawasan minoritas Muslim di Bali dengan objek penelitian Pendidikan Agama Islam di sekolah-sekolah di Bali. Sedangkan Kunawi Basyir mengungkap bagaimana komunitas Islam dan Hindu membangun pola kerukunan antarumat beragama di tengah-tengah masyarakat multikultural sebagai modal kehidupan berbangsa dan bernegara dengan objek penelitian komunitas-komunitas Islam dan Hindu di Denpasar.

Susi Ariyani membahas korelasi pelaksanaan pendidikan non formal bagi masyarakat minoritas Muslim dalam mempertahankan eksistensinya di tengah masyarakat mayoritas Hindu. Dhurorudin Mashad membahas tentang keberadaan umat Muslim Bali, mulai dari sejarah dan perkembangannyanya. Dan Ahmad Amir Aziz dan Nurul Hidayat membahas Konversi Agama dan Interaksi Komunitas Muallaf di Denpasar Bali.

Adapun dalam penelitian ini penulis akan membahas tentang strategi dakwah di Masyarakat Muslim minoritas Karangasem Bali, dan apa faktor


(32)

24

pendukung, penghambat serta solusi ketika dakwah di masyarakat Muslim minoritas Karangasem Bali. Fokus penelitian ini pada kegiatan dakwah di masyarakat Muslim minoritas Karangasem Bali.

I. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yaitu penelitian yang menekankan pada kualitas atau hal yang terpenting suatu barang atau jasa. Hal terpenting suatu barang atau jasa yang berupa kejadian, fenomena dan gejala sosial adalah makna di balik kejadian tersebut yang dapat dijadikan pelajaran berharga bagi pengembangan konsep teori.36 Bodgan dan Taylor mendefinisikan bahwa penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.37 Metode ini dimulai dengan mengumpulkan data, menganalisis data dan menginterpretasikannya.38 Karena penelitian ini merupakan penelitian kualitatif maka jenis data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data kualitatif yaitu data yang berbentuk non angka.

2. Sumber Data

Dalam penelitian ini yang menjadi sumber data atau subyek penelitian adalah para pelaku dakwah (da’i), Kepala Kantor Urusan

36

M. Djunaidi Ghony dan Fauzan Almanshur, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jogyakarta: Arruz Media, 2010), 25.

37

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Rosda Karya, 2000), 13. 38

Suryana, Metodologi Penelitian: Model Praktis Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif ( Jakarta: Universitas Pendidikan Indonesia, 2010), 20.


(33)

25

Agama kecamatan Karangasem, pihak-pihak terkait dan masyarakat setempat dan masyarakat muslim di kecamatan Karangasem Bali. Selain itu data juga bisa bersumber dari buku, dokumen-dokumen, catatan-catatan yang berkaitan dengan penelitian ini.

3. Metode Pengumpulan Data a. Metode Interview

Interview atau wawancara adalah usaha mengumpulkan informasi dengan mengajukan sejumlah pertanyaan secara lisan, untuk dijawab secara lisan pula. Ciri utama interview adalah kontak langsung dengan tatap muka (face to face relationship) antara si pencari informasi (interviewer atau information hunter) dengan sumber informasi (interviewee).39 Wawancara yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu wawancara tak terstruktur dan wawancara tersturktur. Menurut Deddy Mulyana, Wawancara tak terstruktur sering juga disebut wawancara mendalam, wawancara intensif, wawancara kualitatif, dan wawancara terbuka (openended interview) dan wawancara etnografis, sedangkan wawancara terstruktur sering juga disebut wawancara baku

(standardized interview), yang susunan pertanyaannya sudah ditetapkan sebelumnya (biasanya tertulis) dengan pilihan-pilihan jawaban yang juga sudah disediakan.40

Adapun yang akan menjadi nara sumber dalam penelitian ini adalah para pelaku dakwah (da’i) di Kecamatan Karangasem Bali,

39

H. Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2005), 111.

40


(34)

26

Kepala Kantor Urusan Agama kecamatan Karangasem, pihak-pihak terkait dan masayarakat setempat.

Metode ini digunakan untuk memperoleh data tentang strategi dakwah di Karangasem Bali dan faktor pendukung, penghambat ketika berdakwah dan bagaimana solusinya.

b. Metode Observasi

Metode observasi, yaitu metode pengumpulan data dengan cara melakukan pengamatan dan pencatatan secara sitematik terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian41 atau kejadian atau hal-hal penting yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Data yang ingin diperoleh dari metode observasi adalah kegiatan dakwah, keadaan dan proses berlangsungnya dakwah di kecamatan Karangasem Bali.

c. Metode Dokumentasi

Metode dokumentasi merupakan metode pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengumpulkan data melalui peninggalan tertulis, terutama berupa arsip-arsip dan termasuk juga buku-buku tentang pendapat, teori, dali/hokum-hukum dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah penyelidikan.42 Schatzman dan Strauss menegaskan bahwa dokumen historis merupakan bahan penting dalam

41

H. Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial…., 100. 42


(35)

27

penelitian kualitatif. Dalam kaitan ini, otobiografi, catatan harian, dan surat-surat pribadi biasanya adalah yang terpenting.43

Dalam penelitain ini maka peneliti akan mengumpulkan buku-buku, makalah, dokumen, dan catatan-catatan yang berkaitan dengan kegiatan, proses dan keadaan dakwah di masyarakat Muslim di kecamatan Karangasem, Bali.

