Susanto Karthubij Perkembangan Teori Kom

Susanto Karthubij : Perkembangan Teori Komunikasi Dalam Perspektif Antropologi

PERKEMBANGAN
ANTROPOLOGI

TEORI

KOMUNIKASI

DALAM

PERSPEKTIF

Susanto Karthubij1
Abstrak
This article talks about the diversity of perspective which underpins the science of
communication as a discipline. as widely known, in its development, science
communication is built from various fields of science that has developed first. one
perspective noteworthy is the anthropology - the emphasis on diversity and human
groupings based on certain categories. in the communications field, anthropology
has an important position because of its ability to provide an adequate

explanation for the development of communication from various human groups,
even of civilization, from time to time.
Keywords: perspective, anthropology, communication theory

Pendahuluan
Wilbur Schramm, salah satu yang dianggap sebagai founding father ilmu
komunikasi pernah mengandaikan bahwa ilmu ini layaknya sebuah oase di gurun
pasir; banyak kafilah yang datang, pengembara yang melintas, namun sedikit saja
yang memutuskan untuk tinggal (1980). Pengandaian ini salah satunya dimaknai
betapa ilmu komunikasi merupakan bidang yang hiruk pikuk oleh berbagai
disiplin dan persepktif untuk pada gilirannya menemukan state of the art.
Perspektif adalah cara untuk melihat atau memandang fenomena tertentu
(Miller, 2005: 1). Sementara Griffin (2003: 475) melihat perspektif merupakan
istilah yang semakna dengan standpoint, viewpoint, outlook, dan position. Semua
istilah ini mengarahkan pada sebuah lokasi khusus dalam ruang dan waktu di
mana pengamatan dilakukan dengan mengacu pada nilai-nilai atau sikap-sikap

1

Program St udi Ilmu Komunikasi Fakult as Ilmu Sosial dan Ilmu Polit ik Universit as Sebelas M aret

Surakart a

Jurnal Komunikasi M assa Vol 3 No 2 Juli 2010

1

Susanto Karthubij : Perkembangan Teori Komunikasi Dalam Perspektif Antropologi

tertentu; sebuah tempat dalam ruang dan waktu untuk memandang dunia di sekitar
kita. Sedang Littlejohn (2002: 165), mengutip Barnett Pearce, mengartikan
perspektif sebagai satu cara melihat atau memikirkan sesuatu. Dari beberapa
sumber di atas, saya memahami perspektif sebagai cara memandang suatu
fenomena berdasarkan kerangka konsep atau nilai dalam konteks ruang dan waktu
tertentu.
Berdasar pemahaman ini, maka bisa diuraikan lebih lanjut bahwa
perspektif memiliki unsur seperti cara pandang yang paling pokok, nilai atau sikap
serta konteks ruang dan waktu yang membedakannya dari perspektif yang lain
terhadap setiap sesuatu yang tengah dihadapinya. Selanjutnya, perspektif
berfungsi memberikan landasan pijak maupun yang menentekan dari sisi mana
suatu fenomena akan dipandang, atau memberikan “kacamata” yang nantinya

menentukan akan seperti apa fenomena itu dilihat.
Perspektif berbeda dari definisi maupun teori. Teori, dalam kata-kata yang
digunakan Littlejohn (2002: 19) adalah seperangkat konsep dan penjelasan yang
terorganisir atas suatu fenomena tertentu. Bila demikian adanya, yang
membedakan perspektif dari teori adalah bahwa teori merupakan penjelasanpenjelasan maupun konseptualisasi dari fenomena yang diamati, sehingga teori di
dalamnya berisi tentang, misalnya penjelasan relasi antarkonsep maunpun
antarfenomena. Adapun perspektif tidaklah menjelaskan relasi itu, namun lebih
menyediakan cara pandang ketika berhadapan dengan suatu fenomena.
Adapun Miller (2005: 3) mengatakan bahwa orang mendefinisikan istilah
di dalam cara-cara yang berbeda, dan di dalam perbedaan definisi itu akan dan
Jurnal Komunikasi M assa Vol 3 No 2 Juli 2010

