ANALISIS PENGARUH PDRB UPAH DAN INFLASI TERHADAP PENGANGGURAN TERBUKA DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 1991 - 2009 - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

(1)

i

i

ANALISIS PENGARUH PDRB UPAH DAN

INFLASI TERHADAP

PENGANGGURAN TERBUKA

DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 1991 - 2009

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Program Sarjana (S1)

pada Program Sarjana Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro

Disusun oleh : YENY DHARMAYANTI

NIM. C2B308004

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

2011


(2)

ii

PERSETUJUAN SKRIPSI

Nama Penyusun : Yeny Dharmayanti Nomor Induk Mahasiswa : C2B308004

Fakultas/Jurusan : Ekonomi/IESP (Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan)

Judul Skripsi : ANALISIS PENGARUH PDRB, UPAH DAN

INFLASI TERHADAP PENGANGGURAN

TERBUKA DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 1991 - 2009

Dosen Pembimbing : Hastarini Dwi Atmanti, SE., MSi

Semarang, September 2011 Dosen Pembimbing

(Hastarini Dwi Atmanti, SE., MSi) NIP. 197508212002122001


(3)

iii

iii

PENGESAHAN KELULUSAN UJIAN

Nama Mahasiswa : Yeny Dharmayanti Nomor Induk Mahasiswa : C2B308004

Fakultas/Jurusan : Ekonomi/IESP (Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan)

Judul Skripsi : ANALISIS PENGARUH PDRB, UPAH DAN

INFLASI TERHADAP PENGANGGURAN

TERBUKA DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 1991 - 2009

Telah dinyatakan lulus ujian pada tanggal 27 September 2011 Tim Penguji :

1. Hastarini Dwi Atmanti, SE., M.Si ( )

2. Dra. Hj. Herniwati RH., MS ( )

3. Nenik Woyanti, SE, M.Si ( )

Mengetahui Pembantun Dekan

Anis Chariri, SE, Mcom. Ph. D. Akt 196708091992031001


(4)

iv

PERNYATAAN ORISINALITAS SKRIPSI

Yang bertanda tangan di bawah ini saya, Yeny Dharmayanti, menyatakan bahwa skripsi dengan judul : ANALISIS FAKTOR PENENTU PENGANGGURAN TERBUKA DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 1991 - 2009 adalah hasil tulisan saya sendiri. Dengan ini saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat keseluruhan atau meniru dalam bentuk rangkaian kalimat atau symbol yang menunjukkan gagasan atau pendapat atau pemikiran dari penulis lain, yang saya akui seolah-olah sebagai tulisan saya sendiri, dan tidak terdapat bagian atau keseluruhan tulisan orang lain tanpa memberikan pengakuan penulis aslinya.

Apabila saya melakukan tindakan yang bertentangan dengan hal tersebut di atas, baik disengaja maupun tidak, dengan ini saya menyatakan menarik skripsi yang saya ajukan sebagai hasil tulisan saya sendiri ini. Bila kemudian terbukti bahwa saya melakukan tindakan menyalin atau meniru tulisan orang lain seolah-olah hasil pemikiran saya sendiri, berarti gelar dan ijasah yang telah diberikan oleh universitas batal saya terima.

Semarang, September 2011 Yang membuat pernyataan,

(Yeny Dharmayanti) NIM. C2B308004


(5)

v

v ABSTRACT

Economic development was essentially a series of policy efforts aimed at improving living standards for people to expand employment opportunities and direct distribution of income equally. In Indonesia the economic development of employment opportunities remains a major problem. This arises because of gaps or imbalances in it. Highlights of this issue stems from the gap between the number of labor force growth on the one hand and the progress of various sectors of the economy to absorb labor on the other hand. The purpose of this study was to analyze the value of GDP, Wages and Inflation partially against Unemployment rate in Central Java province in 1991 to 2009. And analyze the value of GDP, Wages and Inflation in common - equal to the level of open unemployment in the province of Central Java in 1991 to 2009.

Analysis of the data in this study using Multiple Linear Regression Method. Hypothesis testing using the partial test (t test), simultaneous (F test) and Test Coefficient of Determination (R2). The data used in this study was the data of GDP, Wages, Inflation and Unemployment in Central Java province in 1991 – 2009.

The results showed the influence of GDP on unemployment t values obtained at -2.164 with a significance of 0.047 <0.05, thus obtained t count (-2.164) <-1.753. This means that GDP has a significant negative effect on unemployment. Thus Hypothesis 1 was received. Test results obtained by the influence of wages on unemployment t value of 7.851 with a significance of 0.000 <0.05. = 5%. T value table for α = 5 % in one direction was obtained by +1.753. Thus got t count (7.851)> 1.753. This means that wages have a significant positive effect on unemployment. Thus Hypothesis 2 is received. The results of testing the influence of inflation on unemployment t values obtained at 2.358 with a significance of 0.032 <0.05. = 5%. T value table for α one direction was obtained +1.753. Thus got t count (2.358)> 1.753. This means that inflation has a significant positive effect on unemployment. Thus, Hypothesis 3 received. The test results simultaneously obtained F value of 54.580 with a significance of 0.000 <0.05. Obtained value of F calculated (54.581)> F table (3.287). This means that unemployment can be affected by GDP, Wages and Inflation together.


(6)

vi ABSTRAK

Pembangunan ekonomi pada hakekatnya adalah serangkaian usaha kebijaksanaan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat memperluas kesempatan kerja dan mengarahkan pembagian pendapatan secara merata. Dalam pembangunan ekonomi Indonesia kesempatan kerja masih menjadi masalah utama. Hal ini timbul karena adanya kesenjangan atau ketimpangan dalam mendapatkannya. Pokok dari permasalahan ini bermula dari kesenjangan antara pertumbuhan jumlah angkatan kerja disatu pihak dan kemajuan berbagai sektor perekonomian dalam menyerap tenaga kerja dipihak lain. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis nilai PDRB, Upah dan Inflasi secara individu terhadap tingkat Pengangguran Terbuka di Provinsi Jawa Tengah tahun 1991 – 2009. Dan menganalisis nilai PDRB, Upah dan Inflasi secara bersama – sama terhadap tingkat Penganguran Terbuka di Provinsi Jawa Tengah Tahun 1991 – 2009.

Analisis data pada penelitian ini menggunakan Metode Regresi Linear Berganda. Uji hipotesis menggunakan pengujian secara parsial (uji t), simultan (uji F) dan Uji Koefisien Determinasi (R2). Data-data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data PDRB, Upah, Inflasi dan Pengangguran terbuka di Provinsi Jawa Tengah tahun 1991 – 2009

Hasil penelitian menunjukkan pengaruh PDRB terhadap pengangguran diperoleh nilai t sebesar -2,164 dengan signifikansi sebesar 0,047 < 0,05, dengan demikian diperoleh t hitung (-2,164) < -1,753. Hal ini berarti bahwa PDRB memiliki pengaruh negatif yang signifikan terhadap pengangguran. Dengan demikian Hipotesis 1 diterima. Hasil pengujian pengaruh Upah terhadap pengangguran diperoleh nilai t sebesar 7,851 dengan signifikansi sebesar 0,000 < 0,05. Nilai t tabel untuk α = 5% uji satu arah diperoleh sebesar +1,753. Dengan demikian doperoleh t hitung (7,851) > 1,753. Hal ini berarti bahwa Upah memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap pengangguran. Dengan demikian Hipotesis 2 diterima. Hasil pengujian pengaruh Inflasi terhadap pengangguran diperoleh nilai t sebesar 2,358 dengan signifikansi sebesar 0,032 < 0,05. Nilai t tabel untuk α = 5% uji satu arah diperoleh sebesar +1,753. Dengan demikian doperoleh t hitung (2,358) > 1,753. Hal ini berarti bahwa inflasi memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap pengangguran. Dengan demikian Hipotesis 3 diterima. Hasil pengujian secara simultan diperoleh nilai F sebesar 54,580 dengan signifikansi sebesar 0,000 < 0,05. Diperoleh nilai F hitung (54,581) > F tabel (3,287). Hal ini berarti Pengangguran dapat dipengaruhi oleh PDRB, Upah dan Inflasi secara bersama-sama.


(7)

vii

vii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kepada Allah SWT karena atas berkat, rahmat dan karuniaNya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”ANALISIS FAKTOR PENENTU PENGANGGURAN TERBUKA DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 1990 - 2009 sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu (S1) pada Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro dengan baik.

Dalam proses penyelesaian skripsi ini, banyak pihak yang telah berperan memberikan bimbingan, bantuan, kerja sama, dorongan dan semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Melalui lembar halaman ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Drs. Mohamad Nasir, M.Si, Akt., Ph.D selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro.

2. Ibu Hastarini Dwi Atmanti, SE., MSi selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan segala kemudahan, nasehat dan saran yang tulus, dan pengarahan serta meluangkan waktunya untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. Ibu Evi Yulia Purwanti, SE, MSi selaku dosen wali yang dengan tulus memberikan bimbingan dan kemudahan selama penulis menjalani studi di Universitas Diponegoro Semarang.

4. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Ekonomi khususnya jurusan IESP yang telah memberikan bekal ilmu dan pengetahuan kepada penulis serta para karyawan Fakultas Ekonomi yang telah banyak membantu penulis.


(8)

viii

5. Petugas Perpustakaan Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro Semarang, Badan Pusat Statistik (BPS) Propinsi Jawa Tengah serta Dinas Perindustrian dan Perdagangan Pemerintah Kota Semarang yang telah memberikan bantuan berupa data dan referensi yang bermanfaat.

6. Bapak dan mama tersayang Eko Sudaryono SH. dan Yulaeni SE atas segala doa, dukungan, motivasi dan kasih sayang yang tiada batasnya sampai kapanpun.

7. Adik – adikku Fienda Dwi Paramita SH dan Fithriyah Nur Hamidah atas bantuan, dukungan dan semangat yang diberikan kepadaku selama ini.

8. Teman-teman seperjuangan di IESP Reg II : Ayu, Arjanggi, Whisnu, Pungki, Ilham, Zulham, Dita, Diana, Margin, Bety, Nisa, Hasya, Sukma, Fredy, mba Ulfa, mba Betty, Ariska, Ami, Andika,

9. Teman-teman IESP Reg II angkatan 2006, 2007,2008 10.Teman – teman sebimbingan : Riza, Azzi, Nita, Lita

11.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu dan yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi dan kuliah penulis dari awal sampai akhir.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan dan menghargai setiap kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak demi penulisan yang lebih baik dimasa mendatang.


(9)

ix

ix

Akhir kata, semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang berkepentingan.

