Hukum dan HAM Ringkasan buku HAM dalam T (1)

Hukum dan HAM
Ringkasan buku HAM dalam Transisi Politik di Indonesia
BAB II
A. HAK ASASI MANUSIA
Pada dasarnya konsepsi HAM dapat ditelusuri bahwa dikenal pada masa Yunani kuno
dan Romawi yang memiliki kaitan dengan konsep hukum alam(Natural Law) dari
stoisisme yunani. Konsep ini bercirikan bahwa kekuatan kerja yang universal
mencakup semua ciptaan dan tingkah laku manusia, oleh karenanya harus dinilai
berdasarkan kepada -dan sejalan dengan hukum alam. Kemudian hak asasi mulai
dikenal secara luas di berbagai negara-negara di dunia yakni pada saat akhir perang
dunia II yang mana pada saat itu diusung konsep Human Rights dengan adanya
Deklarasi Universal Hak asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights)
pada tahun 1948. Jauh sebelum itu hak manusia dikenal dengan nama Natural Rights
yaitu hak alam. Istilah ini mendapat kritik sebab konsep hukum alam terdapat frasa
rights of man yang mana kemudian tidak mencakup hak-hak wanita.
Pemikiran-pemikiran HAM juga dipengaruhi oleh beberapa filsuf kenamaan seperti
thomas aquinas yang berpendapat bahwa HAM merupakan hak hak yang kekal dan
tak dapat dicabut oleh siapapun, yang tak terlepaskan ketika manusia terkontrak untuk
memasuki masyarakat dari suatu negara dan tidak pernah dikurangi oleh tuntutan
yang berkaitan dengan hak ketuhanan dari raja. Pemikir lainnya John Locke
mendasarkan bahwa HAM merupakan hak yang dimiliki oleh setiap warga yang

kemudian akan dimanifestasikan kepada pemerintah yang mana pemerintah ini

berkewajiban untuk memenuhi dan tidak melanggar hak-hak yang dimiliki oleh warga
masyarakatnya.
Ide-ide HAM kemudian berkembang pada abad ke-18 dan 19 dalam perjuangan
melawan absolutisme politik, adalah Karel Vassak yang memperkenalkan teori
generasi yang memberikan landasan HAM kepada seluruh generasi terhadap segala
perilaku negara. Hak-hak ini terbagi menjadi tiga yakni pada generasi pertama
terdapat hak-hak sipil dan politik, generasi kedua terdapat hak-hak ekonomi, sosial,
dan budaya, dan generasi ketiga mencakup hak-hak atas solidaritas.
dari sekian banyak deklarasi-deklarasi maupun konvensi intenasioanl mengenai hak
asasi, ada satu pemikiran yang dilahirkan oleh para mantan pemimpin-pemimpin
dunia, pemikiran tersebut adalah mengenai adanya suatu gagasan mengenai dibuatnya
deklarasi universal mengenai adanya suatu tanggung jawab internasional. Gagasan ini
muncul disebabkan disamping hak yang mesti dipenuhi terdapat suatu timbal balik
yang wajib di penuhi pula yaitu bertanggungjawab, hal ini dilakukan agar nantinya
dari kebebasan tersebut tidak menciderai asas-asas kebebasan itu sendiri.
Dalam pekembangan HAM dalam konteks internasional, terdapat pergulatan
mengenai dua perspektif, apakah HAM itu bersifat Universalisme atau Berelativitas
mengikuti suatu budaya. Dari yang disebut pertama, HAM bersifat mondial dan tidak

terikat pada suatu bangsa atau tempat. HAM sejatinya sudah ada secara inheren dan
bercorak sama pada seluruh kebudayaan yang ada didunia. Sementara dalam
pandangan relativisme menolak universalitas dari HAM sebab manusia selalu menjadi
produk dari beberapa lingkungan sosial dan budaya setempat. Tradisi yang berbeda
dari budaya dan peradaban yang berbeda membuat ukuran atau patokan manusia
menjadi berbeda pula, oleh karena itu HAM merupakan konsep yang terikat ruang dan