2

Susanto Karthubij : Perkembangan Teori Komunikasi Dalam Perspektif Antropologi

dapat mempunyai dampak yang besar terhadap apa yang kita pahami terhadap
masalah itu. Sebuah definisi, lazimnya tidak melihat salah atau benar. Atau pun
mengklaimnya sebagai satu-satunya definisi yang benar, melainkan bagaimana
tekanan dan cakupan yang diberikan di dalamnya. Sebuah definisi mencakup

suatu aspek, tetapi mengabaikan aspek lainnya. Singkatnya, definisi memberikan
penjelasan atas fenomena, sedangkan persepktif menawarkan bagaimana
fenomena harus dilihat.
Menggunakan definisi yang digunakan Koentjaraningrat (2002: 15),
antropologi adalah ilmu yang mempelajari manusia dari segi keanekaragaman
fisik serta kebudayaan (cara-cara berprilaku, tradisi-tradisi, nilai-nilai) yang
dihasilkan sehingga setiap manusia yang satu dengan yang lainnya berbeda-beda.
Definisi

ini

menekankan

mengelompokkan

manusia

pada

keanekaragaman


berdasarkan

untuk

kemudian

persamaan-persamaan

tertentu

berdasarkan fisik maupun kebudayaannya itu. “Keanekaragaman” itulah yang
dijadikan perspektif antropologi dalam tulisan ini.
Ada empat subdisiplin antropologi, yaitu (1) Biological/Physical
Anthropology,

yang

mencakup


subdisiplin

anthropometrics,

forensic

anthropology, osteology, dan nutritional anthropology; (2) Socio/cultural
Anthropology,

yang

mencakup

psychological

anthropology,

folklore,

anthropology of religion, ethnic studies, cultural studies, anthropology of media

and cyberspace, dan study of the diffusion of social practices and cultural forms;
(3)

Archaeology,

mencakup

prasejarah

dan

masa

awal

kebudayaan,

kecenderungan pokok dalam evolusi kebudayaan, teknik untuk menemukan,
Jurnal Komunikasi M assa Vol 3 No 2 Juli 2010


3

Susanto Karthubij : Perkembangan Teori Komunikasi Dalam Perspektif Antropologi

mengangkat, menentukan umur dan analisis terhadap materi yang berasal dari
masyarakat di masa lalu; dan (4) Linguistic Anthropology, menekankan pada arti
penting pengaruh sosiokultural, komunikasi nonverbal, dan struktur, fungsi serta
sejarah dari bahasa, dialek, pidgins, dan creoles. Termasuk dalam subdisiplin ini
adalah

anthropological

linguistics,

sociolinguistics,

cognitive

linguistics,


semiotics, discourse analysis, dan narrative analysis.

Perkembangan Teori Komunikasi
Menarik bahwa dalam berbagai agama, genesis (proses penciptaan awal
manusia) kerap dijelaskan dengan perspektif antropologi komunikasi yang kental.
Ada mufasir – ahli tafsir Al Qur’an – yang melihat bahwa sebenarnya yang
menentukan Adam sebagai manusia pertama adalah kemampuannya untuk
melakukan komunikasi. Ini bisa dilihat dalam Al Qur’an Surat Al Baqoroh (2: 3033), bahwa ketika diciptakan, Tuhan “mengajarkan kepada Adam nama-nama
(benda-benda) seluruhnya” (ayat 31, garis miring dari saya).
“Nama-nama” merupakan terjemahan dari kata asmâ’, bentuk plural dari
ism, yang dalam bahasa Inggris adalah sign atau symbol. Dari sini kemudian
diartikan bahwa Adamlah yang pada mulanya memiliki kemampuan untuk
memproduksi sistem tanda.
Dengan sistem penandaan yang dibuatnya itu, dimungkinkan bagi
“spesies” Adam ini untuk berkomunikasi, mengembangkan pengetahuan,
mengkonservasi pengalaman untuk ditransformasikan kepada individu atau
komunitas lain, baik kepada yang memiliki dimensi waktu yang sama, ataupun
Jurnal Komunikasi M assa Vol 3 No 2 Juli 2010