Semarang, September 2011

Yeny Dharmayanti NIM. C2B308004


(10)

x DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN KELULUSAN UJIAN ... iii

PERNYATAAN ORISINALITAS SKRIPSI ... iv

ABSTRACT ... v

ABSTRAK ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 18

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 20

1.3.1 Tujuan Penelitian ... 20

1.3.2 Kegunaan penelitian ... 20

1.4 Sistematika Penulisan ……… 20

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 23

2.1 Landasan teori ... 23

2.1.1 Pengangguran ... 23

2.1.2 PDRB ... 26

2.1.3 Upah ... 28

2.1.4 Inflasi ... 37

2.2 Hubungan Variabel Dependen terhadap Variabel Independen ... 47


(11)

xi

xi

2.2.2 Hubungan Upah terhadap Pengangguran ... 49

2.2.3 Hubungan Inflasi terhadap Pengangguran ... 50

2.3 Penelitian Terdahulu ... 51

2.4 Kerangka Pemikiran ... 57

2.5 Hipotesis ... 61

BAB III METODE PENELITIAN ... 62

3.1 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel ... 62

3.2 Jenis dan Sumber Data ... 64

3.3 Metode Pengumpulan Data ... 65

3.4 Metode Analisis ... 65

BAB IV HASIL DAN ANALISIS ... 72

4.1 Deskriptif Objek Penelitian ... 72

4.1.1 Pengangguran ... 72

4.1.2 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)... 75

4.1.3 Upah ... 77

4.1.4 Inflasi ... 78

4.2 Hasil Analisis ... 79

4.2.1 Uji Asumsi Klasik ... 79

4.2.2 Pengujian Statistik Analisis Regresi ... 83

4.2.2.1Uji Signifikansi Parameter Individual ( Uji t) . 83 4.2.2.2Uji Signifikansi Simultan ( Uji F ) ... 85

4.2.2.3Uji Koefisiensi Determinasi (R2) ... 86

4.3 Interpretasi Hasil dan Pembahasan ... 86

4.3.1 Pengaruh PDRB terhadap Pengangguran ... 86

4.3.2 Pengaruh Upah terhadap Pengangguran ... 87

4.3.3 Pengaruh Inflasi terhadap pengangguran ... 88

BAB V PENUTUP ... 89

5.1 Kesimpulan ... 89

5.2 Keterbatasan ... 90

5.3 Saran ... 90

DAFTAR PUSTAKA ... 92


(12)

xii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1.1 Angka Pengangguran di Indonesia Periode Tahun 1991 - 2009 ... 5

Tabel 1.2 Jumlah Angkatan Kerja yang Bekerja dan Pengangguran terbuka di Provinsi Jawa Tengah Tahun 1991 - 2009 ... 8

Tabel 1.3 Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Jawa Tengah Tahun 1991 – 2009 ( Atas Dasar Harga Konstan 2000 ) ... 10

Tabel 1.4 Upah Provinsi Jawa Tengah Tahun 1991 - 2009 ... 13

Tabel 1.5 Inflasi Provinsi Jawa Tengah 1991 - 2009 ... 16

Tabel 2.1 Ringkasan Penelitian Terdahulu ... 55

Tabel 4.1 Uji Multikolinieritas dengan Auxiliary Regression ... 81

Tabel 4.2 Uji Autokorelasi Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test ... 81

Tabel 4.3 Hasil Uji Glejser ... 82

Tabel 4.4 Nilai T-Statistik Pengaruh PDRB, Upah dan Inflasi terhadap Pengangguran di Jawa Tengah Tahun 1991 - 2009 ... 83

Tabel 4.5 Nilai F-Statistik Pengaruh PDRB, Upah dan Inflasi terhadap Pengangguran di Jawa Tengah Tahun 1991 – 2009 ... 85


(13)

xiii

xiii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Kurva Philips ... 51

Gambar 2.2 Kerangka pemikiran ... 60

Gambar 4.1 Pertumbuhan Pengangguran ... 73

Gambar 4.2 Pertumbuhan PDRB ... 76

Gambar 4.3 Pertumbuhan Upah ... 77

Gambar 4.4 Pertumbuhan Inflasi ... 78


(14)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A. Data Mentah ... 94

Lampiran B. Hasil Output Analisis Regresi ... 95

Lampiran C. Hasil Output Uji Normalitas... 96

Lampiran D. Hasil Output Uji Autokorelasi ... 97


(15)

1

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pembangunan ekonomi pada hakekatnya adalah serangkaian usaha kebijaksanaan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat memperluas kesempatan kerja dan mengarahkan pembagian pendapatan secara merata. Dalam pembangunan ekonomi Indonesia kesempatan kerja masih menjadi masalah utama. Hal ini timbul karena adanya kesenjangan atau ketimpangan dalam mendapatkannya. Pokok dari permasalahan ini bermula dari kesenjangan antara pertumbuhan jumlah angkatan kerja disatu pihak dan kemajuan berbagai sektor perekonomian dalam menyerap tenaga kerja dipihak lain.

Pembangunan ekonomi yang bertujuan antara lain pencapaian pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, mengentaskan kemiskinan, menjaga kestabilan harga dengan selalu memperhatikan tingkat inflasi, menjaga keseimbangan pembayaran, perhatian yang cukup terhadap neraca perdagangan, pendistribusian pendapatan yang lebih adil dan merata, dan mengatasi masalah pengangguran. Untuk mencapai tujuan tersebut oleh negara diluncurkan berbagai kebijaksanaan misalnya kebijaksanaan moneter, kebijaksanaan fiskal, kebijaksanaan nonmoneter, dan lain-lain.

Indonesia merupakan salah satu negara berkembang, yang dalam pengelompokkan negara berdasarkan taraf kesejahteraan masyarakat, dimana salah satu permasalahan yang dihadapi oleh negara berkembang termasuk


(16)

Indonesia adalah masalah pengangguran. Pengangguran merupakan masalah yang sangat kompleks karena mempengaruhi sekaligus dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling berinteraksi mengikuti pola yang tidak selalu mudah dipahami. Apabila pengangguran tersebut tidak segera diatasi maka dapat menimbulkan kerawanan sosial dan berpotensi mengakibatkan kemiskinan (BPS, 2007)

Gejala pengangguran yang terselubung didaerah pedesaan dan dilingkungan kota merupakan sebagian akibat dari kurang tersedianya lapangan kerja yang produktif penuh (yang membawa hasil kerja dan nafkah mata pencaharian yang memadai untuk memenuhi kebutuhan dasar). Indonesia masih dihadapkan pada dilema kondisi ekonomi yang mengalami ketidakseimbangan internal dan ketidakseimbangan eksternal. Ketidakseimbangan internal terjadi dengan indikator bahwa tingkat output nasional maupun tingkat kesempatan kerja di Indonesia tidak mencapai kesempatan kerja penuh (Boediono, 1993).

Pembangunan ekonomi juga dapat diartikan sebagai suatu proses kenaikan pendapatan total dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan penduduk dan disertai dengan perubahan fundamental dalam struktur ekonomi suatu negara. Pembangunan ekonomi tidak dapat lepas dari pertumbuhan ekonomi, pembangunan ekonomi mendorong pertumbuhan ekonomi, dan sebaliknya pertumbuhan ekonomi memperlancar proses pembangunan ekonomi. Dalam konteks ekonomi, pembangunan sendiri dapat diartikan sebagai upaya yang dilakukan untuk meningkatkan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) di tingkat nasional atau Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di tingkat daerah.


(17)

3

Tujuan utama dari usaha-usaha pembangunan ekonomi selain menciptakan pertumbuhan yang setinggi-tingginya, harus pula menghapus atau mengurangi tingkat kemiskinan, ketimpangan pendapatan, dan tingkat pengangguran serta menyediakan kesempatan kerja yang luas bagi penduduk untuk meningkatkan kemakmuran suatu masyarakat. Kemakmuran tersebut dapat dilihat dari indikator pengukur prestasi kegiatan ekonomi yaitu : 1) Pendapatan Nasional, 2) Penggunaan tenaga kerja dan pengangguran, 3) Tingkat inflasi, dan 4) Neraca perdagangan dan neraca pembayaran (Sukirno, 2001).

Permasalahan strategis di pemerintahan Provinsi Jawa Tengah tidak jauh berbeda dengan di pemerintahan pusat (problem nasional), yakni masih tingginya angka pengangguran jika di bandingkan dengan provinsi lain di pulau Jawa. Oleh karena itu, pengangguran menjadi tanggung jawab bersama, terutama pemerintah sebagai penyangga proses perbaikan kehidupan masyarakat dalam sebuah pemerintahan, untuk segera mencari jalan keluar dengan merumuskan langkah-langkah yang sistematis dan strategis sebagai upaya penanganan permasalahan pengangguran.

Masalah pengangguran memang selalu menjadi suatu persoalan yang perlu dipecahkan dalam perekonomian negara Indonesia. Jumlah penduduk yang bertambah semakin besar setiap tahun membawa akibat bertambahnya jumlah angkatan kerja dan tentunya akan memberikan makna bahwa jumlah orang yang mencari pekerjaan akan meningkat, seiring dengan itu tenaga kerja juga akan bertambah.


(18)

Tenaga kerja yang terampil merupakan potensi sumber daya manusia yang sangat dibutuhkan dalam proses pembangunan menyongsong era globalisasi. BPS mendefinisikan bahwa penduduk usia kerja adalah penduduk berumur 15 tahun ke atas, sedang bekerja adalah kegiatan yang dilakukan seseorang dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan, paling sedikit satu jam (tidak terputus) dalam seminggu yang lalu. Penduduk usia kerja tersebut terbagi dalam angkatan kerja yang mencakup bekerja dan mencari kerja serta bukan angkatan kerja terdiri dari sekolah, mengurus rumah tangga. (BPS, 2010).

Berikut ini disajikan data tentang angka pengangguran di Indonesia dari tahun 1991 – 2009 sebagaimana terlihat pada tabel di bawah ini :


(19)

5

5 Tabel 1.1

Angka Pengangguran di Indonesia Periode Tahun 1991 - 2009

No Propinsi 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

1 NAD 31.219 32.286 27.485 57.688 123.302 108.240 91.539 108.385 125.122 128.327 135.926 149.652 284.034 156.960 220.241 189.169 171.424 171.412 165.361 2 Sumatera Utara 99.459 116.352 122.148 136.475 331.606 303.663 256.390 353.468 387.686 421.639 487.932 562.209 564.410 610.540 636.980 632.049 571.334 554.539 532.427 3 Sumatera Barat 38.143 48.084 49.014 42.860 134.439 86.414 86.985 100.079 113.948 143.893 163.085 182.148 198.856 258.224 225.860 243.525 217.305 171.134 173.080 4 Riau 32.112 38.055 47.595 49.419 134.578 101.988 103.874 103.176 130.736 151.954 183.962 215.157 251.701 364.594 355.568 202.387 207.138 183.522 193.505 5 Kepulauan Riau 71.914 53.077 53.333 55.313 6 Jambi 16.323 19.050 16.708 16.007 60.797 40.670 42.220 28.792 39.724 45.953 54.073 67.092 74.376 73.108 103.149 78.264 76.090 66.371 73.904 7 Sumatera Selatan 76.270 66.639 88.152 70.810 202.223 129.676 134.420 81.473 174.559 185.063 235.964 278.586 272.797 282.225 287.188 310.851 314.814 280.657 263.471