4. Teknik Analisis Data

Setelah data terkumpulkan selanjutnya dilakukan analisis data. Menurut Milles dan Huber sebagaimana dikutif Sugiono, analisis data terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan yaitu:44

a. Reduksi data, yaitu proses pemilihan, pemusatan perhatian, penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang muncul dari data catatan-catatan tertulis di lapangan. Reduksi data berlansung secara terus menerus selama penelitian berlansung.

b. Penyajian data, hal ini dimaksudkan untuk menemukan suatu makna dari data-data yang diperoleh, kemudian disusun secara sistematis dari informasi yang kompleks menjadi sederhana namun selektif.

c. Penarikan kesimpulan, analisa yang dilakukan selama pengumpulan data dan setelah data terkumpul semua. Sejak pengumpulan data peneliti berusaha mencari makna atau arti dari simbol-simbol, mencatat penjelasan-penjelasan dan alur sebab-sebab yang terjadi dari kegiatan itu, lalu dibuat simpulan-simpulan yang sifatnya masih

43

Deddy Mulyana, Metode Penelitian Kualitatif, ….. 195-196. 44

Sugiono, Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan R & D


(36)

28

terbuka kemudian menuju kepada yang spesifikasi atau rinci. Kesimpulan final dapat diperoleh setelah pengumpulan selesai.

J. SistematikaPembahasan

Sistematika pembahasan dalam penelitian ini terdiri dari empat bab yaitu: Bab I, Pendahuluan, bab ini berisi latar belakang masalah, indentifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, landasan teori, penjelasan istilah, penelitian terdahulu, metode penelitian dan sistematika pembahasan.

Bab II, Kajian teoretik, bab ini akan membahas kajian teori tentang strategi dakwah meliputi: pengertian strategi dakwah, perbedaan strategi dan metode, bentuk-bentuk strategi dakwah, metode dakwah dan Metode dakwah Rasulullah. Dalam bab ini juga membahas tentang masyarakat muslim minoritas meliputi pengertian masyarakat Minoritas, Muslim minoritas di Bali dan permasalahan yang dihadapi oleh muslim minoritas serta solusinya.

Bab III, temuan lapangan dan analisis strategi dakwah di masyarakat muslim Karangasem Bali, bab ini akan menyajikan hasil-hasil temuan dilapangan, meliputi: gambaran lokasi penelitian, sejarah masuknya Islam di Kabupaten Karangasem Bali, keberadaan masyarakat muslim di Kabupaten Karangasem, masyarakat muslim di Kecamatan Karangasem, dakwah di masyarakat muslim Karangasem Bali. Di bab ini juga di bahas tentang analisis penelitian.


(37)

1

BAB II

KAJIAN TEORETIK

A. Kajian Teori tentang Strategi Dakwah 1. Pengertian Strategi Dakwah

Strategi berasal dari bahasa Yunani: Strategia yang berarti kepemimpinan atas pasukan atau seni memimpin pasukan. Kata strategia

bersumber dari kata strategos yang berkembang dari dari kata stratos

(tentara) dan kata agein (memimpin). Istilah strategi dipakai dalam kontek militer sejak zaman kejayaan Yunan-Romawi sampai masa awal industrialisasi. Kemudian istilah strategi meluas ke berbagai aspek kegiatan masyarakat, termasuk dalam bidang komunikasi dan dakwah. Hal ini penting karena dakwah bertujuan melakukan perubahan terencana dalam masyarakat.1

Kata strategi dibedakan dari kata taktik. Webster’s New Twentieth

Century Dictionary menyatakan bahwa taktik menunjukkan hanya pada kegiatan mekanik saat menggerakkan benda-benda, sedangkan strategi adalah cara pengaturan untuk melaksanakan taktik itu.2 Bisa juga berarti kemampuan yang terampil dalam menangani dan merencanakan sesuatu.3

1

Anwar Arifin, Dakwah Kontemporer: Sebuah Studi Komunikasi (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011), 227.

2

Kustadi Suhandang, Retorika: Strategi, Teknik dan Taktik Berpidato (Bandung: Penerbit Nuansa, 2009), 90.

