Dampak Ekonomi dan Politik UU No. 22 dan
Nama
Alamat
Tempat/Tanggal lahir
Pekerjaan
Nama Perguruan Tinggi
Alamat Perguruan Tinggi
Nomor HP
Alamat e-mail
: Sulistio Adiwinarto, S.H., M.H
: Jl. Karimata Gang Pajak No. 10 Jember, Jawa Timur, 68121.
: Banyuwangi, 14 Desember 1967
: Dosen
: Universitas Muhammadiyah Jember
: Jl. Karimata 49 Jember
: 08123485742
: [email protected]
TEMA : OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK
INDONESIA (NKRI)
SUB TEMA :
PENERBITAN OBLIGASI DAERAH WUJUD OPTIMALISASI TATAKELOLA
KEUANGAN DAERAH DALAM RANGKA
GOOD GOVERNANCE DAN CLEAN GOVERNMENT
1. Latar Belakang
Pelaksanaan otonomi daerah sebagai amanat UUD 1945 secara konstitusional
maupun legal diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat
melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat.
Sebagaimana digariskan dalam Penjelasan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan
Daerah, ditegaskan bahwa melalui otonomi luas, daerah diharapkan mampu
meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan
keadilan, keistimewaaan dan kekhususan, serta potensi dan keanekaragaman daerah
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. 1
Dengan demikian tujuan utama kebijakan otonomi daerah ialah mendekatkan
pelayanan pemerintah kepada masyarakat agar dapat lebih cepat, efektif, dan efisien
dalam melakukan aktivitas ekonominya. Keberhasilan pemerintah daerah dalam
melaksanakan kebijakan tersebut akan diukur dan dibuktikan dengan adanya
peningkatan aktivitas ekonomi penduduk dan banyaknya investasi masuk ke daerah.
Sejak otonomi daerah diberlakukan di Indonesia dengan diundangkannya
Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Daerah, selanjutnya diganti dengan Undang-Undang No. 33
Tahun
2004 tentang
Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah, selanjutnya disebut Undang-Undang Perimbangan Keuangan,
dimana pemerintah daerah diberi keleluasaan dalam mengelola keuangannya, tidak
sedikit pemerintah daerah yang mulai serius mencari alternatif sumber dana
sebagaimana tertuang dalam undang-undang dimaksud.
Semangat pemerintah daerah untuk menggali sumber dana pembangunan di era
otonomi tersebut sangat tinggi, tidak saja terbatas pada sumber-sumber baru dalam
Pendapatan Asli Daerah seperti intensifikasi dan ekstensifikasi pajak, namun juga telah
berkembang ke arah penerbitan instrumen pasar modal. Peluang yang diberikan oleh
undang-undang di bidang ini adalah penerbitan obligasi daerah, salah satu instrumen
1 Isran Noor, Politik Otonomi Daerah Dalam Kerangka Penguatan NKRI, Seven Strategic Studies, Cetakan Kedua,
November 2012, hal. 6.
1
pasar modal yang disebutkan secara tegas 2 dalam Undang-Undang No. 33 Tahun
2004.
Pada
prinsipnya
Undang-Undang
Perimbangan
Keuangan
mengatur
kewenangan pemerintah daerah untuk mengelola sumber-sumber penerimaan dan
pembiayaan daerah. Pasal 5 Undang-Undang Perimbangan Keuangan menegaskan
bahwa :
(1) Penerimaan Daerah dalam pelaksanaan Desentralisasi terdiri atas Pendapatan
Daerah dan Pembiayaan.
(2) Pendapatan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari :
a. Pendapatan Asli Daerah;
b. Dana Perimbangan; dan
c. Lain-lain Pendapatan.
(3) Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari :
a. sisa lebih perhitungan anggaran Daerah;
b. penerimaan Pinjaman Daerah;
c. Dana Cadangan Daerah; dan
d. hasil penjualan kekayaan Daerah yang dipisahkan
Menarik untuk dikaji adalah jenis pembiayaan yang tertuang dalam Pasal 5 ayat
(3) huruf b yaitu Pinjaman daerah. Mengenai pinjaman daerah ini Undang-Undang
Perimbangan Keuangan Pasal 51 memberikan ketentuan sebagai berikut :
(1) Pinjaman daerah bersumber dari :
a. pemerintah;
b. pemerintah daerah lain;
c. lembaga keuangan bank;
d. lembaga keuangan bukan bank; dan
e. masyarakat.
(2) dst
(3) pinjaman daerah yang bersumber dari masyarakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf e berupa obligasi daerah diterbitkan melalui pasar modal.
Berdasar uraian tersebut menunjukkan bahwa peluang penerbitan obligasi
daerah di era otonomi daerah telah mendapatkan momentumnya dalam undangundang di maksud. Sejalan dengan hal tersebut, pemerintah juga memperkuat dengan
mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 2011 tentang Pinjaman Daerah.
Pasal 10 PP No. 30 Tahun 2011 menyatakan :
(1) Pinjaman Daerah bersumber dari :
a. pemerintah;
b. Pemerintah daerah lain;
c. lembaga keuangan bank;
d. lembaga keuangan bukan bank;
e. masyarakat;
2 Dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 1999, ketentuan tentang obligasi daerah dapat kita temui pada bagian
penjelasan Pasal 11.
2
(2) dst
(3) dst
(4) Pinjaman Daerah yang bersumber dari masyarakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf e berupa Obligasi daerah yang diterbitkan melalui pasar modal
Selanjutnya Pasal 14 ayat (5) vide Pasal 42 PP tersebut menentukan pula bahwa
pinjaman jangka panjang yang bersumber dari masyarakat (Obligasi daerah) hanya
dapat digunakan untuk membiayai kegiatan investasi prasarana dan/atau sarana dalam
rangka penyediaan pelayanan publik yang menghasilkan penerimaan bagi APBD yang
diperoleh dari pungutan atas penggunaan prasarana dan/atau sarana tersebut.
Dari beberapa ketentuan pasal-pasal tersebut di atas semakin mempertegas
peluang bagi pemerintah daerah di era otonomi ini untuk mencari sumber penerimaan
dan pembiayaan bagi pembagunan daerahnya melalui instrumen pasar modal yaitu
obligasi.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dirumuskan beberapa rumusan
masalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah penerbitan obligasi daerah oleh Pemerintah Daerah ?
2. Apakah penerbitan obligasi daerah sebagai wujud optimalisasi tatakelola
keuangan daerah dalam rangka good governance dan clean government ?
3. Metodologi
Penulisan karya ilmiah ini menggunakan pendekatan yuridis teoritis. Pendekatan
ini dipilih karena dalam penulisan karya ilmiah ini menelaah peraturan perundangundangan, teori, serta konsep-konsep hukum yang berkaitan dengan Pemerintahan
Daerah.
Penulisan karya ilmiah ini juga menggunakan penalaran induktif yaitu diawali
dengan menelusuri hukum positif tentang kewenangan Pemerintah Daerah melalui
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, Undang-Undang No. 33 Tahun 2004, dan
Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 2011. Diharapkan berakhir pada penemuan asasasas normatif dan doktrin.
