BAB I PENDAHULUAN tesis agus sudono
Dalam bab ini akan dipaparkan (A) latar belakang dan masalah, (B) tujuan dan manfaat penelitian, (C) ruang lingkup penelitian, (D) metode dan langkah kerja penelitian, (E) landasan teori, (F) definisi operasional, dan (G) sistematika penulisan laporan.
A. Latar Belakang dan Masalah
Bagi masyarakat Jawa pasar tradisional memiliki makna yang sangat penting. Pasar dianggap sebagai pusat referensi (point of reference) atau kiblat, pusat pertemuan (meeting point), pusat dan standar ekonomi rakyat, pusat informasi, pusat rekreasi, dan pusat kegiatan sosial budaya. Bahkan, pasar dapat dianggap sebagai pusat kehidupan orang Jawa (Supanggah dalam Setyoasih, 2004).
Kelebihan dan kekhasan pasar tradisional adalah adanya nyang-nyangan (tawar-menawar harga) dan suasana yang memungkinkan penjual (selanjutnya di-singkat Pj) dan pembeli (selanjutnya didi-singkat Pb) menjalin komunikasi dan kede-katan. Dalam tawar-menawar harga tersebut, di dalamnya terkandung kekuasaan (power) sekaligus kekuatan untuk mempertahankan argumennya masing-masing melalui media bahasa. Pj di satu sisi ingin mendapatkan keuntungan yang tinggi
(2)
dengan menjual barang yang tinggi, sedangkan Pb di sisi yang lain ingin menda-patkan harga terendah dengan menawar serendah-rendahnya.
Meskipun demikian, adanya komunikasi secara langsung itulah yang men-jadikan peran dan fungsi pasar tradisional sangat penting karena pada era keseja-gatan ini komunikasi yang demikian dirasakan begitu ”mahal”. Pola komunikasi saat ini dianggap sudah tergantikan oleh peralatan teknologi modern dengan me-dia seperti handphone lewat telepon atau sms (short message service), internet le-wat jejaring sosial (facebook, twitter, dll.), atau media komunikasi lain. Yang ber-beda dengan komunikasi di pasar tradisional, di pasar modern jarang terjadi ko-munikasi yang ”wajar”. Di pusat perbelanjaan modern, seperti minimarket, super-market, dan hypersuper-market, dengan berbekal kereta belanja, pembeli memilih, mengambil, dan membayar di kasir, bisa saja tanpa melalui percakapan apa pun. Dengan demikian, pasar tradisional juga bisa berfungsi menjadi perekat masyara-kat.
Dengan fenomena seperti itu, ramalan Jayabaya yang mengatakan bahwa suatu saat nanti pasar ilang kumandhange (pasar kehilangan gemanya) seolah menjadi kenyataan. Dengan kehadiran pasar modern, nilai-nilai sosial, ekonomi, budaya, juga bahasa yang ada di pasar tradisional seolah tergantikan oleh dunia kompetisi yang semuanya diukur dengan materi. Di sinilah pentingnya pasar tradisional bagi masyarakat yang berbudaya karena mengandung kearifan lokal yang menjunjung tinggi adat-istiadat dan kebudayaan warisan masa lalu.
(3)
Pada dasarnya manusia dan bahasa merupakan dua entitas yang tidak dapat terpisahkan. Tidak dapat dibayangkan apa yang akan terjadi apabila manusia tidak memiliki bahasa. Interaksi antara manusia satu dan manusia yang lain dalam suatu masyarakat tak akan berjalan. Akan terjadi kebuntuan komunikasi. Keinginan untuk selalu mengadakan hubungan dengan manusia yang lain itu menyebabkan bahasa tidak dapat terpisahkan dari kehidupan. Demikian juga manusia tidak dapat terlepas dari bahasa. Tanpa bahasa, manusia akan lumpuh dalam berkomunikasi atau berinteraksi, baik antarindividu maupun antarkelompok. Dalam kaitan tersebut, bahasa didefinisikan sebagai sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang dipergunakan oleh masyarakat untuk berhubungan, bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri (Kridalaksana, 2008:24).
Seiring dengan perkembangan manusia, perilaku sosial, dan budaya masyarakat, bahasa juga akan selalu hidup, tumbuh, dan berkembang mengikuti perubahan zaman. Sapir (1921) seperti dikutip Alwasilah (1986:7) mendefinisikan bahasa sebagai a purely human and non-instinctive method of communicating ideas, emotions, and desires, by means of a system of voluntarily produced symbols. Dari definisi Sapir tersebut, dapat dikemukakan bahwa terdapat lima hal penting berkaitan dengan bahasa dan masyarakat, yaitu bahasa itu manusiawi (human), dipelajari (non-instinctive), sistem (system), arbitrer (voluntarily produced), dan simbol (symbol).
(4)
Bahasa juga merupakan perilaku sosial yang digunakan sebagai sarana komunikasi dengan melibatkan sekurang-kurangnya dua orang peserta. Berbagai faktor sosial yang berlaku dalam komunikasi, seperti hubungan peran, tempat, tujuan, situasi, status sosial, pendidikan, usia, dan jenis kelamin peserta komunikasi tentu berpengaruh dalam penggunaan bahasa. Bahasa juga menjadi sarana untuk mengekspresikan nilai-nilai budaya penuturnya. Pemahaman terhadap unsur-unsur sosial dan budaya merupakan hal yang penting dalam mempelajari suatu bahasa. Oleh karena itu, mempelajari bahasa Indonesia atau bahasa Jawa atau bahasa apa pun berarti pula mempelajari, menghayati perilaku, dan tata nilai sosial budayanya.