4


Susanto Karthubij : Perkembangan Teori Komunikasi Dalam Perspektif Antropologi

yang hidup sesudahnya. Atas dasar itulah maka, secara antropologi lingusitik,
Adam menjadi “manusia pertama” dalam pengertian “manusia sempurna” (homo
sapiens) pertama, karena kemampuannya menggunakan sistem tanda itu.
Selanjutnya akan dijelaskan perspektif antropologi perkembangan ilmu
komunikasi dalam beberapa periode yang dikenal sampai saat ini.
1. Tahap Awal sampai Tahun 1930-an.
Periode ini merupakan gabungan dari fase fragmentasi sebagaimana yang
dibuat oleh Delia (1900-1940) dan fase awal (early communication study) dan
perkembangan speech & journalisme tahun 1900 – 1930-an menurut Ruben dan
Davis. Berikut ini adalah beberapa hal yang menarik dari masa itu untuk dilihat
dari perspektif antropologi.
Ruben dan Davis (hal. 22) menjelaskan bahwa masa Yunani merupakan
era demokrasi awal, di mana telah dikembangkan bentuk pemerintahan
demokratis. Berbagai bidang kehidupan masyarakat, mulai dari bisnis,
pemerintahan, hukum dan pendidikan kesemuanya disampaikan secara oral. Atas
dasar itulah, maka mulai berkembang retorika sebagai bentuk persuasi.
Secara arkeologis, artefak maupun situs dari zaman Yunani yang sampai

sekarang masih ada tampaknya memang menunjukkan suasana demokrasi
berbasis komunikasi oral itu. Misalnya bila kita melihat susunan ruang senat di
Atena yang formasi tempat duduk dibuat melingkar (radial) dan berundak.
Dengan susunan yang demikian, maka pembicaraan di dalam forum senat ini
memungkinkan untuk terjadinya suasana yang dialogis di antara para senator. Ini
berbeda dengan bentuk yang berhadap-hadapan dua arah yang mengindikasikan
Jurnal Komunikasi M assa Vol 3 No 2 Juli 2010

5

Susanto Karthubij : Perkembangan Teori Komunikasi Dalam Perspektif Antropologi

adanya relasi kekuasaan tertentu. Pada keraton di Jawa, misalnya, ruang
sitihinggil yang menjadi pertemuan antara raja dengan rakyat merupakan ruangan
segi empat di mana ada satu kursi (singgasana) raja, sementara di arah yang
berlawanan adalah tempat kawula (rakyat) yang ngléséh (duduk tampa kursi dan
alas) di bawah raja. Ini tentu mencerminkan suasana yang feodalistik.
Sistem hukum saat itu juga sudah mengenal pengadilan dengan pembela
dan juri yang jumlahnya sampai ratusan (ibid.: hal. 22). Pengaduan dan gugatan
hukum

merupakan

hal

yang

sudah

lazim.

Bagi

pembela,

misalnya,

kemampuannya melakukan public speaking menjadi persyaratan mutlak. Itulah
mengapa retorika kemudian menarik minat banyak orang untuk mempelajarinya.
Tradisi komunikasi lisan yang kuat juga ditunjukkan dengan banyaknya
ditemukan folklore yang berasal dari masa ini. Wujudnya adalah mitologi Yunani.
Sampai sekarang, mitos yang berasal dari dari masa masih digunakan secara luas,
utamanya digunakan untuk memberikan istilah bagi fenomena tertentu. Di dalam
psikologi, misalnya muncul konsep oedipus complex dan narcisme untuk
menggambarkan kejiwaan yang mencintai ibu dan mengagumi diri sendiri secara
berlebihan. Mitologi tentang Kotak Pandora dan Kuda Troya sering digunakan
dalam, meski tidak terbatas hanya, dunia politik.
Pada masa kekaisaran Romawi berbeda lagi. Situasi politik yang
berkembang bukan lagi demokratis, melainkan aristokrasi dengan orientasi
emperium dan ekspansi wilayah. Persuasi masih menjadi sesuatu yang penting,
namun lokasinya tidak lagi di dalam senat maupun pengadilan, karena keputusan

Jurnal Komunikasi M assa Vol 3 No 2 Juli 2010

6

Susanto Karthubij : Perkembangan Teori Komunikasi Dalam Perspektif Antropologi

politik dan hukum ditentukan sepenuhnya oleh kaisar, namun berpindah ke dalam
teater. Karenanya, wujud persuasi adalah drama.
Colosseum merupakan bentuk ‘teater’ yang menarik untuk diperhatikan
dalam

hubungannya

dengan

komunikasi.

