Makalah tafsir ayat Nabi Tersihir

NABI MUHAMMAD TERSIHIR
(Tafsiran Muhammad Abduh Terhadap Ayat Tersihirnya Nabi Muhammad)

Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi
Tugas Mata Kuliah Studi Quran Dan Hadis
Dosen Pengampu: Dr. Abdul Mustaqim, MA.

Oleh:
ZAHRODIN FANANI
NIM: 1430016025

PROGRAM DOKTORAL STUDI ISLAM
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
2014

1

Pendahuluan
Sihir merupakan barang dagangan orang-orang Yahudi sebagaimana terdapat
dalam surat al Baqoroh: 102,


Artinya:

‫عنلى نمل يكك نسل ني ينمانن نونما ك ننفنر نسل ني ينمانن نول نكك نن‬
‫نوات نبننعوا نما تنتينلو ال نشنياكطينن ن‬
‫ك‬
‫حنر‬
‫س‬
‫ال‬
‫س‬
‫نا‬
‫ن ي‬
‫ال نشنياكطينن ك ننفنروا ي ننعلك ننمونن ال ن ن‬

“Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitansyaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka
mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir),
padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir),
hanya syaitan-syaitanlah yang kafir (mengerjakan sihir).
Mereka mengajarkan sihir kepada manusia”1
Orang Yahudi berusaha menyihir Nabi Muhammad, hingga Nabi Muhammad

merasa telah melakukan sesuatu, padahal belum melakukannya.2
Problem Nabi Muhammad tersihir ini, bila diterima oleh akal manusia, berarti
manusia mengakui apa yang didakwakan oleh non muslim, bahwa Nabi Muhammad
telah kena sihir, padahal yang demikian itu sangat bertentangan dengan ayat yang ada
dalam Al-Qur’an:
Artinya:
“Allah memelihara engkau dari manusia”3
Menerima pernyataan Nabi Muhammad tersihir juga akan mengakibatkan
jatuhnya martabat kenabian Nabi Muhammad, serta berarti bahwa sihir bisa saja
membekas kepada para Nabi dan orang shalih.
Muhammad Abduh salah seorang ulama kontemporer dari Mesir juga
membahas masalah ini dalam tafsiranya, untuk itu di dalam makalah ini akan
dipaprkan penafsiran Muhammad Abduh terhadap ayat yang berkaitan dengan
tersihirnya Nabi Muhammad serta analisis kritis terhadap penafsiran yang
dilakukannya.
1 Qs. Al-Baqarah: 102
2 Hr. Bukhori Dan Muslim
3 Qs. Al-Maidah : 67

2


Biografi Muhammad Abduh
Muhammad Abduh lahir di sebuah Desa di Propinsi Gharbiyah pada tahun
1265 H bertepatan dengan tahun 1848/1849 M, ayahnya bernama Abduh Ibnu Hasan
Khairullah dan Ibunya bernama Junainah, mempunyai Silsilah dengan keturunan
Umar bin Khattab.
Muhammad Abduh lahir dalam lingkungan petani yang hidup sederhana, taat
dan cinta ilmu pengetahuan. Orang tuanya berasal dari kota Mahallat Nashr. Situasi
politik yang menyebabkan orang tuanya menyingkir ke desa kelahirannya dan
kembali ke Mahallat Nashr setelah situasi politik mengizinkan. 4
Masa pendidikan Muhammad Abduh di mulai dengan pelajaran dasar
membaca dan menulis yang didapatkannya dari orang tuanya sendiri, kemudian ia
belajar al-Quran pada seorang Hafiz, pendidikan selanjutnya ditempuhnya di Thanta,
di sebuah lembaga pendidikan Masjid al-Ahmadi, namun tempat ini Muhammad
Abduh mengikuti pelajaran yang diberikan dengan rasa tidak puas, bahkan
membawanya kepada rasa putus asa untuk mendapatkan ilmu seperti yang
diharapkannya. Perasaan yang demikian berpangkal dari metode pengajaran yang
diterapkan disekolah tersebut yang mementingkan hafalan tanpa pengertian. 5
Di Kanisah Urin, ia bertemu Syekh Darwisy Khadar (Paman ayahnya), dari
pertemuan tersebut yang kemudia melahirkan kesadaran Muhammad Abduh, Syekh

Darwisy tidak hanya mengajarkan etika dan moral, tetapi juga praktek kezuhudan
tarekatnya. 6

4 Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, Tarikh Al Ustadz Al Imam Muhammad Abduh, Juz 1, Percetakan
Al Mannar Mesir, Tahun 1931, Hlm. 14
5 Ibid.
6 Abbas Mahmud Al Aqqod, ‘Abqoriyyah Al Ishlah Wa Al Ta’lim Al Ustadz Muhammad Abduh,
Mishr Li Fajjalah, Tanpa Tahun, Hlm. 110.