Dari perspektif sosiolinguistik, variasi bahasa dalam masyarakat yang dwibahasa (bilingual) atau multibahasa (multilingual) merupakan gejala yang menarik untuk dikaji. Fasold (1984:180) mengemukakan bahwa sosiolinguistik dapat menjadi bidang studi karena adanya pilihan pemakaian bahasa. Dalam masyarakat Indonesia yang terdiri atas bermacam-macam suku dan budaya, dengan sendirinya terdapat pula bermacam-macam bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi antaranggota masyarakat.
Dalam kaitannya dengan situasi kebahasaan di Indonesia, kajian pemilihan bahasa dalam masyarakat di Indonesia sangat berkait dengan permasalahan pemakaian bahasa pada masyarakat dwibahasa atau multibahasa. Hal ini disebabkan situasi kebahasaan di dalam masyarakat Indonesia sekurang-kurangnya ditandai oleh pemakaian dua bahasa, yaitu bahasa daerah sebagai
(5)
bahasa ibu (bahasa pertama) dan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Bahkan, pemakaian bahasa asing kini juga tidak terelakkan. Salah satu kekayaan bahasa daerah di Indonesia adalah bahasa Jawa. Situasi kebahasaan pada masyarakat tutur Jawa diwarnai oleh pemakaian bahasa Jawa dan bahasa Indonesia dengan segala kemungkinan variasinya.
Pada umumnya masyarakat tutur Jawa menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa ibu selain mengenal juga bahasa Indonesia. Menurut Poedjosoedarmo (1979:1), sebagai bahasa ibu bagi masyarakat suku Jawa, bahasa Jawa telah menjadi bahasa pengantar suatu peradaban besar. Lebih lanjut dijelaskan bahwa tradisi tulis dalam bidang sastra telah ada dan terus-menerus terpelihara dalam bahasa tersebut paling tidak sejak abad X. Kemudian, di dalam masyarakat tutur Jawa terdapat bermacam-macam bahasa atau dialek yang digunakan oleh penuturya. Berdasarkan daerah geografis pemakainya, bahasa Jawa mempunyai sejumlah dialek. Di antara pemakaian bahasa Jawa yang ada di wilayah Jawa Tengah adalah pemakaian bahasa Jawa di wilayah Kabupaten Pati.
Saussure (1916) seperti dikutip Rokhman (2005:1) menyebutkan bahwa bahasa adalah salah satu lembaga kemasyarakatan—yang sama dengan lembaga kemasyarakatan yang lain, seperti perkawinan, pewarisan harta peninggalan— yang telah memberi isyarat akan pentingnya perhatian terhadap dimensi sosial bahasa. Para ahli bahasa mulai sadar bahwa pengkajian bahasa tanpa mengaitkannya dengan masyarakat akan mengesampingkan beberapa aspek penting dan menarik. Bahkan, pengesampingan itu dapat pula menyempitkan
(6)
pandangan terhadap disiplin bahasa itu sendiri. Lebih lanjut dijelaskan bahwa kajian bahasa tanpa mengaitkan dengan masyarakat pemakainya berarti juga menyingkirkan kemungkinan ditemukannya penjelasan sosial bagi bahasa tersebut. Sebagai alat komunikasi, bahasa tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat pemakainya karena bahasa mempunyai fungsi sosial sebagai alat komunikasi dan sekaligus berfungsi sebagai cara untuk mengidentifikasi kelompok sosial tertentu.
Penelitian ini akan mengkaji bagaimana bahasa digunakan oleh masyarakat karena setiap anggota masyarakat memiliki kekhasan tersendiri dalam penggunaan bahasa. Beberapa masalah yang berkaitan dengan bahasa, antara lain, pemakaiannya dihubungkan dengan masyarakat pemakai bahasa sebagai anggota masyarakat tertentu dan sebagai individu. Manusia dalam hidup bermasyarakat telah terikat oleh bangsa, suku, budaya, serta suasana tertentu. Tiap-tiap masyarakat itu menggunakan bahasa yang berbeda. Hal tersebut akan memunculkan ragam bahasa yang bermacam-macam.
Berkaitan dengan hal-hal tersebut, jelas bahwa bahasa sangat dipengaruhi oleh latar belakang struktur kegiatan sosial suatu masyarakat. Untuk itu, diperlukan penelitian mengenai pemilihan bahasa tersebut agar diperoleh gambaran fakta sosial terhadap penggunaan bahasa di masyarakat. Pada penelitian ini, fenomena yang diangkat adalah penggunaan bahasa oleh penjual dan pembeli di pasar tradisional Kecamatan Winong, Kabupaten Pati, yang lebih dikenal dengan Pasar Winong. Hal tersebut berangkat dari asumsi bahwa bahasa yang
(7)
digunakan oleh masyarakat tutur dialek Pati dalam ranah pendidikan, misalnya, akan berbeda dengan bahasa yang digunakan oleh masyarakat tutur dialek Pati dalam ranah transaksi. Tiap-tiap ranah mempunyai bentuk bahasa yang khas yang berbeda dengan jenis dan ranah lainnya.