Colosseum

adalah

tempat

penyelenggaraan sebuah “drama” pertunjukan yang spektakuler, yaitu sebuah
pertarungan antara binatang (venetaiones), pertarungan antara tahanan dan
binatang, eksekusi tahanan (noxii), pertarungan air (naumachiae) dengan cara
membanjiri arena, dan pertarungan antara gladiator (munera). Namun sebenarnya
tempat ini juga merupakan tempat berlangsungnya drama politik di mana kaisar
hendak menunjukkan kekuasaan dengan memberikan pertunjukkan yang sering
bersifat intimidatif kepada rakyatnya. Ini, sekali lagi menunjukkan bahwa retorika
menjadi bentuk komunikasi yang penting pada masa itu.
Baik pada masa Yunani maupun Romawi, mengingat pentingnya retorika
bagi kepentingan publik, patut diduga telah dikembangkan menu-menu atau
nutrisi tertentu (nutritional anthropology) yang dimaksudkan untuk menghasilkan
suara yang lantang, sehingga akan menopang keberhasilan retorika. Dugaan ini
diajukan karena di Jawa, para pesinden (penyanyi) yang mengiringi karawitan
dalam pementasan kesenian tradisional seperti wayang kulit atau ketoprak,
melakukan diet atau konsumsi makanan tertentu. Di samping juga ada perlakuan
tertentu terhadap organ vokal. Misalnya dengan melakukan gurah (mengeluarkan
lendir dari rongga dada melalui hidung dengan ramuan tertentu) secara rutin untuk
menjaga kualitas suaranya. Belakangan metode ini diadopsi oleh para qari/qariah.

Jurnal Komunikasi M assa Vol 3 No 2 Juli 2010

7

Susanto Karthubij : Perkembangan Teori Komunikasi Dalam Perspektif Antropologi

Kajian komunikasi meredup pada era Pertengahan dan Pencerahan,
disebabkan memudarnya sistem demokrasi dan tradisi oral. Bahkan pada akhir
abad ke-14, di mana teori komunikasi sebelumnya dikembangkan dalam retorika,
sekarang dikaji sebagai bidang keagamaan.
Namun demikian, gagasan Habermas (1989) tentang ruang publik di Eropa
pada masa ini memiliki warna antropologi yang kental. Ketika ia berbicara
tentang transformasi ruang publik pada masyarakat borjuis Eropa pasca revolusi
industri, ia melihat bahwa kehadiran pers ternyata telah menggeser keberadaan
ruang publik itu.
Sebelumnya, demikian Habermas, ruang komunikasi publik terletak di
saloon dan coffee house. Di situlah diskusi, perdebatan dan pembentukan opini
atas isu-isu publik terjadi. Orang datang ke bar tidak sekadar untuk berkumpul,
namun juga untuk mendiskusikan isu politik, misalnya, yang sedang berlangsung.
Persuasi dan retorika, karenanya, terjadi dalam komunikasi oral di tempat itu.
Kehadiran media massa pers kemudian merubah pola komunikasi yang
demikian. Perdebatan politik tidak lagi dilakukan di tempat “tradisional” semacam
itu, namun bergeser ke media massa. Koran memfasilitasi pembentukan opini
publik dalam skala ruang yang lebih luas.

2. Era Tahun 1940-1950
Oleh Ruben, masa ini disebutnya sebagai “interdisciplinary growth” bagi
perkembangan ilmu komunikasi. Yang mencirikan adalah munculnya sejumlah

Jurnal Komunikasi M assa Vol 3 No 2 Juli 2010

8

Susanto Karthubij : Perkembangan Teori Komunikasi Dalam Perspektif Antropologi

ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu sosial turut mengembangkan teori
komunikasi yang melampaui batas ilmu asal mereka.
Perspektif antropologi yang digunakan pada masa ini misalnya adalah
ketika dikembangkan riset tentang posisi dan jarak tubuh dan gesture dalam
kebudayaan tertentu, yang kemudian dikenal dengan expectancy violations theory.
Kebudayaan yang berbeda akan menafsirkan jarak personal secara berbeda pula.
Judee Burgon, misalnya, mendefinisikan ruang personal (personal space) sebagai
ruang yang diinginkan oleh individu untuk menjaga jarak dengan orang lain.
Menurutnya, ukuran dan bentuk personal space itu ditentukan oleh norma budaya
dan kehendak individu.
Di sisi lain, Edward Hall, antropolog dari Illinois Institute of Technology,
menggunakan istilah proxemic untuk menyebut penggunaan jarak sebagai
elaborasi budaya. Interpretasi akan jarak ini, menurutnya, merupakan sesuatu
yang tidak disadari oleh individu. Ia mengidentifikasi ada empat jarak proxemic
dalam budaya Amerika, yaitu intimate (0-18 inci), personal (18 inci – 4 kaki),
sosial (4-10 kaki), dan publik (lebih dari 10 kaki).
Riset antropologi terhadap bidang komunikasi semacam itu sudah
dilakukan oleh berbagai ahli dari disiplin lain, meski tidak memiliki label sebagai
penelitian komunikasi.