3

Pada tahun 1903 Muhammad Abduh memperoleh kesempatan pergi ke Inggris
untuk melakukan pertukaran pikiran filosofis dengan Hebert Spencer, hingga ia
mempunyai 4 tujuan pokok dari gerakan pemikirannya: 7
1. Pemurnian amal perbuatan umat Islam dari segala bentuk bid’ah
2. Pembaharuan dalam bidang pendidikan
3. Perumusan kembali ajaran Islam menurut pikiran modern
4. Tangkisan terhadap pengaruh Barat dan Nasrani

Metode Penafsiran Muhammad Abduh

Muhammad Abduh melihat bahwa tafsir yang baik adalah tafsir yang tidak
keluar dari maksud dan tujuan al-Quran itu sendiri, yaitu yang disandarkan kepada
pemahaman Kitab Ilahi dengan menempatkannya sebagai sandaran agama dan
hidayah (petunjuk) dari Allah swt kepada seluruh alam, yang didalamnya terkumpul
penjelasan-penjelasan tentang apa-apa yang baik dan bermanfaat bagi manusia di
dunia dan yang membawa keselamatan di akhirat, oleh karena itu setiap manusia
wajib memahami ayat-ayat al-Quran sesuai dengan kemampuannya sendiri, baik dia
itu ‘aalim ataupun jaahil.8
Ia melihat bahwa tafsir terbagi ke dalam beberapa tingkatan. Tingkatan paling
bawah, yaitu tafsir yang menjelaskan dengan cecara global (ijmali) apa-apa yang
membangkitkan hat untuk mengakui atau memuji kebesaran Allah swt, mensucilanNya, dan yang mendorong jiwa untuk berpaling dari perbuatan-perbuatan keji, serta
membawanya kepada perbuatan baik, sedang tingkatan paling atas adalah tafsir yang
di dalamnya mencakup hal-hal sebagai berikut:9

7 Thahir Al Thanahy, Mudzakkirot Al Ustadz Al Imam, Dar Al Hilal, Kairo, Tanpa Tahun, Hlm. 81.
8 Muhammad Abduh, Tafsir Al-Manar, Darul Al-Ma’rifah, Jilid I, Beirut, Hal 18.
9 Ibid, Hal 21-24.

4


1. Pemahaman terhadap kebenaran-kebenara lafadz al-mufradat (kosa kata) yang
sesuai dengan yang sering dipergunakan oleh para ahli bahasa Arab.
2. Mempergunakan ilmu asalib (ilmu ma’ani dan ilmu bayan) dan dengan
memperhatikan kaedah-kaedah tata bahasa Arab (ilmu i’rab).
3. Memperhatikan hal-hal yang berhubungan dengan manusia mulai dari
kondisinya,

perkembangannya,

tabia-tabiatnya,

sejarahnya,

perbedan-

perbedaannya: pintar dan bodoh, kuat dan lemah, beriman dan tidak beriman,
dsb. Begitu juga memperhatikan pengetahuan sekitar kosmos dsb. Untuk itu
diperlukan berbagai disiplin ilmu, khususnya ilmu sejarah.
4. Menjelaskan bahwa al-Quran merupakan hidayah dan petunjuk bagi manusia.
Dalam hal ini seorang mufassir harus mengetahui bagaimana keadaan

masyarakat (Arab dan non-Arab) pada masa kenabian, sewaktu manusia
keluar dari alam kegelapan dengan hidayah al-Quran ke alam terang
benderang.
5. menguraikan secara benar hal-hal yang berhubungan dengan sirah Rasulullah.
Untuk itu seorang mufassir harus mengetahui sirah Nabi dan para sahabatnya.