Namun demikian di dalam penulisan karya ilmiah ini juga tidak mengabaikan
penalaran deduktif, karena asas yang diperoleh secara induksi dapat digunakan untuk
mengembangkan pemikiran deduksi agar menghasilkan kesimpulan yang dapat
digunakan proses induksi berikutnya.
4. Kajian Pustaka
Obligasi adalah surat berharga tanda pengakuan hutang pada atau peminjaman
uang dari masyarakat dalam bentuk tertentu, untuk jangka waktu sekurang-kurangnya
tiga tahun dengan memberikan bunga yang jumlah dan saat pembayarannya telah
ditentukan lebih dahulu oleh penerbitnya. 3
Mengenai surat berharga terdapat berbagai istilah yang sering digunakan baik
dalam teori, praktik maupun perundang-undangan seperti Commercial Paper/CP,
3 Abdulkadir Muhammad, Hukum Dagang tentang Surat-surat Berharga, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal.
264.
3
Negotiable Instrument, Waarde van Papieren. Istilah kertas berharga terjemahan dari
bahasa Belanda “waarde van papieren”, waarde berarti nilai dalam Kitab Undangundang Hukum Dagang (KUHD) atau berharga, sedang papier berarti kertas, sehingga
waarde van papieren berarti “kertas berharga”.
Pengertian Negotiable Instrument dalam Black’s Law Dictionary disebutkan
sebagai berikut : “ Negotiable instrument A Written instrument that (1) is signed by the
maker or drawer, (2) includes an unconditional promise or order to pay a specified sum
of money, (3) is payable on demand or at a difinite time, and (4) is payable to order or to
bearer”.4
Sebagai
suatu
surat
berharga
maka
harus
memenuhi
syarat-syarat,
sebagaimana dikemukakan Richard E. Speidel and Steven H. Nickles, yaitu :
a. writting;
b. signed by the maker or drawer;
c. promise or order;
d. unconditional;
e. money;
f. fixed amount;
g. payable on demand or at a definite time;
h. payable to order or to bearer (words of negotiability);
i. no other undertaking or instruction.5
KUHD tidak mengatur secara khusus mengenai persyaratan pokok suatu surat
berharga, hanya saja mengatur tentang bentuk-bentuk surat berharga dan hal-hal yang
harus dimuat dalam suatu surat berharga, seperti wesel, surat sanggup, cek, namun
demikian dari beberapa ketentuan yang mengatur isi surat-surat berharga tersebut
dapat dikemukakan secara garis besar bahwa suatu surat berharga yang dimaksud
KUHD memuat hal-hal sebagai berikut :
a. nama surat berharga;
b. perintah/janji tak bersyarat;
c. nama orang yang harus membayar;
d. penunjukan hari gugur;
e. penunjukan tempat, dimana pembayaran harus dilakukan;
f. nama orang, kepada siapa atau kepada penggantinya pembayaran itu harus
dilakukan;
g. penyebutan tanggal, tempat surat berharga diterbitkan;
h. tanda tangan penerbit.
Dari berbagai persyaratan umum surat berharga sebagaimana tersebut di atas
pada dasarnya memiliki kesamaan persyaratan umum yang harus ada pada suatu surat
berharga yaitu :
1. harus berbentuk tertulis;
2. harus punya nama;
4 Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, ST. Paul. Minn, West Group, Seventh Edition, 1999, hal. 1059.
5 Richard E. Speidel and Steven H. Nickles, Negotiable Instruments and Check Collection, west Publishing Company,
1993, hal. 42-72.
4
3. tanda tangan;
4. jumlah tertentu;
5. perintah/janji tanpa syarat;
6. ada kata perintah atau janji membayar;
7. nama orang yang harus membayar
8. hari pembayaran.
5. Pembahasan
5.1 Penerbitan Obligasi Daerah Oleh Pemerintah Daerah.
Pada uraian terdahulu telah disinggung ketentuan normatif tentang kewenangan
Pemerintah Daerah dalam penerbitan obligasi daerah, baik dalam Undang-Undang No.
33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan, Undang-Undang No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah maupun Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 2011
tentang Pinjaman Daerah. Berikut akan diuraikan bagaimana ketentuan penerbitan
obligasi daerah tersebut oleh Pemerintah Daerah.
Pada hakekatnya obligasi daerah tidak banyak perbedaannya dengan obligasi
pemerintah maupun obligasi korporasi. Sebagaimana obligasi lainnya, obligasi daerah
adalah surat berharga atau sertifikat berisi kontrak antara pemberi pinjaman (dalam hal
ini investor) dengan yang diberi pinjaman (emiten). Yang membedakannya ialah bahwa
dalam obligasi korporasi yang menjadi emiten adalah perusahaan, dalam obligasi
pemerintah yang menjadi emiten adalah pemerintah pusat, sedangkan dalam obligasi
daerah yang menjadi emiten adalah pemerintah daerah.
Pemerintah Daerah yang dimaksud dalam penerbitan obligasi daerah ini bisa
Pemerintah Provinsi atau Pemerintah Kabupaten/Kota, yang kesemuanya itu dengan
ketentuan telah mendapatkan persetujuan dari DPRD dan harus memperhatikan
kemampuan daerah dalam memenuhi segala kewajibannya. Demikian setidaknya
ketentuan tersebut tercermin baik dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, Pasal 169 ayat (2) maupun Undang-Undang No. 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan, Pasal 58, serta PP No. 30 Tahun 2011 tentang
Pinjaman Daerah Pasal 44.
Pasal 169 ayat (2) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 menyatakan :
“Pemerintah Daerah dengan persetujuan DPRD dapat menerbitkan obligasi daerah
untuk membiayai investasi yang menghasilkan penerimaan daerah”.
Pasal 58 Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 menyatakan :
(1) dalam hal pemerintah daerah menerbitkan obligasi daerah, Kepala Daerah
terlebih dahulu mendapatkan persetujuan DPRD dan Pemerintah;
(2) penerbitan obligasi daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah;
(3) persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan atas nilai bersih
maksimal obligasi daerah yang diterbitkan pada saat penetapan APBD.
Persetujuan DPRD sangat penting bukan saja karena dalam pelaksanaan
otonomi daerah suatu daerah wajib memiliki tanggung jawab untuk menyelenggarakan
kepentingan masyarakat berdasarkan prinsip keterbukaan, partisipasi masyarakat dan
pertanggungjawaban kepada masyarakat, tetapi juga dalam pelaksanaan otonomi
5
daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah, baik
sebagai
fungsi
legislasi,
fungsi
pengawas
maupun
fungsi
anggaran
atas
penyelenggaraan pemerintah daerah.
Menjadi suatu ketentuan pula, utamanya bagi pemerintah daerah bahwa peluang
penerbitan dan penjualan obligasi daerah ini menjadi lebih terbuka manakala ada
kepercayaan publik dari masyarakat terhadap daerah. Untuk mewujudkan hal itu salah
satu cara yang ditempuh adalah meningkatkan transparansi dan akuntabilitas
penyelenggaraan pemerintah daerah, suatu paradigma baru di era otonomi daerah.
Dengan kata lain, untuk menjalankan otonomi daerah diperlukan manajemen
baru yang sesuai dengan dinamika persoalan yang dihadapi. Manajemen menjadi
faktor yang sangat penting bagi implementasi otonomi daerah di Indonesia.