3

Syukriadi Sambas & Acep Aripudin, Dakwah Damai: Pengantar Dakwah Antarbudaya


(38)

2

Dalam proses penentuannya, strategi ini merupakan proses berpikir yang mencakup pada apa yang disebut simultaneous scanning

(pengamatan simultan) dan conservative focusing (pemusatan perhatian). Maksudnya, strategi dilakukan dengan mengadakan pengamatan secara terpusat dan hati-hati sehingga bisa memilih dan memilah tindakan-tindakan yang lebih efektif untuk mencapai suatu tujuan.4 Strategi juga bisa berupa menyusun rencana-rencana dan langkah-langkah yang akan ditempuh.5 Dengan demikian istilah strategi ini antara lain menunjuk pada upaya pencapaian tujuan secara efektif dan efisien.

Littlejohn menyamakan strategi dengan “rencana suatu tindakan”

dan metodologinya yang sangat mendasar dikemukakan Burke sebagai

the dramatistic pentad (segi lima dramatistik) dengan perincian sebagai berikut:

1. Act (aksi) yaitu apa yang harus dikerjakan oleh aktor (pelaku). Segi pertama ini menjelaskan tentang apa yang harus dimainkan aktor, apa yang sebaiknya dilakukan, dan apa yang seharusnya diselesaikan.

2. Scence (suasana) yaitu situasi atau keadaan di mana tindakan (kegiatan) itu dilangsungkan. Segi yang kedua ini meliputi penjelasan tentang keadaan fisik maupun budaya serta lingkungan masyarakat di mana kegiatan itu akan dilaksanakan.

4

Kustadi Suhandang, Retorika: Strategi, Teknik dan Taktik Berpidato, 91. 5 Asep Muhyiddin dan Agus Achmad Syafi’I,

Metode Pengembangan Dakwah (Bandung: CV


(39)

3

3. Agent (agen) yaitu diri pelaku sendiri yang harus dan akan melaksanakan tugasnya, termasuk semua yang diketahui tentang substansinya. Substansi itu sendiri mencakup semua aspek kemanusiaannya, sikapnya, pribadinya, sejarah kehidupannya, dan faktor-faktor terkait lainnya.

4. Agency (perantara) yaitu instrument atau alat yang akan dan harus digunakan oleh aktor (agen selaku pelaku) dalam melakukan tindakannya. Mungkin meliputi saluran-saluran komunikasi, jalan pikiran, lembaga (media), cara, pesan (message), atau alat-alat terkait lainnya.

5. Purpose (tujuan) yaitu alasan untuk bertindak yang diantaranya mencakup tujuan teoritis, akibat atau hasil (dari tindakannya itu) yang diharapakan.6

Strategi pada hakikatnya adalah perencanaan (planning) dan manajemen (management) untuk mencapai tujuan. Akan tetapi, untuk mencapai tujuan tersebut, strategi tidak berfungsi sebagai peta jalan yang hanya menunjukkan arah saja, melainkan harus mampu menunjukkan bagaimana taktik operasionalnya.7 Dari uraian-uraian di atas tersebut bisa disimpulkan bahwa strategi merupakan rancangan dan ketentuan-ketentuan yang dibuat untuk mencapai tujuan tertentu secara efektif dan efisien.

Sedangakan kata kata “dakwah” berasal dari bahasa arab, bertuk

masdar dari da’ā-yad’ū-da’wah yang artinya menyeru, memanggil,

6

Ibid., 92 7

Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007), 32.


(40)

4

mengajak, dan mengundang.8 Selain itu, Ibnu Manzhūr dalam Lisān al

’Arab mengartikan dakwah dengan menegaskan atau membela, baik terhadap yang benar ataupun yang salah, yang positif atau yang negatif.9 Sedangkan Dalam al-Qāmūs al-Muhīth juga diartikan suatu usaha berupa perkataan ataupun perbuatan untuk menarik seseorang kepada suatu aliran atau agama tertentu.10 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata

“dakwah” diartikan 1) Penyiaran, propaganda, 2) penyiaran agama dan

pengembangannya di kalangan masyarakat, seruan untuk memeluk, mempelajari dan mengamalkan ajaran agama.11

Mengeni kata dakwah lebih detail Ali Aziz memaknai, dakwah mempunyai tiga huruf asal, yaitu dal, „ain, dan wawu. Dari ketiga huruf asal ini, terbentuk beberapa kata dengan ragam makna. Makna-makna tersebut adalah memanggil, mengundang, minta tolong, meminta, memohon, menamakan, menyuruh datang, mendorong, menyebabkan,

mendatangkan, mendo’akan, menangisi, dan meratapi.12

Adapun pengertian dakwah secara istilah sudah banyak para ahli yang mengemukakan. Ali Aziz dalam bukunya, Ilmu Dakwah, mengumpulkan 38 definisi dakwah dari para ahli.13 Ia menyimpulkan bahwa, secara umum, definisi dakwah yang dikemukakan para ahli tersebut menunjuk pada kegiatan yang bertujuan perubahan positif dalam