8

Kep. Bangka

Belitung 22.142 32.440 33.960 39.340 42.210 32.956 31.421 33.126 9 Bengkulu 7.981 12.036 10.644 13.645 29.747 23.620 24.288 14.916 25.765 31.463 48.921 51.636 54.245 48.312 49.509 48.993 37.681 39.719 42.141 10 Lampung 25.153 25.660 33.263 39.754 172.336 128.798 101.802 138.459 145.931 164.961 214.790 275.253 298.310 249.690 229.131 307.689 269.132 255.217 239.980 11 DKI Jakarta 230.685 190.938 193.117 174.008 441.443 363.300 446.720 499.500 668.322 592.479 569.741 549.356 589.682 602.741 615.917 490.761 552.380 580.511 569.337 12 Jawa Barat 433.609 548.015 534.931 561.564 1.738.974 1.125.848 1.072.515 1.302.133 1.764.384 1.846.290 1.987.645 2.191.531 1.979.065 2.319.715 2.527.807 2.561.525 2.386.214 2.263.584 2.079.830 13 Banten 530.060 517.068 549.593 549.995 754.617 632.762 656.560 652.462 14 Jawa Tengah 311.193 309.139 296.920 288.606 333.504 459.483 568.465 817.903 664.921 637.900 688.190 1.081.694 1.163.188 1.299.220 1.346.404 1.197.244 1.356.909 1.360.219 1.252.267 15 DI Yogyakarta 33.194 31.131 37.186 34.148 76.388 60.760 62.328 56.088 59.236 75.962 81.974 90.436 98.559 113.560 93.507 117.948 115.200 107.529 121.046 16 Jawa Timur 334.845 336.623 354.237 390.646 787.793 592.893 569.238 720.234 883.478 945.321 989.653 1.168.461 1.571.420 1.447.263 1.629.882 1.575.299 1.366.503 1.296.313 1.033.512 17 Bali 24.875 23.070 21.371 21.137 88.269 44.629 44.310 52.098 43.699 58.194 78.372 84.047 100.226 89.640 81.748 120.188 77.577 69.548 66.470 18 NTB 13.559 7.878 13.863 12.120 126.062 43.658 30.681 52.992 25.092 71.845 98.630 139.354 123.814 149.156 174.996 186.259 135.264 124.300 131.258 19 NTT 10.838 12.749 19.227 19.157 43.545 38.320 41.525 46.803 50.907 64.972 75.941 84.181 79.891 91.722 117.821 74.744 77.725 80.814 89.395 20 Kalimantan Barat 20.333 13.892 18.227 5.397 88.869 58.746 62.618 62.251 34.927 86.341 127.639 176.485 118.898 153.464 171.724 182.198 138.796 116.782 119.684 21 Kalimantan Tengah 9.770 5.882 8.109 16.489 46.711 24.268 34.300 35.381 30.044 42.961 51.926 57.625 63.001 48.168 45.262 67.631 52.015 47.247 48.435 22 Kalimantan Selatan 17.821 23.501 29.376 30.467 80.639 49.625 44.358 62.850 37.464 73.946 96.283 147.193 121.530 99.975 99.547 144.765 131.935 110.081 115.812 23 Kalimantan Timur 23.793 26.682 37.110 34.132 85.869 79.706 71.874 98.990 128.265 130.754 133.096 135.193 44.645 120.715 111.180 177.997 149.796 157.376 158.224 24 Sulawesi Utara 34.604 36.272 49.047 54.508 134.228 110.137 96.710 64.203 97.572 99.385 101.753 102.182 49.974 107.008 143.752 141.866 127.996 108.754 110.957 25 Gorontalo 43.392 34.483 45.360 37.993 30.039 27.973 24.258 26.351 26 Sulawesi Tengah 17.146 21.844 16.808 18.318 74.103 45.762 35.717 48.789 44.524 62.964 78.520 86.505 43.003 60.692 78.145 119.058 99.219 65.282 66.009 27 Sulawesi Selatan 62.152 67.367 94.338 100.223 310.388 167.079 138.157 170.042 213.185 285.083 38.520 432.035 586.768 603.220 516.622 400.688 372.714 311.768 314.664 28 Sulawesi Barat 27.820 25.634 22.650 23.064 29 Sulawesi Tenggara 7.624 10.246 11.256 12.604 44.446 25.130 19.306 19.126 32.058 43.851 58.623 72.006 86.722 85.455 79.081 89.441 61.162 56.138 47.319


(20)

No Propinsi 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 30 Maluku 15.203 20.167 24.044 22.109 60.277 47.299 48.700 34.040 45.305 47.396 44.961 39.108 62.073 58.986 58.631 71.854 67.421 59.684 63.015 31 Maluku Utara 48.909 28.123 28.623 34.496 28.837 23.983 27.323 28.564 32 Papua 68.476 67.788 99.432 92.778 52.735 49.674 47.191 46.008 33 Papua Barat 28.029 26.189 26.626 34 Irian Jaya Barat 31.073 28.642 27.952 TOTAL 1.951.684 2.032.369 2.185.602 2.245.536 6.251.201 4.407.769 4.275.155 5.062.483 6.030.319 5.813.231 8.005.031 9.132.104 9.531.090 10.251.351 10.845.254 10.932.000 10.011.142 9.394.515 8.962.617

Sumber : BPS, 2011

Keterangan :


(21)

7

7

Berdasarkan tabel 1.1 dapat diketahui bahwa angka pengangguran yang tertinggi adalah di provinsi Jawa Barat, sedangkan propinsi Jawa Tengah berada pada urutan kedua. Masalah pengangguran tidak hanya terjadi dalam lingkup nasional, akan tetapi juga terjadi pada lingkup regional, seperti pada Provinsi Jawa Tengah. Pengangguran yang tiap tahun meningkat di Provinsi Jawa Tengah menjadi masalah serius yang harus diatasi baik itu oleh pemerintah atau pihak yang terkait.

Menurut Deni Tisna (2008 dalam Wijayanto, 2010) dalam ilmu ekonomi dikemukakan berbagai teori yang membahas tentang bagaimana pembangunan ekonomi harus ditangani untuk mengejar keterbelakangan. Sampai akhir tahun 1960, para ahli ekonomi percaya bahwa cara terbaik untuk mengejar keterbelakangan ekonomi adalah dengan meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi setinggi-tingginya, sehingga dapat melampaui tingkat pertumbuhan penduduk. Dengan cara tersebut angka pendapatan per kapita akan meningkat sehingga secara otomatis terjadi pula peningkatan kemakmuran masyarakat.

Pengangguran terbuka di Jawa Tengah pada 2009 mencapai 1,25 juta orang atau 7,9 persen dari total orang yang bekerja mencapai 15.46 juta orang. Jumlah angkatan kerja di Jateng sebanyak 16,69 juta orang, 15.46 juta orang bekerja sisanya 1,25 juta orang pengangguran terbuka. Segala upaya telah dilakukan untuk mengatasi penganguran, namun masih belum menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Laju peningkatan kesempatan kerja tidak sebanding dengan laju peningkatan pencari kerja (Warta Nusantara, 2009).


(22)

Pertumbuhan angkatan kerja di Jawa Tengah menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun dan tidak dapat terserap seluruhnya di dunia kerja sehingga menimbulkan adanya pengengguran terbuka yang jumlahnya mengalami penurunan dan peningkatan dari tahun 1991 sampai tahun 2009, berdasarkan data yang diperoleh terdapat penurunan angka pengangguran terbuka pada tahun 1992, 1993, 1994, 1999, 2000, 2006, dan 2009, sedangkan peningkatan angka pengangguran terbuka terjadi pada tahun 1995, 1996, 1997, 1998, 2001, 2002, 2003, 2004, 2005, 2007, dan 2008. Hal ini dapat dilihat pada tabel 1.2 sebagai berikut :

Tabel 1.2

Jumlah Angkatan Kerja yang Bekerja dan Pengangguran Terbuka di Provinsi Jawa Tengah Tahun 1991 – 2009 (Jiwa)

Tahun

Angkatan Kerja

Jumlah Pertumbuhan (%) Bekerja Pengangguran

Terbuka

1991 13.424.784 311.193 13.735.977

1992 13.544.104 309.139 13.853.243 0,85 1993 13.611.177 296.920 13.908.097 0,40 1994 13.632.439 288.606 13.921.045 0,09 1995 13.462.285 333.504 13.795.789 -0,90 1996 14.262.731 459.483 14.722.214 6,72 1997 14.128.038 568.465 14.696.503 -0,17 1998 14.186.853 817.903 15.004.756 2,10 1999 14.621.149 664.921 15.286.070 1,87 2000 14.491.222 637.900 15.129.122 -1,03 2001 15.066.542 688.190 15.754.732 4,14 2002 15.154.856 1.081.694 16.236.550 3,06 2003 151.24.082 1.163.188 16.287.270 0,31 2004 15.528.110 1.299.220 16.827.330 3,32 2005 15.548.609 1.346.404 16.895.013 0,40 2006 15.210.931 1.197.244 16.408.175 -2,88 2007 15.567.335 1.356.909 16.924.244 3,15 2008 16.304.058 1.360.219 17.664.277 4,37 2009 15.835.382 1.252.267 17.087.649 -3,26 Sumber : Jawa Tengah Dalam Angka, 2011


(23)

9

Salah satu indikator tingkat kesejahteraan penduduk suatu wilayah adalah angka PDRB. PDRB adalah nilai bersih barang dan jasa-jasa akhir yang dihasilkan oleh berbagai kegiatan ekonomi di suatu daerah dalam suatu periode (Sasana, 2001 dalam Sukmaraga, 2011). Sedangkan yang dimaksud dengan PDRB per kapita adalah PDRB dibagi dengan jumlah penduduk. PDRB per kapita sering digunakan sebagai indikator pembangunan. Semakin tinggi PDRB per kapita suatu daerah, maka semakin besar pula potensi sumber penerimaan daerah tersebut dikarenakan semakin besar pendapatan masyarakat daerah tersebut (Thamrin, 2001). Hal ini berarti juga semakin tinggi PDRB per kapita semakin sejahtera penduduk suatu wilayah. Dengan kata lain jumlah penduduk miskin akan berkurang.

PDRB mempunyai pengaruh terhadap jumlah angkatan kerja yang bekerja dengan asumsi apabila nilai PDRB meningkat, maka jumlah nilai tambah barang dan jasa akhir dalam seluruh unit ekonomi di suatu wilayah akan meningkat. Barang dan jasa akhir yang jumlahnya meningkat tersebut akan menyebabkan terjadinya peningkatan terhadap jumlah tenaga kerja yang diminta. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jawa Tengah memberikan gambaran kinerja pembangunan ekonomi dari waktu ke waktu, sehingga arah perekonomian daerah akan lebih jelas. Produk Domestik regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan digunakan untuk menunjukan laju pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan dari tahun ke tahun. Tabel 1.3 menggambarkan peningkatan PDRB Jawa Tengah pada tahun 1991-2009.