Apabila sampai saat ini banyak daerah otonom tidak mengalami kemajuan, dan
bahkan menjadi sangat tergantung pada pemerintah pusat, tentu ada penyebabpenyebab utamanya (causa prima). Salah satu yang utama atau bahkan yang terutama
adalah kemampuan manajerial dari kesatuan masyarakat hukum tersebut, termasuk
pemerintah daerahnya untuk menggunakan hak dan menjalankan kewenangan yang
telah dimilikinya.
Hal tersebut sejalan dengan pemikiran Osborne dan Gaebler (1992) yang
mengatakan bahwa : Persoalan utama yang dihadapi oleh pemerintah dewasa ini
bukan
terletak
pada
apa
yang
dikerjakan
tetapi
terletak
pada
bagaimana
mengerjakannya.6
Pandangan tersebut sejalan dengan pendapat Peter F. Drucker (1995), yang
menolak penggunaan istilah “underdeveloped country” untuk negara-negara tertinggal.
Drucker
menyarankan
penggunaan
istilah
“undermanaged
country”,
karena
ketertinggalan negara-negara terbelakang terutama disebabkan oleh ketertinggalan
dalam manajemennya. Dengan kata lain, kemajuan suatu negara akan sangat
ditentukan oleh kualitas manajemennya. Hal yang secara mutatis mutandis berlaku juga
untuk daerah otonom di indonesia.7
Sikap birokrat yang cenderung lamban dan berbelit-belit perlu dibersihkan dan
diganti tindakan kreatif serta inovatif. Itu penting karena perlu disadari bahwa seorang
investor yang akan membeli sekuritas pada dasarnya membeli sebuah prospek. Makin
baik prospek kemajuan pembangunan suatu daerah maka animo investor untuk
menanamkan uangnya akan semakin tinggi. Jika berbagai peluang itu dapat
dimunculkan,
maka
obligasi
daerah
akan
menjadi
instrumen
efektif
untuk
mengembangkan daerah sesuai dengan potensi yang dimiliki. Dengan demikian
kedudukan Kepala Daerah dalam kaitannya dengan penerbitan obligasi Daerah
tersebut sangat menentukan.
Sebagai acuan prosedur penerbitan Obligasi Daerah oleh Pemerintah Daerah di
Indonesia secara lengkap telah diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
6 David Osborne and Ted Gaebler, Reinventing Government-How The Enterpreneurial Spirit is Transforming The
Public Sector, dalam Sadu Wasistiono, Kapita Selekta Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Focus Media,
Bandung, 2003, hal. 40.
7 Peter F. Drucker, The Age of Discontinuity, dalam Sadu wasistiono, Ibid, hal. 40.
6
147/PMK.07/2006 tentang Tatacara Penerbitan, Pertanggungjawaban, dan Publikasi
Informasi Obligasi Daerah. Bab 2 tentang Penerbitan mengatur prosedur secara rinci
yang diawali dari Perencanaan penerbitan obligasi daerah oleh Pemerintah Daerah
(Pasal 7); Pengajuan usulan rencana penerbitan obligasi daerah dari Pemerintah
Daerah kepada Menteri Keuangan c.q Dirjen Perimbangan Keuangan (Pasal 8);
Penilaian dan Persetujuan oleh Menteri Keuangan c.q Dirjen Perimbangan Keuangan
(Pasal 9); Pengajuan pernyataan pendaftaran penawaran umum obligasi daerah oleh
Pemerintah Daerah kepada Bappepam-LK (Pasal 11), selanjutnya tentu dilakukan
penerbitan Obligasi Daerah di Pasar Modal domestik yang dituangkan dalam Peraturan
Daerah (Pasal 12).
5.2 Penerbitan Obligasi Daerah Sebagai Wujud Optimalisasi Tatakelola Keuangan
Daerah Dalam Rangka Good Governance dan Clean Government.
Reformasi tata kelola keuangan daerah yang berorientasi pada perwujudan good
governance secara bertahap sudah mencapai kemajuan signifikan, baik dari segi
kelengkapan regulasi, arahan kebijakan, penataan kinerja perencanaan, penganggaran
serta pengelolaan keuangan daerah. Perundang-undangan Keuangan Negara, Perbendaharaan Negara, Pemeriksaan Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan
Negara, Peraturan Pemerintah antara lain Peraturan Pemerintah No. 71/2010 tentang
Standar Akuntansi Pemerintahan,Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah serta arahan-arahan dari Menteri Dalam Negeri telah
membantu pemerintah daerah untuk tidak sekadar menjalankan administrasi keuangan
(financial administration), akan tetapi juga tata kelola keuangan (financial management).8
Keseluruhan perundang-undangan serta regulasi dan kebijakan terkait tata kelola
keuangan daerah dimplementasikan dengan berbekal komitmen Kepala Daerah dan
DPRD untuk membangun tata kelola keuangan yang memenuhi kriteria-kriteria good
governance maupun clean government. 9
Dalam rangka penyelenggaraan daerah sesuai dengan prinsip-prinsip tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance), terutama prinsip transparansi, partisipasi
dan akuntabilitas, pengelolaan keuangan harus dilakukan secara tertib, taat pada
peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan serta dapat
dipertanggungjawabkan kepada para pemangku kepentingan sesuai dengan tuntutan
masyarakat.10
Berkait dengan penerbitan obligasi daerah, pemerintah daerah tentunya harus
memperhatikan segala ketentuan yang berkaitan dengan surat-surat berharga serta
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang
Pasar Modal agar obligasi daerah tersebut siap untuk memasuki pasar, baik melalui
mekanisme Initial Public Offering (IPO) yaitu langsung kepada masyarakat investor
dalam pasar perdana, maupun melalui mekanisme pasar sekunder, lewat bursa efek
8 Isran Noor, Loc Cit, hal 53
9 Ibid, hal 53
10 Ibid, hal. 56
7
dimana efek tersebut sebelumnya telah dicatat (listing), 11yang pada akhirnya dapat
dipergunakan untuk membiayai pembangunan daerah.
Untuk sampai ke arah dimaksud penting diperhatikan oleh pemerintah daerah
sebagai penerbit obligasi daerah antara lain mengenai kewajiban
disclosure
(keterbukaan) baik aspek legalitas, akuntansi, keuangan, dan manajemen. 12 Ketentuan
keterbukaan ini berfungsi untuk memelihara kepercayaan publik terhadap pasar,
menciptakan pasar yang efisien, dan mencegah penipuan (fraud). 13Di sisi lain hal itu
juga sekaligus sebagai upaya pemerintah daerah dalam rangka menarik kepercayaan
masyarakat investor terhadap surat berharga (obligasi daerah) yang diterbitkan.