8

Ahmad Warson Munawir, Kamus Al-Munawwir (Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1994), 439. 9Ibn Manzhūr, Lisān al’Arab

(Beirut: Dar al-Fikr, 1990), Jilid XIV, 259. 10

Fairuzabadi, Al-Qāmūs al-Muhīth (Kairo: Mustafâ bâb al-Halabi wa Awladuh, 1952), 329. 11

Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 232. 12

Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah, 6. 13


(41)

5

diri manusia. Perubahan positif ini diwujudkan dengan peningkatan iman, mengingat sasaran dakwah adalah iman. Karena tujuannya baik, maka kegiatannya juga harus baik. Ukuran baik dan buruk adalah syariat Islam yang termaktub dalam Al-Qur’an dan Hadis. Dengan ukuran ini, metode, media, pesan, teknik, harus sesuai dengan maksud syariah Islam (maqāsid

al-Syariah). Karenanya, pendakwah pun harus seorang muslim. Berdasar pada rumusan definisi di atas, maka secara singkat, dakwah adalah kegiatan peningkatan iman menurut syariat Islam.14

Lebih lanjut Ali Aziz menjelaskan bahwa apabila definisi dakwah dari para ahli dikaitkan dengan beberapa fenomena dakwah, pemahaman dakwah dari sudut bahasa, serta pengembangan makna konsep dakwah di atas, maka dapat dinyatakan bahwa dakwah merupakan proses

peningkatan iman dalam diri manusia sesuai syariat Islam. “proses”

menunjukkan kegiatan yang terus-menerus, berkesinambungan, dan bertahap. Peningkatan adalah perubahan kualitas yang positif; dari buruk menjadi baik, atau dari baik menjadi lebih baik. Peningkatan iman termanifestasi dalam peningkatan pemahaman, kesadran, dan perbuatan. Untuk membedakan dengan pengertian dakwah secara umum, syariat Islam sebagai pijakan, hal-hal yang terkait dengan dakwah tidak boleh bertentangan dengan dengan Al-Qur’an dan Hadis.15

Berdasarkan uraian diatas maka strategi dakwah adalah perencanaan yang berisi rangkaian kegiatan yang didesain untuk mencapai

14

Ibid., 19. 15


(42)

6

tujuan dakwah secara efektif dan efisien. Atau Mengajak kepada kebaikan dengan menggunakan perencanaan yang baik serta terukur sehingga tepat sasaran dan tujuannya bisa tercapai.

Adapun strategi dakwah menurut para ahli yaitu:

a. Menurut Al-Bayanuni, strategi dakwah adalah ketentuan-ketentuan dakwah dan rencana-rencana yang dirumuskan untuk kegiatan dakwah.16

b. Abu Zahrah, Strategi dakwah Islam adalah perencanaan dan penyerahan kegiatan dan operasi dakwah Islam yang dibuat secara rasional untuk mencapai tujuan-tujuan Islam yang meliputi seluruh dimensi kemanusiaan.17

c. Asmuni Syukir, strategi dakwah artinya sebagai metode, siasat, taktik atau maneuver yang dipergunakan dalam aktivitas (kegiatan) dakwah.18

d. Moh. Ali Aziz, Strategi dakwah adalah perencanaan yang berisi rangkaian kegiatan yang didesain untuk mencapai tujuan dakwah tertentu.19

Dalam strategi dakwah, ada dua hal yang perlu diperhatikan yaitu: a. Strategi merupakan rencana tindakan (rangkaian kegiatan dakwah)

termasuk penggunaan metode dan pemanfaatan berbagai sumber

16

Dalam, Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah, 351. 17

Syukriadi Sambas & Acep Aripudin, Dakwah Damai: Pengantar Dakwah Antarbudaya, 138. 18

Asmuni Syukir, Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam (Surabaya: Al-Ikhlas, 1983), 32. 19


(43)

7

daya atau kekuatan. Dengan demikian, strategi merupakan proses penyusunan rencana kerja, belum sampai pada tindakan.

b. Strategi disusun untuk mencapai tujuan tertentu. Artinya, arah dari semua keputusan penyusunan strategi adalah pencapaian tujuan. Oleh sebab itu, sebelum melakukan strategi, perlu di rumuskan tujuan yang jelas serta dapat diukur keberhasilannya.20

Menurut Asmuni Syukir, strategi yang digunakan dalam usaha dakwah haruslah memperhatikan beberapa asas dakwah, di antaranya adalah:

1. Asas filosofis, asas ini membicarakan masalah yang erat hubungannya dengan tujuan-tujuan yang hendak dicapai dalam proses atau aktivitas dakwah.