waktu yang terbatas sesuai dari kebudayaan masing-masing. Para penganut
relativisme memandang perspektif Universalisme HAM cenderung dipaksakan oleh
negara-negara barat yang menginisiasi dari adanya HAM di sebagian besar dunia.
B. TRANSISI POLITIK MENUJU DEMOKRASI
Pada tahun 1970-an di berbagai belahan dunia terdapat beberapa revolusi politik
dalam suatu negara yang tadinya berbentuk otokrasi/totaliarianisme menuju ke bentuk
demokrasi. Dalam berbagai gejolak transisi politik yang melanda hampir sebagian
negara-negara di dunia, terdapat banyak faktor yang mempengaruhi jalannya politik
kekuasaan dalam suatu negara. Faktor ini dapat berupa krisis moneter, timbulnya
gerakan-gerakan sosial ideologis, dan kesenjangan sosial yang melanda di
masyarakat. Fenomena lainnya yang penting dalam konteks transisi politik adalah
adanya rezim totaliarianisme yang muncul pada awal abad ke-20. Rezim ini ditandai
dengan adanya kekuasaan politik yang besar dan despotik yang dimiliki oleh

pemerintah yang saat itu sedang berkuasa. Contoh dari adanya negara totaliter ini
adalah Jerman dengan Nazi-nya pada masa pemerintahan Adolf Hitler dan Uni Soviet
dengan Bolsjewisme di bawah pemerintahan Josep Stalin. Dari adanya berbagai
ideologi politik yang berkembang di seluruh dunia sebelum abad ke-20, dapat
diketemukan pola bagaimana cara-cara transisi pemerintahan yang otokratik seperti
yang disebutkan diatas berubah menjadi demokratik.

Dalam rezim otoritarian, hubungan sipil-militer tidak mendapat tempat yang
mempunyai arti penting dalam penerapannya. Dalam arti bahwa hubungan ini tidak
begitu diperhatikan. Pemimpin-pemimpin militer dalam rezim otoritarianisme dalam
menjalankan kewenangan fungsionalnya seringkali melewati batas-batas kewenangan

ataupu melakukan tindakan yang diluar dari kapasitasnya. Tidak ada batas yang
membedakan mana yang menjadi urusan militer dan urusan publik(sipil). Seringkali
militer merangsek masuk sangat dalam kedalam kehidupan sipil masyarakat dengan
melakukan intervensi politik atas pemerintahannya. Hal ini sangat kontras dengan
negara-negara industrialis-demokratis yang mana membedakan secara tegas antara
kewenangan militer dengan ranah publik. Tidak ada intervensi antar kedua fungsi tadi,
kalaupun ada maka yang terjadi adalah sipil mempengaruhi militer, bukan sebaliknya.
Karena yang berjalan adalah supremasi sipil dan militer tunduk pada ketentuanketentuan yang ditetapkan oleh kekuasaan sipil.

Dalam konteks transisi politik, yang menjadi hal paling fundamental ialah perubahan
perspektif terhadap kedudukan dan peranan militer. Kekuasaan militer yang begitu
besar dalam suatu negara direduksi agar nantinya tidak menagarah pada sistem
otorianisme lagi. oleh karena itu, konsep demiliterisasi bukan hanya terbatas pada
bidang politik saja namun menyeluruh ke segala aspek yang berkaitan dengan urusan
sipil. Di Indonesia konsep demiliterisasi ini mencuat di tahun 1999 yang mana saat itu
kondisi yang mengarah pada demokratisasi memaksa TNI untuk mengubah doktrin
fundamentalnya, salah satunya yakni Dwifungsi yang selama ini melegitimasi
kekuasaan politiknya. Demiliterisasi ini termanifes dalam bentuk “Paradigma Baru”.
Dalam paradigma baru menyatakan bahwa militer tetap berperan dalam
mempengaruhi perkembangan politik, tetapi tidak lagi memiliki aspirasi untuk
mendominasi pemerintahan. Terdapat beberapa langkah yang penting untuk menuju
konsep “Paradigma baru” ini. langkah-langkah tersebut adalah :
1. Pengurangan dalam perwakilan TNI-POLRI di lembaga-lembaga perwakilan