Transparansi dalam pasar modal berarti keharusan emiten, perusahaan publik,
dan
pihak
lain
yang
tunduk
kepada
undang-undang
pasar
modal
untuk
menginformasikan kepada masyarakat dalam waktu yang tepat seluruh informasi
material mengenai usahanya atau efeknya yang dapat berpengaruh terhadap
keputusan pemodal terhadap efek yang dimaksud dan atau harga dari efek tersebut. 14
Informasi atau fakta material adalah informasi ataupun fakta penting yang
relevan mengenai peristiwa, kejadian, atau fakta yang dapat mempengaruhi harga efek
pada bursa dan atau keputusan pemodal/calon pemodal atau pihak lain yang
berkepentingan atas informasi ataupun fakta tersebut. 15
Searah dengan prinsip transparancy itu pula, maka bagi daerah yang akan
memasuki pasar modal diwajibkan untuk menyelenggarakan Sistem Informasi
Keuangan Daerah (SIKD) yang secara normatif dibakukan pengaturannya dalam
undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan, sebagaimana
tersurat dalam Pasal 101, 102, dan 103.
SIKD ini merupakan fasilitas yang diselenggarakan untuk mengumpulkan data,
mengolah, melakukan validasi dan analisis data, serta menyajikan informasi keuangan
daerah. SIKD ini selain bermanfaat membantu daerah dalam menetapkan kebijakan
keuangan daerah dan penyusunan RAPBD, juga dirancang agar dapat diakses oleh
masyarakat guna menilai kinerja keuangan daerah.
Sejalan dengan hal tersebut Pasal 18 Peraturan Menteri Keuangan Nomor
147/PMK.07/2006 tentang Tatacara Penerbitan, Pertanggungjawaban, dan Publikasi
Informasi Obligasi Daerah menentukan : “Kepala Daerah wajib mempublikasikan
secara berkala mengenai data Obligasi Daerah dan/atau informasi lainnya berdasarkan
peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal”.
Selain itu pada pasal sebelumnya yakni Pasal 16 diatur bahwa Kepala Daerah
atau pejabat yang ditunjuk wajib menyampaikan laporan penerbitan, penggunaan dana
11 Rudi Prasetya dalam Makalah Seminar Nasional dengan judul Kedudukan Emiten dan Perusahaan Publik Dalam
Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan
Terbatas yang menyatakan bahwa “listing” atau pendaftaran memiliki makna agar Bapepam dapat melakukan
pemeriksaan sampai seberapa jauh emiten telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh perundangundangan yang berlaku vide Pasal 75 Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.
12 Iskandar Z. Alwi, Pasar Modal Teori dan Aplikasi, Yayasan Pancur Sirah, Jakarta, 2003, hal. 53.
13 Bismar Nasution, Pentingnya Keterbukaan Untuk Pengelolaan Perusahaan Yang Baik dalam UUPM, Jurnal
Hukum Bisnis, Volume 14, Jakarta, Juli 2001, hal. 38.
14 Lihat Pasal 1 angka 25 Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.
15 Lihat Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.
8
dan pembayaran kupon dan/atau pokok Obligasi Daerah setiap 3 (tiga) bulan kepada
Menteri Keuangan. Selanjutnya dalam Pasal 17 ditentukan bahwa Menteri Keuangan
c.q Dirjen Perimbangan Keuangan melakukan pemantauan dan evaluasi atas:
Penerbitan Obligasi Daerah; Penggunaan dana Obligasi Daerah; Kinerja pelaksanaan
kegiatan; dan Realisasi pembayaran kupon dan/atau Pokok Obligasi Daerah. Hasil
pemantauan dan evaluasi tersebut dilaporkan oleh Dirjen Perimbangan Keuangan
kepada Menteri Keuangan dan dapat merekomendasikan kepada Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan untuk menghentikan penerbitan
Obligasi Daerah.
Berdasar pasal-pasal tersebut di atas semakin jelas bahwa upaya penerbitan
Obligasi Daerah oleh Pemerintah Daerah harus dilakukan secara serius dan profesional
dalam
arti
harus
mengindahkan
berlakunya
ketentuan-ketentuan
peraturan
perundangan yang berlaku, baik Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan, maupun Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, serta
peraturan-peraturan yang ada di bawahnya, yang sekaligus membuktikan bahwa
kemampuan suatu daerah dalam menerbitkan Obligasi daerah sebagai wujud
optimalisasi tatakelola keuangan daerah dalam rangka Good Governance dan Clean
Government.
Sebagai penutup, tentu sangat diharapkan keseriusan Pemerintah Daerah dalam
upaya menerbitkan Obligasi Daerah seiring telah dikeluarkannya seperangkat peraturan
perundangan yang berkait dengan Obligasi Daerah. Pada era otonomi daerah sekarang
inilah kesempatan itu seharusnya dapat dimanfaatkan oleh para Kepala Daerah jika
ingin mewujudkan peningkatan kesejahteraan hidup rakyat di daerah.
6. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pembahasan tersebut di atas dapat disimpulkan beberapa
hal sebagai berikut :
1). Bahwa penerbitan Obligasi Daerah oleh Pemerintah Daerah sesungguhnya terletak
pada kemampuan manajerial Kepala Daerah dalam mengupayakannya, dimana
secara teknis pengaturan penerbitan Obligasi Daerah tersebut secara rinci
dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 147/PMK.07/2006 tentang
Tatacara Penerbitan, Pertanggungjawaban, dan Publikasi Informasi Obligasi
Daerah.
2). Bahwa penerbitan Obligasi Daerah oleh Pemerintah Daerah harus dilakukan secara
serius dan profesional, dalam arti harus mengindahkan berlakunya ketentuanketentuan peraturan perundangan yang berlaku, baik Undang-Undang No. 33
Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan, maupun Undang-Undang No. 8
Tahun 1995 tentang Pasar Modal, serta peraturan-peraturan yang ada di
bawahnya, yang sekaligus membuktikan bahwa kemampuan suatu daerah dalam
menerbitkan Obligasi daerah sebagai wujud optimalisasi tatakelola keuangan
daerah dalam rangka Good Governance dan Clean Government.
9
DAFTAR PUSTAKA
Abdulkadir Muhammad, Hukum Dagang tentang Surat-surat Berharga, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2003.
Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, ST. Paul. Minn, West Group, Seventh Edition,
1999.
Iskandar Z. Alwi, Pasar Modal Teori dan Aplikasi, Yayasan Pancur Sirah, Jakarta, 2003.
Isran Noor, Politik Otonomi Daerah Dalam Kerangka Penguatan NKRI, Seven Strategic
Studies, Cetakan Kedua, November 2012.
Richard E. Speidel and Steven H. Nickles, Negotiable Instruments and Check
Collection, west Publishing Company, 1993.
Sadu Wasistiono, Kapita Selekta Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Focus
Media, Bandung, 2003.
Jurnal, Makalah.
Bismar Nasution, Pentingnya Keterbukaan Untuk Pengelolaan Perusahaan Yang Baik
dalam UUPM, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 14, Jakarta, Juli 2001.
Rudi Prasetya, Kedudukan Emiten dan Perusahaan Publik Dalam Undang - Undang
No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal dan Undang-Undang No. 1 Tahun
1995 tentang Perseroan Terbatas, Makalah Seminar Nasional tentang
Pasar Modal, Surabaya, 20 Januari 1996.
Peraturan Perundangan.
Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 2011 tentang Pinjaman Daerah.
Peraturan Menteri Keuangan No. 147/PMK.07/2006 tentang Tatacara Penerbitan,
Pertanggungjawaban, dan Publikasi Informasi Obligasi Daerah.