2. Asas kemampuan dan keahlian da’i (achievement and profesionalis), asas ini menyangkut pembahasan mengenai kemampuan dan

profesionalisme da’i sebagai subjek dakwah.

3. Asas sosiologis, asas ini membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan situasi dan kondisi sasaran dakwah. Misalnya politik pemerintah setempat, mayoritas agama di suatu daerah, filosofis sasaran dakwah, sosiokultural sasaran dakwah dan sebagainya. 4. Asas psikologis, asas ini membahas masalah yang erat hubungannya

dengan kejiwaan manusia. Seorang da’i adalah manusia, begitu juga sasaran dakwahnya yang memiliki karakter unik dan berbeda satu

20


(44)

8

sama lain. Pertimbangan-pertimbangan masalah psikologis harus diperhatikan dalam proses pelaksanaan dakwah.

5. Asas efektivitas dan efesiensi, maksud asas ini adalah di dalam aktivitas dakwah harus di usahakan keseimbangan antara biaya, waktu, maupun tenaga yang dikeluarkan dengan pencapaian hasilnya. Sehingga hasilnya dapat maksimal.21

2. Pebedaan Strategi dan Metode

Sebelum lebih jauh masuk pada pembahasan strategi dakwah, penting untuk di bahasa tentang perbedaan antara strategi dan metode. Karena secara sepintas antara strategi dan metode memiliki pengertian yang sama. Padahal terdapat perbedaan diantara keduanya.

Ali Aziz dalam bukunya Ilmu Dakwah, ketika membahas tentang metode dakwah, ia memulai pembahasan dengan membahas hubungan antara metode dengan istilah-istilah lain yang terkait, yaitu pendekatan

(approach), strategi (strategy), metode (method), teknik (technique), dan taktik (tactic). Kalau dalam istilah bahasa arabnya, Nāhiyah (pendekatan),

Manhaj (strategi), Uslūb (Metode), Tharīqah (teknik), Syakilah (taktik).22 Jika istilah-istilah tersebut dikaitkan secara keseluruhan maka pendekatan adalah langkah yang paling awal. Segala persoalan bisa dilihat atau dipahami dari sudut pandang tertentu. Sudut pandang inilah yang disebut pendekatan. Sebuah pendekatan melahirkan sebuah strategi

21

Asmuni Syukir, Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam, 32-33. 22


(45)

9

yaitu semua cara untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Setiap strategi menggunakan beberapa metode, dan setiap metode membutuhkan tehnik, yaitu cara yang lebih spesifik dan lebih operasional. Selanjutnya setiap teknik membutuhkan taktik, yaitu cara yang lebih spesifik lagi dari teknik. Masing-masing istilah tersebut harus bergerak sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan.23

Jadi, strategi yaitu semua cara untuk untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Setiap strategi menggunakan beberapa metode. Strategi menunjuk pada sebuah perencanaan untuk mencapai suatu tujuan, sedangkan metode adalah cara yang dapat digunakan untuk melaksanakan strategi.

Al-Bayanuni membedakan strategi dan metode dakwah yaitu, strategi dakwah adalah ketentuan-ketentuan dakwah dan rencana-rencana yang dirumuskan untuk kegiatan dakwah. Sedangkan metode dakwah adalah cara-cara yang ditempuh oleh pendakwah dalam berdakwah atau cara menerapkan strategi dakwah.24

Jadi, antara strategi dengan metode memiliki makna yang berbeda namun saling berkaitan, dan tidak bisa dipisahkan, karena setiap strategi membutuhkan metode untuk menjalankannya.

23

Ibid., 347. 24


(46)

10

3. Bentuk-Bentuk Strategi Dakwah

Al-Bayanuni membagai strategi dakwah dalam tiga bentuk:25 a. Strategi Sentimental (al-manhaj al-„athifi)

Strategi Sentimental adalah dakwah yang memfokuskan aspek hati dan menggerakkan prasaan dan bathin mitra dakwah. Memberi mitra dakwah nasihat yang mengesankan, memanggil dengan kelembutan, atau memberikan pelayanan yang memuaskan merupakan metode yang dikembangkan dalam strategi ini.

Strategi ini sesuai untuk mitra dakwah yang terpinggirkan (marginal) dan dianggap lemah, seperti kaum perempuan, anak-anak, orang yang masih awam, para muallaf (imannya lemah), orang-orang miskin, anak-anak yatim dan lain sebagainya.

Strategi sentimentil ini diterapkan oleh Nabi SAW saat menghadapi kaum musyrik Mekah. Tidak sedikit ayat-ayat Makkiyah (ayat yang diturunkan ketika Nabi di Mekah atau sebelum Nabi SAW hijrah ke Madinah) yang menekankan aspek kemanusiaan (humanisme), semacam kebersamaan, perhatian kepada fakir miskin, kasih sayang kepada anak yatim, dan sebagainya. Ternyata, para pengikut Nabi SAW pada masa awal umumnya berasal dari golongan kaum lemah. Dengan strategi ini, kaum lemah merasa dihargai dan kaum mulia merasa dihormati.