Langkah ini direalisasikan yakni pada tahun 1997 terdapat 100 anggota TNI-Polri di
DPR. Keanggotaan tersebut berkurang menjadi 38 dari 500 anggota DPR. Dan
dirancang pada 2004 TNI sudah tidak terdapat lagi di tubuh DPR, melainkan hanya di
MPR.
2. Penghapusan kekaryaan (pengalihan sementara para perwira TNI-Polri ke Posisi

sipil)
Di awal tahun 199 terdapat 4000 perwira polisi dan TNI yang menduduki posisi di
birokrasi pemrintahan. Kemudian para perwira ini diminta pensiun apabila menjabat/
menduduki posisi sipil. Kemudian timbul fenomena dikalanagn pemerintahan, yang
mana mayoritas diisi oleh posisi sipil . hal ini kemudian berdampak para poltisi sipil
tadi akan menunjuk para pendukung mereka sendiri dibanding para perwira TNIPOLRI.
3. Netralitas Politik
Pada masa Orba, TNI-Polri memberikan dukungan yang sangat besar kepada Partai
Golongan Karya yang memungkinkan Golkar untuk mendapatkan kemenangan yang
berlimpah pada setiap pemilu. Di tahun 1999, Jendral Wiranto memrintahkan agar
TNI-Polri tidak melibatkan diri dalam kampanye pemilu. Dan semua pengamat setuju
bahwa perintah ini diikuti.
4. Pemisahan Polisi dari TNI
Sebelum reformasi, penampilan antara Polisi-TNI cenderung tidak mempunyai
perbedaan karena kedua institusi tersebut berada dalam satu badan yang sama. Pada
saat ini, polisi telah dipisahkan dari TNI, yang mana dari segi struktur dan teknis
polisi berbeda dengan TNI. Keamanan dalam negeri pun menjadi tanggung jawab

Polisi, meski tidak menutup kemungkinan Angkatan Darat untuk turun tangan apabila
polisi tidak dapat meng-handle situasi.

5. Orientasi pertahanan
Hal ini tercermin pada masa kabinet Abdurrahman Wahid, yang mana Departemen
Pertahanan dan Keamanan yang membawahi TNI berubah menjadi Departemen
Pertahanan saja.

C. Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik
Salah satu kasus yang terkenal mengenai pelanggaran HAM dalam konteks transisi
politik adalah kasus Steven Biko, warga negara Afrika Selatan pendiri Gerakan
Kesadaran Kaum Kulit Hitam yang mana ia ditahan dan kemudian ditemukan
meninggal pada 12 September 1977 dalam keadaan mengenaskan di Rumah Sakit
Penjara. Komisi kebenaran dan rekonsiliasi Afrika sebagai lembaga yang
mengetengahi banyak permasalahan HAM di Afrika selatan kemudian memberikan
amnesti kepada 5 polisi yang terlibat terhadap penganiayaan yang menyebabkan
kematian kepada Steven Biko. Dengan dasar bahwa amnesti merupakan suatu jalan
menuju rekonsiliasi antara kedua kelompok (kulit Putih dan Kulit Hitam di Afrika)
yang saat itu sedang menuju masa transisi rekonsiliasi. Ntsiki Biko, janda dari Steven
Biko menilai kewenangan komisi tersebut memberikan amnesti adalah bertentangan
dengan hukum internasional. Dalam pertimbangannya MK Afrika selatan berpolemik
pada dua pilihan yakni menegakkan keadilan terhadap korban dari pelanggaran di
masa lalu dan mewujudkan rekonsiliasi dan transisi yang cepat ke masa depan. Pada


akhirnya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi memutuskan untuk menolak
permohonan amnesti terhadap para pembunuh steven Biko.

Terkait dengan kewenangan pemberian amnesti oleh komisi kebenaran dan
rekonsiliasi dapat ditelaah dari sudut pandang hukum internasional. terdapat
kelompok yang mengutamakan Prinsip “outward looking” yang berpendapat bahwa
semua ketentuan dari badan-badan internasional bersifat mengikat dan harus
dilaksanakan, dan kelompok “inward looking” yang berpendirian bahwa keputusankeputusan internasional memang perlu dihormati dan dilaksanakan akan tetapi
diyakini bahwa negara-negara yang lemah ekonominya, disamping memenuhi hak
politik, fokus utama perlu ditujukan pada pelaksanaan hak asasi pembangunan. Sebab
hal ini merupakan prasyarat dari adanya suatu negara yang berdemokrasi.
Berikut akan dipaparkan beberapa contoh dan gambaran bagaimana beberapa negaranegara di dunia bergulat dengan permasalahan HAM dalam transisi politik yang
terjadi di masing-masing negara. Secara garis besar negara-negara ini terbagi menjadi
2 kubu yakni negara-negara Amerika Selatan dan Negara-negara non-Amerika Latin.
1. Amerika Latin
situasi politik yang terjadi di beberapa negara Amerika Latin dalam masa pra transisi
politik sering disebut dengan “otoriterisme Birokratik” yang mempunyai unsur-unsur
patrimonialis atau bahkan sultanistis. Rezim somoza di Nikaragua adalah yang
termasuk dalam kategori ini, sebagaimana pula rezim batista di Kuba, Rezim