3. Era Tahun 1960-an
Era ini disebut sebagai era integrasi yang ditandai oleh adanya sintesis
pemikiran dari retorika, jurnalistik dan media massa dengan disiplin dari ilmu
Jurnal Komunikasi M assa Vol 3 No 2 Juli 2010

9

Susanto Karthubij : Perkembangan Teori Komunikasi Dalam Perspektif Antropologi

sosial lainnya. Gejala komunikasi menjadi perhatian penting dalam berbagai
disiplin ilmu.
Dalam pendapat Baran & Davis (hal. 26), salah satu karya yang menjadi
landmark bagi era ini adalah Diffusion of Innovation (Rogers, 1962) yang
berbicara tentang teori difusi, yaitu penjelasan tentang bagaimana proses gagasan
baru dan inovasi teknologi dikenalkan sampai diadaptasi oleh kelompok,
organisasi atau masyarakat.
Munculnya teori difusi ini tampaknya menjadi penanda penting integrasi
ilmu komunikasi dengan ilmu-ilmu lain, utamanya bila melihat situasi era itu yang
sudah memasuki ketegangan politik dan ideologi blok-blok yang terlibat dalam
Perang Dingin di satu sisi, dan menguatnya paradigma pembangunan
(developmentalisme) dalam bidang ekonomi dan sosial negara-negara yang baru
terlepas dari penjajahan dan cenderung terpengaruh oleh Blok Barat dalam peta
Perang Dingin itu.
Selain teori difusi, yang juga dipublikasi dengan nafas sejenis adalah
misalnya tulisan Daniel Lerner (1958), The Passing of Traditional Society:
Modernizing the Middle East, terjemahan Indonesia berjudul Memudarnya
Masyarakat Tradisional (1983) yang berbicara tentang bagaimana modernisasi
dalam masyarakat di Timur Tengah salah satunya ternyata dipengaruhi oleh
(media) komunikasi yang berkembang di tengah masyarakat.
Dari perspektif antropologi, kedua tema itu, yaitu difusi dan modernisasi,
melihat bahwa masyarakat dengan kebudayaan beserta nilai yang dihayatinya
serta pola komunikasi yang ada menjadi sangat penting untuk diperhatikan. Proses
Jurnal Komunikasi M assa Vol 3 No 2 Juli 2010
10

Susanto Karthubij : Perkembangan Teori Komunikasi Dalam Perspektif Antropologi

perubahan sosial (termasuk pembangunan) hanya berhasil bila aspek kebudayaan
ini diperhatikan secara sungguh-sungguh.
Dalam teori difusi, misalnya, pola dan jenis kepemimpinan ternyata
mempengaruhi kesediaan anggota kelompok untuk melakukan adopsi dan inovasi
tertentu. Sementara dalam proses modernisasi, sebagaimana dijelaskan Lerner,
aspek kebudayaan setempat bisa dipengaruhi oleh kehadiran media komunikasi
tertentu. Media bisa dimanfaatkan untuk melakukan perubahan sosial.
Koentjaraningrat (1990) menyebut hal yang demikian semacam memiliki warna
antropologi terapan dan antropologi pembangunan – menggunakan pemahaman
antropologis untuk perlakuan tertentu,

termasuk perubahan sosial dan

pembangunan.
Pada era ini juga, dalam catatan Baran dan Davis, mulai dikembangkan
antropologi lingusitik, sekaligus mengemuka apa yang dikenal sebagai
komunikasi antarbudaya (intercultural communication).

4. Era Tahun 1970-an hingga Awal Tahun 1980-an
Era ini merupakan era pertumbuhan dan spesialisasi, di mana dalam ilmu
komunikasi muncul bidang semacam komunikasi kelompok, komunikasi
organisasi, komunikasi politik, komunikasi internasional dan komunikasi
interkultural. Demikian juga profesi di dalam bidang komunikasi. Pertumbuhan
industri komunikasi dan media yang mulai melebar juga terjadi di era ini.
Pendekatan antropometrik dari antropologi menemukan relevansinya
dalam era industri komunikasi. Televisi, salah satu media yang skala industrinya
Jurnal Komunikasi M assa Vol 3 No 2 Juli 2010
11

