Mas Mansur Ketua PP Muhammadiyah

Mas Mansur Ketua PP Muhammadiyah
Keturunan Madura Berjiwa Pembaharu
Diangkatnya Mas Mansur sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah pada Kongres
Muhammadiyah ke-26 di Yogyakarta menandai era baru bagi Muhammadiyah dari segi
keemimpinan. Pertama jika dikehendaki, Ketua PP Muhammadiyah tidak harus yang mempunyai
suara tertinggi dan bahkan bisa berasa dari orang-orang di luar yang terpilih. Kedua,
kepemimpinan Muhammadiyah terbuka oleh siapapun, baik yang muda mapun yang tua serta
dari segala etnis yang ada di Indonesia.
Terpilihnya Mas Mansur, dalam hal etnis, menandai bahwa Ketua PP Muhammadiyah tidak
harus berasal dan lahir di Yogyakarta, terlebih dari Kauman (tempat lahir Muhammadiyah).
Meski tiga pimpinan Muhammadiyah sebelumnya lahir di Kauman Yogyakarta. Setelah Mas
Mansur ini banyak pimpinan Muhammadiyah yang bukan kelahirann Yogyakarta, seperti Buya
AR Sutan Mansur, (Sumatera Barat), KH Faqih Usman (Gresik), Prof Dr HM Amien Rais MA
(Surakarta) dan Prof Dr HA Syafii Maarif (Sumatera Barat).
Mas Mansur lahir pada hari Kamis tanggal 25 Juni 1896 Masehi di Surabaya. Ibunya bernama
Raudhah, seorang wanita kaya yang berasal dari keluarga Pesantren Sidoresmo Wonokromo,
Surabaya. Ayahnya bernama KH Mas Ahmad Marzuqi, seorang pioneer Islam, ahli agama yang
terkenal di Jawa Timur pada masanya. Dia berasal dari keturunan bangsawan Astatinggi
Sumenep Madura. Dia terkenal sebagai imam tetap dan khatib di Masjid Agung Ampel Surabya,
suatu jabatan terhormat pada saat itu.
Masa kecilnya dilalui dengan belajar agama pada ayahnya sendiri. Di samping itu, dia juga

belajar di Pesantren Sidoresmo, dengan Kiai Muhammad Thaha sebagai gurunya. Pada tahun
1906, ketika Mas Mansur berusia sepuluh tahun, dia dikirim oleh ayahnya ke Pondok Pesantren
Demangang, Bangkalan, Madura. Di sana, dia mengkaji al-Qur’an dan mendalami kitab Alfiyah
ibn Malik kepada Kiai Khalil. Belum lama dia belajar di sana kurang lebih dua tahun, kiai Khalil
meninggal dunia, sehingga Mas Mansur meninggalkan pesantren itu dan pulang ke Surabaya.
Sepulang dari Pondok Pesantren Demangan pada tahun 1908, oleh orang tuanya disarankan
untuk menunaikan ibadah haji dan belajar di Makkah pada Kiai Mahfudz yang berasal dari
Pondok Pesantren Termas. Setelah kurang lebih empat tahun belajar di sana, situasi politik di
Saudi memaksanya pindah ke Mesir. Penguasa Arab Saudi, Syarif Hussen, mengeluarkan
instruksi bahwa orang asing harus meninggalkan Makkah supaya tidak terlibat sengketa itu. Pada
mulanya ayah Mas Mansur tidak mengizinkannya ke Mesir, karena citra Mesir (Kairo) saat itu
kurang baik di mata ayahnya, yaitu sebagai tempat bersenang-senang dan maksiat. Meskipun
demikian, Mas Mansur tetap melaksanakan keinginannya tanpa izin orang tuanya. Kepahitan dan
kesulitan hidup—karena tidak mendapatkan kiriman uang dari orang tuanya untuk biaya sekolah
dan biaya hidup—harus dijalaninya. Oleh karena itu, dia sering berpuasa Senin dan Kamis dan
mendapatkan uang dan makanan dari masjid-masjid. Keadaan ini berlangsung kurang lebih satu
tahun, dan setelah itu orang tuanya kembali mengiriminya dan untuk belajar di Mesir.
Di Mesir, dia belajar di Perguruan Tinggi Al Azhar pada Syaikh Ahmad Maskawih. Suasana
Mesir pada saat itu sedang gencar-gencarnya membangun dan menumbuhkan semangat
kebangkitan nasionalisme dan pembaharuan. Banyak tokoh memupuk semangat rakyat Mesir,

baik melalui media massa maupun pidato. Mas Mansur juga memanfaatkan kondisi ini dengan
membaca tulisan-tulisan yang tersebar di media massa dan mendengarkan pidato-pidatonya. Ia
berada di Mesir selama kurang lebih dua tahun. Sebelum pulang ke tanah air, terlebih dahulu dia
singgah dulu di Makkah selama satu tahun, dan pada tahun 1915 dia pulang ke Indonesia.

Sepulang dari belajar di Mesir dan Makkah, ia menikah dengan puteri Haji Arif yaitu Siti
Zakiyah yang tinggalnya tidak jauh dari rumahnya. Dari hasil pernikahannya itu, mereka
dikarunia enam orang anak, yaitu Nafiah, Ainurrafiq, Aminah, Muhammad Nuh, Ibrahim dan
Luk-luk. Di samping menikah dengan Siti Zakiyah, dia juga menikah dengan Halimah. Dia
menjalani hidup dengan istri kedua ini tidak berlangsung lama, hanya dua tahun, karena pada
tahun 1939 Halimah meninggal dunia.
Langkah awal Mas Mansur sepulang dari belajar di luar negeri ialah bergabung dalam Syarikat
Islam. Peristiwa yang dia saksikan dan alami di Makkah, saat terjadinya pergolakan politik,
maupun di Mesir, munculnya gerakan nasional dan pembaharuan, merupakan modal baginya
untuk mengembangkan sayapnya dalam suatu organisasi. Pada saat itu, SI dipimpin oleh HOS
Cokroaminoto, dan terkenal sebagai organisasi yang radikal revolosioner. Ia dipercaya sebagai
Penasehat Pengurus Besar SI.
Ia mengenal Muhammadiyah sebagai organisasi pembaharu langsung dari pendirinya, KHA
Dahlan. Sebelum Muhammadiyah Cabang Surabaya didirikan, KH Ahmad Dahlan sudah sering
melakukan tabligh ke daerah ini. Tabligh-tabligh itu dilaksanakan berupa pengajian yang

diselenggarakan di Peneleh Surabaya. Dalam pengajian-pengajian itulah Bung Karno dan
Roeslan Abdul Gani untuk pertama kalinya mendengarkan penjelasan tentang ajaran Islam dari
KH Ahmad Dahlan.
Setiap melaksanakan tabligh di Surabaya, KH Ahmad Dahlan biasanya bermalam di penginapan.
Akan tetapi suatu malam ia didatangi oleh seorang tamu yang memintanya agar setiap KH
Ahmad Dahlan ke Surabaya bersedia untuk menginap di rumahnya. Tamu itu ialah Kiai Haji Mas
Mansur. Mas Mansur selalu mengikuti pengajian yang diberikan oleh KH Ahmad Dahlan, dan ia
sangat tertarik oleh isi kajian yang diberikannya, serta tertarik juga akan kesederhanaannya. (lut)
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 16 2004