stroessner di Paraguay.

Dalam kasus Chile yang mana termasuk dalam kategori rezim birokratik otoriter,
transisi yang terjadi disana sudah mulai mennuju kearah liberalisasi dan mulai terjadi
keruntuhannya. Langkah yang dijalankan dalam mencapai liberalisasi di Chile telah
tidak dimungkinkannya untuk kembali ke jalan rezim birokratik otoriter. Di Meksiko
peran yang dimainkan oleh angkatan bersenjata dalam struktur kekuasaan politik
cenderung lebih kecil, namun dari sektor rakyat dorongan ini begitu besar terhadap
suatu transisi politik yang kerap terjadi disana. Hal ini disebabkan dari sejarah rezim
meksiko yang khas sebagai suatu gerakan rakyat yang revolusioner.
2. Non Amerika latin
a. Yunani
Kejatuhan rezim otoriter Yunani pada tanggal 23 Juli 1974 telah membuka jalan bagi
pendirian

suatu

pemerintahan

yang


demokratis.

Karakteristik

dari

proses

demokratisasi Yunani semenjak masa transisi tahun 1974, yakni adanya peranan
sentral dari sistem kekuasaan kehakimannya untuk menyelesaikan kasus-kasus yang
berhubungan dengan pihak masa lalunya yang otoriter.
b. Jerman dan Cekoslovakia
keadaan yang tak berbeda juga melanda Jerman dan Cekoslovakia yang juga
mengalami masa rezim otoriterisme birokrat. Di masa transisi Jerman bersatu dan
bekas negara Cekoslovakia berjuang dengan berbagai pendekatan untuk menghadapi
warisan-warisa aparat keamanan yang represif. Dimana Polisi negara jerman timur
telah melakukan pengawasan secara khusus terhadap sepertiga dari 18 juta warga
negaranya.


TANGGAPAN
Terkait dengan di instusionalisasikannya, HAM pada pasca perang dunia II yang
mana dicanangkan dalam Universal Declaration of Human Rights. Maka dapat
diketemukan bahwa HAM secara mondial dan praktikal baru dikenal pada 2 abad
belakangan ini, sebab dengan adanya pencanangan suatu deklarasi terhadap
penghormatan dan perlindungan HAM di seluruh dunia menunjukkan bahwa dunia
pada saat itu sedang mengalami krisis hak. Padahal sejatinya, secara teoritis dan
immanen, HAM merupakan suatu hak yang melekat secara inheren sejak manusia itu
dilahirkan. Hal demikian berlaku kepada setiap umat manusia dari semua generasi
yang pernah hidup di bumi. Terdapat berbagai teori mengenai adanya keberadaan
HAM ini. diantaranya yakni melalui pandangan hukum kodrat, yang mempostulasikan
filsafat hukum kodrati yang terdahulu adalah ide bahwa posisi masing-masing orang
dalam kehidupan ditentukan oleh Tuhan, tetapi semua orang apapun statusnya tunduk
pada otoritas Tuhan. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa bukan hanya
kekuasaan raja saja yang dibatas oleh aturan-aturan ilahiah, tetapi juga bahwa
manusia dianugerahi identitas individual yang unik, yang terpisah dari negara 1. Dari
pernyataan yang terakhir dapat dipandang sebagai mengandung benih dari ide hak
kodrati(a priori) yang menyatakan bahwa setiap orang adalah individu yang otonom.
Jadi dapat disimpulkan pada dasarnya HAM adalah sudah lahir sejak manusia itu ada
dan wajib dihormati dan dilindungi keberadaannya, bukan sejak HAM itu

diinstitusionalisasikan kedalam suatu bentuk instrumen yang wajib ditaati dan
dipaksakan kepada para negara yang meratifikasinya.
1 Scott Davidson, Hak Asasi Manusia[Human Rights], diterjemahkan oleh Hadyana Pudjaatmaka,
(Jakarta:PT Grafiti, 1994), hal.36.