Susanto Karthubij : Perkembangan Teori Komunikasi Dalam Perspektif Antropologi

paling pervasif di masa itu, menggunakan ukuran-ukuran tertentu untuk
menempatkan orang pada posisi tertentu. Untuk presenter, misalnya, ukuran tinggi
badan menjadi penting. Demikian juga bentuk wajah yang camera-face. Untuk
itu, kemudian dikembangkan oleh para ahli tentang perbandingan ukuran dan
proporsi antara, misalnya, hidung, mata, kening dan pipi. Kemenarikan, kemudian
ditentukan oleh keseimbangan hasil pengukuran tadi.
Tidak hanya dalam industri visual, pendekatan ini juga diterapkan dalam
komunikasi pemasaran dan public relations, misalnya. Bahwa mereka yang ada
pada lini untuk melakukan penjualan langsung (direct selling), semacam sales
promotion girls, atau yang ada pada posisi untuk melakukan layanan dengan
konsumen (misalnya front officer) memerlukan bentuk tubuh yang sesuai dengan
ketentuan antropometri yang dikembangkan tadi. Dan ternyata itu berhubungan
dengan ras atau suku tertentu. Katakanlah bahwa suku tertentu “menghasilkan”
tubuh dengan kriteria tertentu, dan karenanya sesuai dengan profesi tertentu.
Pendekatan ini tampaknya merupakan elaborasi lebih jauh dari apa yang
disampaikan Aristoteles dalam Rhetoric ribuan tahun yang lalu tentang prior
ethos. Menurutnya, salah satu keberhasilan dari proses komunikasi adalah
kemampuan komunikator untuk membangkitkan minat awal dari lawan
komunikasinya. Dan itu bisa dilakukan salah satunya dengan menunjukkan kesan
baik dalam proses inisiasi komunikasi. Dalam bahasa yang popluer dalam
psikologi, ini disebut sebagai “hello effect” yang membangkitkan kesan pertama
itu.

Jurnal Komunikasi M assa Vol 3 No 2 Juli 2010
12

Susanto Karthubij : Perkembangan Teori Komunikasi Dalam Perspektif Antropologi

5. Era Tahun 1980-an hingga Sekarang
Era ini, oleh Baran & Davis, disebutnya sebagai era informasi (the
information age), meski Toffler (1992) menyebut era informasi ini sudah mulai
berkembang sejak tahun 1960-an. Era ini ditandai oleh besarnya peran yang
dimainkan oleh teknologi komunikasi dan informasi dalam masyarakat. Besarnya
peran itu salah satunya disebabkan oleh terjadinya konvergensi media dan
teknologi, yang muncul dalam berbagai bentuk teknologi hibrida yang
memungkinkan perubahan sedemikian rupa dalam komunikasi yang dilakukan
oleh umat manusia. Sebagian juga melihat era ini sebagai globalisasi – sebuah
konsekuensi dari perkembangan pervasif teknologi komunikasi itu.
Perspektif antropologi di era ini nampak pada beberapa penelitian yang
mengeksplorasi berbagai masyarakat dalam berbagai bangsa, ras dan suku ketika
mereka mulai bersentuhan dengan teknologi komunikasi ini.
Jurnal Insight (2007) yang mengusung tema “Mobile Phone and
Development: The Future in New Hand?” menurunkan laporan tentang
bagaimana kebudayaan di berbagai negara beradaptasi dengan telepon genggam
(HP). Di Nigeria, misalnya, HP sudah memasuki sektor informal ekonomi, namun
secara bersamaan juga ternyata mempertajam ketidaksetaraan yang ada di tengah
masyarakat. Sementara di Bangladesh, penetrasi HP juga memasuki wilayah
kaum wanita di pedesaan, dan itu memberikan akses bagi mereka terhadap gaya
hidup keseharian mereka. Di Zambia, sebagaimana di Nigeria, penggunaan HP di
kalangan perempuan ternyata justru memperkuat ketidaksetaraan gender di antara
mereka. Namun, di Jamaica, HP ternyata bisa membantu meningkatkan rata-rata
Jurnal Komunikasi M assa Vol 3 No 2 Juli 2010
13