Masyarakat tutur dialek Pati dalam transaksi di pasar tidak hanya berbicara dengan satu bahasa. Mereka berbicara dengan lebih dari satu bahasa atau satu tingkat tutur, di antaranya bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Bahasa Jawa yang digunakan oleh masyarakat tutur tersebut juga beragam. Dalam bahasa Jawa dikenal unggah-ungguh atau undha-usuk atau tingkat tutur (speech level). Poedjosoedarmo (1979:8) menyatakan bahwa tingkat tutur adalah suatu sistem kode penyampai rasa kesopanan yang di dalamnya terdapat unsur kosakata tertentu, aturan sintaksis tertentu, serta aturan morfologi dan fonologi tertentu. Selanjutnya, tingkat tutur dalam bahasa Jawa dibedakan atas tingkat tutur krama (sopan sekali), madya (setengah-setengah), dan ngoko (tingkat kesopanan rendah). Adapun kosakata tingkat tutur bahasa Jawa dibagi atas kosakata ngoko (tanpa sopan), madya (sopan tetapi setengah-setengah), krama (sopan), krama inggil dan krama andhap (sopan yang sangat tinggi), dan ngoko desa (sopan, tetapi pemakainya kurang mengetahui bentuk krama yang standar).
Namun, kebanyakan masyarakat, khususnya masyarakat Pati, sebetulnya lebih mengenal tingkat tutur dalam dua bagian, yaitu tingkat tutur ora basa atau ngoko dan tingkat tutur basa atau krama. Mereka sering mengingatkan kepada anaknya yang menggunakan bahasa Jawa ngoko kepada orang yang lebih tinggi
(8)
usianya dengan mengatakan, ”Karo wong tuwa kok ora basa.” Jika tidak menggunakan bahasa Jawa krama, anak tersebut dianggap ora basa atau berbahasa Jawa ngoko. Adapun jika menggunakan bahasa Jawa krama, anak tersebut dianggap basa atau berbahasa Jawa krama.
Adanya tingkat tutur tersebut juga digunakan dalam masyarakat Pati di lingkungan penjual dan pembeli di pasar tradisional. Hal itu dapat dilihat dalam ungkapan berikut.
KONTEKS: PERCAKAPAN SEORANG PJ (JENIS KELAMIN PRIA, UMUR SEKITAR 35 TAHUN) DENGAN PB (JENIS KELAMIN WANITA, UMUR 30 TAHUN) BERSAMA SUAMINYA (JENIS KELAMIN PRIA, UMUR 35 TAHUN) DI KIOS SANDANG DENGAN TOPIK TAWAR-MENAWAR CELANA PENDEK.
Pj : Pados napa, Mbak? ’Cari apa, Mbak?’
Pb : Kathok pendek. Sing biasa. ’Celana pendek. Yang biasa’. Pj : Nggo piyambak? ’Untuk (dipakai) sendiri?’
Pb : Nggo bojoku. ’Untuk (dipakai) suamiku.’
Pj : Iki limolasan, Mbak. Gari milih. ’Ini (harga) lima belasan, Mbak. Tinggal memilih.’
Pb : Kurangi a. Sepuluh a, Mbak. ’Kurangi sih. Sepuluh sih, Mbak.’ Pj : Iku dawa-dawa e, Mbak. ‘Ini panjang-panjang sih, Mbak.’ Pb : (Beranjak mau meninggalkan kios)
Pj : Wis, rene, rene. ’Sudahlah, sini, sini.’
Peristiwa tuur tersebut dilakukan oleh Pj dan Pb yang sedang melakukan transaksi jual-beli di Pasar Winong. Topik tuturan tersebut adalah tawar-menawar pakaian, yakni celana pendek pria. Dalam peristiwa tutur tersebut, penutur dan mitra tuturnya menggunakan bahasa Jawa, baik tingkat tutur ngoko maupun tingkat tutur basa, bahkan diselingi juga penggunaan kosakata bahasa Indonesia. Bentuk tingkat tutur basa digunakan penutur untuk menghormati mitra tuturnya. Tingkat tutur basa tersebut digunakan saat awal penjual menawarkan
(9)
dagangannya. Hal itu dilakukan agar pembeli merasa dihargai dan mau membeli barang dagangannya. Setelah terjadi komunikasi yang lebih akrab pun tingkat tutur berubah menjadi bahasa Jawa ngoko.
Menurut pengamatan peneliti, banyak tuturan verbal antara Pj dan Pb yang menarik untuk diteliti dalam jual beli di pasar tradisional Kecamatan Winong, Kabupaten Pati (biasa disebut Pasar Winong dan selanjutnya disingkat PW). Yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Apa saja wujud kode pilihan bahasa dalam jual beli di PW?
2. Apa saja variasi pilihan bahasa dalam jual beli di PW? 3. Bagaimana pola pilihan bahasa dalam jual beli di PW?
4. Faktor-faktor apa yang memengaruhi pemilihan bahasa dalam jual beli di PW? 5. Apa saja fungsi bahasa yang dimanfaatkan dalam jual beli di PW?
B. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Mendeskripsikan wujud kode pilihan bahasa dalam jual beli di PW. 2. Menjelaskan variasi pilihan bahasa dalam jual beli di PW.
3. Menentukan pola pilihan bahasa dalam jual beli di PW.
4. Mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi pemilihan bahasa dalam jual beli di PW.
(10)
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoretis dan praktis. Dalam bidang praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada pemangku kepentingan (pemerintah pusat maupun pemerintah kabupaten) dalam upaya perencanaan, pembinaan, dan pengembangan bahasa, baik bahasa daerah, khususnya bahasa Jawa, maupun bahasa Indonesia. Selain itu, dengan diketahuinya berbagai faktor sosial dan faktor kebahasaan yang melingkupi sebuah komunikasi, diharapkan akan muncul pengertian dan terjalinnya pemahaman yang mutualistik antara Pj dan Pb sebagai penutur dan mitra tutur. Dalam bidang teoretis, diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu sosiolinguistik. Tuturan bahasa Jawa di pasar tradisional yang diungkap melalui penelitian ini diharapkan juga bermanfaat dalam pemertahanan bahasa Jawa melalui dialek-dialeknya di pasar tradisional yang menyimpan kearifan lokal melalui adat-istiadat dan kebudayaannya.
C. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah penggunaan bahasa oleh Pj dan Pb dalam transaksi jual beli di PW pada berbagai transaksi dan situasi.
D. Metode dan Langkah Kerja Penelitian
Penelitian mengenai pemilihan bahasa dalam jual beli di pasar tradisional ini merupakan jenis penelitian deskriptif. Pada prinsipnya, penelitian ini dilakukan dalam tiga langkah penelitian kualitatif, yaitu (1) penyediaan atau pengumpulan data, (2) klasifikasi dan analisis data, serta (3) penyajian hasil analisis data.
(11)
Pendekatan sosiolinguistik digunakan untuk menganalisis penggunaan bahasa terkait aspek-aspek sosial sebagai faktor nonlinguistik.
Dalam mengamati penggunaan bahasa (language use) atau bagaimana orang berkomunikasi dan berbicara, biasanya metode yang diterapkan adalah metode etnografi. Metode etnografi ini digunakan untuk menunjang penelitian penggunaan bahasa sebagai langkah untuk memahami hal-hal yang berkaitan dengan budaya masyarakat. Metode etnografi banyak digunakan untuk analisis budaya berdasarkan penggunaan bahasa. Metode dan langkah kerja akan dijelaskan lebih rinci pada Bab III, dengan judul Metode Penelitian.
E. Landasan Teori
Landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Fasold (1984), Fishman (1972), Hymes (1972), dan Poedjosoedarmo (1979). Penelitian mengenai pemilihan bahasa di dalam transaksi ini berkaitan erat dengan topik penggunaan bahasa (language use). Dalam kenyataan yang dijumpai di masyarakat, menurut Purwoko (2008), penggunaan bahasa merupakan kegiatan berkomunikasi yang dipengaruhi oleh berbagai macam faktor nonlinguistik, bukan hanya faktor linguistik. Dengan demikian, penelitian mengenai pemilihan bahasa ini tak bisa dilepaskan dari faktor sosial, budaya, psikologi, demografi, serta profil penuturnya.
Penelitian mengenai pemilihan bahasa ini termasuk penelitian sosiolinguistik, yaitu ilmu yang mengkaji hubungan antara bahasa dan
(12)
masyarakat. Sosiolinguistik mengaitkan dua bidang yang dapat dikaji secara terpisah, yaitu struktur formal bahasa oleh linguistik dan struktur masyarakat oleh sosiologi (Wardhaugh 1986:4). Pemilihan bahasa dalam masyarakat multibahasa merupakan gejala yang menarik untuk dikaji dari perspektif sosiolinguistik. Fasold (1984:180) mengemukakan bahwa sosiolinguistik dapat menjadi bidang studi karena adanya pemilihan bahasa. Fasold menyebutnya dengan istilah societal multilingualism yang mengacu pada kenyataan adanya banyak bahasa dalam masyarakat.
Penelitian mengenai pemilihan bahasa tidak bisa dilepaskan dengan masyarakat dwibahasa atau multibahasa. Untuk menentukan pilihan bahasa atau ragam bahasa tertentu, tentu ada bahasa atau ragam lain yang digunakan dalam komunikasi sehari-hari sebagai pendamping ataupun pembanding. Penelitian mengenai pemilihan bahasa dalam jual beli di PW ini juga sangat berkaitan erat dengan permasalahan kedwibahasaan.
Beberapa pakar mendefinisikan kedwibahasaan secara berbeda-beda. Ada yang mengartikan kedwibahasaan secara longgar, ada yang mengartikan secara ketat. Bloomfield dalam bukunya Language (1933) memberikan pengertian kedwibahasaan sebagai gejala penguasaan bahasa seperti penutur jati (native speaker). Dengan pengertian tersebut, seorang dwibahasawan merupakan orang yang menguasai dua bahasa secara baik, antara bahasa pertama dan bahasa kedua sama baiknya.