10
Alamat
Tempat/Tanggal lahir
Pekerjaan
Nama Perguruan Tinggi
Alamat Perguruan Tinggi
Nomor HP
Alamat e-mail
: Sulistio Adiwinarto, S.H., M.H
: Jl. Karimata Gang Pajak No. 10 Jember, Jawa Timur, 68121.
: Banyuwangi, 14 Desember 1967
: Dosen
: Universitas Muhammadiyah Jember
: Jl. Karimata 49 Jember
: 08123485742
: [email protected]
TEMA : OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK
INDONESIA (NKRI)
SUB TEMA :
PENERBITAN OBLIGASI DAERAH WUJUD OPTIMALISASI TATAKELOLA
KEUANGAN DAERAH DALAM RANGKA
GOOD GOVERNANCE DAN CLEAN GOVERNMENT
1. Latar Belakang
Pelaksanaan otonomi daerah sebagai amanat UUD 1945 secara konstitusional
maupun legal diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat
melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat.
Sebagaimana digariskan dalam Penjelasan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan
Daerah, ditegaskan bahwa melalui otonomi luas, daerah diharapkan mampu
meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan
keadilan, keistimewaaan dan kekhususan, serta potensi dan keanekaragaman daerah
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. 1
Dengan demikian tujuan utama kebijakan otonomi daerah ialah mendekatkan
pelayanan pemerintah kepada masyarakat agar dapat lebih cepat, efektif, dan efisien
dalam melakukan aktivitas ekonominya. Keberhasilan pemerintah daerah dalam
melaksanakan kebijakan tersebut akan diukur dan dibuktikan dengan adanya
peningkatan aktivitas ekonomi penduduk dan banyaknya investasi masuk ke daerah.
Sejak otonomi daerah diberlakukan di Indonesia dengan diundangkannya
Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Daerah, selanjutnya diganti dengan Undang-Undang No. 33
Tahun
2004 tentang
Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah, selanjutnya disebut Undang-Undang Perimbangan Keuangan,
dimana pemerintah daerah diberi keleluasaan dalam mengelola keuangannya, tidak
sedikit pemerintah daerah yang mulai serius mencari alternatif sumber dana
sebagaimana tertuang dalam undang-undang dimaksud.
Semangat pemerintah daerah untuk menggali sumber dana pembangunan di era
otonomi tersebut sangat tinggi, tidak saja terbatas pada sumber-sumber baru dalam
Pendapatan Asli Daerah seperti intensifikasi dan ekstensifikasi pajak, namun juga telah
berkembang ke arah penerbitan instrumen pasar modal. Peluang yang diberikan oleh
undang-undang di bidang ini adalah penerbitan obligasi daerah, salah satu instrumen
1 Isran Noor, Politik Otonomi Daerah Dalam Kerangka Penguatan NKRI, Seven Strategic Studies, Cetakan Kedua,
November 2012, hal. 6.
1
pasar modal yang disebutkan secara tegas 2 dalam Undang-Undang No. 33 Tahun
2004.
Pada
prinsipnya
Undang-Undang
Perimbangan
Keuangan
mengatur
kewenangan pemerintah daerah untuk mengelola sumber-sumber penerimaan dan
pembiayaan daerah. Pasal 5 Undang-Undang Perimbangan Keuangan menegaskan
bahwa :
(1) Penerimaan Daerah dalam pelaksanaan Desentralisasi terdiri atas Pendapatan
Daerah dan Pembiayaan.
(2) Pendapatan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari :
a. Pendapatan Asli Daerah;
b. Dana Perimbangan; dan
c. Lain-lain Pendapatan.
(3) Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari :
a. sisa lebih perhitungan anggaran Daerah;
b. penerimaan Pinjaman Daerah;
c. Dana Cadangan Daerah; dan
d. hasil penjualan kekayaan Daerah yang dipisahkan
Menarik untuk dikaji adalah jenis pembiayaan yang tertuang dalam Pasal 5 ayat
(3) huruf b yaitu Pinjaman daerah. Mengenai pinjaman daerah ini Undang-Undang
Perimbangan Keuangan Pasal 51 memberikan ketentuan sebagai berikut :
(1) Pinjaman daerah bersumber dari :
a. pemerintah;
b. pemerintah daerah lain;
c. lembaga keuangan bank;
d. lembaga keuangan bukan bank; dan
e. masyarakat.
(2) dst
(3) pinjaman daerah yang bersumber dari masyarakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf e berupa obligasi daerah diterbitkan melalui pasar modal.
Berdasar uraian tersebut menunjukkan bahwa peluang penerbitan obligasi
daerah di era otonomi daerah telah mendapatkan momentumnya dalam undangundang di maksud. Sejalan dengan hal tersebut, pemerintah juga memperkuat dengan
mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 2011 tentang Pinjaman Daerah.
Pasal 10 PP No. 30 Tahun 2011 menyatakan :
(1) Pinjaman Daerah bersumber dari :
a. pemerintah;
b. Pemerintah daerah lain;
c. lembaga keuangan bank;
d. lembaga keuangan bukan bank;
e. masyarakat;
2 Dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 1999, ketentuan tentang obligasi daerah dapat kita temui pada bagian
penjelasan Pasal 11.
2
(2) dst
(3) dst
(4) Pinjaman Daerah yang bersumber dari masyarakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf e berupa Obligasi daerah yang diterbitkan melalui pasar modal
Selanjutnya Pasal 14 ayat (5) vide Pasal 42 PP tersebut menentukan pula bahwa
pinjaman jangka panjang yang bersumber dari masyarakat (Obligasi daerah) hanya
dapat digunakan untuk membiayai kegiatan investasi prasarana dan/atau sarana dalam
rangka penyediaan pelayanan publik yang menghasilkan penerimaan bagi APBD yang
diperoleh dari pungutan atas penggunaan prasarana dan/atau sarana tersebut.
Dari beberapa ketentuan pasal-pasal tersebut di atas semakin mempertegas
peluang bagi pemerintah daerah di era otonomi ini untuk mencari sumber penerimaan
dan pembiayaan bagi pembagunan daerahnya melalui instrumen pasar modal yaitu
obligasi.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dirumuskan beberapa rumusan
masalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah penerbitan obligasi daerah oleh Pemerintah Daerah ?
2. Apakah penerbitan obligasi daerah sebagai wujud optimalisasi tatakelola
keuangan daerah dalam rangka good governance dan clean government ?
3. Metodologi
Penulisan karya ilmiah ini menggunakan pendekatan yuridis teoritis. Pendekatan
ini dipilih karena dalam penulisan karya ilmiah ini menelaah peraturan perundangundangan, teori, serta konsep-konsep hukum yang berkaitan dengan Pemerintahan
Daerah.
Penulisan karya ilmiah ini juga menggunakan penalaran induktif yaitu diawali
dengan menelusuri hukum positif tentang kewenangan Pemerintah Daerah melalui
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, Undang-Undang No. 33 Tahun 2004, dan
Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 2011. Diharapkan berakhir pada penemuan asasasas normatif dan doktrin.