Susanto Karthubij : Perkembangan Teori Komunikasi Dalam Perspektif Antropologi

pendapatan rumah tangga, bersamaan dengan implementasi mobile-banking di
negara itu. Fenomena yang sama terjadi si Afrika Selatan, Kenya dan Pilipina.
Menarik juga sebuah penelitian tentang “antropologi ciuman” yang
dilakukan oleh Martin Salma berjudul “Transformasi Keintiman di Indonesia?
Sebuah Kajian Awal tentang Ciuman”. Tampaknya, di Indonesia dulu ciuman
dengan mulut atau dari mulut ke mulut memang kurang biasa. Karya sastra
Nusantara yang klasik seperti Serat Centhini, yang sering disebut Kamasutra-nya
orang Jawa, atau buku-buku Primbon, seperti “Seks Para Pangeran, Tradisi dan
Ritualisasi Hedonisme Jawa”, memang bermacam-macam teknik bermesraan
untuk menggoda seorang kekasih. Bagaimanapun, ciuman mulut jarang ditemui
dalam karya-karya tersebut, melainkan yang ramai digambarkan adalah ciuman
pipi, alis, mata, dada, telinga dan sebagainya, yang barangkali juga dilakukan
dengan hidung (sebenarnya “membau”, namun bisa saja difahami “mencium
secara erotik dengan hidung”).
Bagi orang Eropa yang pertama memasuki wilayah Asia Tenggara,
berciuman dengan hidung merupakan hal yang asing, sehingga mereka
menamakannnya “the Malay kiss”. Sebagaimana ada istilah “French kiss” untuk
ciuman lidah, “the Malay kiss” menggambarkan ciuman hidung.
Di Indonesia orang yang berciuman adalah hal yang kontroversial – baik
dewasa ini maupun di masa lalu. Namun, meskipun di Indonesia kita jarang
melihat orang berciuman di tempat umum, ciuman tetap muncul di publik melalui
representasinya di televisi dan film. Barangkali baru lewat film ciuman mulut
sebagai praktek romantis menjadi populer di Indonesia. Ini misalnya muncul
Jurnal Komunikasi M assa Vol 3 No 2 Juli 2010
14

Susanto Karthubij : Perkembangan Teori Komunikasi Dalam Perspektif Antropologi

dalam film Ada Apa Dengan Cinta, Buruan Cium Gue. Penelitian itu kemudian
menunjukkan bahwa media, baik berupa fim, televisi, majalah atau buku,
kemudian merubah pandangan orang Indonesia tentang ciuman mulut yang lantas
dianggapnya sebagai normal atau biasa saja. Globalisasi mentransformasi ciuman.
Itulah tesis antropologisnya.
Sementara prediksi Prof. T. Jacob, salah satu antropolog terkemuka
Indonesia, yang mengajukan tesis bahwa bisa jadi suatu saat manusia bisa jadi
akan memiliki ukuran jemari tangan yang membesar sebagai adaptasi fisiologis
atas penggunaan teknologi saat ini yang frekuensi menekan gadget dengan jemari
sangat tinggi juga menarik untuk diperhatikan.

Kesimpulan
Antropologi

adalah

ilmu

yang

mempelajari

manusia

dari

segi

keanekaragaman fisik serta kebudayaan yang dihasilkan sehingga setiap manusia
satu dengan yang lainnya berbeda-beda.

Dijelaskan perspektif antropologi

perkembangan ilmu komunikasi dalam beberapa periode yang dikenal sampai saat
ini yaitu periode tahap awal sampai tahun 1930-an, periode tahun 1940-1950,
periode tahun 1960-an, periode tahun 1970-an hingga awal tahun 1980-an serta
era tahun 1980-an hingga sekarang.
Periode awal sampai tahun 1930-an merupakan gabungan dari fase
fragmentasi sebagaimana yang dibuat oleh Delia (1900-1940) dan fase awal (early
communication study) dan perkembangan speech dan journalism tahun 1900 –
1930-an menurut Ruben dan Davis. Masa Yunani merupakan era demokrasi awal
Jurnal Komunikasi M assa Vol 3 No 2 Juli 2010
15