Abduh berpendapat bahwa wahyu dan akal tidak mungkin bertentangan.
Adapun apabila terdapat pertentangan antara aqli dan naqli maka diambil apa yang
benar menurut akal, sehingga tampak dihadapannya dua jalan: tunduk kepada
kebenaran naqli dengan mengakui ketidakmampuan dalam memahaminya dan
menyerahkan perkara tersebut kepada Allah swt, atau mena’wilkan naqli dengan
memperhatikan kaedah-kaedah bahasa sehingga ada persesuian antara maknanya
dengan apa yang telah ditetapkan oleh akal.10

10 Muhammad Abduh, Al-Islam Wa An-Nashraniah, Hal 52-53.

5

Muhammad Abduh memiliki perbedaan dengan Mu’tazilah dari segi tujuan
dan sasaran dari penggunaan akal, dimana Mu’tazilah mempergunakan pemikiran

rasional

dan

penakwilan

ayat-ayat

dalam

rangka

berargumentasi

untuk

mempertahankan alirannya sendiri, sedangkan Abduh dalam usaha merasionalisasikan
ajaran Islam buat para rasionalis modern yang tidak dapat menerima sesuatu yang
tidak rasional dan tidak memiliki metode ilmiah. Dan rasionalitas Abduh tersebut
terlihat dikala ia berhujjah bahwa ilmu dan iman tidak mungkin bertentangan. Ia

berusaha menyajikan ajaran-ajaran dasar Islam dalam suatu kerangka intelektual yang
dapat diterima oleh pikiran modern dan yang sekaligus disatu pihak memungkinkan
pembaharuan terus menerus dan dilain pihak memberi ruang bagi tuntutan ilmu
pengetahuan baru.11
Contoh penafsirannya adalah saat Muhammad Abduh menafsirkan firman
Allah ayat pertama dari surat al-Insyiqaq: “Idza as-samaaun asy-syaqqat,” yang arti
terjemahannya: “Apabila langit terbelah,” ia memandang bahwa “insyiqaaq as-samaa”
maknanya bisa berupa satu kejadian besar dari sekian kejadian-kejadian yang
berhubungan dengan tata surya, seperti kejadian lewatnya sebuah bintang dekat
dengan bintang lainnya yang menimbulkan gaya tarik menarik dan menyebabkan
terjadinya benturan antara keduanya. Karena benturan tersebut, maka tata surya
mengalami goncangan yang kuat. Sehingga munculah di langit awan dan kabut yang
datang dari berbagai arah. Maka langitpun terbelah oleh awan dan kabut tersebut. Hal
ini kemudian mengakibatkan rusaknya peredaran tata surya.12
Sangat jelas sekali, bahwa penafsiran yang disuguhkan Muhammad Abduh
tersebut disandarkan atas asa-asas pandangan atau teori ilmu pengetahuan baru, yang

11 Di Kutif Dari Makalah H.Zainul Kamal. Ma, Pengaruh Pemikiran Islam Internasional Terhadap
Pemikiran Islam Di Indonesia, Mizan, Cetakan V, 1994, Hal 132.
12 Muhammad Abduh, Tafsit Juz “’Amma”, Hal 49.


6

‫‪jauh dari penafsiran atau penjelasan yang lazim pada masyarakat Arab dan pada masa‬‬
‫‪dimana al-Quran diturunkan.‬‬

‫‪Tafsiran Muhammad Abduh Terhadap Ayat Tersihirnya Nabi‬‬
‫‪Muhammad Abduh berpendapat tentang tersihirnya nabi Muhammad dengan‬‬
‫‪menafsirkan surat al falaq ayat ke-4:‬‬
‫)وقد رووا هنا أحاديث في أن النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم سحره لبيد بن‬
‫العصم‪ ،‬وأ نثر سحره فيه حتى كان يخيل إليه أنه يفعل الشيء وهو ل يفعله أو يأتي‬
‫شي ئئا وهو ل يأتيه‪ ،‬وأن الله أنبأه بذلك وأخرجت مواد السحر من بئر وعوفي صلى‬
‫الله عليه وعلى آله وسلم مما كان نزل به من ذلك ونزلت هذه السورة‪.‬ول يخفى أن‬
‫ثأثير السحر في نفسه عليه السلم حتى يصل به المر إلى أن يظن أنه يفعل شيئئا‬
‫وهو ل يفعله‪ ،‬ليس من قبيل تأثير المراض في البدان‪ ،‬ول من قبيل عروض السهو‬
‫والنسيان في بعض المور العادية‪ ،‬بل هو ماس بالعقل‪ ،‬آخذ بالروح‪ ،‬وهو مما يصندق‬
‫قول المشركين فيه‪} :‬إن تنتبعون إل ن رجل ئ مسحوئرا{‪.‬‬
‫وليس المسحور عندهم إل من خولط في عقله‪ ،‬وخنيل له أن شيئئا يقع وهو ل يقع‪،‬‬
‫فيخنيل إليه أنه يوحى إليه ول يوحى إليه‪.‬‬
‫وقد كان كثير من المق نلدين الذين ل يعقلون ما هي النبوة وما يجب لها أن الخبر‬