Persoalan mengenai Teori tiga generasi Karel Vassak, juga perlu mendapat perhatian
secara dalam sebab dalam mengkategorisasi beberapa hak asasi terdapat landasan
persepsi mengenai eksistensinya, nilai serta hubungan antara hak yang satu dengan
yang lain, dan hubungannya dengan norma hukum pada umumnya akan menghasilkan
konsekuensi-konsekuensi praktis terkait proteksi HAM. Permasalahan yang timbul
dapat dikritisi melalui beberapa pertanyaan : apakah ketiga generasi hak itu adalah
benar-benar “hak asasi manusia” dalam arti sesungguhnya? Jika ya, apakah semuanya
sederajat atau malah adanya hubungan hierarkis diantara hak tersebut? Lalu, apa yang
membedakan hak sipil dan hak politik dengan jenis hak lain? Apakah hak asasi
manusia berbeda dari jenis-jenis hak lain? Apakah hak asasi dapat dihapuskan?
Dapatkah eksistensi hak-hak itu dibuktikan secara objektif dalam segala peristiwa?
Apakah pemahaman mengenai hak asasi manusia pada budaya yang berlainan benarbenar sama? Apakah HAM berdimensi universal atau relatif dari budaya yang
mempengaruhinya? Siapakah yang berkewajiban “membuktikan” atau “menyangkal”
eksistensi suatu hak?2
Pertanyaan-pertanyaan diatas dapat dikerucutkan kedalam satu pertanyaan yang
merupakan suatu kritisasi epistemologis mengenai bagaimanakah HAM itu mucul dan
dapat dipertahankan? Sebab nantinya HAM inilah yang menjadi rujukan dunia untuk
berlalu lintas hukum dalam konteks internasinal maupun domestik. HAM inilah yang
melindungi segenap warga dunia atas suatu tindakan sewenang-wenangan dari pihakpihak yang tidak bertanggungjawab. Maka sangat perlu untuk dicermati, suatu
konsepsi HAM yang mendasar dan dapat dipertahankan agar nantinya jika memang
HAM ini merupakan suatu instrumen yang berguna dan baik untuk masyarakat dunia
maka dapat melindungi dan memberikan keadilan bagi seluruh masyarakat dunia.
2 Ibid., hal 33

Transisi politik dari sebuah negara dengan pemerintahan otoriter menuju negara
dengan pemrintahanyang lebih demokratis di berbagai belahan dunia menyisakan
beberapa persoalan pelik yang tidak mudah untuk diselesaikan.Samuel Huntington,
menyebutkan ada dua masalah penting dalam transisi politik. Pertama, bagaimana
pemerintahan baru mengatasi “masalah si penyiksa” yaitu bagaimana memperlakukan
pejabat pejabat otoriter yang telah malanggar hak asasi manusia(HAM). Masalah
kedua adalah bagaimana pemerintahan baru mengatasi “masalah praetorian” yakni
bagaimana mengurangi keterlibatan militer dalam politik.3
Sedang Alfred Stephan mengemukakan bahwa dalam sebuah rezim yang
berada dalamproses demokraitsasi, tingkat kontestasi militer sangat dipengaruhi oleh
sejauh mana terdapat petikaian besar atau ketidaksepakatan yang mendasar antara
militer dalam pemerintahan yang baru dalam sejumlah isu penting. Salahs satu
wilayah isu yang mengandung potensi konflik besar ialah bagaimana rezim baru
menangani warisan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh rezim otoriter masa lalu.4
Dalam masa transisi politik yang rawan akan adanya pelanggaran HAM.
Diupayakan dengan memberikan jalan keadilan kepada para korban dari pelanggaran
HAM yang dilakukan pemerintahan otoriterisme birokratis. Upaya ini dikenal dengan
keadilan transisional. Yang mana konsepnya adalah tindakan untuk mewujudkan
keadilan atas pelanggaran HAM di masa transisi bukan keadilan yang sedang
mengalami transisi. Dengan adanya keadilan transisional ini, maka diharapkan adanya
pemulihan hak-hak asasi yang telah dilanggar oleh para pemimpin-pemimpin rezim
otoriteriseme birokratis pada zamannya.

