Terobosan Mas Mansur Memimpin Muhammadiyah

Terobosan Mas Mansur Memimpin Muhammadiyah
Terpilihnya KH Mas Mansur menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah pada tahun 1937
merupakan angin segar bagi Muhammadiyah. Selain sikapnya yang disiplin, Mas Mansur juga
mengenalkan perencanaan dalam memimpin Muhammadiyah. Kepemimpinannya ditandai
dengan kebijaksanaan baru yang disebut Langkah Muhammadiyah 1938-1940. Ada duabelas
langkah yang dicanangkannya.
Selain itu, Mas Mansur juga banyak membuat gebrakan dalam hukum Islam dan politik ummat
Islam saat itu. Yang perlu dicatat pula dalam hukum Islam, Mas Mansur tidak ragu mengambil
kesimpulan tentang hukum bank, yakni haram, tetapi diperkenankan, dimudahkan, dan
dimaafkan, selama keadaan memaksa untuk itu. Ia berpendapat bahwa secara hukum bunga bank
adalah haram, tetapi ia melihat bahwa perekonomian ummat Islam dalam kondisi yang sangat
memprihatinkan, sedangkan ekonomi perbankan saat itu sudah menjadi suatu sistem yang kuat di
masyarakat. Oleh karena itu, jika ummat Islam tidak memanfaatkan dunia perbankan untuk
sementara waktu, maka kondisi perekonomian ummat Islam akan semakin turun secara drastis.
Dengan demikian, dalam kondisi keterpaksaan tersebut dibolehkan untuk memanfaatkan
perbankan guna memperbaiki kondisi perekonomian ummat Islam.
Mas Mansur pula yang melahirkan ide berdirinya Majelis Tarjih sebagai institusi resmi
Muhammadiyah yang membahas hukum Islam di Muhammadiyah. Ide ini memang
direalisasikan sebelum ia menjabat sebagai Ketua PP Muhammadiyah. Majelis Tarjih sendiri
direalisasukan pada tahun 1928. Sejak didirikannya pada tahun 1928 sampai sekarang, tugas
Majelis Tarjih telah mengalami perkembangan dan perubahan. Semula Majelis ini hanya

membahas dan memutuskan masalah-masalah keagamaan yang diperselisihkan, dengan cara
mengambil pendapat yang dianggap kuat dalilnya. Tugas utama ini perlu dilakukan oleh Majelis
Tarjih, ketika lembaga ini didirikan, karena masalah khilafiyat sudah begitu meruncing. Kalau
diselesaikan, warga Muhammadiyah sendiri akan mengalami perselisihan yang tajam. Kemudian
berkembang dari sederetan agenda permasalahan yang dibahas dalam satu muktamar tarjih ke
muktamar berikutnya, seperti telah dijelaskan di atas, dapat dipahami bahwa tugas pokok Majelis
Tarjih tidak hanya terbatas pada masalah-masalah khilafiyat dalam bidang ibadah, melainkan
juga mencakup masalah-masalah mu’amalah kontemporer. Jadi, bidang garapan Majelis Tarjih
sudah sangat luas, berbeda dari tugas dan kegiatan yang dilaksanakan pada saat lembaga itu
didirikan.
Dalam perpolitikan ummat Islam saat itu, Mas Mansur juga banyak melakukan gebrakan.
Sebelum menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, Mas Mansur sebenarnya sudah banyak
terlibat dalam berbagai aktivitas politik ummat Islam. Setelah menjado Ketua Pengurus Besar
Muhammadiyah, ia pun mulai melakukan gebrakan politik yang cukup berhasil bagi ummat
Islam dengan memprakarsai berdirinya Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) bersama KHA
Dahlan dan KH Wahab Hasbullah yang keduanya dari Nahdatul Ulama (NU). Ia juga
memprakarsai berdirinya Partai Islam Indonesia (PII) bersama Dr Sukiman Wiryasanjaya sebagai
perimbangan atas sikap non-kooperatif dari Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Demikian
juga ketika Jepang berkuasa di Indonesia, Mas Mansur termasuk dalam empat orang tokoh
nasional yang sangat diperhitungkan, yang terkenal dengan empat serangkai, yaitu Soekarno,

Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara dan Mas Mansur.
Keterlibatannya dalam empat serangkai mengharuskannya pindah ke Jakarta, sehingga Ketua
Pengurus Besar Muhammadiyah diserahkan kepada Ki Bagus Hadikusuma. Namun kekejaman
pemerintah Jepang yang luar biasa terhadap rakyat Indonesia menyebabkannya tidak tahan

dalam empat serangkai tersebut, sehingga ia memutuskan untuk kembali ke Surabaya, dan
kedudukannnya dalam empat serangkai digantikan oleh Ki Bagus Hadikusuma.
Ketika pecah perang kemerdekaan, Mas Mansur belum sembuh benar dari sakitnya. Namun ia
tetap ikut berjuang memberikan semangat kepada barisan pemuda untuk melawan kedatangan
tentara Belanda (NICA). Akhirnya ia ditangkap oleh tentara NICA dan dipenjarakan di Surabaya.
Di tengah pecahnya perang kemerdekaan yang berkecamuk itulah, Mas Mansur meninggal di
tahanan pada tanggal 25 April 1946. Jenazahnya domakamkan di Gipo Surabaya. Atas jasajasanya, oleh Pemerintah Republik Indonesia ia dianggkat sebagai Pahlawan Nasional bersama
teman seperjuangannya, yaitu KH Fachruddin.
Apa yang dilakukan dan dihasilkan itu, tak lepas dari langkah-langkah sebelumnya setelah ia
pulang dari luar negeri untuk melakukan studinya di Makkah dan Kairo. Langkah awal Mas
Mansur sepulang dari belajar di luar negeri ialah bergabung dalam Syarikat Islam. Peristiwa
yang dia saksikan dan alami di Makkah, saat terjadinya pergolakan politik, maupun di Mesir,
munculnya gerakan nasional dan pembaharuan, merupakan modal baginya untuk
mengembangkan sayapnya dalam suatu organisasi. Pada saat itu, SI dipimpin oleh HOS
Cokroaminoto, dan terkenal sebagai organisasi yang radikal revolosioner. Ia dipercaya sebagai