Namun demikian di dalam penulisan karya ilmiah ini juga tidak mengabaikan
penalaran deduktif, karena asas yang diperoleh secara induksi dapat digunakan untuk
mengembangkan pemikiran deduksi agar menghasilkan kesimpulan yang dapat
digunakan proses induksi berikutnya.
4. Kajian Pustaka
Obligasi adalah surat berharga tanda pengakuan hutang pada atau peminjaman
uang dari masyarakat dalam bentuk tertentu, untuk jangka waktu sekurang-kurangnya
tiga tahun dengan memberikan bunga yang jumlah dan saat pembayarannya telah
ditentukan lebih dahulu oleh penerbitnya. 3
Mengenai surat berharga terdapat berbagai istilah yang sering digunakan baik
dalam teori, praktik maupun perundang-undangan seperti Commercial Paper/CP,
3 Abdulkadir Muhammad, Hukum Dagang tentang Surat-surat Berharga, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal.
264.
3
Negotiable Instrument, Waarde van Papieren. Istilah kertas berharga terjemahan dari
bahasa Belanda “waarde van papieren”, waarde berarti nilai dalam Kitab Undangundang Hukum Dagang (KUHD) atau berharga, sedang papier berarti kertas, sehingga
waarde van papieren berarti “kertas berharga”.
Pengertian Negotiable Instrument dalam Black’s Law Dictionary disebutkan
sebagai berikut : “ Negotiable instrument A Written instrument that (1) is signed by the
maker or drawer, (2) includes an unconditional promise or order to pay a specified sum
of money, (3) is payable on demand or at a difinite time, and (4) is payable to order or to
bearer”.4
Sebagai
suatu
surat
berharga
maka
harus
memenuhi
syarat-syarat,
sebagaimana dikemukakan Richard E. Speidel and Steven H. Nickles, yaitu :
a. writting;
b. signed by the maker or drawer;
c. promise or order;
d. unconditional;
e. money;
f. fixed amount;
g. payable on demand or at a definite time;
h. payable to order or to bearer (words of negotiability);
i. no other undertaking or instruction.5
KUHD tidak mengatur secara khusus mengenai persyaratan pokok suatu surat
berharga, hanya saja mengatur tentang bentuk-bentuk surat berharga dan hal-hal yang
harus dimuat dalam suatu surat berharga, seperti wesel, surat sanggup, cek, namun
demikian dari beberapa ketentuan yang mengatur isi surat-surat berharga tersebut
dapat dikemukakan secara garis besar bahwa suatu surat berharga yang dimaksud
KUHD memuat hal-hal sebagai berikut :
a. nama surat berharga;
b. perintah/janji tak bersyarat;
c. nama orang yang harus membayar;
d. penunjukan hari gugur;
e. penunjukan tempat, dimana pembayaran harus dilakukan;
f. nama orang, kepada siapa atau kepada penggantinya pembayaran itu harus
dilakukan;
g. penyebutan tanggal, tempat surat berharga diterbitkan;
h. tanda tangan penerbit.
Dari berbagai persyaratan umum surat berharga sebagaimana tersebut di atas
pada dasarnya memiliki kesamaan persyaratan umum yang harus ada pada suatu surat
berharga yaitu :
1. harus berbentuk tertulis;
2. harus punya nama;
4 Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, ST. Paul. Minn, West Group, Seventh Edition, 1999, hal. 1059.
5 Richard E. Speidel and Steven H. Nickles, Negotiable Instruments and Check Collection, west Publishing Company,
1993, hal. 42-72.
4
3. tanda tangan;
4. jumlah tertentu;
5. perintah/janji tanpa syarat;
6. ada kata perintah atau janji membayar;
7. nama orang yang harus membayar
8. hari pembayaran.
5. Pembahasan
5.1 Penerbitan Obligasi Daerah Oleh Pemerintah Daerah.
Pada uraian terdahulu telah disinggung ketentuan normatif tentang kewenangan
Pemerintah Daerah dalam penerbitan obligasi daerah, baik dalam Undang-Undang No.
33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan, Undang-Undang No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah maupun Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 2011
tentang Pinjaman Daerah. Berikut akan diuraikan bagaimana ketentuan penerbitan
obligasi daerah tersebut oleh Pemerintah Daerah.
Pada hakekatnya obligasi daerah tidak banyak perbedaannya dengan obligasi
pemerintah maupun obligasi korporasi. Sebagaimana obligasi lainnya, obligasi daerah
adalah surat berharga atau sertifikat berisi kontrak antara pemberi pinjaman (dalam hal
ini investor) dengan yang diberi pinjaman (emiten). Yang membedakannya ialah bahwa
dalam obligasi korporasi yang menjadi emiten adalah perusahaan, dalam obligasi
pemerintah yang menjadi emiten adalah pemerintah pusat, sedangkan dalam obligasi
daerah yang menjadi emiten adalah pemerintah daerah.
Pemerintah Daerah yang dimaksud dalam penerbitan obligasi daerah ini bisa
Pemerintah Provinsi atau Pemerintah Kabupaten/Kota, yang kesemuanya itu dengan
ketentuan telah mendapatkan persetujuan dari DPRD dan harus memperhatikan
kemampuan daerah dalam memenuhi segala kewajibannya. Demikian setidaknya
ketentuan tersebut tercermin baik dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, Pasal 169 ayat (2) maupun Undang-Undang No. 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan, Pasal 58, serta PP No. 30 Tahun 2011 tentang
Pinjaman Daerah Pasal 44.
Pasal 169 ayat (2) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 menyatakan :
“Pemerintah Daerah dengan persetujuan DPRD dapat menerbitkan obligasi daerah
untuk membiayai investasi yang menghasilkan penerimaan daerah”.
Pasal 58 Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 menyatakan :
(1) dalam hal pemerintah daerah menerbitkan obligasi daerah, Kepala Daerah
terlebih dahulu mendapatkan persetujuan DPRD dan Pemerintah;
(2) penerbitan obligasi daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah;
(3) persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan atas nilai bersih
maksimal obligasi daerah yang diterbitkan pada saat penetapan APBD.
Persetujuan DPRD sangat penting bukan saja karena dalam pelaksanaan
otonomi daerah suatu daerah wajib memiliki tanggung jawab untuk menyelenggarakan
kepentingan masyarakat berdasarkan prinsip keterbukaan, partisipasi masyarakat dan
pertanggungjawaban kepada masyarakat, tetapi juga dalam pelaksanaan otonomi
5
daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah, baik
sebagai
fungsi
legislasi,
fungsi
pengawas
maupun
fungsi
anggaran
atas
penyelenggaraan pemerintah daerah.
Menjadi suatu ketentuan pula, utamanya bagi pemerintah daerah bahwa peluang
penerbitan dan penjualan obligasi daerah ini menjadi lebih terbuka manakala ada
kepercayaan publik dari masyarakat terhadap daerah. Untuk mewujudkan hal itu salah
satu cara yang ditempuh adalah meningkatkan transparansi dan akuntabilitas
penyelenggaraan pemerintah daerah, suatu paradigma baru di era otonomi daerah.
Dengan kata lain, untuk menjalankan otonomi daerah diperlukan manajemen
baru yang sesuai dengan dinamika persoalan yang dihadapi. Manajemen menjadi
faktor yang sangat penting bagi implementasi otonomi daerah di Indonesia.