3 Budiman Tenuredjo, “Militer dan Penyelesaian Pelanggaran HAM era Soeharto,”(Tesis Magister
Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003), Hal.1. Lihat juga Samuel Huntington, The third
Wave: Democritazition in Late Twentieth Century
4 Ibid. Lihat pula Alfred Stephan, Rethinking Military Politics:Brazil and The Southern cone

Hubungan sipil-militer dalam konteks negara Indonesia di tengah iklim reformasi
pada tahun 1999 mendapat sorotan yang tajam terkait fungsionalisasinya. Sorotan ini
mengharuskan kalangan militer untuk meninjau kembali perannya dalam kehidupan
sosial politik. Sebagai konsekuensinya, doktrin dwifungsi ABRI dipertanyakan
kembali kesahihannya dan harus mengalami redefinisi, bahkan dituntut untuk
dihapuskan. Proses menggugat kembali peran sosial politik kaum militer ini
merupakan proses yang tidak mudah. Apalagi jika pada akhirnya harus menghapuskan
dwifungsi ABRI untuk memberikan jalan bagi munculnya supremasi politik dari
kalangan sipil.5
Sikap dari kalangan sipil terhadap transisi politik dari otoriterisme menuju
demokratisasi adalah mendesak dan menuntut berakhirnya peran-peran politik
ABRI(militer) sesegera mungkin. Perubahan yang seringkali ditawarkan oleh
kelompok sipil, misalnya atas dasar kajian Ulf Sundhausen, menjelaskan bahwa
militer dimana pun dihadapkan pada empat pilihan: (1) mempertahankan kekuasaan
dan membatasi partisipasi; (2) mempertahankan kekuasaan dan memperluas
partisipasi; (3) mengembalikan kekuasaan sipil dan membatasi partisipasi; (4)
mengembalikan kekuasaan pada sipil dan memperluas partisipasi.6

5 Rizal Sukma dan J Kristiadi, Hubungan Sipil-Militer dan Transisi Demokrasi di Indonesia, (jakarta:
Centre for Strategic and International Studies, 1999), hal. 60.
6 Ibid. Hal. 56.

Untuk mengurangi intervensi militer pad ruang-ruang publik dalam hal pengambilan
keputusan politik, maka perlu diketahui secara normatif bagaimana fungsi asli militer
dalam suatu negara demokratis. Dr. Dietrich memperkenalkan beberapa prinsip terkait
dengan hal tersebut:7
1. Militer merupakan bagian dari kekuasaan eksekutif suatu tata kelola
pemerintahan. Dengan demikian, militer merupakan elemen pemisahan
kekuasaan dalam sistem politik yang demokratis, yang ditandai dengan
pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif.
2. Militer berada dibawah kepempimpinan politik yang telah disahkan secara
demokratis, dengan jabatan menteri pertahanan dipegang oleh pihak sipil.
3. Militer mengikuti pedoman politik yang digariskan
4. Militer patuh dan tunduk pada hukum.
5. Militer dibatasi oleh tugas-tugas yang telah ditetapkan oleh konstitusi; secara
reguler menjaga keamanan eksternal negara (dari serangan atau ancaman dari
luar) dan menjaga pertahanan negara. Dalam kasus-kasus tertentu dengan
situasi dan batas batas tertentu yang digariskan secara jelas. (Militer dapat
dilibatkan) dalam upaya-upaya untuk menjaga keamanan internal negara
dibawah komando polisi.
6. Militer bersifat netral dalam politik
7. Militer tidak dibenarkan memiliki akses untuk memperoleh dukungandukungan keuangan diluar anggaran pendapatan dan belanja negara.
8. Militer dikendalikan oleh parlemen, kepemimpinan politik, kekuasaan
kehakiman, dan masyarakat sipil.
9. Militer memiliki tanggungjawab yang jelas berdasar keahlian profesional yang
dimilikinya dan dengan itu memiliki harkat dan martabatnya.

7 Tim KontraS, Politik Militer Dalam Transisi Demokrasi Indonesia Catatan KontraS Paska Perubahan
Rezim 1998, (Jakarta: KontraS, 1998), hal. 20-22