‫بتأثير السحر في النفس الشريفة قد صح‪ ،‬فيلزم العتقاد به‪ ،‬وعدم التصديق به من‬
‫بدع المبتدعين‪ ،‬لنه ضرب من إنكار السحر‪ ،‬وقد جاء القرآن بصحة السحر‪ .‬فانظر‬
‫كيف ينقلب الدين الصحيح‪ ،‬والحق الصريح في نظر المقنلد بدعة‪ ،‬نعوذ بالله‪ ،‬يحتج‬
‫على ثبوت السحر‪ ،‬ويعرض عن القرآن في نفيه السحر عنه صلى الله عليه وعلى‬
‫آله وسلم وعنده من افتراء المشركين عليه‪ ،‬ويؤول في هذه ول يؤول في تلك‪ ،‬مع أن‬
‫الذي قصده المشركون ظاهر لننهم كانوا يقولون‪ :‬إن الشيطان يلبسه عليه السلم‪،‬‬
‫وملبسة الشيطان تعرف بالسحر عندهم وضرب من ضروبه‪ ،‬وهو بعينه أثر السحر‬
‫‪13‬‬
‫الذي نسب إلى لبيد‪ ،‬فإنه قد خالط عقله وإدراكه في زعمهم‪.‬‬

‫‪Tersihirnya nabi jelas bertentangan dengan ke-ma’shum-annya sehingga‬‬
‫‪memunculkan aib bagi tugas atau risalah yang dibawa, maka dari itu sebenarnya sihir‬‬
‫‪tak jauh berbeda dengan penyakit, sebagaimana penyakit dan sihir dapat menimpa‬‬
‫‪seorang manusia begitu pula seorang Nabi.‬‬
‫‪Busthomi menguatkan bahwa, Muhammad Abduh tidak pernah mempercayai‬‬
‫‪sihir karena pada hakikatnya nabi sedang dalam keadaan sakit.14 Maka bisa jadi juga‬‬
‫‪yang dimaksud dengan surat al falaq ayat ke empat tersebut adalah Ajaran untuk‬‬
‫‪13 Abduh, Muhammad, Tafsir Al Qur’an Al Karim Juz ‘Amma, Al Jam’iyyah Al Hurriyyah, Cet. 3,‬‬
‫‪Tahun. 1341, Hlm. 182-183‬‬
‫‪14 Sa’id, Busthomi Muhammad, Mafhum Tajdid Al Din, Markaz Al Ta’shil Li Al Dirosat Wa Al‬‬
‫‪Buhuts, Cetakan Ke-2, Tahun 2012, Hlm. 243.‬‬

‫‪7‬‬

berlindung daripada kejahatan perempuan-perempuan yang meniup pada buhul-buhul,
dan hal ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan sihir.
Buhul-buhul yang dimaksud di ujung ayat ke empat ini ialah suatu maksud
atau rencana yang telah disusun oleh seorang laki-laki, kemudian Perempuan yang
meniup-niup itu menurut nya ialah bujuk dan rayuan perempuan, yang dengan lemahlembut, lenggang-lenggok gemulai terhadap laki-laki, merayu dan membujuk.15