(13)
Pendapat senada diungkapkan oleh Mackey melalui Fishman (1968:555) yang mengatakan bahwa kedwibahasaan bukanlah gejala bahasa sebagai sistem, melainkan sebagai gejala penuturan; bukan ciri kode, melainkan ciri pengungkapan; bukan bersifat sosial, melainkan individual; dan merupakan karakteristik pemakaian bahasa. Dalam pengertian ini, kedwibahasaan diartikan sebagai praktik pemakaian dua bahasa secara bergantian oleh seorang penutur. Kondisi dan situasi yang dihadapi dwibahasawan ikut menentukan penggunaan bahasa-bahasa yang dipilih. Lantas, bagaimana kalau kemampuan seseorang dalam bahasa kedua hanya mengerti dan memahami tuturan bahasa kedua, tetapi tidak mampu mengungkapkan. Situasi yang demikan tentu tidak tercakup dalam batasan kedwibahasaan seperti diungkapkan oleh Bloomfield dan Mackey.
Untuk itu, Macnamara (1967) seperti dikutip Rokhman (2005:15) menyampaikan pendapat yang berbeda. Pendapat kedwibahasaan yang disampaikan Macnamara lebih longgar, yaitu kemampuan sekurang-kurangnya dua bahasa (bahasa pertama dan bahasa kedua) meskipun kemampuan bahasa kedua hanya sampai batas minimal. Pendapat tersebut didukung oleh Haugen (dalam Rokhman, 2005:15) yang menyebutkan bahwa seorang dwibahasawan tidak perlu menguasai bahasa kedua secara aktif produktif sebagaimana dituntut oleh Bloomfield. Dwibahasawan dirasa cukup apabila ia memiliki kemampuan reseptif dalam bahasa kedua. Bahkan, dinyatakan bahwa mengetahui dua bahasa saja dianggap cukup. Seorang dwibahasawan tidak harus menguasai secara aktif dua bahasa. Kemampuan penguasaan bahasa kedua secara pasif dianggap cukup
(14)
menjadikan seseorang disebut dwibahasawan. Mengerti dua bahasa dirumuskan sebagai menguasai dua sistem kode yang berbeda dari bahasa yang berbeda atau bahasa yang sama.
Dengan adanya dua pendapat berbeda mengenai pengertian kedwibahasaan dari para pakar tersebut, pengertian Haugen dan Macnamara dijadikan kerangka konsep dalam penelitian ini. Hal itu disebabkan gambaran kedwibahasaan anggota masyarakat memperlihatkan berbagai tingkat penguasaan bahasa atau ragam bahasa yang berbeda di dalam pemakaiannya.
Dalam penelitian mengenai pemilihan bahasa, konsep diglosia juga sangat berkaitan erat dalam masyarakat dwibahasa atau multibahasa. Fishman (1972:92) berpendapat bahwa pengkajian mengenai masyarakat dwibahasa atau multibahasa hendaknya memperhatikan ada tidaknya diglosia. Istilah diglosia diperkenalkan kali pertama oleh Ferguson (1959) untuk melukiskan situasi kebahasaan yang terdapat di Yunani, negara-negara Arab, Swiss, dan Haiti. Di negara-negara itu terdapat dua ragam bahasa yang berbeda. Ragam yang pertama adalah ragam bahasa tinggi (T) yang digunakan dalam situasi resmi. Adapun ragam yang kedua adalah ragam bahasa rendah (R) yang digunakan dalam situasi sehari-hari tak resmi.
Ragam bahasa yang digunakan di dunia pendidikan, sidang parlemen, dan khotbah di tempat-tempat ibadah dianggap sebagai bahasa yang bergengsi tinggi. Karena latar belakang sejarah ragam ini yang sudah lama mengenal ragam tulis dan menikmati gengsi yang tinggi itu, ragam tersebut juga dipakai sebagai bahasa
(15)
sastra di kalangan para pemakainya. Ragam tersebut mengalami proses pembakuan dan harus dipelajari di sekolah dan tidak setiap orang mempunyai kesempatan mempelajarinya.
Sebaliknya, ragam bahasa yang dipakai di dalam situasi tidak resmi adalah ragam bahasa yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Ragam ini tidak mengenal ragam tulis dan tidak mengalami pembakuan bahasa. Penguasaan atas ragam ini merupakan kebanggaan bagi pemakainya. Oleh karena itu, ragam R tidak tercantum sebagai mata pelajaran di sekolah. Masyarakat pemakainya tidak perlu mempelajari ragam bahasa tersebut di sekolah. Oleh para pemakainya, ragam ini dianggap berkedudukan rendah dan tidak bergengsi.
Tidak ada pembahasan tentang diglosia apabila tidak ada variasi tinggi dan rendah. Ferguson (dalam Fishman, 1972) memberikan batasan diglosia sebagai berikut. Diglosia adalah suatu situasi kebahasaan yang relatif stabil. Di samping adanya dialek-dialek utama dari bahasa (yang mungkin meliputi ragam-ragam baku setempat), juga dikenal suatu ragam yang ditinggikan, yang sangat berbeda, yang terkodifikasikan secara rapi (dan yang tata bahasanya lebih rumit), yang berasal dari waktu yang lampau atau yang berasal dari masyarakat bahasa lain, yang dipelajari melalui pendidikan formal dan sebagian besar dipakai untuk keperluan formal lisan dan tertulis, tetapi tidak dipakai di sektor apa pun di dalam masyarakat itu untuk percakapan sehari-hari.