Susanto Karthubij : Perkembangan Teori Komunikasi Dalam Perspektif Antropologi

dimana telah dikembangkan bentuk pemerintahan demokratis dimana didominasi
komunikasi secara oral. Atas dasar itulah, maka mulai berkembang retorika
sebagai bentuk persuasi. Demikian halnya dengan era Romawi yang bernuansa
aristokrasi dengan orientasi emperium dan ekspansi wilayah. Persuasi masih
menjadi sesuatu yang penting walau keputusan politik dan hukum di tangan
Kaisar. Wujud persuasi adalah drama.
Selanjutnya, periode tahun 1940-1950 dimana di masa ini disebut sebagai
“interdisciplinary growth” bagi perkembangan ilmu komunikasi. Yang mencirikan
adalah munculnya sejumlah ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu sosial turut
mengembangkan teori komunikasi yang melampaui batas ilmu asal mereka.
Perspektif antropologi yang digunakan pada masa ini misalnya adalah ketika
dikembangkan riset tentang posisi dan jarak tubuh dan gesture dalam kebudayaan
tertentu yang kemudian dikenal dengan expectancy violations theory.
Kemudian adalah era tahun 1960-an. Era ini disebut sebagai era integrasi
yang ditandai oleh adanya sintesis pemikiran dari retorika, jurnalistik dan media
massa dengan disiplin dari ilmu sosial lainnya. Gejala komunikasi menjadi
perhatian penting dalam berbagai disiplin ilmu. Salah satu karya yang menjadi
landmark bagi era ini adalah Diffusion of Innovation yang berbicara tentang teori
difusi, yaitu penjelasan tentang bagaimana proses gagasan baru dan inovasi
teknologi dikenalkan sampai diadaptasi oleh kelompok, organisasi atau
masyarakat.
Selanjutnya, era tahun 1970-an hingga awal tahun 1980-an merupakan era
pertumbuhan dan spesialisasi dimana dalam ilmu komunikasi muncul bidang
Jurnal Komunikasi M assa Vol 3 No 2 Juli 2010
16

Susanto Karthubij : Perkembangan Teori Komunikasi Dalam Perspektif Antropologi

semacam komunikasi kelompok, komunikasi organisasi, komunikasi politik,
komunikasi internasional dan komunikasi interkultural. Demikian juga profesi di
dalam bidang komunikasi. Pertumbuhan industri komunikasi dan media yang
mulai melebar juga terjadi di era ini.
Dan terakhir, era tahun 1980-an hingga sekarang dimana disebut sebagai
era informasi (the information age). Era ini ditandai oleh besarnya peran yang
dimainkan teknologi komunikasi dan informasi dalam masyarakat. Perspektif
antropologi di era ini nampak pada beberapa penelitian yang mengeksplorasi
berbagai masyarakat dalam berbagai bangsa, ras dan suku ketika mereka mulai
bersentuhan dengan teknologi komunikasi ini.

Daftar Pustaka
Baran, Stanley dan Dennis K. Davis. (2000). Mass Communication Theories:
Foundation, Ferment, and Future. 2nd edition. Belmont, CA: Wadsworth.
Dahlan, Alwi (1997). “Pemerataan Informasi, Komunikasi dan Pembangunan”,
Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, 5
Juli 1997.
---------, “The Dynamics of Information Sharing” dalam Under Asian Eyes, tahun
dan penerbit tidak diketahui (hanya dalam bentuk fotokopi satu tulisan).
Edelstein, Alex. (1983). “Communication and Culture: The Value of Comparative
Studies”, dalam Ferment in the Field, Journal of Communication, Vol. 33
Number 3.
Haber, Audrey dan Richard P. Runyon. (1986) Fundamentals of Psychology. 4th
ed. New York: Random House.
Hoed, Benny H. (2001). Dari Logika Tuyul ke Erotisme. Magelang :
Indonesiatera.
Littlejohn, Stephen (2002 & 2005 with Karen Foss). Theories of Human
Communication., 7th and 8th edition. Belmont, CA: Wadsworth.
McManus, John. (1994). Market Driven Journalism: Let The Citizen Beware.
New Delhi: Sage Publications.
McQuail, Denis (ed.) (2002). McQuail’s Reader in Mass Communication Theory.
London, Thousand Oaks, New Delhi: Sage Publications.
Jurnal Komunikasi M assa Vol 3 No 2 Juli 2010
17

Susanto Karthubij : Perkembangan Teori Komunikasi Dalam Perspektif Antropologi

----------. (2005). McQuail’s Mass Communication Theory. 5 th edition. London,
Thousand Oaks, New Delhi: Sage Publications.
Rogers, Everett M. (1997). A History of Communication Study: A Biographical
Approach. New York: The Free Press.
White, Robert A. (1983). “Mass Communication and Culture: Transition to A
New Paradigm”, dalam Ferment in the Field, Journal of Communication,
Vol. 33 Number 3.
Wright, Charles R. (1959). Mass Communication: A Sociological Perspective.
New York: Random House.

Jurnal Komunikasi M assa Vol 3 No 2 Juli 2010
18