(24)

Tabel 1.3

Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Jawa Tengah Tahun 1991 – 2009

(Atas Dasar Harga Konstan 2000)

TAHUN PDRB Pertumbuhan

(%) 1991 86.507.094,72

1992 90.943.359,13 5,13 1993 99.609.850,28 9,53 1994 117.476.964,20 17,94 1995 119.222.000,90 1,49 1996 122.478.881,50 2,73 1997 125.166.672,30 2,19 1998 119.468.846,20 -4,55 1999 116.326.423,10 -2,63 2000 114.701.304,80 -1,40 2001 116.816.400,30 1,84 2002 118.038.541,10 1,05 2003 122.166.462,50 3,50 2004 126.789.872,30 3,78 2005 130.051.213,90 2,57 2006 144.682.654,74 11,25 2007 152.110.253,80 5,13 2008 171.790.369,90 12,94 2009 177.685.267,60 3,43 Sumber : BPS Jateng, 2011

Dari Tabel 1.3 terlihat bahwa PDRB seluruh Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah dari tahun 1991 sampai tahun 2009 dengan melihat indikator persentase pertumbuhannya cenderung mengalami peningkatan. Pada tahun 1994 terjadi peningkatan PDRB yang paling tinggi yakni sebesar 17,94% dengan menggunakan dasar harga konstan 2000 dan pertumbuhan paling rendah terjadi pada tahun 1998 yakni sebesar 4,55% dengan menggunakan dasar harga konstan 2000.


(25)

11

Namun dalam kenyataannya pertumbuhan PDRB yang diharapkan dapat menciptakan lapangan kerja baru ternyata masih sangat terbatas dalam menyerap tambahan tenaga kerja sehingga pengangguran cenderung meningkat sebagaimana terlihat pada tabel 1.2. Perhatian Pemerintah terhadap nasib pekerja sebenarnya bukan cerita baru, banyak kebijakan pemerintah yang ditujukan untuk perbaikan nasib pekerja, antara lain K3, Jamsostek dan upah minimum. Namun pada kenyataannya pelaksanaan peraturan-peraturan ini banyak mengalami hambatan baik karena ketidakmampuan maupun kekurangpedulian pengusaha, hal ini tercermin dari banyaknya kasus pemogokan buruh yang menuntut haknya. Nampaknya sampai saat ini pemerintah Indonesia masih meyakini bahwa upah minimum merupakan cara yang efektif untuk memperbaiki nasib pekerja yang berpenghasilan rendah. Hal yang juga diyakini oleh International Labor Organization (ILO) yang mengemukakan bahwa “minimum wages have an important role to play in protecting low income groups” (ILO, 1991 dalam Iskandarsyah 1996). Disamping itu dengan pemberian upah minimum yang layak diharapkan pekerja dapat memenuhi kebutuhan gizinya, sehingga dapat meningkatkan produkitivitas, namun bila ditinjau dari teori ekonomi klasik dan neoklasik bahwa penetapan upah minimum bukan dianggap kebijakan yang tepat. Menurut teori ini pasar tenaga kerja sama saja dengan pasar lainnya yang membutuhkan keseimbangan permintaan dan penawaran. Bila upah minimum berada di atas upah riil maka akan terdapat surplus tenaga kerja. Dengan kata lain, dalam teori ini penetapan upah minimum pada dasarnya adalah investasi terhadap mekanisme pasar, dan setiap investasi terhadap mekanisme pasar akan menyebabkan ketidakefisienan. Seperti yang dikemukakan oleh World Bank bahwa pada kenyataannya upah minimum hanya akan meningkatkan biaya tenaga


(26)

kerja di sektor formal yang menyebabkan permintaan tenaga kerja di sektor tersebut menurun dan kemudian menyebabkan meningkatnya penawaran tenaga kerja di sektor informal dan di sektor pedesaan, yang pada akhirnya menyebabkan penghasilan pekerja yang berpenghasilan rendah menjadi semakin rendah (World Bank, 1990 dalam Iskandarsyah, 1996)

Namun apabila kita mengacu pada pasal 27 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang layak bagi kemanusiaan, dan juga melihat dari konteks permasalahan negara berkembang, Indonesia tidak mungkin menyerahkan penetapan upah pekerja atau buruh kepada mekanisme pasar sebab di dalam pasar tenaga kerja kita masih terlihat ketidakseimbangan struktural. Menurut Simanjuntak (2001) setiap kenaikan tingkat upah akan diikuti oleh turunnya tenaga kerja yang diminta, yang berarti akan menyebabkan bertambahnya pengangguran. Demikian pula sebaliknya dengan turunnya tingkat upah maka akan diikuti oleh meningkatnya kesempatan kerja, sehingga dapat dikatakan bahwa kesempatan kerja mempunyai hubungan timbal balik dengan tingkat upah. Upah mempunyai pengaruh terhadap jumlah angkatan kerja yang bekerja. Jika semakin tinggi tingkat upah yang ditetapkan, maka berpengaruh pada meningkatnya biaya produksi, akibatnya untuk melakukan efisiensi, perusahaan terpaksa melakukan pengurangan tenaga kerja, yang berakibat pada tingginya pengangguran.

Istilah urban formal sector adalah pasar tenaga kerja yang dimimpikan oleh hampir semua orang, dimana mereka bisa bekerja di pemerintahan atau perusahaan berskala besar dengan fasilitas kerja yang modern, bergengsi, dan


(27)

13

memperoleh upah yang tinggi. Pemberian upah yang tinggi disebabkan karena umumnya perusahaan mempekerjakan tenaga kerja yang berpendidikan tinggi dan meskipun tidak memperkerjakan tenaga kerja yang berpendidikan tinggi pemerintah menekan mereka dengan menerapkan upah minimum. Dengan tingkat upah yang lebih tinggi ini maka akan selalu terdapat antrian panjang para pencari kerja (Iskandarsyah, 1996).

Pada tabel 1.4 berikut ini disajikan tantang gambaran kenaikan upah Provinsi Jawa Tengah dari tahun 1991- 2009 sebagai berikut :

Tabel 1.4

Upah Provinsi Jawa Tengah Tahun 1991 – 2009

TAHUN UPAH (Rp)

1991 40.000

1992 40.000

1993 50.000

1994 50.000

1995 90.000

1996 102.000

1997 113.000

1998 130.000

1999 153.000

2000 185.000

2001 247.030

2002 326.581

2003 366.919

2004 394.414

2005 422.586

2006 491.553

2007 550.000

2008 601.419

2009 679.083


(28)

Dari Tabel 1.4 dapat dilihat bahwa rata – rata tingkat upah pekerja untuk Provinsi Jawa Tengah dari tahun 1991-2009 setiap tahunnya terlihat mengalami perkembangan. Peningkatan rata – rata tingkat upah di sebabkan pertumbuhan ekonomi yang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Di awali pada tahun 1991 sebesar 40.000 rupiah dan pada tahun selanjutnya tingkat upah terus mengalami peningkatan. Dengan meningkatnya tingkat upah berdampak pada penyerapan tenaga kerja atau perluasan tenaga kerja dimasa yang akan datang. Penentuan tingkat upah harus sesuai dengan ”hukum” ekonomi pasar tenaga kerja, yaitu bahwa tingkat upah ditentukan oleh permintaan dan penawaran tenaga kerja, dan hal itu juga sesuai dengan UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur sistem pengupahan dan upah minimum.(BPS Indikator Tingkat Hidup Pekerja, 2009).

Inflasi (inflation) adalah gejala yang menunjukkan kenaikan tingkat harga umum yang berlangsung terus menerus. Dari pengertian tersebut maka apabila terjadi kenaikan harga hanya bersifat sementara, maka kenaikan harga yang sementara sifatnya tersebut tidak dapat dikatakan inflasi. Semua negara di dunia selalu menghadapi permasalahan inflasi ini. Oleh karena itu, tingkat inflasi yang terjadi dalam suatu negara merupakan salah satu ukuran untuk mengukur baik buruknya masalah ekonomi yang dihadapi suatu negara. Bagi negara yang perekonomiannya baik, tingkat inflasi yang terjadi berkisar antara 2 sampai 4 persen per tahun. Tingkat inflasi yang berkisar antara 2 sampai 4 persen dikatakan tingkat inflasi yang rendah. Selanjutnya tingkat inflasi yang berkisar antara 7 sampai 10 persen dikatakan inflasi yang tinggi. Namun demikian ada negara yang


(29)

15

menghadapai tingkat inflasi yang lebih serius atau sangat tinggi, misalnya Indonesia pada tahun 1966 dengan tingkat inflasi 650 persen. Inflasi yang sangat tinggi tersebut disebut hiper inflasi (hyper inflation) (Amir, 2009).

Didasarkan pada faktor-faktor penyebab inflasi maka ada tiga jenis inflasi yaitu: 1) inflasi tarikan permintaan (demand-pull inflation) dan 2) inflasi desakan biaya (cost-push inflation) 3) inflasi karena pengaruh impor (imported inflation). Inflasi tarikan permintaan (demand-pull inflation) atau inflasi dari sisi permintaan (demand side inflation) adalah inflasi yang disebabkan karena adanya kenaikan permintaan agregat yang sangat besar dibandingkan dengan jumlah barang dan jasa yang ditawarkan. Karena jumlah barang yang diminta lebih besar dari pada barang yang ditawarkan maka terjadi kenaikan harga. Inflasi tarikan permintaan biasanya berlaku pada saat perekonomian mencapai tingkat penggunaan tenaga kerja penuh dan pertumbuhan eko-nomi berjalan dengan pesat (full employment and full capacity). Dengan tingkat pertumbuhan yang pesat/tinggi mendorong peningkatan permintaan sedangkan barang yang ditawarkan tetap karena kapasitas produksi sudah maksimal sehingga mendorong kenaikan harga yang terus menerus (Amir, 2009).

Kondisi perekonomian dengan tingkat inflasi yang tinggi dapat menyebabkan perubahan-perubahan output dan kesempatan kerja. Tingkat inflasi yang tinggi berdampak pada pengangguran. Bila tingkat inflasi tinggi, dapat menyebabkan angka pengangguran tinggi, ini berarti perkembangan kesempatan kerja menjadi semakin mengecil atau dengan kata lain jumlah tenaga kerja yang diserap juga akan kecil. Dari sini terlihat bahwa pemerintah harus menjalankan


(30)

kebijakan makro yang tepat. Inflasi mempunyai pengaruh terhadap tingkat pengangguran. Apabila tingkat inflasi meningkat, maka harga-harga barang dan jasa akhir juga akan naik, selanjutnya permintaan akan barang dan jasa akhir akan turun, dan akan mengurangi permintaan terhadap tenaga kerja yang dibutuhkan, akibatnya akan meningkatkan jumlah pengangguran terbuka. Sehingga inflasi mempunyai pengaruh yang negatif terhadap tingkat pengangguran (Sukirno, 1994). Tabel 1.5 menggambarkan inflasi Provinsi Jawa Tengah tahun 1991-2009.