Analisis Kritis Terhadap Tafsiran Muhammad Abduh
Tafsiran Muhammad Abduh tersebut mengisyaratkan bahwa sihir itu tidak ada,
tetapi yang ada adalah penyakit atau ilmu sulap yang bias dipelajari oleh semua orang.
Muhammad Abduh dalam menafsirkan ayat sihir ini jelas sekali sangat
terpengaruh oleh ilmu pengetahuan modern, sehingga hal-hal yang bersifat
bertentangan dengan akal akan segera dilakukan ta’wil atau mentafsirkan ayat
derngan makna yang tidak seharusnya, bias jadi dengan menghubung-hubungkan
dengan ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa itu.
Ayat Al Qur’an yang bersifat aqidiy (keyakinan) akan lebih selamat
penafsirannya bila ditafsirkan dengan metode penafsiran bi al ma’tsur, namun dalam
masalah ini Muhammad Abduh terkesan tidak mau menggunakan hadits yang
menerangkan dan menjelaskannya, seperti salah satu hadits yang diriwayatkan oleh
‘Aisyah:
‫عل ني يكه نونسل ننم نرنجلل كمين بنكني نزنري يقق ي ننقانل ل ننه ل نكبيند بينن‬
‫حنر نرنسونل الل نكه نص نلى الل ننه ن‬
‫نس ن‬
‫ن‬
‫ن‬
‫ن‬
‫ن‬
‫ن‬
‫خي ننل كإل ني يكه أن ننه نكانن ي نيفنعنل ال نشيينء‬
‫عل ني يكه نونسلنم ي ن ن‬
‫ال يأ ن ي‬
‫عنصكم نح نتى نكانن نرنسونل اللكه نصلى اللنه ن‬
‫عا ث نمن نقانل نيا‬
‫عا نوند ن‬
‫ت ل ني يل نقة نونهنو كعن يكدي ل نككن ننه ند ن‬
‫ت ي نيوقم أ نيو نذا ن‬
‫نونما نفنعل ننه نح نتى كإنذا نكانن نذا ن‬
‫ن‬
‫ن‬
‫ك‬
‫ك‬
‫ك‬
‫عاكئنشنة أ ننشنعير ك‬
‫ك‬
‫ك‬
‫ك‬
‫ت أ ن نن الل ننه أ نيفنتاني فينما ايستنيفتني يتننه فيه أنتاني نرنجنلاكن نفنقنعند أنحندنهنما عن يند‬
‫ن‬
‫رأ ي‬
‫ن‬
‫ك‬
‫ك‬
‫ك‬
‫ك‬
‫ك‬
‫ب نقانل نمين‬
‫بو‬
‫ط‬
‫م‬
‫ل‬
‫قا‬
‫ف‬
‫ل‬
‫ج‬
‫ر‬
‫ال‬
‫ع‬
‫ج‬
‫و‬
‫ما‬
‫ه‬
‫ب‬
‫ح‬
‫صا‬
‫ل‬
‫ما‬
‫ه‬
‫د‬
‫ح‬
‫أ‬
‫ل‬
‫قا‬
‫ف‬
‫ي‬
‫ل‬
‫ج‬
‫ر‬
‫د‬
‫ن‬
‫ع‬
‫ر‬
‫خ‬
‫لآ‬
‫ي‬
‫وا‬
‫سي‬
‫ن‬
‫ن‬
‫ن‬
‫ن‬
‫ك‬
‫ن‬
‫ك‬
‫ن‬
‫ن‬
‫ن‬
‫ن ن ن ن ن ن ك‬
‫ن ين ي ن‬
‫ن ن ن ن ن‬
‫ن‬
‫ن ي ن ل‬
‫ن‬
‫خل نقة‬
‫عنصكم نقانل كفي أ نكني نشييقء نقانل كفي نميشقط نونمنشانطقة نونج ن كف نطل يكع ن ن ي‬
‫نطب ننه نقانل ل نكبيند بينن ال يأ ن ي‬
‫عل ني يكه نونسل ننم كفي نناقس‬
‫نذك نقر نقانل نوأ ني ينن نهنو نقانل كفي كبئيكر نذيرنوانن نفأ ننتانها نرنسونل الل نكه نص نلى الل ننه ن‬
‫خلكنها نرنءونس‬
‫عنة ال يكح نناكء أ نيو ك نأ ن نن نرنءونس ن ن ي‬
‫عاكئنشنة ك نأ ن نن نمانءنها ن ننقا ن‬
‫جانء نفنقانل نيا ن‬
‫حاكبكه نف ن‬
‫كمين أ نيص ن‬
15 Ibid.