Apabila sampai saat ini banyak daerah otonom tidak mengalami kemajuan, dan
bahkan menjadi sangat tergantung pada pemerintah pusat, tentu ada penyebabpenyebab utamanya (causa prima). Salah satu yang utama atau bahkan yang terutama
adalah kemampuan manajerial dari kesatuan masyarakat hukum tersebut, termasuk
pemerintah daerahnya untuk menggunakan hak dan menjalankan kewenangan yang
telah dimilikinya.
Hal tersebut sejalan dengan pemikiran Osborne dan Gaebler (1992) yang
mengatakan bahwa : Persoalan utama yang dihadapi oleh pemerintah dewasa ini
bukan
terletak
pada
apa
yang
dikerjakan
tetapi
terletak
pada
bagaimana
mengerjakannya.6
Pandangan tersebut sejalan dengan pendapat Peter F. Drucker (1995), yang
menolak penggunaan istilah “underdeveloped country” untuk negara-negara tertinggal.
Drucker
menyarankan
penggunaan
istilah
“undermanaged
country”,
karena
ketertinggalan negara-negara terbelakang terutama disebabkan oleh ketertinggalan
dalam manajemennya. Dengan kata lain, kemajuan suatu negara akan sangat
ditentukan oleh kualitas manajemennya. Hal yang secara mutatis mutandis berlaku juga
untuk daerah otonom di indonesia.7
Sikap birokrat yang cenderung lamban dan berbelit-belit perlu dibersihkan dan
diganti tindakan kreatif serta inovatif. Itu penting karena perlu disadari bahwa seorang
investor yang akan membeli sekuritas pada dasarnya membeli sebuah prospek. Makin
baik prospek kemajuan pembangunan suatu daerah maka animo investor untuk
menanamkan uangnya akan semakin tinggi. Jika berbagai peluang itu dapat
dimunculkan,
maka
obligasi
daerah
akan
menjadi
instrumen
efektif
untuk
mengembangkan daerah sesuai dengan potensi yang dimiliki. Dengan demikian
kedudukan Kepala Daerah dalam kaitannya dengan penerbitan obligasi Daerah
tersebut sangat menentukan.
Sebagai acuan prosedur penerbitan Obligasi Daerah oleh Pemerintah Daerah di
Indonesia secara lengkap telah diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
6 David Osborne and Ted Gaebler, Reinventing Government-How The Enterpreneurial Spirit is Transforming The
Public Sector, dalam Sadu Wasistiono, Kapita Selekta Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Focus Media,
Bandung, 2003, hal. 40.
7 Peter F. Drucker, The Age of Discontinuity, dalam Sadu wasistiono, Ibid, hal. 40.
6
147/PMK.07/2006 tentang Tatacara Penerbitan, Pertanggungjawaban, dan Publikasi
Informasi Obligasi Daerah. Bab 2 tentang Penerbitan mengatur prosedur secara rinci
yang diawali dari Perencanaan penerbitan obligasi daerah oleh Pemerintah Daerah
(Pasal 7); Pengajuan usulan rencana penerbitan obligasi daerah dari Pemerintah
Daerah kepada Menteri Keuangan c.q Dirjen Perimbangan Keuangan (Pasal 8);
Penilaian dan Persetujuan oleh Menteri Keuangan c.q Dirjen Perimbangan Keuangan
(Pasal 9); Pengajuan pernyataan pendaftaran penawaran umum obligasi daerah oleh
Pemerintah Daerah kepada Bappepam-LK (Pasal 11), selanjutnya tentu dilakukan
penerbitan Obligasi Daerah di Pasar Modal domestik yang dituangkan dalam Peraturan
Daerah (Pasal 12).
5.2 Penerbitan Obligasi Daerah Sebagai Wujud Optimalisasi Tatakelola Keuangan
Daerah Dalam Rangka Good Governance dan Clean Government.
Reformasi tata kelola keuangan daerah yang berorientasi pada perwujudan good
governance secara bertahap sudah mencapai kemajuan signifikan, baik dari segi
kelengkapan regulasi, arahan kebijakan, penataan kinerja perencanaan, penganggaran
serta pengelolaan keuangan daerah. Perundang-undangan Keuangan Negara, Perbendaharaan Negara, Pemeriksaan Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan
Negara, Peraturan Pemerintah antara lain Peraturan Pemerintah No. 71/2010 tentang
Standar Akuntansi Pemerintahan,Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah serta arahan-arahan dari Menteri Dalam Negeri telah
membantu pemerintah daerah untuk tidak sekadar menjalankan administrasi keuangan
(financial administration), akan tetapi juga tata kelola keuangan (financial management).8
Keseluruhan perundang-undangan serta regulasi dan kebijakan terkait tata kelola
keuangan daerah dimplementasikan dengan berbekal komitmen Kepala Daerah dan
DPRD untuk membangun tata kelola keuangan yang memenuhi kriteria-kriteria good
governance maupun clean government. 9
Dalam rangka penyelenggaraan daerah sesuai dengan prinsip-prinsip tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance), terutama prinsip transparansi, partisipasi
dan akuntabilitas, pengelolaan keuangan harus dilakukan secara tertib, taat pada
peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan serta dapat
dipertanggungjawabkan kepada para pemangku kepentingan sesuai dengan tuntutan
masyarakat.10
Berkait dengan penerbitan obligasi daerah, pemerintah daerah tentunya harus
memperhatikan segala ketentuan yang berkaitan dengan surat-surat berharga serta
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang
Pasar Modal agar obligasi daerah tersebut siap untuk memasuki pasar, baik melalui
mekanisme Initial Public Offering (IPO) yaitu langsung kepada masyarakat investor
dalam pasar perdana, maupun melalui mekanisme pasar sekunder, lewat bursa efek
8 Isran Noor, Loc Cit, hal 53
9 Ibid, hal 53
10 Ibid, hal. 56
7
dimana efek tersebut sebelumnya telah dicatat (listing), 11yang pada akhirnya dapat
dipergunakan untuk membiayai pembangunan daerah.
Untuk sampai ke arah dimaksud penting diperhatikan oleh pemerintah daerah
sebagai penerbit obligasi daerah antara lain mengenai kewajiban
disclosure
(keterbukaan) baik aspek legalitas, akuntansi, keuangan, dan manajemen. 12 Ketentuan
keterbukaan ini berfungsi untuk memelihara kepercayaan publik terhadap pasar,
menciptakan pasar yang efisien, dan mencegah penipuan (fraud). 13Di sisi lain hal itu
juga sekaligus sebagai upaya pemerintah daerah dalam rangka menarik kepercayaan
masyarakat investor terhadap surat berharga (obligasi daerah) yang diterbitkan.