Tabel 1.5

Inflasi Provinsi Jawa Tengah Tahun 1991 – 2009

Tahun Inflasi

1991 9,62

1992 11,55

1993 9,37

1994 7,00

1995 8,45

1996 4,37

1997 10,88

1998 70,28

1999 1,33

2000 8,57

2001 13,81

2002 11,52

2003 4,45

2004 5,75

2005 15,97

2006 6,50

2007 6,24

2008 9,55

2009 3,32

Sumber : BPS Jateng, 2011

Tingkat pertumbuhan angkatan kerja yang cepat dan pertumbuhan lapangan kerja yang relatif lambat menyebabkan masalah pengangguran yang ada


(31)

17

di suatu daerah menjadi semakin serius. Besarnya tingkat pengangguran merupakan cerminan kurang berhasilnya pembangunan di suatu negara. Pengangguran dapat mempengaruhi kemiskinan dengan berbagai cara (Tambunan, 2001). Pada hakekatnya pembangunan daerah dianjurkan tidak hanya memusatkan perhatian pada pertumbuhan ekonomi saja namun juga mempertimbangkan bagaimana angka pengangguran dapat ditekan serendah mungkin (Wijayanto, 2010).

Tisna (2008, dalam Wijayanto, 2010) dalam ilmu ekonomi dikemukakan berbagai teori yang membahas tentang bagaimana pembangunan ekonomi harus ditangani untuk mengejar keterbelakangan. Sampai akhir tahun 1960, para ahli ekonomi percaya bahwa cara terbaik untuk mengejar keterbelakangan ekonomi adalah dengan meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi setinggi-tingginya, sehingga dapat melampaui tingkat pertumbuhan penduduk. Dengan cara tersebut angka pendapatan per kapita akan meningkat sehingga secara otomatis terjadi pula peningkatan kemakmuran masyarakat. Penelitian ini dilakukan di Jawa Tengah dalam periode 1991– 2009 dengan mengambil permasalahan pengangguran dan menggunkan variabel PDRB, inflasi dan upah.

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Moch. Rum Alim (2007) tentang analisis faktor penentu pengangguran terbuka di Indonesia periode tahun 1980 – 2006 mendapatkan hasil bahwa secara simultan atau bersama-sama variabel Laju Pertumbuhan Ekonomi, Inflasi, dan Pengeluaran Pemerintah berpengaruh signifikan terhadap Pengangguran Terbuka di Indonesia Periode tahun 1980-2006. Penelitian lain yang dilakukan oleh Amri Amir (2007) tentang Pengaruh Inflasi


(32)

dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia, penelitian ini menggunakan data tahun 1980 – 2005. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa tidak ada pengaruh nyata antara tingkat inflasi terhadap pengangguran dan terdapat pengaruh yang signifikan antara pertumbuhan ekonomi dan jumlah pengangguran di Indonesia pada periode tahun penelitian.

Usaha penelitian sudah banyak dilakukan secara mendalam dan mencakupi secara luas berbagai bidang kegiatan ekonomi dengan penelaahan serangkaian variabel dalam kaitannya dengan permasalahan pengangguran sehingga diperlukan suatu studi lebih lanjut dengan pengembangan – pengembangan model dan penyertaan variabel lain yang sesuai agar hasilnya lebih baik lagi. Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka penulis akan mengambil judul “Analisis Faktor Penentu Pengangguran Terbuka di Prvinsi Jawa Tengah Periode Tahun 1991– 2009”.

1.2 Rumusan Masalah

Tujuan utama pembangunan ekonomi diantaranya adalah untuk mengurangi jumlah pengangguran. Pengangguran merupakan salah satu indikator pengukur prestasi kegiatan ekonomi untuk menentukan tingkat kemakmuran suatu masyarakat (Sukirno, 2001). Angka pengangguran di Provinsi Jawa Tengah berada pada urutan nomor dua di Indonesia. Hal ini akan menjadi beban bagi perekonomian di Provinsi Jawa Tengah. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah angka pengangguran di Provinsi Jawa Tengah yang tinggi.


(33)

19

1.3 Tujuan dan kegunaan Penelitian

1.3.1 Tujuan penelitian ini antara lain :

1. Untuk menganalisis pengaruh nilai PDRB terhadap tingkat pengangguran terbuka di Provinsi Jawa Tengah.

2. Untuk menganalisis pengaruh tingkat upah terhadap tingkat pengangguran terbuka di Provinsi Jawa Tengah.

3. Untuk menganalisis pengaruh tingkat inflasi terhadap tingkat pengangguran terbuka di Provinsi Jawa Tengah.

4. Menganalisis pengaruh PDRB, Upah dan Inflasi secara bersama-sama terhadap tingkat Pengangguran terbuka di Provinsi Jawa Tengah.

1.3.2 Kegunaan penelitian ini adalah :

1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan gambaran bagi pihak yang membutuhkan terutama bagi penelitian sejenis.

2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pikiran kepada pemerintah Provinsi Jawa Tengah dalam mengatasi permasalahan kependudukan.

1.4 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : BAB I : PENDAHULUAN

Pada bab ini berisi latar belakang masalah yang membahas tentang permasalahan penelitian, rumusan masalah yang membahas


(34)

tentang konsep yang memerlukan pemecahan dan atau memerlukan jawaban melalui suatu penelitian, tujuan penelitian mengungkapkan hasil yang ingin dicapai melalui proses penelitian dan kegunaan penelitian bagi khasanah ilmu pengetahuan, serta sistematika penulisan mencakup uraian ringkasan dari materi yang dibahas pada setiap bab yang ada pada skripsi. BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini berisi landasan teori yang menjabarkan teori-teori guna mendukung rumusan hipotesis, penelitian terdahulu sebagai bahan referensi pembanding bagi penelitian ini, kerangka pemikiran untuk memperjelas maksud penelitian dan menunjukkan hubungan variabel penelitian, hipotesis merupakan dugaan sementara terhadap variabel-variabel penelitian.

BAB III : METODE PENELITIAN

Bab ini berisi tentang uraian variabel deskripsi variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian, definisi operasional variabel-variabel berdasarkan pada satu atau lebih sumber. Jenis dan sumber data berisi tentang deskripsi jenis data dari variabel penelitian. Metode pengumpulan data menjelaskan metode pengambilan data penelitian yang digunakan. Metode analisis berisi tentang deskripsi jenis atau teknik analisis dan mekanisme penggunaan alat analisis dalam penelitian.

BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab ini berisi tentang deskripsi objek penelitian yang membahas secara umum objek penelitian. Analisis data yang


(35)

21

menitikberatkan pada hasil olahan data sesuai dengan alat dan teknik yang digunakan. Interpretasi hasil analisis dari objek penelitian sesuai dengan teknik analisis yang digunakan.

BAB V : PENUTUP

Bab ini berisi tentang simpulan merupakan penyajian secara singkat apa yang telah diperoleh dari pembahasan. Keterbatasan penelitian menguraikan tentang kelemahan dan kekurangan yang ditemukan setelah dilakukan analisis dan interpretasi hasil. Saran merupakan anjuran bagi pihak yang berkepentingan terhadap penelitian.


(36)

22 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Pengangguran

Dalam standar pengertian yang sudah ditentukan secara internasional, yang dimaksudkan dengan pengangguran adalah seseorang yang sudah digolongkan dalam angkatan kerja yang secara aktif sedang mencari pekerjaan pada suatu tingkat upah tertentu, tetapi tidak dapat memperoleh pekerjaan yang diinginkannya. Oleh sebab itu, menurut Sukirno (2002) pengangguran biasanya dibedakan atas 3 jenis berdasarkan keadaan yang menyebabkannya, antara lain:

1. Pengangguran friksional, yaitu pengangguran yang disebabkan oleh tindakan seseorang pekerja untuk meninggalkan kerjanya dan mencari kerja yang lebih baik atau sesuai dengan keinginannya.

2. Pengangguran struktural, yaitu pengangguran yang disebabkan oleh adanya perubahan struktur dalam perekonomian.

3. Pengangguran konjungtur, yaitu pengangguran yang disebabkan oleh kelebihan pengangguran alamiah dan berlaku sebagai akibat pengurangan dalam permintaan agregat.


(37)

23

Marius (2004) menyatakan bahwa pengangguran sering diartikan sebagai angkatan kerja yang belum bekerja atau bekerja secara tidak optimal. Berdasarkan pengertian tersebut, maka pengangguran dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu :

1. Pengangguran Terbuka (Open Unemployment)

Pengangguran terbuka adalah tenaga kerja yang betul-betul tidak mempunyai pekerjaan. Pengangguran ini terjadi ada yang karena belum mendapat pekerjaan padahal telah berusaha secara maksimal dan ada juga yang karena malas mencari pekerjaan atau malas bekerja. 2. Pengangguran Terselubung (Disguessed Unemployment)

Pengangguran terselubung yaitu pengangguran yang terjadi karena terlalu banyaknya tenaga kerja untuk satu unit pekerjaan padahal dengan mengurangi tenaga kerja tersebut sampai jumlah tertentu tetap tidak mengurangi jumlah produksi. Pengangguran terselubung bisa juga terjadi karena seseorang yang bekerja tidak sesuai dengan bakat dan kemampuannya, akhirnya bekerja tidak optimal.

3. Setengah Menganggur (Under Unemployment)

Setengah menganggur ialah tenaga kerja yang tidak bekerja secara optimal karena tidak ada pekerjaan untuk sementara waktu. Ada yang mengatakan bahwa tenaga kerja setengah menganggur ini adalah tenaga kerja yang bekerja kurang dari 35 jam dalam seminggu atau kurang dari 7 jam sehari. Misalnya seorang buruh bangunan yang telah


(38)

menyelesaikan pekerjaan di suatu proyek, untuk sementara menganggur sambil menunggu proyek berikutnya.

Marius (2004) menyatakan bahwa Bila ditinjau dari sebab-sebabnya, pengangguran dapat digolongkan menjadi 7, yaitu:

1. Pengangguran Friksional (Transisional).

Pengangguran ini timbul karena perpindahan orang-orang dari satu daerah ke daerah lain, dari satu pekerjaan ke pekerjaan yang lain dan karena tahapan siklus hidup yang berbeda.

2. Pengangguran Struktural

Pengangguran ini terjadi karena adanya perubahan dalam struktur perekonomian yang menyebabkan kelemahan di bidang keahlian lain. Contoh: Suatu daerah yang tadinya agraris (pertanian) menjadi daerah industri, maka tenaga bidang pertanian akan menganggur.

3. Pengangguran Siklikal atau Siklus atau Konjungtural

Pengangguran ini terjadi karena adanya gelombang konjungtur, yaitu adanya resesi atau kemunduran dalam kegiatan ekonomi. Contoh: Di suatu perusahaan ketika sedangmaju butuh tenaga kerja baru untuk perluasan usaha. Sebaliknya ketika usahanya merugi terus maka akan terjadi PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) atau pemecatan.

4. Pengangguran Musiman (Seasonal)

Pengangguran musiman terjadi karena adanya perubahan musim. Contoh: pada musim panen, para petani bekerja dengan giat, sementara sebelumnya banyak menganggur.


(39)

25

5. Pengangguran Teknologi

Pengangguran ini terjadi karena adanya penggunaan alat–alat teknologi yang semakin modern.

6. Pengangguran Politis

Pengangguran ini terjadi karena adanya peraturan pemerintah yang secara langsung atau tidak, mengakibatkan pengangguran.

7. Pengangguran Deflatoir

Pengangguran deflatoir ini disebabkan tidak cukup tersedianya lapangan pekerjaan dalam perekonomian secara keseluruhan, atau karena jumlah tenaga kerja melebihi kesempatan kerja, maka timbullah pengangguran.