25


(47)

11

b. Strategi Rasional (al-manhaj al-„aqlī)

Strategi Rasional adalah dakwah dengan beberapa metode yang memfokuskan pada aspek akal pikiran. Strategi ini mendorong mitra dakwah untuk berpikir, merenungkan, dan mengambil pelajaran. Penggunaan hukum logika, diskusi, atau penampilan contoh dan bukti sejarah merupakan beberapa metode dari strategi rasional.

Al-Qur’an mendorong penggunaan strategi rasional dengan beberapa terminologi antara lain: tafakkur, tadzakkur, nazhar, ta’ammul, i’tibar, tadabbur, dan istibshar. Tafakkur adalah menggunakan pemikiran untuk mencapainya dan memikirkannya;

tadzakkur merupakan menghadirkan ilmu yang harus dipelihara setelah dilupakan; nazhar ialah mengarahkan hati untuk berkonsentrasi pada obyek yang sedang diperhatikan; taammul

berarti mengulang-ulang pemikiran hingga menemukan kebenaran dalam hatinya; i’tibar bermakna perpindahan dari pengetahuan yang sedang dipikirkan menuju pengetahuan yang lain; tadabbur adalah suatu usaha memikirkan akibat-akibat setiap masalah; istibshar ialah mengungkap sesuatu atau menyingkapnya, serta memperlihatkannya kepada pandangan hati.

c. Strategi Indrawi (al-manhaj al-hissy)

Strategi ini juga dapat dinamakan dengan strategi eksperimen atau strategi ilmiah. Ia didefinisikan sebagai sistem


(48)

12

dakwah atau kumpulan metode dakwah yang berorientasi pada pancaindra dan berpegang teguh pada hasil penelitian dan percobaan. Di antara metode yang di himpun oleh strategi ini adalah praktik keagamaan, keteladanan, dan pentas drama.

Dahulu, Nabi SAW mempraktekkan Islam sebagai perwujudan strategi inderawi yang disaksikan oleh para sahabat. Para sahabat dapat menyaksikan mukjizat Nabi SAW secara langsung, seperti terbelahnya rembulan, bahkan menyaksikan Malaikat Jibril dalam bentuk manusia. Sekarang, kita menggunakan al-Qur’an untuk memperkuat atau menolak hasil penelitian ilmiah. Pakar tafsir menyebutnya dengan Tafsir „Ilmi. Adnan Oktar, penulis produktif dari Turki yang memakai nama pena Harun Yahya, menggunakan strategi ini dalam menyampaikan dakwahnya. M. Quraish Shihab, pakar tafsir kenamaan dari Indonesia, juga sering menguraikan hasil penemuan ilmiah saat menjelaskan ayat-ayat

al-Qur’an

Strategi dakwah juga bisa berdasar pada QS. Al-Baqarah ayat: 129 dan 151, QS. Ali Imran ayat: 164, QS Al-Jumu’ah ayat: 2.

















Artinya: Ya Tuhan Kami, utuslah ditengah mereka seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Mu, dan mengajarkan Kitab dan Hikmah


(49)

13

kepada mereka, dan menyucikan mereka. Sungguh, Engkaulah yang Maha perkasa, Maha bijaksana. (QS. Al-Baqarah: 125)26























Artinya: Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu seorang Rasul (Muhammad) dari (kalangan) kamu yang membacakan ayat-ayat Kami, menyucikan kamu, dan mengajarkan kepadamu Kitab (Al-Qur’an) dan Hikmah (Sunnah), serta mengajarkan apa yang belum kamu ketahui. (QS. Al-Baqarah: 151)27





















Artinya: Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika (Allah) mengutus seorang Rasul (Muhammad) di tengah-tengah mereka dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab (Al-Qur’an) dan Hikmah (Sunnah), meskipun sebelumnya mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (QS. Ali Imran: 164)28























26

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Surabaya: Karya Agung Surabaya, 2006), 24.