Transparansi dalam pasar modal berarti keharusan emiten, perusahaan publik,
dan
pihak
lain
yang
tunduk
kepada
undang-undang
pasar
modal
untuk
menginformasikan kepada masyarakat dalam waktu yang tepat seluruh informasi
material mengenai usahanya atau efeknya yang dapat berpengaruh terhadap
keputusan pemodal terhadap efek yang dimaksud dan atau harga dari efek tersebut. 14
Informasi atau fakta material adalah informasi ataupun fakta penting yang
relevan mengenai peristiwa, kejadian, atau fakta yang dapat mempengaruhi harga efek
pada bursa dan atau keputusan pemodal/calon pemodal atau pihak lain yang
berkepentingan atas informasi ataupun fakta tersebut. 15
Searah dengan prinsip transparancy itu pula, maka bagi daerah yang akan
memasuki pasar modal diwajibkan untuk menyelenggarakan Sistem Informasi
Keuangan Daerah (SIKD) yang secara normatif dibakukan pengaturannya dalam
undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan, sebagaimana
tersurat dalam Pasal 101, 102, dan 103.
SIKD ini merupakan fasilitas yang diselenggarakan untuk mengumpulkan data,
mengolah, melakukan validasi dan analisis data, serta menyajikan informasi keuangan
daerah. SIKD ini selain bermanfaat membantu daerah dalam menetapkan kebijakan
keuangan daerah dan penyusunan RAPBD, juga dirancang agar dapat diakses oleh
masyarakat guna menilai kinerja keuangan daerah.
Sejalan dengan hal tersebut Pasal 18 Peraturan Menteri Keuangan Nomor
147/PMK.07/2006 tentang Tatacara Penerbitan, Pertanggungjawaban, dan Publikasi
Informasi Obligasi Daerah menentukan : “Kepala Daerah wajib mempublikasikan
secara berkala mengenai data Obligasi Daerah dan/atau informasi lainnya berdasarkan
peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal”.
Selain itu pada pasal sebelumnya yakni Pasal 16 diatur bahwa Kepala Daerah
atau pejabat yang ditunjuk wajib menyampaikan laporan penerbitan, penggunaan dana
11 Rudi Prasetya dalam Makalah Seminar Nasional dengan judul Kedudukan Emiten dan Perusahaan Publik Dalam
Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan
Terbatas yang menyatakan bahwa “listing” atau pendaftaran memiliki makna agar Bapepam dapat melakukan
pemeriksaan sampai seberapa jauh emiten telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh perundangundangan yang berlaku vide Pasal 75 Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.
12 Iskandar Z. Alwi, Pasar Modal Teori dan Aplikasi, Yayasan Pancur Sirah, Jakarta, 2003, hal. 53.
13 Bismar Nasution, Pentingnya Keterbukaan Untuk Pengelolaan Perusahaan Yang Baik dalam UUPM, Jurnal
Hukum Bisnis, Volume 14, Jakarta, Juli 2001, hal. 38.
14 Lihat Pasal 1 angka 25 Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.
15 Lihat Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.
8
dan pembayaran kupon dan/atau pokok Obligasi Daerah setiap 3 (tiga) bulan kepada
Menteri Keuangan. Selanjutnya dalam Pasal 17 ditentukan bahwa Menteri Keuangan
c.q Dirjen Perimbangan Keuangan melakukan pemantauan dan evaluasi atas:
Penerbitan Obligasi Daerah; Penggunaan dana Obligasi Daerah; Kinerja pelaksanaan
kegiatan; dan Realisasi pembayaran kupon dan/atau Pokok Obligasi Daerah. Hasil
pemantauan dan evaluasi tersebut dilaporkan oleh Dirjen Perimbangan Keuangan
kepada Menteri Keuangan dan dapat merekomendasikan kepada Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan untuk menghentikan penerbitan
Obligasi Daerah.
Berdasar pasal-pasal tersebut di atas semakin jelas bahwa upaya penerbitan
Obligasi Daerah oleh Pemerintah Daerah harus dilakukan secara serius dan profesional
dalam
arti
harus
mengindahkan
berlakunya
ketentuan-ketentuan
peraturan
perundangan yang berlaku, baik Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan, maupun Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, serta
peraturan-peraturan yang ada di bawahnya, yang sekaligus membuktikan bahwa
kemampuan suatu daerah dalam menerbitkan Obligasi daerah sebagai wujud
optimalisasi tatakelola keuangan daerah dalam rangka Good Governance dan Clean
Government.
Sebagai penutup, tentu sangat diharapkan keseriusan Pemerintah Daerah dalam
upaya menerbitkan Obligasi Daerah seiring telah dikeluarkannya seperangkat peraturan
perundangan yang berkait dengan Obligasi Daerah. Pada era otonomi daerah sekarang
inilah kesempatan itu seharusnya dapat dimanfaatkan oleh para Kepala Daerah jika
ingin mewujudkan peningkatan kesejahteraan hidup rakyat di daerah.
6. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pembahasan tersebut di atas dapat disimpulkan beberapa
hal sebagai berikut :
1). Bahwa penerbitan Obligasi Daerah oleh Pemerintah Daerah sesungguhnya terletak
pada kemampuan manajerial Kepala Daerah dalam mengupayakannya, dimana
secara teknis pengaturan penerbitan Obligasi Daerah tersebut secara rinci
dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 147/PMK.07/2006 tentang
Tatacara Penerbitan, Pertanggungjawaban, dan Publikasi Informasi Obligasi
Daerah.
2). Bahwa penerbitan Obligasi Daerah oleh Pemerintah Daerah harus dilakukan secara
serius dan profesional, dalam arti harus mengindahkan berlakunya ketentuanketentuan peraturan perundangan yang berlaku, baik Undang-Undang No. 33
Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan, maupun Undang-Undang No. 8
Tahun 1995 tentang Pasar Modal, serta peraturan-peraturan yang ada di
bawahnya, yang sekaligus membuktikan bahwa kemampuan suatu daerah dalam
menerbitkan Obligasi daerah sebagai wujud optimalisasi tatakelola keuangan
daerah dalam rangka Good Governance dan Clean Government.
9
DAFTAR PUSTAKA
Abdulkadir Muhammad, Hukum Dagang tentang Surat-surat Berharga, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2003.
Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, ST. Paul. Minn, West Group, Seventh Edition,
1999.
Iskandar Z. Alwi, Pasar Modal Teori dan Aplikasi, Yayasan Pancur Sirah, Jakarta, 2003.
Isran Noor, Politik Otonomi Daerah Dalam Kerangka Penguatan NKRI, Seven Strategic
Studies, Cetakan Kedua, November 2012.
Richard E. Speidel and Steven H. Nickles, Negotiable Instruments and Check
Collection, west Publishing Company, 1993.
Sadu Wasistiono, Kapita Selekta Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Focus
Media, Bandung, 2003.
Jurnal, Makalah.
Bismar Nasution, Pentingnya Keterbukaan Untuk Pengelolaan Perusahaan Yang Baik
dalam UUPM, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 14, Jakarta, Juli 2001.
Rudi Prasetya, Kedudukan Emiten dan Perusahaan Publik Dalam Undang - Undang
No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal dan Undang-Undang No. 1 Tahun
1995 tentang Perseroan Terbatas, Makalah Seminar Nasional tentang
Pasar Modal, Surabaya, 20 Januari 1996.
Peraturan Perundangan.
Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 2011 tentang Pinjaman Daerah.
Peraturan Menteri Keuangan No. 147/PMK.07/2006 tentang Tatacara Penerbitan,
Pertanggungjawaban, dan Publikasi Informasi Obligasi Daerah.
10