Pengertian tentang diglosia kemudian dikembangkan oleh Fishman (1972:92). Istilah diglosia tidak hanya dikenakan pada ragam tinggi dan rendah
(16)
dari bahasa yang sama, tetapi juga dikenakan pada bahasa yang sama sekali tidak serumpun. Yang menjadi tekanannya adalah perbedaan fungsi kedua bahasa atau ragam bahasa yang bersangkutan. Menurut Fishman, diglosia tidak hanya terdapat pada masyarakat yang mengenal satu bahasa dengan dua ragam bahasa semata-mata. Diglosia dapat juga ditemukan pada masyarakat yang mengenal lebih dari dua bahasa.
Fishman (1972:92) mendefinisikan diglosia sebagai berikut. “ … diglossia exits not only in multilingual societies which officially recognize several “language”, and not only in societies which employ separate dialects, registers, or funcitonally differentiated language varieties of whatever kind” (… diglosia tidak hanya terdapat di dalam masyakat aneka bahasa yang secara resmi mengakui beberapa ”bahasa”, dan tidak hanya terdapat di dalam masyarakat yang menggunakan ragam sehari-hari dan klasik, tetapi terdapat juga di dalam masyarakat bahasa yang memakai logat-logat, laras-laras, atau ragam-ragam jenis apa pun yang berbeda secara fungsional.
Dengan demikian, Fishman membedakan adanya (a) masyarakat bahasa yang bilingual sekaligus diglosik, (b) masyarakat bahasa yang bilingual tetapi tidak diglosik, (c) masyarakat yang tidak bilingual dan sekaligus tidak diglosik, dan (d) masyarakat yang tidak bilingual tetapi diglosik. Pendapat lain dikemukakan oleh Fasold (1984) yang mencatat ada empat masalah yang perlu diperjelas, yaitu yang berkaitan dengan masalah bahasa baku dan dialek, masalah pembagian yang serba dua, masalah hubungan genetis bahasa, dan masalah
(17)
fungsi. Masalah pertama dipersoalkan karena adanya kemungkinan adanya masyarakat bahasa yang menganggap ragam T justru bukan sebagai ragam T. Kalau begitu, situasi semacam itu bukan situasi diglosia tetapi sekadar situasi yang mengenal adanya bahasa baku dan dialek. Oleh karena itu, Fasold memberikan pengertian “masyarakat diglosik” sebagai satuan masyarakat yang memiliki ragam T dan ragam R bersama-sama. Ada kemungkinan juga bahwa masyarakat diglosik itu memiliki ragam T yang sama tetapi ragam R yang berbeda-beda dan ini berarti bahwa masyarakat itu merupakan masyarakat diglosik yang berbeda-beda pula. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa istilah diglosia tidak harus diartikan sebagai situasi kebahasaan yang hanya melibatkan dua ragam saja. Demikian juga antara ragam T dan ragam R tidak harus memiliki hubungan genetis.
F. Definisi Operasional
Dalam bagian ini akan dijelaskan beberapa istilah yang digunakan dalam penelitian ini untuk memperjelas deskripsi yang digunakan. Istilah-istilah tersebut adalah sebagai berikut.
Kode : suatu sistem tutur yang penerapan unsur bahasanya mempunyai ciri khas sesuai dengan latar belakang penutur, relasi penutur dengan mitra tutur, dan situasi yang ada. Kode biasanya berbentuk varian bahasa yang secara
(18)
nyata dipakai untuk berkomunikasi oleh anggota suatu masyarakat bahasa.
Masyarakat tutur : suatu masyarakat yang anggotanya setidak-tidaknya mengenal satu variasi tutur beserta norma-norma yang sesuai dengan pemakaiannya. Disebut masyarakat tutur apabila masyarakat tersebut memiliki verbal repertoire yang relatif sama dan mempunyai penilaian yang sama terhadap norma-norma pemakaian bahasa yang digunakan dalam masyarakat tersebut. Verbal repertoire diartikan sebagai kemampuan bahasa yang dimiliki penutur beserta keterampilan mengungkapkan sesuai dengan fungsi, situasi, dan konteksnya.
Dwibahasawan : orang yang menguasai sekurang-kurangnya dua bahasa (bahasa pertama dan bahasa kedua) meskipun kemampuan bahasa kedua hanya sampai batas minimal. Dwibahasawan tidak perlu menguasai bahasa kedua secara aktif produktif, cukup memiliki kemampuan reseptif dalam bahasa kedua. Kemampuan penguasaan bahasa kedua secara pasif dianggap cukup.
Diglosia : situasi bahasa dengan pembagian fungsional atas variasi-variasi bahasa yang ada. Satu variasi-variasi diberi status tinggi dan dipakai untuk penggunaan resmi dan memiliki ciri
(19)
yang lebih kompleks dan variatif. Variasi lain mempunyai status rendah dan dipergunakan untuk komunikasi tak resmi dan strukturnya disesuaikan dengan saluran komunikasi lisan.