27

Ibid.,29. 28


(1)

2

b. Faktor penghambat, yang menjadi penghambat dalam berdakwah di masyarakat muslim Karangasem Bali adalah: Pertama, masih adanya

fanatisme dalam organisasi yang diikuti oleh umat muslim. Sehingga dari sesama muslim saja masih belum bersatu. Masih mengutamakan organisasinya masing-masing. Kedua, masyarakat muslim di

Karangasem, Bali memiliki tingkat ekonomi menengah kebawah. Sehingga mereka lebih mengutamakan bekerja daripada mengikuti kegiatan dakwah. Ketiga, keberadaan masyarakat muslim yang

berada di lingkungan mayoritas Hindu. Mau tidak mau mereka harus berinteraksi dengan orang hindu, sehingga sedikit tidak, umat muslim mudah terpengaruh dengan keadaan sosial yang ada. Keempat, sulit

mendapat dukungan dari pemerintah. Terutama dalam hal pengurusan izin kegiatan dakwah dan pembangunan tempat ibadah.

c. Adapun solusi dari hambatan tersebut adalah: Pertama, menjalin

komunikasi yang intens dengan tokoh-tokoh organisasi, menyamakan visi dan misi, agar saling mendukung dalam mensyiarkan agama Islam di Karangngasem Bali. Kedua, mengajak para pengusaha

muslim untuk membangun ekonomi umat dengan membuat lembaga sosial atau Amil zakat, untuk dikelola dan dikembangkan untuk kesejahteraan umat. Ketiga, mengajak umat muslim agar tidak mudah

terpengaruh dengan lingkungan sekitar dan tetap bersikap saling menghargai dan menghormati dengan umat Hindu. Keempat,


(2)

3

pemerintahan harus bisa menciptakan komunikasi yang baik dengan pemerintah.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan dalam penelitian ini maka penulis menyarankan beberapa hal diantaranya:

1. Dalam menjalankan dakwah di masyarakat muslim yang minoritas seperti di Bali dan khususnya di karangasem, maka seorang da’i harus memiliki pengetahuan dan pengalaman yang luas, sehingga bisa menjalankan dakwah dengan bijkasana. Sejatinya dakwah itu mengajak kepada kebaikan dengan cara yang baik. Seorang da’i harus memiliki strategi yang baik. Sebelum berdakwah seorang da’i harus mengadakan pendekatan-pendekatan, terjun langsung ke masyarakat sehingga tahu apa problem yang sedang dihadapi. Dengan begitu dakwah yang dilakukan tepat sasaran dan dapat memberikan solusi.

2. Agar pemerintah ikut membantu dalam kegiatan-kegiatan dakwah di Bali, maka para tokoh muslim harus menjalin komunikasi yang baik dengan pemerintah baik pemerintah desa, daerah dan pusat. Dengan begitu kegiatan-kegiatan dakwah Islamiyah bisa berjalan dalam suasana yang aman, kondusif dan terkendali. Selain itu, sikap toleransi dan saling menghormati antar umat beragama tetap menjadi yang utama.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Agama RI, Departemen. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Surabaya: Karya Agung Surabaya, 2006.

Almanshur, M. Djunaidi Ghony dan Fauzan. Metodologi Penelitian Kualitatif, Jogyakarta: Arruz Media, 2010.

Amin, Samsul Munir. Rekonstruksi Pemikiran Dakwah Islam. Jakarta: Amzah, 2008.

Ardhana, I Ketut. Masyarakat Multikultural Bali: Tinjauan Sejarah, Migrasi dan

Integrasi. Denpasar: Pustaka Lararasan, 2011.

Arifin, Anwar. Dakwah Kontemporer: Sebuah Studi Komunikasi. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011.

Ariyani, Susi. Study Korelasi Pelaksanaan Pendidikan Islam Non Formal bagi Masyarakat Minoritas Muslim dalam Mempertahankan Eksistensinya di tengah Mayoritas Masyarakat Hindu: Di Kecicang Islam, Bungaya

Kangin, Bebandem, Karangasem Bali”, Skripsi-- IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2011.

Aripudin, Acep. Pengembangan Metode Dakwah: Respon Da’i Terhadap

Dinamika Kehidupan di Kaki Ciremai. Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada, 2011.

As, Muhammad Syamsu. Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya. Jakarta: Lentera, 1999.

Aziz, Moh. Ali. Ilmu Dakwah. Jakarta: Kencana, 2004.

____________. Ilmu Dakwah Edisi Revisi. Jakarta: Prenadamedia Group, 2015. Aziz, Ahmad Amir & Nurul Hidayat. “Konversi Agama dan Interaksi Komunitas

Muallaf di Denpasar”, Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 7, No. 1, Desember, 2010.

Bahasa, Tim Penyusun Kamus Pusat. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2002.

Basyir, Kunawi. “Pola Kerukunan Antarumat Islam dan Hindu di Denpasar Bali”,

Islamica, Vol. 8, No. 1, September, 2013).


(4)

Eddy, I Wayan Tegel. Masyarakat Islam di Toyapakeh tahun 1957-1978. Denpasar: Fakultas Sastra Univesitas Udayana, 1982.

Effendy, Onong Uchjana. Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek. Cet. Ke-XXI. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007.

_____________________. Dinamika Komunikasi. Cet. Ke-VIII. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007.

Effendi, Faizah & H. Lalu Muchsin. Psikologi Dakwah. Jakarta: Prenadamedia Group, 2015.