2.1.2 PDRB

Arsyad (2000) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi daerah diartikan sebagai kenaikan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tanpa memandang apakah kenaikan itu lebih besar atau lebih kecil dari tingkat pertumbuhan penduduk atau apakah perubahan struktur ekonomi terjadi atau tidak. Hal ini berarti bahwa pertumbuhan ekonomi daerah secara langsung ataupun tidak langsung akan menciptakan lapangan kerja.

Tolok ukur dari keberhasilan pembangunan ekonomi suatu daerah diantaranya adalah PDRB daerah tersebut dan pertumbuhan penduduk yang bermuara pada tingkat kesempatan kerja. PDRB menggambarkan


(40)

kemampuan suatu daerah dalam mengelola sumber daya alam dan faktor-faktor produksi. PDRB juga merupakan jumlah dari nilai tambah yang diciptakan dari seluruh aktivitas ekonomi suatu daerah atau sebagai nilai produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu daerah. Mengambil analisis makro Produk Domestik Regional Bruto dapat dihitung berdasarkan harga konstan atau berdasarkan harga berlaku. PDRB menurut harga konstan adalah merupakan ukuran kemakmuran ekonomi yang lebih baik, sebab perhitungan output barang dan jasa perekonomian yang dihasilkan tidak dipengaruhi oleh perubahan harga (Nainggolan, 2009).

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) menurut Badan Pusat Statistik (BPS) didefinisikan sebagai jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu wilayah, atau merupakan jumlah seluruh nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi di suatu wilayah. Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga pada setiap tahun, sedang Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga konstan menunjukkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga pada tahun tertentu sebagai dasar dimana dalam perhitungan ini digunakan tahun 2000. Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga konstan digunakan untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun (Sukirno, 2005), sedangkan menurut BPS Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga berlaku


(41)

27

digunakan untuk menunjukkan besarnya struktur perekonomian dan peranan sektor ekonomi.

2.1.3 Upah

Upah merupakan faktor yang sangat penting bagi perusahaan, karena jumlah upah atau balas jasa yang diberikan perusahaan kepada karyawannya akan mempunyai pengaruh yang tidak kecil terhadap jalannya perusahaan. Upah yang dimaksud disini adalah balas jasa yang berupa uang atau balas jasa lain yang diberikan lembaga atau organisasi perusahaan kepada pekerjanya. Pemberian upah atau balas jasa ini dimaksud untuk menjaga keberadaan karyawan di perusahaan, menjaga semangat kerja karyawan dan tetap menjaga kelangsungan hidup perusahaan yang akhirnya akan memberi manfaat kepada masyarakat.

Upah adalah pendapatan yang diterima tenaga kerja dalam bentuk uang, yang mencakup bukan hanya komponen upah/gaji, tetapi juga lembur dan tunjangantunjangan yang diterima secara rutin/reguler (tunjangan transport, uang makan dan tunjangan lainnya sejauh diterima dalam bentuk uang), tidak termasuk Tunjangan Hari Raya (THR), tunjangan bersifat tahunan, kwartalan, tunjangan-tunjangan lain yang bersifat tidak rutin dan tunjangan dalam bentuk natural (BPS, 2008). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor : 8/1981 tentang Perlindungan Upah, yang dimaksud dengan upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari pengusaha kepada karyawan untuk suatu pekerjaan atau jasa yang telah atau akan dilakukan, dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang


(42)

yang ditetapkan menurut suatu persetujuan atau peraturan perundang-undangan dan dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pengusaha dan buruh, termasuk tunjangan baik untuk karyawan itu sendiri maupun untuk keluarganya.

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, dalam Bab I Pasal 1 angka 30 dijelaskan Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya, atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.

Dalam Bab X Bagian Kedua tentang Pengupahan Pasal 88 diatur sebagai berikut :

1. Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusian.

2. Untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sebagaimana pada ayat (1), pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh. 3. Kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) meliputi : a. upah minimum;


(43)

29

c. upah tidak masuk kerja karena berhalangan;

d. upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya;

e. upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya; f. bentuk dan cara pembayaran upah;

g. denda dan potongan upah;

h. hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah; i. struktur dan skala pengupahan yang proposional; j. upah untuk pembayaran pesangon; dan

k. upah untuk perhitungan pajak penghasilan.

4. Pemerintah menetapkan upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.

Sedangkan di dalam Pasal 89 ayat (1) upah minimum terdiri atas : a. Upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota; b. Upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau

kabupaten/kota.

Menurut Dewan Penelitian Pengupahan Nasional, upah adalah suatu penerimaan sebagai suatu imbalan dari pemberi kerja kepada penerima kerja untuk suatu pekerjaan yang telah dan dilakukan, berfungsi sebagai kelangsungan hidup yang layak bagi kemanusian dan produksi dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan menurut suatu


(44)

persetujuan, undang-undang dan peraturan serta dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pemberi kerja dan penerima kerja.

Dari beberapa rumusan tersebut diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa dasarnya upah adalah merupakan balas jasa yang telah diserahkan oleh pemberi kerja/majikan kepada karyawan atas pekerjaan yang telah dia lakukan. Yang paling utama dari upah adalah merupakan perjanjian, yang mana pihak pekerja menerima untuk sepakat atas besarnya upah yang satu sisi telah ditetapkan, baik oleh Pemerintah dalam bentuk upah minimal dan dilain sisi ditetapkan oleh pengusaha atau pemberi kerja sehingga dapat dikatakan bahwa upah merupakan perjanjian sepihak, dimana pekerja sebagai pihak yang lemah dan tidak mempunyai nilai tawar.

Kartasapoetra (1992) menyatakan bahwa jenis-jenis upah dapat dikemukakan sebagai berikut:

1. Upah Nominal

Upah nominal ialah sejumlah uang yang dibayarkan kepada para buruh yang berhak secara tunai sebagai imbalan atas pengerahan jasa jasa atau pelayanannya sesuai dengan ketentuan ketentuan yang terdapat dalam Perjanjian Kerja di bidang industri atau perusahaan ataupun dalam suatu organisasi kerja, dimana ke dalam upah tersebut tidak ada tambahan atau keuntungan yang lain yang diberikan kepadanya. Upah nominal ini sering pula disebut upah uang (money wages) sehubungan dengan wujudnya yang memang berupa uang secara keseluruhannya.


(45)

31

2. Upah Nyata

Upah nyata ini ialah upah uang yang nyata yang benar benar harus diterima oleh seseorang yang berhak. Upah nyata ini ditentukan oleh daya beli upah tersebut yang akan banyak tergantung dari :

a. besar atau kecilnya jumlah uang yang diterima; b. besar atau kecilnya biaya hidup yang diperlukan.

Ada kalanya upah itu diterima dalam wujud uang dan fasilitas atau in natura, maka upah nyata yang diterimanya yaitu jumlah upah uang dan nilai rupiah dari fasilitas dan barang in natura tersebut.

3. Upah Hidup

Hidup yang lebih luas, yang tidak hanya kebutuhan pokoknya saja yang dapat dipenuhi melainkan juga sebagian dari kebutuhan sosial keluarganya, misalnya bagi pendidikan, bagi bahan pangan yang memiliki nilai nilai gizi yang lebih baik, iuran asuransi jiwa dan beberapa lainnya lagi. Kemungkinan setelah masyarakat Adil dan Makmur yang sedang kita perjuangkan dapat terwujud sebaik baiknya, upah yang diterima buruh pada umumnya dapat berupa upah hidup, ataupun pula kalau perusahaan tempat kerjanya itu dapat berkembang dengan baik, sehingga menjadi perusahaan yang kuat yang akan mampu memberi upah hidup, karena itu maka pihak buruh baiklah


(46)

berjuang, berpahit-pahit dahulu dengan pihak pengusaha agar perusahaan yang kuat itu dapat terwujud.

Pendapatan yang dihasilkan para buruh dalam suatu perusahaan sangat berperan dalam hubungan perburuhan. Bertitik tolak dari hubungan formal ini haruslah tidak dilupakan bahwa seorang buruh adalah seorang manusia dan dilihat dari segi kemanusiaan, sewajarnyalah kalau buruh itu mendapatkan penghargaan yang wajar dan atau perlindungan yang layak.

Menurut Kartasapoetra (1992), tujuan utama penentuan upah minimum yaitu:

a. Menonjolkan arti dan peranan tenaga kerja (buruh) sebagai sub sistem yang kreatif dalam suatu sistem kerja.

b. Melindungi kelompok kerja dari adanya sistem pengupahan yang sangat rendah dan yang keadaannya secara material kurang mernuaskan.

c. Mendorong kemungkinan diberikannya dengan nilai pekerjaan yang dilakukan setiap pekerja.

d. Mengusahakan terjaminnya ketenangan atau kedamaian dalam organisasi kerja atau perusahaan.

e. Mengusahakan adanya dorongan peningkatan dalam standar hidupnya secara normal.


(47)

33

4. Upah Wajar

Upah wajar dimaksudkan sebagai upah yang secara relatif ditandai cukup wqjar oleh pengusaha dan para buruhnya sebagai uang imbalan atas jasa jasa yang diberikan buruh kepada pengusaha atau perusahaan, sesuai dengan Perjanjian Kerja di antara mereka. Upah yang wajar ini tentunya sangat bervariasi dan bergerak antara Upah Minimum dan Upah Hidup, yang diperkirakan oleh pengusaha cukup untuk mengatasi kebutuhan kebutuhan buruh dengan keluarganya (di samping mencukupi kebutuhan pokok juga beberapa kebutuhan pangan lainnya, transportasi dan sebagainya).

Faktor faktor yang mempengaruhi upah wajar (fair wages) adalah sebagai berikut:

a. Kondisi ekonomi negara secara umumnya.

b. Nilai upah rata rata di daerah dimana perusahaan tersebut beroperasi.

c. Posisi perusahaan dilihat dari struktur ekonomi negara.

d. Undang undang terutama yang mengatur masalah upah dan jam kerja.

e. Ketentuan ketentuan umum yang berlaku dalam lingkungan perusahaan.


(48)

g. Pengusaha dan Organisasi Buruh yang mengutamakan gerak saling harga menghargai dan musyawarah serta mufakat dalam mengatasi segala kesulitan.

h. Standar hidup dari para buruh itu sendiri.

Upah yang wajar inilah yang diharapkan oleh para buruh, bukan Upah Hidup, mengingat Upah Hidup umumnya sulit untuk dilaksanakan pemberiannya karena perusahaan-perusahaan kita umumnya belum berkembang baik, belum kuat permodalannya.