Penasehat Pengurus Besar SI.
Di samping itu, Mas Mansur juga membentuk majelis diskusi bersama Abdul Wahab Hasbullah
yang diberi nama Taswir al-Afkar (Cakrawala Pemikiran). Terbentuknya majelis ini diilhami oleh
Masyarakat Surabaya yang diselimuti kabut kekolotan. Masyarakat sulit diajak maju, bahkan
mereka sulit menerima pemikiran baru yang berbeda dengan tradisi yang mereka pegang. Taswir
al-Afkar merupakan tempat berkumpulnya para ulama Surabaya yang sebelumnya mereka
mengadakan kegiatan pengajian di rumah atau di surau masing-masing. Masalah-masalah yang
dibahas berkaitan dengan masalah-masalah yang bersifat keagamaan murni sampai masalah
politik perjuangan melawan penjajah.
Aktivitas Taswir al-Afkar itu mengilhami lahirnya berbagai aktivitas lain di berbagai kota, seperti
Nahdhah al-Wathan (Kebangkitan Tanah Air) yang menitikberatkan pada pendidikan. Sebagai
kelanjutan Nahdhah al-Wathan, Mas Mansur dan Abdul Wahab Hasbullah mendirikan madrasah
yang bernama Khitab al-Wathan (Mimbar Tanah Air), kemudian madrasah Ahl al-Wathan
(Keluarga Tanah Air) di Wonokromo, Far’u al-Wathan (Cabang Tanah Air) di Gresik dan
Hidayah al-Wathan (Petunjuk Tanah Air) di Jombang. Kalau diamati dari nama yang mereka
munculkan, yaitu wathan yang berarti tanah air, maka dapat diketahui bahwa kecintaan mereka
terhadap tanah air sangat besar. Mereka berusaha mencerdaskan bangsa Indonesia dan berusaha
mengajak mereka untuk membebaskan tanah air dari belenggu penjajah. Pemerintahan sendiri
tanpa campur tangan bangsa lain itulah yang mereka harapkan.
Taswir al-Afkar merupakan wadah yang diskusinya mau tidk mau permasalahan yang mereka

diskusikan merembet pada masalah khilafiyah, ijtihad, dan madzab. Terjadinya perbedaan
pendapat antara Mas Mansur dengan Abdul Wahab Hasbullah mengenai masalah-masalah
tersebut yang menyebabkan Mas Mansur keluar dari Taswir al Afkar.
Mas Mansur juga banyak menghasilkan tulisan-tulisan yang berbobot. Pikiran-pikiran
pembaharuannya dituangkannya dalam media massa. Majalah yang pertama kali diterbitkan
bernama Suara Santri. Kata santri digunakan sebagai nama majalah, karena pada saat itu kata
santri sangat digemari oleh masyarakat. Oleh karena itu, Majalah Suara Santri mendapat sukses
yang gemilang. Majalah Jinem merupakan majalah kedua yang pernah diterbitkan oleh Mas
Mansur. Majalah ini terbit dua kali sebulan dengan menggunakan bahasa Jawa dengan huruf
Arab. Kedua majalah ini merupakan sarana untuk menuangkan pikiran-pikirannya untuk

mengajak para pemuda melatih mengekspresikan pikirannya dalam bentuk tulisan. Melalui
majalah itu Mas Mansur mengajak kaum Muslimin untuk meninggalkan kemusyrikan dan
kekolotan. Disamping itu, Mas Mansur juga pernah menjadi redaktur majalah Kawan Kita di
Surabaya.
Tulisan-tulisan Mas Mansur pernah dimuat di Majalah Siaran dan Majalah Kentungan Surabaya,
Majalah Penganjur dan Majalah Islam Bergerak di Yogyakarta, Majalah Panji Islam dan Majalah
Pedoman Masyarakat di Medan dan Majalah Adil di Solo. Di samping melalui majalah-majalah,
Mas Mansur juga menuliskan ide dan gagasannya dalam bentuk buku, antara lain yaitu Hadits
Nabawiyah, Syarat Syahnya Nikah, Risalah Tauhid dan Syirik, dan Adab al Bahts wa alMunadlarah.

Di samping aktif dalam bidang tulis menulis, dia juga aktif dalam organisasi, meskipun
aktivitasnya dalam organisasi menyita waktunya dalam dunia jurnalistik. Pada tahun 1921, Mas
Mansur masuk organisasi Muhammadiyah. Aktivitas Mas Mansur dalam Muhammadiyah
membawa angin segar dan memperkokoh keberadaan Muhammadiyah sebagai organisasi
pembaharuan. Tangga-tangga yang dilalui Mas Mansur selalu dinaiki dengan mantap. Hal ini
terlihat dari jenjang yang dilewatinya, yakni setelah Ketua Cabang Muhammadiyah Surabaya,
kemudian menjadi Konsul Muhammadiyah Wilayah Jawa Timur. Puncak dari tangga tersebut
adalah ketika Mas Mansur menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah pada tahun 19371943. (lut)..
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 16 2004