Fairuzabadi. Al-Qāmūs al-Muhīth. Kairo: Mustafâ bâb al-Halabi wa Awladuh, 1952.

Faqih, Aunur Rahim. Bimbingan dan Konseling Dalam Islam. Jogjakarta: UII Press, 2001.

Ghony, M. Djunaidi & Fauzan Almanshur, Metodologi Penelitian Kualitatif. Jogyakarta: Arruz Media, 2010.

Hasanudin. Hukum Dakwah. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996.

Hotman, A. Ilyas Ismail & Prio. Filsafat Dakwah: Rekayasa Membangun Agama

dan Peradaban Islam. Jakarta: Kencana, 2011.

Ilaihi, Wahyu. Komunikasi Dakwah. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013. Kettani, M. Ali. Minoritas Muslim di Dunia Dewasa Ini. Jakarta: PT raja

Grapindo Pesada, 2005.

Manzhūr, Ibn. Lisān al’Arab. Jilid XIV. Beirut: Dar Shadir Lithaba’ah wa al -Nasyar, 1995.

Mahfudh, Sahal Nuansa Fiqih Sosial. Yogyakarta: LKiS, 2007.

Mashad, Dhuroruddin. Muslim Bali; Mencari KemBali Harmoni yang Hilang. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2014.

Morissan. Teori komunikasi Massa: Media, Budaya dan Masyarakat. Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2010.

___________, Teori Komunikasi: Individu Hingga Massa (Jakarta: Kencana, 2014), 224.


(5)

Muhyiddin, Asep & Agus Achmad Syafi’I. Metode Pengembangan Dakwah. Bandung: CV Pustaka Setia, 2002.

Mulyana, Deddy. Metode Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu

Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya,

2004.

Munawir, Ahmad Warson. Kamus Arab Indonesia. Yogyakarta: al-Munawwir, 1984.

Muria, Siti. Metode Dakwah Kontemporer. Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2000. Nawawi, H. Hadari. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada

University Press, 2005.

Putra, Ida Bagus Gde. Masyarakat Multikultural Bali: Tinjauan Sejarah, Migrasi

dan Integrasi. Denpasar: Pustaka Lararasan, 2011.

Qahthani (al), Sa’id ibn Ali ibn Wahf. Muqawwimāt al-Dā’iyah al-Nājiḥfi Dhau’

al-Kitab wa al-Sunnah: Mafhūm wa Nazhar wa Tathbīq, Terj. Aidil

Novia, Menjadi Dai yang Sukses. Jakarta: Qisthi Press, 2005. Qutub, Sayid. Fi Zilal al-Qur’an. Kairo: Dar al-Syuruq, tt.

Razi (al), Imam Muhammad Fakhr al-Dīn. Tafsīr al-Fakhr al-Rāzi al-Musytahar

bi al-Tafsīr wa Mafātih al-Gaib. Libanon: Dar al-Fikr, 1994.

Saefulloh, Aris. “Cyberdakwah Sebagai Media Alternatife Dakwah”, Islamica, Vol. 7, No. 1, September, 2012.

Salmadanis. Metode Dakwah Dalam Perspektif al-Qur’an. Jakarta: Disertasi IAIN Jakarta, 2002.

Sambas, Syukriadi & Acep Aripudin, Dakwah Damai: Pengantar Dakwah

Antarbudaya. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007.

Shihab, M. Quraish. Tafsir Al Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,

Volume 7, Jakarta:Lentera Hati, 2002.

Sholeh, Shonhadji. Sosiologi Dakwah Perspektif Teoretik. Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2011.

Suaedy, Ahmad dkk. Islam Dan Kaum Minoritas: Tantangan Kontemporer. Jakarta: The Wahid Institute, 2012.

Soeprapto, Ryadi. Interaksionisme Simbolik, Perspektiof Sosiologi Modern. Malang: Averroes Press dan Pustaka Pelajar, 2000.


(6)

Sugiono, Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan

R & D. Bandung: Alfabeta, 2009.

Suhandang, Kustadi Retorika: Strategi, Teknik dan Taktik Berpidato. Bandung: Penerbit Nuansa, 2009.

Suryana, Metodologi Penelitian: Model Praktis Penelitian Kuantitatif dan

Kualitatif. Jakarta: Universitas Pendidikan Indonesia, 2010.

Susetiawan. Melacak Pemikiran George Herbert Mead; Pendekatan Filsafat, Yogyakarta: LkiS, 2002.

Syukir, Asmuni. Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam. Surabaya: Al-Ikhlas, 1983. Wahib, Abdul. “Pergulatan Pendidikan Agama Islam Di Kawasan Minoritas

Muslim”, Walisongo, Vol. 19, No. 2, November,2011.

Yakub, Ali Mustafa. Sejarah dan Metode Dakwah Nabi. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997.