Kartasapoetra (1992) menyatakan bahwa pihak-pihak yang berwenang dalam masalah penetapan upah adalah:

a. Pihak pengusaha atau badan usaha/perusahaan yang mempekerjakan para buruhnya, dalam hal ini bagi pihak pengusaha atau badan usaha/perusahaan upah itu merupakan unsur pokok dalam perhitungan ongkos produksi dan merupakan komponen harga pokok yang sangat menentukan kehidupan perusahaan. Di Indonesia upah sebagai unsur harga pokok mencapai 30%. Bagi investor, upah merupakan indikator bagi maju atau mundurnya perusahaan dan ikut merupakan bahan pertimbangan untuk menentukan penanaman modal, yang dalam hal ini tingginya upah dalam suatu perusahaan sedang perusahaan itu dalam kenyataannya berkembang dengan baik, akan merupakan daya tarik.

b. Pihak buruh yang dapat dikatakan selalu mengharapkan upah, upah merupakan penghasilan dan pendorong bagi kegairahan dan


(49)

35

atau kegiatan bekerja, upah menggambarkan besar kecilnya sumbangan para buruh terhadap pengusaha atau perusahaannya, upah itu merupakan lambang buruh

Adapun pihak pihak yang terlibat secara tidak langsung dalam masalah masalah pengupahan atau perupahan, yaitu:

a. Organisasi Perburuhan, b. Pemerintah.

Bagi Organisasi Buruh, upah mencerminkan berhasil atau tidaknya pencapaian salah satu tujuan dan merupakan salah satu faktor penting untuk mempertahankan adanya organisasi tersebut. Menurut Asyhadie (2007 dalam Setiadi, 2009) sistem pembayaran upah adalah bagaimana cara perusahaan biasanya memberikan upah kepada pekerja/buruhnya. Ada beberapa macam sistem pembayaran upah : 1. Sistem Upah Jangka Waktu

Sistem upah jangka waktu adalah sistem pemberian upah menurut jangka waktu tertentu, misalnya harian, mingguan atau bulanan. 2. Sistem Upah Potongan

Sistem ini umumnya bertujuan untuk mengganti sistem upah jangka waktu jika hasilnya tidak memuaskan. Sistem upah ini hanya dapat diberikan jika hasil pekerjaannya dapat dinilai menurut ukuran tertentu, misalnya diukur dari banyaknya, beratnya, dan sebagainya.


(50)

3. Sistem Upah Permufakatan

Sistem upah permufakatan adalah suatu sistem pemberian upah dengan cara memberikan sejumlah upah pada kelompok tertentu. Selanjutnya, kelompok ini akan membagi-bagikan kepada para anggotanya.

4. Sistem Skala Upah Berubah

Dalam sistem ini, jumlah upah yang diberikan berkaitan dengan penjualan hasil produksi di pasaran. Jika harga naik jumlah upahnya pun naik. Sebaliknya jika harga turun, upah pun akan turun Itulah sebabnya disebut skala upah berubah.

5. Sistem Upah Indeks.

Sistem upah ini didasarkan atas indeks biaya kebutuhan hidup. Dengan sistem ini upah naik turun sesuai dengan naik turunnya biaya penghidupan meskipun tidak memengaruhi nilai nyata dari upah.

6. Sistem Pembagian Keuntungan

Sistem upah ini dapat disamakan dengan pemberian bonus apabila peusahaan mendapat keuntungan di akhir tahun.

2.1.4 Inflasi

Salah satu peristiwa moneter yang sangat penting dan yang di jumpai di hampir semua negara di dunia adalah Inflasi. Boediono (1999) menyatakan bahwa definisi singkat dari inflasi adalah kecenderungan dari


(51)

37

harga-harga untuk naik secara umum dan terus menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak disebut inflasi, kecuali bila kenaikan tersebut meluas kepada (atau mengakibatkan kenaikan) sebagian besar dari harga barang-barang lain. Kenaikan harga-harga karena musiman, menjelang hari-hari besar, atau yang terjadi sekali saja (dan tidak mempunyai pengaruh lanjutan) tidak disebut inflasi. Kenaikan harga semacam ini tidak dianggap sebagai masalah atau "penyakit" ekonomi dan tidak memerlukan kebijaksanaan khusus untuk menanggulanginya. Sedangkan Sukirno (2002) menyatakan bahwa inflasi dapat didefinisikan sebagai suatu proses kenaikan harga-harga yang berlaku dalam sesuatu perekonomian.

Boediono (1999) menyatakan bahwa ada berbagai cara untuk menggolongkan macam inflasi, dan penggolongan mana yang kita pilih tergantung pada tujuan kita. Penggolongan pertama didasarkan atas "parah" tidaknya inflasi tersebut. Di sini kita bedakan beberapa macam inflasi:

1. Inflasi ringan (di bawah 10% setahun) 2. Inflasi sedang (antara 10 -- 30% setahun) 3. Inflasi berat (antara 30 - 100% setahun) 4. Hiperinflasi (di atas 100% setahun).

Penentuan parah tidaknya inflasi tentu saja sangat relatif dan tergantung pada "selera" kita untuk menamakannya. Dan lagi sebetulnya kita tidak bisa menentukan parah tidaknya suatu inflasi hanya dari


(52)

sudutdaju inflasi saja, tanpa mempertimbangkan siapa-siapa yang Menanggung beban atau yang memperoleh keuntungan dari inflasi tersebut. Kalau seandainya laju inflasi adalah 20% dan semuanya berasal dari kenaikan dari barang-barang yang dibeli oleh golongan yang berpenghasilan rendah, maka seharusnya kita namakannya inflasi yang parah.

Penggolongan yang kedua adalah atas dasar sebab musabab awal dari inflasi. Atas dasar ini kita bedakan dua macam inflasi:

1. Inflasi yang timbul karena permintaan masyarakat akan berbagai barang terlalu kuat. Inflasi semacam ini disebut demand inflation. 2. Inflasi yang timbul karena kenaikan ongkos produksi. Ini disebut cost

inflation.

Jika permintaan masyarakat akan barang-barang (aggregate

demand) bertambah misalnya karena bertambahnya pengeluaran

pemerintah yang dibiayai dengan pencetakan uang, atau kenaikan permintaan luar negeri akan barang-barang ekspor, atau bertambahnya pengeluaran investasi swasta karena kredit yang murah, akibatnya tingkat harga umum naik. Bila ongkos produksi naik misalnya, karena kenaikan harga sarana produksi yang didatangkan dari luar negeri, atau karena kenaikan harga bahan bakar minyak, maka akibat dari kedua macam inflasi tersebut, dari segi kenaikan harga output, tidak berbeda, tetapi dari segi volume output (GDP riil) ada perbedaan. Dalam kasus demand inflation, biasanya ada kecenderungan untuk output (GDP riil) naik


(53)

39

bersama-sama dengan kenaikan harga umum. Besar kecilnya kenaikan output ini tergantung kepada elastisitas kurva agregate supply; biasanya semakin mendekati output maksimum semakin tidak elastis kurva ini. Sebaliknya, dalam kasus cost inflation, biasanya kenaikan harga-harga dibarengi dengan penurunan omzet penjualan barang (kelesuan usaha).

Perbedaan yang lain dari kedua proses inflasi ini terletak pada urutan dari kenaikan harga. Dalam demand inflation kenaikan harga barang akhir (output) mendahului kenaikan barang-barang input dan harga-harga faktor produksi (upah dan sebagainya). Sebaliknya, dalam cost inflation kita melihat kenaikan harga barang-barang akhir (output) mengikuti kenaikan harga barang-barang input/faktor produksi. Kedua macam inflasi ini jarang sekali dijumpai dalam praktek dalam bentuk yang murni. Pada umumnya, inflasi yang terjadi di berbagai negara di dunia adalah kombinasi dari kedua macam inflasi tersebut, dan seringkali keduanya saling memperkuat satu sama lain.

Penggolongan yang ketiga adalah berdasarkan asal dari inflasi. Di sini kita bedakan:

1. Inflasi yang berasal dari dalam negeri (domestic inflation). 2. Inflasi yang berasal dari luar negeri (imported inflation).

Inflasi yang berasal dari dalam negeri timbul misalnya karena defisit anggaran belanja yang dibiayai dengan pencetakan uang baru, panen yang gagal dan sebagainya. Inflasi yang berasal dari luar negeri adalah inflasi yang timbul karena kenaikan harga-harga di negara-negara


(54)

langganan berdagang negara kita. Kenaikan harga barang-barang yang kita impor mengakibatkan : 1) secara langsung kenaikan indeks biaya hidup karena sebagian dari barang-barang yang tercakup di dalamnya berasal dari impor, 2) secara tidak langsung menaikkan indeks harga melalui kenaikan ongkos produksi dan kemudian, harga jual dari berbagai barang yang menggunakan bahan mentah atau mesin-mesin yang harus di impor (cost inflation), 3) secara tidak langsung menimbulkan kenaikan harga di dalam negeri karena ada kemungkinan (tetapi ini tidak harus demikian) kenaikan harga barang-barang impor mengakibatkan kenaikan pengeluaran pemerintah/swasta yang berusaha mengimbangi kenaikan harga impor tersebut (demand inflation).

Boediono (2002) menyatakan bahwa "Penularan" inflasi dari luar negeri ke dalam negeri bisa pula lewat kenaikan harga barang-barang ekspor, dan saluran-salurannya hanya sedikit berbeda dengan penularan lewat kenaikan harga barang-barang impor. (1) Bila harga barang-barang ekspor (seperti kopi, teh) naik, maka indeks biaya hidup akan naik pula sebab barang ini langsung masuk dalam daftar barang-barang yang tercakup dalam indeks harga. (2) Bila harga barang-barang-barang-barang ekspor (seperti kayu, karet timah dan sebagainya) naik, maka ongkos produksi dari barang-barang yang menggunakan barang-barang tersebut dalam produksinya (perumahan, sepatu, kaleng dan sebagainya) akan naik, dan kemudian harga jualnya akan naik pula (cost inflation). (3) Kenaikan harga barang-barang ekspor berarti kenaikan penghasilan eksportir (dan


(55)

41

juga para produsen barang-barang ekspor tersebut). Kenaikan penghasilan ini kemudian akan dibelanjakan untuk membeli barang-barang (baik dari dalam maupun luar negeri). Bila jumlah barang yang tersedia di pasar tidak bertambah, maka harga-harga barang lain akan naik pula (demand inflation). Penularan inflasi dari luar negeri ke dalam negeri ini jelas lebih mudah terjadi pada negara-negara yang perekonomiannya terbuka, yaitu yang sektor perdagangan luar negerinya penting (seperti Indonesia, Korea, Taiwan, Singapura, Malaysia dan sebagainya ). Namun berapa jauh penularan tersebut terjadi juga tergantung kepada kebijaksanaan pemerintah yang diambil. Dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan moneter dan perpajakan tertentu pemerintah bisa menetralisir kecenderungan inflasi yang berasal dari luar negeri tersebut.

Sukirno (2008) menyatakan bahwa berdasarkan jenisnya inflasi dapat dibedakan menjadi :

a. Inflasi tarikan permintaan

Inflasi ini biasanya terjadi pada masa perekonomian berkembang pesat. Kesempatan kerja yang tinggi menciptakan tingkat pendapatan yang tinggi dan selanjutnya menimbulkan pengeluaran yang melebihi kemampuan ekonomi mengeluarkan barang dan jasa. Pengeluaran ini akan menimbulkan inflasi.

b. Inflasi desakan biaya

Inflasi ini juga berlaku dalam masa perekonomian berkembang dengan pesat ketika tingkat pengangguran adalah sangat rendah. Apabila


(56)

perusahaan-perusahaan masih menghadapi permintaan yang bertambah, mereka akan berusaha menaikkan produksi dengan cara memberikan gaji dan upah yang lebih tinggi kepada pekerjanya dan mencari pekerjaan baru dengan tawaran pembayaran yang lebih tinggi. Langkah ini mengakibatkan biaya produksi meningkat, yang akhirnya akan menyebabkan kenaikan harga-harga berbagai barang.