Komponen Tutur : unsur-unsur di luar kebahasaan yang dapat menentukan munculnya suatu penggunaan bahasa secara lisan atau tertulis; misalnya penutur, mitra tutur, situasi, tujuan, hal yang dibicarakan.
Tingkat tutur/Undha-usuk: variasi bahasa yang perbedaan-perbedaanya ditentukan oleh anggapan penutur tentang relasinya dengan mitra tutur.
Pasar tradisional : tempat orang berjual beli; kekuatan penawaran dan permintaan; tempat penjual yang ingin menukar barang atau jasa dengan uang dan pembeli yang ingin menukar uang dengan barang atau jasa, harga yang ditetapkan merupakan harga yang disepakati melalui sutau proses tawar-menawar, pedagang selaku produsen menawarkan harga sedikit di atas harga standar.
G. Sistematika Penulisan
Penelitian mengenai Pemilihan Bahasa dalam Jual Beli di Pasar Tradisional Kecamatan Winong, Kabupaten Pati, ini ditulis dalam lima bab.
(20)
Bab I berisi pendahuluan yang berupa latar belakang dan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, ruang lingkup penelitian, metode dan langkah kerja penelitian, landasan teori, definisi operasional, serta sistematika penulisan.
Bab II berisi kajian pustaka yang berisi penelitian-penelitian sebelumnya dan landasan teori.
Bab III berisi metode penelitian. Dalam bab ini akan dijelaskan jenis penelitian, lokasi penelitian, sumber data, populasi dan sampel, metode pengumpulan data, validitas data, satuan analisis data, metode analisis data, serta metode penyajian analisis data.
Bab IV berisi hasil penelitian dan pembahasan. Dalam bab ini dijelaskan wujud kode pilihan bahasa dalam jual beli di PW; variasi pilihan bahasanya; pola pilihan bahasanya; faktor-faktor yang memengaruhi pemilihan bahasanya, dan fungsi bahasa yang dimanfaatkan dalam jual beli di pasar tradisional tersebut.
(1)
sastra di kalangan para pemakainya. Ragam tersebut mengalami proses pembakuan dan harus dipelajari di sekolah dan tidak setiap orang mempunyai kesempatan mempelajarinya.
Sebaliknya, ragam bahasa yang dipakai di dalam situasi tidak resmi adalah ragam bahasa yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Ragam ini tidak mengenal ragam tulis dan tidak mengalami pembakuan bahasa. Penguasaan atas ragam ini merupakan kebanggaan bagi pemakainya. Oleh karena itu, ragam R tidak tercantum sebagai mata pelajaran di sekolah. Masyarakat pemakainya tidak perlu mempelajari ragam bahasa tersebut di sekolah. Oleh para pemakainya, ragam ini dianggap berkedudukan rendah dan tidak bergengsi.
Tidak ada pembahasan tentang diglosia apabila tidak ada variasi tinggi dan rendah. Ferguson (dalam Fishman, 1972) memberikan batasan diglosia sebagai berikut. Diglosia adalah suatu situasi kebahasaan yang relatif stabil. Di samping adanya dialek-dialek utama dari bahasa (yang mungkin meliputi ragam-ragam baku setempat), juga dikenal suatu ragam yang ditinggikan, yang sangat berbeda, yang terkodifikasikan secara rapi (dan yang tata bahasanya lebih rumit), yang berasal dari waktu yang lampau atau yang berasal dari masyarakat bahasa lain, yang dipelajari melalui pendidikan formal dan sebagian besar dipakai untuk keperluan formal lisan dan tertulis, tetapi tidak dipakai di sektor apa pun di dalam masyarakat itu untuk percakapan sehari-hari.
Pengertian tentang diglosia kemudian dikembangkan oleh Fishman (1972:92). Istilah diglosia tidak hanya dikenakan pada ragam tinggi dan rendah
(2)
dari bahasa yang sama, tetapi juga dikenakan pada bahasa yang sama sekali tidak serumpun. Yang menjadi tekanannya adalah perbedaan fungsi kedua bahasa atau ragam bahasa yang bersangkutan. Menurut Fishman, diglosia tidak hanya terdapat pada masyarakat yang mengenal satu bahasa dengan dua ragam bahasa semata-mata. Diglosia dapat juga ditemukan pada masyarakat yang mengenal lebih dari dua bahasa.
Fishman (1972:92) mendefinisikan diglosia sebagai berikut. “ … diglossia exits not only in multilingual societies which officially recognize several “language”, and not only in societies which employ separate dialects, registers, or funcitonally differentiated language varieties of whatever kind” (… diglosia tidak hanya terdapat di dalam masyakat aneka bahasa yang secara resmi mengakui beberapa ”bahasa”, dan tidak hanya terdapat di dalam masyarakat yang menggunakan ragam sehari-hari dan klasik, tetapi terdapat juga di dalam masyarakat bahasa yang memakai logat-logat, laras-laras, atau ragam-ragam jenis apa pun yang berbeda secara fungsional.