8

‫ت أ نين أ نث نكنونر‬
‫ت نيا نرنسونل الل نكه أ ننفنلا ايستن ي‬
‫عانفاكني الل ننه نفك نكريه ن‬
‫ال نشنياكطيكن نقل ي ن‬
‫خنريجتننه نقانل نقيد ن‬
16
‫ن‬
.‫ت‬
‫عنلى ال نناكس كفيكه نش ن ئرا نفأنمنر كبنها نفندكفن ن ي‬
‫ن‬
Artinya:
“Rasûlullâh shallallahu 'alaihi wa sallam disihir oleh seseorang dari
Banî Zuraiq, yang bernama Labîd bin al-A’sham, sehingga beliau merasa
melakukan sesuatu yang tidak dilakukannya. Sampai pada suatu hari atau pada
suatu malam ketika beliau berada disisiku, beliau terus berdo’a dan berdo’a.
Kemudian beliau bersabda, “Wahai ‘Âisyah, apakah kamu tahu bahwa Allâh telah
memperkenankan do’aku tentang apa yang aku tanyakan kepada-Nya? Ada dua
orang yang mendatangiku, satu diantaranya duduk di dekat kepalaku dan yang
satunya lagi berada di dekat kakiku. Lalu salah seorang diantara keduanya berkata
kepada temannya, ”Sakit apa orang ini?” “Terkena sihir,” sahut temannya. “Siapa
yang telah menyihirnya?” tanya temannya lagi. Temannya menjawab, “Labîd bin
al-A’sham.” “Dengan apa?” Dia menjawab, “Dengan sisir dan rontokan rambut
ketika disisir, dan mayang kurma jantan.” “Lalu dimana semuanya itu berada?”
tanya temannya. Dia menjawab, “Disumur Dzarwân.” Kemudian Rasûlullâh
shallallahu 'alaihi wa sallam mendatangi sumur itu bersama beberapa orang
sahabat beliau. Setelah kembali, beliau berkata, “Wahai ‘Âisyah, seakan-akan
airnya berwarna merah seperti perasan daun pacar, dan ujung dahan pohon kurma
(yang berada di dekatnya) seakan-akan seperti kepala syaitan.” Lalu ‘Âisyah
bertanya, “Wahai Rasûlullâh, tidakkah engkau meminta dikeluarkan?” Beliau
menjawab, “Allâh telah menyembuhkanku, sehingga aku tidak ingin memberi
pengaruh buruk kepada umat manusia dalam hal itu.” Kemudian beliau
memerintahkan untuk menimbunnya, maka semuanya pun ditimbun dengan
segera."

Penutup
Tafsiran ayat tentang tersihirnya nabi adalah hakiki dan bukan majazi atau
bahkan bias dita’wilkan sebagaimana yang dilakukan oleh Muhammad Abduh, hal itu
supaya dalam diri Nabi Muhammad terdapat suri tauladan bagi umatnya, jika salah
seorang dari umatnya terkena sihir, maka sungguh orang yang lebih baik darinya pun
juga pernah terkena sihir, bersamaan dengan itu, Nabi Muhammad tidak meminta
pertolongan kepada tukang sihir, atau dukun, , akan tetapi hanya meminta pertolongan
kepada Allah Ta’ala.

Daftar Pustaka
16 Shahîh Muslim, Kitab Ash-Shalâh, Bab At-Tasyahhud Fȋ As-Shalâh, Cet. Dâr Al-Kutub Al-‘Ilmiyah
(Ii/15).

9

Abbas Mahmud Al Aqqod, ‘Abqoriyyah Al Ishlah Wa Al Ta’lim Al Ustadz
Muhammad Abduh, Mishr Li Fajjalah, Tanpa Tahun.
Abduh, Muhammad, Tafsir Al Qur’an Al Karim Juz ‘Amma, Al Jam’iyyah Al
Hurriyyah, Cet. 3, Tahun. 1341.
Al Bukhori, Muhammad Bin Ismail. Shohih Al Bukhori. Kairo: Dar Ibnu Haitsam,
2004.
Al Qur’an Al Karim Dan Terjemahannya. Bandung: PT. Syamil Media Cipta,
2005.
Makalah H.Zainul Kamal. Ma, Pengaruh Pemikiran Islam Internasional
Terhadap Pemikiran Islam Di Indonesia, Mizan, Cetakan V,
1994.
Muhammad Abduh, Al-Islam Wa An-Nashraniah, darul haddatsah, Beirut, tahun
1902
Muhammad Abduh, Tafsir Al-Manar, Darul Al-Ma’rifah, Jilid I, Beirut.
Muslim, Shahîh Muslim, Kitab Ash-Shalâh, Bab At-Tasyahhud Fȋ As-Shalâh, Cet.
Dâr Al-Kutub Al-‘Ilmiyah.
Sa’id, Busthomi Muhammad, Mafhum Tajdid Al Din, Markaz Al Ta’shil Li Al
Dirosat Wa Al Buhuts, Cetakan Ke-2, Tahun 2012
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, Tarikh Al Ustadz Al Imam Muhammad Abduh,
Juz 1, Percetakan Al Mannar Mesir, Tahun 1931.
Thahir Al Thanahy, Mudzakkirot Al Ustadz Al Imam, Dar Al Hilal, Kairo, Tanpa
Tahun.

10