Boediono (1999) menyatakan bahwa dalam prakteknya untuk mengetahui penyebab timbulnya inflasi (terutama inflasi yang kronis atau yang telah berjalan lama) dan merumuskan dan kemudian melaksanakan kebijaksanaan untuk menanggulanginya, adalah masalah yang sulit dan pelik. Biasanya kita harus melampani batas-batas ilmu ekonomi dan memasuki bidang ilmu sosiologi dan ilmu politik. Masalah inflasi dalam arti yang lebih luas bukan semata-mata masalah ekonomi, tetapi masaiah sosio-ekonomi-politis. Secara garis besar ada 3 kelompok teori mengenai penyebab terjadinya inflasi, yaitu:

1. Teori Kuantitas

Teori ini menyoroti peranan dalam proses inflasi dari (a) jumlah uang yang beredar, dan (b) psikologi (harapan) masyarakat mengenai kenaikan harga-harga (expectations). Inti dari teori ini adalah sebagai berikut:

a. Inflasi hanya bisa terjadi kalau ada penambahan volume uang yang beredar (apakah berupa penambahan uang kartal atau penambahan uang giral tidak menjadi soal). Tanpa ada kenaikan jumlah uang


(57)

43

yang beredar, kejadian seperti, misalnya, kegagalan panen, hanya akan menaikkan harga-harga untuk sementara waktu saja. Penambahan jumlah uang ibarat "bahan bakar" bagi api inflasi. Bila jumlah uang tidak ditambah, inflasi akan berhenti dengan sendirinya, apapun sebab musabab awal dari kenaikan harga tersebut.

b. Laju inflasi ditentukan oleh laju pertambahan jumlah uang yang beredar dan oleh psikologi (harapan) masyarakat mengenai kenaikan harga-harga di masa mendatang. Ada 3 kemungkinan keadaan, yaitu : 1) bila masyarakat tidak (atau belum) mengharapkan harga-harga untuk naik pada bulan-bulan mendatang. Dalam hal ini, sebagian besar dari penambahan jumlah uang yang beredar akan diterima oleh masyarakat untuk menambah likuiditasnya (yaitu, memperbesar pos Kas dalam buku neraca para anggota masyarakat). Ini berarti bahwa sebagian besar dari kenaikan jumlah uang tersebut tidak dibelanjakan untuk pembelian barang, 2) bila masyarakat (atas dasar pengalaman di bulan-bulan sebelumnya) mulai sadar bahwa ada inflasi. Orang-orang mulai mengharapkan kenaikan harga. Penambahan jumlah uang yang beredar tidak lagi diterima oleh masyarakat untuk menambah pos kasnya, tetapi akan digunakan untuk membeli barang-barang (memperbesar pos aktiva barang-barang di dalam neraca), 3) keadaan yang ketiga terjadi pada tahap inflasi yang lebih parah


(58)

yaitu tahap hiperinflasi. Dalam keadaan ini orang-orang sudah kehilangan kepercayaannya terhadap nilai mata uang. Keengganan untuk memegang uang kas dan keinginan membelanjakannya untuk membeli barang sebegitu uang kas tersebut diterima di tangan menjadi semakin meluas di kalangan masyarakat.

2. Teori Keynes

Teori ini menyoroti aspek lain dari inflasi. Menurut teori ini, inflasi terjadi karena suatu masyarakat ingin hidup di luar batas kemampuan ekonominya. Proses inflasi menurut pandangan ini, tidak lain adalah proses perebutan bagian rezeki di antara kelompok-kelompok sosial yang menginginkan bagian yang lebih besar daripada yang bias disediakan oleh masyarakat tersebut. Proses perebutan ini akhirnya diterjemahkan menjadi keadaan di mana permintaan masyarakat akan barang-barang selalu melebihi jumlah barang-barang yang tersedia (timbulnya apa yang disebut dengan inflationary gap). Inflationary gap ini timbul karena golongan-golongan masyarakat tersebut berhasil menterjemahkan aspirasi mereka menjadi permintaan yang efektif akan barang-barang.

3. Teori Strukturalis

Teori Strukturalis adalah teori mengenai inflasi yang didasarkan atas pengalaman di negara-negara Amerika Latin. Teori ini memberi tekanan pada ketegaran (inflexibilities) dari struktur


(1)

dilakukan dengan bantuan Metode Regresi Linear Berganda, tetapi sebelum melakukan analisis regresi linear berganda digunakan uji asumsi klasik yang meliputi uji normalitas, uji multikolinearitas, uji autokorelasi dan uji heterokesdastisitas.

1. Uji Asumsi Klasik a. Uji Normalitas Data

Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi, dependent variabel dan independent variabel keduanya mempunyai distribusi normal ataukah tidak. Model regresi yang baik adalah memiliki distribusi data normal atau mendekati normal (Ghozali, 2001). Mendeteksi dengan melihat penyebaran data (titik) pada sumbu diagonal dari grafik normal P-P Plot. Adapun pengambilan keputusan didasarkan kepada :

a) Jika data menyebar di sekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal, atau grafik histogramnya menunjukkan pola distribusi normal, maka model regresi memenuhi asumsi normalitas.

b) Jika data menyebar jauh dari garis diagonal dan atau tiak mengikuti arah garis diagonal, atau grafik histogram tidak menunjukkan pola distribusi normal, maka model regresi tidak memenuhi asumsi normalitas.


(2)

b. Uji Multikolinearitas

Uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji apakah pada model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas (Ghozali, 2001). Untuk mendeteksi ada atau tidaknya multikolinearitas didalam model regresi adalah dengan Menganalisa matrik korelasi variabel bebas jika terdapat korelasi antar variabel bebas yang cukup tinggi (lebih besar dari 0,90) hal ini merupakan indikasi adanya multikolinearitas.

c. Uji Autokorelasi

Uji autokorelasi bertujuan menguji apakah model regresi linier ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan pengganggu pada periode t-1. Jika terjadi korelasi, maka dinamakan ada problem autokorelasi. Autokorelasi muncul karena observasi yang berurutan sepanjang waktu berkaitan satu sama lainnya. Pengujian autokorelasi dapat dilakukan dengan uji Durbin

Watson. Ketentuan autokorelasi dengan Durbin Watson dinyatakan

sebagai berikut :

Dinyatakan tidak ada autokorelasi jika DW berada antara du, dl dan 4-du, 4-dl (dl<du<DW<4-du<4-dl).

4-du 4-dl DW


(3)

d. Heteroskedastisitas

Uji heteroskedatisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Salah satu cara untuk mendeteksi ada atau tidaknya heteroskedastisitas itu dengan melihat grafik plot antara nilai prediksi dengan residualnya, adapun dasar untuk menganalisisnya adalah :

a) Jika ada pola tertentu (bergelombang, melebar kemudian menyempit) maka mengindikasikan telah terjadi heteroskedastisitas.

b) Jika tidak ada pola yang serta titik menyebar diatas dan dibawah angka 0 pada sumbu Y, maka tidak terjadi heteroskedastisitas. Setelah melakukan uji asumsi klasik lalu menganalisis dengan metode regresi linear berganda dengan alasan variabel bebas terdiri dari beberapa variabel. Berdasarkan hubungan dua variabel yang dinyatakan dengan persamaan linear dapat digunakan untuk membuat prediksi (ramalan) tentang besarnya nilai Y (variabel dependen) berdasarkan nilai X tertentu (Variabel independent). Ramalan (prediksi) tersebut akan menjadi lebih baik bila kita tidak hanya memperhatikan satu variabel yang mempengaruhi (variabel independen) sehingga menggunakan analisis regresi linear berganda (Ghozali, 2001). Adapun bentuk persamaan regresi linear berganda yang digunakan dapat dirumuskan:


(4)

Y = αααα + ββββlXl + ββββ2X2 + ββββ3X3 + e

Keterangan :

Y : variabel terikat : pengangguran terbuka.

α : koefisien konstanta.

β1 : koefisien variabel PDRB

β2 : koefisien variabel upah

β3 : koefisien variabel inflasi

X1 : variabel PDRB

X2 : variabel upah

X3 : variabel inflasi

e : faktor pengganggu

2. Uji Statistik

a. Pengujian secara parsial (Uji t)

Pengukuran uji t dimaksudkan untuk mempengaruhi apakah secara individu ada pengaruh antara variabel-variabel bebas dengan variabel terikat. Pengujian secara parsial untuk setiap koefisien regresi diuji untuk mengetahui pengaruh secara parsial antara variabel bebas dengan variabel terikat, dengan melihat tingkat signifikansi nilai t pada 5% rumus yang digunakan :


(5)

Keterangan :

th : t hitung.

β i : parameter yang diestimasi

Se : standar error.

Pengujian setiap koefisien regresi dikatakan signifikan bila nilai mutlak th > tt maka hipotesis nol (Ho) ditolak dan hipotesis alternatiF (Ha) diterima, sebaliknya dikatakan tidak signifikan bila nilai th < tt maka hipotesis nol (Ho) diterima dan hipotesis alternatif (Ha) ditolak.

b. Pengujian secara simultan (Uji F)

Untuk menguji secara bersama-sama antara variabel bebas dengan variabel terikat dengan melihat tingkat signifikansi (F) pada 5% rumus yang digunakan :

Keterangan :

R2 : koefisien korelasi ganda.

Fh : F hitung.

( )

. S t 1 1 h β β e =

α

. K -N R -1 1 -K R F 2 2 h       =


(6)

K : jumlah variabel bebas.

N : jumlah sampel yang dipakai.

Pengujian setiap koefisien regresi bersama-sama dikatakan signifikan bila nilai Fh > Ft maka hipotesis nol (Ho) ditolak dan hipotesis alternatif (Ha) diterima, sebaliknya dikatakan tidak signifikan bila nilai Fh < Ft maka hipotesis nol (Ho) diterima dan hipotesis alternatif (Ha) ditolak.

c. Koefisien Determinasi (R2)

Kebaikan suatu model penelitian (Goodness of Fit) diukur dengan menggunakan koefisien determinan (R2). Nilai R2 semakin mendekati satu maka dapat dikatakan model penelitian semakin baik. Dalam Classical Linear Model yang terpenting adalah parameter dari populasi dan bukan Goodness of Fit dari sampel. Walaupun R2 adalah ukuran keseluruhan model fit dengan data yang terpenting adalah teori yang mendukung model, tanda dari koefisien yang diestimasi dan signifikansi statistiknya. Jika suatu model baik dalam kriteria tadi maka model dengan R2 yang rendah dapat diterima. Jadi R2 tinggi bukan berarti baik dan sebaliknya R2 yang rendah bukan berarti jelek.