Dengan demikian, Fishman membedakan adanya (a) masyarakat bahasa yang bilingual sekaligus diglosik, (b) masyarakat bahasa yang bilingual tetapi tidak diglosik, (c) masyarakat yang tidak bilingual dan sekaligus tidak diglosik, dan (d) masyarakat yang tidak bilingual tetapi diglosik. Pendapat lain dikemukakan oleh Fasold (1984) yang mencatat ada empat masalah yang perlu diperjelas, yaitu yang berkaitan dengan masalah bahasa baku dan dialek, masalah pembagian yang serba dua, masalah hubungan genetis bahasa, dan masalah
(3)
fungsi. Masalah pertama dipersoalkan karena adanya kemungkinan adanya masyarakat bahasa yang menganggap ragam T justru bukan sebagai ragam T. Kalau begitu, situasi semacam itu bukan situasi diglosia tetapi sekadar situasi yang mengenal adanya bahasa baku dan dialek. Oleh karena itu, Fasold memberikan pengertian “masyarakat diglosik” sebagai satuan masyarakat yang memiliki ragam T dan ragam R bersama-sama. Ada kemungkinan juga bahwa masyarakat diglosik itu memiliki ragam T yang sama tetapi ragam R yang berbeda-beda dan ini berarti bahwa masyarakat itu merupakan masyarakat diglosik yang berbeda-beda pula. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa istilah diglosia tidak harus diartikan sebagai situasi kebahasaan yang hanya melibatkan dua ragam saja. Demikian juga antara ragam T dan ragam R tidak harus memiliki hubungan genetis.
F. Definisi Operasional
Dalam bagian ini akan dijelaskan beberapa istilah yang digunakan dalam penelitian ini untuk memperjelas deskripsi yang digunakan. Istilah-istilah tersebut adalah sebagai berikut.
Kode : suatu sistem tutur yang penerapan unsur bahasanya mempunyai ciri khas sesuai dengan latar belakang penutur, relasi penutur dengan mitra tutur, dan situasi yang ada. Kode biasanya berbentuk varian bahasa yang secara
(4)
nyata dipakai untuk berkomunikasi oleh anggota suatu masyarakat bahasa.
Masyarakat tutur : suatu masyarakat yang anggotanya setidak-tidaknya mengenal satu variasi tutur beserta norma-norma yang sesuai dengan pemakaiannya. Disebut masyarakat tutur apabila masyarakat tersebut memiliki verbal repertoire yang relatif sama dan mempunyai penilaian yang sama terhadap norma-norma pemakaian bahasa yang digunakan dalam masyarakat tersebut. Verbal repertoire diartikan sebagai kemampuan bahasa yang dimiliki penutur beserta keterampilan mengungkapkan sesuai dengan fungsi, situasi, dan konteksnya.
Dwibahasawan : orang yang menguasai sekurang-kurangnya dua bahasa (bahasa pertama dan bahasa kedua) meskipun kemampuan bahasa kedua hanya sampai batas minimal. Dwibahasawan tidak perlu menguasai bahasa kedua secara aktif produktif, cukup memiliki kemampuan reseptif dalam bahasa kedua. Kemampuan penguasaan bahasa kedua secara pasif dianggap cukup.
Diglosia : situasi bahasa dengan pembagian fungsional atas variasi-variasi bahasa yang ada. Satu variasi-variasi diberi status tinggi dan dipakai untuk penggunaan resmi dan memiliki ciri
(5)
yang lebih kompleks dan variatif. Variasi lain mempunyai status rendah dan dipergunakan untuk komunikasi tak resmi dan strukturnya disesuaikan dengan saluran komunikasi lisan.
Komponen Tutur : unsur-unsur di luar kebahasaan yang dapat menentukan munculnya suatu penggunaan bahasa secara lisan atau tertulis; misalnya penutur, mitra tutur, situasi, tujuan, hal yang dibicarakan.
Tingkat tutur/Undha-usuk: variasi bahasa yang perbedaan-perbedaanya ditentukan oleh anggapan penutur tentang relasinya dengan mitra tutur.
Pasar tradisional : tempat orang berjual beli; kekuatan penawaran dan permintaan; tempat penjual yang ingin menukar barang atau jasa dengan uang dan pembeli yang ingin menukar uang dengan barang atau jasa, harga yang ditetapkan merupakan harga yang disepakati melalui sutau proses tawar-menawar, pedagang selaku produsen menawarkan harga sedikit di atas harga standar.
G. Sistematika Penulisan
Penelitian mengenai Pemilihan Bahasa dalam Jual Beli di Pasar Tradisional Kecamatan Winong, Kabupaten Pati, ini ditulis dalam lima bab.
(6)
Bab I berisi pendahuluan yang berupa latar belakang dan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, ruang lingkup penelitian, metode dan langkah kerja penelitian, landasan teori, definisi operasional, serta sistematika penulisan.
Bab II berisi kajian pustaka yang berisi penelitian-penelitian sebelumnya dan landasan teori.
Bab III berisi metode penelitian. Dalam bab ini akan dijelaskan jenis penelitian, lokasi penelitian, sumber data, populasi dan sampel, metode pengumpulan data, validitas data, satuan analisis data, metode analisis data, serta metode penyajian analisis data.
Bab IV berisi hasil penelitian dan pembahasan. Dalam bab ini dijelaskan wujud kode pilihan bahasa dalam jual beli di PW; variasi pilihan bahasanya; pola pilihan bahasanya; faktor-faktor yang memengaruhi pemilihan bahasanya, dan fungsi bahasa yang dimanfaatkan dalam jual beli di pasar tradisional tersebut.